Anda di halaman 1dari 21

UJIAN AKHIR SEMESTER

PAPER

Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah


Sejarah Soaial Budaya

Kelas C

Dosen Pengampu
Dr. Drs. Sugiyanto, B.A., M. Hum.

Oleh

RILO PAMBUDI
NIM 180210302067

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
SOAL

1. Bagaimanakah peristiwa epidemi malaria Hindia Belanda khususnya yang


melanda Bali tahun 1933-1936 dan epidemi covid-19 abad ke-21 dan
dampaknya terhadap perubahan sosial budaya masyarakat?
2. Bagaimanakah kondisi sosial budaya masyarakat petani Banten, bisa
menjadi sebagian factor terjadinya peristiwa pemberontakan rakyat petani
Banten tahun 1926?
3. Bagaimanakah dampak teknologi pertanian padi terhadap perubahan
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat petani di Jawa Timur tahun 1962-
2000?
4. Bagaimanakah pengaruh industry perkebunan tembakau yang didirikan
oleh George Berniy di Besuki (Jember) terhadap perubahan sosial-budaya
yang semakin tampak sampai pada zaman ini, sesuai dengan teori
Hybriditas?
5. Jelaskan tentang (A). Grebeg Besar, (B). Ngelungsur?
JAWABAN
1) Selama Abad 19 merupakan masa-masa sulit yang dihadapi oleh Pemerintah
Hindia Belanda terutama dalam hal kesehatan. Pemerintah Hindia Belanda
dikejutkan dengan berbagai penyakit yang menimpa masyarakatnya mulai dari
wabah kolera, wabah pes, hingga penyakit kulit seperti kusta menyerang hampir
2/3 Jiwa Penduduk Jawa saat itu. Penambahan korban yang diderita diakibatkan
oleh perilaku dan gaya hidup yang dilakukan oleh penduduk sehingga
menyebabkan pertumbuhan pada penularan penyakit yang begitu cepat. Upaya
dan langkah-langkah pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia
Belanda berupaya untuk menekan jumlah korban akibat yang diderita mulai dari
pemberian obat-obatan sampai tindakan untuk mengkarantina serta penggusuran
perukiman yang dianggap kumuh seperti yang terjadi di Surabaya ketika
dilanda wabah kolera tahun 1920.(Cipta, 2020) Secara teori Epidemiologi
merupakan sebagai studi tentang epidemi. Dalam perkembangan epidemiologi
juga mempelajari penyakit-penyakit non infeksi sebagai contoh sebagai kasus
wabah influenza yang sifatnya tidak begitu menimbulkan infeksi, sehingga
dewasa ini epidemiologi dapat diartikan sebagai studi tentang bagaimana suatu
penyebaran penyakit pada manusia akan sangat berpengaruh pada lingkungan
sekitar (Rau & Fahira, 2018, hlm. xx). Sejarah penyakit yang sifatnya menular
di Hindia terjadi pada Abad ke-20 dengan berbagai wabah yang pernah terjadi
seperti kolera, kusta, pes, dan influenza. Penyakit-penyakit tersebut kemudian
dengan cepat menyebar dan banyak menimbulkan korban jiwa berjumlah
586.757 jiwa pada tahun 1916. Pada tahun 1911 merupakan awal dari
penyebaran penyakit cacar di Jawa. Penyakit tersebut sebenarnya sudah
ditemukan pada tahun 1780 dengan menjangkiti pada korban sekitar 100 dan
meninggal sekitar 20 orang. Seorang dokter asal Inggris dan juga merupakan
rombongan dari Rafles yakni John Crawfurd pada tahun 1811 dikagetkan
dengan jumlah korban cacar di Jawa semakin meningkat sehingga
menyebabkan kekacauan luar biasa diantara masyarakat. Akan tetapi pada tahun
1910-1911 jumlah korban cacar meningkat sekitar 30%. Total korban
meninggal akibat cacar meningkat sektar 102 orang. Korban yang terjangkiti
wabah tersebut uumnya didominasi oleh anakanak dan balita. Usia anak-anak
merupakan usia yang paling rentan dalam penyebaran epidemic tersebut.
Mengingat bahwa diusia dibawah 10 tahun merupakan proses perkembangan
anak dan imunisasi yang ada pada tubuh anak-anak masih belum begitu kuat
dalam menangani penyakit cacar yang dideritanya. Selama periode tersebut
Pemerintah Hinda Belanda terlalu gegabah dalam menangangi kasus tersebut.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Goozen (1999 dalam Baha'uddin.
2012, hlm. 287)) mengatakan bahwa Masa itu dianggap sebagai masa politik
seiring dengan diberlakukannya sistem politik etis yang sangat mengedepankan
aspek ekonomi dan politik yang mengakibatkan pemerintah lupa akan
menangani cara menghentikan penyebaran wabah cacar sehingga berdampak
pada angka mortalitas penduduk meningkat terutama anak-anak. Akibatnya,
penyebaran cacar begitu cepat hingga menyebar hampir seluruh derah di Jawa,
tidak memandang apakah daerah pedalaman atau pesisir perkembangan tersebut
menimbulkan suatu pemahaman bahwa sebuah penyakit akan muncul pada
periode tertentu (siklis). Paradigma yang terjadi oleh masyarakat saat itu karena
penyebaran dari penyakit cacar terjadi pada musimmusim tertentu. Masyarakat
seakan sudah terbiasa dengan wabah cacar yang sudah terjadi pada Abad ke-18.
