SKRIPSI
Oleh
EFSON SUSTERA IRAWAN
NIM. 050217A036
ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah salah satu infeksi dengan
keterlibatan bakteri terbanyak hampir 10 % orang pernah terkena ISK selama
hidupnya. Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang melibatkan struktur
tempat mulai dibentuknya urin (glomerulus) sampai muara saluran urin di meatus
uretra eksterna dan didapatkannya mikroorganisme pada urin yang disertai gejala
sebagai tanda adanya infeksi. Sasaran terapi pada ISK adalah mikroorganisme
penyebab infeksi yaitu dengan menggunakan antibiotik yang menjadi salah satu
biaya yang signifikan dalam anggaran farmasi di rumah sakit.
Tujuan : Untuk menentukan terapi yang lebih cost-effective antara penggunaan
seftriakson dan sefotaksim pada pasien infeksi saluran kemih (ISK) rawat inap di
rumah sakit RST Dr Asmir Salatiga.
Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pengambilan data
secara retrosfektif. Dianalisis dengan metode CEA dengan parameter Average
Cost Effectiviness Ratio (ACER) dilihat dari outcome lama rawat inap (hari).
Hasil : Sampel dalam penelitian ini sebanyak 48 pasien diantaranya 29 pasien
menggunakan seftriakson dan 19 pasien menggunakan sefotaksim. Pemberian
antibiotik sefotaksim lebih cost-effective dibandingkan seftriakson pada kelas I,
Sedangkan pemberian seftriakson lebih cost-effective dibanding sefotaksim pada
kelas II dan III.
Kesimpulan : Biaya antibiotik yang paling cost-effective pada kelas I adalah
Sefotaksim, sedangkan pada kelas II dan III adalah Seftriakson.
ii
Universitas Ngudi Waluyo
Pharmacy Study Program
Faculty of Health Science
Efson Sustera Irawan*
Sikni Retno Karminingtyas** Galih Adi Pramana**
Final Project, Juli 2019
ABSTRACT
Background: Urinary Tract Infection (UTI) is one of the infections with the
highest bacterial involvement of almost 10% of people who have had UTI during
their lifetime. UTI is an infection that involves the structure of the starting of
urine (glomerulus) to the mouth of the urinary tract in the external urethral meatus
and the acquisition of microorganisms in the urine accompanied by symptoms as a
sign of infection. The therapeutic goal of UTI is the microorganism that causes
infection by using antibiotics which is one of the significant costs in the
pharmaceutical budget at the hospital.
Objective: To determine a more cost-effective therapy between the use of
ceftriaxone and cefotaxime in patients with Urinary Tract Infection (UTI) at
Impatient Installation of RST Dr Asmir Salatiga Year 2018.
Method: This study used a descriptive method with retrospective data collection.
The data were analyzed by the Cost Effectiveness Ratio (CEA) method with the
parameter Average Cost Effectiveness Ratio (ACER) seen from the outcome of the
length of stay (days).
Results: The sample in this study were 48 patients including 29 patients using
ceftriaxone and 19 patients using cefotaxime. The administration of cefotaxime
antibiotics is more cost-effective than ceftriaxone in class I, whereas ceftriaxone
administration is more cost-effective than cefotaxime in class II and III.
Conclusion: The most cost-effective cost of antibiotics in class I is cefotaxime,
whereas in class II and III are ceftriaxone.
iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
v
PERYATAAN ORISINALITAS
vi
HALAMAN KESEDIAAN PUBLIKASI
Nim : 050217A036
Saluran Kemih Di Instalasi Rawat Inap Rst Dr. Asmir Salatiga Tahun
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
viii
wahai ayah dan ibu dan selalu doakan anakmu dalam mencapai cita-citanya,
Terimakasih atas kebahagiaan dan ridho yang telah kalian berikan. Semoga suatu
hari nanti Allah berikan kemampuan bagiku untuk bisa membalas jasa kalian
dengan kebahagiaan dan rasa bangga untuk kalian, Meski sebenarnya jasa kalian
tak kan mungkin bisa terbalaskan dengan apapun juga. Dan tidak lupa juga
adikkku BECSY SYAHARANI yang selalu memberikan dukungan dan doa
bagiku, semoga kedepan bisa succes jauh melebihi apa yang telah kakakmu ini
capai. Tetap semangat berjuang adikku mari kita tunjukkan pada dunia bahwa
kita akan mampu merubah nasib dikeluarga kita menjadi lebih baik lagi. Semoga
Allah memberikan ridhonya untuk kita...amiiinn
Untuk someone yang selalu menemani dan membantu dalam perjuangan
skripsi ini, Trimakasih sudah mau direpotkan, menjadi penyemangat dalam duka,
tempat berbagi dalam suka, dan tak lupa sahabat-sahabat yang menemani disaat
sedih dan bahagia Andy, Agung, serta teman” seangkatan S1 Farmasi transfer.
ix
KATA PENGANTAR
Antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim pada Pasien Geriatri Infeksi Saluran Kemih
3. Richa Yuswantina, S. Farm., Apt., M. Si, selaku ketua program Studi Farmasi
utama yang dengan sabar, dan telah meluangkan waktunya untuk memberikan
ini.
x
5. Galih Adi Pramana, S.Farm., M.Farm., Apt, selaku dosen pembimbing kedua
6. Bapak, Ibu Dosen, dan seluruh staf pengajar Universitas Ngudi Waluyo yang
7. Ayah dan Ibu Tercinta yang telah memberikan do’a, dukungan moril dan
proposal ini.
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
ABSTRAK .......................................................................................................
ii
ABSTRACT ....................................................................................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
vi
PERNYATAAN ORISINILITAS....................................................................
vii
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................
ix
KATA PENGANTAR......................................................................................
xi
xii
DAFTAR ISI....................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
xvi
xvii
DAFTAR BAGAN...........................................................................................
xviii
A. Tinjauan Teori................................................................................
xiii
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) ...................................................
a. Definisi...............................................................................
b. Epidemiologi......................................................................
c. Pathogenesis ......................................................................
e. Etiologi...............................................................................
10
f. Manifestasi Klinik..............................................................
11
g. Diagnosis............................................................................
12
15
a. Seftriakson..........................................................................
15
b. sefotaksim...........................................................................
16
xiv
3. Metode Farmakoekonomi ........................................................
17
a. Definisi ..............................................................................
17
17
20
28
29
29
30......................................................................................................................
30
30
30
xv
D. Definisi Operasional ......................................................................
32
E. Prosedur Penelitian.........................................................................
34
35
35
H. Analisis Data...................................................................................
36
38
38
39
40
41
42
xvi
A. Karakteristik Pasien Infeksi Saluran Kemih ..................................
42
44
48
49
53
A. Kesimpulan ....................................................................................
53
B. Saran ..............................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 54
LAMPIRAN…………………………………………………………………. 58
xvii
DAFTAR GAMBAR
25
xviii
DAFTAR TABEL
22
38
40
40
Salatiga .....................................................................................
