Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENDAHULUNAN

1.1 LATAR BELAKANG


Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk
rumah sakit. Ada lima isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety)
di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan
pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di
rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas,
keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang terkait
dengan kelangsungan hidup rumah sakit. Kelima aspek keselamatan
tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun
harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada
pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk
dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra
perumahsakitan.
Keselamatan Pasien telah menjadi bagian dari kesadaran dan
kebutuhan bersama serta merupakan komitmen global dalam meningkatkan
kualitas dan akuntabilitas dalam pelayanan kesehatan, maka diperlukan
gerakan nasional keselamatan pasien yang lebih komprehensif dengan
melibatkan berbagai kalangan. Karena itu diperlukan acuan yang jelas untuk
implementasinya. Pedoman Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Semara Ratih
ini diharapkan dapat membantu rumah sakit dalam melaksanakan kegiatan monitoring
dan pencegahan resiko terkait patient safety.
Salah satu upaya untuk meningkatkan keselamatan Paien adalah dengan cara
menyusun 6 sasaran keselamatan pasien. Berdasarka Peraturan Menteri Kesehatan
Indonesia Nomer 1691 tahun 2011, setiap rumah sakit wajib mengupayakan
pemenuhan 6 sasaran keselamatan pasien meliputi tercapainya ketepatan identifikasi
pasien, peningkatan komunikasi efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu di
waspadai, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur tepat pasien operasi, pengurangan
resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, dan pengurangan resiko cedera akibat
pasien jatuh. Saat ini Rumah Sakit Semara Ratih juga berupaya melaksanakan 6
sasaran keselamatan pasien berdasarkan pada standar yang ditetepkan.
1.2 TUJUAN
A. Tujuan Umum
Pedoman ini dibuat untuk mendorong peningkatan mutu dan keselamatan
pasien di Rumah Sakit Semara Ratih, dengan cara kolaboratif mengembangan
pedoman sasaran keselamatan pasien yang dapat di terapkan dalam pelayanan
kesehata. Pedoman sasaran keselamatan pasien ini diharapkan dapat menjadi solusi
secara system untuk memberikan asuhan pasien yang aman dan bermutu tinggi
B. Tujuan khusus
1. Sebagai Pedomana dalam melaksanakan sasaran keselamtan pasien
BAB II
PEMBAHANA

1. IDENTIFIKASI PASIEN
A. Identifikasi Pasien Secara Umum
1. Semua pasien harus diidentifikasi secara tepat sebelum mendapatkan
intervensi di rumah sakit misalnya treatment, prosedur tindakan, pemeriksaan
rutin dan peresepan obat.
2. Pada gelang pasien harus dicantumkan EMPAT aspek, yaitu:
a. Nama pasien
b. Tanggal lahir pasien
c. Nomor rekam medis pasien
d. Nomer Induk Kependudukan
3. Nama pasien tidak boleh disingkat dan harus sesuai dengan apa yang tertera
pada rekam medis pasien.
4. Gelang pasien tidak boleh dicoret-coret dalam hal ini penulisan yang salah
harus diganti dengan gelang pasien yang baru.
5. Semua pasien rawat inap harus memakai gelang pasien yang sudah sesuai
dengan prosedur.
6. Pada gelang identifikasi pasien: Nama pasien harus ditulis lengkap sesuai e-
KTP bila tak ada gunakan KTP/kartu identitas lainnya, bila tak ada semuanya
minta pasien/keluarganya untuk menulis pada formulir identitas yang
disediakan RS dengan huruf kapital pada kotak-kotak huruf yang disediakan,
nama tidak boleh disingkat, tak boleh salah tulis walau satu huruf.
7. Identifikasi pasien pada gelang identitas pasien di tulis tangan.
8. Sebelum gelang pasien di kenakan pada pasien harus dilakukan pengecekan
terlebih dahulu.
9. Ketika menanyakan identitas pasien, pertanyaan terbuka lebih diutamakan
daripada pertanyaan tertutup misalnya,”Siapa namanya?”, ”Bapak/ibu
memiliki riwayat alergi?”
10. Jika pasien tidak dapat diajak komunikasi atau dalam kondisi tidak sadarkan
diri, maka identifikasi pasien dapat dilakukan dengan menyesuaikannya
dengan kartu identitas yang ada pada atribut yang dikenakan pasien misalnya
KTP atau SIM. Jika tidak didapatkan kartu identitas maka dapat ditanyakan
kepada orang yang membawa pasien tersebut atau keluarga. Ketentuan point
ini harus lebih diperhatikan, sehingga ketika pasien sudah sadar maka
ketepatan identifikasi pasien dapat dikonfirmasikan kembali kepada pasien
sendiri dengan syarat kondisinya layak konfirmasi.
11. Semua pasien hanya mengenakan satu gelang identitas pada salah satu
ekstremitas.
12. Pasien rujukan dari pelayanan kesehatan lain tetap harus dilakukan identifikasi
ulang sesuai prosedur yang telah dijabarkan di atas.

