Anda di halaman 1dari 8

Rahn ( (‫الرهن‬

Rahn memiliki dua makna secara bahasa yang pertama ialah Atsubut wad dawam ( ‫الثبوت والدوام‬
) yang bermakna tetap dan langgeng kemudian, kedua adalah Al habs ( ‫ ) احلبس‬yang bermakna
menahan . Secara istilah syara’ yang dijelaskan para ulama yaitu barang yang punya nilai
harta pada kacamata syari’ah sebagai jaminan suatu hutang.

berikut dalil diperbolehkannya Rahn ialah Al quran , sunnah dan ijma’:


1. Al quran surat al baqoroh ayat 283
‫َوِاْن ُكْنُتْم َعٰل ى َس َف ٍر َّوْمَل ِجَتُد ْو ا َك اِتًبا َفِرٰه ٌن َّمْق ُبْو َض ٌۗة َفِاْن َاِم َن َبْع ُضُك ْم َبْع ًض ا َفْلُيَؤِّد اَّلِذ ى اْؤ ِمُتَن َاَم اَنَتهٗ َو ْلَيَّتِق الّٰل َه َرَّب ۗٗه‬
Artinya : Jika kamu dalam perjalanan, sedangkan kamu tidak mendapatkan seorang
pencatat, hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Akan tetapi, jika sebagian kamu
memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya

2. Hadist
‫ امنا يريد حممد ان يذهب مبايل فقال النيب صلى اهلل‬: ‫وقد رهن النيب صلى اهلل عليه وسلم درعه عند يهودي طلب منه سلف الشعري فقال‬
‫ اين ألمني يف األرض أمني يف السماء ولو ائتمنين ألديت اذهبوا اليه بدرعي‬،‫ كذب‬: ‫عليه وسلم‬
Nabi Muhammad Saw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi itu untuk
menghutangi gandum maka, Yahudi tersebut mengatakan : Muhammad mengambil
hartaku. Maka, Nabi Muhammad Saw bersabda: “ Sesungguhnya aku orang yang dapat
dipercaya di bumi dapat dipercaya di langit, kalau aku dipercaya niscaya aku akan
menunaikan kepercayaan itu, pergilah kepada orang Yahudi itu dengan baju besiku.
Dengan adanya hadist ini maka, rahn itu diperbolehkan dalam islam.