40
xix
DAFTAR BAGAN
28
29
34
xx
xxi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Kemih (ISK) merupakan salah satu infeksi dengan keterlibatan
Infeksi Saluran Kemih merupakan infeksi yang melibatkan struktur tempat mulai
Menurut penelitian yang dilakukan (Rowe et al., 2014) ISK adalah salah satu
infeksi yang paling sering didiagnosis pada usia dewasa hingga lansia. Angka
kejadian ISK adalah 1:100 pertahun. Insiden ISK meningkat di angka kejadian
yang cukup tinggi pada lansia. Lebih dari 10% wanita yang berusia diatas 65
tahun melaporkan mengalami ISK dalam 12 tahun terakhir. Jumlah ini meningkat
hampir 30% pada wanita berusia diatas 80 tahun. ISK menempati urutan kedua
infeksi yang sering menyerang setelah infeksi saluran pernafasan dengan jumlah
8,3 juta pertahun. Infeksi saluran kemih di Indonesia dan prevalensinya tinggi.
banyaknya kejadian infeksi bakteri. Dari hasil survei penelitian pada periode
1
tahun 2018, golongan obat Sefalosporin yaitu Seftriakson dan Sefotaksim
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan oleh pasien infeksi saluran
sefalosporin generasi ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai
seftriakson dalam serum. Obat golongan ini dapat melakukan penetrasi ke dalam
Antibiotik harus bersifat selektif dan dapat menembus membran agar dapat
mencapai tempat bakteri berada. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
Israr, 2009).
Cost Effetiveness Analysis (CEA) merupakan cara memilih untuk menilai program
yang paling efektif dengan hasil yang maksimal terhadap beberapa program yang
berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Penilaian analisis
memilih hasil yang dilakukan dengan melihat CER yaitu ratio antara total biaya
yang diperlukan dengan jumlah output/efek dari beberapa alternatif dimana ratio
terendah merupakan pilihan yang terbaik. Cara tersebut dibutuhkan sebagai acuan
untuk mengetahui pengobatan mana yang lebih efektif dari kedua alternatif
2
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh (Siti Atika and Ihwan, 2018)
Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Rawat Inap Di RSU Anutapura Palu Tahun
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang” Analisis
dengan Infeksi Saluran Kemih di RST Dr. Asmir Salatiga Tahun 2018.
B. Rumusan Masalah
pasien geriatri Infeksi Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr. Asmir
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
sefotaksim pada pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih (ISK) di RST Dr.
2. Tujuan Khusus
3
Membandingkan efektivitas biaya antibiotik seftriakson dan sefotaksim pada
pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih (ISK) di RST Dr. Asmir Salatiga
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan manfaat terkait dengan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi rumah sakit dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
a. Definisi
4
Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme
pada saluran kemih. ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat
b. Epidemiologi
Menurut WHO sebanyak 25 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2011,
10% orang pernah terkena ISK selama hidupnya. Sekitar 150 juta penduduk di
Prevalensinya sangat bervariasi berdasar pada umur dan jenis kelamin, dimana
infeksi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria yang oleh
posisi kedua tersering (23,9%) di negara berkembang setelah infeksi luka operasi
(29,1%) sebagai infeksi yang paling sering didapatkan oleh pasien di fasilitas
Indonesia berjumlah 90 – 100 kasus per 100.000 penduduk pertahun atau sekitar
180.000 kasus baru pertahun. ISK menempati urutan kedua infeksi yang sering
menyerang setelah infeksi saluran pernafasan dengan jumlah 8,3 juta pertahun
5
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor seperti usia, gender,
struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan
lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita infeksi saluran kemih (ISK)
dibandingkan laki-laki. Infeksi saluran kemih (ISK) berulang pada laki-laki jarang
2010).
c. Patogenesis
Escheria coli merupakan penyebab utama infeksi saluran kemih dan memiliki
lipopolisakarida (LPS). Infeksi saluran kemih dapat ditimbulkan melalui dua jalur
infeksi yaitu jalur hematogen dan asending. Infeksi hematogen biasanya terjadi
pada pasien dengan daya tubuh yang rendah, karena menderita penyakit kronik
biasa timbul akibat adanya fokus infeksi disalah satu tempat. Misalnya infeksi
staphilococus aureus pada ginjal bias terjadi akibat penyebaran hematogen dari
infeksi tulang, kulit, endotel, atau ditempat lain. Salmonella, Pseudomonas, dan
6
Proteus merupakan bakteri yang menginfeksi secara hematogen. Infeksi saluran
kemih sebagian besar disebabkan oleh infeksi asending berupa kolonisasi uretra
dan daerah introitus vagina yang disebabkan oleh Escheria coli (Adib, 2011).
Bakteri yang menginvasi kandung kemih dapat naik ke ginjal karena adanya
refluks vesikouriter dan menyebarkan inveksi dari pelvis ke korteks karena refluks
secara mekanik melalui pembersihan organisme serta adanya tekanan urin saat
(Semaradana, 2014).
Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan lokasi
anatomi, yaitu :
Infeksi saluran kemih atas meliputi pielonefritis, abses intrarenal dan perinefrik
7
a) Pielonefritis akut, yaitu proses inflamasi parenkim ginjal yang
Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari uretritis (infeksi uretra) dan sistitis
e. Etiologi
namun virus dan jamur juga dapat menjadi penyebabnya. Bakteri yang menjadi
penyebabnya merupakan bakteri gram negatif aerob yang biasa ditemukan pada
8
Infeksi saluran kemih sebagian besar bisa disebabkan oleh bakteri, virus dan
jamur tetapi bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak
adalah bakteri gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan
akan naik ke sistem saluran kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp,
tetapi jarang dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada faktor lain
yang dapat memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci et al., 2008).
f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi dari tanpa gejala
diketahui dengan beberapa gejala seperti demam, susah buang air kecil, nyeri
setelah buang air besar (disuria terminal), sering buang air kecil, kadang-kadang
merasa panas ketika berkemih, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik (Permenkes,
2011).
Dikatakan ISK jika terdapat kultur urin positif lebih dari 100.000 CFU/mL.
Ditemukan positif (dipstick) leukosit esterase adalah 64-90 %. Positif nitrit pada
distick urin, menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri gram negatif
tertentu (tidak gram positif), sangat spesifik skitar 50 % untuk infeksi saluran
kemih. Temuan sel darah putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah indikator
yang paling tepat dapat diandalkan infeksi (lebih dari 10 WBC/hpf pada spesimen
berputar) adalah 95 % sensitif tapi jauh kurang spesifik untuk ISK secara umum,
9
lebih dari 100.000 koloni/mL pada kultur urin dianggap diagostik untuk ISK
Manifestasi klinis infeksi saluran kemih juga bergantung pada lokalisasi infeksi
dan umur penderita. Infeksi saluran kemih atas pielonefritis yang paling sering
dijumpai, ditandai dengan adanya demam, nyeri perut atau pinggang, mual,
spesifik berupa mudah terangsang, tidak nafsu makan dan berat badan yang
menurun pada anak usia < 2 tahun dapat disertai demam (Grabe et al., 2015).
g. Diagnosis
1) Urinalisis
saluran kemih karena pemeriksaan urinalisis cepat dan tersedia secara luas
(Khairina, 2013).
