Anda di halaman 1dari 36

CONTOH PROPOSAL

PENELITIAN NORMATIF

A. JUDUL : PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP KORPORASI

TERHADAP KELEMBAGAAN RUMAH SAKIT

MUHAMMADIYAH YANG BERFUNGSI SOSIAL

B. BIDANG ILMU : ILMU HUKUM

C. LATAR BELAKANG

Rumah sakit swasta didalam menyelenggarakan kegiatannya, menurut

Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (selanjutnya

ditulis UU Kesehatan) harus tetap memperhatikan fungsi sosial. Adapun yang

dimaksud dengan fungsi sosial menurut Penjelasan Pasal 57 ayat (2) UU

Kesehatan adalah penyelenggaraan kegiatan sarana kesehatan harus

memperhatikan kebutuhan pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang

kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan secara komersial,

tetapi lebih dititikberatkan kepada kemanusiaan.

Hal yang sama dengan RS Muhammadiyah, dimana sejak didirikan

membawa misi sosial yaitu melayani kaum dhuafa, pasien yang datang adalah

banyak dari masyarakat tidak mampu yang berharap mendapatkan kemudahan

pelayanan dan pembiayaan. Namun demikian karena kebutuhan pendanaan untuk

pengembangan fasilitas dan pelayanan, fungsi sosial dari RS Muhammadiyah

tersebut telah bergeser kepada fungsi komersial. Hal ini dilakukan untuk

mengatasi kesulitan dalam berkompetisi dengan rumah sakit swasta lainnya

1
2

khususnya yang telah merubah kelembagaannya menjadi badan usaha (korporasi)

seperti Perseroaan Terbatas.

Rumah sakit di Indonesia tidak sekedar sebagai wadah atau tempat

perawatan terbatas. Sekarang rumah sakit telah menjadi institusi sosial. Menurut

Pasal 6 Permenkes RI Nomor 159b Tahun 1988 tentang Rumah Sakit,

penyelenggaraan kegiatan rumah sakit harus mendapat ijin dari Menteri

Kesehatan. Selanjutnya menurut Pasal 8 ayat (2) Permenkes RI Nomor 532 Tahun

1982, untuk memperoleh ijin dari Menteri Kesehatan rumah sakit dimiliki dan

diselenggarakan oleh badan hukum. Hal tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 58

UU Kesehatan, bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang diselenggarakan

dan dimiliki oleh masyarakat maupun swasta harus berbentu badan hukum,

dengan maksud agar mudah didalam melakukan pengawasannya.

Menurut Pasal 3 Permenkes Nomor 159 b Tahun 1988, rumah sakit

dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. Rumah sakit

pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh Depkes, Pemda, ABRI dan BUMN.

Rumah sakit swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan

Hukum lain yang bersifat sosial. Namun dengan telah diundangkannya PP Nomor

20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham oleh Perusahaan PMA dan Permenkes

Nomor 84/Menkes/II/Per/1990 tentang Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit

Swasta Pemodal, maka telah terbuka peluang untuk rumah sakit berbentuk

Perseroan Terbatas.

Seiring dengan terjadinya pergeseran kebijakan politik kolonial, pada

awal abad XX rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan swasta/keagamaan


3

didirikan di berbagai daerah di Indonesia. Sampai saat ini, terdapat 1056 rumah

sakit, yang terdiri dari 428 RS Pemerintah, 111 RS ABRI/POLRI, 452 RS Swasta

lain, dan 64 RS Muhammadiyah (Trisnantoro, 2006: 4). Berdasarkan jumlah

keseluruhan rumah sakit di Indonesia, ternyata 48,9% dimiliki oleh Swasta.

Sebagian rumah sakit swasta didirikan oleh yayasan atau perkumpulan sosial,

khususnya dengan latar belakang keagamaan atau lembaga-lembaga sosial

lainnya, yang biasanya diprakarsai oleh kalangan masyarakat atau orang-orang

yang terhormat. Sudah tentu rumah sakit seperti ini membawa misi sosial dan

karena itu tidak profit making. Mungkin karena sifat non profit making inilah ada

kesan bahwa rumah sakit seperti ini dikelola dengan asal “jalan” dan semata-mata

mengutamakan pelayanan medik bagi pasien-pasien yang dirawat. Kerugian

yang ada biasanya akan ditangani lembaga-lembaga keagamaan/sosial yang

bersangkutan, dari donasi yang diperolehnya.

Meskipun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, rumah sakit tidak

mungkin dikelola semata-mata sosial. Dalam keadaan sekarang, hampir seluruh

rumah sakit swasta menghadapi realita kehidupan yang semakin materialistis.

Rumah sakit harus membayar teknologi kedokteran, listrik, air, dapur, dan bahkan

imbalan jasa dokter dan paramedik dengan mengikuti harga pasar. Dalam keadaan

inilah, dari segi manajemen, rumah sakit yang selama ini lebih mementingkan

aspek sosial, seolah-olah ketinggalan “kereta” dalam pengelolaannya.

Adanya globalisasi ekonomi yang melanda semua Negara, perusahaan-

perusahaan memasuki lingkungan bisnis yang sangat berbeda dengan lingkungan

bisnis sebelumnya. Pasar dimasuki oleh pesaing-pesaing domestik maupun


4

mancanegara, yang telah membawa berbagai produk barang dan jasa yang sangat

sarat dengan kandungan pengetahuan tingkat dunia. Dunia usaha di Indonesia saat

ini menghadapi berbagai macam tantangan, yaitu adanya persaingan ketat, juga

menghadapi krisis ekonomi dan sosial.

Demikian pula di sektor kesehatan, khususnya rumah sakit juga

mengalami hal yang sama dengan kondisi dunia usaha lainnya. Biaya produksi

meningkat, sehingga secara otomatis tarif pelayananpun harus meningkat. Bagi

rumah sakit yang profit making, seperti RS Pondok Indah atau RS Gleneagles

yang keduanya berbentuk Perseroan Terbatas (PT), tarif dapat ditingkatkan seiring

dengan peningkatan mutu yang dilakukan.

Sementara itu, dilihat dari posisi RS Muhammadiyah, situasi masih

belum menggembirakan. Dilihat dari sisi kuantitas RS Muhammadiyah memang

berjumlah 64, namun hanya ada 6 RS yang memiliki Jumlah Tempat Tidur

(selanjutnya ditulis JTT) diatas 150. Bila dibandingkan kualitas dengan rumah

sakit-rumah sakit lain, 6 RS Muhammadiyah tersebut masih di bawah RS

Keagamaan non Islam dan swasta lainnya (Trisnantoro, 2006: 4-5).

