Anda di halaman 1dari 6

Review Filsafat Etika I

MANUSIA DIPERLENGKAPI DENGAN AFEKTIVITAS


(BAB V)

Nama: Ardi Riau Palas Roha Manalu


NPM : 2106747174
Prodi : Ilmu Kesejahteraan Sosial
Kelas : B
1. Kekayaan dan Kompleksitas Afektivitas Manusia
Afektivitas yang membedakan manusia dengan mahluk hidup lainnya. Karena kita sebagai
manusia diperlengkapi afektivitas, maka ada hal yang menarik perhatian kita. Karena
afektivitaslah manusia "ber-eksis-tensi", artinya setiap manusia keluar dari dirinya sendiri dan
mengembangkan eksistensi atau kehidupannya. Dengan bertanya bagaimana disposisi afektif
dasariah pada seseorang (subjek) terhadap objeknya, dapat diketahui bahwa afektivitas bersandar
pada dua disposisi dasariah yang saing bertentangan. Sesuatu yang sekiranya baik akan dicintai
dan sebaliknya, yang buruk akan dihindari/ dibenci. Artinya, perbuatan afektif dan semua disposisi
afektif dapat diartikan dengan cinta dan benci. Cinta dan pengaruhnya dapat disebut afektivitas
positif, sedangkan benci dan pengaruhnya dapat disebut afektivitas negatif. Tetapi cinta
merupakan hal yang paling dasariah dan terdapat pada asal mula kehidupan afektif, paling tidak
cinta pada diri sendiri (self-love).
Jika dilihat melalui sudut pandang kedua, kita bertanya “sikap-sikap apa saja yang diambil
oleh afektivitas berdasarkan maksud yang menjiwai subjek dalam hubungannya dengan objek atau
berdasarkan kecenderungan yang menjiwai subjekterhadap objeknya?” Ternyata subjek cenderung
menolak dan melarikan diri dari suatu objek yang dianggap tidak baik. Sedangkan, terhadap objek
yang dianggap baik terdapat dua respon berlawanan yang muncul. Pertama, subjek memandang
objeknya seperti sebuah sarana/alat yang dapat memberikan keuntungan/kegembiraan/manfaat
bagi subjek (dirinya sendiri) atau orang lain, dalam hal ini afektivitas disebut cinta utilitaris atau
cinta yang bermanfaat (cinta yang mengindahkan kepentingan diri sendiri). Kedua, subjek
memandang objeknya seperti sebuah nilai yang pantas dibantu, dilindungi, dipertahankan, dan
seperti terhadap sesuatu yang menuntut pelayanan atau dedikasi, dalam hal ini cinta dinamakan
sebagai cinta kebaikan hati, cinta tanpa pamrih, cinta yang bersedia berkorban.
Melalui sudut pandang ketiga, kita bertanya “bagaimana sikap subjek dapat ditentukan
secara efektif oleh objeknya”. Dengan ini, kita dapat membedakan antara perasaan dengan emosi.
Perasaan adalah suatu disposisi afektif yang stabil dan tidak mengganggu keseimbangan psikologis
subjek. Sedangkan, emosi adalah suatukegiatan afektif yang kuat dan disertai dengan gangguan
organik serta dapat mengubah perilaku subjek secara drastis (bahkan dramatis). Emosi dapat
menjadi sumber kekuatan, ketegasan, keberanian, inisiatif, dan kreativitas apabila manusia mampu
mengendalikannya. Namun, apabila manusia tidak dapat mengendalikannya, emosi dapat
menyesatkan, melumpuhkan, menjadikannya gila, dan mendorongnya pada tingkat laku tidak
masuk akal.
Melalui sudut pandang keempat, afektif diperlihatkan “menurut bagaimana subjek
menguasai objek”. Jika objek yang dicintai dapat diraih, maka subjek dapat merasakan kesenangan
dan harapan. Sebaliknya, jika objek yang dicintai tidak dapat diraih, maka subjek akan merasakan
kesedihan, penyesalan, bahkan keputus-asaan. Jika objek yang dianggap sebagai sesuatu buruk,
maka subjek dapat memiliki perasaan terhadap objek tersebut berdasarkan seberapa berbahayanya
objek itu.
Melalui sudut pandang kelima, kita meninjau ciri khas kehidupan afektif yang disebut
“suasana hati”. Suasana hati merupakan sifat afektif yang dialami setiap orang terhadap dirinya
sendiri. Orang yang sedang memiliki suasana hati yang baik adalah orang yang keadaan
jasmaniahnya baik dan kemampuannya untuk bekerja juga baik sehingga ia mampu bertindak
secara efisien sesuai dengan maksud dan harapannya. Sebaliknya, orang yang sedang memiliki
suasana hati yang buruk adalah orang yang keadaan biologis/psikologisnya kurang baik, ia merasa
tidak berdaya. Setiap manusia memiliki suasana hati dasariah (unsur dari kepribadian yang
menentukan setiap manusia itu berbeda) dan suasana hati sepintas (ketika suasana hati baik/buruk).

