Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PRINSIP UTAMA PERTOLONGAN

KORBAN KECELAKAAN DAN TENGGELAM

DOSEN PENGAMPU:

ALIT SUWANDEWI, Ns., M.Kep.

DISUSUN OLEH:

FITRIA NORKHALIDA (1614401110047)

MUTIA ADELINE (1614401110053)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN KELAS INTERNASIONAL

2017/2018
1. DEFINISI PERTOLONGAN PERTAMA

Pertolongan pertama adalah pemberian pertolongan segera kepada penderita sakit


atau cidera yang memerlukan bantuan medis dasar. Medis dasar yang dimaksud di sini
adalah tindakan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran yang dapat dimiliki orang
awam. Pemberian medis dasar ini dilakukan oleh penolong yang pertamna kali tiba di
tempat kejadian yang memiliki kemampuan dan terlatih dalam penanganan medis.

Pemberian pertolongan pertama memiliki 3 tujuan utama. Pertama, pemberian


pertolongan ini bertujuan untuk menyelamatkan jiwa korban. Hal ini penting untuk
korban yang tegolong dalam kasus darurat/significant. Kedua, pemberian pertolongan
bertujuan untuk mencegah cacat permanen. Yang terakhir, pemberian pertolongan ini
bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman pada korban. Rasa aman dan
nyaman ini menunjang proses penyembuhan. Seseorang yang memiliki kompetensi
dalam memberikan pertolongan pertama wajib memberikan pertolongan jika
menemukan korban yang membutuhkan bantuan, baik itu korban trauma (benturan),
korban medis (keracunan atau sebab yang lain), ataupun kombinasi keduanya.

2. PRINSIP UTAMA PERTOLONGAN KORBAN KECELAKAAN


Pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan mempunyai prinsisp-prinsip yang
harus dipatuhi baik oleh penolong maupun korban. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak
menyalahi perlakuan yang semestinya diberikan kepada korban kecelakaan. Adapun
prinsip pertolongan pertama pada kecelakaan adalah
a. Memberikan perasaan tenang kepada korban kecelakaan
b. Mencegah atau mengurangi rasa takut dan gelisah korban kecelakaan
c. Mengurangi bahaya yang lebih besar.
d. Tidak merasa bisa untuk memberikan pertolongan pada korban kecelakaan
e. Mempunyai pengetahuan tentang pertolongan pertama pada kecelakaan
f. Mampu melihat situasi dan kondisi korban
g. Bekerja dengan tenang

Berdasarkan beberapa prinsip di atas maka jelaslah tugas dari penolong sangat
penting untuk membantu korban kecelakaan.

2.1. Cara Pemberian Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan


Pertolongan pertama pada kecelakaan atau PPPK dapat menolong jiwa
seseorang, jika pertolongan itu dilakukan sebagaimana mestinya. Namun apabila
pertolongan dilakukan dengan tidak benar akan membahayakan korban.
Pertolongan Pada Shock Keadaan shock tergantung dari beratnya kecelakaan.
Orang yang mengalami kecelakaan dan terjadi shock akan berkurang kesadarannya
sampai hilang kesadaran, bahkan bisa sampai meninggal dunia. Usaha pencegahan
dan perbaikan shock adalah:
a. Korban diletakkan terlantang dengan kepala lebih randah dari pada kaki
b. Badan korban dihangatkan
c. Jika korban luka pada perut jangan diberi minum
d. Apabila korban pingsan letakkan amoniak di bawah hidung
e. Mengilangkan perasaan sakit pada korban
f. Memindahkan korban ketempat yang lebih amam dengan hati-hati agar
tidak membahayakan korban.
2.2. Pertolongan Pertama pada Korban Trauma
Yang dimaksud dengan korban trauma adalah korban yang mengalami
gangguan fisik, yaitu berupa benturan dengan benda keras. Penyebab terjadinya
benturan bisa bermacam-macam, seperti jatuh, kejatuhan benda, atau kecelakaan
lalu lintas. Berdasarkan tingkat cideranya, korban trauma dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu trauma ringan (non significant) dan berat (significant). Korban
dikatakan trauma ringan bila mengalami cidera yang kemungkinan kematian dan
cacatnya kecil, seperti terkilir, luka bakar ringan, terpeleset, dan lain-lain. Korban
dikatakan trauma berat jika kemungkinan kematian atau cacat permanennya besar.
Cidera yang dikelompokkan dalam trauma berat antara lain:
 Terlempar dari kendaraan bermotor yang melaju kencang
 Kecelakaan mobil hingga terbalik
 Jatuh dari ketinggian lebih dari 2 m
 Kecelakaan dengan patah tulang besar (seperti tulang paha)
 Kecelakaan banyak penumpang, seorang penumpang meninggal, maka orang di
sebelah orang tersebut dikategorikan trauma berat
 Korban yang tidak sadar dan tidak diketahui mekanisme kejadiannya dianggap
trauma berat

