Anda di halaman 1dari 97

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIK

SEFTRIAKSON DAN SEFOTAKSIM PADA PASIEN


GERIATRI DENGAN INFEKSI SALURAN KEMIH DI
INSTALASI RAWAT INAP RST Dr. ASMIR SALATIGA
TAHUN 2018

SKRIPSI

Oleh
EFSON SUSTERA IRAWAN
NIM. 050217A036

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
UNGARAN
2019
Universitas Ngudi Waluyo
Program Studi Farmasi
Fakultas Ilmu Kesehatan
Efson Sustera Irawan*
Sikni Retno Karminingtyas** Galih Adi Pramana**
Skripsi, Juli 2019

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA ANTIBIOTIK SEFTRIAKSON DAN


SEFOTAKSIM PADA PASIEN GERIATRI DENGAN INFEKSI SALURAN
KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP RST Dr. ASMIR SALATIGA
TAHUN 2018
(xviii + 75 halaman + 5 tabel + 18 lampiran)

ABSTRAK

Latar Belakang : Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah salah satu infeksi dengan
keterlibatan bakteri terbanyak hampir 10 % orang pernah terkena ISK selama
hidupnya. Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang melibatkan struktur
tempat mulai dibentuknya urin (glomerulus) sampai muara saluran urin di meatus
uretra eksterna dan didapatkannya mikroorganisme pada urin yang disertai gejala
sebagai tanda adanya infeksi. Sasaran terapi pada ISK adalah mikroorganisme
penyebab infeksi yaitu dengan menggunakan antibiotik yang menjadi salah satu
biaya yang signifikan dalam anggaran farmasi di rumah sakit.
Tujuan : Untuk menentukan terapi yang lebih cost-effective antara penggunaan
seftriakson dan sefotaksim pada pasien infeksi saluran kemih (ISK) rawat inap di
rumah sakit RST Dr Asmir Salatiga.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pengambilan data
secara retrosfektif. Dianalisis dengan metode CEA dengan parameter Average
Cost Effectiviness Ratio (ACER) dilihat dari outcome lama rawat inap (hari).
Hasil : Sampel dalam penelitian ini sebanyak 48 pasien diantaranya 29 pasien
menggunakan seftriakson dan 19 pasien menggunakan sefotaksim. Pemberian
antibiotik sefotaksim lebih cost-effective dibandingkan seftriakson pada kelas I,
Sedangkan pemberian seftriakson lebih cost-effective dibanding sefotaksim pada
kelas II dan III.
Kesimpulan : Biaya antibiotik yang paling cost-effective pada kelas I adalah
Sefotaksim, sedangkan pada kelas II dan III adalah Seftriakson.

Kata Kunci : Analisis Efektivitas Biaya, Infeksi Saluran Kemih, Seftriakson,


Sefotaksim.
Kepustakaan : 51 (2000-2018)
Kata : 217

ii
Universitas Ngudi Waluyo
Pharmacy Study Program
Faculty of Health Science
Efson Sustera Irawan*
Sikni Retno Karminingtyas** Galih Adi Pramana**
Final Project, Juli 2019

COST EFFECTIVENESS ANALYSIS OF SEFTRIAKSON ANTIBIOTIC


AND SEFOTAKSIM ON GERIATRIC PATIENTS WITH URINARY
TRACT INFECTION (UTI) AT INPATIENT INSTALLATION OF RST Dr
ASMIR SALATIGA YEAR 2018
(xviii + 75 pages + 5 tables + 28 attachments)

ABSTRACT

Background: Urinary Tract Infection (UTI) is one of the infections with the
highest bacterial involvement of almost 10% of people who have had UTI during
their lifetime. UTI is an infection that involves the structure of the starting of
urine (glomerulus) to the mouth of the urinary tract in the external urethral meatus
and the acquisition of microorganisms in the urine accompanied by symptoms as a
sign of infection. The therapeutic goal of UTI is the microorganism that causes
infection by using antibiotics which is one of the significant costs in the
pharmaceutical budget at the hospital.
Objective: To determine a more cost-effective therapy between the use of
ceftriaxone and cefotaxime in patients with Urinary Tract Infection (UTI) at
Impatient Installation of RST Dr Asmir Salatiga Year 2018.
Method: This study used a descriptive method with retrospective data collection.
The data were analyzed by the Cost Effectiveness Ratio (CEA) method with the
parameter Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) seen from the outcome of the
length of stay (days).
Results: The sample in this study were 48 patients including 29 patients using
ceftriaxone and 19 patients using cefotaxime. The administration of cefotaxime
antibiotics is more cost-effective than ceftriaxone in class I, whereas ceftriaxone
administration is more cost-effective than cefotaxime in class II and III.
Conclusion: The most cost-effective cost of antibiotics in class I is cefotaxime,
whereas in class II and III are ceftriaxone.

Keywords : Cost Effectiveness Analysis (CEA), Urinary Tract Infection


(UTI), Ceftriaxone, Cefotaxime
Literature : 51 (2000-2018)
Words : 217

iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Efson Sustera Irawan


NIM : 050217A036
Tempat Tanggal Lahir : Perugaian, 30 April 1996
Agama : Islam
Nama Orang Tua
Ayah : Silarno, S.Pd
Ibu : Niti Susliana
Alamat : Desa perugaian kec. Kaur utara kab. KAUR,
Provinsi Bengkulu.
Riwayat Pendidikan

1. SDN Trans Pagar Banyu Ulu Talo Tahun 2002-2003

2. SDN 22 Nanto Talo 2003-2008

3. SMPN 3 SELUMA Tahun 2008-2009

4. SMPN 1 KAUR UTARA 2009-2011

5. SMAN 4 KAur Tahun 2011-2014

6. DIII Akademi Farmasi Al-Fatah Bengkulu Tahun 2014-2017

Saat ini tercatat sebagai mahasiswa semester IV Prodi S1 Farmasi

Universitas Ngudi Waluyo Ungaran periode 2018-2019

v
PERYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : EFSON SUSTERA IRAWAN
Nim : 050217A036
Mahasiswa : Program Studi S1 Farmasi Transfer Universitas Ngudi Waluyo
Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Skripsi yang berjudul “(Analisis Efektivitas Biaya Antibiotik Seftriakson


Dan Sefotaksim Pada Pasien Geriatri Dengan Infeksi Saluran Kemih Di
Instalasi Rawat Inap Rst Dr. Asmir Salatiga Tahun 2018) adalah skripsi
asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik apapun di
Perguruan Tinggi manapun.
2. Skripsi ini memerlukan ide dan hasil karya murni saya yang dibimbing dan
dibantu oleh pembimbing dan narasumber.
3. Skripsi ini tidak memuat karya atau pendapat orang lain yang telah
dipublikasikan kecuali secara tertulis dicantumkan dalam naskah sebagai
acuan dengan menyebutkan nama pengarang dan judul aslinya serta
dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidak benaran didalam pernyataan ini, saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah saya
peroleh dan sanksi lain sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas
Ngudi Waluyo.
Ungaran, Juli 2019
Yang membuat pernyataan,

(EFSON SUSTERA IRAWAN)

vi
HALAMAN KESEDIAAN PUBLIKASI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : EFSON SUSTERA IRAWAN

Nim : 050217A036

Mahasiswa : Program Studi S1 Farmasi Transfer Universitas Ngudi Waluyo

Menyatakan memberi kewenangan kepada Universitas Ngudi Waluyo

untuk menyimpan, mengalih media/memformatkan, merawat dan

mempublikasikan skripsi saya yang berjudul “(Analisis Efektivitas Biaya

Antibiotik Seftriakson Dan Sefotaksim Pada Pasien Geriatri Dengan Infeksi

Saluran Kemih Di Instalasi Rawat Inap Rst Dr. Asmir Salatiga Tahun

2018)” untuk kepentingan akademis.

Ungaran, Juli 2019

Yang membuat Pernyataan,

(EFSON SUSTERA IRAWAN)

vii
HALAMAN PERSEMBAHAN

1. Sessungguhnya Allah tiada mengubah keadaan Suatu Kaum kecuali jika


mereka mengubah keadaan mereka sendiri ( Q.s Ar-Ra’ad 13:11)
2. Innamal usri yus”ro sesungguhnya sesudah kesulitan itu terdapat
kemudahan (Q.s Al-Isyirah 94 : 6)
3. Allah SWT Berfirman :

ِ ‫ ۚبُ َو َمن يَتَ َو َّك ۡل َعلَىٱهَّلل‬bbb‫ث اَل يَ ۡحت َِس‬


ُ ‫ هُ ِم ۡن َح ۡي‬bbb‫ َويَ ۡر ُز ۡق‬٢ ‫ق ٱهَّلل َ يَ ۡج َعل لَّ ۥهُ َم ۡخ َر ٗجا‬ ِ َّ‫ َو َمن يَت‬...
٣ ‫فَهُ َو َح ۡسبُ ۚ ٓۥهُ إِ َّن ٱهَّلل َ ٰبَلِ ُغ أَمۡ ِرۦۚ ِه قَ ۡد َج َع َل ٱهَّلل ُ لِ ُكلِّ َش ۡي ٖء قَ ۡد ٗرا‬
Artinya :

....Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan


mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah
yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu(Ath – Thalaaq : 2 - 3 )

Sujud syukurku persembahkan pada-Mu ya Dengan anugerah dan kasih


sayang-MU Hamba bisa mencapai segalanya dengan lancar hingga sekarang,
Alhamdulillah...Atas berkah kesehatan dan rezeki darimu hamba bisa melalui
segalanya dengan penuh kebahagiaan.Maha Besar Allah dengan Segala
Firmannya, Bismillahhirrahmanirrahim.......
Kupersembahkan karya ini sebagai wujud syukur terima kasihku kepada
Ayahanda SILARNO, S.Pd dan Ibunda NITI SUSLIANA yang telah
membesarkanku dan Menuntun segala langkahku dengan doa, impian, harapan,
serta dengan pengorbanan dan kasih sayang yang luar biasa tak terhingga. Bagiku
kalian adalah kunci nyata bagi kesuccesanku hingga sekarang, Tetaplah sehat

viii
wahai ayah dan ibu dan selalu doakan anakmu dalam mencapai cita-citanya,
Terimakasih atas kebahagiaan dan ridho yang telah kalian berikan. Semoga suatu
hari nanti Allah berikan kemampuan bagiku untuk bisa membalas jasa kalian
dengan kebahagiaan dan rasa bangga untuk kalian, Meski sebenarnya jasa kalian
tak kan mungkin bisa terbalaskan dengan apapun juga. Dan tidak lupa juga
adikkku BECSY SYAHARANI yang selalu memberikan dukungan dan doa
bagiku, semoga kedepan bisa succes jauh melebihi apa yang telah kakakmu ini
capai. Tetap semangat berjuang adikku mari kita tunjukkan pada dunia bahwa
kita akan mampu merubah nasib dikeluarga kita menjadi lebih baik lagi. Semoga
Allah memberikan ridhonya untuk kita...amiiinn
Untuk someone yang selalu menemani dan membantu dalam perjuangan
skripsi ini, Trimakasih sudah mau direpotkan, menjadi penyemangat dalam duka,
tempat berbagi dalam suka, dan tak lupa sahabat-sahabat yang menemani disaat
sedih dan bahagia Andy, Agung, serta teman” seangkatan S1 Farmasi transfer.

Untuk pembimbingku ibu Sikni Retno Karminingtyas, S.Farm.,M.Sc.,Apt


dan Pak Galih Adi Pramana, S.Farm.,M.Farm.,Apt yang telah memberi
kesempatan dan selalu meluangkan waktu sehingga terselesainya skripsi ini.
Untuk penguji ibu Richa Yuswantina, S.Farm.,Apt.,M.Si yang telah memudahkan
proses pengujian dan bimbingan sehingga terselesai pada waktu yang tepat.
Hanya sebuah karya kecil dan untaian kata-kata ini yang dapat kupersembahkan
kepada kalian semua,, Terimakasih yang sebesar-besarnya. Atas segala kekhilafan
salah dan kekuranganku, kurendahkan hati serta diri menjabat tangan meminta
beribu-ribu kata maaf tercurah.

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat allah SWT. Yang

telah melimpahkan rahmat, anugerah serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat

meneyelesaikan proposal penelitian dengan judul “Analisis Efektivitas Biaya

Antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Geriatri Infeksi Saluran Kemih

di Instalasi Rawat Inap RST Dr. Asmir Salatiga Tahun 2018”.

Pada penyusunan proposal penelitian ini adalah untuk memenuhi salah

satu persyaratan kelulusan di Universitas Ngudi Waluyo Fakultas Ilmu Kesehatan

Program Studi Farmasi. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan

pengarahan dari pembimbing, penyusunan proposal penelitian ini akan banyak

menemui hambatan dan kesulitan, maka pada kesempatan ini penulis

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Subyantoro, M. Hum, selaku Rektor Universitas Ngudi Waluyo

2. Heni Setyowati, S.SiT., M. Kes, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Ngudi Waluyo

3. Richa Yuswantina, S. Farm., Apt., M. Si, selaku ketua program Studi Farmasi

Universitas Ngudi Waluyo

4. Sikni Retno Karminingtyas, S.Farm., M.Sc., Apt, selaku dosen pembimbing

utama yang dengan sabar, dan telah meluangkan waktunya untuk memberikan

bimbingan, motivasi,dan pengarahan dalam penyusunan proposal penelitian

ini.

x
5. Galih Adi Pramana, S.Farm., M.Farm., Apt, selaku dosen pembimbing kedua

yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran selama penulisan

proposal penelitian ini.