Di sini terdapat ikhtilaf ulama’ tentang disyaratkannya rahn ketika seseorang dalam
bepergian, menurut ulama’ jumhur akad rahn boleh dilaksanakan meskipun tidak dalam
perjalanan. Sedangkan dalam ayat diatas, menceritakan akad rahn biasanya dilaksanakan
ketika dalam perjalanan. pendapat ini sama dengan pendapat imam mujahid , adlohaq
dan dhohiriyah namun pendapat ini di bantah ulama’ dengan dasar hadist diatas.
Adapaun rukun – rukun akad rahn itu ada empat ;
1. ‫ ( راهن‬orang yang menggadaikan )
2. ‫ ( مرهتن‬orang yang menerima gadai )
3. ‫ ( مرهون‬barang yang di gadaikan )
4. ‫ ( مرهون به‬hutang )
Dalam rukun tersebut ulama’ ulama juga berbeda pendapat menurut imam hanafi
rukun rahn itu ada dua yakni ijab dan qobul saja dari rahin dan murtahin sedangkan,
menurut ulama’ jumhur selain hanafi itu ada empat yakni shigot ( ijab dan qobul ) ,
akid ( rahin dan murtahin ) , marhun dan marhun bih.
Keadaan bolehnya akad gadai itu ada 3 peratama, terjadi bersama terjadinya akad
utang piutang. Kedua, terjadi setelah adanya utang. Ketiga, terjadi sebelum adanya
utang. Dalam kedaadan yang ketiga ini imam hanafi dan maliki membolehkannya
karena sebagai jaminan suatu utang sedangkan, menurut imam syafi’i dan hambali
tidak boleh karena jaminan sebuah utang harus setelah adanya utang.
Syarat sah rahn juga ada emapat ;
1. Berakal
2. Baligh ( menurut imam syafi’i sedangkan imam hanafi dan maliki cukum tamyiz
tidak harus baligh )
3. Barang yang digadai harus ada ketika akad meskipun belum ditentukan
barangnya yang mana
4. Orang yang menerima gadai ( murtahin ) atau wakilnya menerima barang
tersebut.
Hukum rahin ( orang yang menggadai ) memanfaatkan barang gadai itu terdapat dua
pendapat, ulama’ jumhur selain syafi’i megatakan tidak boleh sedangkan, menurut
imam syafi’i boleh bagi seorang rahin untuk memanfaatkan barang gadai selagi tidak
merugikan murtahin ( orang yang menerima gadai ). Selain ini, hukum murtahin
memanfaatkan barang gadai juga terdapat dua pendapat, menurut ulama’ jumhur
selain imam hambali mengatakan tidak diperbolehkannya hal tersebut sementara itu,
iamam hambali membolehkan seorang murtahin untuk memanfaatkan barang gadai
jika barang tersebut sebuah hewan namun, pemanfaatan ini harus senilai dengan
biaya biaya perawatan hewan tersebut. Adapun biaya, penjagaan dan pengembalian
rahn itu menjadi tanggung jawab rahin begitupula, manfaat barang rahn tetap
menjadi milik rahn. Jika barang gadai itu berkembang semisal barangnya berupa
domba yang berbulu tebal maka bulu tersebut masuk dalam akad rahn dan juga jadi
barang jaminan. imam syafi’i mengatakan manfaat barang gadai tidak masuk dalam
barang gadai, berbeda dengan imam malik yang mengatakan bahwa manfaat barang
gadai tidak masuk dalam barang gadai kecual barangnya berupa anak hewan atau
tunas tumbuhan maka dua barang ini termasuk barang jaminan kemudian jika
seorang mutahin mengeluarkan biaya dalam penjagaan/perawatan barang gadai saat
rahin tidak ada maka biaya itu menjadi tangungan rahin dan murtahin boleh
memintanya kepada rahin ketika ada. Jika barang gadai itu mengalami kerusakan
menurut imam syafi’i dan hambali tidak wajib nanggung ketika sidah menjaga
dengan hati hati tapi jika sebaliknya yakni menjaga dengan ceroboh maka wajib
nanggung sedangkan menurut imam hanafi karena seorang murtahin jika dilihat dari
istifa’ dan dloman dia berhak mengambil dari barang tersebut senilai dengan nilai
hutang rahin jika rahin tidak mampu melunasi, dalam masalah mengambil senilai
dengan barang rahn seorang murtahin harus tahu prosedurnya yaitu dengan menjual
barang tersebut kemudian jika hasil dari penjualan tersebut melebihi hutangnya
rahin maka murtahin harus mengembalikannya jika kurang maka dia berhak
meminta kepada rahin. Adapun hukum rahin mentashorufkan barang rahn/gadai itu
terdapat rincian, jika barangnya di tashorufkan sebelum serah terima dalam akad
rahn maka hukumnya boleh tapi jika sebaliknya maka tidak boleh kecuali atas izin
murtahin begitupula seeorang murtahin mentashorufkan barang gadai juga harus atas
izin rahin karena barang yang ditashorufkan bukan miliknya, menurut imam hanafi
dan maliki tashorufnya di mauqufkan sedangkan, menurut imam syafi’i dan hambali
tashorufnya dihukumi bathil tidak bisa dibenarkan. Dan berakhirnya akad rahn itu
ketika barang rahn sudah dikembalikan kepada rahin secara sukarela dari murtahin
maka akad gadai tersebut batal.

