Anda di halaman 1dari 17

Dwi Faral Hananto Wirawan

13040219140115
Antropologi Konflik B

Kasus Konflik Atas Penolakan Jenazah Pasien Covid-19 di Indonesia


Di Analisis dengan Teori Emile Durkheim

Abstrak

Kasus penolakan jenazah di Indonesia terus berlangsung sampai saat ini. Hal ini
diakibatkan karena banyak faktor, salah satunya adalah ketidakjelasan informasi mengenai
COVID-19 di masyarakat. Masa transisi Covid-19 yang penuh dengan gejolak, berdampak
terhadap sistem sosial dan struktur sosial. Perubahan inilah yang telah memberikan
konsekuensi sosial berupa tindakan-tindakan menyimpang di masyarakat. Selama masa
pandemi, semua orang akan berpusat pada media masa tradisional maupun internet,
sehingga kepercayaan masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh informasi yang tersedia,
selain kepercayaan, karakteristik masyarakat dan kewenangan kesehatan juga memengaruhi
masa pandemi. Hal ini menimbulkan masalah baru, dimana kelompok rentan yang
berpeluang tinggi terinfeksi virus, berisiko menimbulkan dampak negatif seperti rasa takut,
khawatir, tekanan dari masyarakat, stigma negatif, pengusiran bahkan adanya penolakan
jenazah yang terjangkit COVID-19.

Kata Kunci : Corona, Masyarakat, dan Penolakan.


Pendahuluan

Menutup tahun 2019 lalu, masyarakat dunia dikejutkan dengan mewabahnya virus
baru yang segera menjadi persoalan global dan berdampak sangat serius pada aspek-aspek
kehidupan lainnya. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia menetapkan wabah pandemi
global dan menyebutnya sebagai COVID-19 (coronavirus disease 2019) (WHO, 2020).
Dalam waktu singkat, wabah ini kemudian menjadi pandemi dan menjalar ke seluruh dunia.
Wabah itu sendiri didefinisikan sebagai penyakit berbahaya yang menyebar dengan cepat
dan sering menyebabkan kematian Wabah juga merupakan penyakit yang sangat serius dan
dapat menyebabkan banyak kerusakan pada tubuh yang disebabkan oleh organisme
mikroskopis yang disebut bakteri. COVID-19 telah menjangkiti lebih dari 210 negara di
dunia. Setiap saat, media massa di seluruh dunia melaporkan jumlah korban yang terus
meningkat dari waktu ke waktu. Virus yang pertamakali ditemukan di Kota Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina akhir 2019 ini menyebar begitu cepat sehingga memaksa sejumlah
negara untuk segera mengambil tindakan untuk memberlakukan lockdown, yakni dengan
menutup semua akses keluarmasuk wilayah mereka, termasuk di Indonesia.

Sebagaimana pandemi besar yang pernah melanda, COVID-19 mendorong


terjadinya banyak perubahan dan telah melahirkan norma dan praktik baru dalam tatanan
sosial, politik, dan ekonomi; baik pada level individu, komunitas, kelembagaan, dan
hubungan antarbangsa. Perubahan yang tengah berlangsung sebagai dampak dan respons
atas mewabahnya COVID-19 menghadirkan teka-teki yang tidak mudah untuk dijawab,
terutama terkait dengan: 1) kompatibilitas antara nilai dan tatanan yang selama ini dianggap
mapan dengan kebutuhan untuk merespons krisis akibat COVID-19, maupun setelah
nantinya wabah ini berlalu; 2) bentuk-bentuk perubahan atau normalitas baru yang tengah
berlangsung baik di level personal, sosial, maupun organisasional; dan 3) derajat
kedalaman dan sifat perubahan, apakah bersifat permanen/berkelanjutan atau
sementara/jangka pendek.
Tatanan moral masyarakat Indonesia belakangan ini tengah diuji oleh gelombang
kehadiran coronavirus deseases (Covid-19). Peristiwa yang menyeruak di permukaan
adalah munculnya tindakan sosial sekelompok orang yang mengarah pada proses
dehumanisasi, yaitu tampak tengah berlangsung peristiwa-peristiwa kekerasan yang
membawa pada luka kemanusiaan yang amat dalam (Azanella 2020), (Satya 2020). Isu
yang mengemuka di lini masa di awal-awal penyebaran Covid-19 adalah para pasien
berjangkit virus corona mengalami berbagai perlakukan yang kurang etis.

