DOSEN PENGAMPU:
DISUSUN OLEH:
2017/2018
1. DEFINISI PERTOLONGAN PERTAMA
Berdasarkan beberapa prinsip di atas maka jelaslah tugas dari penolong sangat
penting untuk membantu korban kecelakaan.
a. Penilaian keadaan
Penilaian keadaan merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan
jika menemui korban yang memerlukan bantuan. Hal yang harus dinilai
pertama kali adalah masalah lingkungan, apakah lingkungan aman untuk
memberikan pertolongan atau tidak. Jika tidak, korban bisa dipindahkan ke
tempat yang aman, tentu saja dengan syarat pemindahan tersebut
memungkinkan dan tidak membahayakan korban. Jika korban terindikasi
mengalami cidera spinal, sebaiknya pemindahan dilakukan oleh orang yang
sudah berpengalaman dan dengan peralatan yang sesuai karena cidera spinal
membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati.
Setelah lingkungan dirasa aman, langkah selanjutnya adalah
mengumpulkan informasi mengenai kejadian yang dialami korban. Informasi
ini dapat diperoleh dari korban atau saksi mata. Langkah terakhir pada
penilaian keadaan ini adalah meminta bantuan, terutama bantuan untuk
merujuk korban ke instalasi kesehatan terdekat.
b. Penilaian dini
Penilaian dini adalah pemeriksaan awal terhadap korban. Pemeriksaan
ini merupakan pemeriksaan yang bersifat mendasar, berhubungan dengan
kelangsungan hidup korban, sehingga harus segera dilaksanakan. Penilaian dini
meliputi:
- pemeriksaan kesadaran korban
Tingkat kesadaran korban dapat dibagi menjadi 4 kelompok,
yaitu awas/kesadaran penuh, respon terhadap suara, respon terhadap
nyeri, dan tidak sadar sama sekali. Dalam pemeriksaan ini buatlah tes
terhadap penglihatan, misal dengan menggerakkan jari di depan korban.
Jika korban memberi tanggapan, berarti korban dalam keadaan sadar.
Jika tidak, pemeriksaan dilanjutkan dengan tes suara, misal dengan
dipanggil. Jika ada tanggapan, maka korban respon terhadap suara. Jika
tidak, korban bisa distimulasi dengan rasa sakit dengan cara mencubit
lengan atas bagian dalam, dekat ketiak, atau dengan menekan dada. Jika
ada tanggapan, dilihat dari perubahan raut muka atau tanda-tanda sakit
yang lain, maka korban respon terhadap nyeri. Jika tidak ada tanggapan,
maka korban benar-benar tidak sadar.
- Pemeriksaan saluran nafas (airway)
Pemeriksaan saluran nafas bertujuan untuk membebaskan dan
membuka jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara membuka
mulut dan mengamati apakah ada benda yang berpotensi menyumbat
saluran pernafasan. Jika ada, benda tersebut harus dikeluarkan. Jika
tidak, langkah selanjutnya adalah menekan dahi dan mengangkat dagu
korban sehingga kepala korban berada pada posisi tengadah. Posisi ini
akan mempertahankan terbukanya saluran pernafasan.
Pembukaan saluran pernafasan dengan menekan dahi dan
mengangkat dagu tidak bisa dilakukan pada korban yang mengalami
patah tulang leher. Untuk korban seperti ini, pembukaan saluran
pernafasan dilakukan dengan metode jaw thrus, yaitu dengan
mendorong rahang korban ke depan (posisi rahang seperti cakil).
- Pemeriksaan nafas (breathing)
Pemeriksaan nafas bertujuan untuk mengetahui apakah korban
bernafas dengan normal atau tidak. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
cara mendekatkan telinga dan pipi penolong ke hidung korban dan mata
penolong tertuju pada dada atau perut korban. Lihat pergerakan dada
atau perut saat korban bernafas, dengar suara nafas korban, rasakan
hembusan udara yang keluar dari hidung, dan hitung jumlah hembusan
nafas korban selama 5 detik. Apabila pada pemeriksaan nafas ini
diketahui korban tidak bernafas, berikan nafas buatan dengan cara
meniup mulut korban dan menutup hidungnya setiap 5 detik.
- Pemeriksaan sistem sirkulasi darah (circulation)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa jantung
korban berfungsi dengan baik. Pemeriksaan dilakukan dengan cara
menyentuh nadi karotis di leher selama 3 – 5 detik. Jika tidak ada
denyut nadi, lakukan resusitasi jantung paru.
