PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global yang terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim ini, akan berdampak secara
ekonomi pada gross domestic product (GDP) global yang menurun hingga 20%
(Stern, 2006). Isu perubahan iklim juga menjadi semakin mengkhawatirkan
dengan pertumbuhan ekonomi secara global yang semakin cepat dengan
berkembangnya bisnis-bisnis di berbagai sektor yang akan meningkatkan
produksi GHG (Pinkse & Kolk, 2009). Menanggapi permasalahan ini, Global
Sustainability Standards Boards (GSSB) mengeluarkan global reporting initiative
(GRI-305) terkait pelaporan GHG, sehingga perusahaan diharuskan untuk
memenuhi persyaratan dalam pelaporan GHG. Tidak hanya GSSB, United Nations
(UN) juga mengeluarkan inisiatif pencegahan perubahan iklim melalui United
Nations Framework Convention Climate Change (UNFCCC) yang bertujuan agar
negara-negara ikut aktif dalam menstabilkan produksi GHG sesuai dengan target
peningkatan yang ditetapkan, yaitu kurang dari dua derajat celcius. Dengan
langkah awal melalui dibuatnya GRI-305 dan konferensi UNFCCC, perusahaan
dapat mampu lebih sustainable terhadap risiko bisnis dari perubahan iklim. Hal
ini dikarenakan, perusahaan tidak dapat lepas dari nilai dan norma yang berlaku
di masyarakat, yang membuat aktivitas dari perusahaan akan didorong untuk
selaras dengan nilai dan norma tersebut (Pinkse & Kolk, 2009).
0
dan membentuk banyak badan dan kerangka kerja untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim di berbagai sektor, seperti sektor energi, transportasi, dan
pertanian. Meskipun begitu, upaya-upaya tersebut dinilai masih kurang efektif
dengan membandingkan kinerja pengurangan GHG ASEAN dengan kinerja dari
negara-negara kawasan luar ASEAN (Ding & Beh, 2022). Dengan demikian,
penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pengungkapan
perubahan iklim di Negara ASEAN sangat menarik untuk dilakukan. Penelitian ini
ingin melihat dan menjawab apakah keberagaman gender dewan direksi dan
komisaris dapat mempengaruhi kualitas dari pengungkapan perubahan iklim di
ASEAN periode 2016-2020 dengan menggunakan data sekunder yang diukur oleh
lembaga independen yakni Carbon Disclosure Project (CDP).
Keberagaman direksi dan komisaris adalah salah satu mekanisme tata kelola
yang relevan dalam meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan
terlihat dari studi-studi beberapa tahun terakhir yang membahas mengenai topik
ini. Studi tersebut meneliti mengenai keterkaitan antara keberagaman gender
dalam dewan direksi dan komisaris dengan pengambilan keputusan perusahaan
yang akan berpengaruh pada performa perusahaan hingga tanggung jawab sosial
perusahaan. Pada studi yang dilakukan oleh Bernile, Bhagwat & Yonker, (2018),
menunjukkan bahwa dengan adanya keberagaman dalam dewan direksi dan
komisaris, yang diukur dengan gender dan etnis, menunjukkan adanya pengaruh
terhadap performa perusahaan dalam mengurangi dampak dari firm risk. Dengan
adanya direksi dan komisaris yang beragam, perusahaan mampu mengurangi
permasalah yang mungkin timbul seperti “groupthink”, yaitu direksi dan
komisaris lebih mementingkan perusahaan yang kohesif atau solidaritas yang
tinggi sehingga cenderung tidak bersifat kritis terhadap keputusan perusahaan
(Goldhaber, 1993). Dari studi lainnya yang dilakukan oleh Chen, Gramlich &
Houser, (2019), menunjukkan adanya keterkaitan antara keberagaman gender
dalam dewan direksi dan komisaris dengan reputasi perusahaan. Hal ini terlihat
dari kecenderungan perusahaan untuk tidak melakukan strategi tax avoidance
1
yang agresif dan akan berdampak pada reputasi perusahaan kedepannya.
Kemudian, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Liao, Luo & Tang, (2015);
Tingbani, Chithambo & Papanikolaou, (2020), menunjukkan bahwa perbedaan
atau keragaman dalam konteks usia, pendidikan, pengalaman, jenis kelamin, dan
etnis cenderung dapat meningkatkan pengetahuan, pertimbangan dan keahlian
yang dibutuhkan untuk meminimalisir permasalahan yang kompleks terjadi di
dalam perusahaan. Argumentasi ini mengacu pada teori socialization dimana
teori tersebut menyatakan bahwa wanita dan laki-laki memperlihatkan bentuk
sosialisasi yang berbeda satu sama lain. Direksi dan komisaris wanita yang
merupakan bagian dari keberagaman aspek jenis kelamin dapat memberikan
karakteristik yang berbeda dengan gaya kepemimpinan yang lebih demokratis
dan partisipatif yang dapat meningkatkan kualitas dan pengawasan terhadap
pengungkapan perusahaan (Eagly & Johannsen, 2003; Eagly & Johnson, 1990;
Rudman & Glick, 2001).
2
Hal ini selaras dengan teori socialization yang menyebutkan bahwa direktur
wanita memiliki sifat yang lebih social-oriented dan sensitif terhadap
permasalahan sosial, khususnya terkait greenhouse gas emission (GHG) yang
berpengaruh pada pemanasan global dan berdampak pada perubahan iklim
global. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pedro-Lorenzo dan Garcia-
Sanchez (2010) tidak menunjukan adanya efek keberagaman gender di susunan
direksi dan komisaris terhadap pengungkapan GHG. Dari hasil penelitian yang
menghubungkan keberagaman gender dewan direksi dan komisaris dengan
kinerja lingkungan masih terbatas dan menunjukkan hasil beragam, terutama
penelitian terkait pengungkapan perubahan iklim (Zhang, 2012; Pedro-Lorenzo &
Garcia-Sanchez, 2010).
3
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat, penelitian ini bertujuan
untuk menemukan tujuan atas hal-hal berikut:
1. Untuk menganalisis apakah dampak keberagaman gender direksi dan
komisaris berpengaruh terhadap pengungkapan perubahan iklim.
2. Untuk menganalisis apakah jumlah direksi dan komisaris wanita
berdasarkan critical mass theory mempengaruhi pengungkapan
perubahan iklim.
4
3. Penelitian ini dilakukan pada negara-negara ASEAN meliputi Indonesia,
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina karena sulitnya memperoleh
informasi dari beberapa negara lainnya.
4. Penelitian ini, menggunakan keberagaman gender dari direksi dan
komisaris karena objek penelitian yang digunakan di berbagai negara
menganut sistem direksi dan komisaris yang berbeda-beda.
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
6
2.2 Socialization Theory
Wanita dan laki-laki memiliki bentuk sosialisasi yang berbeda-beda dimana
mereka telah belajar mengenai perbedaan peran gender yang telah ditentukan
secara budaya. Secara teoritis, socialization theory menyebutkan bahwa wanita
cenderung berperan sebagai pengambil keputusan dan lebih memahami serta
mematuhi standar etika. Dalam socialization theory ini juga membenarkan
sebuah gagasan bahwa peran gender dalam sosial terkait nilai-nilai dan etika
telah ditanamkan sejak dini. Dengan demikian, laki-laki dan wanita ditemukan
memiliki gaya kepemimpinan dan pengambilan keputusan kontradiktif satu sama
lain yang dimana hal tersebut mengacu pada nilai-nilai sosial dan etika yang
mendasarinya (Oakley, 1972). Kehadiran wanita di direksi dan komisaris dapat
secara signifikan mengurangi perilaku tidak bertanggung jawab di setiap level
dalam perusahaan. Peran wanita dalam perusahaan dinilai mampu mendorong
efek positif terhadap peningkatan kinerja perusahaan karena wanita cenderung
menunjukkan sifat kehati-hatian dan teliti terhadap pekerjaanya sehingga
karakter tersebut dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya risiko yang besar.
7
Bukti empiris lainnya mendukung pendapat misalnya dewan dengan
keberagaman gender di perusahaan dikaitkan dapat menunjukkan praktik
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang lebih tinggi (Nadeem, Zaman, &
Saleem, 2017), serta dapat meminimalisir adanya penipuan sekuritas (Cumming
et al. 2015), dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya insiden penyimpangan
sosial di perusahaan (Jain & Zaman, 2019). Dengan pendapat yang sama, dapat
dikatakan dengan terdapatnya representasi wanita di dalam dewan akan lebih
mungkin untuk mempromosikan kebijakan perusahaan mengenai inovasi
lingkungan.
8
2.3.3 Tilted Groups
Tilted Groups adalah grup dengan distribusi yang hampir sama dengan Skewed
Groups, namun dengan proporsi yang tidak ekstrim. Menurut Kanter, kelompok
ini memiliki proporsi 20-40% wanita.