B. Pemakaian Gelang Identitas


1. Gelang dipakaikan dominan di pergelangan tangan, sebelumnya harus
dijelaskan dahulu.
2. Jika tidak bisa di lengan tangan, maka dapat dipakaikan di ekstremitas bawah.
Jika lingkarnya tidak muat maka dapat dikenakan di pakaian pasien dengan
posisi yang tampak terlihat, pada kondisi pasien ganti pakaian, maka gelang
identitas harus diikutkan pada pakaian yang baru.
3. Gelang identitas dilepaskan hanya jika administrasi pemulangan pasien telah
lengkap. Jika pasien dipindahkan ke unit lain, maka petugas medis yang
mengantarkan mengkonfirmasi ulang identitas dan menginformasikannya
kepada petugas medis pada unit penerima dan menyerahkan rekam medis
pasien kepada unit penerima.
C. Identifikasi Pasien Khusus
1. Prosedur Identifikasi pasien tidak sadar
Cara identifikasi pasien tidak sadar tanpa penunggu:
a. Apabila mr.x lebih dari 1, pasien menggunakan identitas Mr.X 1, Mr.X 2,
dan seterusnya.
b. Identifikasi juga dilakukan dengan mengkroscek atau mencocokkan no.
Rekam Medis tersebut antara yang tertera di gelang pasien dengan yang
tercatat di rekam medis pasien, dilakukan oleh 2 orang petugas.
2. Prosedur Identifikasi pasien yang namanya sama, jenis kelamin sama, tanggal
lahir sama, dan alamat sama.
a. Setelah petugas menanyakan nama pasien, tanggal lahir, petugas
mengkroscek no Rekam Medis yang tertera di gelang pasien dan yang
tertera di Rekam Medis pasien, lalu mencocokkan dengan NIK pasien oleh
2 orang petugas.
b. Petugas menempelkan stempel bertuliskan “Hati-Hati Identitas Pasien
Sama” pada Map Rekam Medis.
3. Prosedur Identifikasi Neonatus
a. Neonatus harus menggunakan dua gelang identifikasi setiap saat (detail
yang sama pada dua anggota gerak yang berbeda yaitu anggota gerak atas
dan anggota gerak bawah).
b. Gelang pasien neonatus berisi identifikasi ibu yang melahirkan pasien jika
nama pasien neonatus belum terregistrasi
c. Setelah nama neonatus teregistrasi, identifikasi mengenai ibu pasien dapat
diganti dengan identifikasi pasien tersebut.
d. Gelang identifikasi neonatus berukuran panjang 5 cm, lebar 3 cm, dengan
penjepit tunggal dan 4 lubang jepitan atau disesuaikan dengan produk
keluaran pabrik penyedia gelang identifikasi neonatus.
e. Gelang pink untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki
4. Prosedur Identifikasi Pasien Anak
a. Gelang identifikasi anak berisi nama pasien, nomor rekam medis, tanggal
lahir, dan nama orang tua/ wali pasien dan NIK untuk anak yang sudah
mempunyai NIK
b. Gelang identifikasi pasien anak berukuran panjang 5 cm, lebar 3 cm,
dengan penjepit tunggal dan 4 lubang jepitan atau disesuaikan dengan
produk keluaran pabrik penyedia gelang identifikasi pasien anak.
c. Gelang merah muda untuk bayi perempuan dan biru untuk bayi laki-laki.
5. Prosedur Identifikasi Pasien dengan Alergi
a. Pasien harus dipastikan memiliki riwayat alergi atau tidak sebelum
diobati.
b. Gelang identifikasi alergi berwarna merah dikenakan di salah satu
pergelangan tangan dan harus dicantumkan nama allergen dengan jelas.
c. Data alergi harus terdokumentasi di rekam medis pasien.
d. Satu gelang alergi dapat memuat maksimal tiga identifikasi detail alergi
pasien, jika lebih dari tiga alergi dapat ditambahkan gelang identifikasi
alergi baru sesuai dengan kelipatan tiga.
e. Jika ditemukan alergi baru, gelang identifikasi alergi baru harus
dikenakan.
6. Prosedur Identifikasi Pasien Dengan Resiko Jatuh
a. Pasien dengan resiko jatuh adalah pasien dengan agitasi, agresi, delirium
yang belum membaik, geriatri dan
b. Gelang identifikasi pasien dengan resiko jatuh berwarna kuning yang
dikenakan di salah satu pergelangan tangan dengan pencantuman nama
pasien, jenis kelamin, nomor rekam medis dan tanggal lahir.
c. Pasien agitasi, agresi dan kebutuhan kurang yang beresiko
membahayakan
d. dirinya dan merusak gelang yang dikenakan di pergelangan tangan dapat
dikenakan di pergelangan kaki dan apabila pasien sudah membaik dan
tenang, gelang tidak perlu dipindahkan.
7. Melepas Gelang Pengenal
a. Gelang pengenal hanya dilepas saat pasien pulang atau keluar dari rumah
sakit.
b. Yang bertugas melepas gelang pengenal adalah perawat yang
bertanggung jawab terhadap pasien selama masa perawatan di rumah
sakit.
c. Gelang pengenal dilepas setelah semua proses selesai dilakukan. Proses
ini meliputi:
1) pemberian obat-obatan pulang kepada pasien dan pemberian
penjelasan mengenai rencana perawatan selanjutnya kepada pasien
dan keluarga.
2) Gelang pengenal yang sudah tidak dipakai harus digunting menjadi
potongan-potongan kecil sebelum dibuang ke tempat sampah.
3) Terdapat kondisi-kondisi yang memerlukan pelepasan gelang
pengenal sementara (saat masih dirawat di rumah sakit), misalnya
lokasi pemasangan gelang pengenal mengganggu suatu prosedur.
Segera setelah prosedur selesai dilakukan, gelang pengenal dipasang
kembali.

