127 306 1 SM
127 306 1 SM
Naskah diterima: 16 Oktober 2016; direvisi: 7 November 2016; disetujui: 30 November 2016
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan resistansi perempuan dalam melawan ketidakadilan
lingkungan dan persoalan ekologi yang dihadapi perempuan dalam kaitannya dengan
pengelolaan alam pada roman Isinga karya Dorothea Rosa Herliany. Metode pustaka dan
teknik baca dan catat digunakan untuk menggumpulkan data penelitian. Metode dan teknik
analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik interpretatif
dan analisis kontens. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
humanistik dengan teori ekofeminisme. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perempuan
dan alam memiliki peran penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat Papua. Perjuangan
perempuan Papua dalam membebaskan diri dari kekerasan, terutama yang bersumber dari
struktur dan budaya masyarakat, kondisi alam, dan adatnya telah melahirkan resistansi posisi
perempuan. Sistem patriarkat yang dianut oleh masyarakat Papua memosisikan perempuan
sebagai pekerja, pengolah bahan makanan, dan penjual hasil panen. Perempuan Papua
menghadapi tantangan tersebut dengan menguasai peran sebagai produsen, konsumen,
pendidik, pengampanye, dan komunikator terhadap pelestarian alam. Dari hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa perempuan memiliki energi yang berpotensi dalam
menjaga integritas, menyejajarkan posisi antara perempuan dan laki-laki, serta mengambil
peran sosial untuk menyadarkan masyarakat Papua dalam menjaga lingkungannya.
Kata kunci: perempuan, resistansi, lingkungan, budaya, ekofeminisme
Abstract
This research aimed to describe the resistance of women against injustice environmental
and ecological problems faced by women in relation to the management of nature in the
Dorothea Rosa Herliany’s roman, Isinga. Literary review method and writing techniques
were used for collecting the data. Descriptive analytical methods and content analysis
techniques were used for data analysis. Humanistic approach and ecofeminism theory was
applied to analyze the environmental and women issues in Papua. The results of this research
indicate that the nature and women have an important role in the survival of the people of
Papua. Papuan women struggle to free themselves from violence, particularly those coming
from the structure and culture of the society, natural conditions, and tradition has spawned
resistance of women position. Patriarchal system that is embraced by the people of Papua
positioning women as workers, processing the foodstuffs, and selling the harvest. Papuan
women addressing these challenges by mastering a role as producers, consumers, educators,
campaigners, and communicators of nature conservation. These results can be concluded
that women have the potential energy in maintaining the integrity, align the position between
women and men, as well as taking social role to acknowledging the people of Papua in
maintaining the environment.
Keywords: women, resistance, environmental, culture, ecofeminism
tritagonis, yaitu Meage, Jinggi, dan Ibu Selvi. feminisme. Berbeda dengan penelitian ini, teori
Peran ganda tokoh perempuan (Irewa) dalam yang diterapkan adalah teori ekofeminisme,
roman Isinga memperlihatkan peran dalam yaitu untuk melihat operasi budaya patriarkat
ranah domestik dan publik. Peran perempuan terhadap perempuan dan alam, peran perempuan
dalam ranah domestik berkaitan dengan peran terhadap pembangunan, dan penyelamatan alam
Irewa sebagai penerus proses regenerasi, di tangan perempuan dalam roman Isinga karya
pendidik anak, penanggung jawab rumah Dorothea Rosa Herliany.
tangga, dan pelayan suami. Peran Irewa dalam Untuk menganalisis perempuan dan
ranah publik, yaitu sebagai penanggung jawab lingkungan Papua dalam roman Isinga
ekonomi keluarga, aktualisasi diri, dan politik/ digunakan teori ekofeminisme Vandana Shiva
pemerintah. (1997). Shiva (1997, hlm. 4), membahas
Penelitian lainnya dilakukan oleh keterkaitan antara pembangunan dan ilmu
Wiyatmi (2016) yang membandingkan roman pengetahuan modern dengan krisis lingkungan
Isinga dengan novel lain untuk melihat yang sedang terjadi. Pembangunan diartikan
representasi perempuan. Penelitian itu berjudul sebagai usaha meningkatkan taraf hidup semua
“Dekonstruksi terhadap Kuasa Patriarki Atas orang yang menyangkut kategori ekonomi
Alam, Lingkungan Hidup, dan Perempuan Barat, yaitu kebutuhan, produktivitas, dan
Papua dalam Novel Namaku Teweraut Karya Ani pertumbuhan. Di sisi lain, perempuan dirugikan
Sekarningsih dan Isinga Karya Dorothea Rosa karena sengaja disingkirkan dari produktivitas
Herliany“. Hasil penelitian itu menunjukkan pembangunan. Pembangunan dianggap
bahwa masyarakat Papua terisolasi di dalam menghancurkan produktivitas perempuan
hutan, kehidupannya keras, dan perempuan karena proyek atas nama pembangunan telah
masih berada dalam posisi subordinat. Beberapa merebut pengelolaan dan pengendalian lahan,
dari perempuan tersebut dapat meningkatkan air, dan hutan dari tangan perempuan. Penelitian
kualitas hidup dan melindungi alam Papua ini memfokuskan pada ekofeminisme dengan
dari kehancuran, baik oleh faktor internal melihat hubungan antara perempuan dan alam
maupun eksternal, meskipun masih tetap dalam di Papua. Teori ekofeminisme menawarkan
hegemoni patriarkat. dimensi spiritualitas dalam memandang alam/
Penelitian Puspitasari (2015) yang berjudul lingkungan secara feminis. Dalam kajian
“Ketidakadilan Gender dalam Novel Isinga ekofeminisme, pendekatan holistik diterapkan
Karya Dorothea Rosa Herliany: Kajian Kritik untuk melihat hubungan antara prinsip feminitas
Sastra Feminisme” membahas ketidakadilan dan ekologi.