Mengenai proses interaksi kelompok yang dibagi menjadi empat kategori, Kanter
beranggapan bahwa Skewed Groups merupakan grup yang harus dihindari oleh
perusahaan. Hal ini karena, kemungkinan besar “token” akan diabaikan dan
mereka harus mengikuti stereotype yang ada dalam perusahaan. Untuk “token:
dapat mengatasi hal tersebut, antara harus menyembunyikan karakteristik
individu mereka dibalik stereotype yang ada atau berpura-pura seakan
perbedaan antara pria dengan wanita tidak ada. Dengan peningkatan jumlah
relatif dari Skewed Groups ke Tilted Groups atau Balance Groups, wanita akan
lebih mungkin untuk dibedakan secara individual dari masing-masing. Sehingga,
mereka mungkin juga membawa basis pengetahuan dan perspektif mereka yang
berbeda. Seperti yang diutarakan melalui riset terdahulu mengenai perbedaan
antara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh direksi dan komisaris pria
dan wanita. Dalam riset tersebut, direksi dan komisaris wanita cenderung kurang
agresif dalam pengambilan keputusan terkait strategi perusahaan dan lebih
cenderung mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip keberlanjutan
(Charness & Gneezy, 2012).
Oleh karena itu, wanita dapat menambahkan value ke dalam didominasi pria
dengan memberikan perspektif baru dan dengan mengajukan pertanyaan yang
berbeda (Farrell & Hersch 2005). Sementara dalam kelompok miring, perspektif
9
baru ini mungkin tidak cukup diungkapkan oleh tanda wanita atau tidak terlihat
oleh laki-laki dominan, dalam kelompok miring atau seimbang, kombinasi atribut
wanita dan laki-laki akan lebih memungkinkan untuk diskusi produktif dan
karenanya akan berpengaruh positif terhadap kinerja kelompok (Apesteguia et
al. 2012). Singkatnya, teori massa kritis mendalilkan bahwa sampai ambang
tertentu atau "massa kritis" wanita dalam suatu kelompok tercapai, fokus
anggota kelompok bukanlah pada kemampuan dan keterampilan yang berbeda
yang dibawa wanita ke dalam kelompok. Akibatnya, kelompok miring akan
memiliki kinerja yang lebih rendah daripada kelompok yang seragam atau miring
dan seimbang. Kelompok miring-yaitu, kelompok di mana massa kritis 20-40%
wanita telah tercapai-akan mengungguli kelompok seragam dan miring.
10
2.5 Carbon Disclosure Project (CDP)
Carbon Disclosure Project (CDP) adalah sebuah lembaga independen non-profit
yang bergerak dalam menjalankan sistem pengungkapan global bagi perusahaan,
investor, wilayah terkait pengelolaan dampak lingkungan yang dihasilkan.
Lembaga ini berdiri pada tahun 2000 dan pertama kali didirikan oleh Paul
Dickinson. Perekonomian dunia menganggap CDP sebagai standar terbaik
pelaporan lingkungan dengan menyediakan beragam informasi data yang
lengkap tentang isu-isu yang berhubungan dengan keberlangsungan lingkungan.
Adapun visi dan misi yang dimiliki oleh CDP yakni sebagai sarana untuk melihat
ekonomi yang berkembang yang dapat bekerja tidak hanya untuk manusia
namun planet dalam jangka panjang. CDP ingin memfokuskan para investor,
pemerintah, kota, dan perusahaan untuk menciptakan ekonomi yang
berkelanjutan dengan mengukur dan bertindak sesuai dampak lingkungan yang
diciptakan. Carbon Disclosure Project (CDP) memiliki kantor regional dan partner
lokal tersebar di 50 negara. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 90 negara telah
melakukan pengungkapan melalui CDP setiap tahunnya. Fokus area yang dimiliki
oleh CDP yaitu terkait climate change, water, dan forest. CDP memiliki industri-
industri yang tercatat dalam penilaian lembaga Carbon Disclosure Project
meliputi Agricultural commodities, Capital goods, Cement, Chemicals, Coal,
Construction, Electric utilities, Financial services, Food, beverage & tobacco
Metals & mining, Oil & gas, Paper & forestry, Real estate, Steel, Transport OEMS,
Transport OEMS - EPM, dan Transport services (CDP Climate Change
Questionnaire, 2021).
11
kepada perusahaan dalam mengukur dan mengelola dampak lingkungan melalui
partisipasi hal-hal yang berhubungan dengan climate change, water, forest, dan
program supply chain. Setiap kuesioner CDP mencakup pertanyaan-pertanyaan
umum dan memiliki metodologi penilaian individu. Skor kuesioner CDP dilakukan
oleh mitra penilaian yang terakreditasi dan terlatih oleh Carbon Disclosure
Project (CDP). Penilaian memberikan jalan bagi perusahaan untuk mencapai
praktik terbaik dengan mengembangkan dan mendorong perubahan perilaku
perusahaan untuk meningkatkan kinerja lingkungan. Perusahaan yang merespon
akan dinilai menjadi empat level yang mewakili langkah-langkah yang dilalui
perusahaan dalam pengelolaan lingkungan. Empat level tersebut yaitu
Disclosure, Awareness, Management and Leadership. Level terbaik tertera pada
bagian Leadership dengan nilai skoring A- dan A diiringi level Management
dengan nilai skor B- dan B, lalu Awareness pada nilai C- dan C, serta level
terendah yakni level Disclosure dengan nilai D- dan D.
12
level selanjutnya, yaitu Awareness hingga Leadership. Dari penilaian tersebut,
pihak CDP akan melakukan assessment pada aspek apa saja yang perlu diperbaiki
atau ditingkatkan agar perusahaan dapat menunjukkan performa yang lebih baik
kedepannya.
13
perusahaan-perusahaan dengan ukuran skala yang besar sehingga tidak dapat
menggambarkan secara keseluruhan terutama kepada perusahaan yang memiliki
ukuran kategori skala medium to small.
Kemudian, penelitian yang dilakukan pada tahun 2020 oleh Binh Bui, Muhammad
Nurul Houqe, Mahbub Zaman berjudul “Climate governance effects on carbon
disclosure and performance” menggunakan data sebanyak 361 perusahaan,
termasuk 176 observasi untuk tahun 2014 dan 185 observasi untuk tahun 2015,
serta sumber data yang berasal dari Standards and Poor (S&P) 500 index.
Penelitian ini didorong untuk mengkaji dampak gabungan yang dihasilkan dari
climate governance terhadap carbon disclosure. Adapun tools yang diberlakukan
dalam penelitian ini yaitu OLS Regression Tests. Saat ini perusahaan-perusahaan
didorong untuk bertanggung jawab tidak hanya terhadap kinerja atau performa
keuangan yang dihasilkan tetapi juga terhadap dampak sosial yang dimiliki.
Dengan demikian, ditemukan hasil bahwa climate governance terhadap carbon
disclosure menunjukkan hasil yang positif. Terdapat dependen variabel yang
diterapkan yaitu Carbon disclosure. Independen variabel dalam jurnal ini adalah
carbon performance, change in carbon performance, dummy variable for change
in carbon performance corporate governance, climate governance, board
responsibility, executive incentives, frequency of carbon reporting, horizon of
carbon information, board environmental committee, board diversity, board size,
board independence, executive duality, executive compensation dan kontrol
variabel yakni firm size, financial performance, firm leverage innovation
capability, age of assets, capital intensity industry's environmental sensitivity, dan
industry's litigation sensitivity.
Penelitian yang dikaji oleh Muhammad Nadeem, Stephen Bahadar, Ammar Ali
Gull, Umer Iqbal di tahun 2020 ini memiliki judul “Are women eco-friendly?
Board gender diversity and environmental innovation”. Terdapat variabel
dependen yang diusung dalam penelitian ini yaitu process innovation dan
14
product innovation. Lalu, variabel independen yang diterapkan yakni persentase
wanita dalam dewan direktur dan BLAU index of diversity. Adapun variabel
kontrol yaitu total number of board members, percentage of independent board
members, CEO duality, corporate social responsibility committee, corporate
governance committee, firm size, leverage, market to book ratio, ROA, CAPEX,
Industry, dan year. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji
hubungan antara keberagaman gender dengan inovasi lingkungan yang diukur
sebagai process innovation dan product innovation. Terdapat dua teori yang
digunakan yakni Upper echelon theory dan Gender socialization theory. Sampel
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah US listed firms covered in
ASSET4 antara tahun 2002 dan 2018 dengan menggunakan sampel awal
sebanyak 43.470 firm year observation dan 10,334 perusahaan sebagai sampel
akhir atau final. Terdapat hasil dimana disebutkan bahwa keberagaman gender
memiliki hubungan positif signifikan dengan process innovation dan product
innovation.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Christian Ott, Frank Schiemann, Thomas
Günther di tahun 2017 dengan judul “Disentangling the determinants of the
response and the publication decisions: The case of the Carbon Disclosure
Project”, sampel data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 59
negara dengan total 3992 perusahaan. Keputusan perusahaan dalam
mempublikasikan informasi bersifat rahasia merupakan kunci dalam penelitian
pengungkapan. Carbon Disclosure Project (CDP) mengirimkan kuesioner kepada
perusahaan-perusahaan di seluruh dunia dengan tujuan untuk mengumpulkan
informasi dan data terkait emisi GreenHouse Gases (GHG) dan cara untuk
menguranginya. Dalam penelitian disebutkan jika dampak kinerja lingkungan
pada firm’s publication decision berbeda antara industri carbon intensive dengan
non-carbon intensive. Variabel dependen yang digunakan yaitu response dan
publication serta variabel independen yakni profitability, ISO 14000 certification,
CSR report, environmental performance, squared environmental performance,
15
market concentration substitutability, dan market size. Adapun variabel kontrol
yang digunakan yakni firm size, age of PPE, capital expenditures carbon intensity,
emissions trading scheme, CDP signatories, leverage, previous reporting of GHG
emissions, response experience, dan publication experience. Hasil dari riset ini
menunjukkan bahwa certified environmental management system (EMS) dan CSR
report menjadi determinan dari keputusan perusahaan dalam melakukan
‘response’ dan perusahaan melakukan ‘publication’.
