Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASPEK-ASPEK SOSIAL KOGNITIF LEVEL DARI KEPRIBADIAN ALBERT


BANDURA

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Kepribadian II

Dosen Pengampu :

Liany Luzvinda M.Si

Disusun Oleh:

Jasmine Mumtaza Rahmaputri 11190700000092

Annida 11200700000008

Khansa Nurul Zahra 11200700000169

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Aspek-Aspek Sosial
Kognitif Level dari Kepribadian Albert Bandura” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
juga tidak lupa kami curahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW
yang telah memberikan jalan yang lurus berupa ajaran Islam yang sempurna dan menjadi
anugrah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Liany Luzvinda, M.Si. selaku dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Kepribadian II yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah wawasan dan pengetahuan sesuai dengan studi yang sedang kami tekuni..
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Kepribadian II dan juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para
pembacanya dan juga bagi penyusun.

Kami menyadari makalah yang dibuat masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini dan tulisan kami di masa mendatang.

Jakarta, Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Teori Pembelajaran Sosial Albert Bandura


2.1.1. Bigorafi Albert Bandura

Albert Bandura lahir di canada pada tahun 1925. Ia memperoleh gelar doktornya dalam
bidang psikologi klinis dari University of lowa di mana arah pemikirannya di pengaruhi oleh
tulisan Miller dan Dollard (1941) yang berjudul Social Learning and Imitation. Penamaan
baru dengan nama Teori Kognitif Sosial ini dilakukan pada tahun 1970-an dan 1980-an. Ide
pokok dari pemikiran Bandura juga merupakan pengembangan dari ide Miller dan Dollard
tentang belajar meniru (imitative learning) (Bandura, 1962).

Salah satu akar awal teori kognitif sosial dalam psikologi kepribadian berkembang
pada akhir 1960-an, ketika penemuan baru oleh Albert Bandura (1969) dan lainnya dalam
penelitian pembelajaran mengungkapkan jenis proses pembelajaran ketiga yang independent
baik dari pengkondisian klasik maupun penguatan. Bandura mengakui, tentu saja bahwa
penghargaan atau penguatan memiliki pengaruh kuat pada perilaku dalam berbagai situasi.
Tetapi, ia juga menunjukkan bahwa orang belajar secara kognitif dengan mengamati orang
lain, bukan hanya dengan mengalami penghargaan atas apa yang mereka lakukan sendiri.
Banyak pembelajaran sosial terjadi melalui observasi tanpa penguatan langsung yang
diberikan kepadaa pelajar (Mischel, Shoda, & Ayduk, 2008).

Bandura mengembangkan teorinya untuk mebahas cara-cara orang memiliki kendali


atas peristiwa dalam hidup mereka melalui pengaturan diri atas pikiran-pikiran dan tindakan
mereka. Proses dasarnya meliputi menentukan tujuan, menilai kemungkinan hasil dari
tindakan-tindakan, mengevaluasi kemajuan pencapaian tujuan, dan pengaturan diri atas
pikiran, emosi, dan tindakan. Bandura menjelaskan bahwa karakteristik khas lainnya dari
teori kognitif sosial adalah peran utama yang di berikannya pada fungsi-fungsi pengaturan
diri. Orang berprilaku bukan sekedar untuk menyesuaikan diri dengan kecendrungan -
kecendrungan orang lain. Kebanyakan perilaku mereka dimotivasi dan diatur oleh standard
internal dan reaksi-reaksi terhadap tindakan meraka sendiri yang terkait dengan penilaian diri
(Mischel, Shoda, & Ayduk, 2008).

2.1.2. Observational Learning


Pembelajaran observasi, atau disebut pemodelan adalah pembelajaran yang terjadi tanpa
pembelajar menerima penguatan eksternal langsung. Pembelajaran seperti itu terjadi bahkan
tanpa orang tersebut pernah melakukan respon yang dipelajari sama sekali. Contohnya :
Seseorang dapat belajar makeup hanya dengan menonton bagaimana hal itu dilakukan di
youtube (Mischel, Shoda, & Ayduk, 2008). Sebagai contoh, seorang ibu mengajarkan kepada
anaknya car amengikat sepatu dengan memeragakan berulang kali sehingga si anak bisa
melakukannya sendiri. Maka proses tersebut disebut sebagai modeling. Menurut Psikolog
Albert Bandura dan rekan-rekannya, suatu bagian utama dari pembelajaran manusia terdiri
atar belajar observasional, yang mana merupakan pembelajaran dengan cara melihat perilaku
orang lain, atau model. Karena pendasarannya pada observasi terhadap orang lain-fenomena
sosial-sudut pandang yang diambil oleh Bandura ini sering disebut dengan pendekatan
kognisi sosial tentang belajar.(Bandura, 1999,2004 cit Feldman,2012).