Muhammadiyah merupakan gerakan sosial-keagamaan (Islam) modernis

terbesar. Berdasarkan laporan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang,

Jawa Timur tahun 2005, dapat diketahui bahwa terdapat 525 amal usaha di bidang

kesehatan. Dari 525 amal usaha di bidang kesehatan tersebut, 64 berupa rumah

sakit Islam (RSU, RSIKA, RSJ, dan RSAB), dan lainnya adalah balai pengobatan

dan atau rumah bersalin yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Amal

usaha di bidang kesehatan ini merupakan amal usaha yang paling dapat dirasakan
5

langsung manfaatnya oleh warga Muhammadiyah sendiri ataupun masyarakat

umum.

Pada tahun 2005, keberadaan RS Muhammadiyah di Indonesia

berjumlah sekitar 15% dari jumlah RS swasta se-Indonesia. Penyebaran tersebut

tidak merata. Apabila dilihat per-propinsi maka Jawa tengah dan Jawa Timur

mempunyai konsentrasi RS-RS Muhammadiyah yang terbesar yaitu 20 dan 25

buah. Sementara itu di Propinsi DIY terdapat 2 RS Muhammadiyah, yaitu RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan RSU PKU Muhammadiyah Bantul. RSU

PKU Muhammadiyah Yogyakarta dimiliki oleh PP Muhammadiyah Yogyakarta

dengan JTT sebanyak 220, sedangkan RSU PKU Muhammadiyah Bantul dimiliki

oleh PDM Bantul dengan JTT sebanyak 103 (Trisnantoro, 2006: 4-5).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2002: 2)

bekerjasama dengan Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK) FK UGM

menunjukkan beberapa kecenderungan yang muncul pada RS Keagamaan 10

tahun belakangan ini, yaitu:

1. Rumah sakit-rumah sakit yang berbasis keagamaan tidak mempunyai sumber

dana bantuan dari donatur dalam maupun luar negeri untuk keperluan

menutup biaya operasional. Keadaan ini telah membuat esensi awal dari

rumah sakit ini, yaitu untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada

masyarakat miskin sebagai wujud fungsi sosial rumah sakit menjadi hilang.

2. Tujuan pemilik RS Keagamaan dan para dokter berubah, dimana rumah sakit

menjadi tempat untuk mendapatkan dana dan penghasilan. Hal ini berbeda

dengan masa lampau dimana Pemilik rumah sakit mencarikan dana dan dokter
6

bekerja dengan dasar misi sosial keagamaan. Saat ini motivasi para dokter

(terutama dokter spesialis) di RS Keagamaan kebanyakan bukan misi semata,

akan tetapi mencari penghasilan sehingga jasa pelayanannnya cukup besar.

3. RS Keagamaan praktis bergerak di segmen kelas menengah dan atas. Hal ini

disebabkan sumber dana untuk fungsi sosial rumah sakit harus diperoleh oleh

internal rumah sakit sendiri, bukan berasal dari pihak luar. Misi sosial menjadi

beban rumah sakit karena menggunakan subsidi silang. Beban ini tidak ada

pada RS-RS making profit. Akibatnya RS-RS Keagamaan menjadi sulit

berkompetisi.

4. Kultur bekerja RS-RS Keagamaan masih belum berada dalam model

corporate (badan usaha). Berbagai RS Keagamaan yang potensial untuk

bekerja secara jaringan ternyata masih sendiri-sendiri.

Adapun fakta-fakta yang ada di RS-RS Muhammadiyah adalah sebagai

berikut.(Trisnantoro, 2006: 8-10)

1. Kepemilikan berbeda-beda, tumbuh sendiri-sendiri dari PP Muhammadiyah,

PDM, dan PCM).

2. Ada RS yang mempunyai konflik antar pemilik.

3. Model investasi untuk rumah sakit berasal dari swadana masing-masing

daerah. Sumber dana bervariasi antara PP, PDM dan PCM. Tidak ada yang

bekerjasama dengan perorangan sebagai saham atau kerjasama dengan model

bagi hasil.
7

4. Investasi untuk pengembangan selanjutnya berasal dari Sisa Hasil Usaha yang

dikumpulkan, bukan dari PP/PDM/PCM.

5. Ada tradisi mengembangkan RS dari dana yang berasal dari RS yang ada lebih

dulu. Dana dapat berupa pinjaman lunak atau semacam “pinjaman” saja tanpa

ada keterangan jelas mengenai pengembaliannya.

6. Sumber dana operasional RS terutama dari pasien, kerjasama dengan asuransi.

Adapun dari pemerintah adalah dana KS/Askes Gakin. Sumber dana dana dari

Donatur (pengajian umum, donator tetap) jumlahnya relatif kecil, biasanya

digunakan untuk membiayai pasien tidak mampu. Adanya dana KS/Askes

Gakin cukup membantu karena dapat menutup sebagian hutang pasien tak

mampu yang bisa mencapai Rp. 600 juta/tahun.

7. Pembayaran pajak disamakan dengan Badan Usaha, PAM disamakan dengan

hotel, padahal harus melayani pasien miskin.

8. Dana dari RS dianggap paling lancar. Ada RS yang membiayai panti asuhan

dan kegiatan Muhammadiyah lainnya.

9. Salah satu sumber dana adalah dari diskon obat yang diberikan terlebih

dahulu, biasanya dibelikan alat atau untuk pengembangan performance.

10. RS sebagai amal usaha maka berkewajiban membayar SWO (Simpanan Wajib

Organisasi) untuk maintenance dan kegiatan dakwah persyarikatan

(PP/PWM/PDM/PCM/PRM). Contoh dua RS menyetorkan setiap bulan Rp.

60 juta ke PP sebagai SWO, RS lain ada sebesar Rp. 10 juta setiap bulan atau

bervariasi.
8

11. 5-10% dari SHU (ditentukan sendiri oleh pemilik masing-masing) digunakan

untuk pengembangan atau pendirian satelit, tetapi pada prakteknya belum

diketahui.

12. Jasa medik relatif lebih kecil dibandingkan dengan rumah sakit lainnya.

13. Mayoritas direksi RS Muhammadiyah bekerja bukan full timer. Jika seorang

dokter maka pekerjaan fungsional masih jalan dimana prkatek pada jam kerja.

Akhirnya tugas direktur disambi, dengan penghasilan fungsional bisa 20

kalinya direktur. Hal ini menimbulkan kesenjangan dengan direksi non dokter,

karena jam kerjanya sama tapi penghasilannya berbeda.

