Anda di halaman 1dari 6

Mengurangi Banjir dan Mencegah

kekeringan
RINGKASAN

Di musim hujan terjadi banjir, longsor dan erosi yang makin parah dari tahun ke tahun.
Pada keadaan vegetasi hutan masih utuh banjir sudah terjadi. Sekarang, vegetasi hutan serta
kapasitas serap dan tampung air daratan telah banyak berkurang, banjir makin intensif.
Cadangan air untuk musim kemarau makin sedikit. Akibatnya di musim kemarau kita
menderita kekeringan. Banjir dan kekeringan merugikan pertanian, perkebunan, peternakan,
dan kehutanan serta berdampak buruk bagi permukiman, perdagangan, perindustrian,
pelistrikan, pariwisata, kesehatan dan keamanan.

Untuk mengurangi banjir dan mencegah kekeringan dibangun sebanyak mungkin embung,
waduk kecil, situ, cek dam diperluas dan sumur / lubang resapan serta sumur Tirta
Sakti, mulai dari bagian hulu (atas), bagian tengah sampai ke bagian hilir (bawah) daerah
tangkapan hujan (watershed) di kawasan kehutanan, pertanian, perindustrian, permukiman
dan lain-lain. Kegiatan ini dapat dilakukan warga masyarakat dengan sedikit bantuan
pemerintah dan bimbingan tenaga teknis, sehingga relatif murah, mudah, cepat dan dapat
merata di seluruh daerah.

Pencegahan banjir jelas mensejahterakan rakyat. Air yang ditampung dalam embung, waduk,
dan cek-dam, atau disimpan di dalam  tanah melalui sumur / lubang resapan dan sumur Tirta
Sakti dapat dipakai untuk meningkatkan produksi pertanian, perkebunan, peternakan,
kehutanan, serta untuk keperluan rumah tangga / permukiman, industri dan lain-lain di musim
kemarau maupun musim hujan.

Berbagai hal tersebut akan membuka kesempatan kerja dan usaha seerta memperoleh
penghasilan untuk kesejahteraan rakyat dan pendapatan negara.

PENDAHULUAN

Air adalah anugerah Tuhan. Jumlahnya sangat banyak, jauh melebihi semua keperluan
(Meinzen Dick and Rosegrant, 2001).  Setiap mahluk hidup memerlukan air. Air memang
bukan segalanya, tetapi tanpa air segalanya tiada berarti.

Karena tidak dikelola dengan baik, air nikmat Tuhan tersebut sering menimbulkan masalah.
Di musim hujan banyak terjadi banjir, longsor, erosi. Nilai korban dan kerusakan yang
diakibatkannya mencapai triliunan rupiah serta cenderung makin besar. Banyak penduduk
bertambah miskin karenanya. Sulit menilai harga nyawa manusia yang hilang sebagai korban
banjir dan longsor.

Sebaliknya, di musim kemarau kita menderita kekurangan air. Selain itu jumlahnya kurang
seringkali kualitasnya buruk; antara lain tercemar polutan, salinitas tinggi, masam, berbau
tidak sedap, mengandung banyak butir tanah, kuman, dan lain-l;ain (Van Damme, 2001).
Sulit menghitung kerugian karena kekeringan dan terlebih lagi karena turunnya kualitas air.
Kemiskinan pun meningkat karena kekeringan.
Tulisan ini membahas tentang sebab terjadinya banjir dan kekeringan.

BANJIR, EROSI DAN LONGSOR

Tanah mempunyai kemampuan tertentu untuk menyerap dan menyimpan air. Kemampuan ini
tergantung tekstur, struktur, kandungan bahan organik, ketebalan dan kepadatan solum tanah,
serta keadaan vegetasi pada tanah tersebut. Bila jumlah air yang datang lebih besar dari
kemampuan tanah menyerap air dan tidak ada jalur untuk air tersebut bergerak ke tempat
lain, maka air yang tidak terserap akan menggenangi tanah tersebut. Bila jumlah air yang
datang lebih besar dari kemampuan tanah menyerap air dan tidak ada jalur untuk air tersebut
bergerak ke tempat lain, maka air yang tidak terserap akan menggenangi tanah tersebut.
Kalau air yang tidak terserap tersebut mengalir ke tempat lain, disebut aliran permukaan (run
off). Bila aliran permukaan ini jumlahnya besar dan bergerak cepat, daya rusaknya besar
terhadap lahan yang dilaluinya. Air aliran permukaan secara alami akan berkumpul dan
menggenangi tempat yang lebih rendah yaitu danau dan rawa atau masuk ke sungai dan terus
mengalir ke laut. Selama kelebihan air tertampung oleh danau, rawa dan sungai, banjir tidak
terjadi. Bila jumlah air yang masuk ke sungai lebih besar daripada air yang keluar ke laut,
maka air akan meluap, menggenangi lahan di sekitar sungai, danau dan rawa tersebut.
Genangan, luapan dan aliran permukaan yang cukup besar disebut banjir.

Aliran permukaan seringkali membawa butir tanah dan humus dari tanah yang dilaluinya
disebut erosi. Bahan yang terbawa terebut diendapkan kembali antara lain di danau, rawa,
sungai, serta di kawasan banjir dan di laut.

Air yang tergenang dan meresap ke dalam tanah meningkatkan bobot dan daya tekan
terhadap tanah di bawahnya. Kalau daya tanah  lebih kecil dari bobot tanah serta air di atas
dan di dalamnya, maka pada lokasi yang miring badan tanah tersebut akan bergerak ke bawah
yang disebut longsor. Longsor juga tergantung adanya penahan / pengikat tanah, disamping
kemiringan, serta faktor-faltor yang mempengaruhi daya serap air. Penahan dan pengikat
tanah adalah perakaran pohon. Tanah yang mengalami kekeringan parah di musim kemarau
sangat mudah longsor bila mendapat banyak air di musim hujan.

Di musim hujan, seringkali jumlah air hujan dalam waktu tertentu melebihi kemampuan
lahan menyerap, menyiompan dan menampung air. Air kelebihan ini akan mengalir di
permukaan tanah dan menyebabkan terjadinya banjuir, eropsi dan longsor. Pada keadaan
begetasi hutan masih utuh, banir sudah teriong terjadim, tetapi longsor dan erosi jarang
terjadi,. Sekarang, vegetasi hutan dan kemampuan lahan menyerap dan menyimpan air
banyuak berkirang, maka banir, longsor dan eroi lebih sering tyerjkadi dal lebih parah
akibatynya. Jika ada La-Nina, banjir, longsior dan segala akibatnya sangat parah. Aada atau
tidak ada La-Nina, banjior selalu ada. Oleh karena itru upaya pengurangan dan pengendalian
banjir haruis dilakukan seoptimal mungkin.
KEKERINGAN

Air keluar dari tanah berupa penguapan  ke udara langsung dari permukaan tanah (evaporasi),
melalui tanaman (transpirasi), mengalir ke lapisan yang lebih dalam (perkolasi), dan bergerak
ke samping (seepange). Sebagian air perkolasi dan seepage akan keluar kembali di tempat
yang lebih rendah melalui mata air ke sumur, danau, sungai. Sebagian lainnya akan mengisi
aquifer.

Perkolasi dan seepage terjadi bila tanah jenuh air, misalnya, setelah hujan lebat atau setelah
diirigasi sampai jenuh air. Pada saat perkolasi dan seepage berhenti, kelembaban tanah
berada pada kapasitas lapang. Evaporasi dan transpirasi mengurangi kelembaban tanah lebih
lanjut. Kalau kelembaban tanah terus berkurang sampai mencapai titik laju permanen dan
tidak ada pasokan air, tanaman mati kekeringan. Umumnya  tanaman terganggu kalau
kelembaban tanah 75% kapasitas lapang atau lebih kering. Makin dekat kelembaban tanah ke
layu permanen, makin kecil evaporasi dan transpirasi serta makin rendah produksi tanaman
dan mutu hasilnya. Keadaan ini umumnya terjadi bila tidak ada hujan efektif atau pengairan
selama 5 hari atau lebih berturut-turut.

Kalau lama tidak ada hujan (satu bulan atau lebih), maka pengisian air danau, rawa, waduk
dan sungai makin berkurang bahkan berhenti. Bersamaan dengan ini, evaporasi, transpirasi,
perkolasi, seepage dan aliran ke laut terus berlangsung.  Pada keadaan ini bukan hanya tanah
dan tanaman yang mengalami kekeringan, tetapi juga lahan dan kawasan.

Kekeringan pada lahan dan kawasan selain mengurangi produktivitas  dan kualitas hasil
tanaman, juga menganggu kehutanan, peternakan dan perikanan serta  sektor lain seperti
permukiman, perlistrikan, perdagangan, perindustrian, pariwisata, lingkungan hidup,
kesehatan, dan keamanan. Tidak tersedianya air di kawasan hutan di musim kemarau
mempersulit upaya mengatasi kebakaran hutan, serta memelihara tanaman reboisasi dan
penghijaun lahan yang terbuka.

Kekeringan makin intensif, karena jumlah air yang dapat disimpan di dataran selama
musim hujan sebagai cadangan air bagi musim kemarau semakin berkurang. Selain itu,
kualitas air juga makin rendah. Hasil pengamatan Fakultas Geografi Universitas Gajahmada
di beberapa daerah, menemukan bahwa setelah pembukaan hutan primer, jumlah hujan
berkurang cukup besar, namun pola distribusi tahunannya tetap sama. Kekeringan sangat
parah jika terjadi El-Nino. Ada atau tidak ada El-Nino, akhir-akhir ini kekeringan selalu ada,
dan semakin parah. Oleh karena itu kita harus berupaya semaksimal mungkn mencegah
terjadinya kekeringan.

MENGURANGI BANJIR DAN MENCEGAH KEKERINGAN

Kapasitas lahan menyerap air, kapasitas tampung danau dan rawa serta kapasitas sungai
menampung dan menyalurkan air makin kecil, sehingga banjir makin parah. Jumlah air yang
ditahan dan disimpan di daratan makin kecil, sehingga persediaan air untuk musim kemarau
makin sedikit dan kekeringan makin parah pula.

Logisnya untuk mengurangi banjir dan mencegah kekeringan adalah dengan memperbesar
kapasitas daratan menahan dan menyimpan air, yaitu memperbesar kapasitas lahan
menyerap air serta kapasitas tampung danau, rawa dan sungai. Pengerukan sungai dan danau
untuk memperbesar kapasitasnya dapat dilakukan kalau tersedia dana yang cukup besar.
Kenyataannya, kita selalu kekurangan dana untuk keperluan ini.

Memperbesar kapasitas lahan menyerap air antara lain dengan memperluas kembali lahan
yang tertutup vegetasi dengan baik. Namun tidak semua lahan yang sudah terbuka dapat
ditanami kembali. Selain itu untuk vegetasi baru berfungsi memperbaiki kapasitas lahan
menyerap air dengan baik diperlukan waktu yang relatif lama. Seringkali kita gagal
menanami kembali lahan terbuka karena kekeringan, kebakaran, diganggu aliran permukaan
atau berbagai penyebab lain.

Membangun danau atau waduk raksasa seperti Jatiluhur sangat mahal, memerlukan
teknologi tinggi /tenaga ahli khusus, lokasinya terbatas, hasilnya terkonsentrasi pada kawasan
tertentu, serta mempunyai beberapa dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan
lingkungan hidup.

Upaya yang relatif sederhana dan sangat mungkin dilakukan adalah membangun sebanyak
mungkin kolam penampung air ukuran kecil yang biasa dikenal embung atau waduk kecil,
situ, dan kolam. Penampungan air ini berkapasitas 4000 – 8000 meter kubik. Penampung air
kecil dapat dibangun oleh masyarakat,  karena tidak memerlukan keahlian tinggi, hanya
dengan konstruksi tanah, relatif murah dan mudah menempatkannya di lapang.

Meskipun demikian, di daerah berpenduduk padat seperti di Jawa, lokasi untuk membangun
embung juga terbatas. Upaya lain untuk menampjung / menyimpan kelebihan air adalah
dengan membuat sumur resapan sebanyak mungkin. Melalui sumur resapan, air diresapkan
ke lapisan tanah yang lebih dalam dan lebih luas sehingga kapasitas resapnya menjadi lebih
besar. Sumur resapan ini efektif pada lokasi yang tinggi seperti di puncak dan di lereng bukit
atau gunung. Sumur resapan dapat dibuat di halaman rumah, kantor, sekolah, pasar, kebun,
hutan, tegalan, di dalam embung dan sebagainya, tidak memerlukan lahan yang luas dan tidak
banyak menggangu keperluan lain.

Bagi kebanyakan warga masyarakat, terutama di pedesaan dan kawasan urban, biaya
pembuatan sumur resapan dirasakan mahal, yaitu di sekitar Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)
per sumur.  Oleh karena itu masyarakat lebih menyukai lubang atau rorak resapan. Lubang
resapan ini berukuran (1-3) x (1-3) x (2-3) meter kubik. Bentuk yang lebih sederhana adalah
lubang berdiameter 10 – 15 cm dan 2 – 3 meter dalamnya. Lubang sederhana ini dapat dibuat
berbaris sepanjang pagar atau berkumpul 10 – 20 lubang di satu tempat. Lubang resapan
sebaiknya diisi sampah organik, yang berfungsi untuk menahan dinding lubang agar tidak
runtuh, anak-anak dan hewan peliharaan tidak terperosok, menyuburkan tanah dan sebagai
media hidup dan berkembangnya cacing tanah. Keberadaan cacing tanah sangat penting
untuk melubangi dinding rorak, sehingga daya resap tanah makin besar.

Lubang resapan dapat dibuat di halaman, di kebun, tegalan, di pasar, di kiri kanan jalan raya,
di taman dan lain-lain.

Di dataran rendah, dekat pantai (Jakarta, Semarang, Surabaya, Banjarmasin dll) yang air
tanahnya dangkal atau tanahnya terlalu jenuh air atau kedap air, sumur lubang resapan biasa
tidak efektif. Kelebihan air di kawasan seperti ini harus dimaksukkan ke lapisan aquifer
melalui sumur Tirta Sakti. Air yang dimasukkan ke “aquifer” harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Sumur Tirta Sakti dikembangkan oleh Universitas Trisakti, Jakarta, dan ada
contohnya di sana. Sumur Tirta Sakti ini pun dapat dibuat di berbagai tempat dan tidak
memerlukan lahan yang luas (Juawana dan Sabri, 2001).

Di kiri-kanan sungai besar  dan di sekeliling danau yang selalu diluapi banjir di musim hujan,
sebaiknya dibangun embung sebanyak mungkin, untuk menampung dan menyimpan air
luapan (Imam Utomo, Guibernur Propinsi Jawa Timur, 2001, komunikasi pribadi). Di
sepanjang sungai kecil sering dibuat cek dam. Namun selama ini kapasitas tampung air cek
dam relatif sangat kecil. Untuk menambah kapasitas cek dam, bagian sebelah hulu dam dapat
diperdalam dan diperluas.

Air di dalam embung, waduk, situ, kolam, cek dam, yang diresap oleh sumur / lubang resapan
dan yang dimasukkan ke aquifer, memperbesar jumlah air yang tertahan / tersimpan di
daratan. Air ini dapat dipakai untuk berbagai keperluan di musim kemarau untuk mencegah
kekeringan. Jika perlu dipergunakan pompa untuk memanfaatkan air ini.

Secara singkat disimpulkan untuk mengurangi banjir dan mencegah kekeringan sebagai suatu
kesatuan upaya adalah dengan membangun penampung air kecil, sek dam diperbesar,
“sumur/lubang resapan” dan sumur Tirta Sakti sebanyak mungkin mulai dari bagi hulu
(atas), bagian tengah sampai bagian hilir (bawah), kawasan luapan banjir (flood plain) di
setiap daerah tangkapan hujan (watershed) di kawasan hutan, pertanian, permukiman,
perindustrian, pertamanan dan lain-lain (Karama dan Kaswanda, 2001b) dan 2001c).
Kegiatan ini dapat dilakukan oleh warga masyarakat dengan sedikit bantuan dari pemerintah
dan bimbingan tenaga teknis. Bersamaan dengan kegiatan ini, agar dilakukan penanaman
kembali lahan terbuka seluas mungkin. Pengalaman lapangan menunjukan bahwa penanaman
kembali vegetasi di lahan terbuka akan berhasil bila ada air untuk menyiram tanaman serta
memadam kebakaran, serta tidak ada aliran permukaan yang menerjang dan menghanyutkan
tanaman. Keberadaan air embung dan sumur resapan dapat mengatasi masalah ini dan agar
tetap dipertahankan meskipun vegetasi sudah pulih kembali.

Membangun embung, waduk kecil, situ, cek dam diperbesar, sumur / lubang resapan dan
sumur Tirta Sakti jauh lebih murah, mudah, cepat, merata di seluruh daerah, lebih efektif dan
efisien daripada membangun waduk atau bendungan raksasa pada kondisi negara Indonesia
seperti sekarang. Negara-negara maju sepeti Australia, Perancis dan USA membangun
embung dan sejenis serta sumur resapan.

DAFTAR PUSTAKA

Karama, A.S. dan Kaswanda, 2001a. Air dan Ketahanan Panganserta Kesejahteraan Petani.
Direktorat Jendeal Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian RI, Jakarta,
Indonesia.

——————–, 2001c. Mengisi Air Tanah dengan Sumur Resapan dan Memanfaatkannya
Kembali.  Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan,  Departemen Pertanian RI,
Jakarta, Indonesia.

BPS 1999a, Survey Pertanian. Produksi Tanaman Padi di Indonesia. Badan Pusat Statistik
Indonesia, Jakarta.

—, 1999b, Survey Pertanian.  Produksi Tanaman Palawija di Indonesia. Badan Pusat Statistik
Indonesia, Jakarta.
Juwana, J.S. dan A. Sabri, 2001. Sumur Resapan Tirta Sakti dalam Kaitannya dengan Potensi
Persediaan Air Tanah. Seminar Antisipasi El-Nino, Implementasi Budaya Hemat Air di
Indonesia, PERAGI bekerjasama dengan PERHIMPI, Bogor 21 – 22 Februari, 2001.

* A. Syarifuddin Karama, staf ahli Menteri Pertanian RI Bidang Teknologi / Ahli Peneliti
Utama, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian / Ketua Umum PERAGI.

Anda mungkin juga menyukai