Pembelajaran observasional terjadi ketika orang melihat orang lain atau ketika mereka
memperhatikan lingkungan mereka, peristiwa fisik atau symbol seperti kata-kata atau
gambar. Albert Bandura (1969, 1986) selama lebih dari 4 dekade telah memimpin dalam
analisis pembelajaran observasional dan relevansnya dengan kepribadian. Banyak
pembelajaran manusia, mulai dari tata krama, hubungan antarpribadi, termasuk kerja sama
dan agresi, hingga sekolah dan pekerjaan, bergantung pada pengamatan semacam ini
daripada pada penguatan langsung untuk tindakan tertentu. Seringkali tidak langsung, dan
tidak tergantung pada pengamatan yang sebenarnya dari suatu peristiwa, misalnya ketika
orang lain mengamati dan kemudian memberi tahu kita tentangnya. Demikian pula, media
massa, khususnya film dan televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
mengkomunikasikan pengalaman dan pengamatan, dan berkontribusi besar pada jumlah besar
yang dipelajari seseorang tentang dunia sosial. Misalnya, setelah mengamati film model
agresif yang meninju, memukul, dan melemparkan Bobodoll, anak-anak secara spontan
meniru agresivitas model ketika ditempatkan dalam situasi yang sama (Bandura, 1965).

Faktor-Faktor Penting dalam Belajar Melalui Observasi

Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat belajar, karena
belajar melalui observasi memerlukan beberapa factor atau prakondisi. Menurut Bandura
(dalam Yunardianto,2019) ada empat proses yang penting agar belajar melalui obsevasi dapat
terjadi, yakni:
1. Perhatian (attention process): Sebelum meniru orang lain, perhatian harus dicurahkan
ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan modelnya, sifat
model yang atraktif, dan arti penting tingkah laku yang diamati bagi si pengamat.
2. Representasi (representation process): Tingkah laku yang akan ditiru, harus
disimbolisasikan dalam ingatan. Baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk
gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara
verbal tingkah laku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana
yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat
dilakukannya latihan simbolik dalam pikiran, tanpa benar – benar melakukannya
secara fisik.
3. Peniruan tingkah laku model (behavior production process): sesudah mengamati
dengan penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkah
laku. Mengubah dari gambaran pikiran menjadi tingkah laku menimbulkan kebutuhan
evaluasi; “Bagaimana melakukannya?” “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah sudah
benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak dinilai
berdasarkan kemiripan respons dengan tingkah laku yang ditiru, tetapi lebih pada
tujuan belajar dan efikasi dari pembelajaran.
4. Motivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process): Belajar melalui
pengamatan menjadi efektif kalau pembelajaran memiliki motivasi yang tinggi untuk
dapat melakukan tingkah laku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang
untuk menguasai tingkah laku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada, tidak
bakal terjadi proses daripada tingkah laku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi
walaupun model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat ciri-ciri
positif yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model
umumnya akan diganjar.

2.1.3. Melihat Hasil Orang Lain : Apa yang Terjadi pada Mereka Mungkin Terjadi
pada Anda

Kita lebih mungkin untuk melakukan sesuatu jika kita telah mengamati orang lain (model)
memperoleh konsekuensi positif untuk respon yang sama. Melihat anak-anak lain dipuji
karena bermain kooperatif, misalnya, membuat anak lebih mungkin untuk berperilaku
kooperatif dalam situasi yang sama. Jika, di sisi lain, model dihukum karena pola perilaku
tertentu seperti kerja sama, pengamat cenderung tidak menampilkan perilaku serupa
(Bandura, 1965).

Singkatnya, Anda tidak perlu melakukan tindakan tertentu sendiri untuk


mempelajarinya dan konsekuensinya; konsekuensi yang diamati serta dialami langsung dari
kinerja mempengaruhi perilaku selanjutnya. Anda tidak perlu merampok bank untuk
mengetahui bahwa itu dapat dihukum, dan Anda bahkan dapat mempelajari teknik yang
membantu seseorang melakukannya dengan menonton film; Anda tidak perlu ditangkap
karena pembajakan untuk mengetahui konsekuensinya; dan Anda tidak perlu menyelamatkan
anak yang terbakar dari api atau mengembalikan uang yang didapat untuk mengetahui bahwa
tindakan tersebut dianggap baik. Model memberi tahu kami tentang kemungkinannya
konsekuensi dari perilaku tertentu dan dengan demikian mempengaruhi kemungkinan bahwa
kita akan melakukannya. Pengamatan juga mempengaruhi emosi yang kita alami. Dengan
mengamati reaksi emosional orang lain terhadap suatu stimulus, adalah mungkin untuk
mempelajari respons emosional yang intens terhadap stimulus tersebut (Mischel, Shoda, &
Ayduk, 2008).

2.1.4. Pentingnya Aturan dan Proses Simbolik

Banyak penelitian yang memotivasi revolusi kognitif menunjukkan bahwa orang-orang


tampaknya tidak membutuhkan percobaan demi percobaan "membentuk" tetapi tampaknya
paling terbantu oleh aturan dan instruksi diri yang mereka gunakan untuk menghubungkan
potongan-potongan informasi yang terpisah secara bermakna untuk dipelajari dan diingat
(Anderson & Bower, 1973).