gender dan penolakan perempuan Papua Teori ekofeminisme mengedepankan
terhadap sistem patriarkat. Ketidakadilan peran perempuan untuk yang lebih “peka” dan
gender terlihat dalam bentuk marginalisai “dekat” dengan alam. Dalam masyarakat yang
perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan menjadikan alam dan tanah sebagai sumber
(baik secara fisik, psikis, maupun beban kehidupan, hubungan yang tercipta tidak
kerja). Secara sadar atau pun tidak, perjuangan sekadar material, tetapi interkoneksi yang intim
perempuan telah menanamkan nilai-nilai antara bumi dan masyarakatnya (Shiva dan
persamaan, yaitu persamaan derajat, peran, Mies, 2005, hlm. 128). Teori ekofeminisme
tanggung jawab, kecerdasan intelektual, dan ini mendukung gerakan perempuan untuk
keberanian. Penelitian ini berbeda dengan memotivasi perempuan lainnya agar bekerja
penelitian-penelitian sebelumnya yang secara sama melawan patriarkat kapitalis dan paham
umum memaparkan stuktur roman Isinga dan desktruktif lain yang dihasilkannya. Menurut
peran perempuan dengan menggunakan teori Shiva (1997, hlm. 58), perempuan sengaja
Pada saat pernikahan Megae dan Irewa sudah hlm.67). Kutipan tersebut menjelaskan bahwa
dekat waktunya, Irewa diculik oleh Malom. dalam sistem patriarkat privat, eksploitasi
Dari penculikan Irewa tersebut menimbulkan perempuan yang diwakili oleh Irewa
perang antarsuku dan menyebabkan beberapa menempatkan posisinya sebagai pihak di bawah
saudara Malom dari suku Hobone meninggal dominasi laki-laki, bahkan di rumah tangga
dunia. Dari pertikaian itu, keputusan para dilanggengkan oleh ketidakterlibatan mereka
tetua adat dan dukun mutlak tanpa kompromi dalam ruang publik. Hal itu tentu saja sangat
harus diterima Irewa untuk menikah dengan beralasan karena masyarakat Papua masih
Malom, seperti kutipan Ia tak bisa menolak menganut sistem patriarkat yang menuntut
saat diminta seluruh penghuni perkampungan perempuan untuk menjalankan perannya
untuk kepentingan perdamaian (Herliany, 2015, sebagai istri, ibu, dan pekerja (di ladang).
hlm. 52). Kondisi alam Papua terdiri atas
Hubungan antara perempuan dan laki- pengunungan, lembah, bukit, jurang yang
laki Aitubu atau pun Hobone telah memiliki terjal, sungai yang curam, dan hutan yang
batasan yang cukup jelas. Semua hal-hal lebat. Pada umumnya masyarakat Papua
penting diputuskan oleh para laki-laki di tinggal di pedalaman. Kondisi itu digambarkan
dalam rumah yowi. Laki-laki hanya bertugas dalam roman ini. Penduduk yang tinggal di
berburu dan bersantai-santai. Sementara itu, Pengunungan Megafu sangat dekat dengan
perempuan memiliki tugas sesuai sistem alam dan makhluk hidup di sekelilingnya.
patriarkat privat yang bermuara pada wilayah Pada tataran ekologi, ekofeminisme
rumah tangga, yaitu melayani suami, merawat sering kali diartikan sebagai sebuah teori
anak, melahirkan banyak anak terutama anak dan gerakan etika lingkungan yang berusaha
laki-laki, berladang, memanen sagu, hingga mendobrak etika lingkungan secara umum
memelihara ternak babi. Perempuan Aitubu yang bersifat antroposentrisme (Warren, 2000,
dan Hobone adalah wali elae wakeyae ‘hidup hlm. 4). Dengan adanya tragedi tanah longsor,
untuk bekerja’. masyarakat suku Aitibu menyadari fungsi alam
Berdasarkan etika ekofeminisme, sebagai untuk kehidupan mereka. Salah satu bentuk
langkah awal, dilakukan pencermatan terhadap kesadaran manusia akan alam dapat dilihat pada
sikap perempuan melawan sistem patriarkat kutipan berikut.
atau menyingkirkan pandangan maskulin yang
lebih berorientasi pada model penguasaan atau Aitubu akan mengadakan upacara syukur
karena baru saja terjadi tanah longsor yang
dominasi. Irewa dihadirkan sebagai tokoh yang melanda empat dusun. Sekaligus akan diad-
berupaya menyamakan peran perempuan dan akan upacara wit atau upacara inisiasi. Yakni
alam. Marginalisasi perempuan dan pandangan upacara anak masuk ke alam kedewasaan. Ada
bias laki-laki yang tercermin pada sikap Malom tiga anak laki-laki yang masih kecil-kecil akan
yang didukung oleh sistem partiarkat. Irewa menjalani upacara wit. Umur mereka sekitar
8–10 tahun. Kedua upacara itu diadakan agar
merupakan tokoh yang termarginalisasi oleh anak-anak tumbuh sehat. Agar tanah longsor
sistem itu. tak ada lagi. Agar kebun menghasilkan betatas
Salah satu bentuk kemandirian Irewa yang banyak. Agar babi-babi tumbuh dengan
terlihat pada saat melahirkan anak seorang diri, baik. Agar masyarakat mendapat makanan
seperti kutipan Banyak perempuan Megafu cukup. Semua demi kemakmuran masyar-
akat Aitubu yang terletak di Lembah Piriom
melakukan persalinan seorang diri. Kalau
(Herliany, 2015, hlm. 2).
melahirkan di tempat hunian, biasanya ada
seorang mama yang sudah terbiasa membantu Pola perilaku suku Aitubu itu tidak
perempuan melahirkan… (Herliany, 2015, terlepas dari pengalaman dalam menjaga
lingkungan, terutama sifat androsentrisme, Irewa menangis lagi. Ia ingin menjadi istri
yaitu berpusat pada kaum laki-laki. Laki-laki Meage yang dicintainya (Herliany, 2015,
hlm. 51).
