Anda di halaman 1dari 15

KOMPETENSI UTAMA

MATRA MEDIS EMERGENCY

INITIAL ASSESSMENT

1. SCENE SURVEY
Langkah pertama dalam prinsip penatalaksanaan kegawatdaruratan adalah dengan
meninjau kondisi medan penyelamatan atau lokasi kejadian. Keselamatan diri, partner
kerja, dan orang lain di sekitar lokasi kejadian selalu menjadi prioritas utama. Sebelum
menjangkau korban, periksa kemungkingan adanya bahaya bagi penolong. Jangan
memaksakan jika kondisi tidak memungkinkan. Tahapan scene survey, antara lain:
1. Memastikan keadaan lingkungan
a. Consider
Mempertimbangkan segala informasi mengenai medan penyelamatan dari
orang-orang sekitar. Misalnya informasi dari saksi mata kejadian yang
terpercaya.
b. Observe
Mengamati secara langsung kondisi medan seperti binatang buas, orang-
orang mencurigakan, jalan keluar penyelamatan, dan lain-lain.
c. Think
Selalu memikirkan rencana cadangan jika terjadi perubahan situasi.
Misalnya keadaan cuaca yang memburuk atau terjadi bencana susulan.
2. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan
mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya
atau Pak !!! / Bu!!! / Mas!!!/Mbak !!!.
3. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan,
segera minta bantuan dengan cara berteriak "Tolong !!!" untuk mengaktifkan
sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.
4. Memperbaiki posisi korban/pasien.
Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam
posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban
ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi
terlentang. Ingat! Penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan
antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah
terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur
yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.
2. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber
daya yang tersedia serta mengatur prioritas pengelolaan korban dalam jumlah yang
banyak. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABC (Airway dengan kontrol servikal,
Breathing dan Circulation dengan kontrol perdarahan) yang merupakan proses yang
bersinambungan sepanjang pengelolaan medik gawat darurat. Proses triase inisial harus
dilakukan oleh petugas pertama yang tiba atau berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
2.1 Prinsip-prinsip triase sebagai berikut:
2.1.1 Derajat ancaman jiwa
Pasien yang terancam jalan pernapasannya, lebih diprioritaskan dari pada
pasien yang terganggu sirkulasi atau neurologinya
2.1.2 Beratnya cedera
Sebagai contoh, fraktur pada satu tulang prioritas lebih rendah
dibandingkan bias fraktur tersebut disertai dengan perdarahan
2.1.3 Kemungkinan terselamatkan
Pasien dengan cedera hebat tidak selalu menduduki prioritas utama, harus
dipertimbangkan kemungkinan pasien akan bertahan hidup atau tidak.
2.1.4 Sumber daya
Pasien yang kebutuhannya melampaui kapabilitas sumber daya, mendapat
prioritas rendah sampai kebutuhan sumber daya tersebut terpenuhi.
2.1.5 Waktu, jarak, lingkungan
Cedera yang dapat dikelola dengan cepat, meskipun beratnya cedera
tergolong ringan dan ancamannya minimal terhadap jiwa, dapat mempunyai
prioritas tinggi karena pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengatasi
masalah yang teridentifikasi. Jarak dan faktor lingkugan dalam perjalanan
membawa pasien ke tempat terapi definitif juga perlu dipertimbangkan.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit praRS, mekanisme
cedera, usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut.
Temuan yang mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera
multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan
kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
2.2 Dua jenis keadaan triase dapat terjadi:
2.2.1 Multiple Causalties
Musibah massal dengan jumlah pasien dan beratnya cedera tidak
melampaui kemampuan RS. Dalam keadaan ini pasien dengan masalah yang
mengancam jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
2.2.2 Mass Causalties
Musibah massal dengan jumlah pasien dan beratnya luka melampaui
kemampuan RS. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah
pasien dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan
waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit.
2.3 Tag Triage
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas
triase untuk mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik
terhadap korban.
2.3.1 Prioritas Nol (Hitam) :
Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin diresusitasi.
2.3.2 Prioritas Pertama (Merah) :
Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta tindakan
medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera
torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
2.3.3 Prioritas Kedua (Kuning) :
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang berat
dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal :
cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi,
fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak
berat, serta luka bakar ringan).
2.3.4 Prioritas Ketiga (Hijau) :
Pasien dengan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi
ekstremitas, cedera maksilo fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta
gawat darurat psikologis).
3. PRIMARY SURVEY
Proses ini merupakan ABCDE-nya trauma dan berusaha untuk mengenali
keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan
berikut:
A airway : menjaga jalan napas dengan kontrol servikal
B breathing : menjaga pernapasan dengan ventilasi
C circulation : bantuan sirkulasi dengan kontrol perdarahan
D disability : status neurologis
E exposure : buka baju pasien, tetapi cegah hipotermia
3.1 A (AIRWAY) Jalan Napas
3.1.1 Pemeriksaan jalan napas.
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas
oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat
dibuka dengan teknik cross finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan
jari telunjuk pada mulut korban.