Sering diperbincangkan, orang-orang mulai menciptakan semacam penghindaran


diri atas pasien tersebut demi penolakan demi menghindari penyebaran penyakit ini Tidak
terbantahkan lagi bahwa horor coronavirus adalah salah satu penyebabnya. Sebaran virus
ini yang tidak terkendali dan berbagai narasi yang mencekam telah menimbulkan
kecemasan atau kepanikan pada masyarakat (Mubaraq 2020). Mewabahnya virus ini secara
cepat dan meluas, bersamaan dengan distribusi informasi lintas batas yang sampai di publik
dan tidak dapat dibendung, memunculkan kesalahpahaman di masyarakat (Kusnitingsih
2020), (Dani and Mediantara 2020). Hal ini berdampak terhadap perilaku masyarakat di
mana ketakutan terhadap korona merembes memengaruhi tindakan sosial individu berupa
penolakan demi penolakan terhadap pasien corona (Agung 2020). Di masa awal pandemi,
kekerasan semacam ini memang tidak terelakkan. Ia bahkan eksis dan menjadi masalah
sosial baru yang hadir di tengah pandemi di mana ketakutan individu atau kelompok
masyarakat telah menggiring sekelompok masyarakat melakukan tindakan kekerasan
terhadap orang-orang yang terpapar atau mereka yang memiliki riwayat kontak dengan
pasien Covid-19 seperti perawat dan dokter.

Di beberapa daerah, orang-orang menciptakan pertentangan berupa penolakan


ketika ada pasien positif corona yang hendak dimakamkan di lingkungan tempat tinggal
warga termasuk tim medis yang hendak mendampingi protokeler penguburan jenazah
(Ansori 2020). Dengan demikian, diskursus ini penting ditelaah mengingat wajah kekerasan
semasa pandemi lebih banyak dikaji dari sisi psikologis. Perlu kemudian mengkaji
fenomena kekerasan tersebut dari perspektif sosiologis mengingat belum banyak kajian
terdahulu yang mengurai imbasan dari hiperrealitas terhadap horor corona menggunakan
teori-teori sosiologi terutama merentang permasalahan dari fenomena kekerasan
sekelompok masyarakat di fase-fase awal mewabahnya virus corona.

Wabah virus Covid-19 membuat sebagian banyaknya masyarakat khususnya


Indonesia berubah menjadi sangat soliter, bahkan paranoid. Dengan bertambahnya semakin
hari pasien positif dan meninggal semakin bertambah, alih-alih besimpati dibagian daerah
masih ada yang menolak jenazah pasien Covid-19. Kebanyakan dari mereka berdalih tidak
mau beresiko tertular virus Covid-19 ini. Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dilaporkan
masyarakat menolak jenazah bahkan mengusir ambulans yang membawa jenazah korban
Covid-19, Bandar Lampung juga dengan kasus yang sama pengusiran jenazah untuk
dimakamkan. Fenomena ini terus bertambah dengan semakin banyaknya yang terinfeksi
Covid-19 Masyarakat memiliki sikap sosial pada hakikatnya yang mudah berempati pada
orang lain, akhirnya terkalahkan dengan kontruksi yang dibentuk dalam realitas virtual. Hal
ino terjadi karena realitas yang dibangun atas informasi secara berlebihan di media massa
atau media sosial.
Rumusan Masalah

1. Konsep dari Emile Durkheim apa yang berkaitan dengan kasus ini ?
2. Konflik menurut fungsional durkheim itu apa?
3. Kasus konflik apa yang terjadi ?