Di tahun 2015, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lin Liao, Le Luo, Qingliang
Tang dengan judul penelitian “Gender diversity, board independence,
environmental committee and greenhouse gas disclosure” menggunakan sampel
sebanyak 329 data perusahaan yang ada di United Kingdom. Variabel dependen
yang akan diinvestigasi dalam jurnal ini adalah tingkat voluntarily disclosure
perusahaan yang diukur melalui partisipasi perusahaan terhadap Carbon
Disclosure Project (CDP). Variabel independen yang digunakan adalah percentage
of female directors on the board, percentage of independent directors on the
board, dan board-level environmental committee. Serta, variabel kontrol meliputi
number of directors, total number of meetings held in a year, the board chairman
is a non-executive directors, percentage of non-executive directors serving on the
board, CEO duality, remuneration includes a short-term bonus, share option, and
long term bonus, percentage of ordinary shares owned by all executive directors,
percentage of ordinary shares owned by all non-executive directors, percentage
of total ordinary shares owned by substantial shareholder, firm size, leverage,
ROA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana dampak
dari karakteristik dewan perusahaan terhadap voluntary disclosure emisi
GreenHouse Gases (GHG) yang disajikan dalam bentuk Carbon Disclosure Project
(CDP) report dengan menggunakan Univariate Regression Model dan
Multivariate Regression Model serta menggunakan dua teori yakni legitimacy
theory dan agency theory. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya
16
keberadaan environment committee memberikan pengaruh positif terhadap
tujuan keuangan dan non-keuangan perusahaan.
17
Peneliti menggunakan variabel dependen yakni voluntary environmental
disclosure dan variabel independen yaitu environmental performance proxy.
Adapun variabel kontrol dalam penelitian ini adalah Amount of debt or equity
capital raised by the firm, Tobin’s Q, Stock price volatility, ROA, Leverage, Firm
size, Asset newness, dan Capital intensity. Dari jurnal ini, ditemukan hasil yang
menunjukkan bahwa terdapat adanya positive association antara environmental
performance dan disclosures in environmental dan social reports.
Terakhir, literature review yang ditulis oleh Barbara Sveva dan Luca Pirolo di
tahun 2021 membahas mengenai apakah keberagaman dari direktur di suatu
perusahaan akan memberikan dampak bagi perusahaan yang terdiri dari
corporate social performance, organizational performance, innovation, firm risk,
profitabilitas, dan nilai dari perusahaan. Keberagaman dewan direksi dan
komisaris diukur melalui keberagaman gender, female representation,
keberagaman usia, dan keberagaman kewarganegaraan. Hasil dari penelitian
yang dilakukan diambil dari jurnal-jurnal terdahulu yaitu terkait keberagaman
gender, memiliki hasil yang beragam. Beberapa jurnal menunjukkan hasil yang
positif dan beberapa negatif. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
regulasi dari tata kelola perusahaan di masing-masing negara. Selanjutnya,
female presence dalam perusahaan yang mengacu pada teori oleh Kanter di
tahun 1997 menunjukkan bahwa dampak dari adanya direktur wanita dalam
perusahaan baru dapat terlihat apabila jumlah dari direktur wanita mencapai
20% hingga 40% dari total dewan direksi. Kemudian, keberagaman usia yang
dilihat dari adanya direktur muda dalam perusahaan. Pada umumnya direktur
pada perusahaan berusia 58 tahun bahkan hingga 70 tahun keatas. Dengan
adanya direktur muda dalam perusahaan dapat memberikan dampak baik bagi
perusahaan karena direktur muda biasanya memiliki educational level yang lebih
tinggi, lebih fleksibel, dan lebih energetic dibandingkan dengan direktur yang
berusia tua. Selanjutnya, adanya dewan direksi dan komisaris dengan berbeda
kewarganegaraan yang mengalami peningkatan dari 23% di tahun 2009 menjadi
18
30% di tahun 2020. Pada dasarnya, dengan memiliki direksi dan komisaris yang
beragam dari sisi kewarganegaraan dapat memberikan akses untuk sumber daya
yang lebih luas yang mampu meningkatkan performa perusahaan. Namun
kenyataanya hal ini hanya bisa dicapai apabila perusahaan memiliki integritas
untuk minoritas dalam perusahaan, yang dalam hal ini adalah foreigners. Selain
itu, dengan adanya foreigners sebagai dewan direktur dapat memberikan
dampak buruk seperti masalah komunikasi akibat adanya perbedaan budaya.
19
wanita di dewan direksi dan komisaris yakni teori socialization. Di dalam teori
socialization dikatakan bahwa laki-laki dan wanita mengadopsi kualitas individu
yang berbeda. Misalnya, wanita cenderung lebih peduli terhadap lingkungan,
kepentingan pemangku, mengandung nilai-nilai komunal, dan lebih mungkin
untuk mempromosikan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan
dan cenderung tidak merugikan masyarakat.
Pada sebuah studi literatur mengenai kegiatan CSR, dijelaskan bahwa Corporate
Social Responsibility (CSR) merupakan kegiatan sukarela yang dilakukan oleh
perusahaan untuk beroperasi secara ekonomi, sosial dan lingkungan yang
berkelanjutan. Bear et al. 2010, menjelaskan bahwa jumlah wanita sebagai
dewan direksi dan komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja CSR yang
diiringi oleh jumlah wanita yang meningkat seiring dengan peningkatan peringkat
CSR. Dewan yang lebih beragam, mendorong untuk memberikan perspektif yang
lebih luas sehingga komposisi wanita yang lebih besar diharapkan dapat
berdampak positif terhadap kepedulian lingkungan. Hal ini tentunya sejalan
dengan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Liao et al. 2015 dan juga
socialization theory, bahwa wanita memiliki sikap peduli lingkungan yang tinggi
dan peduli terhadap masalah sosial terkait lingkungan, serta lebih termotivasi
untuk mengelola risiko lingkungan. Sedangkan menurut penelitian yang
dilakukan oleh Ramadhani & Adhariani (2015) menyebutkan bahwa
keberagaman gender dalam dewan direksi dan komisaris tidak memberikan
pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Ada atau tidaknya representasi wanita
dalam perusahaan belum tentu memberikan pengaruh besar terhadap
manajemen yang dimana disebabkan oleh sifat wanita yang dinilai
mengedepankan prinsip kehati-hatian dan menjauhi resiko besar yang mungkin
dapat terjadi.
Terdapatnya sifat-sifat unik yang dimiliki oleh wanita seperti yang disebutkan
pada bagian sebelumnya membuat wanita dinilai lebih mematuhi kode etik
20
dibandingkan laki-laki di dalam perusahaan (Ibrahim et al., 2009). Studi
sebelumnya menyebutkan bahwa direktur wanita menganut karakter atau
kepribadian yang baik seperti penyayang dan lebih peduli kepada kepentingan
orang lain (Eagly, Johannesen-Schmidt, & Van Engen, 2003). Oleh sebab itu, hal
ini menunjukkan bahwa representasi wanita dalam susunan dewan dinilai
mampu mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih baik terkait
lingkungan dan juga meminimalisir kemungkinan dampak negatif yang dihasilkan.
Adapun pada hipotesis pertama (H1) ini menggunakan 2 proxy yakni, persentase
perempuan dalam dewan direksi serta komisaris dan Blau Index.
Mengingat fokus peneliti dalam hal ini adalah untuk menganalisis terkait
perwakilan wanita di dewan dengan pengungkapan perubahan iklim, peneliti
memprediksikan perusahaan dari negara ASEAN yang menjadi sampel penelitian
memiliki hubungan positif antara keberagaman gender dengan pengungkapan
perubahan iklim.