Hiwalah ( ‫) حوالة‬
Secara bahasa adalah al intiqol( pemindahan ) dan secara istilah
ulama’ selain imam hanafi :
‫عقد يقتضي نقل الدين من ذمة ايل ذمة‬
Sebuah akad yang menuntut pemindahan hutang dan tangunggan
kepada tangungan yang lain.
Maksud dari hiwalah adalah seorang memindahkan tagihan dari
satu pihak ke pihak lain. Akad hiwalah ini biasanya terjadi dalam
masalah utang piutang misal Ahmad berhutang kepada Zaid
sedangkan, Umar juga memiliki utang kepada Ahmad yang mana
hutangnya Umar sama dengan hutangnya Ahmad kepada Zaid
kemudian, Ahamad memindahkan utangnya kepada Zaid ke Umar
jadi, yang melunasi utangnya Ahmad kepada zaid adalah umar.

Akad hiwalah dalam isalam diperbolehkan karena dibutuhkan oleh


manusia. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam bukhari
dan muslim dari abu hurairah Rosulallah Saw bersabda : Menunda
nuda pelunasan hutang bagi orang yang mempunyai harta adalah
sebuah kedzaliman dan jika seseorang diminta untuk menagih
hutang kepada orang yang memiliki harta hendaknya dia
mengikuti.
Dalam hadist ini Rosulallah Saw juga memeintahkan kepada orang
yang punya piutang ketika diminta untuk menagih hutangnya
kepada pihak yang lain yang orang tersebut memang ada potensi
untuk membayar hutang tersebut maka hendaknya dia menerima
pemindahan tersebut. Mengenai hadist tersebut terdapat perbedaan
ulama’ tentang hukum perintah itu apakah wajib/sunnah. Menurut
imam hambali dan dhohiri itu merupakan perintah wajib
sedangkan, menurut ulama jumhur perintah tersebut hanyalah
sunnah.
Adapun rukun rukun akad hiwalah juga terdapat perbedaan
pendapat ulama. Menurut imam hanafi hanya ada dua yakni ijab
dan qobul sedangkan, menurut ulama jumhur terbagi menjadi 5
rukun ;
1. Muhil ( orang yang punya hutang sekaligus punya piutang )
2. Muhal ( orang yang punya hutang kepada Muhil )
3. Al muhal ‘alaih ( orang yang punya utang kepada muhil dan dia
setelah akad hiwalah harus membayar utangnya kepada al
muhal)
4. Al muhal bih ( utangnya al muhil yang dipindahkan )
5. Shighot ( ijab dan qobul )
Sama seperti akad akad lainya Akad hiwalah juga memliki syarat
diantaranya ;
Menurut ulama’
1. ‫رضى احمليل واحملال‬
Ridhonya muhil dan muhal

-menurut ulama’ jumhur tidak menayaratkan ridhonya muhal


‘alaih tapi, dalam madzhab hanafi disyaratkan ridhonya muhal ‘alaih
sedangkan menurut madzhab hambali dan dhohiri disyaratkan
ridho muhil saja

2. Adanya kesamaan hak piutang dari muhal ke muhil dan juga


piutangnya muhil terhadap muhal ‘alaih. Kesamaan disini ialah
dalam jenis kadar, jatuh temponya, dan juga kualitas dari hutang
tersebut. Maka tidak sah jika hutangnya emas kemudian
dipindahkan untuk mengambil dari hutang perak atau
hutangnya jatuh tempo kemudian dipindahkan untuk menagih
hutang yang masih belum jatuh tempo dan tidak sah juga kalau
haknya berbeda kualitas.