3.1.3 Ingat
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bahwa
tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada leher bila dicurigai
adanya kelainan vertebra servikalis. Jika ada, maka harus dipakai alat
imobilisasi.
3.2 B (BREATHING) Bantuan napas
Terdiri dari 2 tahap :
3.2.1 Memastikan korban/pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi
napas dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong
harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil
tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan
tidak boleh melebihi 10 detik.
3.2.2 Memberikan bantuan napas.
Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan
melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang
yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas
sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
hembusan adalah 1,5 - 2 detik dan volume udara yang dihembuskan
adalah 7000 - 1000 ml (10 ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat
mengembang serta mendengar dan merasakan udara yang keluar pada
ekspirasi . Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 - 17%. Penolong juga
harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan
napas.
Cara memberikan bantuan pernapasan :
1. Mulut ke mulut
Pemakaian alat pelindung dan masker tetap merupakan pilihan
utama. Keputusan untuk melakukan pernapasan buatan dari mulut
ke mulut bersifat personal. Bantuan pernapasan dengan
menggunakan cara ini merupakan cara yang tepat dan efektif untuk
memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada saat
dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus
dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak
terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong
harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan
jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan orang dewasa
adalah 700-1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang berlebihan
dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara
memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung. Selain itu
terdapat bahaya bagi penolong yaitu penyebaran penyakit,
kontaminasi bahan kimia dan muntah penderita.

2 . Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban
tidak memungkinkan, misalnya pada trismus atau dimana mulut korban
mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung,
penolong harus menutup mulut korban/pasien.
3. Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma)
yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien
mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari
mulut ke stoma.

3.3 C (CIRCULATION)

3.3.1 Terdiri atas 3 penemuan klinis

1. Tingkat kesadaran

Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang


akan mengakibatkan penurunan kesadaran.

2. Warna kulit

Warna kulit dapat memberikan diagnosis hipovolemia. Pasien


trauma dengan warna kulit kemerahan terutama pada wajah dan
ekstrimitas jarang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, jika wajah
pucat keabu-abuan dan kulit ekstrimitas pucat merupakan tanda
hipovolemia.

3. Nadi

Periksalah pada nadi yang besar seperti a.femoralis atau a.karotis.


Nadi yang tidak cepat, teratur dan kuat menandakan normo-volemia,
biasanya nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan jantung dan
tidak ditemukan pulsasi pada arteri besar yang merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi segera untuk memperbaiki volume dan cardiac
output. Cara pemeriksaan a.carotis dapat ditentukan dengan meraba arteri
karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan
(jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan
atau kiri kira-kira 1 - 2 cm raba dengan lembut selama 5 - 10 detik. Jika
teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk
menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan
pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas

3.3.2 RJP (Resusitasi Jantung Paru)

Jika tidak teraba nadi dalam 10 detik, mulai lakukan kompresi dada
(LIHAT BAB 2)

3.4 D (DISABILITY) Neurologic Evaluation

Penilaian meliputi tinkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda


lateralisasi dan tingkat cedera spinal. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh trauma
langsung pada otak atau penurunan oksigenasi ke otak, jika terjadi penurunan harus
dilakukan reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. GCS (Glasgow
Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat menilai derajat/tingkat
kesadaran penderita dengan kriteria yang secara kuantitatif dan terpisah yaitu respon
membuka mata (E), respon motorik terbaik (M), dan respon verbal terbaik (V).