14. Adanya persaingan antar RS Muhammadiyah di satu kota.

15. Ada RS yang mengalami penurunan kinerja dan bertambahnya pesaing.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka manajemen RS

Muhammadiyah perlu mempertimbangkan paradigma baru dan strategi yang tepat

untuk mengelola rumah sakit dengan efisien tanpa mengurangi mutu pelayanan,

yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip korporasi. Maksudnya adalah RS

Muhammadiyah dikelola seperti badan usaha yang menggunakan sistem

pelayanan yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip bisnis.

D. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini

adalah:

1. Apakah secara konseptual, prinsip-prinsip korporasi (badan usaha) dapat

diterapkan dalam kelembagaan Rumah Sakit yang berfungsi sosial?


9

2. Bagaimanakah penerapan prinsip-prinsip korporasi (badan usaha) ke dalam

kelembagaan RS Muhammadiyah yang sarat dengan nilai-nilai ajaran Islam ?

E. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah secara konseptual prinsip-prinsip korporasi dapat

diterapkan dalam kelembagaan Rumah Sakit yang berfungsi sosial:

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan prinsip-prinsip koroprasi dalam

kelembagaan RS Muhammadiyah yang sarat nilai nilai ajaran Islam.

F. MANFAAT PENELITIAN

1 Memberikan kontribusi keilmuan kepada ilmu hukum tentang kemungkinan

penerapan prinsip-prinsip korporasi dalam kelembagaan Rumah Sakit yang

berfungsi sosial.

2. Memberikan kontribusi tekhnis kemungkinan penerapan prinsip-prinsip

korporasi dalam kelembagaan RS Muhammadiyah yang berfungsi sosial.

G. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kelembagaan dan Prinsip-prinsip Korporasi

a. Pengertian korporasi

Dalam penelitian ini terminologi korporasi diterjemahkan sebagai badan

usaha yang bergerak di bidang bisnis atau biasa disebut sebagai perusahaan,

seperti halnya pengertian korporasi yang terdapat dalam Black’s Law Dictionary

(Black’s Law Dictionary :365) adalah an entity (usualy a business ) having


10

authority under law to act as single person distinct from the shareholders who

own it and having rights to issue stock and exist indefinitely .

Pengertian perusahaan tidak terdapat dalam WvK (di Indonesia disebut

dengan KUHD) (Purwosutjipto, 1983: 14). Pemerintah Belanda pada waktu

membacakan memori van toelichting RUU WvK di muka parlemen menerangkan

perusahaan ialah keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-

putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba

(bagi diri sendiri) (Purwosutjipto, 1983:14; Usman, 2000: 26).

Menurut Molengraaf, perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah

keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar,

untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan, menyerahkan

barang atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Pengertian

perusahaan di sini tidak mempersoalkan tentang perusahaan sebagai badan usaha,

akan tetapi justru perusahaan sebagai perbuatan, yaitu hanya meliputi kegiatan

usaha (Muhammad, 1993: 7-8).

Selanjutnya menurut Polak memandang perusahaan dari sudut komersil,

artinya baru dikatakan perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba rugi yang

dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan. Laba merupakan tujuan utama

setiap perusahaan, maka jika tidak ada laba, hal tersebut bukan perusahaan. Polak

tidak mempersoalkan perusahaan sebagai badan usaha (Muhammad, 1993: 8-9;

Usman, 2000: 26).


11

Pengertian-pengertian perusahaan tersebut di atas pada intinya tidak jauh

berbeda dengan yang dirumuskan dalam Pasal 1 huruf b UU Nomor 3 Tahun 1982

tentang Wajib Daftar Perusahaan, sebagai berikut :

Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis

usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, dan yang didirikan,

bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia,

untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa

perusahaan adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan di dalam bidang

perekonomian yang dilakukan secara terus menerus atau teratur, terang-terangan

dan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba.

Mengenai pengertian badan usaha, A. Ridwan Halim (Ali, 1999: 108)

menjelaskan bahwa badan usaha adalah:

1). Perwujudan atau pengejawantahan organisasi perusahaan, yang memberikan

bentuk cara kerja, wadah kerja dan bentuk/besar kecilnya tanggung jawab

pengurus/para anggotanya;

2). Menghasilkan laba yang diperoleh dari hasil pemasaran barang jasa yang

dihasilkan oleh perusahaannya;

3). Perwujudan dari suatu perusahaan yang terorganisir;

4). Merupakan organisasi dari suatu perusahaan.


12

Selanjutnya dalam tulisan ini yang dimaksud dengan istilah korporasi

adalah badan usaha. Badan usaha tersebut dapat dijalankan oleh perorangan,

persekutuan atau badan hukum.

b. Bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip korporasi

Pada dasarnya bila ditinjau dari sudut yuridisnya, maka badan usaha itu

dapat dibedakan atas (Ali, 1999: 109; Hadhikusuma & Sumantoro, 1991: 11;

Usman, 2000: 28-84; Ichsan, 1986: 283 ; Muhammad, 1993: 49-52 )

1). Dilihat dari status hukum perusahaannya:

a). Badan usaha yang merupakan badan hukum, antara lain: Perseroan

Terbatas (PT) dan Koperasi

b). Badan usaha yang bukan badan hukum, antara lain: Firma,

Comanditaire Venootschap (CV)

2). Dilihat dari status kepemilikannya:

a). Perusahaan Negara (BUMN)

b). Perusahaan Swasta

3). Dilihat dari jumlah pemiliknya

a). Perusahaan Perseorangan

b). Perusahaan Persekutuan

Dari berbagai uraian serta pengertian dari masing-masing bentuk

perusahaan seperti Perseroan Terbatas (UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas), Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian),

Badan Usaha Milik Negara (UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
13

Milik Negara), CV dan Firma (Pasal 16 – Pasal 35 Kitab Undang -undang Hukum

Dagang) dapat dirumuskan tentang prinsip-prinsip korporasi sebagai berikut.

1. Harta kekayaan sebagai modal

2. Tujuan mencari keuntungan

3. Fungsi dan tanggung jawab organ

Rumusan di atas akan digunakan sebagai pembatasan pengertian tentang

prinsip-prinsip korporasi dalam penelitian, dan untuk selanjutnya akan dibahas

sesuai dengan tujuan penelitian.

c. Teori Badan Hukum

Badan hukum merupakan terjemahan istilah bahasa Belanda yaitu

rechtspersoon (van Hoeve, 1986: 403) dan bahasa Inggris yaitu legal persons

(Echols & Shadily, 2000: 353).