Bukan hanya saja penyakt cacar yang mewabahi Penduduk Jawa akan tetapi
penyakit mengerikan yang pernah menjangkiti asyarakat dalam catatan sejarah
penyakit di Hindia Belanda yakni penyakit Kolera. Penyakit ini menjadi salah
satu ‘penyakit lokal’ yang menjangkiti Wilayah Jawa Timur. Surabaya
merupakan kota terparah dari perkembangan wabah tersebut. Sejak awal Abad
ke- 19 Kota Surabaya menjadi kota dengan tiga penyakit epidemic terbesar
yakni kolera, cacar, dan demam berdarah. Penyakit Kolera di Surabaya pada
mulanya terjadi di wilayah-wilayah permukiman kumuh disepanjang bantaran
sungai seperti Kali Mas, Kali Genteng, Krambangan, dan Kayoon.
Perkembangan jumlah korban pada tahun 1912 sebesar 9.380 dengan
masingmasing jumlah korban pasien sebesar 5150 sedangkan jumlah korban
meninggal sebesar 4230 jiwa. Artinya jika merujuk pada jumlah korban tersebut
pada tahun 1912 yang merupakan awal dari sejarah perkembangan kasus wabah
kolera merupakan awal perkembangan sekaligus menjadi catatan terburuk
mengenai jumlah korban yang diderita akibat virus Kolera. Perkembangan
jumlah korban tersebut diakibatan oleh masalah permukiman di Kota Surabaya
dan berdampak pada pola sanitasi yang buruk. Berawal dari ditetapkannya
Gementee atau pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran
mengakibatkan perluasan tata kota sehingga berdampak pada jumlah penduduk
yang tinggi. Perkembangan jumlah korban yang terus meningkat pada tiap
harinya mendapatkan perhatian khusus dari berbagai media salah satu media
yang memberitakan wabah tersebut yakni Bataviasch Neuwsblad yang
diterbitkan pada tahun 1918 memberitakan tentang sebuah desa di Surabaya
yakni Desa Kapasan yang merupakan desa paling pertama mendapatkan wabah
tersebut hingga mengakibatkan 1 orang meninggal yang mana korban yang
meninggal adalah perempuan. Dalam media tersebut juga memberitakan bahwa
dalam satu hari paling tidak terjadi empat sampai lima kasus Wabah Kolera.
Penyebaran wabah kolera juga menyebar hingga wilayah Madura, namun
masalah yang dihadapi oleh Masyarakat Madura sebelum terjadinya wabah
tersebut yakni masalah pengolaan sampah yang kurang memadai serta perilaku
masyarakat yang membuang sampah sembarang. Bagi masyarakat saat itu
sebelum terjadinya wabah kolera di Madura sampah bukan menjadi suatu
masalah karena persepsi yang menyatakan bahwa sampah tidak akan
memberikan dampak bagi kesehatan sehingga masayarakat memiliki kebiasaan
buruk dan mengakibatkan sampah menumpuk di beberapa tempat terutama
daerah Kamal yang merupakan wilayah pesisir bagian Barat Madura
(Setyowati, 2018, hlm. 577).
Dalam merespons wabah COVID-19, masyarakat sipil di Indonesia
menunjukkan solidaritasnya dalam bersama-sama mengatasi pandemi tersebut.
Di bulan Maret 2020, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari AJAR, Kontras,
Lokataru, Migrant Care, LBH Masyarakat, P2D, PKBI, YLBHI, YLKI, dan
WALHI menyerukan kepada pemerintah untuk memperbaiki respons yang
dinilai jauh dari pemenuhan hak untuk melindungi warga negara. Terdapat lima
hal yang digugat oleh Koalisi Masyarakat Sipil terhadap pemerintah yaitu (1)
memperbaiki mekanisme merespons pandemi dengan memberikan respons yang
cepat, akurat, dan bertanggungjawab; (2) membenahi manajemen komunikasi
publik; (3) menjaga hak privasi warga dengan mengungkap kasus tanpa
membuka identitas pasien; (4) meminimalisir stigma dan diskriminasi; dan (5)
mengatasi kelangkaan masker dan sabun antiseptik dengan harga terjangkau.
Selain upaya advokasi kepada pemerintah, kelompok masyarakat sipil
keagamaan yang sudah mapan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah bergerak secara nyata di tengah masyarakat. Kedua organisasi
tersebut membentuk gugus tugas penanggulangan COVID-19, mengerahkan
produsen untuk memproduksi masker yang kemudian dibagikan secara gratis,
memanfaatkan secara optimal rumah sakit milik organisasi masing-masing,
memberikan bantuan pangan ketika pemerintah belum bergerak, dan
memberikan edukasi tentang protokol kesehatan untuk mencegah penularan
yang semakin meluas. Kesemuanya dilakukan dua organisasi ini hingga ke level
desa, menyentuh masyarakat akar rumput.
Di lain pihak, sebagian kelompok masyarakat sipil yang lebih kecil
dibanding NU dan Muhammadiyah menunjukkan solidaritasnya dengan
menggalang dana. Salah satunya dilakukan melalui wadah urun dana
(crowdfunding) seperti kitabisa.com. Tidak hanya organisasi masyarakat sipil,
tetapi banyak juga individu figur publik seperti pekerja seni dan ‘influencer’
media sosial melakukan hal yang sama. Per 30 April 2020, penggalangan dana
terkait COVID-19 di wadah urun dana tersebut telah mencapai lebih dari 25
miliarrupiah.
Penggalangan dana itu dimaksudkan untuk beragam tujuan, misalnya
membeli Alat Perlindungan Diri (APD) para tenaga medis, penyediaan tempat
singgah untuk tenaga medis, hingga bantuan pangan untuk masyarakat yang
terdampak krisis akibat wabah ini. Di samping itu, ada pula kelompok
masyarakat sipil yang bergerak di ranah digital, seperti KawalCOVID19 yang
mendedikasikan diri untuk menyediakan informasi terpercaya seputar COVID-
19 di Indonesia melalui situs dan media sosial mereka. Kesimpangsiuran
informasi dan banyaknya hoaks yang beredar menjadi dasar wadah ini
diluncurkan oleh tim yang pernah meluncurkan KawalPemilu pada saat pesta
demokrasi Indonesia lalu. Tim relawan KawalCOVID19 terdiri dari orang yang
berlatarbelakang medis, edukasi, sains, riset, dan teknologi informasi.
Di ranah akademik, para pakar di kampus-kampus dan lembaga penelitian
secara sendiri- sendiri maupun kolaboratif mengadakan kajian mengenai
pandemi COVID-19. Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia,
Universitas Gadjah Mada, misalnya, melakukan kajian dari berbagai perspektif
(medis, kesehatan masyarakat, sosiologi, dsb), hingga berhasil merakit alat
(misal: ventilator) yang dinilai bermanfaat dalam upaya memulihkan pasien
COVID-19 dan telah banyak diulas di berbagai media. Institusi akademik ini
terus mencoba memperbarui kajiannya, seakan berlomba dengan jumlah kasus
yang terus bertambah.
Cerita menarik lain datang dari kampung-kampung yang sudah menerapkan
‘lockdown’, padahal belum ada aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) di wilayahnya. Hal ini juga secara mengejutkan dilakukan oleh klaster-
klaster di daerah perumahan di wilayah urban yang sebetulnya berkarakter lebih
individualistis, seperti yang dilakukan oleh otoritas di wilayah perumahan
penulis. Upaya ‘lockdown’ semacam ini dilakukan untuk menekan angka
transmisi virus dengan mengurangi intensitas keluar-masuk orang luar wilayah
tempat tinggal. Kebijakan lain yang dilakukan oleh warga di kampung dan
klaster itu adalah membantu pasien COVID-19 agar tenang melakukan isolasi
diri di rumah dengan memasok bahan makanan. Kebijakan physical dan social
distancing juga dijalankan secara tertib dengan menghentikan kegiatan
pengajian, arisan, dan kegiatan bersama lainnya. Kegiatan ini justru diganti
dengan penyemprotan disinfektan dan upaya pencegahan lainnya. Dalam
beberapa kasus, kebijakan ‘lockdown’ yang dijalankan secara mandiri ini juga
kontroversial karena seringkali berujung ekstrem pada penolakan jenazah
terkait kasus COVID-19, terutama di wilayah yang memiliki lahan pemakaman.
Penulis tidak menyetujui hal ini, namun di sisi lain harus dilihat juga bahwa
semua berjalan atas logika kegawatdaruratan demi melindungi diri sendiri dan
lingkungan.
2) Pemberontakan petani Banten merupakan Gerakan social dan budaya
kaum petani Banten untuk merebut Kembali hak – hak bertahan hidup
(survival) dan identitas diri atas kolonialisme Belanda dan dominasi kaum
bangsawan. Pemberontakan terjadi pada hari Senin, 9 Juli 1888 di wilayah
Cilegon, Banten, Indonesia. Gerakan sosial dan budaya ini dilakukan oleh
kaum petani Banten dengan keukatan nilai – nilai tradisional(agama
Islam). Kaum petani Banten memberontak terhadap kolonialisme Belanda
untuk merebut Kembali hak – hak mereka bercocok tanam padi sebagai
bahan pokok untuk bertahan hidup. Selain itu mereka berharap kehidupan
dan kematian mereka bermakna dan bernilai sesuai dengan ajaran – ajaran
Islam. Sebab itu, menurut Sartono Kartodirjo, Gerakan social dan budaya
kaum petani Banten ini merupakan pemberontakan tradisional dan
regional. (Fallis, A.GNursalam2016, 2013) Jalannya Pemberontakan
Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari. Sekitar 100 orang pemberontak
bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja, menyerang rumah Henri
Francois Dumas, juru tulis di kantor asisten residen. Dumas melarikan diri
dan bersembunyi di rumah tetangganya, seorang jaksa. Istri Dumas terluka
dengan dua anak pertamanya berlindung di rumah ajun kolektor. Minah,
pembantu Dumas berusaha melindungi anak bungsu majikannya. Para
pemberontak yang berjumlah ratusan berkumpul di markas di Pasar
Jombang Wetan. Haji Wasid, pemimpin utama pemberotak, membagi para
pemberontak menjadi tiga pasukan. Pasukan pertama dipimpin Lurah
Jasim, seorang jaro Kajuruan, pasukan kedua dipimpin Haji Abdulgani dan
Haji Usman, dan pasukan ketiga dipimpin Haji Tubagus Ismail dan Haji
Usman. Sasaran serangan: penjara untuk membebaskan tahanan,
kepatihan, dan rumah asisten residen di alun-alun Cilegon. Setelah
menduduki Cilegon, Haji Wasid memimpin para pemberontak menuju
Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para
pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu, bupati dan
kontrolir Serang serta Letnan van ser Star membawa sepasukan tentara
bersenjatkan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di
Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan
menewaskan sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak
terkejut karena untuk kali pertama melihat senapan jenis baru, bukan
senapan jenis achterlader yang digunakan untuk menumpas
pemberontakan Haji Wakhia pada 1850. Moril kaum pemberontak
terpatahkan; pasukan induk bercerai-berai, pemberontakan pun mulai
surut. “Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai
titik balik dalam jalannya pemberontakan itu,” tulis Sartono. Tersiar sasus
ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh Banten dan Serang
dikepung oleh 5.000 pemberontak. Informasi yang samar-samar itu
membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan yang begitu kuat.
Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu
bersamaan, kavaleri juga dalam perjalanan menuju Serang. Tentara telah
menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpinnya belum juga
ditemukan. Pemerintah pun menjanjikan imbalan 1.000 gulden bagi siapa
saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak. Haji
Wasid dengan 27 orang (pemimpin dan pengikut) –kemudian menyusut
menjadi 21 orang– memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan
melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana ini, menurut Sartono,
didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh Haji Marjuki bahwa dia
akan kembali dengan Kiai Agung Abdul Karim dan haji-haji terkemuka
lainnya dari Mekah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan –apabila
mereka dapat melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, Haji
Madani, Haji Jahli, dan Agus Suradikaria, menolak ikuti ke Banten Selatan
dan memisahkan diri. Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi pemimpin
pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian,
Haji Madani, Haji Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, Haji Kasiman,
dan Haji Arbi, menemui ajalnya. Sementara itu, Haji Wasid dan pemimpin
serta pengikutnya long march ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888,
ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah Sumur. Para
pemberontak memberikan perlawanan meski akhirnya dilumpuhkan.
Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai
Haji Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua
mayat jatuh ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satu mayat
ditemukan. Sementara itu, Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad,
Yahya, dan Saliman, meloloskan diri. Bahkan, Haji Sapiudin, Haji
Kalipudin, dan Haji Abdulhalim, melarikan diri sampai ke Mekah.
“Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana
kiai-kiai Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji
Marjuki– terus dimata-matai oleh agen Belanda. Sesungguhnya pihak
berwajib menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama gerakan
pemberontakan,” tulis Sartono. Korban tewas oleh pemberontak: 17 orang.
Korban luka-luka oleh pemberontak: 7 orang. Pemberontak yang tewas: 30
orang, 11 di antaranya dihukum gantung. Pemberontak yang luka-luka: 13
orang. Pemberontak yang dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan:
Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema (Minahasa), Padang
Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Banda,
Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu, Pariaman,
Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).
Latar belakang pemberontakan didasarkan pada berbagai aspek.
Diantara aspek yang dimaksud adalah aspek sosial ekonomi, politik,
kebangkitan agama, keresahan sosial dan lain lain.
• Aspek sosial-ekonomis
Aspek sosial-ekonomi masyarakat Banten pada saat itu merupakan
bermata pencaharian pertanian. Dari sanalah muncul adanya patron and
clien antara pemilik tanah dan penggarap tanah. Dengan datangnya
pemerintaha kolonial Belanda, maka terjadi penguasaan atas tanah dan
penerapan sistem pajak berupa penghasilan. Pajak yang harus diberikan
merupakan seperlima penghasilan yang diserahkan. Maka memunculkan
pemberontakan antara rakyat dan pemerintahan.
• Politik
Perkembangan politik Banten pada saat itu merupakan mayoritas bersifat
ketradisionalan. Golongan tradisional yang hampir mendominasi masyarakat
banten. Sultanlah yang menjadi penguasa dan rakyat harus tunduk kepada
penguasanya. Ketika Belanda datang, kekuasaan sultan menjadi boneka-boneka
Belanda yang nantinya digunakan untuk memeras rakyat. Pamong praja di
bentuk oleh belanda. Dari sanalah terjadi ketegangan karena sistem baru itu
merugikan rakyat.
• Kebangkitan agama
Seperti halnya daerah lain, kebangkitan agama terjadi di Banten. Sebagai
respon terhadap westernisasi. Kebangkitan ini dipimpin oleh seorang haji yang
nantinya sekaligus memimpin pemberontakan yang karismatik.
• Keresahan sosial
Keresahan sosial yang terjadi di Banten memiliki peranan dalam terjadinya
pemberontakan. Faktor-faktor yang ikut menyebabkan terjadinya pergolakan
pergolakan dan keresahan sosial adalah kompleks dan beraneka ragam seperti
disintegrasi tatanan tradisional dan proses yang menyertainya, yakni semakin
memburuknya sistem politik, dan tumbuhnya kebencian religious terhadap
penguasa penguasa asing, sangat menonjol dalam banyak pemberontakan di
Banten. Ditambah lagi adanya pamong praja yang menghasut masyarakat
karena mereka kecewa terhadap pemerintahan kolonial.
