Anda di halaman 1dari 4

UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH : HUKUM DAN ETIKA KESEHATAN DI OPK (RS)

1. Seorang Dokter Sp.B sedang berpraktik di klinik swasta pada hari Jum’at pukul 10.30
saat ia ditelepon oleh perawat RSUD tempat ia bekerja sebagai PNS. Di RSUD ada
seorang pasien yang diduga radang usus buntu rujukan seorang dokter umum dari
FKTP milik Kejaksaan Negeri.
Dokter Sp.B memberikan instruksi kepada perawat penelpon, agar menyiapkan OK
dan ia segera akan ke RSUD untuk melakukan operasi terhadap pasien.
Namun ternyata pasien di klinik bertambah, sehingga ia baru bisa ke RSUD sehabis
jum’atan. Sebelum ia berangkat ke RSUD, ia perintahkan penata anestesi untuk
melakukan anestesi terhada pasien agar dokter Sp.B dapat segera melakukan
apendektomi begitu sampai di RSUD.
Setiba Sp.B di OK, ia segera cuci tangan dan mengenakan pakaian OK dan
melakukan pembedahan. Karena pasien gemuk dengan berat badan 135 kg, maka ia
kesulitan mencari apendiks, sehingga akhirnya ia tutup kembali perut pasien tanpa
menemukan apendiks.
a. Uraikan pendapat anda, apa sajakah perbuatan dokter Sp.B yang merupakan
ketidakpatuhannya kepada hukum dan/etik!
Jawaban :
Ketidakpatuhan dokter Sp.B terhadap hukum dan/etik dapat terlihat dalam tabel di
bawah ini :

Ketidakpatuhan Hukum Ketidakpatuhan Etika


Lack of Skill (kompetensi kurang atau di Pasal 7a (seorang dokter harus, dalam
luar kompetensi/kewenangan) sehingga setiap praktik medisnya, memberikan
menyebabkan Malpraktik pelayanan medis yang kompeten
 Hal ini dapat dilihat pada kasus dengan kebebasan teknis dan moral
dimana dokter Sp.B tidak dapat sepenuhnya, disertai rasa kasih
menemukan apendiks karena sayang/compassion dan penghormatan
pasien gemuk dan akhirnya atas masrtabat manusia)
harus menutup kembali perut  Dalam kasus diketahui dokter
pasien. Sp.B tidak datang sesuai waktu
Kelalaian medik sehingga menyebabkan yang disebutkannya – “segera”
Malpraktik (tidak melakukan yang – namun malah datang setelah
seharusnya dilakukan, melakukan yang jum’atan karena jumlah pasien
seharusnya tidak dilakukan oleh orang- di kliniknya diluar
orang yang sekualifikasi pada situasi perkiraannya.
dan kondisi yang identik)  Dalam kasus juga diketahui
 Pada kasus disebutkan bahwa secara tidak kompeten dokter
dokter Sp.B telah melakukan Sp.B melakukan operasi
operasi, namun akhirnya kemudian karena pasien
menutup kembali tanpa gemuk, tidak dapat menemukan
melakukan tindakan apapun. Hal apendiks, sehingga perut
tersebut seharusnya tidak pasien ditutup kembali tanpa
dilakukan karena resiko yang menemukan apendiks.
diterima pasien sangat tinggi; Pasal 7c (seorang dokter harus
terjadinya infeksi sangat tinggi, menghormati hak-hak pasien, hak-hak
kondisi luka operasi pun harus sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan
dipertimbangkan, dll. lainnya, dan harus menjaga
Seharusnya dengan waktu yang kepercayaan pasien)
ada, dokter Sp.B dapat  Pada kasus dapat diketahui
mengumpulkan informasi yang bahwa pasien langsung di
ada tentang kondisi fisik pasien anestesi tanpa bertemu dengan
sebelum melakukan operasi, dokter Sp.B terlebih dahulu
kemudian tidak meminta untuk mendapatkan penjelasan
dilakukan anestesi terlebih mengenai tindakan yang akan
dahulu, melainkan seharusnya dilakukannya.
terjadi suatu komunikasi terlebih Pasal 7d (seorang dokter harus
dahulu, dengan demikian dokter senantiasa mengingat akan kewajiban
Sp.B dapat menyampaikan KIE melindungi hidup mahluk insani)
serta dapat melakukan asesmen  Jelas sekali perbuatan dokter
terhadap pasien. Jika memang Sp.B tersebut akan sangat
merasa tidak mampu maka berbahaya bagi pasien
seharusnya pasien dapat dirujuk tersebut. Assemen awal sangat
pada dokter yang lebih senior, membantu dokter dalam
berpengalaman, atau yang memutuskan tindakan/terapi
dirasa mampu – sebelum yang akan dilakukan, namun
melakukan tindakan anestesi, dokter Sp.B tidak
bahkan sebelum membuka perut mengindahkan hal tersebut
pasien. sehingga pasien menjadi
UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan korban.
dan UU No 29 Tahun 2004 Pasal 52
tentang Praktik Kedokteran
menyebutkan mengenai Hak Pasien
yang salah satunya adalah hak
memperoleh informasi (penjelasan)
secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal
45 ayat (3).
 Dalam kasus dokter Sp.B
meminta pasien langsung
dianestesi – tanpa bertemu
dengan pasien sebelumnya dan
memberikan penjelasan kepada
pasien ataupun keluarganya –
tanpa mengetahui sebelumnya
bagaimana kondisi fisik pasien.
Pada kasus pun tidak dinyatakan
bahwa kondisi pasien
membutuhkan operasi cito
(darurat/segera), namun dokter
Sp.B bahkan tidak mau
melakukan asesmen terlebih
dahulu sebelum memutuskan apa
yang selanjutnya akan
dilakukan.

b. Seandainya anda adalah dokter Sp.B tersebut, apa yang akan anda katakan kepada
pasien setelah ia sadar (dari anestesi) dan/atau kepada keluarganya?
Jawaban :
c. Ketidakpatuhan kepada hukum dan/atau etik mengakibatkan dokter Sp.B
berhadapan dengan risiko tuntutan ganti rugi. Menurut anda, apa tuntutan ganti
rugi yang mungkin diajukan kepadanya?
Jawaban :
Berdasarkan dasar hukum di bawah ini, maka dokter Sp.B dapat dituntut untuk
ganti rugi, yaitu :
 Pasal 1365 KUH Perdata : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, menggantinya.”
 Pasal 1366 KUH Perdata : “Juga yang disebabkan kelalaian.”
 Pasal 55 UU Kesehatan : “Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.”
 Pasal 1371 KUH Perdata : “Dalam hal luka/cacat, ganti rugi : biaya
penyembuhan dan kerugian akibat luka/cacat tersebut.”
d. Dalam rangka profesionalitas dokter, bagaimana anda akan mengatasi keadaan
tersebut secara bijaksana?
Jawaban :
 Untuk mengatasi profesionalitas kerja dokter Sp.B tersebut maka masalah
disiplin dapat diserahkan pada MKDKI yang dibentuk dan berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan menetapkan sanksi (UU No 29
Tahun 2004 Pasal 1 butir 14 dan pasal 55 ayat (1)). Kemudian untuk
permasalahan etik sendiri akan diserahkan pada Dewan Kehormatan Kode
Etik yang dibentuk oleh profesi dan yang akan menegakan etika serta menilai
pelanggaran profesi pada kasus di atas.
 Untuk masalah tuntutan perdata maka ada 2 jalan yang dapat ditempuh, yaitu :
- Litigasi (melalui gugatan di pengadilan, menghadirkan bukti, saksi, dll).
- Non-litigasi dengan damai di luar pengadilan dan menawarkan win-win
solution.
2. Pasien anak 11 tahun datang dengan panas, muntah, perut kembung dan didiagnosis
sebagai ileus obstruktif dengan tindakan operasi laparatomi oleh dr. Z Sp.BA (bedah
anak). Pasca operasi pasien tetap panas dan BAB cair. Laboratorium hari ke-3
menunjukan tanda sepsis. Dua jenis antibiotika diberikan. Pasien juga diperiksa
radiologi daerah abdomen, hasilnya tidak ada hal spesifik – menurut radiolog. Karena
seminggu tidak ada perbaikan, orangtuanya membawa pulang paksa dan
memindahkan pasien ke RS lain. Di RS lain tersebut pasien di CT-scan, ternyata
ditemukan kasa tertinggal di dalam abdomen. Kasa tersebut memiliki penanda metal
sehingga mestinya mudah terlihat dengan pemeriksaan radiologi. Pasien
direlaparatomi, dikeluarkan kasanya dan ususnya dipotong sepanjang 32 cm karena
telah nekrosis.
a. Apakah masalah etik dan hukum di peristiwa tersebut?
Jawaban :
b. Siapa saja yang dapat dihadapkan kepada hukum?
Jawaban :
c. Apakah tuntutan pidana dapat diterapkan? Apakah gugatan perdata juga dapat
diterapkan? Jelaskan pula alasan atau dasar hukumnya!
Jawaban :
d. Mungkinkah peristiwa tersebut diselesaikan dengan cara di luar pengadilan?
Jelaskan!
Jawaban :
e. Apakah peristiwa tersebut juga dapat merugikan RS? Jelaskan!
Jawaban :

Anda mungkin juga menyukai