Tujuan Pembahasan

1. Menjelaskan teori konflik fungsional


2. Menjelaskan kasus yang akan di analisa
3. Menjelaskan dan memahami konsep Emile Durkheim
Pembahasan

Fenomena Penolakan Jenazah Covid-19

Penolakan terhadap pemakaman jenazah pasien positif Covid-19 terjadi di sejumlah


daerah. Terakhir, jenazah seorang perawat RSUP dr Kariadi Semarang yang meninggal
dunia karena terinfeksi virus corona ditolak oleh warga untuk dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum (TPU) Sewakul di RT 06, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Peristiwa ini semakin menambah keprihatinan di tengah perjuangan semua orang melawan
virus corona. Ada stigma yang berkembang terhadap penderita Covid19 atau bahkan
mereka yang berada di garis depan menangani pasien virus corona. Alasannya, khawatir
menjadi sumber penyebaran virus corona.

Menurut Emile Durkheim Montesquieulah yang berusaha mengidentifikasi


hubungan antara fenomena sosial. Fenomena sosial tersebut berupa agama, hukum,
moralitas, perdagangan, dan administrasi. Pemikiran Durkheim sangat dipengaruhi oleh
karya August Comte (1798-1857). August Comte mengembangkan istilah positivisme
untuk memahami masyarakat. Pengaruh dari positivisme August Comte ini banyak
kalangan menganggap bahwa Emile Durkheim sebagai kelanjutan dari proyek Comte
dalam memahami masyarakat.

Dalam bukunya The Rules of Sociological Method, Emile Durkheim membedakan


antara dua tipe fakta-fakta sosial yaitu material dan nonmaterial. Meskipun ia
membicarakan keduanya di dalam rangkaian karyanya, fokus utamanya adalah pada fakta-
fakta nonmaterial (kebudayaan dan lembaga-lembaga sosial) daripada fakta-fakta sosial
material (birokrasi, dan hukum). Posisi teori Durkheim dalam paradigma ilmu sosial masuk
pada paradigma fakta sosial. Hal ini sangat nyata, tampak dari konsep teorinya yang
terkenal tentang “jiwa kelompok” yang dapat mempengaruhi kehidupan individu. Individu
yang ada di tengah kelompok tersebut merupakan bagian pokok bagaimana mempelajari
kenyataan yang terjadi dalam sebuah wadah masyarakat. Social fact adalah aspek
kehidupan sosial yang tidak dapat dijelaskan dalam pengertian biologis dan psikologis dari
seorang individu. Fakta sosial bersifat eksternal (berada di luar individu). Karena sifat
eksternalnya, fakta sosial merupakan realitas independen dan membentuk lingkungan
objeknya sendiri. contoh yang paling jelas dari fakta sosial adalah kebiasaan, peraturan,
norma dan sebagainya.

Bila kita amati fenomena penolakan pasien berjangkit corona tersebut,


sesungguhnya kekerasan ini bukanlah tindakan yang berdiri sendiri. Ia adalah manifestasi
dari paranoid terhadap corona untuk dihindari sekaligus juga efek dari perubahan frontal
sistem sosial terutama fungsi-fungsi lembaga-lembaga sosial. Perubahan semacam ini
menurut Durkheim, membawa dampak ketidakpastian tatanan nilai-nilai dan norma-norma
mana yang akan dijadikan sebagai pedoman di kehidupan sosial masyarakat. Imbasnya,
ikatan-ikatan solidaritas sosial menjadi retak yang mendistorsi perekat sosial, kultural dan
spritual di dalam kehidupan sosial masyarakat.

Pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat menurut konsep anomie Emile


Durkheim

Pandemi COVID-19 memiliki risiko menciptakan stigma baru dalam masyarakat,


hal ini dapat terlihat melalui beberapa sejarah yang menunjukkan bahwa keadaan darurat
kesehatan masyarakat sering mengarah pada stigma dan diskriminasi terhadap komunitas
dan kelompok tertentu atau orang-orang yang terkena dampak langsung. Stigma dan
diskriminasi juga telah diarahkan pada orang yang didiagnosis dengan COVID-19 serta
para profesional kesehatan. Stigma dan diskriminasi diketahui secara negatif memengaruhi
perilaku kesehatan, dan memiliki serangkaian konsekuensi kesehatan fisik dan mental
untuk kelompok yang distigmatisasi dan masyarakat di sekitarnya

Covid-19 yang tengah mewabah ini membawa konsekuensi-konsekuensi logis. Di


dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian akibat
Covid-19, harus diakui bahwa fenomena ini membawa efek sosial tersendiri bagi perubahan
nilai dan norma di masyarakat. Dalam artian kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut
berubah seiring dengan merebaknya ancaman-ancaman virus berbahaya ini.

Horor bencana kematian massal virus ini membawa pengaruh signifikan pada
pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat. Keadaan ini disebabkan oleh perubahan
struktur sosial (terutama kelompok-kelompok masyarakat, lembaga sosial dan pranata
hukum) yang sedikit frontal akibat kehadiran corona yang mengancam keamanan mendasar
manusia. Perubahan ini membawa pengaruh besar terhadap nilai-nilai dan norma-norma
yang lama. Sedikit banyak aturan-aturan yang selama ini menjadi pijakan bertindak atau
berinterkasi individu dalam masyarakat, tidak berlaku lagi untuk sementara waktu.

Emile Durkheim menyebut anomie sebagai norma-norma baru yang belum


dirumuskan atau belum tersosialisasi dengan baik sehingga masyarakat mengalami
kehilangan pegangan hidup (Susanto et al. 2020). Akibat perubahan ini yang dikatakan
Durkheim, hukum atau nilai dan norma di masyarakat mengalami kekacauan, sebuah
kondisi sosial yang dicirikan oleh keruntuhan norma-norma yang mengatur interaksi sosial
(Abercrombie, Hill, and Turner 2010) .

Di situasi ini, kehidupan masyarakat berada pada titik ketidakseimbangan. Individu-


individu atau kelompok masyarakat yang melihat karakter pola penyebarannya virus ini
begitu cepat; memaksa masyarakat tidak lagi menjunjung nilai moral, yang mengedepankan
solidaritas antara sesama umat manusia terhadap mereka yang terpapar virus ini. Meski
tidak banyak warga masyarakat yang bertindak demikian di mana hanya di beberapa lokasi
saja terjadi tindakan penolakan terhadap pasien Covid-19, namun kenyataan sosial ini eksis
juga di masa-masa awal pandemi.

Konsekuensi sosiologis dari kondisi ini adalah menimbulkan wajah konflik


kekerasan. Warga masyarakat yang memahami posisinya tidak ingin tertular, mereka tidak
lagi menyesuaikan tindakan-tindakannya apakah berdasar atas aturan atau anjuran yang ada
atau tidak. Masyarakat berpikir bahwa orang yang terpapar Covid-19 merupakan orang
yang harus dihindari. Mereka mempersepsikan orang tersebut sebagai ancaman nyata bagi
dirinya dan orang lain sehingga demi menghindarinya hukum atau norma kadang kala
dilabrak. Ini diafirmasi oleh Mohammad Hasan Ansori dalam penelitiannya berjudul
Asesmen dan Mitigasi Konflik di Tengah Pandemi Covid-19 di Indonesia. Ia menemukan
bahwa muncul beragam tipe konflik horizontal di masa pandemi, yaitu terjadi penolakan
warga atas penguburan korban Covid-19 di berbagai wilayah dan yang tidak kalah heboh
berwujud dalam penolakan warga atas tenaga medis Covid-19. (Ansori 2020).

