Anda di halaman 1dari 2

Kasus Prita dan Teknologi Marketing 2.

JAKARTA, KOMPAS.com - Di dunia maya, kata kunci "prita mulyasari" dan "rs omni" kini
sedang populer di mesin pencari. Kasus keluhan konsumen lewat e-mail pribadi itu memang
memilukan yang berujung pada penahanan Prita Mulyasari. Terlepas siapa yang paling
benar, dari pengalaman ini, tak ada pihak yang diuntungkan.

Prita Mulyasari (32), seperti terlihat di televisi, terguncang akibat penahanan ini. Pihak
rumah sakit, di mata mesin pencari seperti Google dan Yahoo!, gugatan untuk menegakkan
nama baik itu berbalik 180 derajat dari harapan.

Buka saja Google dan masukkan kata kunci "rumah sakit omni internasional" . Hitung berapa
komentar positif dan komentar negatif di situ.

Google sebagai mesin pencari favorit telah mengindeks ribuan dan mungkin nanti bisa
jutaan kecaman. Tak ada harapan bisa memulihkan kecaman itu menjadi pujian. Mesin
pencari akan abadi menyimpan arsip itu.

Jadi, selamat datang di dunia marketing 2.0. Kasus ini mengindikasikan, publik Indonesia
ternyata melek internet dan siap menyongsong era baru. Suka atau tidak, bahasa baru
marketing telah datang dan efektif bekerja.

Dimotori para netter dan anggota situs jejaring sosial, terutama Facebook, tampak nyata
sifat dari marketing 2.0. Jeritan satu e-mail itu berkumandang di jutaan komentar dukungan
pada Prita. RS Omni Internasional yang tak aktif di dunia jejaring sosial diasosiasikan sebagai
"orang luar".

Teknologi marketing tak lagi menggunakan media konvensional. Marketing 2.0 justru
bertumpu pada basis "dari mulut ke mulut".

Pemerhati marketing 2.0, Paul Beelen (www.paulbeelen. com), mengingatkan, tradisi word
of mouth ini lebih berkuasa karena didukung para netter.

Mulut yang dimaksud adalah teknologi web atau menurut istilah pakar internet, Tim O'Reilly,
sebagai web 2.0 yang merupakan generasi terbaru teknologi web interaktif seperti situs
jejaring sosial, blog, RSS, dan lain-lain.

Kini, paradigma baru bukan lagi publikasi dari perusahaan, melainkan partisipasi publik.
Jutaan orang merelakan waktu berjam-jam nongkrong di situs jejaring sosial untuk berbagi.

Data Nielsen NetView April 2009 menyebutkan, waktu yang dibutuhkan bersosialisasi di
jejaring sosial nomor satu, Facebook, naik 700 persen dibandingkan dengan April tahun lalu.
Twitter yang tahun lalu traffic-nya nomor lima setelah Facebook, MySpace, Blogger, dan
Tagged, waktu yang dihabiskan user naik fantastis 3.712 persen daripada tahun lalu.

Ruang "web"
Marketing 2.0 tak lagi menonjolkan iklan konvensional di publicsphere yang strategis,
melainkan penetrasi websphere pada situs web dengan traffic tinggi. Tak hanya
mengandalkan pembuat naskah iklan, melainkan pakar-pakar SEO atau Search Engine
Optimization ulung.

Ahli marketing 2.0, Don Thorson, lewat situs donthorson.com menekankan materi iklan tak
lagi sentralistik dari manajemen yang disaring humas ke konsumen. Materi marketing 2.0
beragam, bisa berasal dari siapa pun.

Humas tak punya kontrol atas iklan yang beredar. Memilukan jika sampai ada materi buruk
beredar. Namun, begitulah semangat berbagi, mereka akan membicarakan baik-buruknya
layanan produk yang ada.

Di era marketing 2.0, perusahaan tak bisa menghentikan konsumen membicarakan


produknya. Menyakitkan memang, tetapi justru dari sini banyak peluang terbentang.

Jika mau berpartisipasi, strategi ini bisa mudah digunakan. Pesan bisa tersebar layaknya
virus, inilah viral marketing yang telah membuat banyak perusahaan melek internet berjaya.

Lari ke internet

Sejak dulu para netter punya tradisi berbagi pengalaman pribadi atau mengulas produk.
Ulasan atau komentar positif memang diyakini lebih efektif daripada iklan komersial.

Banyak orang terbantu dengan tulisan atau review orang lain. Membaca komentar orang
lain sebelum membeli laptop kini sudah menjadi kebiasaan kita.

Orang-orang juga lari ke internet mencari segala sesuatu, misal terkait kesehatan. Konsumen
makin pintar dan punya informasi yang dia peroleh dari membaca ulasan orang lain.

Jika komunikasi dokter bermasalah, ini bisa memicu iklan buruk dan siap-siap saja menuai
komentar negatif.

Yakinlah, gugatan terhadap komentar negatif tak akan efektif memadamkan "bola api liar" di
internet.

Lalu, apa solusinya? Tak ada cara lain kecuali dengarkan dan berkomunikasilah. Bagaimana
jika tak berhasil? Ingat kata dokter: lipat gandakan dosisnya.

http://tekno. kompas.com/ read/xml/ 2009/06/08/ 09092245/ kasus.prita. dan.teknologi.


marketing. 2.0

Anda mungkin juga menyukai