Organisasi dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan keberhasilan organisasi dalam
mencapai tujuan sangat ditentukan oleh kinerja organisasi dimana sangat dipengaruhi oleh:
1. Faktor eksternal, yaitu segala sesuatu yang ada diluar organisasi namun memiliki
pengaruh besar pada organisasi.
2. Faktor internal, yaitu yang memiliki peranan besar adalah budaya organisasi yang
dianut oleh segenap sumber daya manusia dalam organisasi.
Budaya dalam suatu organisasi, baik organisasi pemerintahan maupun swasta mencerminkan
penampilan organisasi, bagaimana organisasi dilihat oleh orang yang berada diluarnya.
Dalam perkembangan sejarah terdapat dua macam ciri budaya yang dominan, yaitu Budaya
Barat dengan sifat individualistik dan kompetitif dan Budaya Timur dengan kolektivitas dan
kerjasama.
Budaya organisasi adalah budaya yang ditetapkan pada lingkup organisasi tertentu yang juga
menjadi acuan didalam suatu organisasi dimana terdapat sekelompok orang yang melakukan
interaksi. Didalam budaya organisasi masih terbuka kemungkinan adanya satu atau lebih
subkultur yang dimana kebanyakan organisasi besar mempunyai dominant culture dan
sejumlah subculture.
Dominant Culture
Dominant culture adalah budaya yang berlaku secara menyeluruh daidalam organisasi dan
menunjukkan perbedaan atau ciri khusus antara organisasi yang satu dengan organisasi
lainnnya. Dominant culture menyatakan core values atau nilai-nilai inti yang diterima oleh
mayoritas anggota organisasi.
Subcultures
Subculture adalah budaya yang ada dalam unit kerja yang menjadi bagian dari keseluruhan
organisasi dan cenderung berkembang dalam organisasi besar dimana mencerminkan
masalah bersama, situasi atau pengalaman yang dihadapi anggota.
Core Values
Core values merupakan kandungan dominant culture yang memuat nilai-nilai utama atau
dominan yang diterima oleh seluruh organisasi.
Sistem nilai merupakan pola nilai-nilai didalam suatu organisasi, yang terdiri dari lima
komponen:
Strong culture ditandai oleh kondisi dimana pekerja berbagi core values atau nilai-nilai inti
dan semakin besar kontribusi pekerja dan menerima nilai-ilai inti, semakin kuat budaya
organisasi dan semakin berpengaruh pada perilaku. Dalam strong culture, core values
organisasi menjadi pegangan yang sangat kuat dan secara luas dibagikan dimana semakin
banyak anggota menerima core values dan semakin besar komitmennya pada nilai tersebut,
semakin kuat budaya organisasi. Strong ulture juga menurunkan turnover karena
menunjukkan persetujuan yang tinggi diantara anggota tentang untuk alasan organisasi
tersebut ada/berdiri. Terdapat 3 (tiga) gagasan kekuatan budaya organisasi berhubungan
dengan kinerja:
Unadaptive culture atau budaya yang tidak adaptif biasanya sangat birokratis, dan personil
didalamnya reaktif, menolak risiko dan tidak kreatif. Dalam hal ini juga ditunukkan dengan
para manajer yang lebih memperhatikan diri sendiri, kelompok kerja langsungnya, produk
dan teknologi yang berhubungan dengan kelompok kerjanya.
Adaptive culture ditunjukkan dengan manajer menaruh perhatian penuh dan semua
konstituen, terutama pelanggan dan berinisiatif melakukan perubahan apabila diperlukan
untuk melayani kepentingannya, bahkan apabila diperlukan untuk mengambil risiko.
Case for Analysis: Toyota’s Culture and the “Sticky Pedal” Recall
Toyota is an extremely successful automaker that has built a reputation for quality by
fostering a culture of continuous improvement and long-term relationships with employees,
vendors, customers, and other key stakeholders. With such a strong organizational culture,
how did the company reach a point in which it was criticized for not sharing enough
information about the unintended acceleration problems that were documented in the form of
complaints as far back as March 3, 2004? Six years later in 2010, Toyota paid a steep price
for initially ignoring or not proactively dealing with the acceleration problem; it conducted a
massive recall of more than 8 million vehicles to fix the faulty gas pedals. Not only did the
company’s reputation take a large hit, but U.S. Transportation Secretary Ray LaHood slapped
a $16.4 million fine against the automaker.
Many people were upset with Toyota’s handling of the crisis and apparent lack of transparent
communication about the extent and cause of the problem. For some time after complaints of
unintended acceleration were filed with authorities and the company, Toyota maintained that
the cause of the acceleration was poorly fitting floor mats. It took until January 2010 for the
company to make the decision to replace the faulty accelerator pedals.