Stigmatisasi Masyarakat

Stigmatisasi sosial atau pelabelan (labelling) merupakan istilah stereotip bahwa


identitas diri atau seseorang serta perilaku individu dipengaruhi oleh kecenderungan
mayoritas yang secara negatif bahwa seseorang dianggap menyimpang dari norma budaya
standar. Stigmatisasi sosial seringkali dialamatkan kepada pelaku kejahatan, sakit mental,
atau perilaku lain yang tidak sesuai khalayak masyakat biasanya.

Pada praktiknya, stigmatisasi sosial berkembang menjadi teori sosial dengan


pendekatan pada paradigma interaksi simbolik. Teori ini berasal pada pemikiran sosiolog
Perancis, Emile Durkheim dengan karyanya Suicide. 

Menurut Durkheim kejahatan bukanlah semata pelanggaran hukum pidana,


melainkan kejahatan bisa membuat masyarakat marah. Oleh karena itu, pelabelan perlu
dialamatkan kepada berbagai perilaku menyimpang agar mampu mengendalikan perilaku
masyarakat.

Orang memperoleh label dari cara orang lain melihat kecenderungan atas
perilakunya. Akhirnya setiap individu menyadari bagaimana ia dinilai oleh orang lain
karena telah mencoba berbagai peran dan fungsi yang berbeda dalam interaksi sosial
sehingga mampu mengukur reaksi diri mereka yang hadir.

Jika dirumuskan, terdapat empat poin adanya stigmatisasi sosial:


Pertama, peran sosial. Peran sosial adalah seperangkat harapan yang dimiliki
tentang perilaku. Peran sosial diperlukan untuk organisasi dan fungsi masyarakat atau
kelompok mana pun. Peran sosial ini diwujudkan dalam bentuk penyediaan media
sosialisasi, termasuk di dalamnya, norma dan budaya. Kedua, penyimpangan.
Penyimpangan disini bukan berarti kesalahan secara moral, melainkan perilaku yang
dikutuk oleh masyarakat. Perilaku menyimpang dapat mencakup kegiatan kriminal dan
non-pidana, atau aktivitas non-norma masyarakat. Ketiga, subjektivitas. Individu atau
kelompok yang lebih refresentatif secara sosial seperti polisi, hakim, atau pemerintah
memiliki penilaian yang lebih dihormati atau bahkan ditaati secara luas. Oleh karenanya,
jika subjektivitas dilakukan maka akan menimbulkan reaksi kelompok secara besar.

Menilik kasus penolakan jenazah covid-19 tidak salah tampaknya jika hal ini akibat
adanya stigmatisasi sosial masyarakat. Meski bukan bagian dari perilaku menyimpang,
namun alasan penolakan warga seperti tidak adanya pemberitahuan sebelumnya, terlalu
dekat dengan pemukiman, hingga desakan/aspirasi warga tidak selayaknya dilakukan. 

Hal tersebut semakin menunjukkan adanya stigmatisasi yang tinggi dalam


masyarakat. Padahal, jelas-jelas jenazah tersebut tidak berbahaya karena sudah melalui
prosedur yang baik. Jika melihat antusias masyarakat terhadap perlawanan corona yang
mulai membaik, hal ini justru berbading terbalik dengan penolakan yang terjadi. Miris
sekali melihat seorang perawat, sebagai pahlawan kesehatan yang gugur karena corona
jenazahnya justru ditolak, bahkan hanya untuk dimakamkan.
Teori Konflik Fungsional Durkheim

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali
mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer.
Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang
saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar
organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup.

Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminologi
organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan
dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem
tersebut mempunyai fungsi masing-masing yang membuat sistem menjadi seimbang.
Bagian tersebut saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada
yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang
menjadi sumbangsih Durkheim dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural
fungsional.

Selain itu, antropologis fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga


membantu membentuk berbagai perspektif fungsional modern. Teori Fungsionalisme
mengajarkan bahwa secara teknis masyarakat dapat dipahami denan melihat sifatnya
sebagai suatu analisis system sosial, dan subsistem sosial, dengan pandangan bahwa
masyarakat pada hakekatnya tersusun kepada bagian-bagian secara struktural, dimana
dalam masyarakat ini terdapat berbagai sistem-sistem dan faktor-faktor yang satu sama lain
mempunyai peran dan fungsinya masing-masing, saling berfungsi, dan mendukung dengan
tujuan agar masyarakat dapat terus bereksistensi, dimana tidak ada satu bagian pun dalam
masyarakat yang dapat dimengerti tanpa mengikutsertakan bagian yang lain, dan jika salah
satu bagian masyarakat yang berubah akan terjadi gesekan-gesekan ke bagian lain dari
masyarakat ini.

Jadi, paham fungsionalisme ini lebih menitiberatkan perhatiannya kepada faktor dan
peranan masyarakat secara makro dengan mengabaikan faktor dan peranan dari masing-
masing individu yang terdapat di dalam masyarakat ini (Fuady, 2013:25).

Dalam teori ini, Durkheim melakukan pengkajian terkait konsep tatanan sosial dan
melihat bagaimana masyarakat dapat hidup secara harmonis melalui konsep tersebut.
Dimana teori ini melakukan pengkajian pada level makro, yaitu dengan menilai bagaimana
aspek masyarakat dapat berfungsi. Teori Fungsionalisme menjelaskan pemikiran durkheim
yang dijelaskan melalui pendekatan sistem. Pendekatan ini mengibaratkan masyarakat
sebagai organisme hidup, seperti manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan, yang dianalisis
dengan sebuah struktur yang saling berfungsi. Dalam teori ini dijelaskan, organisme hidup
menyatu dalam suatu tatanan sistem yang masing-masing organ memiliki fungsi sendiri dan
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sehingga konsep ini secara umum menyajikan
tentang konsep kerja sama dari masing-masing struktur untuk dapat berintegrasi secara
harmonis. Sehingga dapat menciptakan suatu tatanan sosial yang melibatkan berbagai
elemen.

kaitanya dengan kasus ini bisa di tinjau dengan Tatanan moral masyarakat Indonesia
belakangan ini yang sedang diuji oleh gelombang kehadiran coronavirus deseases (Covid-
19). Dampak peristiwa itu memunculkan tindakan sosial sekelompok orang yang mengarah
pada proses dehumanisasi, yaitu sedang berlangsungnya peristiwa-peristiwa kekerasan
yang membawa pada luka kemanusiaan yang amat dalam. Isu yang mengemuka di lini
masa di awal-awal penyebaran Covid-19 adalah para pasien berjangkit virus corona
mengalami berbagai perlakukan yang kurang etis.
Konsep Kesadaran Kolektif kaitanya dengan kasus ini

Dalam “The Division of Labor in Society” Durkheim membahas tentang pembagian


kerja yang spesifik dan kondisi solidaritas masyarakat. Durkheim membagi konsep
solidaritas ke dalam dua tipe, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Masing-
masing solidaritas dapat dibedakan melalui dua indikator, yaitu faktor pengikat solidaritas,
dan sanksi yang diterapkan oleh tiap kelompok solidaritas terhadap tindakan kriminal yang
dilakukan individu. Durkheim menyatakan bahwa solidaritas mekanik identik dengan
masyarakat tradisional, sedangkan solidaritas organik identik dengan masyarakat modern.

Dalam solidaritas mekanik, masyarakat diikat oleh sebuah konsep bernama


kesadaran kolektif, atau “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama yang dianggap umum
dalam sebuah masyarakat”. Kejahatan, dalam solidaritas mekanik, didefinisikan sebagai
tindakan yang mencederai kesadaran kolektif tersebut atau dengan kata lain, mencederai
seluruh masyarakat. Sanksi bagi pelaku tindak penyimpangan dalam solidaritas mekanik
bersifat represif.