3. ‫استقرار الدين‬

Hutang itu sudah tetap ( menjadi sebuah hutang )


4. ‫معلوم‬
Kedua hak/tagihan itu diketahui

Akad hiwalah berdasarkan sifat muhil terbagi menjadi 2 macam ;


1. ‫ ( حوالة احلق‬memindahkan piutang )
2. ‫ ( حوالة الدين‬memindahkan hutang )
Jika muhilnya adalah ( ‫ ) دائن‬orang yang punya piutang maka
disebut ( ‫ ) حوالة احلق‬memindahkan piutangnya kepada orang
lain/muhal tetapi, kalau al muhil yang memindahkan hutang
adalah ( ‫ ) مدين‬orang yang berhutang maka disebut (‫) حوالة الدين‬
memindahkan hutang Jadi;
‫•حوالة احلق‬
Sebuah piutang dipindahkan dari orang yang punya piutang
kepada orang yang lain juga.
‫•حوالة الدين‬
Orang yang berhutang memindahkan hutangnya kepada
orang lain.
Dari sisi lain Hiwalah bisa dibagi menjadi dua. Hiwalah
Muqoyyadah ( ‫ ) حوالة مقيدة‬dan Hiwalah muthlaqoh ( ‫)حوالة مطلقة‬.
Menurut Ulama jumhur hanya ada hiwalah muqoyyadah
yakni muhil memindahkan tagihanya muhtal kepada muhal
‘alaih yang mana muhal ‘alaih punya hutang ke muhil maka
hiwalah muqoyyadah bisa disebut hiwalatul haq/dain.
Sedangkan hiwalah muthlaqoh itu hanya dibenarkan oleh
mahdzab hanafi yaitu muhil memindahkan tagihanya muhtal
ke muhal ‘alaih yang tidak punya hutang ke muhil maka
hanya bisa disebut hiwalatul dain.

Wakalah ( ‫) وكالة‬
Wakalah ini memiliki banyak defini, secara bahasa ada 2
pernyataan yang pertama, adalah ‫ ( التفويض‬menyerahkan )
seperti dalam kalimat ‫وكلت امري ايل اهلل‬
Yang kedua, ialah ‫ ( احلفظ‬menjaga ). Yang dimaksud disini
ialah mewakilkan seseorang pada urusan yang bisa
diwakilkan. Sedangkan, menurut ulama’ definisi wakalah
adalah akad menyerahkan urusan kepada urusan orang lain
untuk dikerjakan yang orang itu sendiri bisa
melaksanakannya dimasa hidupnya
Dalil disyariatkan wakalah ialah al quran, hadist dan ijma’ ;
•Al quran surat al kahfi ayat 19
‫ٍق‬ ‫ِت‬ ‫ِق ِذ ِا ِد ِة‬
‫َفاْبَعُثْٓو ا َاَح َدُك ْم ِبَوِر ُك ْم ٰه هٖٓ ىَل اْلَم ْيَن َفْلَيْنُظْر َاُّيَه ٓا َاْزٰك ى َطَعاًم ا َفْلَيْأ ُك ْم ِبِرْز ِّم ْنُه‬
Maka, utuslah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini. Hendaklah dia melihat manakah makanan yang lebih
baik, lalu membawa sebagian makanan itu untukmu.
•Hadist
Nabi muhammad Saw mewakilkan aba rofi’ dengan orang anshor untuk
menikahkan beliau dengan maimunah ra dan lainya