Aitubu diposisikan sebagai pusat dari sebuah
sistem budaya yang ada dalam kehidupan
Kutipan tersebut menunjukan bahwa
suku mereka. Pembuktian tentang keberadaan
posisi laki-laki dan perempuan sangat berbeda
laki-laki di suku Aibutu ditandai dengan
dalam status sosial, budaya patriarki yang
diadakannya upacara penyambutan anak laki-
dianut oleh masyarakat Papua. Sistem patriarkat
laki yang menginjak usia remaja, antara 8—10
tersebut tampak jelas terlihat ketika Malom
tahun. Upacara itu dikenal dengan upacara wit.
sudah menjadi suami Irewa. Sebagai lelaki dari
Upacara wit dilakukan untuk menghindarkan
suku Hobone, Malom memiliki tanggung jawab
anak laki-laki dari bahaya dan kutukan. Setelah
membuka lahan untuk kehidupan istri dan anak-
upacara itu, anak laki-laki tinggal di rumah
anaknya, sedangkan pengelolaan lahan menjadi
yang telah disiapkan untuk mereka, yaitu
tanggung jawab Irewa.
rumah yowi. Meage dan anak laki-laki lainnya
kemudian mengikuti upacara muruwal yang Babi-babi di kandang di belakang rumah ada
dimaksudkan untuk mengenalkan mereka yang melahirkan. Jumlah babi jadi tambah
kepada alam. Laki-laki Papua—Meage, banyak. Malom juga ingin terus punya anak.
Malom, dan lainnya—disiapkan agar mereka Pohon sagu ada yang sudah bisa dipanen.
berpikir akan mengukuhkan keberadaanya Jadi kebun sagu baru, hutan sagu di tempat
lain lagi harus dibuka, Malom membuka
secara hierarkis; dualisme yang menempatkan hutan sagu baru, dibantu para laki-laki Dusun
penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki- Perem. Irewa lagilah yang harus mengurus
laki vs perempuan vs alam); logika dominasi kebun sagu ini. Duri-duri menikam. Lalat
(kecenderungan membenarkan dominasi dan babi. Nyamuk. Panas yang membakar kulit.
subordinasi); pemecahan masalah ekologi yang Kadang dingin karena hujan. Air yang turun
tajam jatuh menyentuh kulit seperti jarum.
menyertakan perspektif feminis. Dalam tataran
Becek. Langkah kaki jadi berat. Pekerjaan
ini, Malom tidak dapat menempatkan perempuan yang tak mudah (Herliany, 2015, hlm.
sesuai dengan pandangan andrasentris. 79—80).
Sebaliknya, Meage dapat melakukan pemikiran
antroposentrisme dengan menempatkan Kutipan tersebut menguatkan pembagian
perempuan pada kedudukan setara dengan struktur pengelolaan alam dalam sistem
laki-laki. partiarkat yang dianut masyarakat Papua, yakni
Sebagai perempuan suku Aitubu, Irewa dengan menempatkan Malom sebagai kepala
rela menikah dengan Malom, lelaki yang keluarga. Tidak hanya Malom, Meage pun
berasal dari suku Hobone. Malom sengaja memiliki peran yang sama, seperti tampak pada
ingin memisahkan Irewa dari Meage. Malom kutipan Dulu, kata Mama, bapaknya sering
menginginkan Irewa menjadi istrinya untuk membantu berkebun. Bapak Meage membabat
menebus keluarganya yang meninggal akibat rumput dan menebang pohon untuk dibuat
perang antarsuku Aitubu dan Hobone. Irewa pagar agar kebun tidak dimasuki hewan liar.
merupakan simbol perempuan yang kuat. Ketika Meage sudah lebih besar, ia mengerjakan
Ia rela dijadikan jaminan untuk meredakan pekerjaan yang dulu dilakukan oleh bapaknya
permusuhan antara suku Aitubu dan Hobone. itu. Kebun milik keluarga-keluarga di Aitubu
rata-rata terletak jauh dari tempat tinggal.
Dengan pelan Mama Kame lalu memberi tahu Kadang dekat hutan. Karena itu, kadang ada
Irewa bahwa sudah menjadi keputusan besar
babi-babi liar merusak tanaman (Herliany,
dua perkampungan ia harus kawin dengan
Malom. Mama Kame menjelaskan alasannya. 2015, hlm. 13). Kutipan itu menggambarkan
secara implisit bahwa peran laki-laki sebagai membuktikan ketegarannya sebagai perempuan
sosok pemimpin memang sudah menjadi suku Aitubu dengan bersedia menikah dengan
kewajiban dan peran itu diajarkan kepada Malom, lelaki yang tidak pernah dicintainya.
anak laki-laki suku Aitubu dan Hobone. Kedua Pernikahan mereka itu hanya untuk menjaga
tokoh laki-laki ini dihadirkan dalam cerita kedamaian antara suku Aitubu dan Hobone
sebagai representasi beberapa suku yang ada yang selama ini bermusuhan dan berperang.
di Papua. Laki-laki Papua memang sejak kecil Saat perang antarsuku itu terjadi, Meage tidak
diajarkan untuk berburu; membabat hutan untuk diketahui keberadaannya sehingga hal itu yang
lahan pertanian dan bahan pembuat rumah. menyebabkan Irewa terus mengingatnya.