Kognisi memainkan peran bahkan dalam pengkondisian klasik. Misalkan, misalnya,


seseorang telah dikondisikan dalam sebuah eksperimen untuk takut pada cahaya karena
berulang kali dipasangkan dengan sengatan listrik. Sekarang jika peneliti hanya memberi tahu
dia bahwa cahaya (stimulus terkondisi) tidak akan terhubung lagi dengan sengatan listrik,
reaksi emosionalnya dapat dengan cepat padam (Bandura, 1969, 1986). Pada percobaan
selanjutnya, dia dapat melihat cahaya tanpa menjadi terangsang. Temuan seperti ini memaksa
peneliti dan terapis perilaku untuk lebih memperhatikan proses mental individu. Dalam
pengembangan metode terapeutik untuk mengubah perilaku, mereka mulai lebih langsung
melibatkan proses berpikir seseorang dan pengetahuan sosial untuk tujuan terapeutik
(Davison & Neale, 1990; Davison, Neale, & Kring, 2004). Temuan semacam ini
menunjukkan bahwa pendekatan kognitif yang lebih sosial terhadap kepribadian diperlukan
yang memperhitungkan bagaimana individu secara khas berurusan secara mental dan
emosional dengan pengalaman. Pencarian dimulai dalam psikologi kepribadian untuk teori
proses kognitif-emosional-motivasi yang mendasari ekspresi perilaku dan konflik
karakteristik seseorang. Dengan demikian, upaya-upaya ini berada dalam tradisi yang
dipelopori oleh Sigmund Freud, Henry Murray, dan George Kelly, yang dikembangkan
selama abad ini oleh banyak ahli teori yang diulas dalam bab-bab sebelumnya (Mischel,
Shoda, & Ayduk, 2008).

Pada pertengahan 1980-an Bandura (1986), membangun karya sebelumnya tentang


pemodelan sosial dan pembelajaran observasional, menyajikan teori kognitif sosial yang luas
yang membahas banyak dalam fungsi sosial manusia, menggabungkan di dalamnya
kontribusi dari beragam peneliti dan ahli teori. Dia membahas dengan sangat rinci bagaimana
orang memotivasi dan mengatur perilaku mereka dan menciptakan sistem sosial yang
mengatur dan menyusun kehidupan mereka. Dia memberikan banyak perhatian pada
pentingnya proses kognitif, perwakilan, pengaturan diri, dan refleksi diri dalam
memungkinkan perilaku dan perubahan sosial adaptif manusia (Mischel, Shoda, & Ayduk,
2008).

2.1.5. The Agentic, Proactive Person

Teori kognitif sosial Bandura juga mengambil sudut pandang manusia sebagai ‘agen’
terhadap dirinya sendiri, artinya bahwa manusia memiliki kapasitas untuk melatih kendali
atas hidupnya (Feist & Feist, 2008). Bandura menekankan kapasitas manusia untuk menjadi
agen dan melatih pengaturan serta regulasi diri sebagaimana orang menghasilkan perilaku
yang (bukan hanya refleksif) namun juga proaktif dan berorientasi masa depan. Dalam
pandangan ini, fungsi manusia mencerminkan interaksi terus-menerus dari pengaruh pribadi,
perilaku, dan lingkungan.

Bandura menunjukkan secara mendalam dan rinci berdasarkan berbagai penelitian,


mekanisme yang mungkin mendasari interaksi kompleks ini. Pengaturan diri dan motivasi
diri sendiri perilaku melibatkan proses di mana standar diri diadopsi, dan perilaku selanjutnya
diatur sendiri oleh konsekuensi positif dan negatif yang mereka hasilkan, termasuk melalui
penghargaan diri dan reaksi merendahkan diri sendiri. Bandura mencatat bahwa perubahan
informasi, sosial, dan teknologi yang cepat di dunia modern membuatnya lebih penting dari
sebelumnya untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengatur diri sendiri secara
fleksibel dan bekerja untuk pembaruan diri sendiri untuk secara adaptif mengatasi tuntutan
sosial dan ekonomi yang berubah di seluruh dunia. kursus hidup. Dalam teori Bandura yang
luas, konstruk yang paling penting dan sentral adalah efikasi diri (Mischel, Shoda, & Ayduk,
2008).

2.1.6. Self Efficacy

Self Efficacy mengacu pada keyakinan individu bahwa dia dapat berhasil melaksanakan
perilaku yang dibutuhkan oleh situasi tertentu. Hubungan erat antara harapan efikasi diri yang
tinggi dan kinerja yang efektif diilustrasikan dalam studi orang-oran yang menerima berbagai
perawatan untuk membantu mengurangi ketakutan tertentu. Sebuah asosiasi tinggi yang
konsisten ditemukan antara sejauh mana orang meningkat dari pengobatan (menjadi mampu
menangani ular tanpa rasa takut) dan self-efficacy yang mereka rasakan (Bandura, 1977). Jika
kita menilai efikasi diri yang dirasakan (meminta orang untuk secara khusus memprediksi
kemampuan mereka untuk melakukan tindakan tertentu dengan sukses), menurut Bandura
kita dapat memprediksi apakah mereka akan mampu melakukannya atau tidak—misalnya,
apakah mereka sekarang dapat mengambil dan bermain dengan ular yang sebelumnya
ditakuti (Bandura & Adams, 1977). Hasil semacam ini menunjukkan beberapa hubungan
yang jelas antara persepsi diri kompetensi seseorang dan kemampuan untuk benar-benar
berperilaku kompeten.

