Anda di halaman 1dari 47

CLINICAL SCIENCE SESSION

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Disusun oleh:
Wida Iswandari
Jafan Argya Pradana

Partisipan:
M. Rizky Hendiperdana
Syifa Andini
Azmi Fadhlih
Tasa Tammya
Eko Ferdiansyah

Preceptor:
Apen A, dr., Sp.PD

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD AL IHSAN BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. karena atas

rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan clinical science session

(CSS). Tugas laporan ini dibuat dalam rangka memenuhi laporan clinical science

session bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Al Ihsan Bandung Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Bandung.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari masih banyak

terdapat kekurangan dan kelemahan yang disebabkan oleh keterbatasan

pengetahuan dan pengalaman penulis. Oleh sebab itu, demi bertambahnya

wawasan dan pengetahuan penulis dalam penyusunan laporan kasus dikemudian

hari, penulis dengan lapang dada menerima segala kritik dan saran yang

membangun dari semua pihak.

Keberhasilan dalam penyusunan laporan kasus ini tidak terlepas dari

bantuan, bimbingan, pengarahan baik moral maupun material yang tidak ternilai

besarnya dari berbagai pihak. Dengan segala kerendahan hati, penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada Apen A, dr., Sp.PD selaku perseptor yang telah

banyak memberikan waktu, tenaga, bimbingan serta dorongan penuh kesabaran.

Selain ucapan terima kasih, penulis juga ingin menyampaikan permohonan

maaf kepada semua pihak apabila selama penulisan laporan kasus ini, penulis

banyak melakukan sesuatu hal yang tidak berkenan.

Semoga segala amal kebaikan dan bantuan yang diberikan kepada penulis

mendapatkan pahaya yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhirnya dengan
segala kerendahan hati penulis berharap karya tulis ini dapat berguna bagi siapa

saja yag membacanya.

Wassalamuallaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuhu.

Bandung, Maret 2013

Penulis
BAB I

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

1.1. Definisi

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit yang

dikarakteristikan dengan adanya Obstruksi aliran udara yang dikenal sebagai

Chronic Bronchitis atau Emphysema. Obstruksi aliran udara biasanya progresif

dan mungkin disertai dengan Hyperreactivity akiran udara dan digambarkan

sebagai Partially Reversible. ( American Thoracic Society ).

PPOK adalah penyakit yang dikarakteristikan sebagai keterbatasan

Airflow yang tidak sepenuhnya reversible. Keterebatasan aliran udara ini biasanya

progressive dan dihubungkan dengan respon inflamasi yang abnormal paru – paru

terhadap partikel berbahaya atau gas. ( Global Initiative for Chronic Obstructive

Lung Disease ).

1.2. Epidemiologi

- Paling sering/ paling utama terjadi pada perokok.

- Non-perokok:

o Wanita yang terlalu lama terpapar oleh polusi indoor sewaktu

memasak.

o Para pekerja yang dihubungkan dengan kadar tinggi partikel yang

dihirup.
- ± 14 juta orang di US:

o 12,5 juta memiliki bronchitis kronis.

o 1,65 juta partikel yang dihirup.

- Penyebab kematian ke-4 di US sebagian besar wanita.

- Persentase perokok pada populasi dewasa di US lebih dari 50% dropped,

kira-kira 25%nya meninggal pada usia 30 tahun.

- Survei th 2001: Di US, kira-kira 12.1 jt pasien menderita PPOK, 9juta

menderita bronkitis kronis, dan sisanya menderita emphysema, atau

kombinasi keduanya.

- The Asia Pacific CPOD Roundtable Group memperkirakan, jumlah

penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik

mencapai 56, 6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3 persen.

- Sementara itu, di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita

dengan prevalensi 5,6 persen. Kejadian meningkat dengan makin

banyaknya jumlah perokok (90% penderita PPOK adalah smoker atau ex-

smoker)

1.3. Etiologi

1. Rokok : yang paling utama

2. Environmental Pollution

3. Genetic faktor.

4. Infection
Definisi Mikroorganisme
Group A Mid exacerbation: H. influenza
No risk factors for S. pneumoniae
poor outcome M. catarrhalis
Chlamydia pneumoniae
Viruses
Group B Moderate Group A plus, presence of
exacerbation resistant organisms (β-lactamase
with risk factor(s) for producing, penicillin-resistant
poor outcome S.pneumoniae),
Enterobacteriaceaae(K.pneumoniae,
E.coli, Proteus, Enterobacter, etc)
Group C Severe exacerbation Group B plus:
with risk factors for P.aeruginosa
P.aeruginosa
infection

1.4. Faktor Resiko

1) Genetik

PPOK adalah polygenic disease dan contoh klasik interaksi antara gene-

environment. Terjadi deficiency alpha-1 antitrypsin. Gen yang mudah

terpengaruh PPOK meliputi chromosome 2q. Genetik yang berhubungan

dengan pathogenesis PPOK meliputi transforming growth factor beta 1 (TGF-

β1), microsomal epoxide hydrolase 1 (mEPHX1), dan tumor necrosis factor

alpha (TNFα).