Penanganan korban trauma sedikit berbeda dengan dengan penanganan korban


medis. Pemberian pertolongan pada korban trauma memerlukan pemeriksaan
seluruh bagian tubuh. pemberian pertolongan juga harus ekstra hati-hati apabila
ada indikasi korban mengalami cidera tulang spinal, yaitu cidera tulang belakang
mulai dari tulang leher hingga tulang ekor. Cidera pada tulang spinal merupakan
cidera yang paling sensitif. Jika penanganannya salah, korban bisa meninggal
dunia. Pada dasarnya penanganan korban trauma mengikut langkah-langkah
berikut ini:

a. Penilaian keadaan
Penilaian keadaan merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan
jika menemui korban yang memerlukan bantuan. Hal yang harus dinilai
pertama kali adalah masalah lingkungan, apakah lingkungan aman untuk
memberikan pertolongan atau tidak. Jika tidak, korban bisa dipindahkan ke
tempat yang aman, tentu saja dengan syarat pemindahan tersebut
memungkinkan dan tidak membahayakan korban. Jika korban terindikasi
mengalami cidera spinal, sebaiknya pemindahan dilakukan oleh orang yang
sudah berpengalaman dan dengan peralatan yang sesuai karena cidera spinal
membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati.
Setelah lingkungan dirasa aman, langkah selanjutnya adalah
mengumpulkan informasi mengenai kejadian yang dialami korban. Informasi
ini dapat diperoleh dari korban atau saksi mata. Langkah terakhir pada
penilaian keadaan ini adalah meminta bantuan, terutama bantuan untuk
merujuk korban ke instalasi kesehatan terdekat.
b. Penilaian dini
Penilaian dini adalah pemeriksaan awal terhadap korban. Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang bersifat mendasar, berhubungan dengan
kelangsungan hidup korban, sehingga harus segera dilaksanakan. Penilaian dini
meliputi:
- pemeriksaan kesadaran korban
Tingkat kesadaran korban dapat dibagi menjadi 4 kelompok,
yaitu awas/kesadaran penuh, respon terhadap suara, respon terhadap
nyeri, dan tidak sadar sama sekali. Dalam pemeriksaan ini buatlah tes
terhadap penglihatan, misal dengan menggerakkan jari di depan korban.
Jika korban memberi tanggapan, berarti korban dalam keadaan sadar.
Jika tidak, pemeriksaan dilanjutkan dengan tes suara, misal dengan
dipanggil. Jika ada tanggapan, maka korban respon terhadap suara. Jika
tidak, korban bisa distimulasi dengan rasa sakit dengan cara mencubit
lengan atas bagian dalam, dekat ketiak, atau dengan menekan dada. Jika
ada tanggapan, dilihat dari perubahan raut muka atau tanda-tanda sakit
yang lain, maka korban respon terhadap nyeri. Jika tidak ada tanggapan,
maka korban benar-benar tidak sadar.
- Pemeriksaan saluran nafas (airway)
Pemeriksaan saluran nafas bertujuan untuk membebaskan dan
membuka jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara membuka
mulut dan mengamati apakah ada benda yang berpotensi menyumbat
saluran pernafasan. Jika ada, benda tersebut harus dikeluarkan. Jika
tidak, langkah selanjutnya adalah menekan dahi dan mengangkat dagu
korban sehingga kepala korban berada pada posisi tengadah. Posisi ini
akan mempertahankan terbukanya saluran pernafasan.
Pembukaan saluran pernafasan dengan menekan dahi dan
mengangkat dagu tidak bisa dilakukan pada korban yang mengalami
patah tulang leher. Untuk korban seperti ini, pembukaan saluran
pernafasan dilakukan dengan metode jaw thrus, yaitu dengan
mendorong rahang korban ke depan (posisi rahang seperti cakil).
- Pemeriksaan nafas (breathing)
Pemeriksaan nafas bertujuan untuk mengetahui apakah korban
bernafas dengan normal atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
cara mendekatkan telinga dan pipi penolong ke hidung korban dan mata
penolong tertuju pada dada atau perut korban. Lihat pergerakan dada
atau perut saat korban bernafas, dengar suara nafas korban, rasakan
hembusan udara yang keluar dari hidung, dan hitung jumlah hembusan
nafas korban selama 5 detik. Apabila pada pemeriksaan nafas ini
diketahui korban tidak bernafas, berikan nafas buatan dengan cara
meniup mulut korban dan menutup hidungnya setiap 5 detik.
- Pemeriksaan sistem sirkulasi darah (circulation)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa jantung
korban berfungsi dengan baik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
menyentuh nadi karotis di leher selama 3 – 5 detik. Jika tidak ada
denyut nadi, lakukan resusitasi jantung paru.
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengetahui cidera yang
dialami korban. pemeriksaan ini berprinsip pada 2 hal, yaitu
menyeluruh pada semua bagian tubuh dan dilakukan secara sistematis
dan berurutan. Pemeriksaan dilakukan dengan penglihatan (inspeksi),
perabaan (palpasi), dan pendengaran (auskultasi). Keberadaan cidera
pada korban dapat diketahui melalui adanya perubahan bentuk
(berhubungan dengan cidera otot dan tulang), luka, nyeri,atau bengkak.
c. Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah pertolongan yang diberikan
pada korban. Pertolongan diberikan berdasarkan prioritas luka yang dialami
korban. Prioritas tersebut meliputi (urutan menunjukkan urutan penanganan):
1) henti jantung dan nafas, ditolong dengan resusitasi jantung paru
2) pendarahan, ditolong dengan pengendalian pendarahan
3) luka bakar, ditolong dengan perawatan khusus luka bakar
4) patah tulang, dislokasi sendi dan tulang, ditolong dengan immobilisasi
dan fiksasi
5) tidak sadar, ditolong dengan pemberian rangsangan hingga sadar
2.3. Pertolongan Pada Pendarahan
Pertolongan pertama pada korban yang mengalami pendarahan harus tepat,
sehingga perlu memperhatikan letak pandarahan yang terjadi. Pendarahan di
Kepala.