Efikasi diri yang dirasakan mempengaruhi tujuan yang ditetapkan orang untuk diri
mereka sendiri dan risiko yang bersedia mereka ambil: semakin besar efikasi diri yang
mereka rasakan, semakin tinggi tujuan yang mereka pilih dan semakin kuat komitmen dan
ketekunan mereka dalam mengejarnya (Bandura, 1997). 2001). Sebaliknya, orang-orang yang
memandang diri mereka kurang berhasil dalam mengatasi tugas-tugas kehidupan rentan
terhadap kecemasan dan dapat mengembangkan pola penghindaran yang dirancang untuk
mengurangi ketakutan mereka. Orang-orang yang melihat diri mereka kurang dalam
kemanjuran esensial juga dapat menjadi rentan terhadap depresi. Mereka bahkan mungkin
menunjukkan gangguan pada sistem kekebalan mereka ketika menghadapi stresor yang
mereka yakini tidak dapat mereka kendalikan (Wiedenfeld et al., 1990).

Menurut Friedman & Schustack (2016), Keyakinan self-efficacy kita adalah hasil dari
empat jenis informasi: (1) pengalaman kita mencoba untuk melakukan perilaku target atau
perilaku serupa (keberhasilan dan kegagalan kita di masa lalu); (2) menyaksikan orang lain
melakukan itu atau perilaku serupa (pengalaman perwakilan); (3) persuasi verbal (orang-
orang berbicara kepada kita, mendorong atau mengecilkan kinerja); dan (4) bagaimana
perasaan kita tentang perilaku (reaksi emosional). Dari jumlah tersebut, sumber informasi
yang paling penting adalah pengalaman kinerja kita sendiri.

Peran Self Efficacy dalam Perubahan Kepribadian dan Perilaku

Berbagai bentuk terapi perilaku dalam pandangan Bandura memiliki efek positif terutama
dengan meningkatkan rasa efikasi diri individu. Dengan demikian, ia melihat setiap strategi
perilaku utama untuk mendorong perubahan sebagai berbagi satu bahan penting: Mereka
meningkatkan self-efficacy yang dirasakan, sehingga membebaskan individu untuk
melakukan tindakan yang sebelumnya tidak mungkin. Orang dengan rasa efikasi diri tentang
tindakan yang mereka maksudkan lebih mampu untuk melaksanakannya. Harapan efikasi
yang tinggi dengan demikian membantu individu untuk bertahan dalam mengejar tujuan,
bahkan dalam menghadapi kesulitan yang akan menggagalkan atau menekan orang yang
kurang yakin akan kompetensi pribadi mereka yang relevan.

2.2. Manusia Sebagai Komputer


2.2.1. Definisi Sistem Informasi Menurut Para Ahli

Sistem informasi adalah sebuah disiplin baru yang belum sepenuhnya mapan, seperti disiplin
matematika atau ekonomi. Karenanya, sebelum membahas tentang metodologi penelitian
sistem informasi, pengetahuan dan pemahaman tentang lingkup kajian bidang sistem
informasi sangat diperlukan. Pengetahuan ini akan memberikan perspektif yang lebih luas
dalam memandang hubungan antara disiplin sistem informasi dengan disiplin yang lain.
Secara garis besar, lingkup penelitian sistem informasi meliputi pengembangan, penggunaan
dan aplikasi sistem informasi oleh individu, organisasi dan masyarakat (Baskerville & Myers,
2002). Domain yang sangat luas ini memungkinkan adanya diskursus antara disiplin ini
dengan disiplin yang lain.

Pada masa perkembangan awal sistem informasi dua dekade yang lalu, pada ahli
sistem informasi menganggap bahwa sistem informasi adalah disiplin terapan yang
didasarkan pada bidang ilmu lain yang lebih fundamental dan merupakan disiplin acuan
(Baskerville & Myers, 2002). Keen (1980) menyatakan bahwa sistem informasi adalah
disiplin terapan yang didasarkan pada disiplin acuan (reference discipline).

Sejak saat itu, para ahli di bidang sistem informasi banyak mendiskusikan disiplin
ilmu yang menjadi acuan sistem informasi. Pada awal perkembangannya, sistem informasi
utamanya didasarkan pada bidang rekayasa atau teknik, ilmu komputer, teori sistem
sibernetik, matematika, sains manajemen, dan teori keputusan perilaku (behavioural decision
theory).

Para peneliti berhasil membuat program yang mirip manusia dengan menggunakan
kemampuan komputer, yang akan mendukung gagasan bahwa manusia dapat dipahami
(sampai tingkat yang signifikan) sebagai perangkat pengolah informasi.

Ada upaya menarik untuk menerapkan metodologi simulasi komputer secara lebih
luas pada kepribadian. Dalam pendekatan seperti itu, konstruksi teoretis diterjemahkan ke
dalam model komputer, dan "perilaku" model diperiksa di bawah berbagai kondisi. Misalnya,
model simulasi jaringan saraf (di mana sejumlah besar elemen program sederhana
digabungkan untuk menghasilkan hasil) telah digunakan untuk membuat "Kepribadian
Virtual" (Read & Miller, 2002). Model tersebut dapat mempelajari hubungan antara situasi
yang berbeda dan perilaku yang sesuai dalam situasi tersebut.

Bahkan ketika komputer tidak diprogram oleh psikolog untuk memiliki kepribadian,
karakteristik manusia biasanya dianggap berasal dari komputer. Manusia cenderung
mengantropomorfisasi mesin yang kompleks. Misal "Komputer mengira saya ingin
memformat ulang seluruh dokumen," atau "Program sedang mencoba mencetak surat," atau
"alat statistik mencampuradukkan variabel dependen dan independen saya." Para peneliti
mengaitkan tujuan, keyakinan, dan kondisi mental dengan mesin karena cara mereka
memproses informasi. Maksudnya, kondisi seperti itulah ketika kita mengamati diri kita
sendiri atau orang lain dalam suatu tindakan.

sebuah hubungan antara manusia dan komputer yang mempunyai karakteristik tertentu untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dengan menjalankan sebuah sistem yang bertopengkan sebuah
antarmuka (interface).

Seiring berkembangnya teknologi pada titik di mana komputer dapat menilai


kepribadian manusia, tanpa memberikan alat tes kepribadian. komputer hanya perlu melacak
perilaku kita, seperti tweet di Twitter, riwayat belanja, dan "like" di Facebook. ada studi yang
menemukan bahwa like di Facebook dapat dianalisis untuk menghasilkan pandangan tentang
kepribadian manusia yang lebih akurat daripada kepribadian yang dinilai oleh teman-teman
Facebook (Youyou et al., 2015).
Pada awalnya pengembangan komputer lebih difokuskan pada peningkatan
kemampuan dan kecanggihan peralatan komputer, sedangkan dari aspek manusia sebagai
user kurang diperhatikan. hal-hal sederhana seperti kenyamanan dan kemudahan dalam
menggunakan komputer jarang diperhatikan. Oleh karena itu, faktor interaksi manusia dan
komputer pun menjadi salah satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan.

2.2.2 Turing Test

Setelah Perang Dunia II, ketika komputer primitif pertama kali dikembangkan,
matematikawan Inggris Alan Turing mengusulkan tes standar untuk menilai apakah komputer
dapat mensimulasikan manusia secara memadai. Banyak orang yang takut akan
perkembangan AI yang nantinya akan merusak kehidupan manusia, dan banyak yang skeptic
akan kemungkinan AI bisa cukup pintar untuk menggantikan umat manusia.

Pada tahun 1950, Alan Turing seorang matematikawan, Peneliti Komputer, dan
Filsafat membuat suatu pengujian yang bernama Turing Test. Turing Test adalah uji yang
yang diberikan kepada suatu mesin untuk melihat kepintaran mesin tersebut. Uji ini
ditunjukan untuk menilai apakah perilaku mesin dan perilaku manusia bisa begitu mirip
sampai tidak bisa dibedakan. Cara uji ini bekerja adalah, seorang pengevaluasi akan mulai
melakukan suatu percakapan dengan 2 individu, salah satu dari 2 individu tersebut adalah
mesin, pengevaluasi akan memulai percakapan dengan kedua individu tersebut menggunakan
media yang mesin tersebut bisa akmodasi seperti Text ( Sound tidak disarankan karena dinilai
belum cukup baik untuk di lakukan turing test), Jika pengevaluasi tidak bisa membedakan
antara kedua individu tersebut, maka mesin tersebut berhasil melewati Turing Test dan dapat
dinilai, memiliki perilaku layaknya manusia. Uji ini merupakan salah satu pengujian yang
paling terkenal dalam Filsafat AI.
ada beberapa kelebihan dari tes turing ini, diantaranya :

 Kemudahan
Turing Test  memberikan kemudahan karena yang menentukan mesin tersebut adalah
persepsi dari pengevaluasi. Tanpa harus membuat standard “Berpikir” dan
“Kesadaran” itu apa.

 Keluasan Subjek dan topik


Karena uji ini berfokus kepada percakapan dengan pertanyaan dan topik yang kadang
berubah-ubah, spesifik, umum, dan lain-lain, Uji ini mengharuskan mesin untuk
bukan hanya mengerti kalimat, melainkan juga mengerti topik pembicaraan.
 Dapat menilai estetika pada mesin
Karena uji ini berfokus kepada percakapan dengan pertanyaan dan topik yang kadang
berubah-ubah, spesifik, umum, dan lain-lain, Pengevaluasi dapat bertanya mengani
hal-hal puitis atau metafora dan bahkan seni. Uji ini dapat menilai apakah mesin
tersebut mengerti tentang estestika manusia

Meskipun punya banyak kelebihan, tes turing pun mempunyai kelemahan juga yaitu :

 Kenaifan Pengevaluasi
Karena standard uji ini ditentukan oleh kemampuan pengevaluasi, tingkat seberapa
kritis evaluasi menjadi standar yang tidak dapat disama ratakan.

Sistem informasi adalah sebuah disiplin baru yang belum sepenuhnya mapan, seperti
disiplin matematika atau ekonomi. Karenanya, sebelum membahas tentang metodologi
penelitian sistem informasi, pengetahuan dan pemahaman tentang lingkup kajian bidang
sistem informasi sangat diperlukan. Pengetahuan ini akan memberikan perspektif yang lebih
luas dalam memandang hubungan antara disiplin sistem informasi dengan disiplin yang lain.

Aspek hubungan manusia-komputer mulai dipandang sebagai aspek penting. IMK


mulai berkembang setelah PD II. Mula-mula ilmu yang berkaitan adalah biomekanik,
antropometri, penelitian mengenai penglihatan, kemudian bergeser ke arah prinsip-prinsip
pengembangan representasi informasi.