3) Sejak awal tahun 1970, paradigma pembangunan pertanian di Indonesia
berubah drastis seiring perubahan paradigma pembangunan ekonomi
kapitalistis yang bertumpu pada modal besar. Dalam kerangka pembangunan
ekonomi saat itu, sektor pembangunan pertanian tidak lagi ditempatkan sebagai
fondasi ekonomi nasional, tetapi dijadikan buffer (penyangga) guna
menyukseskan industrialisasi yang dijadikan lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Sebagai penyangga, yang terpenting bagi pemerintahan Orde Baru (Orba)
adalah bagaimana mendongkrak produksi pangan dalam negeri tanpa harus
berbelit-belit, cepat, dan tidak berisiko secara politik. Pilihan ini sebagai
antitesis program land reform di masa Orde Lama (Orla) yang dijadikan
landasan utama dalam program Pembangunan Pertanian Semesta. Orba yang
sejak kelahirannya menganut ideologi ekonomi kapitalis cenderung
melaksanakan pembangunan pertanian melalui bypass approach (jalan pintas),
yaitu revolusi hijau tanpa reformasi agraria (pembaruan agraria). Ekspektasi
masyarakat terhadap sector pertanian sebagai penghela atau landasan
pemulihan perekonomian demikian besar, terutama sejak krisis melanda
Indonesia. Hal ini dikhawatirkan dapat menjadi kontra-produktif apabila
prinsip-prinsip dan strategi kebijakan pembangunan tidak diseminasi secara
efektif kepada masyarakat. Perubahan paradigma ini menciptakan missing link
dalam pelaksanaan pembangunan pertanian dari satu periode ke periode lain.
pertanian tidak lagi dipandang dalam aspek menyeluruh, tetapi direduksi
sebagai sekadar persoalan produksi, teknologi, dan harga. Oleh karena itu,
peningkatan peran sektor pertanian sebagai salah satu alternatif sumber
penghasilan bagi petani merupakan pilihan yang masih relevan dan sangat
mendesak untuk diperbaharui. Digaungkannya revolusi Hijau pada masa
pemerintahan orde baru misalnya menjadi bukti bahwa masalah pertanian erat
kaitannya dengan aspek ekonomi dan juga politik. Revolusi hijau yang
didewakan pemerintahan orde baru sarat dengan unsur kontrol dan dominasi.
Lewat revolusi hijau dan modernisasi pertanian telah menggusur segenap
bentuk pengetahuan petani yang dianggap tradisional ke cara-cara yang
modern. Cara-cara bertani beserta benih-benih digantikan secara paksa dengan
cara modern, dan bersamaan dengan itu pula telah menghancurkan formasi
sosial non kapitalistik. Tidak berhenti di situ saja, revolusi hijau ternyata juga
telah menggantikan tradisi gotong royong dengan kapitalisme dan
industrialisasi pertanian. Sehingga revolusi hijau telah menggusur segenap
bentuk proses budaya politik pedesaan berbasis nilai lokal kepada model
modernisasi politik modern yang mematikan sisi lokalitas (Fakih, 2004). Lewat
program revolusi hijau di dekade 1970-an selain mampu mencapai
pembangunan pertanian skala makro dengan peningkatan produktivitas sub-
sektor pertanian pangan, namun juga pada level mikro telah menimbulkan
masalah tersendiri. Melalui revolusi hijau Indonesia telah mampu mencapai
swasembada pangan, khususnya beras. Akan tetapi juga melalui program
revolusi hijau telah memunculkan kesenjangan antara daerah kawasan padi
pada dan non-padi di daerah pegunungan misalnya. Sekaligus lewat program
ini secara tidak langsung telah mematikan pengetahuan lokal yang cukup arif
dalam menjaga hubungan manusia dengan alam harus tergantungan dengan
logika efesiensi dan keberpihakan pada teknologi modern (Soetrisno, 2002).
Logika penerapan revolusi hijau juga diarahkan pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan petani. Namun dalam kenyataannya keberhasilan
lewat revolusi pertanian masih menjadi perdebatan pajang. Karena apa yang
dicita-citakan melalui revolusi hijau bermanfaat bagi pembangunan pertanian
malah menyisakan cukup banyak kesenjangan yang muncul dari terjadinya
polarisasi kesenjangan antara petani kaya dan miskin (Hijau & Berkelanjutan,
1930).
4) Tembakau adalah bagian dari sejarah pertumbuhan kota ini. Dalam hal ini,
George Birnie bolehlah dianggap sebagai Bapak Jember modern. Birnie
seorang warga negara Belanda keturunan Skotlandia. Sekitar tahun 1850,
Birnie membuka perkebunan tembakau di Jember, untuk dipasarkan hasilnya ke
eropa. Birnie mendatangkan pekerja dari Blitar dan Pulau Madura. Birnie
menikahi Rabina, seorang perempuan Jawa, dan mengirim anak-anak mereka
ke Belanda untuk belajar. Nama perusahaan perkebunan Birnie adalah
Lanbhouw Maaschappij Oud Djember. Selain perusahaan Birnie, ada tiga
perusahaan lain, yakni De Landbouw Maatscappij Soekowono milik Fransen
van de Putte; De Landbouw Maatscappij Jelbuk milik Du Ry van Best Holle
dan Geertsma; dan De Landbouw Maatscappij Soekokerto Ajong milik
keluarga Baud. Pekerja-pekerja perkebunan yang didatangkan dari beberapa
daerah di Jawa Timur, membuat Jember menjadi ramai. Tahun 1805, jumlah
penduduk Jember hanya lima ribu orang. Akhir abad 19 sudah mencapai sekitar
satu juta orang. Mobilisasi dilakukan oleh Besoekisch Imigratie Bureau (BIB).
Perkumpulan pengusaha ini memang menjadi penyedia tenaga kerja
perkebunan dan mengurusi kesejahteraan para pekerja itu. Rumah sakit bagi
pekerja perkebunan yang didirikan tahun 1911 di Krikilan adalah salah satu ide
BIB. Perusahaan perkebunan pula yang membangun infrastruktur transportasi
di Jember. Tahun 1880-1990, perusahaan LMOD membangun jalan
penghubung antara kantor pusatnya di Jember dengan wilayah perkebunan di di
Mayang, Wuluhan, Tanggul dan Puger. Tahun 1897, jalur kereta api Jember
Perkembangan masyarakat Jember dapat dilihat sejak tahun 1800. Untuk
mencermati bagaimana budaya pendalungan kemudian muncul sebagai
hibridisasi budaya Jawa dan Madura. Tahun 1800, Jember berdiri mandiri
dibawah kepimpinan lokal berstatus sebagai Regentschap atau kabupaten
termasuk Bondowoso berdasarkan surat J. Haseelaar tertanggal 22 Februari
1806. Etnis yang mendominasi Puger sejak kepemimpinan Blambangan adalah
suku Mandar, sebagai etnis paling lama yang melakukan perdagangan dan
komunikasi dengan etnis Oesing (out of casta) di Blambangan. Etnis Madura
yang datang berduyunduyun ke Blambangan saat kekuasaan Mengwi,
berkomunikasi dengan suku Jawa dan Mandar. Terutama di Puger, ketiga etnis
yakni etnis Jawa, Madura, dan Mandar telah mengadakan kontak budaya sejak
lama. Apalagi setelah Belanda mulai membuka usaha perkebunan di Java’s
Oosthoek sejak awal tahun 1800, pengusaha asing datang untuk melakukan
investasi diantaranya ada George Birnie di tahun 1852 dengan usaha
perkebunannya bernama Landbouw Maatschappij Oud Djember (LMOD).
Usaha perkebunan membutuhkan banyak tenaga kerja sehingga Belanda
mempekerjakan suku-suku Jawa dan Madura yang ada di selatan Regentschapt
Puger dan wilayah utara daerah Jember. Cerita mengenai Jember, akan selalu
teringat dengan simbol ‘Geogrge Birnie’ sebagai power of market, dan
tembakau sebagai simbol perdagangan. Pendalungan pun adalah bagian dari
cerita George Birnie sebagai atasan dari para suku Jawa dan Madura yang
bekerja dibawah kontrolnya. Berdasarkan laporan J. Van Ball menyatakan
bahwa orang-orang Eropa yang bekerja di Jember ratarata merasa nyaman
dengan udara Jember yang sejuk, masih berupa hutan. Mr. H. J. Hartevelt,
seorang kontrolir perkebunan setiap bulan pada jam 23.00-24.00 selalu
mengecek laporan statistik para pekerjanya. Hal ini dikarenakan sudah hampir
beberapa bulan tepatnya setelah perkebunan dibuka tahun 1852, banyak sekali
terjadi pencurian. Istri dari H.J. Hartevelt banyak melakukan kegiatan sosial
untuk anakanak gereja Protestan di Jember. Istrinya adalah bagian dari keluarga
besar “The Birnies”. Penguasaan The Birnies membagi keluarga-keluarga
Belanda yang tinggal di Jember dalam maas atau dokter, dan vermeulen atau
notaris. Jules Birnie adalah keturunan termuda dari The Birnies yang bekerja
sebagai administrator utama perusahaan tembakau di Sukowono. Kantor
administrasi George David Birnie mengelola peusahaan kopi dan karet
diantaranya: de tabaksmaatschappij Oud Djember dan Panarukan Maatschappij.
Penanaman tembakau dilakukan oleh penduduk di sawahnya sendiri, di mana
perusahaan menyediakan bahan tanaman (bibit) dan mengawasi perawatan
tanaman. Untuk memastikan kerjasama para pemilik tanah, sawah yang akan
ditanam sedang disewa oleh perusahaan untuk jangka waktu satu atau delapan
bulan. Untuk pemilik, juga pemilik sawah, ada kewajiban untuk mengirim daun
tembakau yang dipanen dengan harga yang disepakati ke lumbung kering
terdekat perusahaan. Di sana, daun digantung dan dikeringkan di atas api kecil
untuk dipindahkan ke gudang penyisihan, di mana produk itu pertama kali
difermentasi dan kemudian dibawa ke bal. Selama petani pribumi tetap
mematuhi perjanjian dan mengirim tembakau ke lumbung Birnie yang kering,
semuanya berjalan lancar. Tapi jauh lebih murah bagi petani untuk menjual
tembakau ke gudang pengeringan. Sejarah Jember di tahun 1916-1917 dipenuhi
oleh perebutan produk-produk perkebunan yang akan dipasarkan. Akibat dari
Perang Dunia I, ekspor karet tidak diperbolehkan oleh Eropa, namun tembakau
tetap dapat diekspor. Pesaing terberat dari The Birnies yang juga merupakan
pemegang saham terbesar di Eropa adalah Van Leeuwen Boomkamp. Pada
perjalanannya, perkebunan Jember membutuhkan banyak pekerja untuk
memenuhi kebutuhan kolonial. Tak jarang pula terjadi kerusuhan saat proses
pengeringan dan pengiriman tembakau. Kerusuhan ini disebabkan oleh
persaingan antar perusahaan di Jember yang menghabiskan korban pribumi
sebanyak hampir seratus jiwa setiap proses pengiriman tembakau. Namun di
sisi lain, para istri dari para The Birnies berperan sebagai guru bagi anak-anak
di Jember sampai pada tahun 1946. Pendidikan yang terjadi merupakan wujud
dari komunikasi budaya yang terbentuk antara kaum nederlander dengan
inlander. Laporan notaris Van Baal28 tertulis bahwa terdapat tradisi aduan
benteng tahunan di alun-alun Kota Jember (de Aloon-Aloon), yang disponsori
oleh orang-orang Madura dan orang-orang Jawa pekerja perkebunan di Jember.