2) Paparan partikel

o Tobacco smoke

Perokok aktif mempunyai prevalence abnormalitas symptom

respiratory dan fungsi paru, meningkatkan mortality rate PPOK

dibandingkan perokok pasif. Resiko untuk PPOK berhubungan

dengan usia saat mulai merokok, banyaknya merokok, dan seringnya


merokok. Perokok pasif juga dapat berhubungan dengan gejala

respiratory dan PPOK karena peningkatan total partikel dan gas yang

dihirup. Merokok selama kehamilan juga dapat beresiko terhadap

fetus, mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru in utero

dan juga system imun.

o Occupational dusts, organic, and inorganic

Exposure meliputi organic dan inorganic dust dan agen kimia dan

asap.

o Indoor air pollution from heating and cooking

kayu, kotoran hewan, sisa tanaman, dan batubara, biasanya dibakar

dalam api terbuka atau kurang berfungsinya kompor, berperan

terhadap tingginya level indoor air pollution. Tanda indoor air

pollution dari biomass cooking dan heating pada tempat tinggal yang

berventilasi buruk adalah factor resiko penting untuk PPOK.

o Outdoor air polution

Polusi udara yang tinggi dapat membahayakan individu untuk terkena

penyakit jantung atau paru-paru.

3) Pertumbuhan dan perkembangan paru-paru

Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses yang terjadi selama

kehamilan, kelahiran dan exposure selama childhood.

4) Oxidative stress

Paru-paru secara terus menerus terexpose terhadap oxidant baik secara

endogen dari phagocyte dan type cell lain atau secara exogen dari polusi
udara atau cigarette smoke. Ketika terjadi ketidakseimbangan antara

oxidant dan antioxidant terjadi oxidative stress.

5) Gender

Gender dalam perkembangan PPOK unclear. Dahulu, dalam penelitian

memperlihatkan prevalence dan mortality PPOK lebih tinggi pada pria

dibanding wanita, namun seiring perkembangan prevalence antara pria dan

wanita sama. Pada beberapa penelitian menyatakan prevalence pada

wanita lebih tinggi dibanding pria.

6) Usia

7) Respiratory infections

Infeksi virus dan bakteri mungkin berkontribusi terhadap pathogenesis dan

progresi PPOK, dan koloni bakteri berhubungan dengan airflow limitation,

dan juga berperan terhadap exacerbation.

8) Socioeconomic status

Bukti resiko berkembangnya PPOK yang berhubungan dengan status

sosioekonomi masih unclear, walaupun berhubungan terhadap paparan

terhadap indoor dan outdoor air pollutants , keramaian, nutrisi yang buruk

atau factor lain yang berhubungan dengan status ekonomi yang rendah.

9) Nutrisi

Malnutrisi dapat mengurangi kemampuan otot respirasi ketika ekspirasi

dan inspirasi.
1.5. Klasifikasi

Spiometric Classification of COPD Severity Based of Post-Bronchodilator FEV1

Stage
Stage I: Mild FEV1/FVC <0.70
FEV1 80 % predicted
Stage II: Moderate FEV1/FVC <0.70
50% FEV1 80% predicted
Stage III: Severe FEV1/FVC <0.70
30% FEV1 50% predicted
Stage IV: Very Severe FEV1/FVC <0.70
FEV1 < 30% predicted or FEV1 < 50%
predicted plus chronic respiratory failure

- “ At risk for COPD” dahulu dikenal sebagai stage 0 (tahun 2001), yaitu

orang-orang dengan baruk kronik dan produktif, namun bukti yang ada belum

lengkap untuk mendiagnosisnya.

- Stage I: Gejala batuk kronik dan produktif mungkin ada tapi tidak selalu.

Pada stage ini, pasien mungkin belum sadar bahwa fungsi paru-parunya telah

menurun.

- Stage II: shortness of breath yang khas berkembang pada saat exertion dan

batuk dengan sputum juga kadang-kadang ada. Pada stage ini, pasien akan

mencari pertolongan medis karena gejala respirasi yang kronik atau

eksaserbasi penyakitnya. (stage pada kasus ini)

- Stage III: greater shortness of breath, penurunan kapasitas exercise, fatigue,

dan eksaserbasi berulang yang hampir selalu berefek pada quality of life dari

pasien.
- Stage IV: Respiratory failure didefinisikan sebagai penurunan tekanan

parsial arteri O2 (PaO2) yang kurang dari 8.0 kPa (60 mmhg), dengan atau

tanpa tekanan pasial arterial CO2 (PaCO2) yang lebih besar dari 6.7 kPa (50

mmhg) ketika bernapas pada sea level. Kegagalan respirasi ini mungkin juga

berefek pada jantung, seperti cor pulmonal (gagal jatung kanan) yang

memiliki gejala peningkatan JVP, dan pitting ankle edema. Pasien dengan

stage ini, memungkinkan untuk terdapatnya komplikasi, quality of life nya

pun sangat terganggu dan eksaserbasi mungkin mengancam kehidupannya.

1.6. Gambaran Klinis

1) Anamnesis

o Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala

pernapasan

o Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

o Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

o Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir

rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok

dan polusi udara

o Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

o Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

2) Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

- Inspeksi
o Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

o Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

sebanding)

o Penggunaan otot bantu napas

o Hipertropi otot bantu napas

o Pelebaran sela iga

o Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis di leher dan edema tungkai

o Penampilan pink puffer atau blue bloater

- Palpasi

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

- Perkusi

Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong ke bawah

- Auskultasi

 Suara napas vesikuler normal, atau melemah

 Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada

ekspirasi paksa

 Ekspirasi memanjang

 Bunyi jantung terdengar jauh

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi

yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk

mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik

1.7. Tipe PPOK

1.7.1 Chronic Bronchitis

1.7.1.1 Definisi

Merupakan inflamasi yang terjadi pada bronkus dan ditandai dengan

hipersekresi mucus dan batuk kronis yang produktif selama 3 bulan atau lebih

pertahun.
1.7.1.2 Etiologi

1) Faktor lingkungan

- Merokok

- Pekerjaan

- Polusi udara

- Infeksi

2) Faktor host

- usia

- jenis kelamin

- penyakit paru yang sudah ada

1.7.1.3 Manifestasi klinis

- Mengik

- Nafas pendek

- Obstruksi saluran nafas.


1.7.1.4 Patogenesis

Merokok berefek pada :

a. Mucous production

b. Muciliary clearance

c. Airway inflammation
1.7.2 Emphysema

1.7.2.1 Definisi
Kondisi paru-paru yang dikarakteristikan dengan pembesaran abnormal

yang permanent dari acini (gas exchange airway) disertai dengan distruksi dinding

alveolar.

1.7.2.2 Insidensi

 Penyebab ke 4 morbidity dan mortality di US

 50% dari semua case kombinasi panacinar dan centriacinar emphysema

 Terdapat hubungan antara cigarreta smoking dan emphysema, type severe

terjadi pada laki-laki dan perokok.

1.7.2.3 Etiologi

o Smoking

o Polusi udara

o Defisiensi α1-antitripsin (factor genetik)

1.7.2.4 Manifestasi klinis

Sesak saat aktivitas, batuk dengan sedikit sputum, pasien biasanya kurus,

hiperresonant pada saat perkusi.

1.7.2.5 Klasifikasi

Pembagian emphysema berdasarkan anatomis distribution:

1. Centriacinar (centrilobular)emphysema

 Menyebabkan obstruction airflow yang significant

 >95%dari kasus
 yang terkena adalah bagian sentral atau proksimal acini, yang dibentuk

oleh respiratory bronhioles rusak , tapi distal alveoli tidak rusak.

 Emphysematous dan normal airspaces berada di dalam acinus dan

lobule yang sama.

 Lesi umumnya terdapat dan lebih parah pada upper lobes, terutama

apical segment

 Emphysematous spaces mengandung sejumlah besar black pigment

 Umumnya terdapat inflamasi disekitar brochi dan bronchioles

 Terdapat banyak pada heavy smokers, sering berhubungan denagn

chronic bhronchitis.

2. Panacinar (panlobular) emphysema

 Acini umumnya membesar dari respiratory bhronchioles sampai

alveoli.

 Biasanya pada lower zone dan pada bagian batas anterior dari paru-par,

lebih parah pada bases

 Tipe ini berhubungan dengan defisiensi alfa 1 antitripsin

3. Distal Acinar (paraseptal) emphysema

 Bagian proximal dari acinus normal, tapi bagian distal lebih sering

terlibat.

 Dikarakteristikan: multiple, continuos, pembesaran diameter airspaces

dari<5cm hingga>2 cm, terkadang berbentuk seperti cyst


4. Airspaces enlargement with fibrosis (irregular)

 Acinus irregular

 Biasanya terdapat scarring

 Asimptomatik dan tanda-tanda yang significant

1.7.2.6 Patogenesis

 COPD dikarakteristikan dengan mild chronic inflammation disepanjang

airways, parenchyma, dan pulmonary vasculature


 Penyebab yang paling mungkin dari destruksi dinding alveolar adalah adanya

mechanism protease-antiprotease ditambah dengan adanya ketidakseimbang

antara oxidant dan antioxidant.

Protease-antiprotease theory

 Alfa 1 antitripsin, disintesis di liver dan berada di serum, tissue fluid, dan

macrophage

 Inhibitor utama protease yang disekresikan oleh neutrophil Selama

inflammasi.

 Normal alfa 1 phenotype(PiMM) terdapat pada 90% populasi

 Phyenotype pada alfa 1 defisiensi: Pizz

 80% phenotype berkembang symptomatic emphysema yang terjadi pada

umur umur yang lebih muda dan lebih parah pada individu perokok.

 Prinsip aktivitas antietalase pada serum dan jaringan interstitial adalash alfa1-

AT(lainnya: secretory leukoprtease inhibitor padad bronchial mucus dan

serum alfa 1 macroglobulin.

 Principal aktivitas elastase berasal dari neutrophils(lainnya: elastase yang

dibentuk oleh macropages, mast cell, pancreas, dan bakteri

 Neutrophil elastase mampu mencerna paru-paru manusia dan hal ini bisa

dihentikan oleh alfa antitripsin

 Efek pada defisiensi alfa1 antitripsin pada paru-paru: neutrophil normalnya

sequestered pada paru-paru(lower zione>>upper zone) dan few gain acces to

alveolar spaces. Ada stimulus yang meningkatkan leukocytes(neutrophil dan


macrophages) pada lung atau isi dari leukocytes tersebut mengandung

granules, sehingga meningkatkan aktivitas elastolytic.

 Distimulasinya neutrophil juga dilepaskannya oxygen free radicals, yang

menginhibisi aktivitas alfa1 antitripsin. Kadar alfa1 yang rendah,

menyebabkan elastic tissue destruction, dan menjadi emphysema.

1.7.2.7 Patofisiologi

Emphysema ini dimulai dengan destruction dari alveolar septa,

dikarenakan adanya pemecahan dari elastin dalam septa. Ada postulate yang

mengatakan, bahwa inhaled oxidant seperti cigarette dan air pollution akan

menggangu keseimbangan elasteses(protelytic enzyme) dan antielastases (seperti

alfa 1 antitripsin) seperti elastin dihancurkan lebih cepat.

Kerusakan pada septal mengurangi tempat dari pulmonary capillary bed

dan meningkatnya volume udara di acinus. Expiration menjadi sulit karena

kehilangan elastics recoil mengurangi volume dari udara yang dapat diekspirasi

secara passive. Hyperinflation dari alveoli menyebabkan bullae dan aie space

adjacent to pleura (blebs).

Emphysema, centriacinar(centrilobar) atau panacini (panlobular). Pada

centriacinar emphysema , septal destruction terjadi di respiratory bhronchioles

dan alveolar ducts, biasanya pada upper lobes of lung. Alveolar sacs(alveolar

distal ke respiratory bhronchioles)masih ada bagian yang utuh. Pada panacinar

emphysema, kerusakan meliputi acinus dengan lower lobus lung. Dan cenderung
lebih terjadi pada orang yang lebih tua, dan individu dengan defisiensi alfa 1

antitripsin.

Perbedaan emphysema dan chronic bronchitis

Predominant Predominant
Bronchitis Emphysema
Age (yr) 40-45 50-75
Dyspnea Mild ; late Severe; early
Cough Early ; copious sputum Late; scanty sputum
Infection Common Occasional
Respiratory insufficiency Repeated Terminal
Cor pulmonale Common Rare; terminal
Airway resistance Increased Normal or slightly
increased
Elastic recoil Normal Low
Chest radiograph Prominent vessels ; large Hyperinflation; small
heart heart
Appearance Blue bloater Pink puffer

Pink puffer : Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit

kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathin. Pasien yang over ventilasi dan

oksigenasi yang tetap baik.

Blue bloater : Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,

terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pasien dengan chronic bronchitis lebih sering mempunyai riwayat recurrent

infection, jumlah purulen sputum banyak, hypercapnia, dan severe hypoxemia.


1.8. Patologi, patogenesis, dan patofisiologi PPOK

Karakteristik perubahan patologi dari COPD dapat ditemukan pada saluran

nafas proksimal, parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan-perubahan

patologis mencakup inflamasi kronis dengan peningkatan jumlah dari tipe sel

inflamasi spesifik pada berbagai bagian dari paru-paru dan perubahan struktural

sebagai akibat dari jejas yang berulang dan mengalami perbaikan. Secara umum,

perubahan infalamasi dan struktur pada aliran udara meningkat dengan

peningkatan keparahan dan ketidakmampuan pasien untuk berhenti merokok.

1.8.1. Patogenesis

Inflamasi pada saluran respirasi pada pasien COPD terlihat sebagai suatu

amplifikasi dari respons inflamasi yang normal pada saluran respirasi terhadap

iritan kronis seperti rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum dimengerti

secara penuh tetapi kemungkinan ditentukan secara genetik. Beberapa pasien

dapat menderita COPD tanpa adanya riwayat merokok, tetapi bagaimana

terjadinya respons inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru-paru

lebih jauh teramplifikasi oleh oxidative stress dan kelebihan proteinase pada paru-

paru. Secara bersamaan, mekanisme-mekanisme inilah yang menyebabkan

karakteristik perubahan patologis pada COPD.

Inflammatory Cells

COPD dikarakteristikkan dengan pola yang spesifik dari inflamasi yang

melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit (Gambar 1.). Sel-sel ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural

pada saluran pernafasan dan parenkim paru.

Gambar 1. Sel-sel Inflamasi yang Terlibat dalam Patogenesis Asma


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated 2007)

Inflammatory Mediators
Banyaknya mediator-mediator inflamasi yang meningkat pada COPD

(Gambar 2.) menarik sel-sel inflamasi dari sirkulasi (chemotactic factor),

mengamplifikasi proses inflamasi (proinflammatory cytokine), dan menginduksi

perubahan struktural (growth factor).


Gambar 2. Mediator-mediator Inflamasi yang Terlibat
dalam Patogenesis Asma
(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated
2007)

Oxidative Stress

Oxidative stress merupakan mekanisme amplifikasi yang penting pada COPD.

Biomarker dari oxidative stress (hydrogen peroxide, 8-isoprostane) meningkat

pada exhaled breath condensate, sputum, dan sirkulasi sistemik dari pasien

COPD. Oxidative stress lebih jauh meningkat pada eksaserbasi. Oksidan

dihasilkan oleh rokok dan partikel yang terinhalasi lainnya dan dilepaskan dari

sel-sel inflamasi yang teraktivasi seperti makrofag dan neutrofil. Terdapat

penurunan antioksidan endogen pada pasien COPD. Oxidative stress mempunyai

konsekuensi efek yang merugikan pada paru-paru yang mencakup aktivasi pada

gen inflamasi, inaktivasi dari antiprotease, stimulasi sekresi mukus, dan stimulasi

peningkatan eksudasi plasma. Banyak dari efek-efek yang merugikan ini

dimediasi oleh peroxynitrite yang dibentuk melalui mekanisme interaksi antara

superoxide anion dan nitric oxide. Pada gilirannya, nitric oxide dihasilkan oleh

induksi nitric oxide synthase yang diekspresikan pada saluran nafas perifer dan
parenkim paru pada pasien COPD. Oxidative stress juga berhubungan dengan

reduksi dari aktivitas histone deacetylase pada jaringan paru dari pasien COPD,

yang akan meningkatkan ekspresi dari gen inflamasi dan juga reduksi dari kerja

anti-inflamasi glukokortikosteroid.

Protease-Antiprotease Imbalance

Terdapat bukti dari ketidakseimbangan pada paru-paru pasien COPD antara

protease yang menghancurkan komponen jaringan konektif dan antiprotease yang

memproteksi terhadap kejadian ini. Beberapa protease yang berasal dari inflamasi

dan sel epitel meningkat pada pasien COPD. Terdapat juga bukti bahwa

komponen ini berinteraksi satu dan yang lainnya. Protease memediasi destruksi

dari elastin yang merupakan jaringan konektif utama pada parenkim paru yang

merupakan ciri khas emfisema dan proses ini bersifat irreversibel. Protease dan

antiprotease yang terlibat dalam pathogenesis asma dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Protease dan Antiprotease yang Terlibat dalam Patogenesis Asma


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated
2007)
Differences in Inflammation Between COPD and Asthma

Walaupun COPD dan asthma berhubungan dengan inflamasi kronis dari

respiratory tract, terdapat perbedaan yang mencolok pada sel-sel inflamasi dan

mediator yang terlihat pada dua penyakit ini, yang pada gilirannya menunjukkan

perbedaaan pada efek fisiologis, gejala, dan respons terhadap terapi.

Bagaimanapun, terdapat persamaan antara inflamasi paru-paru pada asma berat

dan COPD. Beberapa pasien dengan COPD mempunyai ciri-ciri seperti asma dan

mempunyai mixed inflammatory pattern dengan peningkatan neutrofil. Akhirnya,

orang dengan asma yang merokok akan mempunyai ciri khas patologis yang sama

dengan COPD.

Gambar 4. Perbedaan antara Patogenesis PPOK dan Asma


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD).
Updated 2007)
1.8.2. Patofisiologi

Sekarang telah diketahui mekanisme yang mendasari proses penyakit COPD

yang menyebabkan karakteristik abnormalitas fisiologis dan gejala-gejala lainnya.

Sebagai contoh, penurunan FEV1 biasanya adalah sebagai akibat inflamasi dan

penyempitan jalan nafas perifer sedangkan penurunan transfer gas muncul akibat

destruksi parenkim dari emfisema.

Airflow Limitation and Air Trapping

Banyaknya inflamasi, fibrosis, dan eksudat luminal pada aliran udara kecil

berhubungan dengan penurunan FEV1 dan FEV1/FVC ratio dan kemungkinan

dengan penurunan FEV1 yang merupakan karakteristik pada pasien COPD.

Obstruksi jalan nafas perifer ini secara progresif akan menjebak udara selama

ekspirasi yang berakibat pada hiperinflasi. Walaupun secara umum, emfisema

lebih berhubungan dengan pertukaran gas yang abnormal dibandingkan

penurunan FEV1, emfisema berkontribusi terhadap terperangkapnya udara selama

ekspirasi. Hal ini sangat penting karena alveolar attachment to small airway

hancur ketika penyakit menjadi lebih parah. Hiperinflasi akan menurunkan

kapasitas inspirasi sehingga kapasitas residual fungsional meningkat terutama

ketika exercise (abnormalitas ini lebih dikenal dengan hiperinflasi dinamik), dan

berakibat pada dyspnea dan pembatasan dari exercise capacity. Sekarang telah

diketahui bahwa hyperinflation berkembang lebih awal pada COPD dan

merupakan mekanisme yang utama untuk exertional dyspnea. Bronchodilator

yang bekerja pada jalan nafas perifer menurunkan air trapping yang kemudian
akan menurunkan volume paru dan meredakan gejala dan meningkatkan exercise

capacity.

Gas Exchange Abnormalities

Abnormalitas pertukaran gas berakibat pada hypoxemia dan hypercapnia dan

mempunyai beberapa mekanisme pada COPD. Secara umum, transfer gas akan

memburuk ketika keparahan penyakit berlanjut. Keparahan dari emphysema

berhubungan dengan arterial PO2 dan marker-marker lainnya dari ventilation

perfusion (VA/Q) imbalance. Obstruksi peripheral airway juga berakibat pada

VA/Q imbalance dan berkombinasi dengan ventilatory muscle impaired function

pada severe disease untuk menurunkan ventilasi yang menyebabkan retensi CO 2.

Abnormalitas pada alveolar ventilation dan penurunan pulmonary vascular bed

lebih jauh akan memperparah VA/Q abnormalities.