Sebaliknya, perempuan harus menjadi tulang
punggung keluarga dalam memenuhi kebutuhan Ada kebun keladi yang sudah bisa dipanen.
Malam sebelumnya hujan turun deras. Irewa
pangan, berkebun, mendidik anak, memberi berpikir, keladi akan mudah dicabut jika
keturunan, dan melayani suami. Perempuan tanah masih basah. Tapi pasti licin jalannya.
Papua diibaratkan bumi yang dekat dengan Mudah terpeleset, apalagi tanah di daerah
alam sehingga laki-laki dapat memperlakukan kebun itu jenis tanah lembek. Tempatnya
sesuka hati sesuai dengan mahar yang diberikan juga sulit dijangkau. Irewa akan mengambil
betatas itu sekalian banyak. Jadi akan repot
ketika menikah. Perlakuan laki-laki Papua kalau ada anak ikut. Ansel, anaknya yang
terhadap perempuan sangat berbanding terbalik laki-laki tak mau menurut. Ia menangis.
dengan teori feminisme. Sungguh ingin ikut Irewa. Irewa membujuk
Dengan jelas dikisahkan dalam novel dengan mengantar Ansel ke tempat anak
ini, Irewa dihadirkan sebagai sosok perempuan laki-laki lain seumur yang sedang bermain-
main di sebuah tanah lapang. Ada banyak
yang berjuang untuk memosisikan perempuan
genangan yang seperti kolam-kolam kecil
setara dengan laki-laki dan memperjuangkan dan berisi air Anak-anak bermain-main air
agar suara/pendapat perempuan mendapatkan di situ, yang lainnya bermain bola rumput,
perhatian. Untuk mewujudkan maksudnya itu, panah rumput, dan ayunan. Ansel senang.
Irewa mengikuti pelajaran di sekolah secara Lalu ikut bermain bersama mereka. Irewa
meminta Kiwana menjaga adiknya (Herliany,
diam-diam di kelas laki-laki. Padahal, anak
2015, hlm. 77—78).
perempuan tidak ada bersekolah dan tidak ada
sekolah untuk perempuan (lihat Herliany, 2015, Peran perempuan dalam keluarga Papua
hlm. 15). Ilmu yang diperolehnya dari Pendeta yang menganut sistem partiarkat meliputi
Ruben ketika mengajar di sekolah untuk para aspek ekonomi, tradisi, dan reproduksi. Ketiga
pemuda di perkampungan Aitubu didengarkan aspek itu telah dijalani oleh perempuan Papua
dengan saksama. Irewa mampu bertahan dari dengan penuh tanggung jawab meskipun ada
gempuran budaya dan sistem patriarkat yang keinginan dri kaum perempuan untuk menolak
ajek di Papua. kemapanan tersebut. Dari aspek ekonomi,
Meskipun relasi patriarkat di luar rumah Irewa, Mama Kame, dan perempuan lainnya
tangga sangat penting untuk membentuk relasi dalam masyarakat Megafu dan Hobone
patriarki di dalam rumah tangga, Irewa menjadi memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehari-
terprivatisasi dan menerima keuntungan hari dengan cara berladang, berkebun, mencari
langsung untuk berpikir mempertahankan kayu bakar, menangkap ikan, menganyam
diri dari lingkungan yang membelenggunya. jala, mengolah sagu, merawat babi peliharaan,
Lingkungan yang dimaksud dalam resistansi menganyam daun pandan, dan menjual
perempuan adalah lingkungan keluarga, hasil ladang dan peterenakan babi ke pasar
masyarakat, dan alam yang membentuknya (lihat Herliany, 2015, hlm. 2, 79—80).
sehingga menumbuhkan ketegaran. Irewa Irewa bekerja ke ladang dan juga melakukan
pekerjaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan tradisi, dan lingkungan geografis yang jauh dari
keluarganya. Dari aspek tradisi, Irewa menjaga keberpihakan terhadap perempuan. Dengan
tradisi hunuke sehingga dengan bertahan pada demikian, sistem patriarkat, budaya (tradisi),
tradisi itu ia mendapatkan mas kawin (berupa dan lingkungan geografis telah menjadikan
babi) yang menguntungkan bagi keluarganya. seorang perempuan, seperti Irewa, mampu
Konsekuensinya, Irewa sendiri juga yang harus mempertahankan kesetaraannya dengan pihak
merawat dan memilihara hewan itu. Aspek laki-laki. Perempuan mampu bertanggung
reproduksi dijalani oleh Irewa dan perempuan jawab dalam mengurus kebutuhan hidup sendiri
lainnya dengan pasrah sebab semakin banyak dan anak-anak. Ia juga mampu bertanggung
keturunan semakin mengukukuhkan kedudukan jawab dalam melayani suami.
perempuan sebagai bumi. Hal itu ditunjukkan
oleh perilaku Irewa saat melahirkan anak- Persoalan Ekologi, Perempuan, dan
anaknya, yaitu melahirkan anak seorang diri. Pengelolaan Alam
Persalinan yang dilakukan tanpa bantuan orang Persoalan lingkungan yang dihadapi oleh
lain merupakan hal wajar dalam masyarakat masyarakat Papua merupakan akibat dari
Papua. Persalinan yang demikian merupakan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.
