Anda di halaman 1dari 18

PRAKTEK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TILIK INSIAL ASSESMENT

DOSEN PENGAMPU :

Roza Marlinda, Ns, S.Kep, MSN

DI SUSUN OLEH KELOMPOK 1 :


Widya Rahmah 1902020
Indah Permata Afmi 1902030
Rara Fardha Ridia 1902030

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

STIKES SYEDZA SAINTIKA

T.A 2022/2023
INITIAL ASSESSMENT

A. Pengertian insial assessment


Initial Assessment adalah proses penilaian awal pada penderita trauma
disertai pengelolaan yang tepat guna untuk menghindari kematian.
Pengertian lain initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada
penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi.
Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang
mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan initial assessment
(penilaian awal).
Initial assesment meliputi :

1) Persiapan
2) Triage
3) Survey primer
4) Resusitasi
5) Survey Sekunder
6) Pengawasan dan evaluasi ulang
7) Terapi definitive
B. Langkah-langkah pada initial assessment :
1) Persiapan

Persiapan pada penderita berlangsung dalam dua fase yang berbeda,


yaitu fase pra rumah sakit / pre hospital, dimana seluruh penanganan
penderita berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit.
Fase kedua adalah fase rumah sakit/hospital dimana dilakukan
persiapan untuk menerima penderita sehingga dapat dilakukan resusitasi
dengan cepat.

a. Fase pra rumah sakit


Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas di
lapangan akan menguntungkan penderita. Pada fase pra rumah sakit,
hal yang perlu diperhatikan adalah penjagaan airway, kontrol
pendarahan dan syok, imobilisasi penderita dan segera dibawa ke
rumah sakit terdekat dengan fasilitas yang memadai.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan meliputi :
 Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan
kondisi dan jenis perlukaannya.
 Penjagaan jalan nafas, kontrol perdarahan dan imobilisasi penderita.
 Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya
Yang harus dilakukan oleh seorang paramedik adalah :
 Menjaga airway dan breathing.
 Kontrol perdarahan dan syok.
 Imobilisasi penderita.
 Pengiriman ke rumah sakit terdekat yang cocok.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari.
Selain itu juga penting mengumpulkan keterangan yang nanti
dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian, sebab
kejadian, mekanisme kejadian, serta riwayat penderita. Sehingga
dapat ditentukan jenis dan berat dari trauma.

b. Fase rumah sakit

Pada fase rumah sakit perlu dilakukan perencanaan sebelum


penderita tiba, sebaiknya ada ruangan khusus resusitasi serta
perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube) yang sudah
dipersiapkan. Selain itu, perlu dipersiapkan cairan kristaloid (mis :
RL) yang sudah dihangatkan, perlengkapan monitoring serta tenaga
laboratorium dan radiologi. Semua tenaga medik yang berhubungan
dengan penderita harus dihindarkan dari kemungkinan penularan
penyakit menular dengan cara penganjuran menggunakan alat-alat
protektif seperti masker/face mask, proteksi mata/google, baju kedap
air, sepatu dan sarung tangan kedap air.
2) Triase

Triage adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita berdasar


pada beratnya cedera yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya
gangguan pada A (Airway), B (Breathing) dan C (Circulation). Triage
adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan
prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Penderita yang
mengalami gangguan jalan nafas (airway) harus mendapatkan prioritas
penanganan pertama mengingat adanya gangguan jalan nafas adalah
penyebab tercepat kematian pada penderita.
Dalam prinsip triage diberlakukan sistem prioritas, prioritas adalah
penentuan / penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul
dengan seleksi pasien berdasarkan :
1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
2) Dapat mati dalam hitungan jam
3) Trauma ringan
4) Sudah meninggal. Pada umumnya penilaian korban dalam triase
dapat dilakukan dengan :
a. Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
b. Menilai kebutuhan medis
c. Menilai kemungkinan bertahan hidup
d. Menilai bantuan yang memungkinkan
e. Memprioritaskan penanganan definitif
f. Tag warna

1. Prinsip-prinsip triage :
“Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sependek
mungkin), The Right Patient, to The Right Place at The Right Time
serta melakukan yang terbaik untuk jumlah terbanyak” dengan
seleksi korban berdasarkan :
 Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit

 Dapat mati dalam hitungan jam

 Trauma ringan

 Sudah meninggal
a. Menentukan prioritas dari korban yang hidup
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan
mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat
ancaman jiwa yang timbul.
Tingkat prioritas :
 Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat
dan biru untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai
kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension
pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan
dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25%
 Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam
nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak/abdomen,
laserasi luas, trauma bola mata.
 Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti
pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-
luka ringan.
 Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh
henti jantung kritis, trauma kepala kritis.
2. Penilaian dalam triage
 Primary survey (A,B,C) untuk menghasilkan prioritas I dan
seterusnya
 Secondary survey (Head to Toe) untuk menghasilkan prioritas I,
II, III, 0 dan selanjutnya
 Monitoring korban akan kemungkinan terjadinya perubahan-
perubahan pada A, B, C, derajat kesadaran dan tanda vital
lainnya.
 Perubahan prioritas karena perubahan kondisi korban
3. Perencanaan triage
 Persiapan sebelum bencana
 Pengorganisasian personal (bentuk tim triage)
 Pengorganisasian ruang/tempat
 Pengorganisasian sarana/peralatan
 Pengorganisasian suplai
 pelatihan
 komunikasi

a. Pemimpin triage Hanya melakukan :


 Primary survey
 Menentukan prioritas
 Menentukan pertolongan yang harus diberikan
Keputusan triage harus dihargai. Diskusi setelah tindakan.
Hindari untuk tidak memutuskan sesuatu. Pemimpin triage
tidak harus dokter, perawat pun bisa atau orang yang
terlatih tergantung sumber daya manusia di tempat
kejadian.
b. Tim triage
 Bertanggung jawab
 Mencegah kerusakan berlanjut atau semakin parah
 Pilah dan pilih korban
 Memberi perlindungan kepada korban.
c. Dokumentasi / rekam medis triage
 Informasi dasar : nama, umur, jenis kelamin, cedera,
penyebab cedera, pertolongan pertama yang telah diberikan
 Tanda-tanda vital : tensi, nadi, respirasi, kesadaran
 Diagnosis singkat tapi lengkap
 Kategori triage
 Urutan tindakan preoperatif secara lengkap
d. Perhatian
 Jika fasilitas kurang memadai maka lebih diutamakan yang
potensial selamat. Contoh : jika korban label merah lebih
potensial selamat maka label biru dapat berubah menjadi
label hitam
 Dalam keadaan bencana, lebih baik memberi bantuan lebih
daripada kurang
 Pikirkan kemungkinan yang paling buruk sehingga dapat
mempersiapkan lebih baik.
C. Survey Primer (Primary Survey)
Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara
cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera berat dengan prioritas
pada ABCD, fase ini harus dikerjakan dalam waktu singkat dan
kegawatan pada penderita sudah harus dapat ditegakkan pada fase ini.
Pada primary survey dilakukan usaha untuk mengenali keadaan yang
mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada urutan berikut :
A : Airway
Yang pertama kali harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Hal ini
meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang disebabkan
oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maxilla, fraktur laring/trakhea. Usaha untuk membebaskan airway
harus melindungi vertebra servikal (servical spine control), dimulai
dengan melakukan chin lift atau jaw trust. Jika dicurigai ada kelainan
pada vertebra servikalis berupa fraktur maka harus dipasang alat
immobilisasi serta dilakukan foto lateral servikal. Pemasangan airway
definitif dilakukan pada penderita dengan gangguan kesadaran atau
GCS (Glasgow Coma Scale) ≤ 8, dan pada penderita dengan gerakan
motorik yang tidak bertujuan.
Obstruksi terbagi menjadi 2 :
1) Obstruksi airway totalis : yaitu penghambatan jalan nafas secara
total, biasanya karena tersedak. Jika pasien tidak sadar, bisa terjadi
sianosis, dan resistensi terhadap nafas buatan. Jika pasien sadar,
pasien akan terlihat berusaha bernafas dan memegang lehernya
dalam keadaan sangat gelisah, bisa ditemukan sianosis.
2) Obstruksi airway parsial : yaitu penghambatan jalan nafas karena :
 Cairan seperti darah, cairan serosa.
 Terdengar bunyi gurgling atau seperti orang berkumur-kumur
 Lidah jatuh ke belakang, terdengar bunyi “snoring” atau
seperti oragn mengorok
 Penyempitan laring/trakea biasanya karena edema leher.
 Terdengar bunyi „crowing‟ atau bunyi highpitched karena
penyempitan tersebut.
 Pengelolaan Jalan Napas (Airway Management) Tanpa Alat
Pengertian : tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan
napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan
masuknya udara ke paru secara normal sehingga menjamin
kecukupan oksigenase tubuh
1. Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya
retraksi sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi penolong
Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan
pernafasan. Dilakukan secara simultan.

 Tindakan
Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal
 Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)

 Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)


 Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)
 Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :
 Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara

mengatasi : chin lift, jawthrust, pemasangan pipa


orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
 Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring.
Cara mengatasi
: finger sweep, pengisapan/suction.
 Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi :

cricotirotomi, trakeostomi.
 Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :
 Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara

mengatasi : chin lift, jawthrust, pemasangan pipa


orofaring/nasofaring, pemasangan pipa endotrakeal.
 Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring.

Cara mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.


 Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi :

cricotirotomi, trakeostomi.
2. Membersihkan jalan nafas
Dengan cara : Sapuan jari (finger sweep)
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada
rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah,
muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.
Cara melakukannya :
 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang
leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu
ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
 Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau
dibungkus dengan sarung tangan/kassa/kain untuk
membersihkan rongga mulut dengan gerakan menyapu.
Mengatasi sumbatan nafas parsial
 Dapat digunakan teknik manual thrust:
 Abdominal thrust
 Chest thrust
 Back blow
 Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :
 Gelisah oleh karena hipoksia
 Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
 Gerak dada dan perut paradoksal
 Sianosis
 Kelelahan dan meninggal
B: Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan
diafragma. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan
dan dilakukan auskultasi untuk memastikan masuknya udara ke dalam
paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam
rongga pleura. Sedangkan inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan
kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Trauma yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat
adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan kontusio paru dan open
pneumotoraks. Sedangkan trauma yang dapat mengganggu ventilasi
dengan derajat lebih ringan adalah hematothoraks, simple pneumothoraks,
patahnya tulang iga, dan kontusio paru.
Pengelolaan yang dilakukan :
1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
2. Ventilasi dengan Bag Valve Mask
3. Menghilangkan tension pneumothorax
4. Menutup open pneumothorax
5. Memasang pulse oxymeter
C: Circulation
1. Volume darah dan cardiac output
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang dapat diatasi
dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan
hipotensi pada trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia
sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan
penilaian yang cepat dari status hemodinamik penderita yang meliputi:
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang yang
mengakibatkan penurunan kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah pucat keabu-abuan dan kulit ekstremitas yang pucat
merupakan tanda hipovolemia.
c. Nadi
Perlu dilakukan pemeriksaan pada nadi yang besar seperti arteri
femoralis atau arteri karotis kiri dan kanan untuk melihat
kekuatan nadi, kecepatan, dan irama. Nadi yang tidak cepat,
kuat, dan teratur, biasanya merupakan tanda normovolemia.
Nadi yang cepat dan kecil merupakan tanda hipovolemia,
sedangkan nadi yang tidak teratur merupakan tanda gangguan
jantung. Apabila tidak ditemukan pulsasi dari arteri besar maka
merupakan tanda perlu dilakukan resusitasi segera.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal dihentikan dengan penekanan pada luka. Sumber
perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thoraks,
abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat
fraktur pelvis, atau sebgai akibat dari luka dada tembus perut.

D : Disability / neurologic evaluation


Pada tahapan ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda- tanda lateralisasi dan tingkat atau level cedera spinal.
GCS / Glasgow Coma Scale adalahsistem skoring sederhana dan dapat
meramal outcome penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh
penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak, atau disebabkan
trauma langsung.
Menilai adanya gangguan fungsi otak dan kesadaran (penurunan
suplai oksigen ke otak). Bertujuan untuk dapat mengetahui fungsi otak/
kesadaran dengan metode AVPU dan GCS
Metode AVPU :
1.Penilaian sederhana ini dapat digunakan secara cepat
A = Alert/Awake : sadar penuh
V = Verbal stimulation :ada reaksi terhadap perintah
P = Pain stimulation : ada reaksi terhadap nyeri
U = Unresponsive :
tidak bereaksi 2.Dan
penilaian ukuran serta
reaksi pupil :
-Ukuran dalam millimeter
-Respon terhadap cahaya / reflek pupil : ada / tidak, cepat atau lambat
-Simetris / anisokor.
E: Exposure/environmental

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, biasanya dengan cara


menggunting dengan tujuan memeriksa dan mengevaluasi penderita.
Setelah pakaian dibuka penderita harus diselimuti agar tidak kedinginan.
4. Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan pengelolaan cepat pada yang mengancam nyawa
merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup.

A. Airway
Pada penderita yang masih sadar dapat dipakai nasofaringeal airway.
Bila penderita tidak sadar dan tidak ada refleks batuk (gag refleks)
dapat dipakai orofaringeal airway.

B. Breathing
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor
mekanik, ada gangguan ventilasi dan atau ada gangguan kesadaran,
dicapai dengan intubasi endotrakheal baik oral maupun nasal. Surgical
airway / krikotiroidotomi dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal
tidak memungkinkan karena kontraindikasi atau karena masalah
teknis.

C. Circulation
Bila ada gangguan sirkulasi harus dipasang minimal dua IV line.
Kateter IV yang dipakai harus berukuran besar. Pada awalnya
sebaiknya menggunakan vena pada lengan. Selain itu bisa juga
digunakan jalur IV line yang seperti vena seksi atau vena sentralis. Pada
saat memasang kateter IV harus diambil contoh darah untuk
pemeriksaan laboratorium rutin serta pemeriksaan kehamilan pada
semua penderita wanita berusia subur.

Pada saat datang penderita diinfus cepat dengan 2-3 liter cairan
kristaloid, sebaiknya Ringer Laktat. Bila tidak ada respon, berikan
darah segulungan atau (type specific). Jangan memberikan infus RL
dan transfusi darah terus menerus untuk terapi syok hipovolemik.
Dalam keadaan harus dilakukan resusitasi operatif untuk menghentikan
perdarahan.

5. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe
examination), termasuk re- evaluasi pemeriksaan tanda vital.

A. Anamnesis
Setiap pemeriksaan lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat
perlukaan. Biasanya data ini tidak bisa didapat dari penderita
sendiri dan harus didapat dari keluarga atau petugas lapangan.
Riwayat AMPLE
A: Alergi
M: Medikasi (obat yang diminum saat ini)
P: Past Illness (penyakit
penyerta) / pregnancy L: Last
meal
E: Even / environment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan

Mekanisme perlukaan sangat menentukan keadaan penderita. Jenis


perlukaan dapat diramalkan dari mekanisme kejadian perlukaan itu.
Trauma biasanya dibagi menjadi beberapa jenis:
1. Trauma tumpul
Dapat disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh dan kegiatan
rekreasi atau pekerjaan. Keterangan yang penting yang dibutuhkan
kecelakaan lalu lintas mobil adalah pemakaian sabuk pengaman,
deformasi kemudi, arah tabrakan, kerusakan kendaraan baik kerusakan
major dalam bentuk luar atau hal – hal yang berhubungan dengan
perlengkapan penumpang, dan terlemparnya keluar penumpang. Pola
perlukaan pada pasien dapat diramalkan dari mekanisme traumanya.
Trauma perlukaan juga sangat dipengaruhi usia dan aktivitas.
2. Trauma tajam
Trauma tajam akibat pisau atau benda tajam dan senjata api semakin
sering ditemukan. Faktor yang menentukan jenis dan berat perlukaan
adalah daerah tubuh yang terluka, organ yang terkena dan velositas /
kecepatan. Dengan demikian maka velositas, caliber, arah dan jarak
dari senjata merupakan informasi yang sangat penting diketahui.
3. Trauma termal
Luka bakar dapat terjadi sendiri atau dalam kombinasi dengan trauma
tumpul atau trauma tajam akibat mobil terbakar, ledakan, benda yang
terjatuh, usaha penyelamatan diri ataupun serangan pisau dan senjata
api. Cedera dan keracunan monoksida dapat menyertai luka bakar.
Secara khusus perlu ditanyakan tempat terjadinya kejadian perlukaan
(ruang tertutup / terbakar) atau bahan yang ikut terbakar (bahan
kimia, plastik, dsb) dan perlukaan lain yang menyerta.
Hipotermia akut atau kronik dapat menyebabkan kehilangan panas
umum atau local. Kehilangan panas dalam jumlah besar dapat terjadi
walaupun tidak dalam suhu yang terlalu dingin (15-20Oc) yaitu bila
penderita memakai pakaian yang basah, tidak bergerak aktif atau
minum alcohol, sehingga tubuh tidak bisa menyimpan panas.
4. Trauma kimia, toksin dan radiasi
Kontak dengan bahan kimia, toksin atau radiasi perlu diketahui karena
dua sebab. Pertama disebabkan karena bahan – bahan ini dapat
mengakibatkan berbagai macam kelainan pada jantung, paru atau
organ tubuh lainnya. Kedua, bahan ini dapat berbahaya bagi tenaga
kesehatan yang merawat pasien tersebut.

B. Pemeriksaan Fisik

6. Tambahan terhadap secondary survey


Dalam melakukan secondary survey, dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostic yang lebih spesifik seperti misalnya foto tambahan dari tulang
belakang serta ekstremitas, CT-Scan kepala, dada, abdomen dan spine,
urografi dan angiografi, USG transesofageal, bronkoskopi, esofagoskopi
dan prosedur diagnostic lain.

7. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinambungan


Penurunan keadaan dapat dikenali apabila dilakukan evaluasi ulang
secara terus menerus, sehingga gejala yang baru timbul, segera dapat
dikenali dan dapat ditangani secepatnya. Monitoring tanda vital dan
produksi urin sangat penting. Produksi urin pada orang dewasa sebaiknya
dijaga ½ cc/kgBB/jam, pada anak 1cc/kgBB/jam.
Penanganan rasa nyeri merupakan hal yang penting. Rasa nyeri dan
ketakuatan akan timbul pada penderita trauma, terutama pada perlukaan
muskulo-skeletal. Golongan opiat atau anxiolitika harus diberikan secara
intravena dan sebaiknya jangan intra-muskular.

8. Penanganan definitif
Untuk keputusan merujuk penderita dapat dipakai Interhospital Triage
Criteria. Kriteria ini memakai data fisiologis penderita, cedera anatomis,
mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi prognosis.
TILIK INITIAL ASSESSMENT