Gambar 1

Apabila terjadi pendarahan di kepala maka penolong perlu menekan arteri


yang manyilang pada tulang. Tempat yang harus ditekan adalah antara luka dengan
jantung. Gambar di atas adalah titik tempat menekan arteri apabila terjadi
pendarahan di kepala. Di bawah ini adalah cara penekanan apabila terjadi
pandarahan.

Gambar 2

Pendarahan di atas mata tekan di depan telinga.


Gambar 3

Pendarahan pada pipi tekan pada lekuk rahang bawah Pendarahan di Leher

Gambar 4

Pendarahan pada leher dengan meletakkan ibu jari di belakang leher dan jari-
jari pada pinggir tenggorokan. Penekanan pada jari-jari kearah ibu jari. Pendarahan
di Lengan dan Bagian Tubuh Lain.
Gambar 5

Pendarahan pada lengan bawah tekan pada arteri antara siku dengan ketiak.

Gambar 6

Pendarahan pada bahu, ketiak dan lengan atas penekanan pada tulang rusuk
yang pertama.

Gambar 7
Pendarahan pada paha, betis, dan tungkai bawah penekanan pada arteri dekat
lipatan paha.

Gambar 8

Apabila terjadi pendarahan hebat maka dapat menggunakan tourniquet


seperti pada gambar di atas, akan tetapi perlu memperhatikan cara penggunaannya.
2.4. Pertolongan Pada Henti Nafas
Henti nafas adalah suatu kecelakaan dimana korban harus segera diberi
pertolongan, karena korban dapat mati dalam hitungan detik. Jenis pertolongan
pada henti nafas adalah sebagai berikut: Sylvester Pemberian pertolongan dengan
cara ini yaitu korban diletakkan terlentang dengan muka dimiringkan. Penolong
berlutut dengan satu kaki diatas kepala dan memegang diatas siku korban.
Kemudian kedua lengan korban diangkat dan diturunkan kembali sampai
menyentuh lantai. Seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar 9 Schafer

Pemberian pertolongan dengan cara ini yaitu korban diletakkan telungkup


dengan muka dimiringkan. Penolong berlutut melangkahi pantat korban, angkat
pantat korban dan dorong badan ke depan.
Gambar 10 Holger dan Nielsen

Pemberian pertolongan dengan cara ini yaitu korban diletakkan telungkup


dengan muka ada di atas tangan. Penolong berdiri dengan lutut duduk ditumit,
letakkan tangan di punggung korban dan menekan pungung kurban agar udara
dalam paru-paru keluar. Setelah itu segera lengan korban diangkat agar terjadi
penarikan nafas.