3.4.1 Cara Penilaian Skala Koma Glasgow

Dalam kasus gangguan kesadaran maka auto anamnesis masih dapat


dilakukan, hal ini terjadi pada kasus dimana gangguan kesadaran masih bersifat
ringan, pasien masih dapat menjawab pertanyaan hasil auto anamnesis ini dapat
dimanfaatkan untuk menetapkan adanya gangguan kesadaran yang bersifat
psikiatrik, termasuk sendrom otak organik atau gangguan kesadaran yang bersifat
neorologik (dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif kedalam GCS).
Respon perilaku dalam pemeriksaan GCS meliputi respon membuka mata, respon
verbal dan respon motorik. Glasgow Coma Scale meliputi pengkajian reflek :

1. Respon membuka mata

Penilaian membuka mata meliputi evaluasi terhadap keadaan


terjaga, aspek pertama dari kesadaran. Jika mata pasien tertutup, maka
keadaan terjaga pasien dinilai berdasarkan derajat stimulasi yang
diperlukan agar pasien dapat membuka matanya. Membuka mata (terjaga
selalu menjadi pengukuran pertama yang dilakukan sebagai bagian dari
GCS karena tanpa hal tersebut kognisi tidak dapat terjadi. Membuka mata
pasien tidak dapat dilakukan jika mata penderita membengkak. Skor
penilaiannya adalah :