(W, 2018). Cerita mengenai Jember, akan selalu teringat dengan simbol
‘Geogrge Birnie’ sebagai power of market, dan tembakau sebagai simbol
perdagangan. Pendalungan pun adalah bagian dari cerita George Birnie sebagai
atasan dari para suku Jawa dan Madura yang bekerja dibawah kontrolnya.
Berdasarkan laporan J. Van Ball menyatakan bahwa orang-orang Eropa yang
bekerja di Jember ratarata merasa nyaman dengan udara Jember yang sejuk,
masih berupa hutan. Mr. H. J. Hartevelt, seorang kontrolir perkebunan setiap
bulan pada jam 23.00-24.00 selalu mengecek laporan statistic para pekerjanya.
Hal ini dikarenakan sudah hamper beberapa bulan tepatnya setelah perkebunan
dibuka tahun 1852, banyak sekali terjadi pencurian. Istri dari H.J. Hartevelt
banyak melakukan kegiatan sosial untuk anak-anak gereja Protestan di Jember.
Istrinya adalah bagian dari keluarga besar “The Birnies”. Penguasaan The
Birnies membagi keluarga-keluarga Belanda yang tinggal di Jember dalam
maas atau dokter, dan vermeulen atau notaris. Jules Birnie adalah keturunan
termuda dari The Birnies yang bekerja sebagai administrator utama perusahaan
tembakau di Sukowono. Kantor administrasi George David Birnie mengelola
peusahaan kopi dan karet diantaranya: de tabaksmaatschappij Oud Djember dan
Panarukan Maatschappij. Penanaman tembakau dilakukan oleh penduduk di
sawahnya sendiri, di mana perusahaan menyediakan bahan tanaman (bibit) dan
mengawasi perawatan tanaman. Untuk memastikan kerjasama para pemilik
tanah, sawah yang akan ditanam sedang disewa oleh perusahaan untuk jangka
waktu satu atau delapan bulan. Untuk pemilik, juga pemilik sawah, ada
kewajiban untuk mengiri daun tembakau yang dipanen dengan harga yang
disepakati ke lumbung kering terdekat perusahaan. Di sana, daun digantung dan
dikeringkan di atas api kecil untuk dipindahkan ke gudang penyisihan di mana
produk itu pertama kali difermentasi dan kemudian dibawa ke bal. Selama
petani pribumi tetap mematuhi perjanjian dan mengirim tembakau ke lumbung
Birnie yang kering, semuanya berjalan lancar. Tapi jauh lebih murah bagi
petani untuk menjual tembakau ke gudang pengeringan. Sejarah Jember di
tahun 1916-1917 dipenuhi oleh perebutan produk-produk perkebunan yang
akan dipasarkan. Akibat dari Perang Dunia I, ekspor karet tidak diperbolehkan
oleh Eropa, namun tembakau tetap dapat diekspor. Pesaing terberat dari The
Birnies yang juga merupakan pemegang saham terbesar di Eropa adalah Van
Leeuwen Boomkamp. Pada perjalanannya, perkebunan Jember membutuhkan
banyak pekerja untuk memenuhi kebutuhan kolonial. Tak jarang pula terjadi
kerusuhan saat proses pengeringan dan pengiriman tembakau. Kerusuhan ini
disebabkan oleh persaingan antar perusahaan di Jember yang menghabiskan
korban pribumi sebanyak hamper seratus jiwa setiap proses pengiriman
tembakau. Namun di sisi lain, para istri dari para The Birnies berperan sebagai
guru bagi anak-anak di Jember sampai pada tahun 1946. Pendidikan yang
terjadi merupakan wujud dari komunikasi budaya yang terbentuk antara kaum
nederlander dengan inlander. Laporan notaris Van Baal 28 tertulis bahwa
terdapat tradisi aduan benteng tahunan di alun-alun Kota Jember (de Aloon-
Aloon), yang disponsori oleh orang-orang Madura dan orang-orang Jawa
pekerja perkebunan diJember.
5) Grebeg Besar : Grebeg Besar merupakan sebuah kesenian hasil akulturasi
budaya Jawa Islam dengan budaya Arab. Grebeg Besar adalah kumpulan
masyarakat Islam pada bulan Besar, yang dilaksanakan setahun sekali untuk
kepentingan dakwah Islamiyah di masjid agung Demak. Adapun prosesnya
meliputi ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga. Tumpeng
Sanga dilaksanakan pada malam menjelang tanggal 10 Dzulhijah. Pada saat
yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa yaitu selamatan
Ancakan. Selamatan Ancakan dilaksanakan di Pendapa Natabratan yang
terletak di sebelah timur Kasepuhan Kadilangu sekitar 500 meter. Ancakan
adalah tempat nasi dan lauk pauk yang terbuat dari anyaman bambu. Nasi dan
lauk pauk sebelum diletakkan diatas Ancak, dilapisi dahulu dengan daun jati.
Tumpeng Ancakan terdiri dari nasi, lauk pauk, kluban. Pada pagi hari sekitar
pukul 05.30 tepatnya tanggal 10 Dzulhijah, masyarakat melaksanakan Sholat
Idhul Adha di Masjid Agung Demak. Para jamaah berdatangan untuk
melaksanakan sholat. Pada pukul 09.00 WIB di pendapa Kabupaten diadakan
acara iring-iringan ubarampe minyak jamas. Uborampe artinya perlengkapan.
