Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KAPITA SELEKTA FARMASI KLINIK

(PENYAKIT BRONKOPNEUMONIA)

Disusun Oleh :
Nama Kelompok 11 :
1. Dena Galuh Chicilia (1061922014)
2. Fitri (1061922034)
3. Novianti Kartikasari (1061921060)
4. Nurita Bakti (1061922062)
5. Ria Yunita (1061922067)
6. Tika Dwi Kusumaningrum (1061921083)

PROGAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG”
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju.
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan influenza
(Dananjaya, Rasyid., 2018)
Berdasarkan anatomis lokasi lesi di paru, pneumonia dibagi menjadi pneumonia
lobaris, pneumonia lobularis (bronkopneumonia) dan pneumonia interstitialis
(bronkiolitis) (Salsabila, Neli., 2019)
Bronkopneumonia merupakan inflamasi paru yang terfokus pada inflamasi paru
pada area bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat
mengakibatkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan menyebabkan
konsolidasi (Salsabila, Neli., 2019)
Pengobatan infeksi saluran pernafasaan bronchopneumonia terdiri atas
pengobatan antibiotik. Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada
infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Terapi menggunakan obat pada saat ini menjadi
sangat kompleks sejak bermunculannya obat baru setiap bulan. Lebih dari 1000 obat
baru muncul setiap bulannya sejak tahun 1975 di Amerika Serikat. Keadaan ini
menyebabkan kebutuhan pasien akan obat yang potensial, aman dan rasional
meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan berkembangnya pengobatan.
Sementara itu kejadian-kejadian mengenai efek samping obat, salah obat, salah dosis,
interaksi obat dan lain-lain yang berhubungan dengan pemakaian obat terjadi setiap
hari. Menurut (Schenkel 2000) tercatat 108.000 kematian karena obat. Drug Related
Problems (DRPs) sangat umum terjadi pada pasien rawat inap yang beresiko
meningkatkan kesakitan dan kematian serta menaikkan biaya. Disinilah seorang
farmasis dibutuhkan untuk membantu menjamin bahwa pengobatan yang diterima
pasien adalah yang terbaik dengan cara mengidentifikasi DRPs, baik yang potensial
terjadi maupun yang aktual terjadi, serta mencegah terjadinya potensial DRPs
(Dananjaya, Rasyid., 2018).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah
makalah yaitu
1. Apakah Pengertian, klasifikasi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, serta faktor
resiko dari penyakit bronkopneumonia?
2. Bagaimana manifestasi, diagnosis, penatalaksana, serta terapi farmakologi dari
penyakit bronkopneumonia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengobatan dari penyakit bronkoneumonia dari tanda-tanda
gejala yang tampak sesuai klasifikasinya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengertian, klasifikasi, epidemiologi, etiologi,
patofisiologi, serta faktor resiko dari penyakit bronkopneumonia.
2. Untuk mengetahui manifestasi, diagnosis, penatalaksanaan terapi
farmakologi maupun non-farmakologi dari penyakit bronkopneumonia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronchopneumonia
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah akut,
dimana infeksi terjadi di ujung bronkiolus dan alveoli yang dapat disebabkan oleh
berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jeremy, 2007). Sedangakan
bronkopneumonia merupakan suatu penyakit peradangan pada parenkim paru yang
terlokalisir dimana biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
sekitarnya. Bronkopneumonia dapat menyerang pada anak-anak dan balita, penyebabnya
bermacam-macam, bisa karena bakteri, virus, jamur, dan benda asing. Kasus pneumonia
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme, namun tidak menutup kemungkinan juga
disebabkan oleh faktor non infeksi. Bronkopneumonia yang sering terjadi adalah akibat
infeksi sekunder yang dapat melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga akibat infeksi
primer yang dapat dijumpai pada anak-anak dan orang dewasa (Bradley, et al., 2011).

2.2 Epidemiologi Bronchopneumonia


Angka kejadian penyakit bronkopneumonia di negara berkembang hampir 30%.
Kasus bronkopneumonia yang menyerang anak-anak di bawah 5 tahun memiliki risiko
kematian yang tinggi. Hal ini juga terjadi di Amerika, dimana penyakit tersebut
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi yang menyerang anak-anak
dengan umur di bawah 2 tahun (Bradley, et al., 2011).