2. Apa yang Bukan Merupakan Perbuatan Afektif


Sering kali manusia mengalami kekacauan karena mendefinisikan perbuatan afektif yang
sama saja dengan perbuatan pengetahuan dari diri sendiri. Bahwasannya pengetahuan dan
afektivitas saling menentukan. Sebagai contoh, kita menganggap bahwa salah satu
mengekspresikan cinta adalah dengan gerakan gerakan atau tindakan-tindakan, dan perkataan yang
terus diucap dan diulangi. Tetapi, kebanyakan orang sampai lupa bahwa cinta mendahului
perbuatan-perbuatan, dan terdapat didalam subjek. Karena, meskipun cinta pada umumnya
cenderung kepada kesatuan afektif, namun secara primordinal dan esensial, dia adalah kesatuan
afektif, yaitu terdiri dari: kecenderungan, gerakan hati, proporsi, afinitas, konaturalitas,
persesuaian, kecocokan, dan kerelaan. Jika tidak didasari dengan sepenuh hati dengan cinta yang
ikhlas, maka artinya sama saja dengan cinta yang palsu dan tidak memiliki makna apapun.
Istilah affect juga mengandung arti : semua keadaan afektif, menyusahkan atau
menyenangkan, samar atau jelas sifatnya, terserah keadaan itu memperlihatkan diri dalam bentuk
suatu pelepasan rasa/pembongkaran jiwa total (secara besa-besaran) atau sebagai corak nada
umum. Dalam L’essence de la manifestation dijelaskan bahwa afektivitas adalah satu dari unsur
unsur pokok dasariah cara kita berada di dunia, dan satu dari dimensi-dimensi esensial roh kita.

3. Apa yang merupakan perbuatan afektif


Arti dari hidup afektif dimengerti sebagai keseluruhan dari perbuatan afektif yang dialami
oleh subjek dan juga dinamisme perbuatan-perbuatan tersebut. Perbuatan afektif harus dimengerti
sebagai segala pergerakan atau kegiatan batin yang karenanya subjek ditarik atau ditolak. Arti kata
afeksi adalah jauh lebih terbatas dari arti perbuatan afektif.
Perbuatan afektif kurang lebih mirip dengan perbuatan mengenal, bisa juga dianggap
sebagai suatu perbuatan vital, atau suatu penentuan yang subjek berikan kepada diri sendiri yang
mana subjek adalah pangkal pokok dan sekaligus menerimanya. Bisa juga disebut dengan asrti
perbuatan intensional, yaitu membuat subjek terbuka kepada yang lain daripada dia sendiri,
membuat subjek yang dihubungkan dengan objek, dan juga membuat beradanya di dunia.
Namun di lain pihak perbuatan afektif sungguh berbeda dari perbuatan mengenal. Pertama,
perbuatan afektif itu lebih pasif daripada perbuatan mengenal. Dalam mengenal, subjek memang
mengalami pengaruh dari objek sehingga ia membuka diri terhadap objek, sedangkan dalam
perbuatan afektif, subjek dikenai pengaruh oleh objek secara merasa tertarik atau ditolak olehnya.
Jadi, dalam perbuatan afektif subjek lebih dipengaruhi oleh objek. Akibatnya dalam perbuatan itu
subjek lebih dikenal oleh pihak objek. Kedua, perbuatan afektif dapat disifatkan, sejauh subjek
lebih banyak dikenai oleh objek, sebagai lebih ekstatis daripada perbuatan mengenal.
Meskipun lebih bersifat pasif akan tetapi perbuatan afektif itu juga paradoksal, yaitu bisa
juga lebih dinamis. Karena lebih dinamis dan lebih efektif dari perbuatan mengenal, maka
perbuatan afektif juga lebih bersifat realistis yang mana bahwa karena perbuatan itu, subjek lebih
dihubungkan dengan apa yang khusus dan nyata dalam objek, subjek cenderung ntuk mendekati
ataupun menghidari objek. Sedangkan, pengetahuan mungkin leih membayangkan secara kurang
lebih abstrak, kodrat, atau bentuk dari objeknya. Afektivitas itu mengarah langsung kepada apa
yang nyata pada objek.
Perbuatan afektif juga lebih bersikap partisipasi dan kesatuan daripada perbuatan
mengenal. Perbedaan ini menjadi nyata dalam hal cinta. Sebab, cinta keserakahan atau cinta
keuntungan pertama-tama cenderung kepada memakai objeknya, cari untung dari itu atau juga
nikmat. Namun, cinta kerelaan itu berbeda, karena cinta itu adalah persesuaian dari subjek dengan
objek. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa perbuatan afektif berbeda dengan perbuatan mengenal
sejauh yang pertama mengarahkan kita lebih kepada dunia dan membuat kita berada secara lebih
langsung dan lebih intensif bersama dengan hal-hal, jadi sejauh bersifat lebih eksistensial.

4. Apa yang menjadi syarat afektivitas manusia


Salah satu syarat adanya afektivitas adalah adanya suatu daya tarik-menarik atau suatu
ikatan kesamaan atau gabungan tertentu di antara subjek dan objek dari perbuatan. Selain itu,
supaya ada perbuatan afektif tidak cukup bahwa yang dapat diinginkan (atau sebaliknya) memang
ada, tetapi juga masih perlu bahwa makhluk-makhluk yang tertentu dibuat sedemekian tupa
sehingga mereka menginginkan atau mengalami keseganan, diperlengkapi atau dianugerahi
dengan kecenderungan, selera, dorongan hati, dinamisme untuk menerima atau menolak, naluri
membela diri dan rasa simpati, pendeknya itu dengan kemampuan-kemampuan afektif.
Supaya ada perbuatan afektif tidak cukuplah bahwa suatu subek yang mampu untuk
menginginkan, secara fisik, berkoeksistensi dengan apa yang bagi dia adalah sesuatu yang dapat
diinginkan. Supaya seseorang dapat mengalami daya tarik atau aspek yang diinginkan dari
objeknya, ia harus mengenal hal itu. Setelah menyadari betul-betul eksistensi dan kodrat dari suatu
objek, orang dapat mengalami objek itu sebagai sesuatu yang positif ataupun negatif. Maka dari
itu, mengenal merupakan syarat dari perbuatan afektif.
Dari semua cara mengenal, pengetahuan imajinatif secara khusu bisa menghasut,
menguatkan, mengembangkan, dan menstimulir terus menerus kecenderungan ataupun keinginan.
Imajinasi mampu untuk membayangkan hal-hal dengan langsung menggayakannya, menjiwainya
dll dari hal-hal itu sambil mengistimewakannya. Dari situ, bayangan memang mempunyai gaya,
saran, kecakapan untuk menimbulkan perhatian, dll. Namun, bayangan juga bisa menyebabkan
afektivitas, maka afektivitas itu pada gilirannya menyuburkan imajinasi. Lamunan-lamunan
tertentu mengorbankan keinginan, juga keinginan-keinginan yang tertentu menghayari lamunan.
Jadi ada dorongan bolak-balik dari imajinasi dan afektivitas. Namun, untuk terjadi bahwa satu hal
dengan kuat diinginkan atau ditakuti, tidak cukup bahwa hal itu dikenal atau malah dibayagkan
sebagai baik atau buruk; pentinglah bahwa itu diperkenalkan dan dialami sebagai cocok dengan
kemampuan atau kesanggupan dari subjek. Menggunakan acuan dari Maslow, buku
menyimpulkan bahwa terjadinya .perbuatan afektif tidak cukup bahwa subjek itu mengenal apa
yang menarik bagi dia atau menyegankannya, tetapi bahwa selain dari itu dia juga secara
fundamental dan langsung siap sedia untuk mengalaminya segaia sesautu yang diinginkan atau
ditolak. Berkat Freud dan orang-orang yang melanjutkan studinya, kita tahu bahwa pengalaman-
pengalaman afektif pada masa anak-anak sangat menentukan untuk keseimbangan kepribadian
dewasa.