wujud nyata kemandirian seorang perempuan. Dampak yang ditimbulkan dari eksploitasi
Pola pengasuhan anak ketika bekerja, Irewa itu mengantarkan perempuan Papua untuk
membawa anaknya itu di dalam noken. Selain melakukan gerakan penyelamatan. Terkait
mengasuh dan membesarkan anaknya, ia juga dengan aktivitas pertanian, tokoh Irewa adalah
bertanggung jawab terhadap pendidikannya salah satu pejuang gerakan penyelamatan lahan
(lihat Herliany, 2015, hlm. 73; 91). Perempuan (ladang) dari bahaya longsor.
memiliki kekuatan untuk melindungi alam,
Esoknya, masih terasa sakit. Tapi Irewa tetap
selain menjunjung kehormatan keluarga dan harus pergi ke ladang. Ada daun-daun yang
sukunya. bisa dimakan sebagai sayur. Irewa berpindah
Kehadiran tokoh Irewa dalam roman ke ladang lain. Ia sekarang sudah tahu tentang
ini merupakan pembuktian keberadaan se tanaman kangkung. Ia menanam kangkung di
orang perempuan dalam masyarakat Papua ladangnya. Dipetiknya secukupnya. Lalu, ada
juga talas. Ini lumayan. Bisa untuk pengganti
yang umumnya mampu bertahan menjalani betatas. Hari-hari selanjutnya hanya sayur
kehidupannya. Kedudukan perempuan da dan kangkung saja yang bisa diambil. Tak
lam keluarga di masyarakat yang tinggal ada lainnya. Hanya sayuran. Tak ada umbi-
di Pegunungan Megafu dan Hobone sudah umbian yang bisa mengenyangkan perut.
sepatutnya patuh kepada suami dan tidak berhak Tak ada semua itu di kebun. Longsor semua.
Anak-anaknya kelaparan (Herliany, 2015,
untuk menggugat perceraian karena dengan hlm. 138).
membayar tukon berarti laki-laki mendapat
hak penuh atas diri perempuan. Hal tersebut Kutipan tersebut menunjukkan adanya
diperkuat oleh pendapat Schoorl (1997, hlm. peristiwa longsor yang menimpa lahan
4) bahwa ketika perempuan diperlakukan tidak pertanian atau ladang milik Irewa. Peristiwa
baik, ia tidak berhak untuk melarikan diri. Jika itu sebagai petanda bahwa penduduk yang
perempuan itu mencari perlindungan kepada tinggal di bawah Pengunungan Megafu sudah
orang tua atau kepada saudara laki-lakinya, tidak memedulikan kondisi alam dan bumi.
dengan sendirinya ia akan dikembalikan kepada Akibatnya, lahan pertanian rusak dan krisis
suaminya. Kebertahanan perempuan Papua pangan melanda masyarakat Megafu. Pola
dalam melawan ketidakadilan lingkungan perilaku manusia yang menindas alam sejajar
disebabkan oleh sistem partiarkat, budaya dan dengan pola tingkah laku masyarakat yang
menindas perempuan. Keterikatan antara isu dengan memberikan penguasaan manusia atas
feminisme dan ekologi menjadi pemikiran alam. Berdasarkan pemikiran tersebut, tokoh
Irewa. Irewa berpandangan secara holistik, Malom, Meage, Bapa Labobar, Falimo, para
pluralis, dan inklusif dengan mengutamakan lelaki suku Aitubu dan suku Hobone, dan
adanya hubungan yang seimbang antara laki- suku lainnya di Papua merupakan lelaki yang
laki dan perempuan. dianggap sempurna sehingga perempuan tidak
Tugas pengelolaan lingkungan pada mendapat tempat yang proporsional sebagai
dasarnya menjadi tanggung jawab semua pihak, manusia. Perempuan di Papua diibaratkan
termasuk perempuan. Tokoh Irewa menyadari alam. Pandangan tradisi masyarakat Papua
akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan menganggap bahwa perempuan dan alam dapat
lingkungan, seperti merawat ladang untuk dikuasai oleh laki-laki. Namun, di kalangan
memenuhi kebutuhan mereka. Perempuan ekofeminis, struktur patriarkal yang ada di
Papua sangat memiliki peran yang penting masyarakat Papua, suku Aitubu dan Hobone,
dalam pengelolaan lingkungan. Menurut secara hierarki sangat kuat dan sifat maskulin
Liauw (2010, hlm. 192; Suroto, 2010, hlm. lebih rasional dibandingkan dengan alam yang
22), aktivitas perempuan Papua setiap hari di tidak rasional, pasif karena fungsinya sebagai
bidang pertanian adalah menanam, menuai, media prduksi. Sosok perempuan seperti itu
menyimpan, dan menjual hasil pertanian. digambarkan dengan saksama dalam novel
Bagi ibu yang memiliki bayi, semua aktivitas Isinga, terlihat pada perilaku Irewa Ongge,
dilakukan dengan membawa anaknya di Mama Kame, dan perempuan suku Aitubu-
dalam noken. Beban perempuan cukup luar Hobone. Sikap pasif perempuan tercermin
biasa karena setiap hari selain menggendong ketika Irewa tidak mau melawan ketika
beban bayi di dalam noken, perempuan itu dinikahkan dengan Malom. Sifat pasifnya itu
juga mengendong bebab hasil kebun berupa kemudian dilekatkan kepada diri perempuan
sayuran, talas atau ubi, dan jagung untuk secara umum, yakni makhluk yang memiliki
konsumsi keluarga (lihat Herliany, 2015, hlm. sistem reproduksi secara alamiah sehingga
5; 137). Noken memiliki arti penting bagi Irewa mampu melahirkan, mengerjakan tugas rumah
karena alat itu dapat membantu meringankan tangga, menyediakan pangan bagi keluarga, dan
pekerjaannya, yaitu dapat membawa anak dan bergantung kepada alam.
bahan makanan hasil kebun sekaligus. Beban
yang digendong perempuan Papua memang Aitubu akan mengadakan upacara syukur
karena baru saja terjadi tanah longsor
amat berat karena jarak ladang dengan rumah yang melanda empat dusun. Sekaligus
sangat jauh. akan diadakan upacara wit atau upacara
Laki-laki dan perempuan sama-sama inisiasi. Yakni upacara anak masuk ke alam
memiliki kewajiban merawat, menjaga, kedewasaan. Ada tiga anak laki-laki yang
dan memelihara lingkungan tanpa adanya masih kecil-kecil akan menjalani upacara
wit. Umur mereka sekitar 8-10 tahun. Kedua
tendensi untuk merusak dan mengeksploitasi upacara itu diadakan agar anak-anak tumbuh
alam dan ekologinya. Menurut Primavesi sehat. Agar tanah longsor tak ada lagi. Agar
(1991, hlm. 151; Sa’dan, 2014, hlm. 242), kebun menghasilkan betatas yang banyak.
ada dua faktor yang mendasar memengaruhi Agar babi-babi tumbuh dengan baik. Agar
terjadinya krisis ekologi dan memiliki pengaruh masyarakat mendapat makanan cukup.
Semua demi kemakmuran masyarakat Aitubu
terhadap perempuan, yaitu (1) pandangan
yang terletak di Lembah Piriom (Herliany,
dualisme manusia dan alam; (2) konstruksi 2015, hlm. 2).
pemikiran hierarki patriarkal yang sudah
mapan dalam tradisi yang tidak seimbang
Alam Papua yang dipandang sebagai dekade terakhir ini di dalam masyarakat
sumber kehidupan tidak luput dari bencana Papua. Selain kemiskinan dan kekerasan sosial
longsor. Prinsipnya, bumi diibaratkan de yang mengancam perempuan, perempuan
ngan prinsip feminis, bumi disamakan dengan Papua juga menyaksikan kondisi kerusakan
perempuan. Menurut Wiyatmi (2016, hlm. lingkungan hidup. Tokoh Irewa merupakan
175), Irewa merupakan tokoh yang mewakili wujud perempuan penggerak pembangunan di
kehendak atas perannya melawan bentuk tra- pedalaman Megafu. Perempuan suku Aitubu
disi blood taboo yang masih kental mendekap dan suku lainnya di Papua yang hidup dalam
perempuan Papua. Kuasa patriarkat atas alam hutan dapat bertahan hidup dari hasil hutan.
dan lingkungan yang berdampak secara lang-
sung kepada perempuan melalui suara kaum Jika para perempuan memetik daun-daun,
esoknya daun itu menjawab: sebuah tunas
perempuan yang hidup di pedalaman. Sejalan kecil tumbuh. Pagi, sekuntum bunga masih
dengan pendapat itu, Welayana (2016, hlm. putik. Siang, riang bunga mekar sambil
9) mengungkapkan bahwa perempuan Papua, bersiul. Lumut-lumut di antara batu-batu dan
seperti Irewa, sudah kodratnya menjadi istri; pohon tua hanya bergumam menyaksikan
perempuan adalah milik laki-laki, dan perem- itu semua. Seekor burung jatuh. Sayapnya
patah. Bumi menerimanya dalam pangkuan
puan berbakti kepada suami dan keluarganya. (Herliany, 2015, hlm. 115).
Namun, kedua penelitian yang dilakukan oleh
Wiyatmi dan Welayana hanya sebatas paparan Gambaran kutipan tersebut menunjukkan
sistem partiarkat dan bentuk konflik perempuan bahwa perempuan menanam tanaman pangan,
dalam keluarga secara umum yang dialami oleh seperti sayuran (kangkung) dan umbi-umbian
perempuan Papua. Persoalan perempuan dan (talas, betatas). Perempuan di wilayah Pe
lingkungan belum disentuh secara mendalam gunungan Megafu memanfaatkan lingkungan
dalam penelitian tersebut. Perempuan dan alam untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut
lingkungan dalam roman ini tampak dalam diri Liliweri (2014, hlm. 453; Suroto, 2010, hlm.
tokoh Irewa yang secara aktif dalam pengam- 22), orang Papua hidup sebagai masyarakat
bilan keputusan berkaitan dengan masalah petani dan memanfaatkan makanan, seperti
lingkungan. Peran aktif tokoh tersebut terlukis olahan sagu, sukun, ubi jalar, talas, beras dan
dalam kutipan berikut. dilengkapi dengan beberapa varietas pisang,
kelapa, mangga, dan buah-buahan. Masyarakat
Tapi hasil ladang tak cukup. Sementara betatas
dataran tinggi Papua, pada umumnya hidup
lain baru mulai tanam. Danau tempat ia dulu
bisa mendapatkan ikan sekarang letaknya jauh bercocok tanam untuk mempertahankan
dari tempat kini ia tinggal. Malom tidak mera- hidup mereka. Makanan pokok masyarakat
sa harus ikut bertanggung jawab untuk segala pegunungan tersebut adalah ubi, tetapi sebelum
urusan itu. Itu sudah jadi kewajiban semua masuknya ubi, makanan pokok mereka adalah
perempuan di bawah pegunungan Megafu.
keladi. Orang Papualah yang pertama kali
Malom mengerti Irewa merasa berat dengan
semua itu. Pekerjaan perempuan sudah harus mengolah keladi untuk diambil kandungan
demikian adanya. Anak dan makanan. Maka tepungnya (Muller, 2008, hlm. 67—68; Suroto,
tak akan bisa dilihat oleh orang luar Papua 2010, hlm. 22). Untuk memperoleh bahan
ada laki-laki di wilayah itu menjinjing anak makan itu, perempuan Papua harus menghadapi
dalam noken. Kalau ada anak dalam noken, medan yang sangat berat. Dalam novel Isinga
itu pasti ada di noken perempuan (Herliany,
2015, hlm. 137). digambarkan mengenai kondisi geografis alam
Papua yang memiliki karakteristik alam yang
Peristiwa tersebut merupakan pen g keras, penuh rawa dan hutan lebat, ladang
gambaran problematik yang terjadi pada berada di tengah hutan, jalanan licin dan
terjal, dan suasana sepi serta penuh bahaya. Irewa juga merasa bosan dengan hidupnya
Kondisi geografis yang demikian rela dijalani sendiri yang berjalan sama terus-menerus
setiap hari. Bila malam saat semua anaknya
oleh perempuan-perempuan Papua yang hidup
sudah tidur, dan Irewa sudah menyelesaikan
sebagai tulang punggung kehidupan keluarga. kewajibannya sebagai seorang istri, ia tak
bisa memejamkan mata dengan mudah.
Setiap kali ke ladang, Irewa jadi sedih. Semua itu dirasakan Irewa, sungguh tak
Karena ladangnya ada yang rusak, Irewa jadi mengenakkan. Dalam sepi malam, Irewa
hanya duduk duduk saja sesampai di ladang. larut dalam rasa bosan. Jenuh hidup penuh
Suasana sepi. Ladang milik orang satu dan kesusahan. Irewa tiba-tiba jadi merasa rindu
lainnya memang berjauhan. Irewa sungguh pada ibunya, Mama Kame (Herliany, 2015,
sedih memikirkan tentang anak-anaknya hlm. 139).
yang akan kurang makan. Secara umum,
kelaparan memang sering terjadi di daerah
pedalaman di Pulau Papua. Banyak anak-
Kutipan tersebut menunjukkan
anak kecil yang badannya kurus. Matanya bahwa pola pikir Irewa untuk mengubah
cekung. Perutnya besar. Itu karena busung kehidupannya telah maju. Ada usaha yang
lapar. Mereka kekurangan makanan pokok kuat dari Irewa mengganti makanan yang
yang diperlukan bagi pertumbuhan dan dikonsumsi keluarganya dengan bahan yang
kesehatan badan. Irewa jadi sadar, selama
lebih mengenyangkan dan memperbaiki sistem
bertahun-tahun, makanan yang dimakannya
ternyata hanya itu-itu saja. Dan kini tak ada imunitas tubuh. Di samping itu, perempuan
betatas, keladi, sayur yang hanya itu-itu memiliki keterkaitan dengan pembangunan,
saja, dan buah yang juga hanya itu-itu saja. ilmu pengetahuan modern, dan krisis lingkungan
Dan kini, tak ada betatas, keladi atau talas. yang tengah terjadi di Distrik Yar. Dengan
Hanya sayur saja. Buah juga tak ada. Anak-
adanya pendatang dari luar Papau, seperti
anak Irewa diare karena hanya makan sayur-
sayuran saja (Herliany, 2015, hlm. 139). pedagang dari Cina, Jawa, dan pulau lainnya
di Indonesia membuka mata hati Irewa untuk
Kutipan itu menunjukan bahwa Irewa melibatkan diri dalam proses pembangunan.
tidak hanya mengawasi kerusakan lingkungan, Irewa mengajak perempuan Papua lainnya
tetapi juga berperan penting dalam pengelo- untuk bersatu melawan ketimpangan yang
laan lingkungan, yaitu mengelola ladang yang terjadi akibat kedatangan orang luar yang
sudah disiapkan oleh suaminya untuk diolah mencari gaharu.
dan ditanami umbi-umbian dan sayuran dalam
Gaharu. Banyak orang-orang dari luar
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dada tataran
pulau datang ke Papua mencari gaharu. Di
inilah, teori ekofeminisme berhasil mendekon- antaranya mereka juga datang ke “kota”
struksi pola pikir patriarkat yang menindas Distrik Yar. Orang-orang di wilayah sekitar
perempuan dan alam. Posisi perempuan jus- Hobone tak ada yang tahu bahwa di daerah
tru harus diakui oleh pihak laki-laki dalam mereka ada pohon yang harganya mahal.
Gaharu rata-rata pohonnya tinggi dan lurus.
memahami pengetahuan yang mendalam dan
Semua bagian pohon bisa dimanfaatkan.
sistematis mengenai proses alam dan memulih Damar gaharu, gubal gaharu, kemedangan
kan kembali kekayaan alam yang menghidupi gaharu, dan abu atau serbuk gaharu (Herliany,
mereka. Usaha Irewa dalam mengubah kehidu- 2015, hlm. 145).
pan dan menjaga kesehatan anak-anak mereka
dapat dilihat dari pola pikirnya untuk mengubah Pada konteks perempuan dan isu
makanan yang dikonsumsi. lingkungan, pola relasi gender menjadi faktor
penggerak yang kuat dalam membangkitkan
Irewa juga merasa bosan makan hanya sayur kekuatan perempuan seperti Irewa. Perjuangan
dan sayur terus- menerus. Hari-hari saat-saat Irewa tidak hanya berusaha sebagai penyedia
makan adalah saat yang tak menyenangkan.
pangan yang berkelanjutan bagi keluarganya, Makanan yang dihasilkan dari ladang, seperti
tetapi berusaha untuk memerangi penyakit kangkung, betatas, keladi atau talas, dan sagu
masyarakat yang diakibatkan oleh maraknya mampu menopang kehidupan keluarganya
pelacuran di Distrik Yar. Banyak lelaki/suami (lihat Herliany, 2015, hlm. 17; 78—79; 138;
Papua mencari kesenangan di tempat pelacuran 148). Sebagai konsumen, perempuan Papua
sehingga mereka terjangkit penyakit sipilis atau dapat mengambil hasil bumi dari alamnya,
HIV. Penyakit itu kemudian menular kepada seperti kayu bakar, air, dan tumbuhan obat-
istri mereka, seperti kutipan Di distrik ini juga obatan. Irewa pun melakukan hal itu sebagai
sudah ada orang yang menderita penyakit HIV- bentuk tanggung jawab dan kepeduliaanya
AIDS dan meninggal (Herliany, 2015, hlm.182). terhadap lingkungan sekitarnya (lihat Herliany,
Irewa menyelematkan perempuan di Distrik Yar 2005, hlm. 1; 7; 18; 96; 113; 137). Selain itu,
dari penyakit HIV-AIDS yang dibawa oleh para Irewa mampu mengampanyekan arti penting
suami mereka. Tidak hanya penyakit kelamin lingkungan kepada masyarakat. Irewa di sini
yang diperangi oleh perempuan di Distrik memiliki peran sebagai campaigner (lihat
Yar, tetapi pembangunan yang dianggap tidak Herliany, 2015, hlm. 157; 158). Irewe mengajak
memihak lingkungan, seperti pencarian gaharu perempuan Papua, terutama yang tinggal
secara besar-besaran. di pedalaman, Distrik Yar dan sekitarnya
untuk menjaga kesehatan lingkungan, baik
Sejak ada orang-orang pencari gaharu, Distrik di lingkungan tempat tinggal maupun ladang.
Yar menjadi ramai. Pencari gaharu biasanya
mencari gaharu di hutan-hutan di pedalaman. Sebagai perempuan yang memiliki kemampuan
Mulanya yang masuk ke hutan hanya educator, Irewa telah mengajarkan anak-
beberapa orang saja dan hanya sebentar. anaknya tentang budi pekerti, etika, dan cara
Kadang pulang tanpa hasil. Lalu mereka bercocok tanam sejak dini (lihat Herliany, 2015,
masuk ke pedalaman yang lebih jauh lagi. hlm 72; 183). Anak-anak Irewa sejak kecil telah
Kondisi alam yang sulit dijangkau membuat
mereka tak mungkin balik tanpa hasil. Sudah
diajak ke ladang sehingga mereka tidak asing
banyak tenaga dan waktu terbuang (Herliany, lagi dengan pekerjaan di bidang pertanian.
2015, hlm. 146). Setelah bersekolah, anak-anak Irewa (Ansel,
Nella, Mery, dan Kiwana) masih ikut membantu
Kutipan itu menjelaskan bahwa faktor Irewa berkebun dan membawa hasil pertanian
kapitalis dengan industrilisasinya telah ke pasar. Perempuan sebagai communicator
membentuk konstruksi lingkungan sebagai memang tidak setinggi pihak laki-laki, tetapi
komoditas. Pembangunan industrilisasi dalam untuk urusan berdagang dan memasarkan hasil
hubungannnya dengan budaya patriarki ladang, Irewa memiliki kemampuan yang sama
masyarakat Hobone menyebabkan terjadinya dengan kaum laki-laki di lingkungan suku
ketimpangan terhadap perempuan. Meskipun Hobone.
demikian, perempuan seperti Irewa mampu
bertahan dan berjuang melawan sistem tersebut. Untuk sakit tulang dan obat agar kuat
mengerjakan pekerjaan berat di dalam hutan,
Perjuangan itu merupakan wujud npenghormatan
mereka memanfaatkan pohon kulilawang dan
terhadap alam. Rodda (1994, hlm. 124) masoi. Minyak kulilawang dimanfaatkan
berpendapat bahwa perempuan memiliki dengan cara membakar bagian kulitnya lalu
peran sebagai producer (produsen), consumer dijadikan sebagai minyak gosok. Sedang kulit
(konsumen), campaigner (pengampanye), masoi diambil minyaknya dan digunakan
sebagai bahan jamu, obat cacing, dan kejang
educator (pendidik), dan communicator
perut. Pohon pala juga dimanfaatkan. Biji
(komunikator). Sebagai produsen, Irewa dan bunganya sebagai obat tidur (Herliany,
mampu menghasilkan makanan dari ladangnya. 2015, hlm. 113).
Rodda, A. (1994). Women and the Environment. Wungo, T.C.H. (2016). “Peran Ganda Perem-
London: New Jersey Zed Books puan dalam Isinga Roman Papua Karya
Dorothea Rosa Herliany Kajian Kritik
Sa’dan, M. (2015). “Merawat Bumi dengan Sastra Feminis”. Skripsi. Yogyakarta: Sas-
Semangat Spiritual Ekofeminisme: Studi tra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Kasus Longsor di Banjarnegara”. Dalam Sanata Dharma.