Cara pengambilan sampel urin juga perlu diperhatikan agar terhindar dari
a) Urin sewaktu
10
Dapat diambil kapan saja dan digunakan untuk pemeriksaan rutin digunakan
b) Urin 24 jam
Merupakan urin tampung selama 24 jam pada wadah yang biasanya ditambahkan
pengawet urin. Urin 24 jam digunakan untuk mengetahui volume urin secara
c) Urin pagi
Urin pagi merupakan urin yang dikeluarkan pada pagi hari setelah bangun tidur.
Urin pagi lebih pekat, baik digunakan untuk pemeriksaan sidemen urin, protein,
d) Urin kateter
Jenis sampel tergantung dari jenis kateter yang digunakan. Merupakan urin yang
Spesimen tidak boleh diambil dari tampungan bag urine pada cateter inderwelling
2) Leukosit esterase
indoksil yang dihasilkan oleh granulosit (neutrofil, eusinofil, basofil dan monosit).
Menurut (Alwi, 2014) leukosit esterase dalam keadaan normal menunjukkan hasil
11
jika 125 leukosit/uL, dan 3 jika 500 leukosit/uL. Positif dan palsunya dapat
disebabkan beberapa faktor seperti, adanya kontaminasi berupa sisa ditergen pada
3) Nitrit
pemeriksaan scrining secara cepat. Bakteri gram Positif penyebab infeksi saluran
kemih yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit diantaranya Eschericia coli,
Enterobacter, Citrobacter, Klebsiella dan Proteus Sp. Urin harus terpapar bakteri
tersebut selama minimal 4 jam untuk dapat membentuk nitrit (Aulia dan Lydia,
2014). Pemeriksaan nitrit juga digunakan sebagai penanda adanya hasil produk
adalah zat yang diperoleh dari suatu sintesis atau yang berasal dari senyawa
(inangnya). Antibiotik harus bersifat selektif dan dapat menembus membran agar
a. Seftriakson
dan ireversibel, menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengikatkan
12
kemudian membentuk dinding sel bakteri. Penghambatan PBP akan menyebabkan
kerusakan dan kehancuran dinding sel dan akhirnya terjadi lisis sel (Whardhana et
al., 2018).
Seftriakson memiliki waktu paruh selama 7-8 jam dan dapat disuntikkan 1-2 x
sehari setiap 12-24 jam dalam dosis 15-50 mg/kg/hari, dewasa dan anak lebih dari
sampai 4 g dengan interval 12 jam dan harus diberikan melalui infus paling cepat
30 menit selama 3-5 hari, dosis tunggal selama 5 hari. Waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai kadar puncak dalam serum darah 1-2 jam setelah dilakukan
injeksi intra muscular. Cara kerja seftriakson yakni menghambat sintesis dinding
sehingga bakteri mati (Triono and Purwoko, 2012). Harga obat antibiotik
b. Sefotaksim
ketiga berspektrum luas yang efek kerjanya dapat mencapai sistem saraf pusat,
serum. Obat golongan ini dapat melakuan penetrasi ke dalam jaringan, cairan
tubuh, cairan serebrosinal serta dapat menghambat bakteri pathogen gram negatif
dan positif. Dosis dewasa dan anak lebih dari 12 tahun 1 g tiap 12 jam (2x 1
13
g/hari) IM atau IV, infeksi tidak komplikasi 1 g tiap 12 jam IM atau IV, sedang
sampai berat 1-2 g tiap 8 jam IM atau IV selama 10-14 hari (Kemenkes RI, 2013)
Sefotaksim mempunyai berat molekul 400-450, dapat larut dalam air serta relatif
8.750/ 2x10 ml vial 500 mg. 1 gr Rp 17.500 (Ikatan Apoteker Indonesia, 2012).
3. Metode Farmakoekonomi
a. Definisi
membandingkan biaya dan konsekuensi akibat terapi obat dalam sistem pelayanan
dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan
memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih
dari setiap unit nominal mata uang yang dikeluarkan, menurunkan frekuensi
presepan yang tidak rasional serta mengurangi beban ekonomi pasien dengan
14
b. Biaya dan Outcame Terapi
program atau terapi obat. Konsekuensi didefinisikan sebagai efek atau outcame
dari program yang dilakukan. Biaya diklasifikasi menjadi biaya langsung medis,
biaya langsung non medis, biaya tidak langsung non medis, dan biaya tak teraba
(intangible). Biaya langung medis merupakan biaya produk dan pelayanan medis
untuk mencegah, mendeteksi dan atau mengobati penyakit seperti biaya obat, alat
medis tes laboratorium, dan kunjungan doker. Biaya langsung non medis
makanan khusus yang harus dikonsumsi selama pengobatan dan biaya transportasi
Outcame yang dihasilkan bisa ditinjau dari aspek klinis, ekonomis dan humanistik
Secara umum biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan dibedakan sebagai
berikut:
1) Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan,
termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya
jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit (kamar rawat inap, peralatan), uji
laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya
15
langsung, selain biaya medis, seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis
seperti biaya ambulan dan biaya transportasi pasien lainnya (Kemenkes RI, 2013).
Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun
sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa
Biaya tak terduga merupakan biaya yang dikeluarkan bukan hasil tindakan medis,
tidak dapat diukur dalam mata uang. Biaya yang sulit diukur seperti rasa
16
Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis terkait
Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau
Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau teknologi
Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh individu
Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan yang
obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat menggunakan uangnya
menguji rasio perbedaan biaya dan perbedaan efektivitas kesehatan dari pilihan
dengan menguji rasio perbedaan biaya dan perbedaan efektivitas kesehatan dari
17
pilihan alternatif tersebut (Arnold, 2010). Beberapa unsur dalam CEA yang perlu
dipahami antara lain intervensi kesehatan, pilihan alternative, status kesehatan dan
QALY (Quality Adjusted Life Years). Intervensi kesehatan dapat berupa terapi, tes
intervensi. Dalam hal ini, CEA digunakan untuk memperkirakan status kesehatan
baik secara kualitas maupun kuantitas hidup dan seberapa banyak biaya yang
Hasil yang didapatkan dari CEA dinyatakan sebagai rasio berupa Average Cost
effectiveness Ratio (ACER) adalah rasio rata-rata efisiensi biaya per –outcame
(biaya langsung per hari) paling rendah per outcame yang didapat. Suatu terapi
bisa dikatakan cost effective bila memiliki biaya yang sama namun efektivitas
lebih tinggi atau efektivitas yang setara namun dengan dengan biaya lebih rendah.
Dan yang paling utama adalah biaya paling rendah namun efektivitas tinggi. atau
ditambah untuk meperoleh terapi yang lebih cost effective. Nilai ICER diperoleh
18
biaya A−biaya B
ICER=
efektivitas A−efektivitas B(%)
Dalam upaya pemilihan alternatif terapi berdasarkan biaya yang dikeluarkan dan
efektifitas hasil terapi yang dihasilkan, maka dapat digunakan tabel perbandingan
Efektivitas - Biaya Biaya lebih rendah Biaya Sama Biaya lebih tinggi
Efektivitas lebih A B C
rendah (perlu perhitungan (didominasi)
ICER )
Efektifitas sama D E F
Efektivitas lebih G H I
tinggi (Dominan) (perlu perhitungan
ICER)
Sumber : (Kemenkes RI, 2013)
Tiga kolom tersebut disebut kolom dominan. Jika suatu intervensi kesehatan
efektivitas yang sama dengan biaya lebih rendah (kolom D) dan efektivitas lebih
tinggi dengan biaya lebih rendah (kolom G) pasti terpilih sehingga tak perlu
Tiga kolom ini disebut kolom Didominasi sebaliknya, jika sebuah intervensi
atau efektivitas sama dengan biaya lebih tinggi (kolom F) apabila efektivitas lebih
rendah dengan biaya lebih tinggi (Kolom C) tidak perlu dipertimbangkan sebagai
19
alternative, sehingga tak perlu pula di ikutsertakan dalam perhitungan CEA atau
menawarkan efektivitas dan biaya sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih
jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaian lebih memungkinkan untuk
kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih rendah dengan biaya yang
lebih rendah pula (Kolom A) atau sebaliknya menawarkan efektivitas yang lebih
tinggi dengan biaya yang lebih tinggi, untuk melakukan pemilihan perlu
dari suatu alternative terapi dibandingkan dengan terapi yang paling baik. Rasio
nilai ICER diperoleh dari hasil membagi selisih biaya antar intervensi dengan
Alat bantu lain yang dapat digunakan pada CEA adalah diagram efektivitas. Suatu
intervensi (obat) standar. Menurut diagram ini jika suatu intervensi kesehatan
memiliki efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi
20
dibanding intervensi standar, intervensi alternative ini masuk ke kuadaran 1
sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan semestinya dipilih jika sumber
biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar juga masuk kategori tukaran.
Tetapi dikuadran III. Pemilihan intervensi alternatif yang berada dikuadran III
Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektifitas lebih tinggi dengan biaya yang
kesehatan yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih tinggi
21
Kuadaran II Dominan (lebih murah
Kuadaran III Trade Off (lebih murah,
lebih efektif)
kurang efektif
Biaya terapi baru < biaya pembanding
Biaya terapi baru < biaya pembanding
Efek terapi baru lebih dari efek
Efek terapi baru < efek pembanding
pembanding
Istilah geriatri pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher pada tahun 1909.
Namun ilmu geriatri sendiri, baru berkembang pada tahun 1935. Pada saat itulah
(lansia) dilengkapi dengan latihan jasmani dan rohani (Setyo martono, Retty
ratnawati, 2014).
Geriatri (usia lanjut) dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13
seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (Peraturan
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang berusia lebih dari 60 tahun serta
mempunyai ciri khas multipatologi, tampilan gejalanya tidak khas, daya cadangan
berbeda dengan penderita dewasa muda lainnya, baik dari segi konsep kesehatan
22
maupun segi penyebab, perjalanan, maupun gejala dan tanda penyakitnya
sehingga, tata cara diagnosis pada penderita geriatri berbeda dengan populasi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk
untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dan badan hukum publik yang
bertanggungjawab kepada Presiden. BPJS terbagi dua yaitu BPJS kesehatan dan
rakyat.
seluruh penduduk Indonesia termasuk orang asing yang bekerja paling lambat
enam (6) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. BPJS Ketenagakerjaan
kematian, dan jaminan kecelakaan kerja bagi seluruh pekerja Indonesia termasuk
orang asing yang bekerja paling singkat enam (6) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran. Dari kedua pengertian tentang BPJS ini menunjukkan bahwa
BPJS Kesehatan dimaksudkan untuk pelayanan kesehatan bagi semua warga tanpa
23
B. Kerangka Teori
Bagian diteliti
Cost-Effectiveness Analysis
1. ACER
2. ICER
Bagan 2.1 Kerangka Teori
24
C. Kerangka Konsep
D.
Pengobatan infeksi saluran AEB : 1. ACER
E. kemih (ISK) pada geriatri 2. ICER
D. Keterangan Empiris
Saluran Kemih di instalasi rawat inap Rumah Sakit RST. Dr Asmir Salatiga tahun
2018.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini yang akan digunakan yaitu penelitian observasional yang
menggunakan data sekunder. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia
medis dan biaya pengobatan serta perawatan pasien rawat inap dengan diagnosis
Infeksi saluran kemih yang di rawat di RST. Dr. Asmir Salatiga tahun 2018.
Penelitian dilakukan di RST. Dr. Asmir Salatiga dibagian rekam medis dan bagian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah pasien geriatri penderita infeksi saluran kemih
2. Sampel
Merupakan bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian adalah bagian pasien geriatri
penderita ISK yang dirawat inap di RST Dr. Asmir Salatiga tahun 2018 yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi merupakan ktiteria yang
perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel.
26
Sedangkan kriteria eksklusi merupakan data anggota kelompok yang tidak dapat
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling,
yang telah dilakukan di RST Dr. Asmir Salatiga jumlah populasi pasien infeksi
saluran kemih pada tahun 2018 adalah sebanyak 159 pasien dikategori semua
n
menggunakan rumus slovin n = dengan tingkat kepercayaan sebesar 10
1+ N (d 2)
%, sehingga didapatkan hasil 61,39 (61 sampel). Namun, karena sampel tidak
Sampel harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria inklusi
menjalani rawat inap di RST. Dr. Asmir Salatiga pada tahun 2018.
27
5) Pasien yang memiliki rekam medik yang lengkap dan jelas.
dirawat inap terapi yang didapatkan dan biaya atau harga obat yang
harus dibayarkan.
b. Kriteria eksklusi
lain.
D. Definisi Operasional
saluran kemih pada pasien di instalasi rawat inap RST Dr. Asmir
Salatiga.
3. Biaya langsung adalah biaya yang meliputi biaya obat Seftriakson dan
5. Lama rawat inap adalah waktu (hari) yang dibutuhkan pasien terhitung
28
6. Cost-effectiveness analysis (CEA) adalah metode analisis
29
E. Prosedur Penelitian
Studi pustaka
Pembuatan proposal
Pengambilan data
Rekam medis
1. Nomor RM Instalansi keuangan (Biaya Medik
2. Umur Langsung)
3. Jenis kelamin 1. Biaya Pengobatan
4. Nama obat 2. Biaya Laboratorium
5. Lama menderita 3. Biaya Jasa Pelayanan (biaya
6. Hasil tes Laboratorium ruangan, biaya jasa perawat,
dan biaya visit dokter)
Pembahasan
30
F. Etika Penelitian
nama paa lembar pengumpulan data, hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data.
2. Confidentiality (Kerahasian)
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporan
G. Pengolahan Data
berikut:
1. Pengetikan (Editing)
Melakukan pemeriksaan ulang terhadap kebenaran data yang sudah diperoleh dari
bagian administrasi RST Dr. Asmir Salatiga. Editing dapat dilakukan pada saat
2. Tabulasi (Tabulating)
Pada tahap ini, menyusun data dalam bentuk tabel, sesuai dengan tujuan
Data yang dianalisis biaya medik langsung dan efektivitas terapi antibiotik
31
H. Analisis Data
penelitian dari instalasi rekam medik dan bagian keuangan menggunakan lembar
pengumpulan data. Data yang telah terkumpul diperiksa terlebih dahulu, dan
dilakukan proses editing atau penyuntingan data. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengetahui apakah data yang telah diperoleh sudah sesuai dengan data yang
3. Efektivitas terapi adalah hasil terapi antibiotik yang diihat dari lama rawat
inap pasien.
Biaya pada ACER merupakan rata-rata biaya medik langsung dari tiap obat yang
32
Hasil dari CEA dapat disimpulkan dengan Incremental Cost-Effectiveness Ratio
biaya A−biaya B
(ICER). Jika hasil perhitungan ICER=
efektivitas terapi A−efektivitas B
menunjukkan hasil negatif atau semakin kecil, maka suatu alternatif obat dianggap
lebih efektif dan lebih murah, sehingga dapat dijadikan rekomendasi pilihan terapi
(Andayani, 2013).
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Populasi pasien infeksi saluran kemih yang dirawat inap di RST Dr Asmir
Salatiga pada tahun 2018 adalah 159 pasien, dengan pasien geriatri sebanyak 69
orang. Sedangkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak
yaitu sampel diambil berdasarkan tehnik penentuan sampel dengan semua anggota
34
Berdasarkan penelitian terihat bahwa usia pasien geriatri yang
(62,5%)(tabel 4.1). Prevalensi pasien perempuan lebih banyak dari pada laki-
diperoleh bahwa pasien geriatri dengan infeksi saluran kemih paling banyak di
penderita infeksi saluran kemih pada geriatri yang menjalani rawat inap di
RST Dr Asmir Salatiga tahun 2018. Terdapat lima komponen biaya yaitu
menjalani rawat inap, biaya laboratorium meliputi biaya tes urin lengkap,
creatinin, urea dan darah rutin. Biaya ruangan meliputi kelas ruangan yang
(ASKEP) dan biaya tindakan perawat bangsal, biaya visit dokter meliputi
35
Tabel 4.2 Biaya Medik Langsung Antibiotik Seftriakson Pada Pasien
Geriatri Penderita Infeksi Saluran Kemih Di RST Dr Asmir
Salatiga
Rata-Rata ± SD (Rupiah)
Ruang
Jenis Biaya Seftriakson (Rp) Sefotaksim (Rp)
(Kelas) % %
(n=29) (n=19)
Pengobatan 1.140.542±647.914 19,97 149.312±19.941 5,97
Laboratorium 245.333±106.327 4,29 150.000±0 6,01
Ruangan 2.310.000±363.731 40,45 1.335.000±432.406 53,46
I
Jasa Perawat 1.061.333±279.436 18,58 589.333±83.285 23,60
Visit Dokter 953.333± 323.934 16,69 273.333± 30.551 10,94
Total 5.710.542±1.225.783 100 2.496.979± 474.220 100
Pengobatan 266.862±286.957 16,62 236.178±93.167 13,26
Laboratorium 168.250±51.619 10,48 193.200±81.677 10,85
Ruangan 610.125±230.266 38,01 712.000±178.000 40
II
Jasa Perawat 313.000±144.877 19,50 333.000±67.000 18,70
Visit Dokter 246.875±159.484 15,38 305.600±224.136 17,16
Total 1.605.112±688.455 100 1.779.978±478.260 100
Pengobatan 301.161±244.501 16,63 360.860±276.211 18,37
Laboratorium 216.889±42.984 11,97 312.909±158.902 15,93
Ruangan 670.111±328.173 37,01 689.182±290.283 35,1
III
Jasa Perawat 342.167±136.831 18,89 347.818±128.357 17,71
Visit Dokter 280.278±183.018 15,47 252.727±153.238 12,87
Total 1.810.605±870.093 100 1.963.497±685.613 100
C. Efektivitas Terapi
Efektivitas terapi berdasarkan lama rawat inap yaitu waktu (hari) yang
dibutuhkan pasien terhitung mulai dari saat masuk rumah sakit hingga pasien
Tabel 4.3 Rata-Rata Lama Rawat Inap Pasien Geriatri Penderita Infeksi
Saluran Kemih di Instalasi Rawat Inap RST Dr Asmir
Salatiga
Rata-rata lama rawat inap/los (Hari)
Ruang (Mean ± SD)
Variabel
(Kelas) Seftriakson Sefotaksim
(N=29) (N=19)
I Lama Rawat Inap 6,67 ± 0,58 3,67 ± 0,58
II Lama Rawat Inap 3,38 ± 1,30 3,60 ± 0,55
III Lama Rawat Inap 4,70 ± 1.94 5,00 ± 1,84
Rerata waktu pasien yang mengalami lama rawat inap kelas 1 adalah
dan sefotaksim 3,67 ± 0,58 (hari), lama rawat inap pada kelas II yaitu
36
antibiotik seftriakson 3,38 ± 1,30 dan sefotaksim 3,60 ± 0,55 (hari), lama
rawat inap pada kelas III yaitu antibiotik seftriakson 4,70 ± 1,94 dan
rawat inap pada kelas I didapatkan nilai ACER seftriakson Rp. 856.153 dan
sefotaksim Rp. 680.376, nilai ACER kelas II yaitu seftriakson Rp. 474.885
dan sefotaksim Rp. 494.438, nilai ACER kelas III yaitu seftriakson Rp.
37
BAB V
PEMBAHASAN
1. Usia
pada kelompok usia 56 sampai 65 tahun lebih rentan terjadi atau beresiko
mengalami Infeksi Saluran Kemih, karena pada usia tersebut terjadi lama
2007). Pada usia di atas 55 tahun wanita dengan usia postmenopause lebih
2. Jenis Kelamin
38
menyerang perempuan yaitu 41 pasien (51,90%). Hal ini disebabkan
Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih pada
3. Kelas Perawatan
Asmir Salatiga terbagi menjadi 3 kelas perawatan yaitu terdiri dari BPJS
kelas I, kelas II, dan kelas III. Berdasarkan kelas perawatan pasien ISK
menyatakan bahwa iuran peserta BPJS perorangan kelas III sebesar Rp.
25.500, kelas II Rp. 51.000 dan kelas I Rp.80.000 (Perpres Nomor 19,
2016).
langsung yang terdiri dari biaya pengobatan, biaya laboratorium, biaya jenis
39
pelayanan yang terdiri dari biaya ruangan, biaya visite dokter dan biaya jasa
perawat.
dan juga untuk obat penunjang kesembuhan lain sesuai dengan kebutuhan
generasi III) untuk memperkecil bahaya infeksi dalam hal ini disebabkan
memberikan parasetamol untuk meringankan rasa sakit saat buang air kecil
40
mengambil keputusan klinik pada proses terapi mulai dari pemilihan obat,
biaya dokter spesialis sebesar Rp. 75.000/visite dan Umum sebesar Rp.
Rp. 40.000/visite, sedangkan kelas III sebesar Rp. 50.000/visite dan umum
sebesar Rp. 32.000 dan untuk tindakan perawatan bangsal sebesar Rp.
35.000, dan kelas III biaya asuhan keperawatan (ASKEP) sebesar Rp.
41
Pada ruang kelas I penggunaan antibiotik seftriakson biaya rata-
Rp. 245.333 ± Rp. 106.327, jasa perawat Rp. 1.061.333 ± Rp. 279.436,
ruangan Rp. 2.310.000 ± Rp. 363.731, visite dokter Rp. 953.333 ± Rp.
83.285, ruangan Rp. 1.335.000 ± Rp. 432.406, visite dokter Rp. 273.333 ±
Rp. 30.551, dan rerata total penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp.
Rp. 168.250 ±51.619, jasa perawat Rp. 313.000 ± Rp. 144.877, ruangan
Rp. 610.125 ± Rp. 230.266, visite dokter Rp. 246.875 ± Rp. 159.484.
193.200 ± Rp. 81.677, jasa perawat Rp. 333.000 ± Rp. 67.000, ruangan
Rp. 712.000 ± Rp. 178.000, visite dokter Rp. 305.600 ± Rp. 224.136.
42
Pada ruang kelas III penggunaan antibiotik seftriakson biaya rata-
Rp. 216.889 ± Rp. 42.984, jasa perawat Rp. 342.167 ± Rp. 136.831,
ruangan Rp. 670.111 ± Rp. 328.173, visite dokter Rp. 280.278 ± Rp.
laboratorium Rp. 312.909 ± Rp. 158.902, jasa perawat Rp. 347.818 ± Rp.
128.357, ruangan Rp. 689.182 ± Rp. 290.283, visite dokter Rp. 252.727 ±
karena memiliki efektivitas lebih tinggi dan biaya lebih rendah. Perbedaan
ini terjadi karena lama rawat inap pasien dengan antibiotik seftriakson
visite dokter, semakin lama pasien dirawat di rumah sakit maka semakin
besar pula biaya yang harus dikeluarkan pasien. Faktor lainnya adalah hal
ini terjadi karena populasi sampel kelas I terlalu sedikit sehingga relevansi
43
Sedangkan pada kelas II dan III antibiotik seftriakson mempunyai
rata-rata biaya medik langsung lebih rendah dibanding sefotaksim. Hal ini
C. Efektivitas Terapi
yaitu waktu (hari) yang dibutuhkan pasien terhitung mulai dari saat masuk
Pada ruang kelas I outcome (lama rawat inap) untuk antibiotik seftriakson
adalah 6,67 ± 0,58 hari sedangkan antibiotik sefotaksim adalah 3,67 ± 0,58
hari. Lama rawat inap yang paling singkat adalah pengobatan antibiotik
rawat inap) untuk antibiotik seftriakson adalah 3,38 ± 1,30 hari sedangkan
antibiotik sefotaksim adalah 3,60 ± 0,55 hari. Lama rawat inap yang paling
tinggi. Sedangkan pada ruang kelas III outcome (lama rawat inap) untuk
adalah 5,00 ± 1,84 hari. Lama rawat inap yang paling singkat adalah
44
Berdasarkan tabel 4.3 rata-rata lama rawat inap pasien dengan
sefotaksim lebih singkat dibanding seftriakson hal ini disebabkan oleh faktor
jumlah pasien yang pada saat keluar dari rumah sakit setelah mengkonsumsi
cepat dibanding sefotaksim yaitu 80% dari 5 pasien yang mencapai target
lama rawat inap paling cepat terdapat 4 pasien (Sari, 2017). Dimana keduanya
1.225.783 dan rata-rata lama rawat inap 6,67 ± 0,58 (hari), sedangkan
474.220 dan rata-rata lama rawat inap 3,67 ± 0,58 (hari). Setelah dilakukan
45
perbandingan terhadap tabel efektifitas biaya (tabel 2.1) disimpulkan bahwa
obat yang paling efektif di BPJS kelas I adalah sefotaksim dimana masuk ke
efektifitas lebih tinggi. Sehingga untuk BPJS kelas I rumah sakit diharapkan
1.605.112 ± 688.455 dan rata-rata lama rawat inap 3,38 ± 1,30 (hari),
1.779.978 ± 478.260 dan rata-rata lama rawat inap 3,60 ± 0,55 (hari). Setelah
biaya lebih rendah dan efektifitas lebih tinggi sedangkan sefotaksim memiliki
sehingga tidak perlu dijadikan alternatif. Sehingga untuk BPJS kelas II rumah
cost sebesar Rp. 1.810.605 ± 870.093 dan rata-rata lama rawat inap 4,70 ± 1,94
(hari), sedangkan sefotaksim dengan rata-rata direct medical cost sebesar Rp.
1.963.497 ± 685.613 dan rata-rata lama rawat inap 5,00 ± 1,84 (hari). Setelah
46
disimpulkan bahwa obat yang paling efektif di BPJS kelas III adalah
biaya lebih rendah dan efektifitas lebih tinggi sedangkan sefotaksim memiliki
sehingga tidak perlu dijadikan alternatif. Sehingga untuk BPJS kelas III rumah
ditanggung oleh BPJS kesehatan untuk pasien rawat inap dirumah sakit
pemerintah tipe C dengan penyakit infeksi bakteri dan parasit lain-lain (berat)
tarif kelas I sebesar Rp. 4.267.200, kelas II sebesar Rp. 3.657.600, dan kelas
5.710.542 telah melebihi batas sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga pasien
47
Hasil penelitian pada kelas II dan III juga senada dengan penelitian
yakni 3,35 hari. Pasien penderita ISK dengan rata-rata frekuensi penggunaan
penggunaan seftriakson dan sefotaksim di lihat dari selisih lama rawat inap di
outcome dibutuhkan biaya sebesar ACER (Lorensia dan Doddy, 2016). Dilihat
dari nilai ACER Sefotaksim yang lebih kecil dari nilai ACER Seftriakson pada
Seftriakson, Namun hal ini berbeda dengan pada kelas II dan III dimana lebih
infeksi saluran kemih yang dirawat inap di RST Dr. Asmir Salatiga Tahun
2018. Pada penelitian ini tidak dilakukan perhitungan ICER karena tidak
memenuhi syarat untuk dilanjutkan pada perhitungan ICER, yaitu pada tabel
biaya. Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau sebaliknya
menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi
48
(kolom I), untuk melakukan pemilihan perlu mempertimbangan ICER
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
pengobatan Infeksi Saluran Kemih di RST Dr. Asmir Salatiga tahun 2018
yaitu pada kelas I terapi dengan pemberian antibiotik Sefotaksim lebih cost –
sebesar 3,67 hari, namun berbeda dengan kelas II lebih cost –effective
sebesar 3,38 hari dan kelas III lebih cost –effective seftriakson dengan nilai
B. Saran
serta dengan jumlah populasi yang lebih banyak lagi agar dapat memberikan
sebaiknya outcome tidak hanya dilihat dari hasil lama rawat inap saja tetapi
49
dapat ditentukan dengan menambahkan parameter kedua jenis terapi yaitu
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M., 2011. Infeksi Tersering Pada Penderita Infeksi Saluran Kencing Di
Laboratorium Klinika Surabaya. J. Adib Baru. Akademi Analis
Kesehatan, Malang
Alwi, I., 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi VI. 2014 / FKUI,
Jakarta Internal Publishing.
Andrian Ramadhan, 2014. Kategori Umur Menurut Depkes RI (2009). Dep.
Kesehat. RI 1.
Ansel, H. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi ke-4. UI Press. Jakarta.
Aulia,D., Lidya,A., dalam Alwi, I., Setiati, S., Simadibrata, M., Sudoyo, A.W.,
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 6, Jilid 1, Internal Publishing.
Jakarta.
Arnold R.J.G., 2010. Pharmacoeconomisc : From Theory to Practice.USA: Tailor
and Francis Group.
Brian, et al. Koda-Kimble & Young's Applied Therapeutics: The Clinical Us of
Drugs. Philadephia USA : Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
Chairlan, Lestari, E., 2011. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium
Kesehatan. Mahode, A.A. (Ed), Edisi 2. EGC, Jakarta.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro C.V.2008.
Pharmacotherapy handbook. 7th Edition, New York : The McGraw-Hill
Companies.
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro C.V. 2011.
Pharmacotherapy handbook. 8th Edition, New York : The McGraw-Hill
Companies.
Edriani, R.A., 2010. Pola Resistensi Bakteri Penyebab Infeksi Saluran Kemih
Terhadap Antibakteri di Pekanbaru. J. Nat. Indones. 12(2), 130–5.
50
Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya
Media.
Fauci, A., D, L., Braunwald E, E., 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.
Gandasoebrata, R., 2013. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta.
Grabe M, Johansen TEB, Botto H, Wult B, et all. Guideline on urological
Infections. European Association of Urology; 2015:41-2
Hasanah, N., 2014. Evaluasi Leukosituria pada Tersangka Infeksi Saluran Kemih
di RSUD Cengkareng. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehataan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Husna, Almas Mazaya. 2017. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan
Seftriakson Dan Sefotaksim Sebagai Antibiotik Empiris Pada Pasien
Rawat Inap Infeksi Saluran Kemih Di RSUD Kota Kendari. Sarjana thesis,
Universitas Brawijaya. Malang.
Husnizal, F., 2016. Gambaran Mikroskopik Urin Berdasarkan Sampel Aliran
Tengah dan Bukan Aliran Tengah (Aliran Pertama) pada Pasien Diabetes
Melitus. Karya Tulis Ilm.
Kasmed. 2007. Hubungan Antara Kualitas Perawatan Kateter dengan Kejadian
Infeksi Saluran Kemih. Universitas Diponegoro. Semarang.
Kemenkes RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta.
Khairina, A., 2013. Urinalisis Sebagai Uji Diagnostik Infeksi Saluran Kemih
Pada Anak Berusia 2 Bulan Hingga 2 Tahun Dengan Gejala Demam,
Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Kurniawan, L., Israr, Y.., 2009. Pneumonia Pada Geriatri (pp. 0-14). Pekanbaru,
Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Meuning, P., 2007. Cost- Effectiveness Analyses In Health. . A Practical
Approach. San Fransisco : Jossey-Bass.
Ningsih, Putri K., Prihwanto, B. Subagijo. 2017. Analisis Efektivitas Biaya
Penggunaan Antibiotik Terhadap Pasien Sepsis di RSUD dr. Soebandi
Tahun 2014-2015. Universitas Jember. Jember. e-jurnal Pustaka
Kesehatan.
Notoatmojo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rinekacipta. Jakarta.
Peraturan Pemerintahan RI, 2004. UU No. 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Jakarta.
Penninx PhD, Marco Pahor MD. Matteo Cesari, Anna Maria Corsi PhD, Richard
51
C. Woodman MD, Stephania Bandinelli MD, Jack M. Gurainik MD, PhD,
Luigi Ferrucci MD. 2004. Anemia Is Associated with Disability and
Decreased Physical Performance and Muscle Strength in the Elderly.
Journal of the American Geriatrics Society. Amsterdam, the
Netherlands.
52
Setyo martono, Retty ratnawati, setyoadi, 2014. Penanganan Kesehatan Pada
Tanggap Darurat Bencana Erupsi Gunung Merapi. medica Hosp. 2.
Septiani, F., 2007. Analisis Cost-Effectiveness Penggunaan Kloramfenikol dan
Sefalosporin Pada Demam Tifoid Anak di Salah Satu Rumah Sakit
Pemerintah di Yogyakarta Periode 2003-2005. Skripsi, Fakultas Farmasi,
Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Siti Atika, Ihwan, M.R.T., 2018. Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik
Siprofloksasin Dan Seftriakson Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Rawat
Inap Di Rsu Anutapura Palu Tahun 2016-2017 10, 134–140. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, Palu.
Suyono, S. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam II. Balai Pustaka. Jakarta.
Tessy, A., Suswanto, 2001. Infeksi Sluran Kemih dalam Suyono,H.S, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Mikrobiologi Kedokteran, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Triono, A.A., Purwoko, A.E., 2012. Efektifitas Antibiotik Golongan Sefalosporin
dan Kuinolon terhadap Infeksi Saluran Kemih. Mutiara Medika: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan.
Useng, A., EM. Sutrisna, dan Suharsono. 2014. Analisis Penggunaan Antibiotik
Pada Penyakit Infeksi Saluran Kemih Berdasarkan Evidence Based
Medicine (Ebm) Di Rumah Sakit “X” Periode Januari –Juni 2013.
UU RI No 24 Tahun 2011, 2011. UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, Journal
of Chemical Information and Modeling.
Wells, B.., Schwinghammer, T.., DiPiro, J.., DiPiro, C.., 2015. Pharmacotherapy
handbook, in: Pharmacotherapy Handbook. pp. 11–13.
WHO, 2011. the Global Prevalence of Anaemia in 2011. document World Heal,
1–43.
Wikaningtyas, P., Sigit, J.I., Sukandar, E.Y., Gunawan, I., 2015. Profile of
antibiotic resistance and usage pattern in ICU of private hospital in
Bandung, Indonesia. Int. J. Pharm. Pharm. Sci. 7, 160–162.
53
L
A
M
P
I
R
A
54
N
55
Lampiran 1.Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan ke Kesbangpol
56
Lampiran 2. Surat Balasan Pemberian Izin Penelitian dari Kesbangpol
57
Lampiran 3. Surat izin Studi Pendahuluan dari RST Dr Asmi Salatiga
58
Lampiran 4. Surat Permohonan Izin Mencari Data
59
Lampiran 5. Surat Balasan Izin Mencari Data
60
Lampiran 6. Surat Tanda Selesai Melakukan Penelitian
61
62
Lampiran 7. Sertifikat Tanda Telah Selesai Melakukan Penelitian
63
Lampiran 8. Lembar konsultasi skripsi
64
Lampiran 9.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakoson Inj,
Parasetamol inf,
1 tn. KS L 63 7 Novalgin inj,
Cepraz inj,
RL 20 tpm inf
Seftriakson inj,
Paracetamol
Ondansetron inj,
2 tn. YM L 70 6
RL 20 tpm inf,
As. Traneksamat inj,
Ketorolax, ranitidin
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inj,
Paracetamol
3 ny.LN S P 62 7 Ketorolax ,
ODS 15B,
Ranitidin inj,
Aqua P.I
65
Lampiran 10.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
1 Ny. DW A P 63 3 Paracetamol
ogitoxin,
metergen,
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
2 Ny.MN P P 80 4 Paracetamol
Ketorolax inj,
Ranitidin inj,
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole inj
Ketorolax inj
3 Ny. YN R P 78 4
Paracetamol
Candesartan tab, amlodipine tab,
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm:D5 inf Paracetamol
Omeprazole inj,
4 tn. SW D L 81 6
Lasix inj,
ketorolax inj
Aqua P.I
Seftriakson inj
NaCL 20 tpm inf,
5 tn. YY A L 60 3 Ketorolax inj
Omeprazole inj
Aqua P.I
Seftriakson inj
Paracetamol
RL 20 tpm inf
6 Ny. TW P 74 2 Ketorolac inj,
Omeprazole inj
Ranitidine inj,
Aqua P.I
7 Ny. DW S P 60 2 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
Ranitidine inj
66
Cepraz, novorage
Aqua P.I
Ondansetron
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf,
8 Ny. YH M P 71 3 Paracetamol inf,
Ketorolac inj,
Amlodipine tab
Lampiran 11.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Seftriakson inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac Inj,
1 tn. SN L 60 3
Paracetamol
Ranitidin inj,
Amlodipin tab,
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Antalgin tab
2 Ny. SM P 68 5
Ranitidine inj
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
3
tn. YF L 71 3 Lasix inj,
Ketoprofen supp
Ondansetron inj.
Seftriakson inj
Asering 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
4 tn. SM L 67 9 Ketorolax inj,
Paracetamol
Urinter tab
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf,
5 tn. LT N L 68 3 Ketorolac inj
Ranitidine inj,
Paracetamol
Seftriakson inj
6 tn. MH S L 73 5 RL 20 tpm inf Ranitidine inj
Paracetamol inf,
7 tn. SR N L 60 8 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Ketorolac inj
Omeprazole inj
Paracetamol
Aqua P.I
67
Sukralfat syr
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazol
inj
8 tn. S L 69 4 Ketokonazole tab
Ranitidine inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Seftriakson inj
RL 20 tpm:D5 inf
9 Ny. RT A P 68 3 Ranitidine inj
Ketorolac inj
Paracetamol tab
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Ketorolac
inj,
Furosemide Inj,
10 Ny. HM U P 72 4
Omeprazole inj,
Paracetamol,
Aqua P.I
Amlodipin, ibesartan
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
11 tn. TG M L 65 4
Ranitidine inj Noralges inj
Paracetamol
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Paracetamol
inj,
12 Ny. SR A P 70 7
Omeprazole inj
Aqua P.I
Urispas tab
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
Omeprazole inj
13 tn.HD U L 69 7 Aqua P.I
Paracetamol tab
Amlodipin tab
Ibesartan tab
Seftriakson inj
14 tn. YT M L 65 2 RL 20 tpm inf
Paracetamol
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf
15 Ny. MT P 64 5 Ketoprofen Supp
Paracetamol
Neoralgin
Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole
inj
16 Ny. LW P 73 3 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Urinter tab
17 Ny. LS T P 63 5 Seftriakson inj
RL 20 tpm inf Omeprazole
68
inj
Ondansetron inj
Aqua PI
Urispa tab
Amlodipin tab
Seftriakson inj,
Ketorolac inj,
18 tn. JM J L 83 4
Ranitidine inj,
Paracetamol
Lampiran 12.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj,
Paracetamol
Ketorolax inj,
1 Ny.TR U P 61 4
RL 20 tpm inf,
Ranitidin inj,
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
Kaen 3B inf,
Ranitidine inj,
2 Ny.DN C P 66 3
Paracetamol
Sukralfat syr
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
3 Ny. MI Y P 75 4
Scopamin inj
Paracetamol
Aqua P.I
69
Lampiran 13.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Ketorolac Inj
1 Ny. DW S P 66 3 Omeprazole inj,
Aqua P.I
Broxidin,ulsafat,
gitas,urinter
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Omeprazole inj
2 Ny. HD S P 63 4
Sanmol tab
Aqua P.I
Sukralfat syr
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf Ketorolac
inj
3 Ny. ND P P 64 4 Ranitidine inj
Paracetamol
Cepraz inj
Aqua P.I
4 Ny. ER N P 61 3 Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf,
Ondansetron inj
Ketorolac inj
Ranitidine inj
70
Paracetamol
Aqua PI
Sefotaksim inj
RL 20 tpm inf
Ranitidine inj
5 Ny. SL P P 82 4
Ketorolac inj,
Paracetamol
Aqua PI
Lampiran 14.
Umur Los
No Nama Pasien Jk Obat
(Tahun) (Hari)
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
1 tn. JL M L 66 4
Ketorolac inj,
Ketoprofen sup
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
Omeprazole inj,
RL 20 tpm inf,
2 Ny. LW P 63 3 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sukralfat syr
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
3 Ny. TK N P 68 3
Paracetamol
Aqua P.I
Neorodex
4 Ny. NR K P 63 7 Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketoprofen inj,
Pantoprazole inj,
Sukralfat syr
71
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ranitidine inj,
5 Ny. NR S P 62 5 Ondansetron inj,
Ketorolac inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Furosemide inj,
Candesartan tab
6 Ny. SM R P 75 8
Paracetamol
Aqua P.I
Clonidine
Laxadine
Sefotaksim inj,
Omeprazole inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
7 Ny. WN H P 84 4
Ondansetron inj,
Sukralfat syr
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketoprofen inj,
8 tn. YS N L 75 4 Ranitidine inj,
Aqua P.I
Cepraz inj
Pct
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
9 Ny. NT H P 73 4 Marcibion inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
Ketorolac inj,
10 tn. MR L 61 5 Ondansetron inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Ranitidine Inj
11 tn. SY L 65 8 Sefotaksim inj,
RL 20 tpm inf,
72
Ketorolac inj,
Scopamin inj,
Paracetamol
Aqua P.I
Omz tab
Urinter tab
Batugin tab
Lampiran 15.
73
22 Tn. TGM 114.079 226.000 532.000 236.000 210.000 1.318.079
23 Ny. SRA 278.708 150.000 931.000 350.000 310.000 2.019.708
24 Tn. HDU 579.303 296.000 931.000 407.000 490.000 2.703.303
25 Tn. YTM 123.125 150.000 266.000 122.000 100.000 761.125
26 Ny. MT 240.845 226.000 665.000 350.000 220.000 1.701.845
27 Ny. LW 137.863 150.000 399.000 296.000 130.000 1.112.863
28 Ny. LST 378.159 226.000 1.015.000 413.000 505.000 2.537.159
29 TN. JMJ 625.404 226.000 532.000 293.000 280.000 1.956.404
62.563.41
Total direct medical cost
7
Direct medical cost per pasien 2.157.359
Lampiran 16.
74
Ny. 29600
12 493935 931000 464000 200000 2384935
NRK 0
22600
13 Ny.NRS 137117 665000 293000 240000 1561117
0
Ny. 22000
14 648962 1197000 578000 660000 3303962
SMR 0
Ny. 15000
15 246778 532000 293000 130000 1351778
WNH 0
29600
16 Tn. YSN 187938 532000 236000 150000 1401938
0
Ny. 71000
17 259972 532000 350000 230000 2081972
NTH 0
22600
18 Tn. MR 124463 665000 350000 230000 1595463
0
22600
19 Tn. SYS 403110 1197000 551000 400000 2777110
0
Total direct medical cost 37.989.289
Direct medical cost per pasien 1.999.436
75
76