Sejak saat itu, para ahli di bidang sistem informasi banyak mendiskusikan disiplin
ilmu yang menjadi acuan sistem informasi. Pada awal perkembangannya, sistem informasi
utamanya didasarkan pada bidang rekayasa atau teknik, ilmu komputer, teori sistem
sibernetik, matematika, sains manajemen, dan teori keputusan perilaku (behavioural decision
theory). para ahli di bidang sistem informasi mempunyai latar belakang pendidikan dalam
sikap disiplin ini. Sehingga, tidak mengherankan, jika disiplin ini dianggap mendasari sistem
informasi (Keen, 1980; Mendelson, Ariav, DeSanctis, & Moore, 1987).

2.3. Proses Pembelajaran Kognitif didalam Perspektif Islam


Belajar merupakan hal yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup.
Dalam kegiatan belajar tersebut, diperlukan suatu cara dan juga teori untuk menghasilkan
tujuan belajar yang baik. Adapun cara belajar dalam al-Qur'an salah satunya adalah meniru.
Kemudian dalam teori belajar yuang dikemukakan Albert Bandura, perilaku individu
dikatakan sebagai hasil interaksi antara lingkungan dan kognitif individu. Belajar sosial dan
moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh (modelling).

2.3.1. Metode pembelajaran sosial kognitif dalam Islam


2.3.1.1. Meniru

Manusia akan belajar banyak perilaku dan kebiasaannya pada awal kehidupannya
dengan cara meniru kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Misalnya, mulai belajar
bahasa dengan mencoba meniru kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya dengan
mengucapkan beberapa patah kata diulang beberapa kali dihadapannya. Ia juga akan belajar
jalan dengan mencoba meniru kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya saat mereka
berdiri tegak serta menggerakkan kedua telapak kaki dan betisnya. Begitulah manusia akan
belajar banyak kebiasaan dan perilakunya dengan cara meniru anggota keluarganya. Karena
anak adalah imitator ulung. Jika orang tua sebagai pendidik berperilaku jujur, dapat
dipercaya, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang
dilarang agama, maka anak akan tumbuh dalam kejujuran, dan terbentuk dengan akhlak
mulia.

Al-Qur‟an mengemukakan satu contoh bagaimana manusia belajar dengan meniru


perilaku binatang, yakni saat Qabil membunuh Habil, dimana ia tidak tahu apa yang harus
dilakukan pada mayat saudaranya itu. Allah kemudian mengirim seekor burung gagak yang
menggali tanah untuk menguburkan gagak lainnya yang sudah mati. Dari burung gagak itulah
Qabil belajar cara menguburkan mayat adiknya. Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk
memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusya dia menguburkan mayat
saudaranya.Qabil berkata, “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu seperti burung gagak
ini, hingga aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” maka jadilah dia termasuk orang
yang menyesal. (QS. Al-Maidah: 31)

Nabi SAW itu sudah menjadi teladan yang baik bagi para sahabat. Mereka mengikuti
dan belajar dari beliau tidak terbatas pada tata cara peribadahan saja, tetapi mereka juga
senantiasa belajar dari beliau cara berperilaku baik, berakhlak mulia, dan etika pergaulan
sesama manusia secara umum. Banyak contoh yang diberikan oleh Nabi yang menjelaskan
bahwa orang (dalam hal ini terutama guru) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus
memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, Nabi tidak hanya memegang
komando; dia juga ikut berperang, menggali parit perlindungan. Dia juga menjahit sepatunya,
pergi berbelanja ke pasar, dan lain-lain. Al- Qur’an pun memerintahkan manusia untuk
meneladani Rasulullah SAW dan belajar darinya.Sebagaimana firman Allah SWT: QS. Al-
Ahzab: 21

Artinya: Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang
banyak mengingat Allah.(QS. Al-Ahzab: 21)

2.3.1.2. Pengalaman Praktis dan trial and error

Dengan pengalaman praktisnya manusia belajar menghadapi persoalan hidup dan berupaya
mengatasinya. Dalam kehidupannya, manusia senantiasa dihadapkan kepada situasi-situasi baru yang
belum diketahui sebelumnya, bagaimana memberi respon terhadap situasi itu, atau bagaimana harus
bertindak. Ia akan memberikan respon yang berbeda-beda, terkadang tepat atau kadang keliru.
Demikianlah manusia senantiasa belajar lewat metode trial and error.

Dalam banyak ayat, Al-Qur‟an memacu manusia untuk mengadakan perjalanan di bumi serta
mengamati dan memikirkan ayat-ayat Allah SWT yang ada di alam semesta. Tak disangkal lagi,
perhatian Al-Qur‟an dengan mendorong manusia untuk mengadakan observasi dan pemikiran perihal
alam semesta serta segala makhluk yang ada di dalamnya secara jelas menunjukkan perhatian Al-
Qur‟an untuk mendorong manusia belajar dengan cara mengadakan observasi terhadap berbagai
objek, pengalaman praktis, dalam kehidupan, dan juga melalui interaksi mereka dengan alam serta
segala makhluk dan peristiwa yang terjadi di dalamnya. Semua itu dapat dilakukan, baik melalui
pengalaman praktis, trial and error , atau pun melalui proses pemikiran.
Al-Qur’an memberikan dorongankepada manusia untuk mengadakan perjalanan
dan pengamatan terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta, agar mereka
mendapat pengalaman. Firman Allah SWT:

Artinya: Katakanlah: "Berjalanlah di bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai


penciptaan makhluk, Kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sesungguh, Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Al-Ankabut: 20)

2.3.1.3. Berpikir

Manusia belajar melalui berpikir. Dalam pikirannya ia mempertimbangkan berbagai


solusi bagi persoalannya tersebut. Ia akan menyingkirkan solusi yang kurang tepat, dan
memilih serta mencari solusi yang dianggap tepat dan benar. Dengan proses berpikir manusia
mempelajari solusi-solusi baru bagi persoalan yang dihadapinya, menemukan hubungan antara
berbagai hal dan peristiwa, membuat prinsip atau teori baru, memperoleh ide-ide untuk menciptakan
hal-hal yang baru. Karena itu, sebagian psikologi modern menamakan proses berpikir sebagai proses
belajar tertinggi.