5. Kesenangan Harus Dicurigai?


Kesenangan merupakan cara afektif yang paling sesuai dengan kodrat alam kita.
Kesenangan adalah perasaan yang dialami oleh suatu subjek kalau dia didalangi oleh suatu “berada
lebih intensif” atau “berada lebih baik”, padahal kedua perasaan ini berasal sendiri dari “bertindak
dengan baik” atau “mengalami dengan baik”. Kesenangan maupun yang bersifat sensibel atau
spiritual, hal itu tidak lain daripada “pemantulan subjektif dari pengintegrasian yang dialami si
subjek”.
Lawan dari kesenangan adalah penderitaan, yaitu cara afektif yang timbul dalam diri oleh
karena salah satu dari kecenderungan-kecenderungan yang dilawan, dirintangi, dipatahkan,
digagalkan, entah karena objek kecenderungan itu luput atau diambil dll. Untuk dapat
membedakan penderitaan dan sengsara yang diketahui bahwa penderitaan juga mengandung arti
penolakan dan pernyataan bahwa subjek menantang suatu pengecilan atau pengurangan dari
kepribadiannya, sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkan pengecilan itu sendiri.
Istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terpenuhi atau tidaknya
suatu kebutuhan biologis, tetapi juga tentang terkabul atau tidak terkabulnya suatu kecenderungan
jenis rohaniah. Kita juga perlu memakai istilah kegembiraan untuk menunjukkan suatu kesenangan
di mana roh ambil bagian yang besar (kegembiraan mengenal atau mengerti), namun hal itu belum
cukup, masih harus ditambah kesenangan hanya ada hubungan dengan kepuasan sementara dari
satu kecenderungan saja, sedangkan kegembiraan itu dapat dikenal pada sifat terpenuhinya.

6. Catatan tentang Cinta Akan Diri Sendiri, Akan Sesama Manusia, dan Akan Tuhan
Beberapa orang mengira bahwa mencintai orang lain adalah sebuah keutamaan, sedangkan
mencintai diri sendiri adalah sebuah kesalahan karena cinta akan diri sendiri adalah sikap egois.
Semakin mencintai diri sendiri, maka semakin tidak mencintai orang lain, karena cinta akan diri
sendiri merupakan idealism. Logika tersebut, bahwa cinta akan sesama dan cinta akan diri sendiri
tidak bisa disatukan, ditentang dalam buku ini. Jika mencintai sesama (karena sesama makhluk
manusiawi) merupakan suatu kebajikan, maka mencintai diri sendiri (yang notabenenya juga
manusia) tentu juga merupakan bentuk kebajikan.
Jika cinta itu asli, cinta menyatakan diri sebagai manifestasi produktivitas dan juga memuat
perhatian sampai pada kecemasan, rasa hormat, tanggung jawab, dan pengetahuan akan orang lain.
Jadi, cinta adalah suatu dinamisme aktif yang berakar dalam kesanggupan kita untuk memberikan
cinta dan menghendaki kebahagiaan dari orang yang dicintai. Kita berhak mengatakan bahwa diri
sendiri harus menjadi objek dari cinta kita dengan alasan yang sama untuk mencintai siapa pun.
Penguatan dari kehidupan kita berakar pada kemampuan kita untuk mencintai. Mencintai sesama
itu juga berarti mencintai Tuhan dan hanya ada satu perintah cinta yang sekaligus meliputi cinta
akan sesama dan cinta akan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai