Anda di halaman 1dari 2

Abstrak Industrialisasi telah mengubah cara pandang dan moralitas manusia.

Pada saat yang sama,


kebijakan pemerintah telah mendorong mahasiswa untuk menjadi inovator. Studi ini berpendapat
bahwa kebijakan tersebut telah menyebabkan demoralisasi di kalangan pelajar Indonesia di era
Revolusi 4.0. Ini menerapkan pendekatan kualitatif deskriptif, menggunakan observasi, wawancara,
dan tinjauan kebijakan formal dan informal yang tersedia secara online. Secara objektif
menggambarkan bagaimana universitas telah berubah dalam menanggapi kebijakan pemerintah.
Seperti yang ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya, proses pendidikan tinggi telah mengabaikan
moralitas karena mereka telah melakukan industrialisasi dan mengupayakan inovasi. Lembaga
pendidikan tidak mampu bertindak secara otonom, dibatasi oleh kepentingan negara. Pada saat
yang sama, mereka gagal secara dinamis mengartikulasikan makna Industri 4.0, yang hanya berfokus
pada produk dan tempat kerja. Kritik dan refleksi diperlukan untuk mengilhami siswa dengan
kesopanan dan integritas. Respon konstruktif tersebut diperlukan untuk meredam proses
demoralisasi yang terjadi di era Industri 4.0. Kata kunci: demoralisasi revolusi industriindustrialisasi
pendidikansiswa Indonesia Artikel sebelumnya Lihat daftar isi edisi Artikel berikutnya 1. Perkenalan
Industri 4.0 telah menyebabkan demoralisasi di masyarakat umum, dengan terkikisnya ikatan sosial
karena individu menjadi kurang peduli satu sama lain. Di bidang akademik, termasuk di perguruan
tinggi, juga terjadi perubahan yang signifikan. Perguruan tinggi lebih berorientasi pada tempat kerja
daripada akademisi (Muhson et al., 2012) karena kebijakan pemerintah telah bereaksi terhadap
perubahan yang dilakukan oleh Industri 4.0 (Ghufron, 2018; Rohman & Ningsih, 2018; Soesatyo,
2018). Industri 4.0 mengacu pada situasi di mana produk diproduksi secara cepat dengan penekanan
pada kualitas dan kuantitas (Shawer, 2017). Dalam situasi ini, lembaga pendidikan diposisikan
sebagai “pabrik” yang menghasilkan lulusan yang siap kerja industri. Menurut data Tenaga Kerja di
Indonesia Badan Pusat Statistik, pada Februari 2019 jumlah angkatan kerja Indonesia sebanyak
136,18 juta orang, tumbuh 5,17 juta (3,95 persen) sejak Agustus 2018 (tenaga kerja: 131,01 juta) dan
2,24 juta (1,67 persen) sejak Februari 2018 ( tenaga kerja: 133,94 juta). Namun, tenaga kerja lebih
dari sekadar kuantitatif; itu juga membutuhkan kualitas moral dan kapasitas untuk menghadapi
revolusi industri saat ini. Demoralisasi di era Industri 4.0 kurang mendapat perhatian dari para
peneliti pendidikan. Studi yang ada dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, kajian yang
mengkaji reorientasi pendidikan tinggi sebagai akibat dari revolusi industri saat ini. Studi semacam
itu menemukan bahwa universitas lebih menekankan pencapaian kognitif siswa daripada
perkembangan afektif mereka (Hennissen et al., 2017; Sutiyono, 2015; Sutyitno, 2012). Ini telah
diidentifikasi sebagai model partisipatif konseptual (Sutiyono, 2015). Kedua, studi yang
memposisikan Industri 4.0 sebagai peluang untuk mencegah demoralisasi (Ecclestone, 2004;
Heryanto, 2016)—dipahami memiliki komponen kesehatan psikologis dan mental (Briggs & Macleod,
2006; Hillman, 2016; Liao et al., 2018) . Ketiga, studi yang menyoroti kinerja lembaga pendidikan
yang kurang optimal, di mana kurikulum hanya memperkenalkan karakteristik khusus kepada siswa
(Baygin et al., 2016; Lele, 2019; Mrugalska & Wyrwicka, 2017; Roblek et al., 2016; World Economic
Forum, 2016; Xu dkk., 2018). Studi semacam itu telah gagal mempertimbangkan konsekuensi
Industri 4.0 pada pendidikan dan demoralisasi siswa. Artikel ini berupaya mengisi celah tersebut
dengan memaparkan demoralisasi mahasiswa Indonesia di era Industri 4.0. Ia melakukannya dengan
menjawab tiga pertanyaan. Pertama, bagaimana institusi pendidikan merespons Industri 4.0?
Pertanyaan ini berfokus pada bagaimana universitas menanggapi gangguan besar-besaran yang
disebabkan oleh revolusi industri saat ini. Kedua, bagaimana demoralisasi yang terjadi di kalangan
mahasiswa akibat kebijakan inovatif di era Industri 4.0? Pertanyaan ini terutama berkaitan dengan
bagaimana moralitas siswa telah dipengaruhi oleh nilai-nilai baru yang dibawa oleh revolusi industri
saat ini. Ketiga, bagaimana kebijakan universitas mempengaruhi kompetensi mahasiswa? Ketiga
pertanyaan ini akan dijawab pada bagian berikut. Artikel ini berangkat dari tiga argumen. Pertama,
revolusi industri saat ini belum mendapat respon yang konstruktif dari institusi pendidikan tinggi,
sehingga nilai-nilai moral yang terkandung dalam kurikulumnya telah terdegradasi oleh kebijakan
pemerintah dan bahkan diabaikan karena pendidikan telah terindustrialisasi dan terinstrumentasi.
Kedua, kurangnya kepedulian terhadap moralitas telah sangat mempengaruhi nilai dan perilaku
siswa, membatasi pemahaman mereka tentang etiket, karakter, dan spiritualitas. Ketiga, perguruan
tinggi harus mengakomodasi moralitas dalam kurikulumnya dan menyeimbangkan pendidikan moral

Abstrak Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan konsep kepemimpinan,
mengeksplorasi hubungan antara kepemimpinan dan karakter dalam manajemen sumber daya
manusia, dan menganalisis secara kritis bagaimana karakter dalam kepemimpinan menjadi faktor
penting dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia dalam suatu organisasi atau
organisasi. dalam sebuah institusi.

Metodologi: Artikel ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan data
observasional yang didukung dengan studi kepustakaan. Pengumpulan data dilakukan dengan
mengamati kasus-kasus yang berkaitan dengan karakter kepemimpinan dalam sumber daya
manusia. Selain itu, studi literatur online juga dilakukan untuk memetakan data pendukung terkait
karakter kepemimpinan sumber daya manusia. Data dianalisis dengan menggunakan tinjauan kritis
deskriptif.

Temuan utama: Penelitian ini menunjukkan tiga kecenderungan pada karakter kepemimpinan dalam
suatu organisasi. Yaitu, (a) Pemahaman dan implementasi karakter dalam praktik kepemimpinan
untuk mengelola sumber daya manusia. Karakter pemimpin menjadi teladan dalam mengelola
sumber daya manusia dalam suatu organisasi. (b) Karakter pemimpin diwujudkan dalam karakter
kepemimpinannya untuk mengelola sumber daya manusia organisasi. Karakter individu seorang
pemimpin berpotensi mempengaruhi karakter karyawannya. (c) Karakter dalam kepemimpinan
menjadi faktor utama yang mempengaruhi pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam
suatu organisasi.

Implikasi: Pengembangan kualitas sumber daya manusia dalam suatu organisasi atau lembaga dapat
terjalin dengan baik melalui penerapan tiga karakter utama yang ditemukan dalam penelitian ini,
yaitu keteladanan, spiritualitas, dan etika.

Kebaruan/Originalitas penelitian ini: Pada kenyataannya, tiga karakter kepemimpinan; keteladanan,


kerohanian, dan etika tidak hanya menjadi instrumen utama dalam mengembangkan kualitas
sumber daya manusia dalam suatu organisasi atau lembaga, tetapi juga menjadi kebutuhan dasar
dan mendasar yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengatur dan memimpin organisasi
atau organisasi. sebuah institusi.

Anda mungkin juga menyukai