Gambar 11

2.5. Pertolongan Pertama Pada Patah Tulang


Pertolongan pada patah tulang tidak boleh sembarangan,karena bisa
memperparah keadaan. Korban jangan sekali-dipindahkan, kecuali memang
darurat. Tulang yang patah jangan ditarik atau dikembalikan keposisi semula,
cukup diberikan bidai atau spalek. Panjang bidai harus melebihi kedua sendi,
ringan dan kuat. Pengikatan bidai pada ujung bukan pada tempat terjadinya patah
tulang.
2.6. Petolongan Pertama Pada Pingsan
Pertolongan pertama pada pingsan tidaklah terlalu susah, tetapi biasanya
penolong yang panik akan memberikan pertolongan yang kurang tepat. Pada
pingsan korban sebaiknya dibawa ketempat yang teduh, dikendorkan semua yang
mengikat tubuh, diberi rangsangan bau pada hidung, dan setelah sadar diberikan air
minim secukupnya.
2.7. Pertolongan Pertama Pada Luka
Luka dapat dijadikan sebagai tempat masuknya penyakit, sehingga perlu
suatu penanganan. Pertolongan pada luka adalah dengan membersihkan luka
dengan alkohol agar tidak terjadi infeksi dan dibalut dengan kasa steril agar tidak
ada kuman yang masuk melalui permukaan luka. Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif yaitu suatu penelitian yang semata-mata melukiskan keadaan obyek atau
peristiwa (Sutrisno Hadi,1991:3).
3. PRINSIP UTAMA PERTOLONGAN KORBAN TENGGELAM
Prinsip pertolongan di air :
1) Raih ( dengan atau tanpa alat ).
2) Lempar ( alat apung ).
3) Dayung ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ).
4) Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ).

Penanganan pada korban tenggelam dibagi dalam tiga tahap, yaitu:

3.1. Bantuan Hidup Dasar


Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus
utama pada perbaikan jalan napas dan oksigenasi buatan, terutama pada korban
yang mengalami penurunan kesadaran. Bantuan hidup dasar pada korban
tenggelam dapat dilakukan pada saat korban masih berada di dalam air. Prinsip
utama dari setiap penyelamatan adalah mengamankan diri penyelamat lalu korban,
karena itu, sebisa mungkin penyelamat tidak perlu terjun ke dalam air untuk
menyelamatkan korban. Namun, jika tidak bisa, penyelamat harus terjun dengan
alat bantu apung, seperti ban penyelamat, untuk membawa korban ke daratan
sambil melakukan penyelamatan. Cedera servikal biasanya jarang pada korban
tenggelam, namun imobilisasi servikal perlu dipertimbangkan pada korban dengan
luka yang berat.
3.2. Penilaian pernapasan
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan
normal setelah pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas
buatan dengan rasio 30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth
to mouth, mouth to nose, mouth to mask, dan mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian napas bantuan
untuk mengurangi hipoksemia. Pemberian napas buatan inisial yaitu sebanyak 5
kali. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih disarankan karena
sulit untuk menutup hidung korban pada pemberian napas mulut ke mulut.
Pemberian napas buatan dilanjutkan hingga 10 – 15 kali selama sekitar 1 menit.
Jika korban tidak sadar dan tenggelam selama <5 menit, pernapasan buatan
dilanjutkan sambil menarik korban ke daratan. Namun, bila korban tenggelam
lebih dari 5 menit, pemberian napas buatan dilanjutkan selama 1 menit, kemudian
bawa korban langsung ke daratan tanpa diberikan napas buatan.
Kompresi dada diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas
dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung
akibat dari hipoksia. Pemberian kompresi ini dilakukan di atas tempat yang datar
dan rata dengan rasio 30:2. Namun, pemberian kompresi intrinsik untuk
mengeluarkan cairan tidak disarankan, karena tidak terbukti dapat mengeluarkan
cairan dan dapat berisiko muntah dan aspirasi.
Selama proses pemberian napas, regurgitasi dapat terjadi, baik regurgitasi air
dari paru maupun isi lambung. Hal ini normal terjadi, namun jangan sampai
menghalangi tindakan ventilasi buatan. Korban dapat dimiringkan dan cairan
regurgitasinya dikeluarkan.
3.3. Bantuan hidup lanjut
Tersedianya sarana bantuan hidup dasar dan lanjutan ditempat kejadian
merupakan hal yang sangat penting karena beratnya cedera pada sistem saraf pusat
tidak dapat dikaji dengan cermat pada saat pertolongan diberikan.
Pastikan keadekuatan jalan napas, pernapasan dan Sirkulasi. Cedera lain juga
harus dipertimbangkan dan perlu tidaknya hospitalisasi ditentukan berdasarkan
keparahan kejadian dan evaluasi klinis. Pasien dengan gejala respiratori, penurunan
saturasi oksigen dan perubahan tingkat kesadaran perlu untuk dihospitalisasi.
perhatian harus difokuskan pada oksigenasi, ventilasi, dan fungsi jantung.
Melindungi sistem saraf pusat dan mengurangi edema serebri merupakan hal yang
sangat penting dan berhubungan langsung dengan hasil akhir.
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan
tekanan lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau
tabung Oksigen. Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah
pemberian oksigen ini, keadaan korban belum membaik, dapat dilakukan intubasi
trakeal.