D. Pasien Rawat Jalan.


1. Tidak perlu menggunakan gelang pengenal, hanya memakai stiker tertuliskan
identitas pasien yang berisikan identitas Nama pasien, Tanggal lahir pasien,
Nomor rekam medis pasien, Nomer Induk Kependudukan.
2. Sebelum melakukan suatu prosedur/ terapi, tenaga medis harus menanyakan
identitas pasien berupa nama dan tanggal lahir. Data ini harus dikonfirmasi
dengan yang tercantum pada rekam medis.
3. Jika pasien adalah rujukan dari dokter umum / puskesmas / layanan kesehatan
lainnya, surat rujukan harus berisi identitas pasien berupa nama lengkap,
tanggal lahir, dan alamat. Jika data ini tidak ada, prosedur / terapi tidak dapat
dilaksanakan.
4. Jika pasien rawat jalan tidak dapat mengidentifikasi dirinya sendiri, verifikasi
data dengan menanyakan keluarga / pendamping pasien.

2. PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF


A. Komunikasi Melalui Telepon Antara Pemberi Layanan
Dalam memberikan komunikasi antara pemberi layananan di rumah sakit
Umum Semara Ratih menggunakan SBAR. Apa yang dimaksud dengan SBAR itu?
SBAR merupakan kerangka acuan dalam pelaporan kondisi pasien yang memer-
lukan perhatian dan tindakan segera:
1. SITUATION, yaitu kondisi terkini yang terjadi pada pasien.
2. BACKGROUND, informasi penting apa yang berhubungan dengan kondisi
pasien terkini.
3. ASSESSMENT, Hasil pengkajian kondisi pasien terkini
4. RECOMMENDATION, Apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah
pasien saat ini.
Berikut ini merupakan salah satu contoh dalam pertanyaan SBAR:
1. Situation misalnya, jelaskan dengan singkat masalah kesehatan pasien atau
keluhan utama termasuk skor nyeri.
2. Background misalnya, sebutkan riwayat alergi obat-obatan termasuk cairan infus
yang digunakan, jelaskan hasil pemeriksaan yang mendukung dan pemeriksaan
laboratorium
3. Assesment misalnya, sampaikan diagnosa sementara.
4. Recommendation misalnya: Meminta pada dokter penanggung jawab langkah
selanjutnya yang akan dilakukan.
A. Tata Laksana dan Dokumen
1. Petugas Penanggung jawab
a. Seluruh staf Rumah Sakit
1) Memahami dan menerapkan prosedur komunikasi efektif
2) Memastikan informasi yang diterima dan diberikan tepat dan sesuai dengan
standar, prosedur dan fasilitas yang ada.
3) Melaporkan segera informasi yang diterima berkaitan dengan mutu rumah sakit,
seperti komplain untuk ditindak lanjuti lebih lanjut
b. Perawat yang bertugas (perawat penanggung jawab pasien)
1) Bertanggung jawab untuk memberikan informasi tentang pelayanan yang akan
diberikan, fasilitas maupun alur dari pelayanan.
2) Memastikan informasi yang diterima oleh perawat dari dokter (baik via telepon
maupun langsung ) dengan tepat dan menjalankan prosedur penandaan "KOLOM
VERIFIKASI/TANDA TANGAN PEMBERI INSTRUKSI" dan "TBK".
3) Melaksanakan komunikasi "SBAR" pada saat operan antar ruangan.
c. Kepala Instalasi / Kepala Ruang
1) Memastikan seluruh staf di ruangan memahami cara komunikasi efektif.
2) Melakukan pemantauan terkait komunikasi yang efektif terkait operan dinas per
shift.
d. Prosedur Komunikasi Efektif
1) TBK dilakukan pada saat menerima perintah lisan atau via telepon, dengan cara
menulis dan mengulang kembali terapi medikasi yang disampaikan oleh dokter
yang memberikan instruksi.
2) Dalam melaporkan keadaan pasien menggunakan komunikasi efektif dengan