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengetahui cidera yang
dialami korban. pemeriksaan ini berprinsip pada 2 hal, yaitu
menyeluruh pada semua bagian tubuh dan dilakukan secara sistematis
dan berurutan. Pemeriksaan dilakukan dengan penglihatan (inspeksi),
perabaan (palpasi), dan pendengaran (auskultasi). Keberadaan cidera
pada korban dapat diketahui melalui adanya perubahan bentuk
(berhubungan dengan cidera otot dan tulang), luka, nyeri,atau bengkak.
c. Penatalaksanaan
Yang dimaksud dengan penatalaksanaan adalah pertolongan yang diberikan
pada korban. Pertolongan diberikan berdasarkan prioritas luka yang dialami
korban. Prioritas tersebut meliputi (urutan menunjukkan urutan penanganan):
1) henti jantung dan nafas, ditolong dengan resusitasi jantung paru
2) pendarahan, ditolong dengan pengendalian pendarahan
3) luka bakar, ditolong dengan perawatan khusus luka bakar
4) patah tulang, dislokasi sendi dan tulang, ditolong dengan immobilisasi
dan fiksasi
5) tidak sadar, ditolong dengan pemberian rangsangan hingga sadar
2.3. Pertolongan Pada Pendarahan
Pertolongan pertama pada korban yang mengalami pendarahan harus tepat,
sehingga perlu memperhatikan letak pandarahan yang terjadi. Pendarahan di
Kepala.
Gambar 1
Gambar 2
Pendarahan pada pipi tekan pada lekuk rahang bawah Pendarahan di Leher
Gambar 4
Pendarahan pada leher dengan meletakkan ibu jari di belakang leher dan jari-
jari pada pinggir tenggorokan. Penekanan pada jari-jari kearah ibu jari. Pendarahan
di Lengan dan Bagian Tubuh Lain.
Gambar 5
Pendarahan pada lengan bawah tekan pada arteri antara siku dengan ketiak.
Gambar 6
Pendarahan pada bahu, ketiak dan lengan atas penekanan pada tulang rusuk
yang pertama.
Gambar 7
Pendarahan pada paha, betis, dan tungkai bawah penekanan pada arteri dekat
lipatan paha.
Gambar 8
Gambar 9 Schafer
Gambar 11
Pengobatan dilakukan sesuai dengan kategori klinis. Korban pada pasien kategori
A dan B biasanya hanya membutuhkan perawatan medis supportif, sedangkan pasien
kategori C membutuhkan tindakan untuk mempertahankan kehidupan dan perawatan
intensif. Penolong juga harus mencari dan menangani trauma yang timbul seperti trauma
kepala dan leher serta mengatasi masalah yang melatarbelakanginya seperti masalah
kejang.
1) Kategori A
Pertolongan dimulai dengan memberikan oksigen, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan PaO2 arteri, PaCO2, pH, jumlah sel darah, elektrolit, serta rontgen
thorax. Pada asidosis metabolik yang belum terkompensasi, dapat diberikan O2,
pemanasan, dan pemberian Bik-Nat. Infiltrat kecil pada paru tidak memerlukan
pengobatan apabila cairan yang terhisap tidak terkontaminasi. Sebagian korban yang
tidak mempunyai masalah dapat dipulangkan sedangkan sebagian lagi yang
bermasalah dapat diobservasi dan diberi pengobatan simptomatik di ruang
perawatan sampai baik. Biasanya korban dirawat selama 12 sampai 24 jam.
2) Kategori B
Korban ini membutuhkan perawatan dan monitoring ketat terhadap sistem saraf
dan pernapasan. Masalah pernapasan biasanya lebih menonjol sehingga selain
pemberian oksigen perlu diberikan: Bik-Nat untuk asidosis metabolik yang tidak
terkompensasi; Furosemid untuk oedem paru; Aerosol B simptometik
untuk bronchospasme; serta Antibiotik untuk kasus teraspirasi air yang
terkontaminasi.
Pasien yang awalnya diintubasi setelah menampakkan fungsi pernapasan dan
neurologi yang baik dapat dilakukan ekstubasi. Di sini steroid tidak diindikasikan.