6. Bapak, Ibu Dosen, dan seluruh staf pengajar Universitas Ngudi Waluyo yang

telah membekali berbagai pengetahuan kepada penulis selama masa studi.

7. Ayah dan Ibu Tercinta yang telah memberikan do’a, dukungan moril dan

materil dalam proses penyelesaian proposal ini.

8. Teman-teman seangkatan tersayang Program Studi Farmasi Transfer

Univeritas Ngudi Waluyo yang telah membantu dalam proses penyelesaian

proposal ini.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan

proposal ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam Skripsi ini mungkin masih terdapat

kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik

dari pembaca agar proposal ini dapat menjadi lebih baik.

Demikian proposal ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat khususnya

bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya.

Ungaran, Juli 2019

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................

ABSTRAK .......................................................................................................

ii

ABSTRACT ....................................................................................................

iii

HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................

iv

HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................

DAFTAR RIWAYAT HIDUP.........................................................................

vi

PERNYATAAN ORISINILITAS....................................................................

vii

HALAMAN KETERSEDIAAN PUBLIKASI.................................................

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................

ix

KATA PENGANTAR......................................................................................

xi

xii
DAFTAR ISI....................................................................................................

xiii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................

xvi

DAFTAR TABEL ...........................................................................................

xvii

DAFTAR BAGAN...........................................................................................

xviii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................

A. Latar Belakang ...............................................................................

B. Rumusan Masalah ..........................................................................

C. Tujuan Penelitian ...........................................................................

D. Manfaat Penelitian .........................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

A. Tinjauan Teori................................................................................

xiii
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) ...................................................

a. Definisi...............................................................................

b. Epidemiologi......................................................................

c. Pathogenesis ......................................................................

d. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih.....................................

e. Etiologi...............................................................................

10

f. Manifestasi Klinik..............................................................

11

g. Diagnosis............................................................................

12

2. Terapi Infeksi Saluran Kemih..................................................

15

a. Seftriakson..........................................................................

15

b. sefotaksim...........................................................................

16

xiv
3. Metode Farmakoekonomi ........................................................

17

a. Definisi ..............................................................................

17

b. Biaya dan Outcame Terapi.................................................

17

c. Metode Cost-Effectiveness Analisys (CEA) ......................

20

B. Kerangka Teori ..............................................................................

28

C. Kerangka Konsep ...........................................................................

29

D. Keterangan Empiris .......................................................................

29

BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................

30......................................................................................................................

A. Desain Penelitian ...........................................................................

30

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................

30

C. Populasi dan Sampel.......................................................................

30

xv
D. Definisi Operasional ......................................................................

32

E. Prosedur Penelitian.........................................................................

34

F. Etika Penelitian ..............................................................................

35

G. Pengolahan Data ............................................................................

35

H. Analisis Data...................................................................................

36

BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................

38

A. Karakteristik Pasien Infeksi Saluran Kemih ..................................

38

B. Biaya Medik Langsung ..................................................................

39

C. Efektivitas Terapi ...........................................................................

40

D. Analisis Efektivitas Biaya ..............................................................

41

BAB V PEMBAHASAN .................................................................................

42

xvi
A. Karakteristik Pasien Infeksi Saluran Kemih ..................................

42

B. Biaya Medik Langsung ..................................................................

44

C. Efektivitas Terapi ...........................................................................

48

D. Analisis Efektivitas Biaya ..............................................................

49

BAB VI PENUTUP .........................................................................................

53

A. Kesimpulan ....................................................................................

53

B. Saran ..............................................................................................

53

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 54

LAMPIRAN…………………………………………………………………. 58

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram Efektivitas Biaya .......................................................

25

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Efektivitas Biaya ...............................................

22

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih

di RST Dr Asmir Salatiga ........................................................

38

Tabel 4.2 Biaya Medik Langsung setriakson Pada Pasien geriatric

Penderita Infeksi saluran Kemih Di RST Dr Asmir Salatiga ...

40

Tabel 4.3 Rata-Rata Waktu Penurunan Suhu Antibiotik Seftriakson dan

Sefotaksim Pada Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran

Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr Asmir Salatiga ..........

40

Tabel 4.4 Nilai ACER Penggunaan Antibiotik Seftriakson dan

SEfotaksim Pada Pasien BPJS Geriatri Penderita Infeksi

saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr Asmir

Salatiga .....................................................................................

40

xix
DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori .........................................................................

28

Bagan 2.2 Kerangka Konsep .....................................................................

29

Bagan 3.1 Prosedur Penelitian ...................................................................

34

xx
xxi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi dengan keterlibatan

bakteri terbanyak hampir 10 % orang pernah terkena ISK selama hidupnya.

Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang melibatkan struktur tempat mulai

dibentuknya urin (glomerulus) sampai muara saluran urin di meatus uretra

eksterna dan didapatkannya mikroorganisme pada urin yang disertai gejala

sebagai tanda adanya infeksi (Rajabnia et al., 2012).

Menurut penelitian yang dilakukan (Rowe et al., 2014) ISK adalah salah satu

infeksi yang paling sering didiagnosis pada usia dewasa hingga lansia. Angka

kejadian ISK adalah 1:100 pertahun. Insiden ISK meningkat di angka kejadian

yang cukup tinggi pada lansia. Lebih dari 10% wanita yang berusia diatas 65

tahun melaporkan mengalami ISK dalam 12 tahun terakhir. Jumlah ini meningkat

hampir 30% pada wanita berusia diatas 80 tahun. ISK menempati urutan kedua

infeksi yang sering menyerang setelah infeksi saluran pernafasan dengan jumlah

8,3 juta pertahun. Infeksi saluran kemih di Indonesia dan prevalensinya tinggi.

Jumlah penderita ISK di Indonesia adalah 95 kasus/ 104 penduduk pertahunnya

atau sekitar 180.000 kasus baru pertahun (Andrian Ramadhan, 2014).

Pengobatan infeksi saluran kemih (ISK) sebagian besar menggunakan antibiotik.

Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan terkait

banyaknya kejadian infeksi bakteri. Dari hasil survei penelitian pada periode

1
tahun 2018, golongan obat Sefalosporin yaitu Seftriakson dan Sefotaksim

merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan oleh pasien infeksi saluran

kemih (ISK) yang dirawat inap di RS Dr. Asmir Salatiga.

Seftriakson dan sefotaksim adalah obat antibiotik beta-laktam golongan

sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai

sistem saraf pusat, keduanya dapat digunakan secara intravena ataupun

intramuskuler. Dalam 1 gram seftriakson intravena terdapat sekitar 60-140 µg/mL

seftriakson dalam serum. Obat golongan ini dapat melakukan penetrasi ke dalam

jaringan, cairan tubuh, cairan serebrosinal serta dapat menghambat bakteri

pathogen gram negatif dan positif (Triono and Purwoko, 2012).

Antibiotik harus bersifat selektif dan dapat menembus membran agar dapat

mencapai tempat bakteri berada. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat

menyebabkan kekebalan bakteri, munculnya bakteri-bakteri yang resisten

terhadap suatu antimikroba, dan peningkatan biaya pengobatan (Kurniawan and

Israr, 2009).

Cost Effetiveness Analysis (CEA) merupakan cara memilih untuk menilai program

yang paling efektif dengan hasil yang maksimal terhadap beberapa program yang

berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Penilaian analisis

memilih hasil yang dilakukan dengan melihat CER yaitu ratio antara total biaya

yang diperlukan dengan jumlah output/efek dari beberapa alternatif dimana ratio

terendah merupakan pilihan yang terbaik. Cara tersebut dibutuhkan sebagai acuan

untuk mengetahui pengobatan mana yang lebih efektif dari kedua alternatif

pengobatan yang dipilih (Dipiro et al., 2011).

2
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh (Siti Atika and Ihwan, 2018)

Berjudul Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik Siprofloksasin dan Seftriakson

Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Rawat Inap Di RSU Anutapura Palu Tahun

2016-2017 disimpulkan bahwa Efektivitas pengobatan antara antibiotik

siprofloksasin dan antibiotik seftriakson tidak ada perbedaan yang signifikan

dengan diperoleh nilai p = 0,157. Antibiotik seftriakson lebih cost effective

daripada antibiotik siprofloksasin dengan nilai ACER sebesar Rp12.249,5 dan

nilai ICER sebesar Rp2.336,5.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang” Analisis

Efektivitas Biaya Antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Geriatri

dengan Infeksi Saluran Kemih di RST Dr. Asmir Salatiga Tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana analisis efektifitas biaya antibiotik seftriakson dan sefotaksim pada

pasien geriatri Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr. Asmir

Salatiga tahun 2018?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas biaya penggunaan antibiotik seftriakson dan

sefotaksim pada pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih (ISK) di RST Dr.

Asmir Salatiga tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

3
Membandingkan efektivitas biaya antibiotik seftriakson dan sefotaksim pada

pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih (ISK) di RST Dr. Asmir Salatiga

menggunakan analisis Average Cost Effectiviness Ratio (ACER) dan Incremental

Cost Effectiviness Ratio (ICER).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan manfaat terkait dengan

analisis biaya pengguanaan antibiotik seftriakson dan sefotaksim pada pasien

geriatri dengan infeksi saluran kemih (ISK).

2. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan terutama

terkait dengan ilmu farmakoekonomi yang berhubungan dengan Cost

Effectiviness terapi infeksi saluran kemih (ISK).

3. Manfaat bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi rumah sakit dalam

menetapkan kebijakan mengenai pemilihan antibiotik untuk kasus infeksi Saluran

kemih (ISK) pada geriatri RST Dr. Asmir Salatiga.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

a. Definisi

4
Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme

pada saluran kemih. ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat

mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu

menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Wells et al., 2015).

b. Epidemiologi

Menurut WHO sebanyak 25 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2011,

sepertiganya disebabkan oleh penyakit infeksi. Infeksi saluran kemih (ISK)

merupakan infeksi dengan keterlibatan bakteri tersering di komunitas dan hampir

10% orang pernah terkena ISK selama hidupnya. Sekitar 150 juta penduduk di

seluruh dunia tiap tahunnya terdiagnosis menderita infeksi saluran kemih.

Prevalensinya sangat bervariasi berdasar pada umur dan jenis kelamin, dimana

infeksi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria yang oleh

karena perbedaan anatomis antara keduanya. Infeksi saluran kemih menempati

posisi kedua tersering (23,9%) di negara berkembang setelah infeksi luka operasi

(29,1%) sebagai infeksi yang paling sering didapatkan oleh pasien di fasilitas

kesehatan. ISK merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang cukup

signifikan (WHO, 2011).

Prevalensi infeksi saluran kemih di Indonesia diperkirakan mencapai 22 juta jiwa.

Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, penderita ISK di

Indonesia berjumlah 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk pertahun atau sekitar

180.000 kasus baru pertahun. ISK menempati urutan kedua infeksi yang sering

menyerang setelah infeksi saluran pernafasan dengan jumlah 8,3 juta pertahun

(Kemenkes RI, 2009).

5
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor seperti usia, gender,

prevalensi bakteriuria dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan

struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan

lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita infeksi saluran kemih (ISK)

dibandingkan laki-laki. Infeksi saluran kemih (ISK) berulang pada laki-laki jarang

dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi. Prevalensi bakteriuria asimtomatik

lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah

(school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual.

Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30%, baik laki-laki maupun

perempuan bila disertai faktor presdisposisi seperti berikut: litiasis, obstruksi

saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, penyakit sickle-cell, senggama,

kehamilan dan peserta KB dengan table progesterone, serta kateterisasi (Edriani,

2010).

c. Patogenesis

Escheria coli merupakan penyebab utama infeksi saluran kemih dan memiliki

patogenesis terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari

lipopolisakarida (LPS). Infeksi saluran kemih dapat ditimbulkan melalui dua jalur

infeksi yaitu jalur hematogen dan asending. Infeksi hematogen biasanya terjadi

pada pasien dengan daya tubuh yang rendah, karena menderita penyakit kronik

atau pada pasien yang mendapatkan imunosupresif. Penyebaran hemotogen juga

biasa timbul akibat adanya fokus infeksi disalah satu tempat. Misalnya infeksi

staphilococus aureus pada ginjal bias terjadi akibat penyebaran hematogen dari

infeksi tulang, kulit, endotel, atau ditempat lain. Salmonella, Pseudomonas, dan

6
Proteus merupakan bakteri yang menginfeksi secara hematogen. Infeksi saluran

kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi asending berupa kolonisasi uretra

dan daerah introitus vagina yang disebabkan oleh Escheria coli (Adib, 2011).

Mikroorganisme juga dapat menginvasi ke kandung kemih. Bakteri yang

menyerang kandung kemih disebut dengan bakteri uropatogen dan dapat

berkolonisasi atau pada uroepitel untuk melakukan pengerusakan terhadap epitel

saluran kemih (Semaradana, 2014).