Ada syarat-syarat tertentu agar suatu badan usaha mempunyai

kedudukan sebagai badan hukum. Menurut doktrin syarat-syarat tersebut adalah:

1). Adanya kekayaan yang terpisah;

2). Mempunyai tujuan tertentu;

3). Mempunyai kepentingan sendiri;

4). Ada organisasi yang teratur (Syahrani, 1985: 61-62; Rido, 1983: 45-60;

Hadisoeprapto, 1996: 90-91; Suhardana, 1992: 59).

Syarat-syarat tersebut merupakan syarat material yang harus ada. Syarat

formal adalah syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk

mendapatkan status sebagai badan hukum. Dalam hal penentuan status badan

hukum atau bukan bagi suatu badan usaha, tidak terlepas dari peranan hukum
14

positif suatu negara. Misalnya Perseroan Terbatas untuk mendapatkan status

badan hukum adalah setelah mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan

HAM (lihat UU tentang Perseroan Terbatas).

Dalam rangka mengetahui kedudukan badan hukum dapat dilihat dalam

undang-undang, yaitu dinyatakan secara tegas bahwa suatu organisasi adalah

badan hukum (misalnya BRI); dan tidak dinyatakan secara tegas, tetapi dengan

peraturan sedemikian rupa bahwa organisasi itu adalah badan hukum, misalnya

Bank Tabungan Pos (Suhardana, 1992: 60).

Menurut Pasal 1653 KUHPerdata, macam-macam badan hukum dapat

dibedakan menjadi:

1). Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah, misalnya propinsi;

2). Badan hukum yang diakui oleh pemerintah, misalnya organisasi-organisasi

agama;

3). Badan hukum yang didirikan untuk maksud-maksud tertentu yang tidak

bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, misalnya perseroan

terbatas.

Penggolongan teori-teori badan hukum sebagai berikut.(Ali, 1999: 30)

1). Teori yang berusaha ke arah peniadaan persoalan badan hukum, antar alain

dengan jalan mengembalikan persoalan tersebut kepada orang-orangnya yang

berhak. Termasuk teori ini adalah teori organ dan teori kekayaan bersama.

2). Teori lainnya yang hendak mempertahankan persoalan badan hukum, yaitu

teori fiksi, teori harta kekayaan yang bertujuan, dan teori kenyataan yuridis.
15

Menurut teori fiksi yang diajarkan oleh Van Savigny, adanya badan

hukum itu merupakan anggapan saja yang diciptakan oleh Negara, sebab

sebenarnya badan atau perkumpulan atau organisasi itu tidak mempunyai

kekuasaan untuk menyatakan kehendaknya sendiri, seperti halnya manusia.

Sehingga badan hukum bila akan bertindak untuk melaksanakan kehendaknya

harus dengan perantaraan wakilnya yaitu alat perlengkapannya, misalnya: direktur

dalam suatu Perseroan Terbatas , atau pengurus dalam suatu Koperasi.

Teori kekayaan yang diajarkan oleh Brinz dan van der Heijden, adanya

badan hukum diberi kedudukan sebagai orang disebabkan badan ini mempunyai

hak dan kewajiban yaitu hak atas harta kekayaan dan dengan harta kekayaan itu

memenuhi kewajibannya kepada pihak ketiga. Oleh karena itu badan tersebut

memiliki hak dan kewajiban, maka berarti ia merupakan pendukung hak dan

kewajiban. Kekayaan yang dimiliki bdan hukum tersebut biasanya berasal dari

kekayaan seseorang yang dipisahkan dari kekayaan orang yang bersangkutan dan

diserahkan kepada badan itu, seperti yayasan, PT dan lainnya.

Teori organ diajarkan oleh Von Goerke, badan hukum merupakan suatu

kenyataan seperti manusia dan bukan merupakan suatu anggapan saja. Oleh

karena itu bdan hukum seperti manusia, yaitu mempunyai alat kelengkapan atau

organ sebagaimana organ tubuh manusia, seperti: alat berpikir dan alat bertindak.

Contoh, di dalam PT, alat perlengkapan organisasi adalah RUPS, Direksi dan

Komisaris.

Teori pemilikan bersama diajarkan oleh Planol, badan hukum

sebenarnya adalah merupakan kumpulan dari manusia sehingga kepentingan-


16

kepentingan atau pemilikan dari manusia-manusia selaku anggota dari

perkumpulan badan tersebut.

Teori realita yuridis diajarkan oleh Suyling dan Scholten, badan hukum

disamakan dengan manusia adalah suatu kenyataan yuridis, yaitu fakta yang

diciptakan oleh hukum. Adanya badan hukum itu karena ditentukan oleh hukum.

2. Kelembagaan dan Fungsi Sosial Rumah Sakit

a. Pengertian Rumah Sakit

Batasan tentang rumah sakit banyak macamnya. Beberapa diantaranya

adalah seperti yang dikutip oleh Azrul Azwar (1996: 82):

1). Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medik professional

yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanent menyelenggarakan

pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan,

diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (American

Hospital Association 1974).

2). Rumah sakit adalah tempat dimana orang mencari dan menerima pelayanan

kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa

kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya yang

diselenggarakan (Wolper dan Pena 1987).

3). Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan

serta penelitian kedokteran diselenggarakan (Assosiation of Hospital Care

1947).
17

Menurut Maeijer (1987: 129-130), rumah sakit merupakan badan usaha

yang mempunyai ciri tersendiri; usahanya tertuju pada pemeriksaan medikdan

perawatan medik pasien yang masuk rumah sakit. Rumah sakit bukan merupakan

badan usaha dalam arti perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan di bidang

harta kekayaan).

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa fungsi dan kegiatan

rumah sakit pada saat ini bervariasi. Selanjutnya pengertian rumah sakit di

Indonesia dapat ditelusuri melalui peraturan perundang-undangan yang ada.

Pengertian rumah sakit menurut Kepmenkes RI Nomor 031/Birhup/1972

sebagai berikut.

1). Suatu kompleks atau ruang yang dipergunakan untuk menampung dan

merawat orang sakit atau bersalin.

2). Kamar-kamar orang sakit yang berada dalam satu perumahan khusus, seperti:

a). Rumah sakit khusus;

b). Rumah sakit bersalin;

c). Lembaga masyarakat;

d). Kapal laut.

Selanjutnya apabila ditinjau dari Pasal 1 Permenkes RI Nomor 159b

Tahun 1988 tentang Rumah Sakit dinyatakan:

“Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan, diantaranya meliputi

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan, serta dapat dimanfaatkan untuk

pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Kemudian dibedakan lagi antara:


18

1) Rumah sakit umum, yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan

semua jenis penyakit dari yang bersifat pelayanan dasar sampai dengan sub

spesialistik.

2) Rumah sakit khusus, yaitu rumah sakity yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin ilmu.

3) Rumah sakit pendidikan, yaitu rumah sakit umum yang dipergunakan untuk

tempat pendidikan tenaga medik tingkat S1, S2 dan S3.

Berdasarkan beberapa pengertian rumah sakit tersebut di atas dapat

diketahui, pengertian rumah sakit menurut Permenkes Nomor 159b Tahun 1988

ternyata lebih lengkap dan terperinci. Pengertian rumah sakit disamping sebagai

tempat untuk pelayanan kesehatan, juga dapat dinyatakan sebagai tempat

pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Kesan rumah sakit hanya sebagai

tempat untuk menampung orang sakit dapat dihindarkan.

Fungsi rumah sakit seperti yang dinyatakan di dalam Permenkes Nomor

159b Tahun 1988 adalah:

1) Menyediakan dan menyelenggarakan:

a). Pelayanan medik.

b). Pelayanan penunjang medik.

c). Pelayanan perawatan.

d). Pelayanan rehabilitasi.

e). Pencegahan dan peningkatan kesehatan.

2) Sebagai tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik.


19

3) Sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi bidang

kesehatan.

Selanjutnya di dalam Pasal 5 Kepmenkes Nomor

983/Menkes/SK/XI/1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum,

bahwa rumah sakit umum mempunyai fungsi, yaitu:

1) Menyelenggarakan pelayanan medik;

2) Menyelenggarakan pelayanan penunjang medik dan nonmedik;

3) Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keeperawatan;

4) Menyelenggarakan pelayanan rujukan;

5) Menyelenggarakan pendidikan dan latihan;

6) Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;

7) Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.

Di dalam Permenkes Nomor 159b Tahun 1988 disebutkan pelayanan

kesehatan di rumah sakit adalah kegiatan pelayanan berupa pelayanan rawat jalan,

rawat inap dan pelayanan gawat darurat yang mencakup pelayanan medik dan

penunjang medik.

Dalam rangka penyelenggaraan kegiatannya, berdasarkan Pasal 3

Permenkes Nomor 159b Tahun 1988, maka rumah sakit dapat diselenggarakan

dan dimiliki oleh pemerintah atau swasta. Rumah sakit pemerintah dapat dimiliki

dan diselenggarakan oleh Depkes, Pemda, ABRI dan BUMN. Rumah sakit swasta

dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan Hukum lain yang bersifat
20

Sosial. Namun dengan telah diundangkannya Permenkes Nomor

84/Menkes/II/Per/1990 tentang Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta

Pemodal, maka telah terbuka peluang untuk rumah sakit berbentuk Perseroan

Terbatas.

Sesuai dengan perkembangan yang dialami, pada saat ini rumah sakit

dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu (Lestari, 2001: 14):

1) Menurut pemilik yaitu rumah sakit pemerintah (governmen hospital) dan

rumah sakit swasta (private hospital).

2) Menurut filosofi yang dianut, yaitu rumah sakit yang tidak mencari

keuntungan (nonprofit hospital) dan rumah sakit yang mencari keuntungan

(profit hospital).

3) Menurut jenis pelayanan yang diselenggarakan, yaitu rumah sakit umum

(general hospital) dan rumah sakit khusus (speciality hospital).

4) Menurut lokasi rumah sakit, yaitu rumah sakit pusat, propinsi, dan kabupaten.

Menurut Kopit, McCann, Blacstone, Fuhr and Hansmann (2000: 1054)

karakteristik dan misi-misi non profit making hospital adalah sebagai berikut.

1) Rumah sakit dikelola dengan tidak mencari keuntungan dan tidak

melaksanakan power market.

2) Rumah sakit tidak akan menaikkan harga yang akan mengarah pada

keuntungan yang lebih besar, tetapi akan memaksimalkan jumalah pasien,

kualitas pelayanan dan perawatan kemanusiaan secara cuma-cuma. Rumah


21

sakit ini akan menghargai pelayanannya hanya pada titik diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan finalsialnya (break event point).

3) Individu yang menjalankan rumah sakit tidak mendapatkan insentif untuk

melaksanakan power market, sebab individu tersebut tidak bertindak untuk

memperoleh secara pribadi dari kenaikan harga.

4) Rumah sakit tersebut dikecualikan dalam hal pembayaran pajak.

b. Kelembagaan Rumah Sakit

Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Permenkes 159b Tahun 1988,

bahwa setiap rumah sakit harus berbentuk badan hukum. Selanjutnya menurut

Pasal 3 Permenkes Nomor 159b Tahun 1988, bahwa rumah sakit dapat dimiliki

dan diselenggarakan oleh Pemerintah dan Swasta. Rumah sakit pemerintah dapat

dimiliki oleh Depkes, Pemda, BUMN, dan ABRI. Sementara itu, rumah sakit

swasta dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh Yayasan dan Badan Hukum sosial

lainnya. Namun dengan adanya Permenkes Nomor 84 Tahun 1990 maka rumah

sakit dapat berbentuk Perseroan Terbatas.

Secara umum kelembagaan sebuah rumah sakit (Koeswadji, 1998, 109

& 2002: 95) adalah:

1). Pemilik rumah sakit (misalnya Pemerintah, Yayasan, Perkumpulan dan

Perseroan Terbatas).

2). Direksi

3). Staf medik fungsional

4). Komite Medik


22

5). Tenaga Kesehatan Tetap & Tidak Tetap

Dalam lalu lintas hukum hubungan hukum rumah sakit merupakan organ

yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Rumah sakit

merupakan badan hukum, oleh karena itu dibebani hak dan kewajiban.

Di dalam kemandiriannya untuk berbuat menurut hukum sebagai subyek

hukum inilah rumah sakit melibatkan tenaga kesehatan seperti yang ditentukan

dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.

Tenaga kesehatan tersebut melakukan pekerjaannya sesuai dengan keahliannya

dan diikat dengan kode etik profesinya masing-masing bekerja berdasarkan

Arbeidsovereenkomst. Secara umum perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini

diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata, berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan

menerima upah. Syarat-syarat tersebut dituangkan dalam deskripsi tugas yang

dibuat oleh rumah sakit sebagai badan hukum selaku pihak yang memberi

pekerjaan, dan tenaga kesehatan sebagai penerima pekerjaan.

Secara singkat pemberian status rumah sakit sebagai badan hukum,

untuk rumah sakit swasta dituangkan dalam akta pendirian Yayasan (lihat UU

Nomor 16 Tahun 2001 jo UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, selanjutnya

ditulis UU Yayasan) (dapat juga bentuk badan hukum lain, tergantung siapa

pemiliknya), yang telah didaftarkan ke Menteri Hukum dan Perundang-undangan

Republik Indonesia, dan telah diumumkan dalam Tambahan Berita Negara.

Salah satu contoh kelembagaan rumah sakit swasta yang dimiliki dan

diselenggarakan oleh Yayasan. Organ yayasan terdiri dari Pembina (Pasal 28-30

UU Yayasan), Pengurus (Pasal 31-39 UU Yayasan), dan Pengawas (Pasal 41-41).


23

Adapun yang melaksanakan perbuatan hukum yayasan adalah pengurus yayasan,

yang terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara (Pasal 32 ayat (2) UU Yayasan).

Dalam organisasi sebuah rumah sakit, biasanya di samping pengurus

yayasan, ada lembaga direksi yang mengerjakan kegiatan rumah sakit sehari-hari.

Dalam kenyataannya seorang direktur rumah sakit swasta diangkat dan

diberhentikan oleh pengurus yayasan. Direksi tersebut bertugas melaksanakan

kebijaksanaan dan pengelolaan rumah sakit sehari-hari. Kewenangan ini tidak

bersifat otonom, tetapi lahir karena adanya pelimpahan wewenang yang diberikan

oleh pengurus yayasan. Dengan demikian direksi bertanggung jawab langsung

kepada pengurus yayasan. Di lain pihak apabila dalam hal tertentu pengurus

yayasan yang memutuskan sesuatu, direksi harus mempersiapkan pelaksanaannya.

Direksi bertanggung jawab atas tugas-tugas yang berkaitan dengan fumgsi rumah

sakit sebagai sarana kesehatan berdasarkan ketentuan Pasal 56-59 UU Kesehatan.

Di samping pengurus yayasan dan direksi, dalam organisasi rumah sakit

ada medical staff. Anggota medical staff terdiri dari para dokter spesialis yang

direkrut oleh rumah sakit. Keterlibatan medical staff ini bukan sebagai pekerja

tetapi keterlibatannya dalam kegiatan rumah sakit berdasarkan atas

toelatingscontract (kontrak untuk merawat/memasukkan pasien untuk dirawat).

Secara yuridis medical staff ini tidak mempunyai arti, karena mereka

bukan merupakan bagian tetap dari organ rumah sakit yang diberi status sebagai

badan hukum oleh hukum, dan juga tidak mempunyai kewenangan seperti halnya

pengurus dan direksi rumah sakit. Dari segi fungsinya medical staff ini
24

menentukan secara fungsional peraturan-peraturan untuk staf tetap rumah sakit

yang harus dipatuhi anggota staf.

Tujuan medical staff sebagai staf medik fungsional adalah untuk

meningkatkan mutu dalam pelayanan medik rumah sakit, melalui kerjasama,

penugasan, serta pengwasan secara perorangan. Sarana pengawasan dilakukan

melalui medical audit, yang bertujuan untuk mencegah dilakukannya

kesalahan/kelalaian rumah sakit.

Komite medik ini kedudukannya secara fungsional berada di bawah

direktur rumah sakit, dan secara struktur berada di bawah direktur yang

membidangi keperawatan. Dilihat dari aspek hukumnya, audit medik yang

dilakukan oleh komite medik yang secara struktural berada di bawah direktur

rumah sakit yang menangani urusan keperawatan bertujuan untuk memberikan

perlindungan hukum baik bagi pasien maupun dokter dan tenaga kesehatan

lainnya. Di sinilah peran dan fungsi hukum pada umumnya dan hukum kesehatan-

kedokteran pada khususnya dalam organisasi rumah sakit, yaitu di satu pihak

mengatur batas-batas tanggung jawab etik rumah sakit terhadap dokter dan tenaga

kesehatan lainnya, dan di lain pihak tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap

masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya (Koeswadji, 1998: 112).

Struktur kelembagaan rumah sakit swasta yang dimiliki dan

diselenggaran oleh Yayasan dapat dilihat dalam lampiran.

c. Fungsi Sosial Rumah Sakit

Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan, Sarana kesehatan dalam

penyelenggaraan kegiatannya tersebut tetap memperhatikan fungsi sosial. Adapun


25

yang dimaksud dengan fungsi sosial sarana kesehatan adalah bahwa dalam

menyelenggarakan kegiatan setiap sarana kesehatan baik yang diselenggarakan

oleh pemerintah maupun oleh masyarakat harus memperhatikan kebutuhan

pelayanan kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-

mata mencari keuntungan.

Kode Etik Rumah Sakit 1986 sudah ada pernyataan: Rumah sakit

sebagai unit sosio-ekonomi tidak semata-mata mencari keuntungan. Hal tersebut

dapat diartikan bahwa dalam penyelenggaraan kegiatannya rumah sakit tidak

mengharamkan mencari keuntungan, tetapi juga tidak boleh mengutamakan

keuntungan, karena rumah sakit bukan suatu badan usaha yang berbentu

perusahaan yang berorientasi laba.

Pemerintah telah menyediakan rambu-rambu untuk penyelenggaraan

rumah sakit yang berfungsi sosial. Adapun penjabaran tentang fungsi sosial

eumah sakit tersebut dapat diketahui dari Pasal 25 Permenkes RI Nomor

99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional jo Pasal 6 ayat (1)

Permenkes Nomor 532/Menkes/Per/IX/1982 tentang Upaya Pelayanan Medik

Swasta jo Permenkes Nomor 290 Tahun 1986 dinyatakan bahwa:

Setiap rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosialnya dengan antara

lain menyediakan fasilitas untuk merawat penderita yang tidak mampu.

Bagi rumah sakit pemerintah sekurang-kurangnya menyediakan 75%

dari kapasitas tempat tidur yang tersedia, sedangkan bagi rumah sakit

swasta sekurang-kurangnya menyediakan 25% dari kapasitas tempat

tidur yang tersedia.


26

Adapun bentuk-bentuk fungsi sosial yang dilakukan oleh rumah sakit

swasta adalah (Lestari, 2001: 46):

1) Menyediakan jumlah tempat tidur kelas III atau kelas khusus untuk

masyarakat kurang mampu atau tidak mampu minimal 25%.

2) Pembebasan biaya bagi masyarakat tidak mampu.

3) Pengaturan tarif bagi masyarakat tidak mampu.

4) Pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa memungut uang muka.

5) Melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan program pemerintah di bidang

kesehatan.

Penyelenggaraan fungsi sosial di atas harus dilaksanakan tanpa

mengurangi mutu pelayanan kesehatan rumah sakit swasta dengan konsep

pelayanan prima. Menurut penulis, dalam praktek fungsi sosial ini hanya semata-

mata diterjemahkan ke dalam bentuk tarif ruang rawat kelas III atau kelas khusus,

bukan biaya pelayanan yang sebenarnya. Tarif tersebut hanya mencakup subsidi

untuk biaya yang dikeluarkan oleh rumah sakit bagi komponen pelayanan umum

non medik, seperti sewa tempat tidur dan sebagian dari kamar, makam dan

pemakaian sprei. Biaya ini biasanya tidak terlalu besar variasinya antar pasien di

rumah sakit. Selain itu, pasien ruang rawat kelas III juga menerima subsidi dari

dokter yang merawatnya dalam bentuk jasa medik gratis, bukan dari rumah sakit

sendiri.Adapun biaya yang harus ditanggung sendiri oleh pasien meliputi biaya

untuk membeli obat, membeli bahan dan barang habis pakai untuk tindakan
27

diagnostic maupun pengobatan, biaya transport ke rumah sakit dan hilangnya

kesempatan untuk memperoleh pendapatan akibat sakitnya (opportunity cost)

(Lestari, 2001: 47).

3. Syirkah

a. Peristilahan dan Pengertian Syirkah

Korporasi (perusahaan atau badan usaha) di dalam hukum Islam disebut

dengan Sharikah atau shirkah atau syirkah (Nyazee, 2002: 13; An Nabhani, 1990:

146-158).

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi'il mâdhi),

yasyraku (fi'il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar);

artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, 1984: 765). Kata

dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut

Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih

fasih (afshah) (Al Mushlih & Ash Shawi, http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?

id=49&idjudul=8).

Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti

mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi

dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146; Dahlan,

2001: 193).

Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua

pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan

memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146; Al Mushlih & Ash Shawi,

http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=49&idjudul=8).
28

Terdapat beberapa pengertian yang dikemukakan para fuqoha tentang

syirkah (Dahlan, 2001: 193), yaitu:

1). Madzhab Maliki, syirkah adalah suatu ijin untuk bertindak hukum bagi dua

orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.

2). Madzhab Syafi’i, syirkah adalah adanya hak bertindak hukum bagi dua orang

atau lebih pada sesuatu yang disepekatinya.

3). Madzhab Hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang-orang yang

bekerjasama dalam modal dan keuntungan.

Berdasarkan beberapa pengertian syirkah tersebut di atas dapat diperoleh

esensi yang sama bahwa syirkah merupakan ikatan kerjasama yang dilakukan oleh

dua orang atau lebih dalam perdagangan. Apabila akad syirkah telah disepakati,

maka semua pihak berhak bertindak hukum dan mendapat keuntungan terhadap

harta serikat itu.

b. Hukum Syirkah

Syirkah hukumnya ja'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadist Nabi saw.

berupa taqrir (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai

nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan

Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan Abu

Hurairah ra: Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari

dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang

lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya. (HR Abu

Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).


29

Syirkah disyariatkan berdasarkan ijma'/konsensus kaum muslimin.

Sandaran ijma' tersebut adalah beberapa dalil tegas seabagai berikut.

1). QS. An Nisa 12: "…tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu….” Saudara-saudara seibu

itu bersekutu atau beraliansi dalam memiliki sepertiga warisan sebelum

dibagi-bagikan kepada yang lain.”

2). QS. Al Anfal 41: "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh

sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah." Harta

rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum muslimin secara kolektif

sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua-nya beraliansi dalam kepemilikan

harta tersebut.

3). Riwayat yang shahih bahwa al-Barra bin Azib dan Zaid bin Arqam keduanya

bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-barang secara kontan

dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah Maka beliau memerintahkan

agar menerima barang-barang yang mereka beli dengan kontan dan menolak

barang-barang yang mereka beli dengan nasi'ah.

c. Rukun Syirkah

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: (1) ijab-kabul, disebut juga

shighat ; (2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki

kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad,

yang disebut juga ma‘qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau

modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
30

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa

tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad,

misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar

keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-

Nabhani, 1990: 146).

d. Bentuk-bentuk dan Prinsip-prinsip Syirkah

Syirkah itu ada dua macam (An-Nabhani, 1990: 148-156; Al Mushlih &

Ash Shawi, http://alsofwah.or.id/cetakekonomi.php?id=49&idjudul=8; Al Jawi,

file://C:\WINDOWSTEMP\CD1V2F1N.htm; Dahlan, 2001: 193-195).

1). Syirkah Hak Milik (Syirkah Amlak), yaitu persekutuan antara dua orang atau

lebih dalam kepemilikan salah satu barang dengan salah satu sebab

kepemilikan, seperti jual beli, hibah atau warisan.

2). Syirkah Transaksional (Syirkah Uqud), yaitu akad kerjasama antara dua orang

yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. Macam-macam Syirkah

Transaksional menurut mayoritas ulama terbagi menjadi beberapa bagian

berikut:

1). Syirkah 'Inan: yaitu persekutuan dalam modal, usaha dan keuntungan. Yaitu

kerjasama antara dua orang atau lebih dengan modal yang mereka miliki

bersama untuk membuka usaha yang mereka lakukan sendiri, lalu berbagi

keuntungan bersama. Jadi modal berasal dari mereka semua, usaha juga

dilakukan mereka bersama, untuk kemudian keuntungan juga dibagi pula

bersama. Syirkah semacam ini berdasarkan ijma' yang dilakukan oleh


31

Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dibolehkan (Nyazee, 2002: 99,

181, 203, 215).

2). Syirkah Abdan (syirkah usaha), yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih

dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, seperti kerjasama sesama

dokter di klinik, atau seorang tukang jahit atau tukang cukur dalam salah satu

pekerjaan. Semuanya dibolehkan menurut Madzhab, Hanafi, Hambali, dan

Maliki, namun Imam Syafi'ie melarangnya (Nyazee, 2002, 101, 185, 207,

215).

3). Syirkah Wujuh, yaitu kerjasama dua pihak atau lebih dalam keuntungan dari

apa yang mereka beli dengan nama baik mereka. Tak seorangpun yang

memiliki modal. Namun masing-masing memilik nama baik di tengah

masyarakat. Mereka membeli sesuatu (untuk dijual kembali) secara hutang,

lalu keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Syirkah semacam ini

dibolehkan menurut kalangan Madzhab Hanafi dan Hambali, namun tidak sah

menurut kalangan Madzhab Maliki dan Syafi'i (Nyazee, 2002, 101, 198, 209,

218).

4). Syirkah Mufawadhah, yaitu setiap kerjasama dimana masing-masing pihak

yang beraliansi memiliki modal, usaha dan hutang piutang yang sama, dari

mulai berjalannya kerjasama hingga akhir. Yaitu kerjasama yang mengandung

unsur penjaminan dan hak-hak yang sama dalam modal, usaha dan hutang.

Kerjasama ini juga dibolehkan menurut mayoritas ulama, namun dilarang oleh

Syafi'i. Kemungkinan yang ditolak oleh Imam Syafi'i adalah bentuk aplikasi

lain dari Syirkah Mufawadhah, yaitu ketika dua orang melakukan perjanjian
32

untuk bersekutu dalam memiliki segala keuntungan dan kerugian, baik karena

harta atau karena sebab lainnya (Nyazee, 2002: 110, 190, 229, 231).

5). Syirkah Mudhârabah, yaitu syirkah antara dua pihak atau lebih dengan

ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (‘amal), sedangkan

pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl). (An-Nabhani, 1990: 152).

Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz

menyebutnya qirâdh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836).

Dari berbagai uraian serta pengertian dari masing-masing bentuk syirkah

tersebut di atas dapat dirumuskan tentang prinsip-prinsip syirkah sebagai berikut.

1) Harta kekayaan sebagai modal

2) Tujuan mencari keuntungan

3) Fungsi dan tanggung jawab organ

Rumusan di atas akan digunakan sebagai pembatasan pengertian tentang

prinsip-prinsip syirkah dalam penelitian, dan untuk selanjutnya akan dibahas

sesuai dengan tujuan penelitian.

H. METODE PENELITIAN

1.Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan

konseptual (conceptual approach) yaitu mencari asas-asas, doktrin –doktrin dan

sumber hukum dalam arti filosofis yuridis (Marzuki, 2005: 137-139) untuk

memahami prinsip-prinsip korporasi dan kemungkinan diterapkan pada lembaga

Rumah Sakit. Selanjutnya penelitian ini juga mencari bentuk konsep penerapan
33

prinsip-prinsip korporasi kedalam RS Muhammadiyah yang sarat dengan nilai

nilai Islam.

Penelitian ini akan mengakaji asas- asas yang berlaku umum atau

disebut penelitian filosofis (Sukanto & Mamudji, 1985:62) terhadap norma,

kaidah serta peraturan perundangan yang terkait dengan kelembagaan korporasi,

kelembagaan rumah sakit dan ajaran Islam tentang syirkah (badan usaha).

2. Bahan Penelitian

Untuk mendapatkan bahan penelitian tersebut, maka penelitian ini akan

dilakukan dengan studi pustaka yang mengkaji bahan hukum (Marzuki, 2005: 44).

Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan yang

berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dan

bahan non hukum.

1) Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan

peraturan perundangan yang terdiri dari

a) Quran dan Hadist

b) Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945

c) KUH Perdata dan KUH Dagang

d) Peraturan Perundangan tentang korporasi (badan usaha)

e) Peraturan Perundangan tentang yayasan dan perkumpulan

f) Peraturan perundang tentang Rumah Sakit.

g) Peraturan perundang lain yang terkait dengan penelitian


34

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya

dengan bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses

analisis, yaitu:

a) Buku-buku ilmiah yang terkait.

b) Hasil penelitian terkait.

c) Makalah-makalah seminar yang terkait.

d) Jurnal-jurnal dan literatur yang terkait.

e) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis

maupun tidak tertulis.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.

4) Bahan Non Hukum, yaitu bahan yang digunakan sebagai pelengkap

bahan hukum yaitu :

a). Buku buku tentang penyelenggaran Rumah Sakit

b). Hasil penelitian tentang penyelenggaran Rumah Sakit

c). Jurnal tentang penyelenggaran Rumah Sakit

3. Tempat Pengambilan Bahan Penelitian

Bahan hukum baik primer, sekunder mapun tersier serta bahan non

hukum dalam penelitian ini akan diambil di tempat :

1) Berbagai perpustakaan, baik lokal maupun nasional

2) Departemen terkait

3) Rumah Sakit Muhammadiyah dan rumah sakit lainnya

4) Media massa cetak dan Media Internet

4. Alat dan Cara Pengambilan Bahan Penelitian


35

1). Bahan hukum primer, sekunder dan tersier akan diperoleh melalui

studi kepustakaan dengan cara menghimpun semua peraturan

perundangan , dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal

ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya untuk

peraturan perundangan maupun dokumen yang ada akan diambil

pengertian pokok atau kaidah hukumnya dari masing masing isi

pasalnya yang terkait dengan permasalahan, sementara untuk buku,

makalah dan jurnal ilmiah akan diambil teori, maupun pernyataan

yang terkait, dan akhirnya semua data tersebut di atas akan disusun

secara sistematis agar memudahkan proses analisis.

2). Bahan Non Hukum yang berupa jurnal,dokumen, buku-buku maupun

hasil penelitian tentang penyelenggaraan rumah sakit akan diperoleh

melalui studi kepustakaan untuk dipahami dan selanjutnya digunakan

sebagai pelengkap bagi bahan hukum

3). Bahan Hukum sekunder yang merupakan pendapat dari ahli hukum

yang terkait dengan penelitian cara pengambilannya dengan

menggunakan metode wawancara secara tertulis (Marzuki, 2005: 164-

166 ;Sukanto & Mamudji 1985: 62).

5. Teknik Analisis Data

Bahan hukum dan bahan non hukum yang diperoleh dalam penelitian ini

akan dianalisis secara preskriptif dengan menggunakan metode deduktif yaitu

data umum tentang konsepsi hukum baik berupa asas-asas hukum, postulat serta

ajaran-ajaran (doktrin) dan pendapat para ahli yang dirangkai secara sistematis
36

sebagai susunan fakta-fakta hukum untuk mengkaji kemungkinan penerapan

prinsip-prinsip korporasi ke dalam kelembagaan RS Muhammadiyah yang

berfungsi sosial serta mendasarkan pada ajaran nilai-nilai Islam.

Anda mungkin juga menyukai