Sebagian kecil korban tenggelam mengalami kegagalan pernapasan. Biasanya terjadi
setelah aspirasi masif atau teraspirasi zat kimia yang mengiritasi sehingga korban ini
membutuhkan ventilasi mekanis. Pemberian infus sering diberikan untuk
meningkatkan fungsi hemodinamik. Cairan yang biasanya digunakan adalah cairan
isotonik (Ringer lactat, NaCl fisiologis) dan cairan yang dipakai harus cukup panas
(40-43oC) untuk pasien hipotermi. Bila cairannya seperti suhu kamar (21oC) bisa
memancing timbulnya hipotermi. NGT harus dipasang sejak pertama pasien
ditolong, yang berguna untuk mengosongkan lambung dari air yang terhisap. Status
neurologis biasanya membaik bila oksigenasi jaringan terjamin. Perawatan biasanya
memakan waktu beberapa hari dan sangat ditentukan oleh status paru.
3) Kategori C
Tindakan yang paling penting untuk kategori ini adalah intubasi dan ventilasi.
Vetilasi mekanis direkomendasikan paling tidak 24 sampai 48 jam pertama,
termasuk mereka yang usaha bernapasnya baik setelah resusitasi untuk mencegah
kerusakan susunan saraf pusat akibat hipoksia dari pernapasan yang tidak efektif.
Pedoman ventilasi awal FiO2 1,0 digunakan selama fase stabilisasi dan transfer.
Kecepatan ventilasi awal 1,5 sampai 2 kali kecepatan pernapasan normal sesuai
dengan usia korban, tekanan espirasi 4 sampai 6 Cm H2O. Penyesuaian ini harus
dilakukan untuk mendapatkan nilai gas darah arteri sebagai berikut: PaO2 100
mmHg atau 20--30 mmHg. Bik-Nat, bronchodilator, diuretik, dan antibiotik
diberikan apabila korban tenggelam. Penelitian membuktikan bahwa mortalitas
setelah 5 hari pengobatan menurun dari 50% menjadi 25% sampai 35%. Surfactan
yang sering digunakan adalah surfactan sintetik (Exosurf) dengan dosis 5 ml/kgBB
diberikan melalui nebulizer terus-menerus selama priode pengobatan.
Disfungsi kardiovaskular harus dikoreksi dengan cepat untuk menjamin tranfer
oksigen yang adekuat ke jaringan. Resusitasi jantung paru perlu dilanjutkan pada
korban yang mengalami hipotensi dan syok setelah membaiknya ventilasi dan
denyut nadi harus diberikan bolus cairan kristaloid 20 ml/kgBB. Tindakan ini harus
diulangi bila tidak memberikan respons yang memuaskan1,5. Apabila tekanan darah
tetap rendah, obat inotropik IV harus diberikan. Dopamin dan Dobutamin harus
digunakan pada pasien yang mengalami takikardi sedangkan epinefrin diberikan
pada pasien bradikardi. Pasien dengan suhu tubuh < 30oC harus segera dipanaskan
untuk menjamin fungsi jantung. Kejang diatasi secara konvensinal: pada awal
diberikan benzodiazepin diikuti dengan pemberian phenobarbital seperti
Vecuronium atau Pancuronium 0,1--0,2 mg/kgBB IV bisa digunakan untuk pasien
yang gelisah agar pemberian ventilasi lebih efisien, mengurangi kebutuhan
metabolik, serta bisa menekan risiko atau ekstubasi yang tak terencana akibat trauma
jalan napas. Bila pasien tetap gelisah, diberikan morfin sulfat 0,1 mg/kgBB IV atau
Benzodiazepin 0,1 mg/kgBB IB diberikan setiap 1--2 jam untuk sedasi. Pasien
kategori C3 dan C4 harus mendapat pengawasan dan tindakan untuk
mempertahankan sistem metabolik, ginjal, hematologi, gastrointestinal, dan
neurologis serta dievaluasi dengan ketat setelah pengobatan dimulai.
DAFTAR PUSTAKA
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im TWA, Sidhi, Hertian S, dkk. Kematian akibat
asfiksia mekanik. Dalam: Ilmu kedokteran forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007: 64-70.
DiMaio VJ, DiMaio D. Death by drowning. DiMaio VJ, DiMaio D, editors. In: Forensic
pathology second edition. USA: CRC Press LLC; 2001.
Dix J. Asphyxia (suffocation) and drowning. Dix J, editor. In: Color atlas of forensic pathology.
USA: CRC Press LLC; 2000Pendidikan dan Kebudayaan. Alsa, Asmadi. 2003.
Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Serta Kombinasinya dalam Penelitian Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gabe Mirkin dan Marshall
Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik edisi pertama. Jakarta: Binarupa Aksara; 2007:
182-8.
Rijal S. Near Drowning. Bagian Ilmu Anak Universitas Sumatera Utara. 2011. Available at:
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062001/pus-2.htm. Accessed: April 2018.