A. Nilai 4
Membuka mata secara spontan, mata membuka tanpa harus
diperintah atau disentuh (respon optimal).
B. Nilai 3
Mata membuka sebagai respon terhadap stimulus verbal
(biasanya nama pasien) tanpa menyentuh pasien. Observasi
mulai dari volume suara yang normal dan naikkan volume
suara jika diperlukan dengan mengatakan perintah yang jelas.
C. Nilai 2
Mata membuka sebagai responterhadap nyeri sentral,
misalnya penekanan trapezium, tekanan suborbital
(direkomendasikan), sternal rub (menekan dan memutar diatas
sternum. Stimulus nyeri hanya dilakukan jika pasien gagal
merespon terhadap perintah yang jelas dan keras.
D. Nilai 1
Mata tidak membuka walaupun dengan stimulus verbal dan
nyeri sentral.
Cara melakukan stimulus nyeri sentral meliputi :
i. Cubitan trapezium
Dengan cara menggunakan cubitan ibu jari dan jari
telunjuk pada sekitar 5cm otot trapezius (diantara kepala
dan bahu dan diputar).
ii. Tekanan suborbital
Teknik pelaksanaannya letakkan satu jari disepanjang
margin supraorbital (pada tepi tulang disepanjang puncak
mata) sampai menemukan takik atau lekukan. Tekanan
pada daerah ini akan menyebabkan nyeri yang menyerupai
jenis nyeri kepala. Kadang-kadang hal ini dapat membuat
pasien meringis yang menyebabkan penutupan dan bukan
pembukaan mata. Catatan : tidak boleh dilakukan jika
pasien mengalami fraktur wajah.
iii. Sternal rub teknik
Pelaksanaannya tekan dengan kuat sternum
menggunakan kuku-kuku jari. Catatan dapat dilakukan
dengan metode lain karena pada metode ini dapat
meninggalkan bekas pada kulit.
2. Respon verbal
Penilaian respons verbal mencakup evaluasi kewaspadaan,
aspek kedua dari kesadaran. Pada respons ini dilakukan penilaian
secara komprehensif dari apa yang dilakukan oleh praktisi dan
dilakukan evaluasi terhadap area yang berfungsi pada pusat yang
lebih tinggi serta kemampuan untuk mengatakan dan
mengekspresikan jawaban Disfasia atau ketidak mampuan
berbicara dapat disebabkan oleh kerusakan pada pusat bicara di
otak,misalnya setelah pembadahan intrakranial atau cedera kepala.
Memastikan ketajaman pendengaran pasien dan pemahaman
bahasa sebelum menilai respons ini merupakan hal yang penting.
Ketidakmampuan berbicara mungkin tidak selalu menunjukan
penurunan tingkat kesadaran.Selain itu,beberapa pasien mungkin
membutuhkan stimulasi yang banyak untuk mempertahankan
konsentrasi mereka ketika menjawab pertanyaan. Banyaknya
stimulasi yang diperlukan harus dicatat sebagai bagian dari
penilaian dasar. Skor penilaiannya adalah sebagai berikut:
A. Nilai 5
Orientasi baik, pasien dapat mengatakan kepada praktisi
siapa mereka, dimana mereka, dan hari, tahun, serta bulan saat
ini (hindari menggunakan hari keberapa dari hari minggu ini
atau tanggal).
B. Nilai 4
Konfusi (bingung), pasien dapat melakukan percakapan
dengan praktisi, namun tidak dapat menjawab secara akurat
terhadap pertanyaan yang diberikan.
C. Nilai 3
Kata-kata yang tidak tepat, pasien cenderung menggunakan
kata-kata tunggal dari pada suatu kalimat dan tidak terdapat
percakapan dua arah.
D. Nilai 2
Suara yang tidak dimengerti, respons pasien diperoleh
dalam bentuk suara-suara yang tidak jelas seperti ruangan atau
gumaman tanpa kata-kata yang dapat dimengerti. Stimulus
verbal dan juga stimulus nyeri mungkin diperlukan untuk
mendapatkan respons dari pasien. Jenis pasien ini tidak
waspada terhadap lingkungan sekitarnya.
E. Nilai 1
Tidak ada respon, tidak didapatkan respon dari pasien
walaupun dengan stimulus verbal maupun fisik. Catatan : catat
sebagai “D” jika pasien mengalami disfasiadan “T” jika pasien
menggunakan selang trakeal atau trakeostomi.
3. Respon Motorik
Respon motorik dirancang untuk memastikan kemampuan pasien
untuk mematuhi perintah dan untuk melokalisasi, menarik, atau merasakan
posisi tubuh yang abnormal sebagai respon terhadap stimulus nyeri. Jika
pasien tidak merespon dengan mematuhi perintah, maka respon terhadap
stimulus nyeri harus dinilai. Respon melokalisasi yang benar adalah pasien
mengangkat lengannya setinggi dagu, misalnya menarik masker oksigen.
Untuk membangkitkan respon ini direkomendasikan untuk melakukan
cubitan trapezium, tekanan rigi supraorbital, atau tekanan pada tepi rahang.
Untuk menghindari cidera jaringan lunak, maka setimulus diberikan
tidak lebih dari sepuluh detik kemudian dilepaskan. Selain itu ketika
memberikan stimulus, paling baik dimulai dengan tekanan yang ringan
kemudian ditingkatkan sampai respon terlihat, yang penilaianya sebagai
berikut :
A. Nilai 6
Pasien mematuhi perintah, minta pasien untuk menjulurkan lidah,
jangan minta pasien untuk hanya meremas tangan anda karena hal ini
dapat menampilkan respon genggam primitif, pastikan perawat
meminta mereka untuk melepasnya. Hal ini penting untuk memastikan
bahwa respon yang didapat bukan hanya suatu gerakan reflek, sangat
penting untuk meminta pasien melakukan dua perintah yang berbeda.
B. Nilai 5
Melokalisasi pusat nyeri,jika pasien tidak merespon terhadap
stimulusverbal, pasien dengan sengaja menggerakan lengan untuk
menghilangkan penyebab nyeri. Tekanan rigi supraorbital dianggap
merupakan tehnik yang paling dapat dipercaya karena paling kecil
kemungkinannya untuk terjadi kesalahan interpretasi.
C. Nilai 4
Menarik diri dari nyeri : pasien melakukan fleksi atau melipat
lengan menuju sumber nyeri namun gagal melokalisasi sumber nyeri.
Tidak ada rotasi pergelangan tangan.
D. Nilai 3
Fleksi terhadap nyeri : pasien memfleksikan atau melipat lengan.
Ini ditandai oleh rotasi internal dan aduksi bahu dan fleksi pada siku
dan jauh lebih lambat dari pada fleksi normal.
E. Nilai 2
Ekstensi terhadap nyeri pasien mengekstensiakn lengan dengan
meluruskan siku,kadang kadang disertai dengan rotasi internal bahu
dan pergelangan tangan,kadang kadang disebut sebagai postur
deserebrasi.
F. Nilai 1
Tidak ada respons, tidak ada respons terhadap stimulus nyeri yang
internal.
Glasgow coma scale berguna/bermanfaat untuk evaluasi dan penatalaksanaan
pasien dengan gangguan kesadaran pasca trauma, juga untuk menentukan
prognosis perawatan suatu penyakit. Penilaian GCS pada penderita dengan cedera
kepala disamping untuk melakukan observasi juga untuk mengetahui faktor-faktor
penyebab gangguan kesadaran. Selanjutnya nilai tiap – tiap pemeriksaan
dijumlahkan, nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4 V5 M6 dan terendah
adalah 3 yaitu E1 V1 M1. Biasanya, pasien dengan nilai GCS dibawah 5 ialah
pasien emergensi yang sulit dipertahankan keselamatannya.
Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk
menentukan derajat trauma/cedera kepala (trauma capitis).
3.5. E (EXPOSURE) Kontrol lingkungan
Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya dengan cara menggunting
untuk memeriksa dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, segera
menyelimuti pasien agar tidak hipotermia. Pasien bisa dipakaikan selimut hangat,
ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan.
Jadi, yang terpenting adalah suhu tubuh pasien, bukan rasa nyaman petugas
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai