Anda di halaman 1dari 3

Apakah Utang Orang Meninggal Wajib Ditanggung Keluarga?

Aset orang yang meninggal dunia tidak boleh dibagikan kepada ahli waris terlebih
dahulu sebelum tanggungan finansial mayit terpenuhi. Tanggungan-tanggungan
tersebut meliputi biaya pemulasaraan jenazah, termasuk pembayaran rumah sakit jika
ada, wasiat serta urusan utang piutang. 

Allah subhâ nahâ wa ta’â lâ berfirman: ‫ْن‬ٍ ‫ُوص ي بِهَا َأ ْو َدي‬ ِ ‫ ِم ْن بَ ْع ِد َو‬Artinya:
ِ ‫ص يَّ ٍة ي‬
“(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya
atau (setelah dibayar) utangnya.” (QS An-Nisa’: 11)  Di antara catatan penting pada ayat
di atas adalah tentang masalah utang piutang. Utang mayit (orang yang wafat) secara
finansial dibagi menjadi dua kategori. Pertama utang finansial yang berhubungan
dengan Tuhan seperti tanggungan zakat, orang tua yang sudah tidak kuat lagi
menjalankan ibadah puasa Ramadhan sehingga ia harus membayar fidyah, dan lain
sebagainya.

Begitu juga seumpama ada orang yang selama hidupnya tidak pernah membayar zakat
sama sekali padahal ia masuk kategori orang mampu, sedangkan ia meninggal dalam
keadaan masih belum membayar zakat-zakatnya.

Kedua, utang finansial yang berhubungan dengan sesama manusia seperti utang uang,
pakaian, beras dan lain sebagainya.

Ada tiga pandangan ulama tentang mana yang semestinya diprioritaskan jika ada orang
meninggal dengan mempunyai dua jenis tanggungan di atas. Pertama, yang harus
diselesaikan pertama kali adalah utang finansial kepada Allah ta’â lâ . Pendapat ini yang
paling shahîh. Kedua, lebih penting mendahulukan utang sesama manusia. Ketiga,
masing-masing mempunyai kedudukan yang sama. Masing-masing dari perbedaan tiga
pandangan di atas dikupas panjang lebar di beberapa kitab fiqih (Lihat selengkapnya:
an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab [Dâ rul Fikr], juz 6, halaman 232).  Adapun
bagi orang meninggal dalam keadaan mempunyai tanggungan utang, ahli waris tidak
bisa begitu saja membelanjakan harta warisan tanpa mendapatkan izin dari semua
orang yang diutangi oleh mayit sebelum utang-utang tersebut dibayar. Bagaimanapun
juga, orang yang mempunyai piutang mempunyai hak kepemilikan aset tinggalan mayit.
Jadi segala transaksi apa pun yang menggunakan harta mayit harus atas persetujuan
orang-orang yang mempunyai piutang kepada mayit. Jika ada orang meninggal dunia—
baik meninggalnya dengan aset warisan cukup banyak maupun

sedikit—kemudian ada salah satu keluarga mengumumkan bahwa semua utang-utang


si mayit ia yang menanggung, maka pengambilalihan tanggungan seperti ini hukumnya
sah. Namun, meskipun sah atas pergeseran tanggungan, utang mayit tetap dianggap
belum lunas jika keluarga atau penanggung yang bersedia menanggung utang tersebut
belum benar-benar membayarkan utang mayit tadi secara kontan. ‫ مات‬:)‫ـ (مسألة‬
‫ فلو‬،‫شخص وعليه دين وخلف ماالً قدر الدين أو أكثر ال تبرأ ذمته حتى يؤدي عنه‬
‫تحمل الولي أو غيره الدين لينتقل إلى ذمته ويبرىء الميت بصيغة الضمان لم ت برأ‬
‫ وال داللة في ح ديث عل ّي رضي هللا عنه على ب راءة ذمة الميت‬،‫على المش هور‬
‫ وإنما فيه داللة على صحة الضمان‬،‫بالضمان‬، Artinya: “Ada orang meninggal dunia.
Ia mempunyai tanggungan utang. Namun ia juga meninggalkan aset yang berbanding
lurus dengan jumlah utang atau bahkan lebih banyak. Utang mayit dianggap belum
lunas selama belum benar-benar dibayar secara kontan. Adapun jika ada ahli waris atau
siapa saja yang berkenan menanggung utang mayit dengan misi supaya tanggungan
utang mayit kepada pribadi penanggung, hukumnya tetap tidak bisa secara otomatis
lunas. Demikian menurut pendapat masyhur. Adapun pendapat yang berdasar atas
perkataan Sayidina Ali radliyallahu 'anh yang menegaskan lunasnya tanggungan mayit
bisa sebab ada yang menanggung tersebut hanya mengarah kepada hukum pergeseran
tanggungan utang orang lain termasuk orang yang meninggal itu hukumnya sah (namun
tidak menjadi lunas jika tidak dibayarkan secara tunai). (Ibnu Ziyad, Ghayatu Talhishil
Murad, [Darul Fikr, Beirut, 1994), halaman 219.  Bagaimana jika ada orang meninggal
dunia sedangkan utang yang harus ia bayar melebihi dengan aset yang ia tinggalkan
atau bahkan ia malah tidak punya tinggalan aset sama sekali? Apakah ahli warisnya
mempunyai kewajiban untuk membayarnya? Ulama sepakat bahwa istilah warisan
utang tidak ada dalam fiqih. Apabila mayit memang meninggal dunia dengan
tanggungan utang menggunung, di sisi lain ia tidak meninggalkan aset cukup, maka ahli
waris tidak otomatis berkewajiban membayar utang-utang mayit. Namun apabila
terdapat ahli waris yang menghendaki untuk berbaik hati, melaksanakan kesunnahan,
hukumnya sah-sah saja membayarkan utang keluarganya yang sudah meninggal dunia.
Demikian disampaikan oleh Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Jâ mi’ li Ahkâ mil Quran yang
‫وباالجماع لو مات ميت وعليه دين لم يجب‬
mengutip dari kitab Al Mufhim 3/443:  