H1: Terdapat hubungan positif antara perwakilan wanita di dewan direksi
dan Komisaris terhadap pengungkapan perubahan iklim
2.7.2 Pengaruh Jumlah Direksi dan Komisaris Wanita Berdasarkan Critical Mass
Theory terhadap Pengungkapan Perubahan Iklim
Permasalahan mengenai jumlah wanita sebagai direksi dan komisaris bergantung
pada dampak yang diberikan atas adanya direksi dan komisaris wanita di dalam
perusahaan. Menurut critical mass theory yang diutarakan oleh Kanter (1977a),
minoritas hanya dapat memberikan dampak atau perubahan ketika angka critical
mass sudah tercapai. Berdasarkan penelitian Kanter, grup atau perusahaan
dibagi menjadi empat kategori sesuai dengan proporsi keberagaman gender pria
dan wanita pada perusahaan. Kategori pertama yaitu Uniform Groups yang
menunjukkan komposisi grup yang homogen atau sama. Kategori kedua, Skewed
Groups yang terdiri dari 20% wanita dan 80% pria. Kategori ketiga, Tilted Groups
21
yang memiliki komposisi lebih dari 20% hingga 40% wanita. Kategori keempat,
Balanced Group dengan komposisi lebih dari 40 hingga 60% wanita dalam
perusahaan. Pada male-dominated companies, dengan komposisi wanita sekitar
antara 20% hingga 40% individu-individu yang termasuk minoritas hanya akan
dilihat sebagai perwakilan dan tidak akan mampu memberikan efek perubahan
kepada perusahan atau disebut sebagai “token”.
Beberapa studi yang menggunakan critical mass theory menunjukkan hasil yang
beragam. Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh Torchia et al. (2011), jika hanya
ada satu atau dua wanita sebagai dewan direksi dan komisaris dengan ukuran
rata-rata dewan adalah 8 hingga 10, mereka tidak dapat membuat perbedaan
dalam proses pengambilan keputusan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Crowley (2006) mengenai pemilihan anggota legislatif wanita terhadap
Equal Rights Amendment (ERA). Dengan menggunakan tingkat representasi 15%
pada wanita dalam susunan legislatif, Jocelyn menunjukkan adanya kemungkinan
untuk meratifikasi Equal Rights Amendment (ERA) di Amerika Serikat. Hal ini
bertolak belakang dengan apa yang Kanter utarakan dan juga penelitian yang
dilakukan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa token level adalah kurang dari
20%.
Sehingga, penelitian ini menguji apakah jumlah lebih dari dua wanita, yang
merupakan token level yang disebutkan oleh Kanter, dalam jajaran direksi dan
komisaris akan berpengaruh terhadap pengungkapan perubahan iklim.
H2: Terdapat hubungan positif antara dua atau lebih direksi dan
komisaris wanita dalam perusahaan terhadap pengungkapan perubahan
iklim.
22
iklim. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi adalah board independence,
CEO duality, board size, firm size, profitability, leverage, investments
opportunities, dan high-carbon industry.
Berdasarkan riset terdahulu yang dilakukan oleh García and Sánchez (2010),
menunjukkan bahwa board independence mampu mempengaruhi pengungkapan
sukarela karena perusahaan menjadi lebih efektif dan transparan akibat aktivitas
monitoring yang meningkat.
Menurut Cerbioni and Parbonetti (2007), dengan adanya pemisahan antara chief
executive officer dan board chairperson memiliki hubungan yang sejalan dengan
tingkat pengungkapan perubahan iklim. Hal ini disebabkan karena dewan yang
merangkap umumnya dapat mengurangi kemampuan secara efektif dalam
mengontrol manajemen perusahaan, yang kemudian dapat menghasilkan tingkat
pengungkapan sukarela dan transparansi yang lebih rendah.
Mengacu pada riset yang dilakukan oleh Laksmana (2008), menunjukkan bahwa
semakin banyak direktur dalam perusahaan akan memungkinkan distribusi
pekerjaan dan tanggung jawab menjadi lebih baik, serta pengambilan keputusan
yang lebih adil. Adapun sebaliknya, ketika sebuah perusahaan memiliki jumlah
dewan direksi dan komisaris yang sedikit, akan mengakibatkan perusahaan lebih
tidak transparan. Tidak hanya pendistribusian pekerjaan menjadi lebih baik,
dengan jumlah direksi dan komisaris yang lebih besar juga dapat menjadi
resource bagi perusahaan dalam menciptakan dan mengembankan ide-ide
terbaik bagi perusahaan.
23
pada riset yang dilakukan oleh Stanny & Ely (2008), untuk mengukur profitabilitas
perusahaan dengan menggunakan rasio return on assets (ROA) dan financial
leverage menggunakan debt to equity ratio (DER).
Kemudian beberapa studi terdahulu (Meek et al. 1995; Brammer & Pavelin 2006;
Stanny & Ely 2008) menyampaikan bahwa industri perusahaan juga berperan
dalam voluntary disclosure perusahaan. Perusahaan dari industri yang
menghasilkan karbon tinggi seharusnya memiliki kepedulian terhadap iklim yang
lebih tinggi oleh karena itu perusahaan dalam kategori ini dapat memberikan
lebih banyak informasi terkait perubahan iklim dan strategi perusahaan dalam
menanggapi hal tersebut. Penelitian ini mengikuti metodologi CDP yang
mengklasifikasikan industri auto-mobile, chemicals, forest products, utilities, oil
and gas, mining, pipelines, precious metals, steel, and transportation ke dalam
kategori karbon tinggi (Ben-Amar, Chang & McIlkenny, 2017)..
24
2.9 Kerangka Penelitian
Berdasarkan hipotesis yang telah dikembangkan, berikut merupakan kerangka
dari penelitian ini. Keberagaman gender sebagai variabel independen akan
berpengaruh terhadap Pengungkapan Perubahan Iklim sebagai variabel
dependen. Selain itu, variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian adalah
Board Independence, CEO Duality, Board Size, Firm Size, Return on Assets, Debt-
to-Equity Ratio, Price-to-Book Value dan High-carbon Industry.
25
BAB 3
METODE PENELITIAN
26
3.2.2 Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian ini menggunakan keberagaman gender
dewan direksi dan komisaris yang diukur melalui persentase direktur dan
komisaris wanita dalam dewan perusahaan yang dengan membagi jumlah direksi
dan komisaris wanita dengan total direksi dan komisaris.
Number of Women
PERCENT −WOMEN =
Board ¿ ¿ ¿
Negara-negara yang digunakan dalam penelitian ini menganut sistem atau aturan
terkait direksi dan komisaris yang berbeda satu sama lain yakni one-tier dan two-
tier. One-tier board system merupakan sistem penggabungan organ pengontrol
dan pengawas di dalam satu susunan bagan perusahaan, yang biasanya disebut
sebagai direksi (Hungarian Act IV, 2006). Adapun negara-negara dalam
penelitian yang menerapkan sistem one-tier meliputi Singapore, Malaysia,
Filipina, dan Thailand. Sedangkan Indonesia menggunakan sistem two-tier.
Berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas,
mengatur adanya pemisahan Organ Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan yang disebut Komisaris dengan Organ Perseroan yang berwenang
dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan yang disebut Direksi.
Dengan adanya pemisahan peran Organ Perseroan yang membedakan Two-tier
board system dengan One-tier board system.
27
Menurut Miller & Triana, (2009), bahwa Blau Index adalah indeks yang ideal
untuk digunakan dalam mengukur keberagaman gender di mana nilai 0 untuk
menggambarkan homogenitas dalam dewan direksi, untuk nilai yang lebih tinggi
menggambarkan bahwa direksi dan komisaris semakin beragam. Indeks ini tidak
memiliki nilai yang negatif dan nilainya unbounded.
k
Blau Index=1−∑ ¿ P i
2
28
Indonesia dan total direktur independen dari total direktur untuk perusahaan
dari negara lainnya García and Sánchez (2010).
Independent Director
INDEPENDENCE=
Total Board Members
3.2.3.2 CEO Duality
Variabel dummy yang diberi angka 0 apabila Board of Director yang menjabat
sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer dan sebaliknya.
29
membandingkan jumlah hutang dengan total ekuitas.
Market Price per Share
PBV =
Book Value per Share
Berikut adalah model penelitian yang akan digunakan dalam penelitian untuk
menguji hubungan antara keberagaman gender dengan pengungkapan
perubahan iklim:
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 G D¿−1+ α 2 INDEPENDENCE ❑¿−1+ α 3 DUALITY ❑¿−1
+ α 4 BSIZE❑¿−1 +α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1
30
+ α 9 HI−CARBON ❑¿−1 +ε ¿
Dimana:
GD = Gender Diversity
INDEPENDENCE = Direktur Independen
DUALITY = CEO Duality
BSIZE = Board Size
FSIZE = Firm Size
ROA = Return on Assets
DER = Debt to Equity Ratio
PBV = Price to Book Value
HI-CARBON = High Carbon Industry
3.3.1 Model Penelitian 1
Model Penelitian 1 adalah model penelitian untuk Hipotesis 1 dimana
pengukuran keberagaman gender menggunakan variabel PERCENTWOMEN.
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 PERCENTWOMEN ¿−1 +α 2 INDEPENDENCE❑¿−1 +α 3 DUALITY ❑¿−1
+ α 4 BSIZE❑¿−1 +α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1+ α 9 HI −CARBON ❑¿−1 +
Dimana:
PERCENTWOMEN = merupakan hasil perhitungan persentase direksi
dan komisaris wanita dari total anggota direksi
3.3.2 Model Penelitian 2
Model Penelitian 2 adalah model penelitian untuk Hipotesis 1 dimana
pengukuran keberagaman gender menggunakan variabel BLAUINDEX.
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 BLAUINDEX ¿−1+ α 2 INDEPENDENCE❑¿−1 +α 3 DUALITY ❑¿−1 +¿
α 4 BSIZE ❑¿−1+ α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1+ α 9 HI −CARBON ❑¿−1 +ε
Dimana:
BLAUINDEX = Hasil perhitungan nilai Blau Index yang
menggambarkan keberagaman dewan direksi
31
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 ONEWOMAN ¿−1 +α 2 INDEPENDENCE❑¿−1 +α 3 DUALITY ❑¿−1 +¿
α 4 BSIZE ❑¿−1+ α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1+ α 9 HI −CARBON ❑¿−1 +ε
Dimana:
ONEWOMAN = Merupakan variabel dummy yang diberi angka 1
apabila sampel memiliki setidaknya 1 direksi dan komisaris wanita
3.3.4 Model Penelitian 4
Model Penelitian 4 adalah model penelitian untuk Hipotesis 2 dimana
pengukuran keberagaman gender menggunakan variabel TWOWOMEN.
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 TWOWOMEN ¿−1+ α 2 INDEPENDENCE❑¿−1+ α 3 DUALITY ❑¿−1 +¿
α 4 BSIZE ❑¿−1+ α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1+ α 9 HI −CARBON ❑¿−1 +ε
Dimana:
TWOWOMEN = Merupakan variabel dummy yang diberi angka 1
apabila sampel memiliki setidaknya 2 direksi dan komisaris wanita
3.3.5 Model Penelitian 5
Model Penelitian 5 adalah model penelitian untuk Hipotesis 2 dimana
pengukuran keberagaman gender menggunakan variabel THREEWOMEN.
DIS−DECISIO N ¿ =α 0+ α 1 THREEWOMEN ¿−1+ α 2 INDEPENDENCE ❑¿−1+ α 3 DUALITY ❑¿−1+ ¿
α 4 BSIZE ❑¿−1+ α 5 FSIZE❑¿−1 +α 6 ROA ❑¿−1 +α 7 DER ❑¿−1 +α 8 PBV ❑¿−1+ α 9 HI −CARBON ❑¿−1 +ε
Dimana:
THREEWOMEN = Merupakan variabel dummy yang diberi angka 1
apabila sampel memiliki setidaknya 3 direksi dan komisaris wanita
32
banyak dalam satu perusahaan, dan berapa jumlah direksi dan komisaris wanita
paling sedikit dalam satu perusahaan.
Statistik deskriptif ini juga dibagi berdasarkan lima negara yang dijadikan objek
penelitian yaitu Negara Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Tujuan dari pemisahan per negara ini agar dapat terlihat kondisi dari masing-
masing variabel penelitian pada negara.
33
BAB 4
34
membuat adanya perbandingan variabel itu sendiri dan melihat hubungan
dengan variabel lain. Analisis statistik deskriptif adalah teknik analisis data dalam
menjelaskan data secara general dengan menghitung nilai minimum, nilai
maksimum, nilai rata-rata (mean), dan standar deviasi (Sugiyono, 2017:147).
Dalam penelitian ini, variabel dependen yang digunakan adalah Disclosure
Decision. Adapun variabel independen dalam penelitian ini mencakup persentase
wanita dalam dewan direksi dan komisaris dan Blau Index. Sedangkan variabel
kontrol meliputi board independence, duality, board size, firm size, return on
asset (ROA), PBV Ratio, debt to equity ratio (DER), dan high carbon.
35
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.2038071 atau 20,38% dan standar deviasi sebesar 0.1397637. Nilai terkecil
(minimum) pada variabel Blau Index adalah 0 atau 0%, dimana dari 197 sampel
yang dijadikan objek observasi terdapat perusahaan yang memiliki susunan
dewan direksi dan komisaris terdiri hanya pria atau wanita saja. Lalu, nilai
terbesar (maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,48 atau 48%, artinya nilai
tersebut memiliki nilai yang mendekati angka maksimum dari Blau Index, yakni
0.5 atau 50%. Dengan demikian, hasil dari variabel Blau Index ini menunjukkan
adanya keberagaman gender yang cukup tinggi di beberapa perusahaan yang
dimana proporsi pria dan wanita dinilai cukup seimbang atau beragam.
36
komisaris wanita dalam perusahaan dan sebaliknya. Variabel THREEWOMEN
memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar 0.1827411 atau 18,27% dan standar
deviasi sebesar 0.3874387. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebesar 18,27%
dari sampel observasi yang memiliki lebih dari tiga wanita dalam direksi dan
komisaris.
Variabel DUALITY merupakan variabel dummy yang diberi angka 1 apabila Board
of Director (BoD) tidak menjabat sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief
Executive Officer. Pada Tabel 4.1 terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) adalah
sebesar 0.8883249 atau 88.83%. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 88.83%
dari total sampel observasi memiliki Chairman yang menjabat sebagai Chief
Executive Officer (CEO).
37
Variabel F_SIZE merupakan variabel yang menunjukkan ukuran perusahaan yang
diperoleh dari logaritma natural total aset perusahaan. Pada Tabel 4.1, terlihat
bahwa ukuran perusahaan terbesar adalah 13.1 dan terkecil adalah 6.46, dengan
rata-rata untuk lima negara ASEAN adalah sebesar 9.606193.
38
0.5888325. Hasil ini menunjukkan bahwa sekitar 58.88% dari sampel observasi
merupakan industri penghasil karbon yang tinggi.
4.3 Statistik Deskriptif per Negara
4.3.1 Penjelasan Statistik Deskriptif Indonesia
4.3.1.1 Penjelasan Statistik Deskriptif Variabel Dependen
Berdasarkan data pada Tabel 4.3, dapat disimpulkan bahwa statistik deskriptif
dalam observasi penelitian berjumlah 14 sampel yang berasal dari 5 perusahaan.
Variabel Disclosure Decision memiliki nilai terkecil (minimum) sebesar 1 dan nilai
terbesar (maksimum) sebesar 3. Rata-rata (mean) yang dimiliki variabel
Disclosure Decision berdasarkan hasil observasi 14 sampel adalah 2.214286 yang
artinya secara rata-rata perusahaan di Indonesia tergolong rendah dari segi
pengungkapan, terlihat nilai yang dimiliki adalah C- dan C atau skor dengan nilai
2, dimana jika di konversikan, nilai 2 masuk kedalam kategori Awareness. Nilai
standar deviasi variabel Disclosure Decision adalah sebesar 0.8017837.
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.035 atau 3.5% dan standar deviasi sebesar 0.0706835. Nilai terkecil (minimum)
pada variabel Blau Index adalah 0 atau 0%, dimana dari 5 perusahaan yang
dijadikan objek observasi terdapat perusahaan yang memiliki susunan dewan
direksi dan komisaris yang homogen terdiri dari pria atau wanita saja. Lalu, nilai
terbesar (maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,2 atau 20% dimana angka
39
tersebut masih jauh dibawah angka maksimum variabel Blau Index yaitu 0.5 atau
50%. Dengan demikian, terlihat bahwa dewan direksi dan komisaris dari negara
Indonesia dinilai tidak beragam berdasarkan gender.
40
Variabel B_SIZE merupakan variabel yang menunjukkan jumlah jajaran direksi
dan komisaris dalam perusahaan. Pada Tabel 4.3, terlihat bahwa dari 14 sampel,
nilai terkecil (minimum) adalah 9 orang dan nilai terbesar (maksimum) adalah 17
orang. Nilai rata-rata (mean) untuk jumlah direksi dan komisaris kurang lebih
sebanyak 13 orang.
41
Variabel HI_CARBON merupakan variabel dummy yang diberi nilai 1 apabila
perusahaan tersebut termasuk kedalam sektor perusahaan yang menghasilkan
banyak karbon. Berdasarkan Tabel 4.3, nilai rata-rata (mean) adalah sebesar
0.9285714 atau 92.86% yang menandakan hampir semua perusahaan yang
dijadikan sampel penelitian masuk kedalam kategori penghasil karbon yang
banyak.
42
4.3.2 Penjelasan Statistik Deskriptif Singapura
4.3.2.1 Penjelasan Statistik Deskriptif Variabel Dependen
Berdasarkan data pada Tabel 4.4, dapat disimpulkan bahwa statistik deskriptif
dalam observasi penelitian berjumlah 65 sampel. Variabel Disclosure Decision
memiliki nilai terkecil (minimum) sebesar 1 dan nilai terbesar (maksimum)
sebesar 4. Rata-rata (mean) yang dimiliki variabel Disclosure Decision
berdasarkan hasil observasi 65 sampel adalah 2.292308 yang artinya secara rata-
rata perusahaan di Singapura masih tergolong rendah dalam hal pengungkapan
laporan, terlihat nilai yang dimiliki adalah C- dan C atau skor dengan nilai 2,
dimana jika di konversikan, nilai 2 masuk kedalam kategori Awareness. Nilai
standar deviasi variabel Disclosure Decision adalah sebesar 1.041679.
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.2226154 atau 22,26% yang dimana menunjukkan tingkat keberagaman gender
yang rendah, proporsi pria dan wanita dinilai tidak cukup seimbang atau
beragam. Nilai dari standar deviasi adalah sebesar 0.1397637. Nilai terkecil
(minimum) pada variabel Blau Index adalah 0 atau 0%, dimana dari 65 sampel
yang dijadikan objek observasi terdapat perusahaan yang memiliki susunan
dewan direksi dan komisaris terdiri hanya pria atau wanita saja. Lalu, nilai
terbesar (maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,48 atau 48%, artinya nilai
43
tersebut memiliki nilai yang mendekati angka maksimum dari Blau Index, yakni
0.5 atau 50%.
44
yang hampir seluruh dewan menjabat sebagai direksi independen atau komisaris
independen.
Variabel DUALITY merupakan variabel dummy yang diberi angka 0 apabila Board
of Director (BoD) menjabat sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive
Officer secara bersamaan, dan akan diberikan angka 1 apabila tidak menjabat
sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer. Pada Tabel 4.4
terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) adalah sebesar 0.8461538 atau 84,61%. Hal
ini menunjukkan bahwa sebanyak 55 sampel tidak memiliki Chairman yang juga
menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO), dan sisanya yakni 15,39% adalah
sampel yang memiliki Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer.
45
Variabel PBVRATIO_W adalah variabel price-to-book ratio yang yang merupakan
perbandingan antara book value per share dengan price per share. Berdasarkan
Tabel 4.4, nilai terbesar (maksimum) rasio PBV adalah sebesar 4.5 dan terkecil
(minimum) yaitu 0.1. Sedangkan rata-ratanya adalah sebesar 1.417385.
46
dimana jika di konversikan, nilai 1 masuk kedalam kategori Disclosure. Nilai
standar deviasi variabel Disclosure Decision adalah sebesar 0.4925922.
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.3388235 atau 33,88%, artinya tingkat keberagaman gender di negara Malaysia
dinilai cukup beragam karena nilai rata-rata yang dihasilkan masih diatas rata-
rata dari nilai maksimum Blau Index yakni 0.50 atau 50%, serta nilai standar
deviasi sebesar 0.0885213. Nilai terkecil (minimum) pada variabel Blau Index
adalah 0.18 atau 18%, dimana dari 17 sampel yang dijadikan objek observasi
masih termasuk kedalam kategori dengan keberagaman yang rendah. Adapun
nilai terbesar (maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,46 atau 46%.
47
Variabel TWOWOMEN merupakan variabel dummy dengan menginterpretasikan
nilai 1 dan 0. Perusahaan akan diberikan nilai 1 apabila perusahaan memiliki dua
atau lebih direksi dan komisaris wanita dalam perusahaan dan sebaliknya. Nilai
rata-rata dari TWOWOMEN adalah sebesar 0.7058824 atau 70,58% dan standar
deviasi sebesar 0.4696682. Hal ini menunjukkan bahwa 12 sampel di negara
Malaysia memiliki setidaknya dua direksi dan komisaris wanita dalam
perusahaan.
Variabel DUALITY merupakan variabel dummy yang diberi angka 0 apabila Board
of Director (BoD) menjabat sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive
Officer secara bersamaan, dan akan diberikan angka 1 apabila tidak menjabat
sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer. Pada Tabel 4.5,
terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) adalah sebesar 1. Hal ini menunjukkan
48
bahwa hanya terdapat 1 sampel yang memiliki dualitas yang dimana terdapat
Chairman yang juga menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO).
49
menunjukkan bahwa terdapat perusahaan yang memiliki nilai hutang
perusahaan yang hampir satu kali lipat dibandingkan modal usaha. Kemudian,
nilai terkecil adalah sebesar 0.08, dengan rata-rata sebesar 0.7394118.
50
total 65 sampel, jumlah paling banyak memiliki 39 representasi wanita di jajaran
direksi dan komisaris.
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.2192308 atau 21,92%, artinya tingkat keberagaman gender di Thailand dinilai
kurang beragam karena nilai rata-rata yang dihasilkan jauh dari nilai rata-rata
maksimum Blau Index yakni 0.50 atau 50%, serta nilai standar deviasi sebesar
0.1179553. Nilai terkecil (minimum) pada variabel Blau Index adalah 0 dan nilai
terbesar (maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,48 atau 48%.
51
0.4031129. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya 13 sampel observasi di negara
Thailand memiliki tiga wanita dalam direksi dan komisaris.
Variabel DUALITY merupakan variabel dummy yang diberi angka 0 apabila Board
of Director (BoD) menjabat sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive
Officer secara bersamaan, dan akan diberikan angka 1 apabila tidak menjabat
sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer. Pada Tabel 4.6
terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) adalah sebesar 0.9384615 atau 93.85%. Hal
ini menunjukkan bahwa sebanyak 61 sampel tidak memiliki Chairman yang juga
menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO), dan sisanya yakni 6,15% adalah
sampel yang memiliki Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer.
52
Variabel ROA_W merupakan variabel return on assets yang yang dihitung dengan
menggunakan perhitungan Net Income dibagi dengan total asset. Berdasarkan
Tabel 4.6, nilai terkecil (minimum) ROA adalah sebesar 0.42 dan terbesar
(maksimum) adalah 9.06. Sedangkan rata-rata dari variabel ROA_W adalah
sebesar 3.605846.
53
secara rata-rata perusahaan di Filipina tergolong sangat rendah dari segi
pengungkapan laporan, terlihat nilai yang dimiliki adalah D- dan D atau skor
dengan nilai 1, dimana jika di konversikan, nilai 1 masuk kedalam kategori
Disclosure. nilai standar deviasi variabel Disclosure Decision adalah sebesar
0.8409179.
Dalam penelitian ini, variabel Blau Index memiliki nilai rata-rata (mean) sebesar
0.1438889 atau 14,39% dan standar deviasi sebesar 0.1397637. Nilai terkecil
(minimum) pada variabel Blau Index adalah 0 atau 0% yang menunjukkan adanya
sampel dengan dewan direksi dan komisaris yang homogen. Lalu, nilai terbesar
(maksimum) dari variabel Blau Index adalah 0,38 atau 38% dari nilai maksimum
Blau Index sendiri adalah 0.5 atau 50%.
54
atau lebih direksi dan komisaris wanita dalam perusahaan dan sebaliknya. Nilai
rata-rata dari TWOWOMEN adalah sebesar 0.2222222 atau 22,22% dan standar
deviasi sebesar 0.421637. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 22,22% dari total
sampel observasi yang memiliki dua atau lebih direksi dan komisaris wanita
dalam perusahaan.
Variabel DUALITY merupakan variabel dummy yang diberi angka 0 apabila Board
of Director (BoD) menjabat sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive
Officer secara bersamaan, dan akan diberikan angka 1 apabila tidak menjabat
sebagai Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer. Pada Tabel 4.7
terlihat bahwa nilai rata-rata (mean) adalah sebesar 0.7777778 atau 77.77%. Hal
ini menunjukkan bahwa sebanyak 28 sampel tidak memiliki Chairman yang juga
55
menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO), dan sisanya yakni 22,23% adalah
sampel yang memiliki Chairman sekaligus sebagai Chief Executive Officer.
56
menunjukkan bahwa terdapat perusahaan yang memiliki nilai hutang
perusahaan yang hampir dua kali lipat dibandingkan modal usaha. Perusahaan
yang memiliki nilai DER yang tinggi biasanya terdapat pada perusahaan
keuangan. Sehingga nilai DER yang tinggi merupakan hal yang wajar. Kemudian,
nilai terkecil adalah sebesar 0.18. Dengan rata-ratanya yaitu sebesar 1.054444.
Pada variabel Disclosure Decision untuk wilayah ASEAN, terlihat bahwa rata-rata
nilai yang dimiliki oleh kelima negara tersebut adalah 2 atau pada level
Awareness, yang diartikan bahwa perusahaan-perusahaan di ASEAN
menunjukkan tingkat keputusan pengungkapan yang masih tergolong rendah.
Thailand merupakan negara dengan nilai tertinggi yakni sebesar 2.73 atau 2.7%
dan terendah berada pada negara Malaysia yang hanya sebesar 1.35 atau 1.3%.
Thailand menjadi negara yang memiliki inisiatif dalam mengatasi permasalah
perubahan iklim terlihat dari regulasi yang spesifik untuk kasus ini. Pada awalnya
Thailand memformulasikan National Strategic Plan on Climate Change 2551-2555
B.E. (2008-2013) yang berubah menjadi Climate Change Master Plan 2558-2593
B.E. (2015-2050). Climate Change Master Plan (CCMP) memiliki tujuan yaitu:
57
1. Menyediakan kerangka nasional jangka panjang;
2. Menyediakan kerangka kebijakan untuk pengembangan mekanisme dan
perangkat;
3. Untuk menyediakan kerangka kerja bagi instansi pemerintah dan
organisasi terkait untuk rencana aksi yang terperinci;
4. Untuk memberikan kerangka yang jelas bagi badan anggaran untuk
alokasi anggaran.