2.3 Etiologi Bronchopneumonia


Menurut Bradley, et al (2011), penyebab bronkopneumonia terbagi menjadi:
2.3.1 Faktor infeksi
Pada neonatus disebabkan oleh: Streptokokus group, Respiratory Sincytial
Virus (RSV). Pada bayi disebabkan oleh: Virus (Virus parainfluensa, virus
infulenza, Adenovirus, RSV), organisme atipikal (Chlamidia trachomatis,
Pneumocytis), bakteri (Streptokokus pneumoni dan Haemofilus influenza). Pada
anak-anak disebabkan oleh: virus (Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus,
RSV), organisme atipikal (Mycoplasma pneumonia), bakteri (Pneumokokus,
Mycobakterium tuberculosis). Pada anak besar-dewasa muda disebabkan oleh:
organisme atipikal (Mycoplasma pneumonia, dan C. Trachomatis), bakteri
(Pneumokokus, Brodetella pertussis dan M. Tuberkulosis). Selain itu pada usia
lanjut maupun dewasa adalah sama penyebabnya, yaitu Streptococcus
pneumoniae. Pada suatu studi, infeksi Mycoplasma pneumoniae dan patogen
atipikal lainnya lebih sering ditemukan pada penderita usia <60 tahun. Pada usia
lanjut, bakteri enterik gram negatif juga sudah jarang ditemukan, sedangkan
Haemophylus influenzae menjadi lebih sering teridentifikasi
2.3.2 Faktor non infeksi
Bronkopneumonia dapat terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks
esophagus. Bronkpneumonia hidrokarbon, terjadi akibat aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak
tanah dan bensin). Bronkopneumonia lipoid, terjadi akibat penggunaan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, seperti jeli pteroleum. Juga dapat terjadi
karena keadaan yang mengganggu menelan seperti palaroskizis, pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan oemberian makanan seperti
minyak ikan pada anak yang menangis. Namun keparahan penyakit tergantung
pada jenis minyak yang terinhalasi. Jika menggunakan minyak binatang yang
mengandung lemak tinggi seperti susu dan minyak ikan dapat menyebabkan
kerusakan paling parah. Selain faktor di arasm daya tahan tubuh sangat
berpengaruh untuk terjadinya brnkopneumonia. Jika sistem imun pada penderita
penyakit berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang seperti
pada bayi dan anak merupakan faktor predeposisi terjadinya penyakit
bronkopneumonia.

2.4 Klasifikasi Bronchopneumonia


Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu pneumonia lobaris, pneumonia intersititiali,
dan bronkopneumonia. Berdasarkan asal infeksi yaitu pneumonia yang didapat dari
masyarakat (Community Acquired Pneumonia-CAP) dan pneumonia yang didapat dari
rumah sakit (Hospital Acquired Pneumonia-HAP). Berdasarkan mikroorganisme
penyebab, pneumonia bakteri, pneumonia virus, pneumonia mikoplasma, dan pneumonia
jamur. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu pneumonia tipikal dan atipikal.
Berdasarkan lama penyakit yaitu pneumonia akut dan persisten.

2.5 Patologi Bronchopneumonia


Berdasarkan PDPI (2003), basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam
alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan ilfiltrasi
sel-sel PMN dan diapedeis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan
bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri
tersebut kemudia dimakan. Pada waktu terjadi peperangan anatara host dan bakteri maka
akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu zona luar (alveoli yang terisi
dengan baketri dan cairan edema), zona permulaan konsolidasi (terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah), zona konsolidasi luas (daerah tempat terjadi
fagositosis aktif dengan jumlah PMN yang banyak), zona resolusi E (daerah tempat
terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag).
Menurut Bradley et al. (2011) Secara patologis, terdapat 4 stadium
bronchopneumonia :
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti). Disebut hiperemia,
mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru
yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat
plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan
penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya). Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu
alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh
penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi
padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya). Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu
sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini
endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis
sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya). Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi
sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis
dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.6 Manifestasi Klinik Bronchopneumonia


Bornkopneumonia biasanya diawali dengan infeksi trakturespiratoris bagian atas
selama beberapa hari, suhu tubuh naik hingga 39-400C dan disertai kejang akibat demam
yang tinggi. Jika pada anak juga mengalami gelisah, dispenia pernafasan cepat dan
dangkal disertai dengan pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan
mulut, disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan
penyakit, namun setela beberapa hari muncul batuk kering kemudian menjadi batuk
produktif.
Pada awal kejadian sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik, namun
dengan adanya nafas yang dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis
sekitar hidung dan mulut, maka dapat diduga terjadinya pneumonia. Hasil pemeriksaan
fisik bergantung pada luas daerah auskultasi yang terkena, pada perkusi sering tidak
ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar roncho basah nyaring
halus dan sedang (Ngastiyah, 2005).

2.7 Faktor Resiko Bronchopneumonia


Beberapa faktor resiko spesifik untuk terjadinya bronkopneumonia antara ain
adanya kondisi medis kronis (contoh: keganasan, sirosis, penyakit jantung iskemik,
penyakit neurodegeneratif). Umur ekstrim (terlalu muda atau terlalu tua, pada usia lanjut
diatas 65 tahun dapat meningkatkan resiko terjadinya Bronchopneumonia), definisi
immunoglobulin (leukimia, limfoma), tidak adanya spleen (Walter, 2008).

2.8 Diagnosis Bronchopneumonia


Klasifikasi pneumonia adalah penderita dengan gejala batuk atau sukar bernafas
dengan tanda-tanda nafas cepat. Untuk anak umur 1-5tahun, dikatakan mempunyai nafas
cepat apabila frekuensi nafasnya lebih dari 40x/menit. Gejala umum pneumonia dalah
batuk atau sukar bernafas dan beberapa tanda bahaya umum atau tarikan dinding dada ke
dalam atau stridor pada anak dalam keadaan tenang (WHO, 2005).
Diagnosis pneumonia bergantung pada pneumonia kelainan fisis atau bukti
radiologis yang menunjukkan konsolidasi. Klasifikasi diagnosis klinis pada masa kini
dilengkapi faktor patogenesis yang berperan (lingkungan, kuman penyebab, penjamu).
Diagnosis dan terapi pada pneumonia atau infeksi saluran nafas bawah dan atas pada
umumnya dapat ditegakkan berdasarkan algoritma. Diagnosis dasarkan pada riwayat
penyakit yang lengkpao, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksanan penunjang
(Dahlan, 2001).
2.8.1 Anamnesia
Gambaran klinik biasanya ditandai dengena demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid
atau purulent kadang-kadang disertai darah, sesak nafas, dan nyeri dada.
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru, tanda yang
mungkin ada adalah suhu 390, dyspnea: inspiratory effort ditandai dengan
tekipnea, tretraksi (chest indrawing) nafas cuping hidung dan sianosis. Geralan
dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena dan meningkat pada
daerah yang sehat pada pemeriksaan palpitasi, perkusi normal atau redup sampai
pekak, pada daerah normal tepat diatas area konsolidasi, sering terdengar suara
perkusi timpani. Pada pemeriksaan infeksi, dada terlihat lebih mencembung,
penderita tampak kesakitan pada daerah yang terkena sehingga mempengaruhi
posisi tidur (Jeremy, 2007).
2.8.3 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis umumnya menandai adanya bakteri, leukosit normal atau
rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus atau mikroplasma atau pada
infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon leukositm. Leukopenia
menunjukkan depresi imunitas, misalnya neutropenia pada infeksi kuman
gram negative (S.aureus) pada pasien dengan keganasan dan gangguan
kekebalan. Faal hati mungkin terganggu (Jeremy, 2007).
2. Pemeriksaan Radiologis
Pola radiologis dapat berupa pneumonia lveolar dengan gambaran air
bronchogram (airspace disease) misalnya oleh streptococcus pneumonia,
bronkopneumonia (segmental disease) oleh antara lain Staphylococcus; virus
atau mikrplasma dan pneumonia interstisial (interstitial disease) oleh virus
dan mikroplasma. Distribusi infiltrat pada segmen apical lobus bawah atau
inferior atau lobus atas sugestif untuk kuman aspirasi. Tetapi pada pasien
yang tidak sadar, lokasi ini bias dimana saja. Infiltrate dilobus atas sering
diakibatkan oleh Staphylococcus atau bakteriemia (Jeremy, 2007).
3. Pemeriksaan Khusus
Titer antibiotik terhadap virusm logionela, dan mikroplasma. Nilai
diagnostik bila titer tinggi atai terdapat kenaikan titer 4x. Analisis gas darah
dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan oksigen (Jeremy,
2007).

2.9 Penatalaksanaan Bronchopneumonia


Tata laksana bronkopneumonia terbagi menjadi dua yaitu tindakan suportif dan
medikamentosa (Enarson dan Gie, 2005). Tindakan suportif seperti pemberian oksigen
secara nasal kanul (nasal prong) untuk mempertahankan saturasi oksigen >90%.
Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat juga merupakan tindakan suportif. Jika sekret
berlebih dapat diberikan inhalasi dengan normal salin untuk memperbaiki transport
mukosiliar. Tatalaksana kedua yaitu medikamentosa dengan pemberian terapi antibiotik
sesuai dengan pola kuman tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus
influenza (PDPI, 2003). Berikut adalah penatalaksanaan terapi pada bronchopneumonia :
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling banyak digunakan pada
salah satu infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Prinsip terapi pneumonia sama
dengan penatalaksanan infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Awal terapi dimana
mikoorganisme belum diketahui, dilakukan secara empiris dengan menggunakan
antibiotik spuktum luas sehingga penyebab dapat diketahui. Bila hasil kultur kuman
patogen telah diketahui, secepat mungkin terapi diganti dengan mengunakan
antibiotik yang lebih spesifik. Selain diberikan antibiotik, pasien diberikan juga
pengobatan suportif dengan diberikan oksigen 1-2 L/menit, IVFD dekstrose 10% :
NaCl 0,9% = 3:1 + KCl 10mEq/500ml cairan. Jumlah cairan yang diberikan sesuai
dengan berat badan, kenaikan suhu, atau status hidrasi. Jika sekresi lendir berlebih
dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki
transport mukosiler (Mansjoer et al. 2000).
Menurut penelitian (Towairqi et al., 2018) Pasien lansia dengan CAP yang
dirawat di bangsal akan menerima antibiotik untuk melawan S. pneumoniae, H.
influenzae, M. pneumonia, C. pneumonia, dan patogen umum lainnya. Antibiotik
yang direkomendasikan untuk pasien lansia adalah fluoroquinolone (seperti
moxifloxacin dan levofloxacin) yang diberikan sendiri, atau B-laktam (ertapenem,
sefalosporin generasi ketiga, atau ampisilin dengan sulbaktam) bersama dengan
makrolida.

b. Kortikosteroid
Selain antibiotik, pasien lansia yang kritis dengan CAP (terutama yang dirawat
di ICU) akan mendapatkan terapi tambahan yaitu direkomendasikan untuk
menerima kortikosteroid sistemik, protein C rekombinan teraktivasi (dalam kasus
sepsis dan kegagalan banyak organ), dan strategi ventilasi-pelindung paru. Selain
kortikosteroid, beberapa agen imunomodulator (seperti statin dan ACEI) dapat
secara positif mempengaruhi hasil CAP tetapi penggunaannya belum diteliti dengan
benar, dan RCT lebih lanjut diperlukan sebelum merekomendasikan penggunaan
rutin mereka. (Towairqi et al., 2018).

c. Mukolitik
Obat mucoaktif secara teratur digunakan sebagai pilihan terapi untuk
mengencerkan lendir, termasuk hipersekresi. Obat mucusthinning (mucolytics), obat
batuk (ekspektoran), dan fasilitasi transportasi batuk (mucokinetics) dapat digunakan
untuk penggunaan klinis untuk memudahkan pembersihan jalan nafas dalam
berbagai indikasi seperti bronkiektasis, PPOK akut, dan kronis bronkitis atau hanya
untuk meredakan gejala batuk akut yang di derita pasien. Selaian itu dalam beberapa
tahun terakhir, sejumlah tinjauan sistematis telah dipublikasikan mengenai
penggunaan agen mucoaktif pada bronkitis kronis atau PPOK, bronkiektasis, batuk
akut, atau sebagai tambahan antibiotik pada pneumonia akut. Ambroxol,
bromhexine, carbocysteine, erdosteine, NAC, dan sobrerol merupakan contoh dari
obat mukolitik (Scaglione dan Petrini, 2019).

d. Analgesik
Penggunaan analgesik pada broncopneumonia dapat meringankan gejala nyeri
dada pada pasien pneumonia. Namun ada beberapa analgesik yang membuat
semakin parahnya penyakit broncopneumonia, sehingga penggunaan analgesik ini
harus pada dosis dan waktu yang tepat sesuai dengan anjuran dokter (Voiriot et al.,
2019).

e. Broncodilator
Salah satu pengobatan yang digunakan pada pasien pneumonia adalah
menggunakan broncodilator. Pada umumnya pasien yang menderita
broncopneumonia akan mengalami penyumbatan saluran pernapasan karena
akumulasi lendir pada paru-paru pasien. Penggunaan broncodilator ini dapat
melegakan pernapasan pasien serta memperlebar luas permukaan bronkus dan
bronkiolus pada paru-paru, dan membuat kapasitas serapan oksigen paru-paru
meningkat (Anisa et al., 2018).

Terapi non farmakologi :


a. Istirahat
b. Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi
c. Terapi oksigen dilakukan untuk menangani hipoksia
d. Penanganan tambahan meliputi makanan kaya-kalori, asupan cairan yang cukup,
dan beristirahat di ranjang
e. Teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi resiko
atelektasis.
BAB III
KASUS DAN ANALISIS KASUS

3.1 Kasus
Tn. Y usia 73th sudah beberapa hari mengalami batuk berdahak, nyeri dada, mengi,
linglung dan tidak nafsu makan. Setelah dibawa ke rs dan dilakukan rontgen thorax,
menunjukkan adanya area patch/infiltrat multiple pada bagian bronkus (bronchial) di
kedua paru. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit stroke.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Nilai Normal 03/08
Hemoglobin (Hb) Pria : 13 - 18 g/dL 12,6 g/dL
Eritrosit Pria: 4,4 - 5,6 x 106/mm3 4,71 x106/ mm3
Hematokrit (Hct) Pria : 40% - 50 % 40%
Leukosit 3200 – 10.000/mm3 8,1 x 103/mm3
GDS 70-200 mg/dL 181 mg/dL
SGOT 11 - 47 U/L 82 U/L
SGPT 7 - 53 U/L 40 U/L
Trombosit 170 – 380 109 /L 196 /µL
Cr 0,7 – 1,3 mg/dL 1,83 mg/dL
U 8-20 mg/dL 47 mg/dL

3.2 Analisa Kasus dengan SOAP


1. Subjektif :
Tn. Y usia 73th sudah beberapa hari mengalami :
 Batuk berdahak
 Nyeri dada
 Mengi
 Linglung dan tidak nafsu makan.
Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit stroke.
2. Objektif:
Rontgen thorax, menunjukkan adanya area patch/infiltrat multiple pada bronkus
(bronchial) di kedua paru.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Parameter Nilai Normal 03/08
Hemoglobin (Hb) Pria : 13 - 18 g/dL 12,6 g/dL
Eritrosit Pria: 4,4 - 5,6 x 106/mm3 4,71 x106/ mm3
Hematokrit (Hct) Pria : 40% - 50 % 40%
Leukosit 3200 – 10.000/mm3 8,1 x 103/mm3
GDS 70-200 mg/dL 181 mg/dL
SGOT 11 - 47 U/L 82 U/L
SGPT 7 - 53 U/L 40 U/L
Trombosit 170 – 380 109 /L 196 /µL
Cr 0,7 – 1,3 mg/dL 1,83 mg/dL
U 8-20 mg/dL 47 mg/dL

Penggunaan Obat selama Rawat Inap :


Obat 03/08 04/08 05/08 06/08 07/08
Arixtra 2,5 mg injeksi, tiap 24 V V V V V
jam
Furosemid 20 mg injeksi, tiap V V V V V
8 jam
Lapixim 1 g injeksi, tiap 12 V V V V V
jam
Topazol 40 mg, tiap 24 jam V V V V V
Nebu ventolin 2,5 mg , 3 V V V V V
ampul tiap 8 jam
ISDN 5 mg tablet, 3 x sehari V V V V V
Clopidogrel 75 mg tablet, 2 x V V V V V
sehari
Aspilet 80 mg, 1 x sehari 4 V V V V V
tablet
MST 10 mg tablet, 2 x sehari V V V V V
Biocurliv tablet, 2 x sehari V V V V V
Coltin 300 mg tablet, 2 x V V V V V
sehari
KSR 600 mg tablet, 3 x sehari - - V V V

3. Assasement
Diagnosa : Pasien pada kasus ini mengalami Bronkopneumonia yang termasuk
kedalam CAP. Pneumonia yang dialami pasien masuk dalam kategori
pneumonia atipikal sehingga tidak selalu disertai dengan demam dan
angka leukosit yang tinggi.
Analisa Pengobatan
Obat Analisa pengobatan
Arixtra Indikasi : Profilaksis Deep vein thrombosis dan emboli paru
(Fondaparinux Dosis : 2,5 mg / 24 jam
2,5 mg/0,5 mL) Efek samping : Anemia, demam, mual, ruam, pusing, konstipasi diare,
edema, sakit kepala
Interaksi : Clopidogrel, aspirin
Mekanisme kerja : agen antitrombotik, menghambat factor Xa, yang
mengganggu kaskade pembekuan darah dan menghambat pembentukan
thrombin dan perkembangan thrombus, umumnya tidak meningkatkan
waktu protombin atau waktu tromboplastin parsial
Furosemid (20 Indikasi : Edema paru akut
mg/ml) Dosis : 0,5-1 mg/kg IV
Efek samping : Hiperurisemia, hypokalemia, anafilaksis, anemia,
anorexia, diare, pusing
Interaksi : Salbutamol, aspirin, KSR
Mekanisme kerja : Menghambat reabsorbsi ion natrium dan klorida
pada tubulus ginjal proksimal dan distal
Lapixim Indikasi: Infeksi yang disebabkan oleh organisme yang rentan
(Sefotaksim 1 g) Dosis : 1 g IV setiap 12 jam
Efek samping : Radang usus, diare, demam, mual
Interaksi : -
Mekanisme kerja : Mengikat protein pengikat penisilin dan
menghambat langkah transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan uang
mengakibatkan kematian dinding sel.
Topazol Indikasi : GERD (gastroesophageal reflux disease) 
(Pantoprazole 40 Dosis : 40 mg infus diatas 15 menit
mg) Efek samping : Sakit kepala, sakit perut, edema, dada sakit, diare,
konstipasi
Interaksi : -
Mekanisme kerja : Berikatan dengan H+ dan K- mengubah ATPase
(pompa proton) dalam sel parietal lambung, menghasilkan
penyumbatan sekresi asam.
Nebu V Indikasi : melebarkan saluran pernafasan (bronkus) yang menyempit.
(Salbutamol 2,5 Dosis : 2,5-5 mg hingga 4 kali sehari
mg) Efek samping : sakit kepala, rasa nyeri, hidung tersumbat, edema,
pusing
Interaksi : furosemide, aspirin, KSR
Mekanisme kerja : Aksi pada beta 2 melemaskan otot polos bronkial
dengan sedikit efek pada detak jantung.
ISDN 5 mg Indikasi : Angina Pectoris
Dosis : awal : 5-20 mg setiap 8-12 jam, pemeliharaan 10-40 mg setiap
8-12 jam
Efek samping : hipotensi, takiaritmia, pusing, sakit kepala, mual
Interaksi : -
Mekanisme kerja : Mengendurkan otot polos melalui pelebaran arteri
dan vena yang tergantung dosis untuk mengurangi preload dan afterload
CPG 75 mg Indikasi : Mencegah kejadian aterotrombosis pada pasien yang
menderita stroke iskemik dan sindrom coroner akut.
Dosis : 75 mg/24 jam
Efek samping : infeksi saluran pernapasan atas, nyeri dada, pusing,
diare, rhinitis, depresi, infeksi saluran urin
Interaksi : fondaparinux, aspirin, morfin
Mekanisme kerja : inhibitor jalur yang diinduksi adenosine difosfat
(ADP) untuk agregasi platelet
Aspilet 80 mg Indikasi : Stroke iskemik dan serangan iskemik transien
Dosis : dosis awal 160-300 mg dalam 48 jam setelah serangan stroke,
diikuti dengan dosis 75-100 mg PO per hari.
Efek samping : angioedema, gangguan pendengaran, hepatotoksisitas,
mual
Interaksi : fondaparinux, furosemide, salbutamol, clopidogrel, KSR
Mekanisme kerja : menghambat sintesis prostaglandin oleh
siklooksigenase, menghamabt agregasi trombosit, memiliki aktivitas
antipireti dan analgetik
MST (Morfin 10 Indikasi : Analgesik
mg) Dosis : 10-15 mg PO setiap 12 jam
Efek samping : pruritus, retensi urin, muntah, konstipasi , sakit kepala
Interaksi : clopidogrel, cimetidin
Mekanisme kerja : menghambat jalur nyeri yang meningkat, sehingga
mengubah respons terhadap nyeri, menghasilkan analgesia, depresi
pernapasan dan sedasi, menekan batuk dengan bertindak terpusat di
medulla
Biocurvil Kandungan : (Ekstrak Curcuma Longa Rhizome 150 mg, Silymarin
Phytosome 35 mg, Schizandrae fructus extr. 135 mg, Liquiritiae Radix
135 mg, Choline Bitartrate 150 mg, vit.B6 2 mg)
Indikasi : Suplemen untuk hati
Dosis : 3 x 1-2 kaplet
Coltin (Erdostein Indikasi : Mukolitik pada infeksi saluran napas akut dan kronik
300 mg) Dosis : 2-3 x 1 kaps sehari
Efek samping : Mual, diare, sakit perut, sakit kepala
Interaksi : -
Mekanisme kerja : mengencerkan secret saluran napas dengan jalan
memecah benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari
sputum.
KSR (kalium Indikasi : Hypokalemia
klorida 600 mg, 1 Dosis : 40-100 mEq / 24 jam
tab setara 8 mEq) Efek samping : aritmia, perdarahan diare hyperkalemia, nausea
Interaksi : Furosemid, salbutamol
Mekanisme kerja : penting dalam proses fisiologis

Analisis DRP
DRP ada indikasi tanpa obat : -
DRP ada obat tidak tanpa indikasi : Pantoprazole
DRP dosis terlalu rendah : -
DRP dosis terlalu tinggi : Clopidogrel 75mg/12jam (dosis terlalu tinggi)
Aspilet digunakan 80 mg 4 x sehari (dosis terlalu tinggi)
DRP gagal menerima obat : -
DRP reaksi efek samping : -
DRP interaksi obat :
Obat yang berinteraksi Potensi interaksi obat
Fondaparinux + clopidogrel Meningkatkan salah satu efek obat
(farmakodinamik sinergis) meningkatkan resiko
perdarahan.
Fondaparinux + aspirin Keduanya dapat meningkatkan antikoagulasi
Furosemid + salbutamol Keduanya dapat menurunkan serum potassium
(Hipokalemia)
Furosemid + aspirin Aspirin meningkatkan dan furosemide
menurunkan serum potassium (farmakodinamik
antagonis)
Furosemid + KSR KSR meningkatkan dan furosemide menurunkan
serum potassium (farmakodinamik antagonis)
Salbutamol + aspirin Aspirin meningkatkan dan salbutamol
menurunkan serum potassium (farmakodinamik
antagonis)
Salbutamol + KSR KSR meningkatkan dan salbutamol menurunkan
serum potassium (farmakodinamik antagonis)
Clopidogrel + Aspirin Meningkatkan toksisitas satu sama lain
(farmakodinamik sinergis)
Clopidogrel + Morfin Morfin akan menurunkan level atau efek
clopidogrel, administrasi keterlambatan agonis
opioid dan mengurangi penyerapan clopidogrel
pertimbangan penggunaan agen antiplatelet
parenteral pada pasien sindrom coroner akut yang
membutuhkan pemberian bersama morfin atau
agonis opioid lainnya.
Aspirin + KSR Keduanya dapat meningkatkan kadar kalium.
4. Plan
a. Perlu di lakukan pemeriksaan tambahan untuk mengetahui nilai CURB-65 untuk
memaksimalkan pemilihan terapi
cara menghitung CURB-65

b. Penggunaan antibiotic disini sudah tepat yaitu dengan cefotaksim 1 g I.V tiap 12
jam.

a. Penggunaan pantoprazole dihilangkan karena tidak terdapat indikasi terkait


penggunaan obat tersebut. Selain itu, pantoprazole juga dapat memperburuk
kondisi pneumonia pasien.
c. Dosis clopidogrel diturunkan menjadi 1x sehari 75mg.
d. Penggunaan aspilet disini dihilangkan karena memiliki banyak interaksi dengan
obat lain. Selain itu, untuk pencegahan stroke ulangan cukup digunakan satu
antiplatelet terlebih dahulu. Disini lebih dipilih penggunaan clopidogrel.

e. Inter
aksi

fondaparinux dengan antiplatelet lain (clopidogrel) : berdasarkan DIH 17th ed,


interaksi tersebut memiliki resiko C sehingga diatasi dengan monitoring ketat
terhadap kadar trombosit, test CBC (Complete Blood Count) secara periodic, dan
kadar serum kreatinin.
f. Interaksi antara furosemide, salbutamol, KSR termasuk dalam interaksi minor dan
monitor closely sehingga dapat diatasi dengan monitoring kadar kalium dalam
darah.
g. Interaksi antara clopidogrel dengan MST (morphine) termasuk dalam interaksi
serius sehingga penggunaan bersamaan harus dihindari dan diganti dengan
alternative analgetik opioid lain. Alternative yang disarankan disini yaitu tramadol
dengan dosis awal 25 mg tiap pagi dan dapat ditingkatkan 25-50 mg tiap 3 hari
sampai 50-100 mg PO tiap 4-6 jam jika perlu, untuk pasien lansia >65 tahun tidak
lebih dari 300mg per hari. Menurut WHO, Tramadol merupakan analgetik opioid
yang relative lebih aman dibandingkan dengan morphine dengan potensi
ketergantungan yang lebih rendah daripada morphine.
Terapi Non farmakologi :
 Istirahat
 Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi
 Penanganan tambahan meliputi makanan kaya-kalori, asupan cairan yang
cukup, dan beristirahat di ranjang
 Terapi oksigen dilakukan untuk menangani hipoksia
 Teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi
resiko atelektasis.

Monitoring Terapi :
 Kadar Trombosit dan Complete Blood Count
 Kadar SGOT dan SGPT
 Kadar Serum Kreatinin
 Kadar Kalium dalam darah
 Monitoring tekanan darah
KIE
 Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan tempat tinggal.
 Menggunakan peralatan makan terpisah untuk menghindari penularan.
 Menyarankan pasien selalu menggunakan masker agar tidak terjadi penularan.
 Mengedukasi pasien agar patuh minum obat untuk mencegah resistensi.
 Mengedukasi pasien agar rutin konsultasi kepada dokter mengenai
perkembangan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L., 2009, Drug Information
Handbook 17th Edition, American.

Annisa, Rahma., Nurhaeni, Nani., and Wanda, Dessie. 2018. Inhalation with bronchodilator
combination effective in reducing length of hospital stay in children with pneumonia.
Depok: Faculty of Nursing, Universitas Indonesia.

Chisholm-Burns M.A., Schwinghammer T.L., Wells B.G., Malone P.M., Kolesar J.M. and
Dipiro J.T., 2016, Pharmacotherapy Principles and Practice, Mc Graw-Hill
Companies, New York.

Dahlan, Z. 2001. Ilmu penyakit dalam. Volume ke-2. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI.

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

DiPiro, JT. 2009. Infectious Diseasses. In: BG wells, JT DiPiro, TL Schwinghammer, CW


Hamilton, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, Ed 7, New York: Mc
Graw-Hill, p. 322 ; 1768-1777.

Jeremy PT. 2007. At glance sistem repiras. Edisi kedua. Jakata: erlangga Medical Series. Hal
76-77.

Masjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta kedokteran, jilid
2 Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit 2nd ed. Jakarta: EGC.

(PDPI) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia komuniti. Pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Paru Indonesia. Hal 2-15.

Scaglione, F dan Petrini, O. 2019. Mucoactive Agents in the Therapy of Upper Respiratory
Airways Infections. Italia: Clinical Medicine Insights: Ear, Nose and Throat Volume
12: 1–9.

Stockley, 2008. Stockley’s Drug Interaction, 8th Edition. Pharmaceutical Press., London.
Towairqi , Abdulhadi Salem., Mutwally, Lujain Hamed., Baateiyyah, Yasser Ali.,
Alshuwaier, Rakan Ahmed., Kraiz, Ismail Nizar., Alarfaj, Hamzah Mohammed.,
Alsomali, hood Abdulrazaq., dan Bukhari Rahaf Sadiq Omar. 2018. Pneumonia in
Elderly and Intensive Care Management. Jeddah: The Egyptian Journal of Hospital
Medicine.

Voiriot,Guillaume., Philippot, Quentin., Elabbadi, Alexandre., Elbim, Carole., Chalumeau,


Martin., and Fartoukh, Muriel. 2019. Risks Related to the Use of Non-Steroidal Anti-
Inflammatory Drugs in Community-Acquired Pneumonia in Adult and Pediatric
Patients. France: Journal of Clinical Medicine.

Walter. 2008. The big picture: Pathology. The McGraw-Hill Companies: US.

(WHO) World Health Organization. 2005. Pocket book of hospitalmcar for children:
guidelines for the management of common illness with limited resource. WHO
Press. P. 72-3.

Anda mungkin juga menyukai