‫ ف ان تط وع ب ذلك ت أدى ال دين عنه‬،‫على وليه قض اؤه من مال ه‬.  Artinya: “Sesuai
konsensus ulama, jika ada orang meninggal, sedangkan ia mempunyai tanggungan
utang, maka bagi walinya tidak wajib membayarkan utang dengan mengambil harta
walinya. Namun apabila ia ingin berbuat sunnah melalui demikian, bisa melaksanakan
dengan cara membayarkan utang yang telah ditanggung mayit tersebut. (Muhammad
bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jâ mi’ li Ahkâ mil Quran, [Maktabah Ar-Risalah, Beirut, 2006
M], juz 5, halaman 230).  Bagaimana seumpama keluarga memang tidak mampu lalu
dimintakan zakat. Utang mayit diambilkan dari bagian ghâ rim daripada ashnaf zakat?. 
Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Nawawi dalam karyanya Al-Majmu’, beliau
mengutip dari Syekh Husain Yahya Al-Yamani, bahwa zakat yang disalurkan untuk
melunasi utang mayit atas nama gharim terdapat dua pendapat.  Pertama, tidak boleh.
Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan
Ahmad.  Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut
spesifikasi orang hidup atau mati.  ْ‫ات َر ُج ٌل َو َعلَ ْي ِه َدي ٌْن َواَل تِرْ َكةَ لَهُ هَل‬ َ ‫ع) لَ ْو َم‬ ٌ ْ‫ـ (فَر‬
‫ص ا ِحبُ ْالبَيَ ا ِن (َأ َح ُدهُ َما) اَل يَ ُج و ُز‬ َ ‫ان َح َكاهُ َما‬ ِ َ‫ين فِي ِه َوجْ ه‬ ِ ‫ضى ِم ْن َسه ِْم ْال َغ‬
َ ‫ار ِم‬ َ ‫يُ ْق‬
‫وم‬ِ ‫ص ْي َم ِريِّ َو َم ْذهَبُ النَّ َخ ِع ِّي َوَأبِي َحنِيفَ ةَ َوَأحْ َم َد ( َوالثَّانِي) يَ ُج و ُز لِ ُع ُم‬ َّ ‫َوهُ َو قَ ْو ُل ال‬
‫اح دًا ِم ْن ْال َوجْ هَ ْي ِن‬
ِ ‫ض ا ِء َد ْينِ ِه َك ْال َح ِّي َولَ ْم يُ َرجِّ حْ َو‬
َ َ‫ع بِق‬ ُ ُّ‫ص حُّ التَّبَ ر‬ ِ َ‫اآْل يَ ِة َوَأِلنَّهُ ي‬ 
Artinya: “Jika ada orang meninggal, ia mempunyai tanggungan utang sedangkan ia tidak
mempunyai aset yang ditinggalkan. Apakah utang boleh dibayarkan dari jatah
“gharimin” (orang-orang utang)? Di sini terdapat dua wajah. Pertama, tidak boleh.
Pendapat ini dilontarkan oleh As-Shaimariy, mazhab An-Nakha’iy, Abu Hanifah dan
Ahmad. Kedua, boleh-boleh saja sesuai arah ayat “al-gharim” dengan tanpa menyebut
spesifikasi orang hidup atau mati.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Darul
Fikr], juz 6, halaman 211)  Menurut Ad-Darimi, kebolehan mengambil jatah zakat untuk
melunasi utang mayit tersebut apabila memang tidak ada ahli waris yang
membayarkannya. Sedangkan menurut Syekh Yusuf bin Ahmad Ibnu Kajjin tetap tidak
diperbolehkan ambil harta zakat, hingga untuk membeli kain kafan pun harus
dibebankan kepada ahli waris meskipun mereka orang yang miskin. Wallahu a’lam. 
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Quran an-Nasimiyyah,
Semarang

Sumber: https://islam.nu.or.id/jenazah/apakah-utang-orang-meninggal-wajib-
ditanggung-keluarga-2yZLF

Anda mungkin juga menyukai