Mucus Hypersecretion

Mucus hypersecretion akan berakibat pada chronic productive cough yang

merupakan ciri khas dari chronic bronchitis dan biasanya tidak berhubungan

dengan airflow limitation. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan COPD

mempunyai symptomatic mucus hypersecretion. Ketika hal tersebut ada, hal ini

terjadi karena peningkatan jumlah dari goblet cell dan pembesaran dari

submucosal gland karena respons terhadap chronic airway irritation karena rokok

dan noxious agent lainnya. Beberapa mediator dan protease akan menstimulasi
mucus hypersecretion dan banyak dari substansi ini menunjukkan efeknya melalui

aktivasi dari epidermal growth factor receptor (EGFR).

Pulmonary Hypertension

Mild to moderate pulmonary hypertension dapat berkembang terlambat pada

perjalanan COPD karena adanya hypoxic vasoconstriction of small pulmonary

arteries yang akhirnya akan berakibat pada perubahan struktur yang mencakup

intimal hyperplasia dan kemudian smooth muscle hypertrophy/hyperplasia.

Terdapat inflammatory response pada pembuluh darah yang sama seperti terlihat

di airway dan bukti dari endothelial cell dysfunction. The loss of the pulmonary

capillary bed pada emphysema juga berkontribusi terhadap peningkatan tekanan

pada pulmonary circulation. Progressive pulmonary circulation dapat

menyebabkan right ventricular hypertrophy dan akhirnya right-side heart failure

(cor pulmonale).

Systemic Features

Sekarang telah diketahui bahwa COPD melibatkan beberapa ciri khas

sistemik, terutama pada pasien dengan severe disease dan juga mempunyai

dampak pada harapan hidup dan comorbid disease. Cachexia lazim terlihat pada

pasien dengan severe COPD. Mungkin terdapat loss of skeletal muscle mass dan

weakness sebagai hasil dari peningkatan apoptosis dan atau muscle disuse. Pasien

dengan COPD juga mempunyai kecenderungan osteoporosis, depression, dan

chronic anemia. Peningkatan konsentrasi dari inflammatory mediator yang


mencakup TNF-α, IL-6, dan oxygen derived free radical yang memediasi

beberapa efek-efek sistemik. Terjadi peningkatan resiko cardiovascular disease

yang berkorelasi dengan peningkatan C-reactive protein (CRP).

Gambar 5. Gambaran sistemik yang Terjadi pada PPOK


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD).
Updated 2007)
1.9. Diagnosis Banding

Gambar 8. Diagnosis Banding COPD


(Sumber: Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management,
and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated
2007)
1.10. Diagnosis

Diagnosis klinis untuk PPOK dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagnosis Klinis PPOK


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and
Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated 2007)

Assessment symptoms

Gejala utama pada pasien Stage I: Mild COPD adalah batuk kronis dan

produksi sputum. Gejala ini berlangsung selama beberapa tahun sebelum

berkembang menjadi limitasi aliran udara dan biasanya diabaikan atau tidak

diperhitungkan oleh pasien.

Limitasi aliran udara memburuk pada pasien Stage II: Moderate COPD,

pasien sering mengalami dyspnea yang dapat mengganggu aktivitas harian.


Umumnya pada stage ini pasien mencari bantuan medis dan dapat didiagnosis

COPD.

Namun beberapa pasien tidak mengalami batuk, produksi sputum, dan

dyspnea pada Stage I: Mild COPD atau Stage II: Moderate COPD, dan tidak

datang mencari bantuan medis hingga limitasi aliran udara menjadi lebih parah

secara akut karena infeksi saluran respirasi.

Ketika limitasi aliran udara semakin memburuk dan pasien memasuki

Stage III: Severe COPD, gejala-gejala batuk dan produksi sputum biasanya terus

ada, dyspnea memburuk, dan terdapat gejala-gejala tambahan menunjukkan

komplikasi (seperti respiratory failure, right heart failure, weight loss, dan

arterial hypoxemia).

Physical Examination

Inspection

- Sianosis sentral

- Keabnormalitasan dinding dada, seperti barrel chest shaped, relatively

horizontal ribs, dan protruding abdomen.

- Hemi-diafragma mendatar

- Peningkatan kecepatan respirasi dan menjadi lebih dangkal.

- Pursed-lip breathing

- Retraksi otot-otot pernafasan.

- Edema pada tungkai bawah


Palpation and percussion

- Seringkali kurang membantu dalam COPD

- Deteksi apeks jantung akan sulit karena adanya hiperinflasi.

- Penurunan letak liver.

Auscultation

- Penurunan suara pernafasan

- Mengi

- Crackles

- Suara jantung paling terdengar pada xiphoid area.

Measurement of Airflow Limitation (Spirometry)

Spirometry harus dilakukan pada semua pasien yang memiliki COPD.

Assessment of COPD Severity

Gambar 7. Klasifikasi COPD berdasarkan Spirometri


(Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated 2007)
Additional Investigation

Untuk pasien yang di diagnosis Stage II: Moderate COPD ke atas,

investigasi tambahan bisa dipertimbangkan:

 Bronchodilator reversibility testing

Bronchodilator atau oral glucocorticoid reversibility testing dapat

memprediksi progresifitas penyakit dengan menilai penurunan FEV1,

kemunduran status kesehatan, atau frekuensi eksaserbasi.

 Chest X-ray

Perubahan radioilogis yang berhubungan dengan COPD termasuk tanda-

tanda hyperinflation (diapragm yang mendatar pada lateral chest film, dan

peningkatan volume retrosternal air space), hyperlucency of the lung, dan

rapid tapering of vascular markings.

 Arterial blood gas measurement

Tes ini harus dilakukan pada pasien yang stabil dengan FEV 1 <50% predicted

atau dengan clinical sign respiratory failure atau right heart failure.

 Alpha-1 antitrypsin deficiency screening

Pada pasien Caucasian muda yang berkembang COPD (<45 tahun) atau yang

mempunyai riwayat keluarga COPD, dapat diperiksa coexisting Alpha-1

antitrypsin deficiency.
1.11. Komplikasi

 Bronkitis akut

 Pneumonia

 Pulmonary thromboembolism

 Heart failure

 Hipertensi pulmonal

 Cor pulmonale

 Gagal nafas kronis

 Pneumotoraks spontan

1.12. Penatalaksanaan

1.12.1 Non Farmakologis

 Menghentikan kebiasaan merokok

 Rehabilitasi paru-paru secara komprehensif dengan OR dan latihan

pernafasan

 Perbaikan nutrisi

1.12.2 Farmakologis

 Terapi oksigen à pemberian > 15 jam/hari untuk pasien gagal nafas

kronis
 Antikolinergik inhalasi à first line therapy, dosis harus cukup tinggi : 2

puff 4 – 6x/day; jika sulit, gunakan nebulizer 0.5 mg setiap 4-6 jam prn,

exp: ipratropium atau oxytropium bromide.

Ipratoprium bromide (Inhaler : 20-40 mcg, 3-4 kali sehari; Anak s/d 6 th :

20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali sehari. Sediaan Inhaler 20

mcg/Semprot. Inhalation solution : 250 - 500 mcg, 3-4 kali sehari; Anak

s/d 6 th : 125-250 mcg, dapat diulang tiap 4-6 jam, dosis maksimum sehari

1 mg; 6-12 th : 250 mcg, dapat diulang sampai dosis maksimum sehari 1

mg). Sediaan Inhalation Solution 250 mcg/ml.

 Simpatomimetik à second line therapy : terbutalin (400-500 μg, 4-6 jam),

salbutamol (100-200μg, 4-6 jam)

Salbutamol

Oral (Lebih dipilih dengan inhalasi) :

 Dewasa : dosis 4mg (orang lanjut usia dan penderita yang peka awali

dengan dosis awal 2 mg) 3-4 kali sehari; dosis maksimal 8mg dalam

dosis tunggal ( tetapi jarang memberikan  keuntungan ekstra atau

dapat ditoleransi dengan baik).

 Anak-anak dibawah 2 tahun : 100 mcg/kg 4 kali sehari (unlicensed);

2-6 tahun 1-2 mg 3-4 kali sehari; 6-12 tahun 2 mg 3-4 kali sehari.

 Injeksi s.c / i.m 500mcg ulangi tiap 4 jam bila perlu.

 Injeksi IV bolus pelan 250 mcg diulangi bila perlu.


 IV infus, dosis awal 5mcg/menit, disesuaikan dengan respon dan nadi,

biasanya dalam interval 3-20 mcg/menit, atau lebih bila perlu. Anak-

anak 1-12 bulan 0,1-1 mcg/kg/menit (unlicensed).


Inhalasi :

 Dewasa : 100-200 mcg (1-2 semprot); untuk gejala yang menetap

boleh diberikan sampai 4 kali sehari; Anak-anak : 100mcg (1

semprot), dapat ditingkatkan sampai 200 mcg (2 semprot) bila perlu;

untuk gejala menetap boleh diberikan sampai 4 kali sehari.

 Profilaksis pada exercise-induced bronchospasm, Dewasa 200mcg (2

semprot); anak-anak 100mcg (1 semprot), ditingkatkan sampai

200mcg (2 semprot) bila perlu. 

 Serbuk inhalasi : Dewasa 200-400 mcg; untuk gejala yang menetap

boleh diberikan sampai 4 kali sehari; anak-anak 200mcg. Profilaksis

untuk exercise-induced bronchospasm Dewasa 400mcg; anak-anak

200 mcg.

 Inhalasi dengan larutan nebulizer, bronkospasme kronik yang tidak

respon terhadap terapi konvensional dan pada terapi asma akut berat.

 Dewasa dan anak lebih dari 18 bulan 2.5 mg, diulang sampai 4 kali,

dapat ditingkatkan menjadi 5 mg bila perlu, tetapi perlu

mempertimbangkan penilaian medis karena kemungkinan terapi

alternatif dapat diindikasikan.

 Anak dibawah 18 tahun (unlicensed) (hipoksemia transient dapat

terjadi-pertimbangkan penggunaan suplemen oksigen), 1.25-2.5 mg

sampai 4 kali sehari tetapi administrasi yang lebih sering

kemungkinan diperlukan pada kasus-kasus parah.


 Kombinasi antikolinergik dan simpatomimetik à untuk meningkatkan

efektifitas (aminofilin IV 240 mg atau teofilin)

Aminofilin

Cara pemberian :

  1. Oral : dapat digunakan bersama dengan makanan

  2. Intravenous:

 Dapat diberikan dengan injeksi lambat IV bolus atau dapat

diberikan dengan IV infus   

 Jangan dicampur dengan obat lain didalam syringe

 Hindari penggunaan obat-obat yang tidak stabil dalam suasana

asam bersamaan dengan aminofilin

 Jangan digunakan jika terdapat kristal yang terpisah dari larutan

 Jangan digunakan jika larutan tidak jernih. 

Dosis :

 Dewasa : Asma akut berat yang memburuk dan belum mendapat terapi

dengan Teofilin. Injeksi IV pelan : 250-500mg (5 mg/kg) (diinjeksikan

lebih dari 20 menit) dengan monitoring ketat, selanjutnya dapat diikuti

dengan dosis pada asma akut berat.

 Dewasa : Asma akut berat : IV infus 500 mcg/kg/jam (dengan

monitoring ketat) disesuaikan dengan konsentrasi plasma Teofilin.

 Anak-anak : Asma akut berat yang memburuk dan belum mendapat

terapi dengan Teofilin. Injeksi IV pelan : 5 mg/kg (diinjeksikan lebih


dari 20 menit)  dengan monitoring ketat, selanjutnya dapat diikuti

dengan dosis pada asma akut berat.

 Anak-anak : Asma akut berat: IV infus: anak usia 6 bulan - 9 tahun

1mg/kg/jam anak usia 10 - 16 tahun 800 mcg/kg/jam disesuaikan

dengan konsentrasi teofilin dalam plasma.

 Bentuk sediaan: Tablet 225 mg, Ampul 10ml

 Corticosteroid:

 Oral à Prednisone 0,5 mg/kg/hari selama 14 – 21 hari)

 Inhalasi à 6 – 12 minggu

 Antibiotik, indikasi:

 Eksaserbasi akut

 Bronkitis akut

 Mencegah eksaserbasi akut dari bronkitis kronis (profilaktik)

 trimetroprim-sulfametoksazol (160/800 mg setiap 12 jam),

amoxicillin/amoxicillin-clavulanate (500 mg setiap 8 jam), atau

doxycycline (100 mg setiap 12 jam) diberikan selama 7 – 10 hari.

 α1 antitrypsin IV (60 mg/kgBB 1 x seminggu)

 Operasi

 Lung transplantation

 Lung volume reduction surgery

 Bullectomy
1.13. Pencegahan

 Smoking cessation

 Untuk high-risk patient à Vaksin influenza (tiap tahun) dan infeksi

pneumokokal (5-10 tahun)

1.14. Prognosis

 Indikator: umur dan keparahan

 Jika ada hipoksia dan cor pulmonale prognosis jelek

 Dyspnea, obstruksi berat saluran nafas, FEV1 < 0.75 L (20%) angka

kematian meningkat, 50% Pasien berisiko meninggal dalam waktu 5

tahun.
BAB II

EKSASERBASI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

2.1. Definisi

Suatu penyakit yang dikarakteristikkan dengan perubahan dyspnea, batuk,

dan atau sputum, kondisi memburuk dari keadaan normal dari hari ke hari

bervariasi, onset akut dan memerlukan pengobatan tambahan.

2.2. Etiologi

- Infeksi dari virus dan bakteri (60%-70%)

- Polusi udara

- Mikroorganisme penyebab:

 Mild/moderate exacerbation : Streptococcus pneumonia,

Haemophilus influenza, clamydia pneumoniae, virus.

 Severe exacerbation : Pseudomonas sp. , other gram-negative

(enteric bacilli)

2.3. Manifestasi Klinis

- Meningkatnya breathlessness (dengan atau tanpa batuk)

- Perubahan warna dan penebalan sputum

- Wheezing

- Chest tightness
- fever

2.4. Diagnosa dan penilaian keparahan

2.4.1 Medical history

- Main : meningkatnya breathlessness, wheezing, chest tightness,

peningkatan sputum dan batuk, perubahan warna sputum dan demam.

- Non specific : tachycardia, tacypnea, malaise, insomnia, sleepness,

fatigue, depression, dan confusion.

2.4.2 Assessment of severity

- Spirometry

- Pulse oximetry dan atrial blood gas measurement

- Laborator test : CBC polycythemia (Hct > 55%), Sputum culture

2.5. Patogenesis

Eksaserbasi menunjukkan amplifikasi selanjutnya dari respon inflamasi

pada jalan nafas pasien COPD, dan dapat dirangsang oleh adanya infeksi virus,

bakteri, atau polutan udara. Pada eksaserbasi ringan dan sedang terdapat

peningkatan neutrofil dan pada beberapa penelitian terdapat eosinofil pada sputum

dan dinding salauran nafas. Hal ini berhubungan dengan peningkatan konsentrasi

mediator tertentu, seperti TNF-α, LTB4, dan IL-8, serta peningkatan biomarker

dari oxidative stress. Saat eksaserbasi terdapat peningkatan hiperinflasi dan air

trapping, dengan menurunnya aliran ekspirasi, sehingga menyebabkan


peningkatan dyspnea. Terjadi perburukan dari VA/Q abnormal menyebabkan

hipoksemia berat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, 4th ed. Jakarta : Departemen Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

2. TR, Harrison., et.al. 2005. Harrison`s Principles of Internal Medicine. United

States of America: McGraw-Hill.

3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and

Prevention. 2007

4. Tierney. Current Medical Diagnosis and Treatment. McGraw-Hill.2001.

5. Pauwels, R et al. Global Strategy For The Diagnosis, Management, and

Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD). Updated

2007.

Anda mungkin juga menyukai