Penanganan Rumah Sakit

Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori
A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien
kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan
intensif. Penolong juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma
kepala dan leher serta mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah
kejang.

1) Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen
thorax. Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2,
pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan
pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang
tidak mempunyai masalah dapat dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang
bermasalah dapat diobservasi dan diberi pengobatan simptomatik di ruang
perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama 12 sampai 24 jam.
2) Kategori B
Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf
dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain
pemberian oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak
terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B simptometik
untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang
terkontaminasi.
Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi pernapasan dan
neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan.
Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi
setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia yang mengiritasi sehingga korban ini
membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian infus sering diberikan untuk
meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan
isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas
(40-43oC) untuk pasien hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa
memancing timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak pertama pasien
ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang terhisap. Status
neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan biasanya
memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru.
3) Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi.
Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama,
termasuk mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah
kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif.
Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer.
Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali kecepatan pernapasan normal sesuai
dengan usia korban, tekanan espirasi 4 sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus
dilakukan untuk mendapatkan nilai gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100
mmHg atau 20--30 mmHg. Bik-Nat, bronchodilator, diuretik, dan antibiotik
diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian membuktikan bahwa mortalitas
setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai 35%. Surfactan
yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB
diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama priode pengobatan.
Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer
oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada
korban yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan
denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus
diulangi bila tidak memberikan respons yang memuaskan1,5. Apabila tekanan darah
tetap rendah, obat inotropik IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus
digunakan pada pasien yang mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan
pada pasien bradikardi. Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan
untuk menjamin fungsi jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal
diberikan benzodiazepin diikuti dengan pemberian phenobarbital seperti
Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV bisa digunakan untuk pasien
yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien, mengurangi kebutuhan
metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak terencana akibat trauma
jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1 mg/kgBB IV atau
Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi. Pasien
kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan untuk
mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan
neurologis serta dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S, dkk. Kematian akibat
asfiksia mekanik. Dalam: Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007: 64-70.

DiMaio VJ, DiMaio D. Death by drowning. DiMaio VJ, DiMaio D, editors. In: Forensic
pathology second edition. USA: CRC Press LLC; 2001.

Dix J. Asphyxia (suffocation) and drowning. Dix J, editor. In: Color atlas of forensic pathology.
USA: CRC Press LLC; 2000Pendidikan dan Kebudayaan. Alsa, Asmadi. 2003.
Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gabe Mirkin dan Marshall

Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara; 2007:
182-8.

M. Atwi Suparman. 2005. Desain Instruksional. Jakarta: PAU-PPAI

Rijal S. Near Drowning. Bagian Ilmu Anak Universitas Sumatera Utara. 2011. Available at:
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus-2.htm. Accessed: April 2018.

Anda mungkin juga menyukai