Pengertian Survei Tindakan penilaian secara cepat fungsi vital penderita berdasarkan prioritas, diikuti
Primer resusitasi dan stabilisasi
Indikasi Pasien yang mengalami kegawatdaruratan trauma dan non trauma
Tujuan  Untuk mengetahui secara cepat kondisi korban
 Untuk dapat memberikan penanganan yang cepat pada korban yang mengalami
kondisi yang mengancam kehidupan
 Untuk meminimalkan tingkat kerusakan/ tingkat keparahan korban
Petugas  Dokter
 Perawat Registtered Nurse (RN)
 Perawat Emergency/ Paramedik
Persiapan Alat  Alat Pelindung Diri (APD) : Masker, Sarung Tangan
Persiapan Pasien Amankan pasien dan lingkungan
Prosedur :
1. Evaluasi kondisi lingkungan tempat kejadian. Amankan pasien dan penolong dan bahaya lingkungan
2. Penolong memasang APD, terutama untuk penolong yg berasal dari team ambulance pre hospital
3. Kaji respon/ kesadaran dengan Sapa atau panggil korban dengan suara yang keras lalu tepuk dan
goyang tubuh korban.
4. Kaji kemungkinan pasien mengalami fraktur cervical dengan melihat tanda-tanda luka di kepala,
mata lebam, hidung dan telinga berdarah, ada fraktur clavicula. Riwayat trauma menunjang untuk
fraktur cervical. Jika ada fraktur cervical segera pasang collar cervical (collar neck).
5. A. Kaji kepatenan Airway (saluran pernafasan pasien/mulut korban, dengan :
a. Lihat :
 Apakah ada benda asing di mulut korban
 Apakah ada penyumbatan jalan nafas
 Adakah pergerakan dada – perut waktu bernafas
 Lihat apakah bibir sianosis
b. Dengar :
 Suara nafas korban, apakah normal, adakah suara nafas hilang
c. Raba :
 Dekatkan pipi penolong dengan hidung mulut korban. Apakah terasa hembusan nafas korban dari
hidung/ mulut.
6. B. Kaji kemampuan bernafas (Breathing) dengan melakukan :
d. Lihat :
 Perdakah sianosis
 Adakah jejas di dada.
e. Dengar :
 Tempelkan pipi penolong ke hidung korban, sambil mendengarkan suara nafas korban, apakah
normal, menurun, menghilang, atau suara nafas tambahan
f. Raba :
 Apakah ada hawa ekspirasi
 Palpasi dada korban, pakah ada udema, nyeri tekan.
7. Kaji kondisi sirkulasi darah korban dengan melakukan :
 Raba nadi arteri carotis, rasakan denyutannya, jika tidak teraba maka lakukan RJP
 Raba nadi Arteri radialis, hitung frekuensinya, tachicardi atau tidak.
 Raba ekstremitas, yang banyak terba dingin atau tidak
 Lihat apakah ada luka, dan perdarahan yang banyak
8. Kaji tingkat kesadaran dan status neurologis korban dengan melakukan
 Alert, Verbal respon, Pain respon, Unresponse
 Lihat respon pupil korban

9. Kaji kondisi cedera tambahan (exposure) dengan melakukan :


a. Tindakan Log Roll (nilai bagian belakang) dilakukan secara team, jika ada fraktur servical, minta
bantuan orang lain untuk memfiksasi kepala dan leher
b. Buka pakaian belakang, jika kesulitan gunting pakaian korban,lihat jejas, luka-luka, perubahan
bentuk tulang dll dari punggung, panggul s/d kaki bagian belakang.
c. Rapikan pakaian korban, perintahkan team untuk mendekatkan tandu ke punggung korban.
d. Kembalikan posisi korban ke posisi semula lalu selimuti korban untuk mencegah hipotermia
e. Catat kelainan yang ditemukan terutama yang mengancam jiwa.
10. Buat keputusan apakah korban dalam kategori :
1) Kritis (Critical) : ( Semua A, B, C Negatif )
 Cardiac Arrest, Respiratory Arrest
2) Tidak Stabil (Unstable) : Salah dua dari A, B, C, D & E Negatif)
 Kesulitan bernafas dan jalan nafas tidak paten, trauma kepala dan dada yang berat,shock, nyeri
dada yang hebat, fraktur tulang panjang, diduga meningitis, luka tusuk pada dada, leher, abdomen
dan genetalia, penurunan kesadaran, luka bakar > 10 % orang dewasa, luka bakar > 5 % untuk
anak-anak.
3) Resiko tidak stabil (Potential Unstable) : Salah satu dari A, B, C, D & E Negatif)
 Trauma yang serius, injury yang tersembunyi, injury ekstremitas dengan kerusakan saraf dan
sirkulasi, tidak ada tanda=tanda shock, tidak ada komplikasi lainnya.
4) Stabtable) : Semua A, B, C, D & E Positif
 Injury yang kecil (minor) dengan tanpa perdarahan yang banyak, tidak ada kerusakan saraf dan
sirkulasi, tidak ada tanda-tanda shock, tidak ada komplikasi lainnya.
11. Untuk korban yang kritis dan tidak stabil segera ditransportasi dan diobati, dilakukan pencatatan
tanda-tanda vital. Bila kondisi korban telah stabil, maka dilakukan survey sekunder.
12. Untuk korban yang resiko tidak stabil stabil, dilakukan pencatatan tanda-tandavital dan survey
sekunder.

Anda mungkin juga menyukai