Uborampe minyak jamas digunakan untuk mensucikan pusaka peninggalan
Kanjeng Sunan Kalijaga yang berupa Kotang Ontokusumo, keris pusaka Kyai
Sirikan dan keris pusaka Kyai Carubuk. Acara penjamasan Pusaka peninggalan
Sunan kalijaga menjadi inti dari ritual Grebeg Besar. Nama lain Sunan Kalijaga
adalah Kaki waloko. Kaki/Aki adalah sebutan bagi orang yang tua. ritual
Grebeg Besar di Demak bagi masyarakat sekarang ini berfungsi sebagai Sarana
Upacara Adat, Hiburan, Komunikasi, Integrasi Kemasyarakatan, Menjaga
Keharmonisan Norma-Norma, Objek Wisata. Nilai-nilai yang terkandung
dalam Grebeg Besar antara lain: Religi/ibadah, Kegotong-royongan,
Kerukunan, Solidaritas, Cinta Tanah Air, Kepemimpinan, Tanggung Jawab,
Etika, Estetika, Ekonomi.
Ngelungsur : Ritual nglungsur, sebagai penutup serangkaian pertunjukan ritual
adat Seblang. Kemudian pada pagi harinya diadakan acara ritual nglungsur.
Nglungsur, adalah ritual melepas roh dari para pelaku ritual adat Seblang di
desa Olehsari. Berikut ini adalah cuplikan potongan kata-kata Bapak Akwan
Pawang Seblang sedang memimpin ritual Lungsur dengan memberikan
sambutan bernapaskan doa dan diamini oleh masyarakat adat yakni: “...Acara
Seblang sampun mantun mboten wonten alangan menopo-nopo. Sumbangane
dulur-dulur sewu rongewu kulo suwun kanti iklas mugo-mugo ono manfaate,
paringono seger waras kabeh panjang umur. Maksute nglungsur iki, supyo roh
alus muleho neng panggonane, ojo nempel neng gandrung Seblang, lan
masyarakat adat. Serto tenteremo kampunge, desane Olehsari, pemerintahe.”
Terjemahannya: Acara Seblang sudah selesai tidak ada halangan apa-apa.
Bantuan sudara-sudara seribu, dua ribu saya minta dengan ikhlas mudah-
mudahan ada manfaatnya, berilah segar sehat semua panjang umur. Maksudnya
nglungsur ini, supaya roh alus pulang ketempatnya, jangan ikut pada gandrung
Seblang, dan masyarakat adat. Serta tenteramlah kampungnya, desannya
Olehsari, pemerintahnya. Ritual adat Seblang, merupakan salah satu ritual yang
berbasis budaya rural agraris. Hal tersebut dapat dilihat pada sisi asesoris,
sesaji, rangkaian kegiatan dan tembang yang dilantunkan cenderung tetap
mengikuti ketentuan tradisi masyarakat pendukungnya (Anoegrajekti. Dkk.,
2018: 56). Walau pun masyarakat Using beragama Islam tetapi selalu
melaksanakan tradisi leluhurnya. Berkaitan dengan kondisi tersebut,
dikemukakan oleh Kholil (2011:74) bahwa terjadi dualitas ekspresi dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Olehsari. Satu sisi mereka mengakui
kebenaran yang tersimpul dari ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya
sebagaimana yang diperintahkan. Pada sisi lain mereka mempercayai pada
tradisi warisan budaya Hindu-Budha. Kedua sikap yang berlawanan itu muncul
dalam praktek keberagamaan dan upacara Seblang. Kepercayaan kepada roh-
roh dan tenaga-tenaga yang gaib meresapi keseluruh kehidupan, baik kehidupan
manusia secara individu maupun kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Pikiran dan perbuatan tertuju bagaimana mendapatkan bantuan dari roh-roh
yang baik dan bagaimana menjauhkan roh-roh yang mengganggu atau
menghalangi atau kalau tenaga yang gaib itu dianggap tidak berpribadi,
bagaimana memperkuat diri dengan tenaga-tenaga yang gaib itu atau
bagaimana menguasainya untuk dapat memaknainya buat kepentingan diri atau
masyarakat. Untuk mencapai maksud itu ada macam-macam ritus, mantera.
Larangan dan suruhan yang memenuhi kehidupan masyarakat (Ranjabar,
2013:84).
DAFTAR PUSTAKA
Aryni,A.2018. nama diri pendalungan jember dalam kebermakmuran sosial
budaya.jurnal janta.vol.13, No 1.
Baha’uddin. (2006). Dari Mantri hingga Dokter Jawa: Studi Kebijakan Pemerintah
Hindia Belanda dalam Menangani Wabah Cacar di Jawa Abad XIX – XX.
[Online]. Jurnal Humanior Volume 18,286-296.
Cipta,S.E.2020. upaya penanganan pemerintah hindia belanda dalam menghadapi
berbagai wabah penyakit dijawa 1911-1943.jurnal ilmiah widya sosiopolitik
E-ISSN 2685-457.
Mahmuddin. 2013. paradigma pembangunan pertanuan pertanian berkelanjutan
berbasis petani dalam perspektif sosiologis. jurnal sosiologi universitas syiah
kuala, Vol 3, no 3.
Setyarini. 2011. Ritual Grebeg Besar di Demak Kajian Makna, Fungsi, dan Nilai.
Jurnal PP. Vol. 1/No. 2. Hlm. 166-172.
Wahid,M.2010. Membaca kembali pemberontakan petani banten 1888 dalam
strukturasi dinddens. jurnal dedikasi vol 1 no 2.

Anda mungkin juga menyukai