Hukum dari wakalah sendiri itu adalah ‫ ( استحباب‬sangat dianjurkan ) karena


adanya tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Wakalah terbagi menjadi 2 ;
1. Wakalah bi ajr ( imbalan ) : wakalah yang menggunakan imbalan
2. Wakalah bi ghairi ajr : wakalah tanpa imbalan
Keduanya diperbolehkan dalam islam, prinsipnya ketika tanpa ada
imbalan maka akadnya jaiz kedua pihak boleh membatalkannya.
Kalau dengan imbalan ulama berbeda pendapat ;
Menurut mahdzab hanafi, maliki dan hambali akadnya menjadi akad
lazim atau mengikat jadi tidak boleh dibatalkan sepihak saja
Menurut mahdzab syafi’i akadnya. Menjadi jaiz boleh tiap pihak
membatalkannya
Selain ini ulama juga berbeda pendapat akan kebolehannya wakalah yang
dikaitkan dengan syarat/waktu yang akan datang menurut madzhab hanafi
dan hambali boleh dilakukan secara langsung atau dikaitkan dengan
syarat/waktu yang akan datang sedangkan, menurut madzhab syafi’i tidak
boleh.
Adapun syarat dari seorang muwakkil ( orang yang mewakilkan ), wakil
( oranh yang mewakili ) dan muwakal fihi ( urusan yang diwakilkan ) sebagai
berikut;
1. Orang yang mewakilkan atau muwakil harus ‫ مالكا للتصرف فيما يوكل فيه‬dia
harus boleh orang yang melakukan Akad atau urusan yang akan
diwakilkan itu. Kalau seseorang tidak boleh melakukan transaksi maka
dia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain Seperti orang gila anak
kecil yang belum Munayyiz. Sebagian ulama membolehkan mewakilkan
suatu urusan kepada orang lain yang membawa manfaat secara murni.
Tapi Jikalau urusan yang diwakilkan itu merugikan maka tidak boleh.
2. Berakal sehat, kalau anak kecil yang sudah mau mayees menurut Mat
hub Hanafi diperbolehkan dengan dalil Amr bin ummu salamah
menikahkan ibunya dengan nabi padahal dia masih kecil tapi sudah
mumayyiz.
3. - Harus diketahui wakilnya ‫ جمهوال جهالة غري فاحشة‬Ketidak jelasan tapi sangat
kecil itu dibolehkan kecuali kalau mewakil berkata “belilah apapun
terserah kamu untukku” maka diperbolehkan wakil membelikan
muwakil seperti apa yang diperintahkan
- ‫ ان يكون قابال للنيابة‬boleh mewakilkan dalam akad akad yang boleh bagi
seorang untuk melakukan Akad tersebut dengan dirinya sendiri
seperti Akad jual beli, ijaroh dan lain lain.
patokan yang boleh untuk dilakukan wakalah adalah setiap akad yang
boleh dilakukan dirinya sendiri maka, boleh untuk diwakilkan begitu
juga sebaliknya jika suatu Akad tidak boleh diwakilkan maka tidak boleh
mewakilkan nya seperti sholat karena amalan tersebut disyariatan untuk
menguji seorang hamba apakah mau untuk melaksanakannya.
Kemudian seorang wakil itu adalah orang yang dapat dipercaya dan tidak
menanggung resiko ketika terjadi suatu masalah kecuali ada unsur
kesengajaan seperti dia menjual barangnya atau menyerahkan barangnya
sebelum menerima uangnya.
Dalam masalah wakil mewakilkan kepada orang lain menurut madzhab
syafi’i dan hambali itu tidak boleh Akan tetapi dalam Madzhab Maliki
juga tidak boleh kecuali wakil itu tidak pantas untuk melakukan urusan
tersebut dengan dirinya sendiri sementara itu dalam Madzhab Hanafi
wakalah terbagi menjadi dua yaitu ;
Wakalah ammah yakni tidak ada batasan dari seorang muwakkil kepada
wakil maka, wakil boleh mewakilkan urusannya kepada orang lain
sedangkan Wakalah khosoh itu dibatasi oleh muwakil maka wakil
tersebut harus melakukannya dengan dirinya sendiri.
Dalam akad wakalah ada beberapa hal yang menyebabkan akad tersebut
berhenti ;
1. Salah satu pihaknya antara muwakil dan wakil meninggal/gila
2. Ketika urusan terlaksana
3. Ketika muwakil mencabut wakalahnya dari wakil tersebut meskipun
wakil tidak mengetahui akan hal itu. Dalam masalah pencabutan
wakalahnya menurut Madzhab Hanafi wakil harus mengetahui hal
itu
4. Ketika wakil mengundurkan diri dari akad wakil Dan seorang wakil
tidak harus mengetahui akan adanya itu Akan tetapi dalam Madzhab
Hanafi muwakkil harus mengetahui hal tersebut
5. Ketika muwakkal fihi itu sudah keluar dari kepemilikannya muwakil

Anda mungkin juga menyukai