Toyota’s organizational culture may be partly to blame for the ill will that was created over
the handling of the faulty accelerators problem. First, Toyota’s culture of keeping potentially
negative information locked tightly within the firm is at odds with what many organizations
do during a crisis in the U.S. For example, the leaders of Johnson & Johnson made it a point
to communicate with the public major developments regarding the cyanide-laced Tylenol
capsule tamperings in 1982. Second, Toyota’s leadership may be too insulated to allow it full
or timely access to negative information. This problem may be due to the fact that Toyota has
a formal, hierarchical organizational structure that prevents negative information from
reaching the top.
Will Toyota rebound and regain its global prominence as a top-quality automaker? Some
experts suggest that the company will eventually work through and resolve these accelerator-
related problems. However, another question remains: Will the company also attempt to
modify its culture so that it can handle future crises in a more open and timely manner?
QUESTIONS FOR ANALYSIS
1. Why did Toyota wait so long to publically acknowledge and replace the faulty
accelerator pedals?
Alasan lain mengapa Toyota menunggu begitu lama untuk adalah struktur
organisasi hirarkis yang ketat, informasi negative harus ditutup rapat.
kepemimpinan Toyota terlalu terisolasi untuk memungkinkan masuknya akses
yang tepat terhadap informasi negative tersebut. Sejarah Toyota dan harapan
kesuksesan telah menyebabkan masalah tersebut terjadi. Kasus ini menunjukkan
bahwa masalah dalam budaya Toyota yang diam, tidak hanya menunda respon
bermakna tetapi juga menciptakan masalah public relations. Kontras antara respon
masyarakat terkenal oleh Johnson & Johnson dengan keracunan Tylenol dan
Toyota kurangnya aksi publik juga dapat mencerminkan isu-isu budaya nasional
dan keinginan untuk wajah aman yang lebih umum dalam budaya timur. Tidak
hanya nama Toyota namun juga wajah sebuah Negara Jepang.
2. Changing a culture from one that rewards secrecy to one that is more transparent
(especially in a crisis) appears to be difficult. Why?
Perubahan budaya mungkin aktivitas yang paling menantang dan sulit
diterapkan bagi suatu organisasi. Organisasi menciptakan sistem dan
mempekerjakan individu dengan budaya yang sudah ada. perubahan
budaya akan melibatkan perubahan sistem internal dan mungkin
memerlukan perubahan banyak personil.
Toyota merupakan produsen sukses yang telah membangun reputasi untuk
kualitas dengan mengembangkan budaya perbaikan terus-menerus dan
jangka panjang, menjaga hubungan dengan karyawan, vendor, pelanggan,
dan stakeholder kunci lainnya. Dengan budaya organisasi yang kuat
seperti, bagaimana perusahaan mencapai titik di mana ia dikritik karena
tidak berbagi informasi yang cukup tentang masalah percepatan yang tidak
diinginkan yang didokumentasikan dalam bentuk keluhan sejak 3 Maret
2004? Enam tahun kemudian pada 2010, Toyota harus membayar mahal
karena mengabaikan masalah pedal, penarikan besar-besaran lebih dari 8
juta kendaraan untuk memperbaiki pedal gas yang rusak. Banyak kritikan
terhadap penanganan krisis dan kurangnya komunikasi tentang sejauh
mana dan penyebab masalah tersebut.
Jepang terutama Toyota memiliki budaya kerja yang sudah diakui dunia
dengan Toyota Ways-nya, selama ini mereka selalu memegang teguh
prinsip tersebut.
3. If you were the president of the Toyota Motor Corporation, how would you have
handled the unintended acceleration problems? Explain.
Ketika masalah tersebut muncul, maka langkah pertama adalah meredam
goncangan public dimana bagian pemasaran-lah yang berfungsi untuk
menyelamatkan brand Toyota sementara bagian produksi mencari celah
dan perbaikan masalah tersebut.
Perusahaan haruslah berada sebagai pendengar yang baik atas keluhan-
keluhan dari pelanggan dan masalah tersebut harus dipublikasikan dan
disampaikan masih dalam kondisi yang stabil sehingga tidak perlu terlalu
dicemaskan.
Rumor negative yang berkembang harus segera dikendalikan dan
memberikan bukti bahwa penanganan yang dilakukan oleh Toyota sudah
sesuai dengan prosedur dan dapat dipercaya. Promosikan bahwa Toyota
sangat memperhatikan keamanan dan keselamatan dalam berkendara.
Jika keluhan tersebut memang benar terjadi maka manajemen haruslah
mengakui dan meminta maaf atas kesalahan, namun dinyatakan bahwa
masih banyak produk Toyota lainnya di produksi didunia tidak memiliki
masalah tersebut.
Promosikan system perbaikan yang telah dilakukan oleh Toyota terutama
dalam penanganan quality control saat ini dan dimasa mendatang untuk
mengembalikan kepercayaan pelanggan