Artinya, sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk membalas, merugikan, atau


membuat pelaku menderita, seperti yang terjadi pada kasus kali ini Bahwa ada unsur
pemaksaan yang menjauhkan seseorang dari kecerdasan merasakan, berempati, dan
bersosial. Sebab, yang dipertontonkan adalah tindakan yang jauh melampaui kenyataan
sehari-hari kita. Suatu kenyataan yang sesungguhnya tidak lumrah pada masyarakat kita
yang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan sosial. di mana ketakutan
individu atau kelompok masyarakat telah menggiring sekelompok masyarakat melakukan
tindakan kekerasan terhadap orang-orang yang terpapar atau mereka yang memiliki riwayat
kontak dengan pasien Covid-19 seperti perawat dan dokter.

Dalam situasi ketidaklekatan kolektifitas, pandemi COVID-19 memberikan


“struktur baru” yang membuat manusia harus bekerja kolektif untuk memastikan perubahan
perilaku secara kolektif sebagai satu-satunya cara memutus mata rantai penyebaran virus
ini dan menerima realitas yang terjadi di masyarakat. Mudahnya penularan virus COVID-
19 dan efek kemungkinan mematikan bagi mereka yang terpapar menyebabkan virus ini
yang mengendalikan kecepatan penambahan pasien baru yang bergerak secara
eksponensial. Berbagai lembaga kesehatan telah menyimpulkan bahwa penurunan
penyebaran virus COVID-19 sangat tergantung pada perubahan perilaku seluruh manusia
untuk mencuci tangan, memakai masker saat berinteraksi, melakukan karantina sendiri, dan
menjaga jarak fisik. Jika perubahan perilaku tidak terjadi secara kolektif, konsekuensinya
tidak hanya berdampak bagi kematian dan trauma mereka yang ditinggalkan, tapi juga
terhadap berbagai kehidupan ekonomi, sosial dan kesehatan mental masyarakat.

Bentuk Konflik yang terjadi kaitanya dengan Konsep Emile Durkheim

Di dalam banyak konteks, penolakan terhadap pasien Covid-19 sebetulnya bersifat


individual atau hanya beberapa orang saja yang menolak. Di berbagai tempat baik di Jawa
maupun di luar Jawa, pada masa awal pandemi, penolakan terhadap jenazah yang
terindikasi positif Covid-19 terjadi. Ada satu mentalitas yang bertransformasi. Dalam
konteks banyak kultur di Indonesia, jenazah biasanya diberi penghormatan yang tinggi.
Mereka yang sebelumnya adalah bagian dari the sacred, sehingga jenazah diperlakukan
dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan, berubah secara dramatis pada masa Covid-
19. Dalam konteks Indonesia, penolakan jenazah pernah terjadi terutama pada jenazah yang
disinyalir adalah para teroris (Bom Bali, Bom Jakarta dsb). Mereka ditolak oleh desa asal
mereka untuk dikuburkan di sana. Dalam konteks pandemi ini, penolakan terhadap jenazah
dilakukan tidak pandang bulu baik terhadap yang miskin maupun yang kaya.

Realitas kemajemukan bangsa Indonesia sesungguhnya telah menampilkan perbedaan


organik dan seringkali perbedaan tersebut menjadi alasan untuk terpecah belah dan
berkonflik. Namun dengan kekuatan dan semangat yang menyatukan perbedaan, maka
Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara akan mempunyai kekuatan besar, sehingga
mampu bertahan dan menghadapi pandemi ini. Adanya solidaritas organik dalam realitas
pandemi ini dilihat pada saat warga yang ada di tengah perang melawan Covid-19 masih
berperilaku tidak simpatik dan tidak berperikemanusiaan. Seorang perawat ditolak untuk
dimakamkan di kampung halamannya karena terpapar Corona. Dia meninggal karena
berjuang menyembuhkan pasien corona di RS Kariadi Semarang, Jawa Tengah.

Dalam teorinya, Emile Durkheim menyebut tindakan tersebut sebagai sikap atau perilaku
individualis. Artinya, tidak ada lagi kesadaran kolektif antarsesama yang sedang mengalami
pandemi. Mereka seolah tidak peduli terhadap orang lain karena bertanggung jawab
terhadap keluarganya masing-masing. Akibatnya orang seperti membatasi diri terhadap
orang lain karena ketakutan yang berlebih. Dengan kata lain, ketakutan dan penularan
membuat kita lebih konformis, penilaian moral kita menjadi lebih keras, dan menjadikan
kita lebih konservatif. Jadi, persoalan Covid-19 turut mempengaruhi perilaku masyarakat
yang mencerminkan solidaritas organik.

Kesimpulan

Covid-19 telah melahirkan dampak-dampak sosial di dalam masyarakat. Masyarakat


dihadapkan pada perubahan, dan tiap-tiap individu memiliki perbedaan cara pandang
menyikapinya. Kondisi ini membawa tekanan psikologis yang kemudian berdampak secara
sosiologis. Masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang tidak mampu mengadaptasi
dirinya secara baik menjadikan sistem sosial kemasyarakatan mengalami guncangan. Tak
pelak masyarakat pun kadangkala melakukan tindakan menyimpang. Sekalipun keadaan ini
cenderung dinetralisasi melalui institusionalisasi berupa hadirnya seperangkat aturan dan
anjuran di tengah-tengah masyarakat oleh otoritas-otoritas terkait, namun nyatanya
masyarakat terlanjur takut terhadap horor coronavirus . Mereka melakukan upaya
penghindaran diri dari kelompok terpapar virus meski pada akhirnya menggunakan cara-
cara yang tidak lazim dalam perikehidupan masyarakat. Temuan ini telah menawarkan
perspektif baru dalam memahami Covid-19. Meski demikian, masih perlu mengkaji secara
komprehensif dalam melihat fenomena di atas. Kelemahan dari penemuan ini adalah tidak
melakukan wawancara mendalam kepada para korban atau keluarga pasien, dan atau
analisis hanya menitikberatkan pada teori dengan menelaah kasus-kasus yang ada.
Sehingga, penulis tidak bisa memastikan sepenuhnya klaim-klaim penemuan ini sebagai
satu-satunya faktor penyebabnya dari sudut pandang sosiologis. Apalagi penelitian ini
hanya memberikan penjelasanpenjelasan teoritis atau eksplorasi penjelasan teoritis.

Daftar Pustaka

Ahorsu, D. K., Lin, C. Y., Imani, V., Saffari, M., Griffiths, M. D., & Pakpour, A. H.
(2020). The fear of COVID-19 scale: development and initial validation. International
journal of mental health and addiction, 1-9.

Bruns, D. P., Kraguljac, N. V., & Bruns, T. R. (2020). COVID-19: Facts, cultural
considerations, and risk of stigmatization, 4

Agung, Ivan Muhammad. 2020. Memahami Pandemi Covid-19 Dalam Perspektif


Psikologi Sosial. Psikobuletin: Buletin Ilmiah Psikologi 1 (2): 68–84.

Ansori, Mohammad Hasan. 2020. Asesmen dan Mitigasi Konflik di Tengah


Pandemi COVID-19 di Indonesia.

Durkheim, Emile, The Rules of Sociological Method, (London: Macmillan, 1982),


hlm. 29–163.

Calhound, Craig., Gerteis, Joseph., Moody, James. dkk (Ed.), Classical Sociological
Theory, (Great Britain: Blackwell Publishing, 2007), hlm. 133.

Anda mungkin juga menyukai