Dengan adanya kerangka nasional jangka panjang, kebijakan, kerangka kerja
untuk instansi pemerintah dan organisasi, dan kerangka anggaran yang tertuang
dalam CCMP, dapat membantu perusahaan-perusahaan di Thailand beradaptasi
dengan upaya dunia dalam pencegahan perubahan iklim (Climate Change
Management and Coordination, 2016).
58
4.4 Hasil Regresi Ordinal Logistik
4.4.1 Regresi Model 1
Tabel 4.10 merupakan hasil atau output dari regresi ordinal logistik Model 1
menggunakan variabel percentage of women yang juga diikuti oleh variabel
lainnya seperti independence, duality, board size, firm size, Return on Asset
(ROA), PBV ratio, Debt to Equity Ratio (DER), dan high carbon. Dari hasil regresi
menggunakan software STATA 14 didapatkan hasil antara lain koefisien,
standard error z, z score, p value (P>z), cutpoints 1, cutpoints 2, cutpoints 3.
59
koefisien, standard error z, z score, p value (P>z), cutpoints 1, cutpoints 2,
cutpoints 3.
Dari hasil regresi Model 2 terlihat bahwa keberagaman gender yang diukur
menggunakan variabel BLAUINDEX menunjukkan tidak signifikan dengan
DISC_DECISION pada level P ≤0 .1, P ≤ 0.05, dan P ≤ 0.01. Hal ini terlihat dari nilai
p-value BLAUINDEX sebesar 0.536 dengan koefisien 0.6959872. Pada variabel
kontrol, hanya variabel INDEPENDENCE dan B_SIZE saja yang menunjukkan
hubungan signifikan dengan DISC_DECISION. Hal ini terlihat dari nilai p-value
yang secara berurutan sebesar 0.021 dan 0.000. Kedua variabel tersebut memiliki
hubungan positif dengan DISC_DEICISON yang terlihat dari nilai koefisien kedua
variabel tersebut sebesar 1.58768 dan 0.2700955.
60
4.4.4 Regresi Model 4
Tabel 4.13 merupakan hasil dari regresi ordinal logistik dari Model 4 yang
menggunakan variabel TWOWOMEN sebagai proxy keberagaman gender. Pada
tabel ini juga terlihat hubungan antara variabel lainnya seperti INDEPENDENCE,
DUALITY, B_SIZE, F_SIZE, ROA, DER, PBV, dan HI_CARBON. Level signifikansi yang
digunakan adalah P ≤ 0.1, P ≤ 0.05, dan P ≤ 0.01 untuk menentukan apakah
variabel tersebut signifikan atau tidak. Sedangkan koefisien digunakan untuk
menentukan arah hubungan berbanding lurus atau berbanding terbalik.
61
Berdasarkan hasil regresi Model 5 terlihat bahwa keberagaman gender yang
diukur menggunakan variabel THREEWOMEN menunjukkan hasil yang tidak
signifikan terhadap variabel dependen DISC_DECISION pada level P ≤ 0.1, P ≤
0.05, dan P ≤ 0.01. Hal ini terlihat dari nilai p-value THREEWOMEN sebesar 0.382
dengan koefisien -0.325675. Hanya variabel INDEPENDENCE dan B_SIZE yang
menunjukkan hubungan signifikan dengan DISC_DECISION. Hal ini terlihat dari
nilai p-value variabel INDEPENDENCE dan B_SIZE sebesar 0.006 dan 0.000. Kedua
variabel tersebut memiliki hubungan positif dengan DISC_DEICISON yang terlihat
dari nilai koefisien kedua variabel tersebut sebesar 1.828811 dan 0.2793418.
Adapun untuk variabel HI_CARBON menunjukkan nilai P-value sebesar 0.775
dengan hasil tidak signifikan.
Tabel 4.16 merupakan Uji Goodness-of-fit yang dilakukan melalui 2 cara yakni uji
ordinal Hosmer-Lemeshow dan Uji Lipsitz. Nilai P-value yang didapatkan dari
hasil Uji Hosmer-Lemeshow adalah 0.9743 dan Uji Lipsitz sebesar 0.9791. Kedua
nilai P-value tersebut menunjukkan hasil yang melebihi standar pengujian yakni
10% Fagerland & Hosmer (2017), dengan demikian dapat disebutkan bahwa hasil
62
dari Uji Goodness-of-fit sudah lulus uji.
Tabel 4.17 merupakan Uji Goodness-of-fit yang dilakukan melalui 2 cara yakni Uji
ordinal Hosmer-Lemeshow dan uji Lipsitz. Nilai P-value yang didapatkan dari hasil
Uji Hosmer-Lemeshow adalah 0.1787 dan Uji Lipsitz sebesar 0.3379. Kedua nilai
P-value tersebut menunjukkan hasil yang melebihi standar pengujian yakni 10%
Fagerland & Hosmer (2017), dengan demikian dapat disebutkan bahwa hasil dari
Uji Goodness-of-fit sudah lulus uji.
Tabel 4.18 merupakan Uji Goodness-of-Fit yang dilakukan melalui 2 cara yakni Uji
ordinal Hosmer-Lemeshow dan uji Lipsitz. Nilai P-value yang didapatkan dari hasil
Uji Hosmer-Lemeshow adalah 0.9292 dan Uji Lipsitz sebesar 0.8927. Kedua nilai
P-value tersebut menunjukkan hasil yang melebihi standar pengujian yakni 10%
Fagerland & Hosmer (2017), dengan demikian dapat disebutkan bahwa hasil dari
Uji Goodness-of-Fit sudah lulus uji.
Tabel 4.19 merupakan Uji Goodness-of-Fit yang dilakukan melalui 2 cara yakni Uji
Ordinal Hosmer-Lemeshow dan Uji Lipsitz. Nilai P-value yang didapatkan dari
hasil Uji Hosmer-Lemeshow adalah 0.2379 dan Uji Lipsitz sebesar 0.0818. Untuk
Model 5 berdasarkan,nilai P-value nya hanya lolos Uji Lipsitz saja dan tidak lulus
Ordinal HL.
63
karena nilai p-value yang dibawah level signifikan. Hal ini menandakan bahwa
keberagaman gender dewan direksi dan komisaris tidak berpengaruh terhadap
disclosure decision perusahaan.
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manita,
Bruna, Dang, & Houanti (2018) yang menyebutkan bahwa hubungan antara
wanita dalam dewan direksi dan komisaris tidak signifikan dengan pengungkapan
Environmental Social Governance (ESG). Dalam penelitian tersebut, diungkapkan
bahwa dengan jumlah wanita yang sedikit dapat menyebabkan adanya
kemungkinan terjadi devaluation and disqualification syndrome dan
masculinization of women yang menyebabkan wanita dalam dewan direksi dan
komisaris bungkam dan tidak memberikan opini dalam pengambilan keputusan.
Dalam penelitian ini juga dibahas bahwa adanya kecenderungan peningkatan
kualitas pengungkapan dengan adanya lebih dari dua wanita dalam dewan
direksi dan komisaris. Meskipun begitu, perlu dilihat kembali apakah dua atau
lebih wanita dalam dewan direksi dan komisaris ini sudah mencapai angka
critical mass theory yang mengatakan bahwa perubahan dapat tercipta jika
sudah mencapai angka lebih dari 20%. Jika melihat kembali pada Tabel 4.2
Statistik Deskriptif, terlihat bahwa rata-rata percentwomen hanya mencapai 12%
saja dari ukuran dewan direksi dan komisaris sehingga membuktikan bahwa
jumlah wanita dibawah standar critical mass theory tidak dapat memberikan
pengaruh bagi perusahaan.
64
kesadaran mengenai keberagaman gender dalam perusahaan sudah ada yang
terlihat dari regulasi yang mewajibkan seluruh perusahaan di Canada untuk
melakukan pengungkapan mengenai proporsi wanita yang menempati posisi
senior-management.
65
positif signifikan terhadap kualitas pengungkapan perubahan iklim pada
perusahaan di ASEAN periode 2016-2020. Hasil ini membuktikan bawah semakin
tinggi representasi direktur yang bersifat independen di perusahaan dapat
menghasilkan kualitas pengungkapan perubahan iklim yang lebih baik. Dengan
adanya kualitas pengungkapan yang lebih baik, hal tersebut akan
memperlihatkan bahwa perusahaan sangat memperhatikan situasi perubahan
iklim yang terjadi.
Hal ini sejalan dengan implikasi teori yang digunakan yaitu agency theory. Jensen
& Meckling (1976) menyebutkan bahwa peran direksi dan komisaris terkait
monitoring role menggambarkan bahwa adanya pemisahan antara kontrol dan
kepemilikan pada perusahaan dapat menimbulkan adanya conflict of interest.
Agency theory juga sering digunakan sebagai teori yang menggambarkan bahwa
para manajer perusahaan akan meningkatkan pengungkapan untuk
meminimalisir terjadinya informasi asimetri Liao, Luo & Tang (2015). Dengan
adanya direksi dan komisaris independen yang semakin banyak, maka semakin
tinggi tingkat transparency perusahaan akibat tidak adanya intervensi dari
kepentingan pribadi dan kegiatan pemantauan yang tinggi yang menyebabkan
meningkatnya kualitas pengungkapan García and Sánchez (2010).
Sehingga dengan adanya pemisahan antara Chief Executive Officer (CEO) dan
Chairman, tidak dapat meningkatkan kemampuan perusahaan dalam mengontrol
66
manajemen perusahaan melalui transparansi dan pengungkapan sukarela. Hal ini
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dina Rosari (2020)
menunjukkan bahwa dualitas Chief Executive Officer (CEO) berpengaruh
signifikan positif terhadap pengungkapan pelaporan dengan asumsi jika tugas
antara chairman dan CEO digabungkan dapat meningkatkan kontrol yang tepat
dan sejalan dengan keberlangsungan perusahaan.
Hasil ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Justin, P., &
Hadiprajitno, P. T. B. pada tahun 2019, dimana dijelaskan bahwa ukuran dewan
yang lebih besar dapat memberikan perusahaan akses sumber daya menjadi
lebih luas dan kegiatan kontrol perusahaan yang meningkat. Dengan peningkatan
kegiatan kontrol perusahaan, transparansi perusahaan juga akan meningkat dan
pengungkapan sukarela perusahaan semakin meningkat.
67
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa emisi karbon adalah penyebab utama
dari fenomena perubahan iklim. Sebagian besar negara di dunia masih belum
memiliki inisiatif terkait pengaturan tentang emisi karbon dan pengungkapan
karbon yang dinilai masih tidak wajib. Namun disisi lain, banyak perusahaan juga
yang telah memutuskan secara sukarela untuk aktif dalam pengurangan emisi
karbon. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri penghasil karbon
seperti manufaktur, tekstil, baja, dan sebagainya ditemukan lebih mungkin untuk
melakukan pengungkapan secara sukarela.
Hasil yang terdapat pada Model 1, Model 2, Model 3, Model 4, dan Model 5
bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Luo et al. (2012) yang
menjelaskan bahwa perusahaan yang tergolong dalam skala besar ditemukan
memiliki sikap yang lebih peduli serta menyadari tanggung jawab mereka dalam
memberikan informasi karbon yang dihasilkan secara sukarela.
Return on Asset (ROA) didefinisikan sebagai salah satu elemen dalam mengukur
profitabilitas perusahaan yang dimana merupakan kemampuan dalam
menghasilkan laba dalam upaya untuk meningkatkan nilai para pemegang
saham. Jika dihubungkan antara Return on Asset (ROA) dengan pengungkapan,
semakin besar suatu perusahaan artinya semakin tinggi juga tingkat
pengungkapan perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh adanya dana alokasi
yang menjadi semakin besar untuk aktivitas pengungkapan perubahan iklim.
68
dilakukan oleh Sunarsih & Kumarantini (2018) bahwa leverage berpengaruh
dengan pengungkapan perubahan iklim dengan arah hubungan yang negatif.
Dalam penjelasannya, dengan tingkat leverage semakin tinggi terdapat
kemungkinan perusahaan akan melaporkan laba sekarang lebih tinggi. Supaya
laba yang dilaporkan tinggi, maka manajer harus mengurangi biaya-biaya
termasuk biaya untuk melakukan kegiatan tanggung jawab sosial.
Hasil yang ditemukan bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh
Ben-Amar, Chang & McIlkenny (2017), dimana disebutkan bahwa perusahaan
dengan peluang pertumbuhan yang positif diharapkan dapat terus menyediakan
lebih banyak terkait pengungkapan lingkungan dengan tujuan untuk mengurangi
asymmetry information antara perusahaan dan eksternal.
69
70
BAB 5
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Pemanasan global yang berpotensi terjadi di dunia dapat menyebabkan
terjadinya perubahan iklim yang memberikan dampak secara global.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menjelaskan bahwa negara-
negara di ASEAN berada pada posisi geografis yang sensitif terhadap bencana
alam, sehingga negara-negara di ASEAN berpotensi memiliki dampak yang lebih
besar dari negara lainnya terkait perubahan iklim. Gas rumah kaca yang
berlebihan di atmosfer bumi dapat memberikan efek negatif terhadap ekosistem,
sehingga memicu terjadinya pemanasan global hingga perubahan iklim.
Pada perumusan yang terdapat pada Hipotesis 1 (H1) disebutkan bahwa terdapat
hubungan positif antara perwakilan wanita di dewan direksi dan komisaris
terhadap pengungkapan perubahan iklim, dimana hipotesis ini didukung oleh
teori socialization. Namun, berdasarkan hasil pada regresi Model 1 dan 2
ditemukan bahwa representasi wanita dalam dewan direksi dan komisaris tidak
mempengaruhi terhadap kualitas pengungkapan perubahan iklim. Salah satu
penyebabnya adalah kehadiran wanita di dalam direksi dan komisaris belum
tentu dapat menghasilkan kinerja perusahaan yang baik, karena wanita
cenderung memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pekerjaannya.
71
Pada perumusan Hipotesis 2 (H2) disebutkan bahwa terdapat hubungan positif
antara dua atau lebih direksi dan komisaris wanita dalam perusahaan terhadap
pengungkapan perubahan iklim dengan mengangkat dari critical mass theory.
Namun, melihat hasil regresi yang dilakukan pada Model 3, Model 4, dan Model
5 terlihat bahwa jumlah wanita yang ditentukan (onewoman, twowomen, dan
threewomen) tidak berpengaruh terhadap pengungkapan perubahan iklim.
Mengacu pada critical mass theory, perubahan dapat tercipta apabila jumlah
sudah mencapai critical mass yang lebih besar dari 20%. Jika melihat pada data
deskriptif ASEAN, persentase wanita dalam dewan direksi dan komisaris
hanyalah sebesar 12%, sehingga jumlah wanita dalam direksi dan komisaris tidak
dapat memberikan perubahan bagi perusahaan.
72
wanita dalam direksi dan komisaris tidak mempengaruhi tingkat pengungkapan
perubahan iklim. Melainkan, yang mempengaruhi pengungkapan perubahan
iklim adalah ukuran dewan direksi dan komisaris dan independensi direksi.
Ukuran dari dewan direksi dapat mempengaruhi pengungkapan perubahan iklim
karena dengan semakin banyak direksi dan komisaris dalam perusahaan, maka
semakin banyak kegiatan kontrol perusahaan, sehingga transparansi dan
pengungkapan sukarela perusahaan akan meningkat. Hal yang sama juga pada
independensi dewan direksi dan komisaris. Apabila perusahaan memiliki direksi
dan komisaris yang bersifat independen, maka kegiatan monitoring dan
transparansi akan semakin tinggi menyebabkan meningkatnya kualitas
pengungkapan.
73
5. Setiap negara yang dijadikan objek observasi memiliki karakteristik
keberagaman yang berbeda-beda dan tingkat pengungkapan yang
berbeda-beda.
5.3 Saran
Berdasarkan keterbatasan selama proses penelitian, terdapat beberapa saran
yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas penelitian berikutnya, yaitu:
1. Diharapkan untuk memperluas cakupan penelitian tidak terbatas di
ASEAN saja, namun menggunakan negara-negara lainnya di Asia.
2. Diharapkan untuk menggunakan objek penelitian yang lebih banyak agar
dampak dari keberagaman gender terhadap pengungkapan perubahan
iklim dapat tergambarkan dengan akurat.
3. Diharapkan bagi lembaga Carbon Disclosure Project (CDP) untuk dapat
mengeluarkan list kriteria kuesioner untuk masing-masing level dengan
tujuan untuk mempermudah proses klasifikasi karakteristik skoring yang
dihasilkan. Sehingga, penelitian selanjutnya dapat menggunakan skoring
yang diperoleh secara langsung kepada perusahaan-perusahaan yang
dijadikan sebagai objek penelitian.
4. Diharapkan agar penelitian selanjutnya dapat memberikan perlakuan
yang berbeda untuk tahun 2020.
5. Diharapkan agar penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian yang
lebih spesifik pada masing-masing negara ASEAN dikarenakan
karakteristik tiap negara yang berbeda.
74
pengendalian internal maupun eksternal terhadap pengungkapan
perubahan iklim.
b. Peningkatan keberagaman gender, independensi, dan ukuran dari
dewan melalui proses rekrutmen direksi dan komisaris.
2. Bagi pembuat peraturan, diharapkan agar keberagaman gender menjadi
pertimbangan dalam peningkatan transparansi perusahaan, seiring
dengan inisiatif negara lain di ASEAN yang sedang berupaya untuk
meningkatkan keberagaman gender dalam susunan dewan direksi dan
komisaris.
75