Allah SWT. mendorong manusia untuk memikirkan alam, memperhatikan fenomena-


fenomena alam yang beragam, serta merenungkan keindahan ciptaan-ciptaan-Nya dan
keterpaduan sistem- Nya. Allah SWT. juga mendorong manusia untuk memperoleh ilmu
pengetahuan yang beragam. Dorongan untuk mengadakan observasi, berpikir, meneliti, dan
memperoleh ilmu tersebut, kita temukan pada banyak tempat dalam Al-Qur’an. Contohnya
yaitu:

Artinya:190)”sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam


dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berakal. 191) (yaitu) orang-orang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):“Ya Tuhan kami, tidakkah
Engkau menciptakan semua ini sia-sia, Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab
neraka.(QS. Ali Imran: 190-191)

2.3.2. Prinsip-prinsip belajar menurut al-Qur’an

Al-Qur’an banyak memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran. Hal ini dapat


dipahami, karena proses belajar akan bermakna jika memperhatikan prinsip-prinsip belajar,
dan akan menemukan kegagalan jika prinsip-prinsip belajar tidak diperhatikan.

2.3.2.1. Prinsip Motivasi


Motivasi (motivation) memiliki peranan yang sangat penting dalam belajar. Seseorang
yang belajar akan sangat ditentukan oleh motivasinya. Jika memiliki motivasi yang
kuat, maka orang tersebut akan mencurahkan segala kemampuannya untuk
mempelajari hal-hal tertentu, hingga ia mendapatkan atau mengetahuinya. Dalam
pembinaan spiritual kaum muslimin, Al-Qur’an menggunakan bermacam metode dalam
membangkitkan motivasi mereka untuk belajar. Al-Qur’an juga memanfaatkan peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi yang membangkitkan motivasi untuk belajar. Al-Qur‟an
menggunakan metode targhib dan tarhib (reward and punishment) serta menggunakan
cerita-cerita untuk mengunggah ketertarikan. Contohnya pahala akan diberikan kepada
seseorang yang berbuat kebaikan, dan hukuman atau siksaan diberikan kepada seseorang
yang berbuat dosa. Firman Allah SWT.

Artinya: 9) Allah Telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan


yang beramal saleh, (bahwa) mereka ampunan dan pahala yang besar. 10) Adapun
orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni
neraka. (QS. Al-Maidah: 9-10)
2.3.2.2. Prinsip Pengulangan
Perilaku yang dilakukan secara berulang akan melahirkan kebiasaan, karena
kebiasaan adalah perilaku yang diulang. Dengan adanya pengulangan, maka akan
memudahkan tertanamnya konsep, fakta, informasi, pemahaman, dan pemikiran ke
dalam benak (memori otak) peserta didik. Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak
informasi yang diulang-ulang, yang diungkapkan dalam berbagai ayat, baik yang
redaksinya sama maupun yang mirip. Hal ini terutama terkait dengan informasi atau
ayat tentang tauhid (keimanan), ibadah, perkara-perkara ghaib, serta ayat-ayat tentang
kisah para nabi dan umat terdahulu. Contohnya, seruan pada tauhid dan mengibadahi
Allah SWT diulang empat kali dalam surat Hud. Dalam surat tersebut, Al-Qur’an
menyebutkan apa yang dikatakan beberapa nabi terdahulu saat mereka mengajak kaumnya
pada keyakinan tauhid.
2.3.2.3. Prinsip Perhatian
Adanya perhatian merupakan faktor penting
dalam pembelajaran. Jika belajar lepas dari perhatian, maka akan terjadi
pengaburan informasi yang diterima, sehingga informasi-informasi yang
disampaikan tidak bisa dipahami. Dalam rangka membangkitkan perhatian
inilah, Al-Qur’an banyak menampilkan kisah-kisah umat terdahulu, agar
para pembaca memerhatikan isinya, kemudian mengambil hikmah
atau ta’bir (pelajaran)-nya, sebagai suatu pemandangan dalam
benaknya yang datang secara berulang dan silih berganti satu demi satu. Al-
Qur‟an telah menyebutkan pentingnya perhatian dalam menyerap informasi-
informasi seperti dalam firman Allah SWT berikut:

Artinya: sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.(QS. Al-Qaf: 37)
2.3.2.4. Partisipasi Aktif
Dalam Al-Qur‟an, dapat ditemukan prinsip partisipasi aktif. Hal itu jelas dari metode
yang dipergunakan Al-Qur‟an dalam mengajari kaum muslimin tentang karakteristik
diri yang terpuji serta akhlak dan kebiasaan perilaku yang utama melalui praktik
dengan menugasi mereka melaksanakan bermacam-macam ibadah. Wudhu dan
melaksanakan shalat pada waktu-waktu tertentu setiap hari mengajari orang-orang
muslim kebersihan, ketaatan, keteraturan, kesabaran, dan ketekunan. Al-Qur‟an telah
memberikan intensif pada aspek pengajaran kaum muslimin tentang keimanan dan
akidah dengan mengarahkan mereka pada amal saleh. Dengan demikian, keimanan
yang benar itu mesti diungkapkan dalam perilaku dan amal seorang mukmin. Hal ini
diungkapkan dalam Al-Qur‟an:

Artinya: sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan,


melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Tuhannya. tidak ada rasa takut terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(QS. Al-Baqarah: 277)
2.3.2.5. Dilakukan secara bertahap
Melepaskan beberapa kebiasaan buruk yang sudah mengakar sekian lama
sehingga kebiasaan buruk itu mendarah daging dalam perilaku manusia bukanlah
sesuatu yang ringan. Oleh sebab itu, cara paling baik yang dapat diikuti untuk
menanggalkan kebiasaan- kebiasaan buruk yang sudah mengakar adalah berupaya
untuk melepaskannya secara bertahap. Metode pembentukan juga telah dipergunakan
dalam mengajari anak beberapa respon yang sulit. Hal- hal ini dilakukan dengan
membentuk respon-respon tersebut padanya secara bertahap. Respon tersebut
diajarkan melalui pengajaran bertahap atas bermacam respon yang wajar, dan secara
bertahap mengarah pada pembentukan respon yang diinginkan. Metode ini seperti
yang digunakan Al-Qur‟an dalam menghilangkan kebiasaan minum khamr dan riba.
2.3.2.6. Pembagian Belajar
Beberapa studi eksperimen yang diadakan para psikolog modern
mengungkapkan bahwa pembagian belajar atau latihan ke dalam rentang waktu yang
berjauhan diselingi waktu istirahat akan membantu mempercepat belajar dan
memantapkannya dalam memori. Belajar yang dihasilkan dengan menggunakan
metode pembagian itu lebih utama ketimbang belajar yang dihasilkan dengan metode
terpusat. Metode terpusat adalah belajar yang tuntas dalam rentang waktu yang
bersambungan tanpa diselingi waktu istirahat.
Prinsip ini sudah diterangkan dalam Al-Qur‟an sebab AlQur‟an diturunkan dalam
selang waktu yang berjauhan dan rentang masa yang panjang sekitar 23 tahun. Hal itu
menjadikan manusia dapat mempelajari Al-Qur‟an dengan gampang dan dapat memahami
kandungannya. Hal itu juga membantu penyempurnaan dalam mempelajari, memahami, dan
menghafal Al-Qur‟an. Jika Al-Qur‟an diturunkan sekaligus, niscaya sulit untuk mempelajari
serta memahami makna dan tujuan Al-Qur‟an.

Artinya: Dan Al Quran itu Telah (kami turunkan) dengan berangsur- angsur
agar kamu (Muhammad) membacakannya perlahan- lahan kepada manusia dan
kami menurunkannya secara bertahap.(QS. Al-Isra: 106)
KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan berikut ini.
(1) Belajar menurut Teori Belajar Bandura yaitu, seseorang dapat belajar dari mengamati dan
meniru perilaku orang lain yang ada di sekitarnya. Dalam belajar observasional ini ada empat
proses yang mempengaruhi belajar observasional yaitu: proses atensional (perhatian),
retensional (pengingatan), pembentukan perilaku, dan motivasional. (2) Para peneliti berhasil
membuat program yang mirip manusia dengan menggunakan kemampuan komputer, yang
akan mendukung gagasan bahwa manusia dapat dipahami (sampai tingkat yang signifikan)
sebagai perangkat pengolah informasi. Bahkan ketika komputer tidak diprogram oleh
psikolog untuk memiliki kepribadian, karakteristik manusia biasanya dianggap berasal dari
komputer. Manusia cenderung mengantropomorfisasi mesin yang kompleks. (3) Metode
belajar menurut Al-Qur‟an ada tiga yaitu: belajar dengan meniru, pengalaman praktis atau
trial and error, dan berpikir. Adapun prinsip belajar menurut Al-Qur‟an yaitu: prinsip
motivasi, prinsip pengulangan, prinsip perhatian, partisipasi aktif, dilakukan secara bertahap,
dan pembagian belajar.
DAFTAR PUSTAKA

Aisah, A. S. (2017) Belajar Dengan Meniru Atau Keteladanan (Studi Komparatif Antara Belajar

Menurut Al-Qur’an Dan Teori Belajar Bandura). IAIN Ponorogo.

Bandura, A. (1962). Social Learning through Imitation. In M. R. Jones (Ed). Nebraska Symposium on
Motivation, 211-269.
Mischel, W., Shoda, Y., & Ayduk, O. (2008). Introduction to Personality; Toward an Integrative
Science of the Person 3th Edition. Amerika: John Wiley & Sons, Inc.
Yanuardianto, E. (2019). Teori Kognitif Sosial Albert Bandura (Studi Kritis dalam Menjawab
Problem Pembelajaran di MI). Jurnal Auladuna, 1-18.
Avison, D. E., dan Myers, M. D. (1997). Information Systems and Anthropology: An
Anthropological Perspectives on IT and Organizational Culture.

Anda mungkin juga menyukai