Bakteri yang menginvasi kandung kemih dapat naik ke ginjal karena adanya

refluks vesikouriter dan menyebarkan inveksi dari pelvis ke korteks karena refluks

intrarenal. Repluks vesikoureter adalah keadaan patologis karena tidak

berfungsinya valvula vesikoureter yang didapat baik secara kongenital ataupun

akibat adanya infeksi (Tessy and Suswanto, 2001).

Mekanisme saluran kemih dalam mencegah timbulnya infeksi dapat dilakukan

secara mekanik melalui pembersihan organisme serta adanya tekanan urin saat

miksi berperan dalam mencegah masuknya bakteri kedalam mukosa. Mekanisme

lainnya berupa adanya aktifitas antibakteri intrinsik pada saluran kemih

(Semaradana, 2014).

d. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan lokasi

anatomi, yaitu :

1) Infeksi saluran kemih atas

Infeksi saluran kemih atas meliputi pielonefritis, abses intrarenal dan perinefrik

menjadi dua, yaitu :

7
a) Pielonefritis akut, yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang

disebabkan oleh infeksi bakteri.

b) Pielonefritis kronik, yaitu akibat proses infeksi bakteri

berkelanjutan atau infeksi yang didapat sejak dini. Obstruksi

saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa

bakteriuria kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat

parenkim ginjal yang ditandai dengan pielonefritis kronik

spesifik (Wikaningtyas et al., 2015)

2) Infeksi saluran kemih bawah

Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari uretritis (infeksi uretra) dan sistitis

(infeksi kandung kemih). Protastitis (infeksi prostat) dan epididimidis (Infeksi

epididimis) juga dapat ditemui pada laki-laki (Wikaningtyas et al., 2015).

e. Etiologi

Infeksi saluran kemih adalah istilah umum yang menunjukkan adanya

mikroorganisme dalam urin (bakteriurea) yang bermakna (significant

bacteriuria). Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,

namun virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Bakteri yang menjadi

penyebabnya merupakan bakteri gram negatif aerob yang biasa ditemukan pada

saluran pencernaan (Enterobacteriaceae) dan jarang disebabkan bakteri anaerob

(Samirah et al., 2004). Bacteri escherichia coli merupakan penyebab utama

sebesar 70 % - 90 % dan bakteri lainnya berupa Proteus, klebsiella, kadang

Enterobacter berperan pada sebagian kecil infeksi ringan (Adib, 2011).

8
Infeksi saluran kemih sebagian besar bisa disebabkan oleh bakteri, virus dan

jamur tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak

adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan

akan naik ke sistem saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp,

Klebsiella, Enterobacter (Purnomo, 2014). Pasca operasi juga sering terjadi

infeksi oleh Pseudomonas, sedangkan Chlamydia dan Mycoplasma bisa terjadi

tetapi jarang dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada faktor lain

yang dapat memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci et al., 2008).

f. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi dari tanpa gejala

(asimptomatis) ataupun disertai gejala (simptom). Infeksi saluran kemih dapat

diketahui dengan beberapa gejala seperti demam, susah buang air kecil, nyeri

setelah buang air besar (disuria terminal), sering buang air kecil, kadang-kadang

merasa panas ketika berkemih, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik (Permenkes,

2011).

Dikatakan ISK jika terdapat kultur urin positif lebih dari 100.000 CFU/mL.

Ditemukan positif (dipstick) leukosit esterase adalah 64-90 %. Positif nitrit pada

distick urin, menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri gram negatif

tertentu (tidak gram positif), sangat spesifik skitar 50 % untuk infeksi saluran

kemih. Temuan sel darah putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah indikator

yang paling tepat dapat diandalkan infeksi (lebih dari 10 WBC/hpf pada spesimen

berputar) adalah 95 % sensitif tapi jauh kurang spesifik untuk ISK secara umum,

9
lebih dari 100.000 koloni/mL pada kultur urin dianggap diagostik untuk ISK

(Grabe et al., 2015).

Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada lokalisasi infeksi

dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas pielonefritis yang paling sering

dijumpai, ditandai dengan adanya demam, nyeri perut atau pinggang, mual,

muntah kadang-kadang disertai diare. Pielonefritis pada neonates umumnya tidak

spesifik berupa mudah terangsang, tidak nafsu makan dan berat badan yang

menurun pada anak usia < 2 tahun dapat disertai demam (Grabe et al., 2015).

g. Diagnosis

1) Urinalisis

Urinalisis dapat menggambarkan keadaan sistemik khususnya kondisi ginjal dan

saluran kemih. Sehingga dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis infeksi

saluran kemih karena pemeriksaan urinalisis cepat dan tersedia secara luas

(Khairina, 2013).

Cara pengambilan sampel urin juga perlu diperhatikan agar terhindar dari

kontaminasi (Hasanah, 2014). Sampel urin yang digunakan untuk urinalisa

khususnya dalam pemeriksaan skrining maupun diagnosa infeksi saluran kemih

tidak boleh dilakukan penundaan transport sampel urin ke laboratorium. Jenis

sampel urin yang digunakan sesuai kebutuhan pemeriksaan, berikut jenis-jenis

sampel urin, yaitu :

a) Urin sewaktu

10
Dapat diambil kapan saja dan digunakan untuk pemeriksaan rutin digunakan

sebagai uji skrining (Chairlan and Lestari, 2011).

b) Urin 24 jam

Merupakan urin tampung selama 24 jam pada wadah yang biasanya ditambahkan

pengawet urin. Urin 24 jam digunakan untuk mengetahui volume urin secara

kuantitatif (Chairlan and Lestari, 2011).

c) Urin pagi

Urin pagi merupakan urin yang dikeluarkan pada pagi hari setelah bangun tidur.

Urin pagi lebih pekat, baik digunakan untuk pemeriksaan sidemen urin, protein,

tes kehamilan HCG (Gandasoebrata, 2013).

d) Urin kateter

Jenis sampel tergantung dari jenis kateter yang digunakan. Merupakan urin yang

ditampung setelah kateter steril dimasukkan ke dalam kandung kemih. Kateter

inderweeling merupakan urin yang ditampung pada saat pergantian kateter.

Spesimen tidak boleh diambil dari tampungan bag urine pada cateter inderwelling

yang permanen (Husnizal, 2016).

Urinalisis terdiri dari pemeriksaan urin rutin berupa pemeriksaan kimia,

pemeriksaan mikroskopis (sidemen) urin, dan kultur urin (Hasanah, 2014).

2) Leukosit esterase

Pemeriksaan leukosit esterase berdasarkan aktivitas enzim estewrase

indoksil yang dihasilkan oleh granulosit (neutrofil, eusinofil, basofil dan monosit).

Menurut (Alwi, 2014) leukosit esterase dalam keadaan normal menunjukkan hasil

negatif, dikatakan trace jika 15 leukosit/uL, positif 1 jika 70 leukosit/uL, positif 2

11
jika 125 leukosit/uL, dan 3 jika 500 leukosit/uL. Positif dan palsunya dapat

disebabkan beberapa faktor seperti, adanya kontaminasi berupa sisa ditergen pada

kontainer urin, zat oksidator kuat, dan formalin.

3) Nitrit

Tes nitrit merupakan pemeriksaan urin standar yang digunakan dalam

pemeriksaan scrining secara cepat. Bakteri gram Positif penyebab infeksi saluran

kemih yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit diantaranya Eschericia coli,

Enterobacter, Citrobacter, Klebsiella dan Proteus Sp. Urin harus terpapar bakteri

tersebut selama minimal 4 jam untuk dapat membentuk nitrit (Aulia dan Lydia,

2014). Pemeriksaan nitrit juga digunakan sebagai penanda adanya hasil produk

patogen yang khas pada saluran kemih (Hasanah, 2014).

2. Terapi Infeksi Saluran Kemih

Tatalaksana terapi dapat diawali dengan pertimbangan faktor pasien, faktor

mikrobiologis dan data hasil klinis (Kurniawan, 2009). Antibiotik (antibakteri)

adalah zat yang diperoleh dari suatu sintesis atau yang berasal dari senyawa

nonorganik yang dapat membunuh bakteri patogen tanpa membahayakan manusia

(inangnya). Antibiotik harus bersifat selektif dan dapat menembus membran agar

dapat mencapai tempat bakteri berada (Priyanto, 2010).

a. Seftriakson

Ceftriakson merupakan cephalosporine generasi III. Ceftriakson secara selektif

dan ireversibel, menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengikatkan

diri pada transpeptidase, yang disebut juga transamidase, yang merupakan

penicillinbinding protein (PBP) yang mengatalisasi polymer peptidoglikan yang

12
kemudian membentuk dinding sel bakteri. Penghambatan PBP akan menyebabkan

kerusakan dan kehancuran dinding sel dan akhirnya terjadi lisis sel (Whardhana et

al., 2018).

Seftriakson memiliki waktu paruh selama 7-8 jam dan dapat disuntikkan 1-2 x

sehari setiap 12-24 jam dalam dosis 15-50 mg/kg/hari, dewasa dan anak lebih dari

12 tahun dengan BB lebih dari 50 kg sehari 1x 1-2 g secara IV dapat dinaikkan

sampai 4 g dengan interval 12 jam dan harus diberikan melalui infus paling cepat

30 menit selama 3-5 hari, dosis tunggal selama 5 hari. Waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai kadar puncak dalam serum darah 1-2 jam setelah dilakukan

injeksi intra muscular. Cara kerja seftriakson yakni menghambat sintesis dinding

sel bakteri dengan cara menghambat transpeptidasi peptidoglikan dan

mengaktifkan enzim autoloitik dalam dinding sel yang menyebabkan rudapaksa

sehingga bakteri mati (Triono and Purwoko, 2012). Harga obat antibiotik

seftriakson adalah Rp 19.250/ 2x vial 10 ml (Ikatan Apoteker Indonesia, 2012).

b. Sefotaksim

Sefotaksim adalah obat antibiotik beta-laktam golongan sefalosporin generasi

ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai sistem saraf pusat,

sefotaksim dapat digunakan secara intravena ataupun intramuskuler. Dalam 1

gram seftriakson intravena terdapat sekitar 60-140 µg/mL sefotaksim dalam

serum. Obat golongan ini dapat melakuan penetrasi ke dalam jaringan, cairan

tubuh, cairan serebrosinal serta dapat menghambat bakteri pathogen gram negatif

dan positif. Dosis dewasa dan anak lebih dari 12 tahun 1 g tiap 12 jam (2x 1

13
g/hari) IM atau IV, infeksi tidak komplikasi 1 g tiap 12 jam IM atau IV, sedang

sampai berat 1-2 g tiap 8 jam IM atau IV selama 10-14 hari (Kemenkes RI, 2013)

Sefotaksim mempunyai berat molekul 400-450, dapat larut dalam air serta relatif

stabil terhadap peruhanan pH dan suhu. Sefotaksim diekskresikan 60-90% melalui

ginjal. Sefalosporin menyebabkan sensitisasi dan menimbukan berbagai reaksi

hipersensitivitas termasuk anafilaksis, demam, kemerahan di kulit,

granulositopenia dan anemia hemolotik. Harga antibiotik sefotaksim adalah Rp

8.750/ 2x10 ml vial 500 mg. 1 gr Rp 17.500 (Ikatan Apoteker Indonesia, 2012).

3. Metode Farmakoekonomi

a. Definisi

Farmakoekonomi digunakan untuk mengindentifikasi, mengukur dan

membandingkan biaya dan konsekuensi akibat terapi obat dalam sistem pelayanan

kesehatan dimasyarakat (Dipiro et al 2008)

Farmakoekonomi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur

dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan

dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi

memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih

sudut pandang (Septiani, 2007).

Tujun farmakoekonomi adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik

dari setiap unit nominal mata uang yang dikeluarkan, menurunkan frekuensi

presepan yang tidak rasional serta mengurangi beban ekonomi pasien dengan

menggunakan manajemen terapi yang efektif.

14
b. Biaya dan Outcame Terapi

Studi farmakoekonomi terpusat pada biaya (input) dan konsekuensi penggunaanya

(output). Biaya didefinisikan sebagai nilai sumberdaya yang digunakan selama

program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan sebagai efek atau outcame

dari program yang dilakukan. Biaya diklasifikasi menjadi biaya langsung medis,

biaya langsung non medis, biaya tidak langsung non medis, dan biaya tak teraba

(intangible). Biaya langung medis merupakan biaya produk dan pelayanan medis

untuk mencegah, mendeteksi dan atau mengobati penyakit seperti biaya obat, alat

medis tes laboratorium, dan kunjungan doker. Biaya langsung non medis

merupakan biaya pelayanan nonmedis akibat penyakit yang dialami, seperti

makanan khusus yang harus dikonsumsi selama pengobatan dan biaya transportasi

menunju fasilitas kesehatan (Dipiro, 2011).

Outcame yang dihasilkan bisa ditinjau dari aspek klinis, ekonomis dan humanistik

akibat intervensi kesehatan yang telah dilakukan baik karena pencegahan,

diagnosis, terapi atau menajemen penyakit.

Secara umum biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dibedakan sebagai

berikut:

1) Biaya langsung

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan,

termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya

jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji

laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya

15
langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis

seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya (Kemenkes RI, 2013).

2) Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya

produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya transportasi, biaya

hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota kelurga yang menemani

pasien) (Kemenkes RI, 2013).

3) Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun

sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa

cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya (Kemenkes RI, 2013).

4) Biaya terhindarkan (Averted cost, avoided cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dapat dihindarkan

karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Kemenkes RI, 2013).

5) Biaya tak terduga

Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis,

tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa

nyeri/cacat kehilangan kesadaran, efek samping. Sifatnya psikologis, sukar

dikoversikan dalam mata uang (Kemenkes RI, 2013).

16
Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis terkait

dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya juga sering diperhitungkan dalam

telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain (Kemenkes RI, 2013):

1) Biaya perolehan (asqusition cost)

Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau

intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun institusi.

2) Biaya yang diperkenankan (allowable cost)

Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau teknologi

kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara jaminan kesehatan

atau pemerintah pasien maupun institusi.

3) Biaya pengeluaran sendiri (out-of-pocket cost)

Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh individu

pasien dengan uangnya sendiri.

4) Biaya peluang (opportunity cost)

Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang

mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan untuk membeli

obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat menggunakan uangnya

untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan, hiburan, dan sebagainya.

c. Metode Cost-Effectiveness Analisys (CEA)

Digunakan untuk membandingkan dua atau lebih alternatif pilihan dengan

menguji rasio perbedaan biaya dan perbedaan efektivitas kesehatan dari pilihan

dengan menguji rasio perbedaan biaya dan perbedaan efektivitas kesehatan dari

17
pilihan alternatif tersebut (Arnold, 2010). Beberapa unsur dalam CEA yang perlu

dipahami antara lain intervensi kesehatan, pilihan alternative, status kesehatan dan

QALY (Quality Adjusted Life Years). Intervensi kesehatan dapat berupa terapi, tes

screening atau teknik pencegahan primer (misalnya vaksinasi) yang dapat

mengurangi angka insiden suatu penyakit atau komplikasinya, meningkatkan

kualitas hidup pasien atau meningkatkan harapan hidup. Pilihan alternatif

merupakan intervensi yang akan dibandingkan dengan intervensi utama. Status

kesehatan digunakan untuk membandingkan efektivitas karena pemberian

intervensi. Dalam hal ini, CEA digunakan untuk memperkirakan status kesehatan

baik secara kualitas maupun kuantitas hidup dan seberapa banyak biaya yang

harus dikeluarkan untuk mencapai peningkatan tersebut (Meuning, 2007).

Hasil yang didapatkan dari CEA dinyatakan sebagai rasio berupa Average Cost

effectiveness Ratio (ACER) adalah rasio rata-rata efisiensi biaya per –outcame

klinis. Nilai ACER diperoleh dengan perhitungan sebagai berikut :

rata−ratabiaya medis langsung


ACER=
efektivitas terapi

Hasil perhitungan ACER menunjukkan hasil efektif bila menunjukkan biaya

(biaya langsung per hari) paling rendah per outcame yang didapat. Suatu terapi

bisa dikatakan cost effective bila memiliki biaya yang sama namun efektivitas

lebih tinggi atau efektivitas yang setara namun dengan dengan biaya lebih rendah.

Dan yang paling utama adalah biaya paling rendah namun efektivitas tinggi. atau

Incremental Cost-Effectivenes Ratio (ICER) adalah selisih biaya yang harus

ditambah untuk meperoleh terapi yang lebih cost effective. Nilai ICER diperoleh

dengan perhitungan sebagai berikut :

18
biaya A−biaya B
ICER=
efektivitas A−efektivitas B(%)

Dalam upaya pemilihan alternatif terapi berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan

efektifitas hasil terapi yang dihasilkan, maka dapat digunakan tabel perbandingan

efektivitas berikut ini :

Tabel 2.1 Perbandingan Efektivitas Biaya

Efektivitas - Biaya Biaya lebih rendah Biaya Sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih A B C
rendah (perlu perhitungan (didominasi)
ICER )
Efektifitas sama D E F
Efektivitas lebih G H I
tinggi (Dominan) (perlu perhitungan
ICER)
Sumber : (Kemenkes RI, 2013)

1) Posisi Dominan : Kolom D, G dan H

Tiga kolom tersebut disebut kolom dominan. Jika suatu intervensi kesehatan

menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan biaya sama (Kolom H) atau

efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (kolom D) dan efektivitas lebih

tinggi dengan biaya lebih rendah (kolom G) pasti terpilih sehingga tak perlu

dilakuakan CEA (Kemenkes RI, 2013).

2) Posisi Didominasi : Kolom B, C dan F

Tiga kolom ini disebut kolom Didominasi sebaliknya, jika sebuah intervensi

kesehatan menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya sama (Kolom B)

atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (kolom F) apabila efektivitas lebih

rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C) tidak perlu dipertimbangkan sebagai

19
alternative, sehingga tak perlu pula di ikutsertakan dalam perhitungan CEA atau

ACER (Kemenkes RI, 2013).

3) Posisi Seimbang : Kolom E

Disebut juga sebagai posisi seimbang. Sebuah intervensi kesehatan yang

menawarkan efektivitas dan biaya sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih

jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaian lebih memungkinkan untuk

ditaati oleh pasien(Kemenkes RI, 2013).

4) Posisi memerlukan pertimbangan efektivitas biaya Kolom A dan I

Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas –biaya. Jika suatu intervensi

kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang

lebih rendah pula (Kolom A) atau sebaliknya menawarkan efektivitas yang lebih

tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu

mempertimbangan ICER (Kemenkes RI, 2013).

ICER digunakan untuk mendeterminasi biaya tambahan dan tambahan efektivitas

dari suatu alternative terapi dibandingkan dengan terapi yang paling baik. Rasio

ini dapat memberikan gambaran biaya tambahan yang diperlukan untuk

mendapatkan efek tambahan dengan mengganti intervensi A menjadi intervensi B.

nilai ICER diperoleh dari hasil membagi selisih biaya antar intervensi dengan

selisih persentase efetivitas antar intervensi (Dipiro et al., 2011).

Alat bantu lain yang dapat digunakan pada CEA adalah diagram efektivitas. Suatu

alternative intervensi kesehatan, termasuk obat, harus dibandingkan dengan

intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini jika suatu intervensi kesehatan

memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi

20
dibanding intervensi standar, intervensi alternative ini masuk ke kuadaran 1

(Tukaran, Trade-Off). Pemilihan intervensi kuadran I memerlukan pertimbangan

sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumber

daya yang tersedia mencukupi (Kemenkes RI, 2013).

Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih rendah dengan

biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori tukaran.

Tetapi dikuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada dikuadran III

memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana tersedia lebih

terbatas (Kemenkes RI, 2013).

Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektifitas lebih tinggi dengan biaya yang

lebih rendah dibanding intervensi standar, intervensi alternative ini masuk ke

Kuadran II (Dominan) dan menjadi pilihan Utama. Sebaliknya suatu intervensi

kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi

dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak untuk dipilih

(Kemenkes RI, 2013).

Kuadaran I Trade Off (Lebih Mahal,


Kuadaran IV Di Dominasi (Lebih Mahal, Lebih efektif)
kurang efektif) Biaya terapi baru lebih dari biaya
Biaya terapi baru lebih dari biaya pembanding
pembanding Efek terapi baru lebih dari efek
efek terapi baru < efek pembanding pembanding

21
Kuadaran II Dominan (lebih murah
Kuadaran III Trade Off (lebih murah,
lebih efektif)
kurang efektif
Biaya terapi baru < biaya pembanding
Biaya terapi baru < biaya pembanding
Efek terapi baru lebih dari efek
Efek terapi baru < efek pembanding
pembanding

Gambar 2.1. Diagram Efektivitas Biaya (Kemenkes RI, 2013)

d. Tinjauan Tentang Geriatri

Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada tahun 1909.

Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun 1935. Pada saat itulah

diterapkan penatalaksanaan terpadu terhadap penderita-penderita lanjut usia

(lansia) dilengkapi dengan latihan jasmani dan rohani (Setyo martono, Retty

ratnawati, 2014).

Geriatri (usia lanjut) dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur

kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13

Tahun 1998 Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Lansia, serta pada pasal 3

Undang-Undang No. 43 tahun 2004 Tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan

Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Menyatakan bahwa Lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Peraturan

Pemerintahan RI, 2004).

Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta

mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan

faali menurun, dan biasanya disertai gangguan fungsional. Penderita geriatri

berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep kesehatan

22
maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda penyakitnya

sehingga, tata cara diagnosis pada penderita geriatri berbeda dengan populasi

lainnya (Penninx et al., 2004).

e. Tinjauan BPJS Kesehatan

Menurut Undang–Undang Nomor 24 tahun 2011 mengatakan bahwa

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk

untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dan badan hukum publik yang

bertanggungjawab kepada Presiden. BPJS terbagi dua yaitu BPJS kesehatan dan

BPJS ketenagakerjaan, kedua BPJS merupakan program negara yang bertujuan

untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh

rakyat.

BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi

seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling lambat

enam (6) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. BPJS Ketenagakerjaan

menyelenggarakan program jaminan hari tua, jaminan pensiunan, jaminan

kematian, dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk

orang asing yang bekerja paling singkat enam (6) bulan di Indonesia, yang telah

membayar iuran. Dari kedua pengertian tentang BPJS ini menunjukkan bahwa

BPJS Kesehatan dimaksudkan untuk pelayanan kesehatan bagi semua warga tanpa

terkecuali dan menggantikan Asuransi Kesehatan (Askes). Sedangkan BPJS

Ketenagakerjaan mengganti 8 Jaminan Sosial Kerja (Jamsostek) dan dikhususkan

bagi pegawai negeri maupun swasta (UU RI No 24 Tahun 2011, 2011).

23
B. Kerangka Teori

Infeksi Saluran Kemih

Pengobatan Infeksi Saluran Kemih


1. Seftriakson
2. Sefotaksim

Efektivitas Terapi Biaya Terapi

Biaya Medik Langsung Biaya


Biaya tak
1. Biaya Tidak
terduga
Pengobatan Langsung
2. Biaya LAB
3. Biaya Jasa
Pelayanan
(biaya Biaya Biaya
ruangan, Nirwujud Terhindarkan
biaya jasa
perawat, dan
biaya visit
dokter) Keterangan :

Bagian diteliti

Bagian tidak diteliti

Cost-Effectiveness Analysis
1. ACER
2. ICER
Bagan 2.1 Kerangka Teori

24
C. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Tergantung

D.
Pengobatan infeksi saluran AEB : 1. ACER
E. kemih (ISK) pada geriatri 2. ICER

Bagan 2.3 Kerangka Konsep

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapakan dapat memberi gambaran Analisis Efektivitas Biaya

Antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Geriatri dengan Infeksi

Saluran Kemih di instalasi rawat inap Rumah Sakit RST. Dr Asmir Salatiga tahun

2018.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini yang akan digunakan yaitu penelitian observasional yang

bersifat deskriptif dengan metode pengambilan data secara retrospektif

menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia

di rumah sakit yang berupa rekam

medis dan biaya pengobatan serta perawatan pasien rawat inap dengan diagnosis

Infeksi saluran kemih yang di rawat di RST. Dr. Asmir Salatiga tahun 2018.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RST. Dr. Asmir Salatiga dibagian rekam medis dan bagian

akuntasi, penelitian di lakukan pada bulan Juni 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah pasien geriatri penderita infeksi saluran kemih

rawat inap di RST Dr. Asmir Salatiga tahun 2018.

2. Sampel

Merupakan bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap

mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian adalah bagian pasien geriatri

penderita ISK yang dirawat inap di RST Dr. Asmir Salatiga tahun 2018 yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi merupakan ktiteria yang

perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel.

26
Sedangkan kriteria eksklusi merupakan data anggota kelompok yang tidak dapat

diambil sebagai sampel (Notoadmojo, 2012).

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling,

yaitu pengambilan sampel berdasarkan tehnik penentuan sampel bila semua

anggota populasi digunakan sebagai sampel. Sampel penelitian diambil dari

populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan

yang telah dilakukan di RST Dr. Asmir Salatiga jumlah populasi pasien infeksi

saluran kemih pada tahun 2018 adalah sebanyak 159 pasien dikategori semua

usia. Dan sampel sebanyak 159 tersebut dilakukan perhitungan dengan

n
menggunakan rumus slovin n = dengan tingkat kepercayaan sebesar 10
1+ N (d 2)

%, sehingga didapatkan hasil 61,39 (61 sampel). Namun, karena sampel tidak

mencukupi untuk memenuhi rumus slovin maka penelitian dilakukan dengan

metode total sampling.

Sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1) Pasien geriatri dengan diagnosa utama Infeksi Saluran Kemih yang

menjalani rawat inap di RST. Dr. Asmir Salatiga pada tahun 2018.

2) Pasien geriatri dengan umur lebih dari 60 tahun.

3) Pasien yang dengan asuransi (BPJS).

4) Pasien Infeksi Saluran Kemih yang diberikan terapi antibiotik

Seftriakson atau Sefotaksim.

27
5) Pasien yang memiliki rekam medik yang lengkap dan jelas.

Berupa identitas pasien, pemeriksaan pasien, durasi perawatan

dirawat inap terapi yang didapatkan dan biaya atau harga obat yang

harus dibayarkan.

b. Kriteria eksklusi

1) Pasien geriatri penderita ISK yang juga menderita penyakit infeksi

lain.

2) Pasien yang meninggal/pulang paksa.

D. Definisi Operasional

Definsisi operasional dari peneitian ini adalah sebagai berikut :

1. Infeksi Saluran Kemih adalah penyakit infeksi yang menyerang

saluran kemih pada pasien di instalasi rawat inap RST Dr. Asmir

Salatiga.

2. Pasien adalah sesorang yang terdiagnosa infeksi saluran kemih dengan

umur lebih dari 60 tahun.

3. Biaya langsung adalah biaya yang meliputi biaya obat Seftriakson dan

Sefotaksim, biaya perbekalan kesehatan, biaya dokter, biaya perawat,

biaya sewa ruangan, dan biaya laboratorium.

4. Efektifitas terapi adalah parameter hasil terapi antibiotik yang dilihat

dari lama rawat inap/los (Length Of Stay) dalam hari.

5. Lama rawat inap adalah waktu (hari) yang dibutuhkan pasien terhitung

mulai dari saat masuk rumah sakit hingga pasien dinyatakan

sembuh/membaik dan diizinkan pulang.

28
6. Cost-effectiveness analysis (CEA) adalah metode analisis

farmakoekonomi yang digunakan untuk membandingkan efektivitas

terapi dan efisiensi biaya pengobatan pasien ISK menggunakan

antibiotik Seftriakson dan sefotaksim Cara pengukuran analisis ini

dengan mengukur biaya yang dikeluarkan dengan hasil terapi yang

didapatkan yang dihitung berdasarkan rumus ACER dan ICER.

7. Average Cost effectiveness Ratio (ACER) adalah rasio rata-rata

efisiensi biaya per –outcame klinis.

8. Incremental Cost effectiveness Ratio (ICER) adalah selisih biaya yang

harus ditambah untuk meperoleh terapi yang lebih cost-effective.

29
E. Prosedur Penelitian
Studi pustaka

Pembuatan proposal

Pengajuan permohonan dan permohonan perijinan

Pengambilan data

Rekam medis
1. Nomor RM Instalansi keuangan (Biaya Medik
2. Umur Langsung)
3. Jenis kelamin 1. Biaya Pengobatan
4. Nama obat 2. Biaya Laboratorium
5. Lama menderita 3. Biaya Jasa Pelayanan (biaya
6. Hasil tes Laboratorium ruangan, biaya jasa perawat,
dan biaya visit dokter)

analisis efektivitas biaya ACER dan ICER

Pembahasan

Pengolahan data dan analisis data

Kesimpulan dan saran

Bagan 3.1. Prosedur Penelitian

30
F. Etika Penelitian

1. Anonymity (Tanpa nama)

Anonymity menjelaskan bentuk penulisan data dengan tidak perlu mencantumkan

nama paa lembar pengumpulan data, hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data.

2. Confidentiality (Kerahasian)

Kerahasian menjelaskan masalah-masalah responden yang harus dirahasiakan

dalam penelitian. Kerahasian informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporan

dalam hasil penelitan.

G. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul semua selanjutnya melakukan pengolahan data sebagai

berikut:

1. Pengetikan (Editing)

Melakukan pemeriksaan ulang terhadap kebenaran data yang sudah diperoleh dari

bagian administrasi RST Dr. Asmir Salatiga. Editing dapat dilakukan pada saat

pengambilan data atau setelah terkumpulnya data.

2. Tabulasi (Tabulating)

Pada tahap ini, menyusun data dalam bentuk tabel, sesuai dengan tujuan

penelitian yang diinginkan oleh peneliti.

3. Memasukkan Data (Entry)

Data yang dianalisis biaya medik langsung dan efektivitas terapi antibiotik

Seftriakson dan sefotaksim.

31
H. Analisis Data

Analisa data dilakukan dengan menggumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk

penelitian dari instalasi rekam medik dan bagian keuangan menggunakan lembar

pengumpulan data. Data yang telah terkumpul diperiksa terlebih dahulu, dan

dilakukan proses editing atau penyuntingan data. Hal ini perlu dilakukan untuk

mengetahui apakah data yang telah diperoleh sudah sesuai dengan data yang

diperlukan dalam penelitian.

Analisis yang dilakukan sebagai berikut :

1. Karakteristik pasien, meliputi jenis kelamin, usia, dan kelas perawatan.

2. Biaya medik langsung (biaya pengobatan, laboratorium, ruangan, jasa

perawat dan visite dokter).

3. Efektivitas terapi adalah hasil terapi antibiotik yang diihat dari lama rawat

inap pasien.

4. Analisis Efektivitas Biaya

rata−ratabiaya medis langsung


ACER=
efektivitas terapi

Biaya pada ACER merupakan rata-rata biaya medik langsung dari tiap obat yang

dikelompokkan berdasarkan penggunaan antibiotik di masing-masing kelas BPJS

yaitu kelas 1, 2 dan 3, sedangkan efektivitas pengobatan adalah tercapainya

penurunan nilai leukosit menjadi normal (<105 cfu/µL urin) setelah

mengkonsumsi obat antibiotik yang diukur dengan persentase pasien yang

mencapai target terapi ISK.

32
Hasil dari CEA dapat disimpulkan dengan Incremental Cost-Effectiveness Ratio

biaya A−biaya B
(ICER). Jika hasil perhitungan ICER=
efektivitas terapi A−efektivitas B

menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu alternatif obat dianggap

lebih efektif dan lebih murah, sehingga dapat dijadikan rekomendasi pilihan terapi

(Andayani, 2013).

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Populasi pasien infeksi saluran kemih yang dirawat inap di RST Dr Asmir

Salatiga pada tahun 2018 adalah 159 pasien, dengan pasien geriatri sebanyak 69

orang. Sedangkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak

48 pasien, dimana data sampel yang menggunakan antibiotik seftriakson adalah

sebanyak 29 pasien dan data sampel yang menggunakan antibiotic sefotaksim

sebanyak 19 pasien. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode total sampling

yaitu sampel diambil berdasarkan tehnik penentuan sampel dengan semua anggota

populasi digunakan sebagai sampel.

A. Karakteristik Pasien Infeksi Saluran Kemih

Karakteristik pasien dalam penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin,

dan kelas perawatan.

Tabel 4.1 Karakteristik Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


di RST Dr Asmir Salatiga
Karakteristik Frekuensi Persentase (%)
Usia (N=48)
60-69 tahun 30 62,5
70-79 tahun 13 27,08
> 80 tahun 5 10,41
Jenis Kelamin (N=48)
Laki-laki 19 39,58
Perempuan 29 60,42
Kelas Perawatan (N=48)
Kelas I 6 12,5
Kelas II 13 27,08
Kelas III 29 60,42

34
Berdasarkan penelitian terihat bahwa usia pasien geriatri yang

menderita infeksi saluran kemih adalah 60-69 tahun sebanyak 30 pasien

(62,5%)(tabel 4.1). Prevalensi pasien perempuan lebih banyak dari pada laki-

laki yaitu 29 pasien (60,42%)(tabel 4.1). Berdasarkan kelas perawatan

diperoleh bahwa pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih paling banyak di

kelas perawatan kelas III yaitu sebanyak 29 pasien (60,42%)(tabel 4.1).

B. Biaya Medik Langsung

Perhitungan biaya medik langsung dilakukan pada pasien BPJS

penderita infeksi saluran kemih pada geriatri yang menjalani rawat inap di

RST Dr Asmir Salatiga tahun 2018. Terdapat lima komponen biaya yaitu

biaya pengobatan dimana biaya obat yang dikeluarkan pasien selama

menjalani rawat inap, biaya laboratorium meliputi biaya tes urin lengkap,

creatinin, urea dan darah rutin. Biaya ruangan meliputi kelas ruangan yang

ditempati pasien, biaya jasa perawat meliputi biaya asuhan keperawatan

(ASKEP) dan biaya tindakan perawat bangsal, biaya visit dokter meliputi

biaya dokter umum maupun spesialis.

35
Tabel 4.2 Biaya Medik Langsung Antibiotik Seftriakson Pada Pasien
Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih Di RST Dr Asmir
Salatiga
Rata-Rata ± SD (Rupiah)
Ruang
Jenis Biaya Seftriakson (Rp) Sefotaksim (Rp)
(Kelas) % %
(n=29) (n=19)
Pengobatan 1.140.542±647.914 19,97 149.312±19.941 5,97
Laboratorium 245.333±106.327 4,29 150.000±0 6,01
Ruangan 2.310.000±363.731 40,45 1.335.000±432.406 53,46
I
Jasa Perawat 1.061.333±279.436 18,58 589.333±83.285 23,60
Visit Dokter 953.333± 323.934 16,69 273.333± 30.551 10,94
Total 5.710.542±1.225.783 100 2.496.979± 474.220 100
Pengobatan 266.862±286.957 16,62 236.178±93.167 13,26
Laboratorium 168.250±51.619 10,48 193.200±81.677 10,85
Ruangan 610.125±230.266 38,01 712.000±178.000 40
II
Jasa Perawat 313.000±144.877 19,50 333.000±67.000 18,70
Visit Dokter 246.875±159.484 15,38 305.600±224.136 17,16
Total 1.605.112±688.455 100 1.779.978±478.260 100
Pengobatan 301.161±244.501 16,63 360.860±276.211 18,37
Laboratorium 216.889±42.984 11,97 312.909±158.902 15,93
Ruangan 670.111±328.173 37,01 689.182±290.283 35,1
III
Jasa Perawat 342.167±136.831 18,89 347.818±128.357 17,71
Visit Dokter 280.278±183.018 15,47 252.727±153.238 12,87
Total 1.810.605±870.093 100 1.963.497±685.613 100
C. Efektivitas Terapi

Efektivitas terapi berdasarkan lama rawat inap yaitu waktu (hari) yang

dibutuhkan pasien terhitung mulai dari saat masuk rumah sakit hingga pasien

dinyatakan sembuh/membaik dan diizinkan pulang.

Tabel 4.3 Rata-Rata Lama Rawat Inap Pasien Geriatri Penderita Infeksi
Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr Asmir
Salatiga
Rata-rata lama rawat inap/los (Hari)
Ruang (Mean ± SD)
Variabel
(Kelas) Seftriakson Sefotaksim
(N=29) (N=19)
I Lama Rawat Inap 6,67 ± 0,58 3,67 ± 0,58
II Lama Rawat Inap 3,38 ± 1,30 3,60 ± 0,55
III Lama Rawat Inap 4,70 ± 1.94 5,00 ± 1,84

Rerata waktu pasien yang mengalami lama rawat inap kelas 1 adalah

pasien yang menggunakan antibiotik seftriakson dengan rata-rata 6,67 ± 0,58

dan sefotaksim 3,67 ± 0,58 (hari), lama rawat inap pada kelas II yaitu

36
antibiotik seftriakson 3,38 ± 1,30 dan sefotaksim 3,60 ± 0,55 (hari), lama

rawat inap pada kelas III yaitu antibiotik seftriakson 4,70 ± 1,94 dan

sefotaksim 5,00 ± 1,84 hari (tabel 4.3).

D. Analisis Efektifitas Biaya

Tabel 4.4 Nilai ACER Penggunaan Antibiotik Seftriakson dan


Sefotaksim Pada Pasien BPJS Geriatri Penderita Infeksi
Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr Asmir
Salatiga
Rata-Rata (Rp) Rerata lama rawat
Ruang ACER(Rp)
Antibiotik Direct Medical inap/los (Hari)
(Kelas) (C/E)
Cost (C) (Efektivitas) (E)
I Seftriakson 5.710.542 6,67 856.153
Sefotaksim 2.496.979 3,67 680.376
II Seftriakson 1.605.112 3,38 474.885
Sefotaksim 1.779.978 3,60 494.438
III Seftriakson 1.810.605 4,70 385.235
Sefotaksim 1.963.497 5,00 392.699

Berdasarkan perhitungan ACER dengan perbandingan efektifitas lama

rawat inap pada kelas I didapatkan nilai ACER seftriakson Rp. 856.153 dan

sefotaksim Rp. 680.376, nilai ACER kelas II yaitu seftriakson Rp. 474.885

dan sefotaksim Rp. 494.438, nilai ACER kelas III yaitu seftriakson Rp.

385.235 dan sefotaksim Rp. 392.699 (tabel 4.4).

37
BAB V

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Pasien Infeksi Saluran Kemih

1. Usia

Berdasarkan penelitian kelompok usia geriatri yang paling banyak

menderita infeksi saluran kemih adalah 60-69 tahun sebesar 30 pasien

(62,5%)(tabel 4.1). Sebagaimana penelitian Ruru et al (2018) tentang

Analisis Efektifitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) Pengobatan

Infeksi Saluran Kemih Menggunakan Antibiotik Seftriakson Dan

Siprofloksasin Di Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou ditemukan bahwa pasien

pada kelompok usia 56 sampai 65 tahun lebih rentan terjadi atau beresiko

mengalami Infeksi Saluran Kemih, karena pada usia tersebut terjadi lama

daya imun atau meningkatnya kerentanan terhadap infeksi (Kasmed et al,

2007). Pada usia di atas 55 tahun wanita dengan usia postmenopause lebih

rentan mengalami Infeksi Saluran Kemih, dikarenakan pada usia tersebut

produksi hormon estrogen menurun yang mengakibatkan PH pada cairan

vagina naik (Suyono, 2011).

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian jenis kelamin pasien ISK terbanyak adalah

perempuan sebanyak 29 pasien (62,4%)(tabel 4.1). Menurut Brian et al.,

(2013) menyatakan bahwa pasien Infeksi Saluran Kemih lebih banyak

38
menyerang perempuan yaitu 41 pasien (51,90%). Hal ini disebabkan

karena perbedaan anatomi dan fisiologis, uretra perempuan lebih pendek

sehingga bakteri kontaminan lebih mudah masuk ke kandung kemih.

Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih pada

perempuan adalah kecenderungan dalam menahan urine, serta iritasi kulit

lubang uretra pada wanita sewaktu berhubungan intim (Corwin, 2008).

3. Kelas Perawatan

Berdasarkan penelitian kelas perawatan pasien BPJS di RST Dr.

Asmir Salatiga terbagi menjadi 3 kelas perawatan yaitu terdiri dari BPJS

kelas I, kelas II, dan kelas III. Berdasarkan kelas perawatan pasien ISK

terbanyak dirawat di ruang dahlia (BPJS kelas III) yaitu sebanyak 29

pasien (60,42%)(tabel 4.1). Hal ini sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Ningsih dan Prihwanto (2017) didapat hasil terbanyak

kelas III yaitu 29 pasien (44,62%). Hal ini menggambarkan bahwa

penderita Infeksi Saluran Kemih didominasi oleh masyarakat kurang

mampu secara ekonomi. Sebagaimana Perpres No. 19 Tahun 2016

menyatakan bahwa iuran peserta BPJS perorangan kelas III sebesar Rp.

25.500, kelas II Rp. 51.000 dan kelas I Rp.80.000 (Perpres Nomor 19,

2016).

B. Biaya Medik Langsung

Komponen biaya yang dianalisis untuk CEA adalah biaya medik

langsung yang terdiri dari biaya pengobatan, biaya laboratorium, biaya jenis

39
pelayanan yang terdiri dari biaya ruangan, biaya visite dokter dan biaya jasa

perawat.

Biaya pengobatan dikeluarkan pasien untuk penggunaan antibiotik

dan juga untuk obat penunjang kesembuhan lain sesuai dengan kebutuhan

perpasien. Berdasarkan data pengobatan digunakan antibiotik broad

spectrum yaitu Seftriakson dan Sefotaksim (golongan Sefalosporin

generasi III) untuk memperkecil bahaya infeksi dalam hal ini disebabkan

oleh bakteri Gram negatif (Ansel, 2008). Selain antibiotik diberikan

beberapa obat untuk menunjang kesembuhan pasien yaitu dengan

memberikan parasetamol untuk meringankan rasa sakit saat buang air kecil

(Soenarjo, 2015). Ranitidin untuk menurunkan sekresi asam lambung yang

meningkat dengan cara menghambat reseptor histamin 2 (Setiabudy,

2011). Diberikan RL (Ringer Laktat) untuk mengembalikan keseimbangan

elektrolit pada dehidrasi akibat mual muntah (Schwartz, 2000). Untuk

antibiotik Sefotaksim ditambahkan dengan air untuk injeksi karena

Seftriakson adalah serbuk yang harus dilarutkan yaitu dengan

menggunakan air untuk injeksi tersebut (Sudoyo, 2009).

Biaya laboratorium adalah biaya yang dibayarkan untuk

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk

penegakan diagnosis dan pemantauan kondisi paparan mikroorganisme

penginfeksi yang memicu terjadinya Infeksi Saluran Kemih. Pemeriksaan

laboratorium rutin dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna

bagi dokter dan apoteker dalam pengambilan keputusan klinik. Untuk

40
mengambil keputusan klinik pada proses terapi mulai dari pemilihan obat,

penggunaan obat hingga pemantauan efektivitas dan keamanan, apoteker

memerlukan hasil pemeriksaan laboratorium. Hasil pemeriksaan tersebut

dibutuhkan sebagai pertimbangan penggunaan obat, penentuan dosis,

hingga pemantauan keamanan obat (KEMENKES, 2011).

Biaya visite dokter berbeda setiap kelas perawatan dan sesuai

profesi dokter yang melakukan visite (umum/spesialis). Untuk kelas I

biaya dokter spesialis sebesar Rp. 75.000/visite dan Umum sebesar Rp.

50.000/visite, kelas II dokter spesialis sebesar Rp. 60.000/visited an umum

Rp. 40.000/visite, sedangkan kelas III sebesar Rp. 50.000/visite dan umum

Rp. 30.000/visite Berdasarkan Peraturan Kenteri Keuangan Nomor 40

tahun 2019 menyatakan bahwa tarif visite dokter spesialis kelas II

Rp.60.000 dan umum Rp.50.000 per kunjungan (KEMENKEU, 2019).

Biaya jasa perawat setiap kelas berbeda-beda kelas I biaya asuhan

keperawatan (ASKEP) sebesar Rp. 47.000 dan untuk tindakan perawatan

bangsal sebesar Rp. 50.000, Kelas II biaya asuhan keperawatan (ASKEP)

sebesar Rp. 32.000 dan untuk tindakan perawatan bangsal sebesar Rp.

35.000, dan kelas III biaya asuhan keperawatan (ASKEP) sebesar Rp.

27.000 dan untuk tindakan perawatan bangsal sebesar Rp. 30.000.

Berdasarkan Peraturan Kenteri Keuangan Nomor 40 tahun 2019

menyatakan bahwa tarif asuhan keperawatan (ASKEP) kelas II sebesar

Rp.90.000/hari (KEMENKEU, 2019).

41
Pada ruang kelas I penggunaan antibiotik seftriakson biaya rata-

rata ± SD pengobatan sebesar Rp. 1.140.542 ± Rp. 647.914, laboratorium

Rp. 245.333 ± Rp. 106.327, jasa perawat Rp. 1.061.333 ± Rp. 279.436,

ruangan Rp. 2.310.000 ± Rp. 363.731, visite dokter Rp. 953.333 ± Rp.

323.934. Rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp.

5.710.542 ± Rp. 1.225.783. Sedangkan penggunaan antibiotik sefotaksim

biaya rata-rata ± SD pengobatan sebesar Rp. 149.312 ± Rp. 19.941,

laboratorium Rp. 150.000 ± Rp. 0, jasa perawat Rp. 589.333 ± Rp.

83.285, ruangan Rp. 1.335.000 ± Rp. 432.406, visite dokter Rp. 273.333 ±

Rp. 30.551, dan rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp.

2.496.979 ± Rp. 474.220 (tabel 4.2).

Pada ruang kelas II penggunaan antibiotik seftriakson biaya rata-

rata ± SD pengobatan sebesar Rp. 266.862 ± Rp. 286.957, laboratorium

Rp. 168.250 ±51.619, jasa perawat Rp. 313.000 ± Rp. 144.877, ruangan

Rp. 610.125 ± Rp. 230.266, visite dokter Rp. 246.875 ± Rp. 159.484.

Rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp. 1.605.112 ± Rp.

688.455. Sedangkan penggunaan antibiotik sefotaksim biaya rata-rata ±

SD pengobatan sebesar Rp. 236.178 ± Rp. 93.167, laboratorium Rp.

193.200 ± Rp. 81.677, jasa perawat Rp. 333.000 ± Rp. 67.000, ruangan

Rp. 712.000 ± Rp. 178.000, visite dokter Rp. 305.600 ± Rp. 224.136.

Rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp. 1.779.978 ±

Rp. 478.260 (tabel 4.2).

42
Pada ruang kelas III penggunaan antibiotik seftriakson biaya rata-

rata ± SD pengobatan sebesar Rp. 301.161 ± Rp. 244.501, laboratorium

Rp. 216.889 ± Rp. 42.984, jasa perawat Rp. 342.167 ± Rp. 136.831,

ruangan Rp. 670.111 ± Rp. 328.173, visite dokter Rp. 280.278 ± Rp.

183.018. Rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp.

1.810.605 ± Rp. 870.093. Sedangkan penggunaan antibiotik sefotaksim

biaya rata-rata ± SD pengobatan sebesar Rp. 360.860 ± Rp. 276.211,

laboratorium Rp. 312.909 ± Rp. 158.902, jasa perawat Rp. 347.818 ± Rp.

128.357, ruangan Rp. 689.182 ± Rp. 290.283, visite dokter Rp. 252.727 ±

Rp. 153.238, dan rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar

Rp. 1.963.497 ± Rp. 685.613 (tabel 4.2)

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa pada kelas I antibiotik

sefotaksim mempunyai nilai rata-rata biaya medik langsung lebih rendah

dibanding seftriakson. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan

Husna (2017) yang menyatakan antibiotik seftriakson lebih cost-effective

karena memiliki efektivitas lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Perbedaan

ini terjadi karena lama rawat inap pasien dengan antibiotik seftriakson

lebih lama dibandingkan pasien dengan antibiotik sefotaksim sehingga

mempengaruhi besarnya biaya pengobatan, ruangan, perawatan, maupun

visite dokter, semakin lama pasien dirawat di rumah sakit maka semakin

besar pula biaya yang harus dikeluarkan pasien. Faktor lainnya adalah hal

ini terjadi karena populasi sampel kelas I terlalu sedikit sehingga relevansi

perhitungan biayanya tidak efektif.

43
Sedangkan pada kelas II dan III antibiotik seftriakson mempunyai

rata-rata biaya medik langsung lebih rendah dibanding sefotaksim. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Husna (2017) dengan judul

Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan Seftriakson Dan Sefotaksim

Sebagai Antibiotik Empiris Pada Pasien Rawat Inap Infeksi Saluran

Kemih (Penelitian Dilakukan di RSUD kota Kendari) yang menyatakan

antibiotik seftriakson lebih cost-effective karena memiliki efektivitas lebih

tinggi dan biaya lebih rendah (Husna, 2017).

C. Efektivitas Terapi

Efektifitas terapi (outcome) dilakukan berdasarkan lama rawat inap

yaitu waktu (hari) yang dibutuhkan pasien terhitung mulai dari saat masuk

rumah sakit hingga pasien dinyatakan sembuh/membaik dan diizinkan pulang.

Pada ruang kelas I outcome (lama rawat inap) untuk antibiotik seftriakson

adalah 6,67 ± 0,58 hari sedangkan antibiotik sefotaksim adalah 3,67 ± 0,58

hari. Lama rawat inap yang paling singkat adalah pengobatan antibiotik

sefotaksim sehingga keefektifannya tinggi. Pada ruang kelas II outcome (lama

rawat inap) untuk antibiotik seftriakson adalah 3,38 ± 1,30 hari sedangkan

antibiotik sefotaksim adalah 3,60 ± 0,55 hari. Lama rawat inap yang paling

singkat adalah pengobatan antibiotik seftriakson sehingga keefektifannya

tinggi. Sedangkan pada ruang kelas III outcome (lama rawat inap) untuk

antibiotik seftriakson adalah 4,70 ± 1,94 hari sedangkan antibiotik sefotaksim

adalah 5,00 ± 1,84 hari. Lama rawat inap yang paling singkat adalah

pengobatan antibiotik seftriakson sehingga efektivitasnya tinggi (tabel 4.3).

44
Berdasarkan tabel 4.3 rata-rata lama rawat inap pasien dengan

antibiotik seftriakson lebih singkat dibanding sefotaksim, kecuali pada kelas I

sefotaksim lebih singkat dibanding seftriakson hal ini disebabkan oleh faktor

populasi sampel yang terlalu sedikit sehingga terjadi perbedaan yang

signifikan terhadap lama rawat inap antara pasien dengan antibiotik

seftriakson dan sefotaksim di ruang kelas 1. Sebagaimana penelitian yang

dilakukan Sari (2017) Persentase efektivitas terapi dihitung berdasarkan

jumlah pasien yang pada saat keluar dari rumah sakit setelah mengkonsumsi

antibiotik dibandingkan dengan keseluruhan jumlah pasien yang

dikelompokkan berdasarkan golongan antibiotik yang digunakan. Pada ruang

mawar penggunaan antibiotik seftriakson menunjukkan efektivitas yang lebih

cepat dibanding sefotaksim yaitu 80% dari 5 pasien yang mencapai target

lama rawat inap paling cepat terdapat 4 pasien (Sari, 2017). Dimana keduanya

termasuk Sefalosporin golongan beta laktam yang bekerja dengan cara

menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman

gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum antimikroba masing-masing

derivat bervariasi (Rifa’i et al, 2011).

D. Analisis Efektivitas Biaya

Berdasarkan penelitian kelas I dilihat dari lama rawat inap penggunaan

seftriakson dengan rata-rata direct medical cost sebesar Rp. 5.710.542 ±

1.225.783 dan rata-rata lama rawat inap 6,67 ± 0,58 (hari), sedangkan

sefotaksim dengan rata-rata biaya medik langsung sebesar Rp. 2.496.979 ±

474.220 dan rata-rata lama rawat inap 3,67 ± 0,58 (hari). Setelah dilakukan

45
perbandingan terhadap tabel efektifitas biaya (tabel 2.1) disimpulkan bahwa

obat yang paling efektif di BPJS kelas I adalah sefotaksim dimana masuk ke

kolom G (Dominan) yang menyatakan bahwa biaya lebih rendah dan

efektifitas lebih tinggi. Sehingga untuk BPJS kelas I rumah sakit diharapkan

menggunakan antibiotik sefotaksim untuk memperoleh hasil yang maksimal

dengan biaya rendah.

Kelas II seftriakson dengan rata-rata direct medical cost sebesar Rp.

1.605.112 ± 688.455 dan rata-rata lama rawat inap 3,38 ± 1,30 (hari),

sedangkan sefotaksim dengan rata-rata biaya medik langsung sebesar Rp.

1.779.978 ± 478.260 dan rata-rata lama rawat inap 3,60 ± 0,55 (hari). Setelah

dilakukan perbandingan terhadap tabel efektifitas biaya (tabel 2.1)

disimpulkan bahwa obat yang paling efektif di BPJS kelas II adalah

seftriakson dimana masuk ke kolom G (Dominan) yang menyatakan bahwa

biaya lebih rendah dan efektifitas lebih tinggi sedangkan sefotaksim memiliki

biaya tinggi namun efektivitas rendah masuk ke kolom C (didominasi)

sehingga tidak perlu dijadikan alternatif. Sehingga untuk BPJS kelas II rumah

sakit diharapkan menggunakan antibiotik seftriakson untuk memperoleh hasil

yang maksimal dengan biaya rendah.

Sedangkan ruang Kelas III seftriakson dengan rata-rata direct medical

cost sebesar Rp. 1.810.605 ± 870.093 dan rata-rata lama rawat inap 4,70 ± 1,94

(hari), sedangkan sefotaksim dengan rata-rata direct medical cost sebesar Rp.

1.963.497 ± 685.613 dan rata-rata lama rawat inap 5,00 ± 1,84 (hari). Setelah

dilakukan perbandingan terhadap tabel efektifitas biaya (tabel 2.1)

46
disimpulkan bahwa obat yang paling efektif di BPJS kelas III adalah

seftriakson dimana masuk ke kolom G (Dominan) yang menyatakan bahwa

biaya lebih rendah dan efektifitas lebih tinggi sedangkan sefotaksim memiliki

biaya tinggi namun efektivitas rendah masuk ke kolom C (didominasi)

sehingga tidak perlu dijadikan alternatif. Sehingga untuk BPJS kelas III rumah

sakit diharapkan menggunakan antibiotik seftriakson untuk memperoleh hasil

yang maksimal dengan biaya rendah.

Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor

52 tahun 2016 Tentang Standar tarif pelayanan kesehatan dalam

penyelenggaraan Program jaminan kesehatan bahwa pembiayaan yang

ditanggung oleh BPJS kesehatan untuk pasien rawat inap dirumah sakit

pemerintah tipe C dengan penyakit infeksi bakteri dan parasit lain-lain (berat)

tarif kelas I sebesar Rp. 4.267.200, kelas II sebesar Rp. 3.657.600, dan kelas

III sebesar Rp. 3.048.000 (Permenkes, 2016).

Dari hasil penelitian setelah dilakukan perbandingan terhadap tarif

biaya yang telah ditetapkan berdasarkan permenkes sebagaimana diatas dapat

disimpulkan bahwa pada kelas I untuk antibiotik seftriakson sebesar Rp.

5.710.542 telah melebihi batas sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga pasien

harus membayar kekurangannya sebesar Rp. 1.443.342 jika tetap ingin

menggunakan antibiotik seftriakson di kelas I. Sedangkan pada kelas II dan II

semua antibiotik masih memenuhi aturan yang ditetapkan sehingga seluruh

biaya pengobatan ditanggung oleh pihak asuransi terkait.

47
Hasil penelitian pada kelas II dan III juga senada dengan penelitian

yang dilakukan Nuhalimah et al, 2018 dengan judul Efektivitas Penggunaan

Seftriakson Dan Sefotaksim Pada Pediatri Penderita Infeksi Saluran Kemih

Di Rsud Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Pontianak yang menyatakan pasien

penderita ISK dengan rata-rata lama pemakaian tercepat pada seftriakson

yakni 3,35 hari. Pasien penderita ISK dengan rata-rata frekuensi penggunaan

antibiotik perhari didominasi oleh seftriakson sebanyak 1,35 x. Efektivitas

penggunaan seftriakson dan sefotaksim di lihat dari selisih lama rawat inap di

peroleh hasil seftriakson lebih efektif dibandingkan sefotaksim p < 0,05.

Maksud dari angka-angka dalam ACER adalah setiap peningkatan

outcome dibutuhkan biaya sebesar ACER (Lorensia dan Doddy, 2016). Dilihat

dari nilai ACER Sefotaksim yang lebih kecil dari nilai ACER Seftriakson pada

kelas I, dapat diartikan bahwa Sefotaksim lebih cost-effective dibandingkan

Seftriakson, Namun hal ini berbeda dengan pada kelas II dan III dimana lebih

cost-effective Seftriakson dibandingkan antibiotik sefotaksim pada pasien

infeksi saluran kemih yang dirawat inap di RST Dr. Asmir Salatiga Tahun

2018. Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan ICER karena tidak

memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada perhitungan ICER, yaitu pada tabel

perbandingan efektifitas biaya (2.1) harus memenuhi kolom A dan Kolom I.

Kolom A dan I adalah Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas –

biaya. Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih

rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau sebaliknya

menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi

48
(kolom I), untuk melakukan pemilihan perlu mempertimbangan ICER

(Kemenkes RI, 2013).

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa analisis

efektifitas biaya penggunaan antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim pada

pengobatan Infeksi Saluran Kemih di RST Dr. Asmir Salatiga tahun 2018

yaitu pada kelas I terapi dengan pemberian antibiotik Sefotaksim lebih cost –

effective dengan nilai ACER sebesar Rp.680.376 dengan efektivitas terapi

sebesar 3,67 hari, namun berbeda dengan kelas II lebih cost –effective

seftriakson dengan nilai ACER sebesar Rp.474.885 dengan efektivitas terapi

sebesar 3,38 hari dan kelas III lebih cost –effective seftriakson dengan nilai

ACER sebesar Rp.385.235 dengan efektivitas terapi sebesar 4,70 hari.

B. Saran

Dalam analisis efektivitas biaya perlu dilakukan penelitian prospektif

serta dengan jumlah populasi yang lebih banyak lagi agar dapat memberikan

hasil penelitian yang lebih seksama. Dan pada penelitian selanjutnya

sebaiknya outcome tidak hanya dilihat dari hasil lama rawat inap saja tetapi

49
dapat ditentukan dengan menambahkan parameter kedua jenis terapi yaitu

jumlah leukosit dalam urin maupun penurunan suhu tubuh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, M., 2011. Infeksi Tersering Pada Penderita Infeksi Saluran Kencing Di
Laboratorium Klinika Surabaya. J. Adib Baru. Akademi Analis
Kesehatan, Malang
Alwi, I., 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi VI. 2014 / FKUI,
Jakarta Internal Publishing.
Andrian Ramadhan, 2014. Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009). Dep.
Kesehat. RI 1.
Ansel, H. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4. UI Press. Jakarta.
Aulia,D., Lidya,A., dalam Alwi, I., Setiati, S., Simadibrata, M., Sudoyo, A.W.,
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6, Jilid 1, Internal Publishing.
Jakarta.
Arnold R.J.G., 2010. Pharmacoeconomisc : From Theory to Practice.USA: Tailor
and Francis Group.
Brian, et al. Koda-Kimble & Young's Applied Therapeutics: The Clinical Us of
Drugs. Philadephia USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
Chairlan, Lestari, E., 2011. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium
Kesehatan. Mahode, A.A. (Ed), Edisi 2. EGC, Jakarta.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro C.V.2008.
Pharmacotherapy handbook. 7th Edition, New York : The McGraw-Hill
Companies.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro C.V. 2011.
Pharmacotherapy handbook. 8th Edition, New York : The McGraw-Hill
Companies.
Edriani, R.A., 2010. Pola Resistensi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih
Terhadap Antibakteri di Pekanbaru. J. Nat. Indones. 12(2), 130–5.

50
Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Fauci, A., D, L., Braunwald E, E., 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
Gandasoebrata, R., 2013. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta.
Grabe M, Johansen TEB, Botto H, Wult B, et all. Guideline on urological
Infections. European Association of Urology; 2015:41-2
Hasanah, N., 2014. Evaluasi Leukosituria pada Tersangka Infeksi Saluran Kemih
di RSUD Cengkareng. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehataan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Husna, Almas Mazaya. 2017. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan
Seftriakson Dan Sefotaksim Sebagai Antibiotik Empiris Pada Pasien
Rawat Inap Infeksi Saluran Kemih Di RSUD Kota Kendari. Sarjana thesis,
Universitas Brawijaya. Malang.
Husnizal, F., 2016. Gambaran Mikroskopik Urin Berdasarkan Sampel Aliran
Tengah dan Bukan Aliran Tengah (Aliran Pertama) pada Pasien Diabetes
Melitus. Karya Tulis Ilm.
Kasmed. 2007. Hubungan Antara Kualitas Perawatan Kateter dengan Kejadian
Infeksi Saluran Kemih. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kemenkes RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta.
Khairina, A., 2013. Urinalisis Sebagai Uji Diagnostik Infeksi Saluran Kemih
Pada Anak Berusia 2 Bulan Hingga 2 Tahun Dengan Gejala Demam,
Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Kurniawan, L., Israr, Y.., 2009. Pneumonia Pada Geriatri (pp. 0-14). Pekanbaru,
Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Meuning, P., 2007. Cost- Effectiveness Analyses In Health. . A Practical
Approach. San Fransisco : Jossey-Bass.
Ningsih, Putri K., Prihwanto, B. Subagijo. 2017. Analisis Efektivitas Biaya
Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Sepsis di RSUD dr. Soebandi
Tahun 2014-2015. Universitas Jember. Jember. e-jurnal Pustaka
Kesehatan.
Notoatmojo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rinekacipta. Jakarta.
Peraturan Pemerintahan RI, 2004. UU No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Jakarta.
Penninx PhD, Marco Pahor MD. Matteo Cesari, Anna Maria Corsi PhD, Richard

51
C. Woodman MD, Stephania Bandinelli MD, Jack M. Gurainik MD, PhD,
Luigi Ferrucci MD. 2004. Anemia Is Associated with Disability and
Decreased Physical Performance and Muscle Strength in the Elderly.
Journal of the American Geriatrics Society. Amsterdam, the
Netherlands.

Permana Sari, Ajeng and Rima Munawaroh. 2017. Analisis Penggunaan


Antibiotik Pada Anak Penderita Demam Typhoid Di RSUD X 2016.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.

Permenkes, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2348


Tahun 2011, Direktorat Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Perpres. 2016. Peraturan Presiden RI Tentang Jaminan Kesehatan Nomor 19
Tahun 2006.
Rajabnia, M.C., Gooran, S., Fazeli, F., Dashipour, A., 2012. Antibiotic Resistence
Pattern in Urinary Tract Infections in Imam-Ali Hospital Zahedan (2010-
2011). Zahedan Journal of Research in Medical Science: Zahedan.
Rifa'i, Muhammad Abbas., Sudarso, Anjar M. K. 2011. Evaluasi Penggunaan
Antibiotik Terhadap Pasien Anak Penderita Demam Tifoid Di Rumah
Sakit Wijayakusuma Purwokerto Tahun 2009. UMP. Purwokerto.
Ruru, Ranny Inggrid, Gayatri Citraningtyas, Jonly P. Uneputty. 2018. Analisis
Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) Pengobatan Infeksi
Saluran Kemih Menggunakan Antibiotik Seftriakson dan Siprofloksasin di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandaou. UNSRAT. Manado.
Rowe, T.A., Juthani-Mehta, Manisha, 2014. Diagnosis and management of
urinary tract infection in older adults. Infect. Dis. Clin. North Am.
Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Setiabudy, R. 2011. Farmakologi dan Terapi edisi 5: Pengantar Mikroba.
Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.
Soenarjo., T. Eko., dan H. Jatmiko. 2015. Buku Kuliah Anestesiologi. Universitas
Diponegoro. Semarang.
Sudoyo, A. W., B. Setyohadi dan S. Setiati. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi ke-5 jilid ke-3. Interna Publishing. Jakarta.
Semaradana, W.G., 2014. Continuing Continuing Development Professional
Medical Development Infeksi Saluran Kemih akibat Pemasangan Kateter –
Diagnosis dan Penatalaksanaan. Contin. Prof. Dev. IAI 41, 737–740.

52
Setyo martono, Retty ratnawati, setyoadi, 2014. Penanganan Kesehatan Pada
Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Merapi. medica Hosp. 2.
Septiani, F., 2007. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan Kloramfenikol dan
Sefalosporin Pada Demam Tifoid Anak di Salah Satu Rumah Sakit
Pemerintah di Yogyakarta Periode 2003-2005. Skripsi, Fakultas Farmasi,
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Siti Atika, Ihwan, M.R.T., 2018. Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik
Siprofloksasin Dan Seftriakson Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Rawat
Inap Di Rsu Anutapura Palu Tahun 2016-2017 10, 134–140. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu.
Suyono, S. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam II. Balai Pustaka. Jakarta.
Tessy, A., Suswanto, 2001. Infeksi Sluran Kemih dalam Suyono,H.S, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Mikrobiologi Kedokteran, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Triono, A.A., Purwoko, A.E., 2012. Efektifitas Antibiotik Golongan Sefalosporin
dan Kuinolon terhadap Infeksi Saluran Kemih. Mutiara Medika: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan.
Useng, A., EM. Sutrisna, dan Suharsono. 2014. Analisis Penggunaan Antibiotik
Pada Penyakit Infeksi Saluran Kemih Berdasarkan Evidence Based
Medicine (Ebm) Di Rumah Sakit “X” Periode Januari –Juni 2013.
UU RI No 24 Tahun 2011, 2011. UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, Journal
of Chemical Information and Modeling.
Wells, B.., Schwinghammer, T.., DiPiro, J.., DiPiro, C.., 2015. Pharmacotherapy
handbook, in: Pharmacotherapy Handbook. pp. 11–13.
WHO, 2011. the Global Prevalence of Anaemia in 2011. document World Heal,
1–43.
Wikaningtyas, P., Sigit, J.I., Sukandar, E.Y., Gunawan, I., 2015. Profile of
antibiotic resistance and usage pattern in ICU of private hospital in
Bandung, Indonesia. Int. J. Pharm. Pharm. Sci. 7, 160–162.

53
L
A
M
P
I
R
A
54
N

55
Lampiran 1.Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan ke Kesbangpol

56
Lampiran 2. Surat Balasan Pemberian Izin Penelitian dari Kesbangpol

57
Lampiran 3. Surat izin Studi Pendahuluan dari RST Dr Asmi Salatiga

58
Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Mencari Data

59
Lampiran 5. Surat Balasan Izin Mencari Data

60
Lampiran 6. Surat Tanda Selesai Melakukan Penelitian

61
62
Lampiran 7. Sertifikat Tanda Telah Selesai Melakukan Penelitian

63
Lampiran 8. Lembar konsultasi skripsi

64
Lampiran 9.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


Menggunakan Terapi Seftriakson Di Ruang Kelas I RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakoson Inj,
Parasetamol inf,
1 tn. KS L 63 7 Novalgin inj,
Cepraz inj,
RL 20 tpm inf
Seftriakson inj,
Paracetamol
Ondansetron inj,
2 tn. YM L 70 6
RL 20 tpm inf,
As. Traneksamat inj,
Ketorolax, ranitidin
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inj,
Paracetamol
3 ny.LN S P 62 7 Ketorolax ,
ODS 15B,
Ranitidin inj,
Aqua P.I

65
Lampiran 10.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


Menggunakan Terapi Seftriakson Di Ruang Kelas II RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
1 Ny. DW A P 63 3 Paracetamol
ogitoxin,
metergen,
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
2 Ny.MN P P 80 4 Paracetamol
Ketorolax inj,
Ranitidin inj,
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole inj
Ketorolax inj
3 Ny. YN R P 78 4
Paracetamol
Candesartan tab, amlodipine tab,
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm:D5 inf Paracetamol
Omeprazole inj,
4 tn. SW D L 81 6
Lasix inj,
ketorolax inj
Aqua P.I
Seftriakson inj
NaCL 20 tpm inf,
5 tn. YY A L 60 3 Ketorolax inj
Omeprazole inj
Aqua P.I
Seftriakson inj
Paracetamol
RL 20 tpm inf
6 Ny. TW P 74 2 Ketorolac inj,
Omeprazole inj
Ranitidine inj,
Aqua P.I
7 Ny. DW S P 60 2 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
Ranitidine inj

66
Cepraz, novorage
Aqua P.I
Ondansetron
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf,
8 Ny. YH M P 71 3 Paracetamol inf,
Ketorolac inj,
Amlodipine tab

Lampiran 11.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih Menggunakan


Terapi Seftriakson Di Ruang Kelas III RST Dr Asmir Salatiga Pada
Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac Inj,
1 tn. SN L 60 3
Paracetamol
Ranitidin inj,
Amlodipin tab,
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Antalgin tab
2 Ny. SM P 68 5
Ranitidine inj
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
3
tn. YF L 71 3 Lasix inj,
Ketoprofen supp
Ondansetron inj.
Seftriakson inj
Asering 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
4 tn. SM L 67 9 Ketorolax inj,
Paracetamol
Urinter tab
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf,
5 tn. LT N L 68 3 Ketorolac inj
Ranitidine inj,
Paracetamol
Seftriakson inj
6 tn. MH S L 73 5 RL 20 tpm inf Ranitidine inj
Paracetamol inf,
7 tn. SR N L 60 8 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Ketorolac inj
Omeprazole inj
Paracetamol
Aqua P.I

67
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazol
inj
8 tn. S L 69 4 Ketokonazole tab
Ranitidine inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Seftriakson inj
RL 20 tpm:D5 inf
9 Ny. RT A P 68 3 Ranitidine inj
Ketorolac inj
Paracetamol tab
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Ketorolac
inj,
Furosemide Inj,
10 Ny. HM U P 72 4
Omeprazole inj,
Paracetamol,
Aqua P.I
Amlodipin, ibesartan
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
11 tn. TG M L 65 4
Ranitidine inj Noralges inj
Paracetamol
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
inj,
12 Ny. SR A P 70 7
Omeprazole inj
Aqua P.I
Urispas tab
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
Omeprazole inj
13 tn.HD U L 69 7 Aqua P.I
Paracetamol tab
Amlodipin tab
Ibesartan tab
Seftriakson inj
14 tn. YT M L 65 2 RL 20 tpm inf
Paracetamol
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
15 Ny. MT P 64 5 Ketoprofen Supp
Paracetamol
Neoralgin
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole
inj
16 Ny. LW P 73 3 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Urinter tab
17 Ny. LS T P 63 5 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole

68
inj
Ondansetron inj
Aqua PI
Urispa tab
Amlodipin tab
Seftriakson inj,
Ketorolac inj,
18 tn. JM J L 83 4
Ranitidine inj,
Paracetamol

Lampiran 12.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


Menggunakan Terapi Sefotaksim Di Ruang Kelas I RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj,
Paracetamol
Ketorolax inj,
1 Ny.TR U P 61 4
RL 20 tpm inf,
Ranitidin inj,
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
Kaen 3B inf,
Ranitidine inj,
2 Ny.DN C P 66 3
Paracetamol
Sukralfat syr
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
3 Ny. MI Y P 75 4
Scopamin inj
Paracetamol
Aqua P.I

69
Lampiran 13.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


Menggunakan Terapi Sefotaksim Di Ruang Kelas II RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Ketorolac Inj
1 Ny. DW S P 66 3 Omeprazole inj,
Aqua P.I
Broxidin,ulsafat,
gitas,urinter
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Omeprazole inj
2 Ny. HD S P 63 4
Sanmol tab
Aqua P.I
Sukralfat syr
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf Ketorolac
inj
3 Ny. ND P P 64 4 Ranitidine inj
Paracetamol
Cepraz inj
Aqua P.I
4 Ny. ER N P 61 3 Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Ondansetron inj
Ketorolac inj
Ranitidine inj

70
Paracetamol
Aqua PI
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf
Ranitidine inj
5 Ny. SL P P 82 4
Ketorolac inj,
Paracetamol
Aqua PI

Lampiran 14.

Tabel Data Pasien Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih


Menggunakan Terapi Sefotaksim Di Ruang Kelas III RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
1 tn. JL M L 66 4
Ketorolac inj,
Ketoprofen sup
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
Omeprazole inj,
RL 20 tpm inf,
2 Ny. LW P 63 3 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sukralfat syr
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
3 Ny. TK N P 68 3
Paracetamol
Aqua P.I
Neorodex
4 Ny. NR K P 63 7 Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketoprofen inj,
Pantoprazole inj,
Sukralfat syr

71
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
5 Ny. NR S P 62 5 Ondansetron inj,
Ketorolac inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Furosemide inj,
Candesartan tab
6 Ny. SM R P 75 8
Paracetamol
Aqua P.I
Clonidine
Laxadine
Sefotaksim inj,
Omeprazole inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
7 Ny. WN H P 84 4
Ondansetron inj,
Sukralfat syr
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketoprofen inj,
8 tn. YS N L 75 4 Ranitidine inj,
Aqua P.I
Cepraz inj
Pct
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
9 Ny. NT H P 73 4 Marcibion inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
10 tn. MR L 61 5 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Ranitidine Inj
11 tn. SY L 65 8 Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,

72
Ketorolac inj,
Scopamin inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Omz tab
Urinter tab
Batugin tab

Lampiran 15.

Tabel Data Biaya Medik Langsung Pasien Geriatri Penderita Infeksi


Saluran Kemih Menggunakan Terapi Seftriakson Di RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Komponen Biaya Medik Langsung


Jasa Visit
NO Ruang Pasien Pengoba Ruangan Total
LAB (Rp) perawat Dokter
tan (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp) (Rp)
1.855.72
1 tn. KS 226.000 2.520.000 1.323.000 1.160.000 7.084.722
2
Kelas I
2 tn. YM 592.740 360.000 1.890.000 767.000 1.120.000 4.729.740
3 Ny.LN S 973.164 150.000 2.520.000 1.094.000 580.000 5.317.164
4 Ny.DW A 148.176 150.000 534.000 298.000 120.000 1.250.176
5 Ny.MN P 162.510 150.000 712.000 333.000 360.000 1.717.510
6 Ny.YN R 166.852 150.000 712.000 203.000 280.000 1.511.852
7 Tn. SWD 355.247 296.000 1.068.000 633.000 580.000 2.932.247
Kelas II
8 Tn. YY A 139.899 150.000 534.000 266.000 120.000 1.209.899
9 Ny. TW 129.493 150.000 356.000 199.000 120.000 954.493
10 Ny. DWS 83.850 150.000 356.000 199.000 200.000 988.850
11 Ny. YHM 948.871 150.000 609.000 373.000 195.000 2.275.871
12 Kelas Tn. SN T 144.104 226.000 399.000 293.000 160.000 1.222.104
13 III Ny. SM 227.906 226.000 665.000 350.000 340.000 1.808.906
14 Tn. YF 128.890 226.000 534.000 226.000 200.000 1.314.890
15 Tn. SM 898.410 226.000 1.602.000 636.000 800.000 4.162.410
16 Tn. LTN 174.850 226.000 399.000 293.000 140.000 1.232.850
17 Tn. MHS 261.067 226.000 665.000 380.000 230.000 1.762.067
18 Tn. SRN 741.861 296.000 1.064.000 692.000 470.000 3.263.861
29 Tn. S 178.244 226.000 532.000 293.000 130.000 1.359.244
20 Ny. RTA 118.945 150.000 399.000 236.000 100.000 1.003.945
21 Ny. HMU 69.130 226.000 532.000 293.000 230.000 1.350.130

73
22 Tn. TGM 114.079 226.000 532.000 236.000 210.000 1.318.079
23 Ny. SRA 278.708 150.000 931.000 350.000 310.000 2.019.708
24 Tn. HDU 579.303 296.000 931.000 407.000 490.000 2.703.303
25 Tn. YTM 123.125 150.000 266.000 122.000 100.000 761.125
26 Ny. MT 240.845 226.000 665.000 350.000 220.000 1.701.845
27 Ny. LW 137.863 150.000 399.000 296.000 130.000 1.112.863
28 Ny. LST 378.159 226.000 1.015.000 413.000 505.000 2.537.159
29 TN. JMJ 625.404 226.000 532.000 293.000 280.000 1.956.404
62.563.41
  Total direct medical cost
7
  Direct medical cost per pasien 2.157.359

Lampiran 16.

Tabel Data Biaya Medik Langsung Pasien Geriatri Penderita Infeksi


Saluran Kemih Menggunakan Terapi Sefotaksim Di RST Dr Asmir
Salatiga Pada Tahun 2018.

Komponen Biaya Medik Langsung


Jasa Visit
No Ruang Pasien pengobatan LAB Ruanga
Perawat Dokter Total (Rp)
(Rp (Rp) n (Rp)
(Rp (Rp)
Ny. 15000
1 128171 1260000 533000 280000 2351171
TRU 0
15000
2 Kelas I Ny.MIY 167784 945000 550000 300000 2112784
0
15000
3 Ny.DNC 151982 1800000 685000 240000 3026982
0
4 Ny. DW 138330 80000 534000 266000 60000 1078330
Ny. 29600
5 303612 890000 400000 260000 2149612
HDS 0
Ny. 22000
6 Kelas 290611 712000 333000 380000 1935611
NDP 0
II
Ny. 22000
7 317301 534000 266000 180000 1517301
ERN 0
15000
8 Ny. SLP 131036 890000 400000 648000 2219036
0
kelas 43600
9 Tn. JLM 1030888 532000 266000 210000 2474888
III 0
43000
10 Ny.LLW 141612 399000 236000 180000 1386612
0
11 Ny.TKN 294687 22600 399000 209000 150000 1278687
0

74
Ny. 29600
12 493935 931000 464000 200000 2384935
NRK 0
22600
13 Ny.NRS 137117 665000 293000 240000 1561117
0
Ny. 22000
14 648962 1197000 578000 660000 3303962
SMR 0
Ny. 15000
15 246778 532000 293000 130000 1351778
WNH 0
29600
16 Tn. YSN 187938 532000 236000 150000 1401938
0
Ny. 71000
17 259972 532000 350000 230000 2081972
NTH 0
22600
18 Tn. MR 124463 665000 350000 230000 1595463
0
22600
19 Tn. SYS 403110 1197000 551000 400000 2777110
0
Total direct medical cost 37.989.289
  Direct medical cost per pasien 1.999.436

75
76

Anda mungkin juga menyukai