metode SBAR digunakan pada saat melapor pasien kritis via telepon, hand over,
dan operan pasien antar ruangan. (S: SITUATION: situasi yang menggambarkan
kondisi pasien terkini baik keadaan umum, hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, diagnosa medis dan lainnya yang perlu dilaporkan, B:
BACKGROUND: gambaran riwayat kesehatan dan atau tindakan yg telah
dilakukan pada pasien dan hal yang mendukung terjadinya kondisi atau situasi
pasien saat ini, A: ASSESSMENT: kesimpulan berupa rumusan masalah klinis
(Problem) yang didapat dari hasil analisa terhadap gambaran situasi dan
background, R: RECOMENDATION: usulan pelapor kepada DPJP (Dokter
Penanggungjawab Pelayanan) tentang alternatif tindakan yang sebaiknya
dilakukan)
3) Pelapor memperkenalkan diri saat melaporkan keadaan pasien via telepon.
4) Menyampaikan laporan situasi: nama pasien, diagnosa dan keadaan pasien saat ini
(S).
5) Menyampaikan data pendukung dan riwayat pendukung berkaitan dengan kondisi
pasien saat ini termasuk tindakan yang sudah dilakukan (B).
6) Menyampaikan masalah atau resiko kemungkinan masalah yang sedang dan akan
terjadi pada pasien (A).
7) Mengusulkan alternatif tindakan yang mungkin dilakukan (contoh: dokter segera
datang untuk memeriksa kondisi pasien; usul agar diberikan terapi medikasi
tertentu, dll) (R).
8) Tulis dan lakukan “TBK” atau baca ulang kembali program yang diinstruksikan.
9) Bila program dokter berupa pemberian medikasi, maka lakukanlah TBK dan
dengan:Membaca ulang kembali nama obat, dilanjutkan dengan mengeja nama
obat tersebut huruf demi huruf untuk obat-obatan yang ‘Sound Alike’ (nama
hampir mirip dengan obat lain)
10) Ulang kembali penyebutan dosis, cara pemberian dan waktu pemberian.
11) Pastikan kembali pada dokter bahwa isi ‘TBK’ sudah benar.
12) Tutup pembicaraan dengan mengingatkan dokter segera datang untuk
menandatangani program yang sudah diberikan.
13) Cap “ TBK” pada kolom instruksi dibawah instruksi dokter yang telah dicatat
pada kolom catatan perkembangan terintegrasi.
14) ‘KOLOM VERIFIKASI/TANDA TANGAN PEMBERI INSTRUKSI, untuk
mengingatkan bahwa dokter harus menandatangani program via teleponnya.
15) Dalam waktu maksimal 24 jam setelah instruksi diberikan, dokter yang
memberikan instruksi harus menandatangani instruksi pada cap KOLOM
VERIFIKASI/TANDA TANGAN PEMBERI INSTRUKSI.

B. Kebijakan Komunikasi Efektif di RSU Semara Ratih


1. Kebijakan Sasaran Keselamatan Pasien
b. Peningkatan Komunikasi Efektif
1) Komunikasi efektif saat hand over dengan menggunakan teknik Tulis, Baca
ulang dan Konfirmasi (TBK) sedangkan pelaporan melalui telepon dengan
menggunakan metoda ISBAR.
2) Penerima perintah menulis lengkap perintahnya, membaca ulang dan
melakukan konfirmasi.
3) Tulisan disebut lengkap bila terdiri dari jam / tanggal, isi perintah, nama
penerima perintah dan tanda tangan, nama pemberi perintah dan tanda
tangan (pada kesempatan berikutnya).
4) Baca ulang dengan jelas, bila perintah mengandung nama obat LASA, maka
nama obat LASA harus dieja satu persatu hurufnya dengan menggunakan
Phonetic Alphabet.
5) Di unit pelayanan harus tersedia daftar obat look alike dan sound alike.
6) Konfirmasi lisan dan tertulis, konfirmasi lisan sesaat setelah pemberi
perintah mendengar pembacaan dan memberikan pernyataan kebenaran
pembacaan secara lisan misal”ya sudah benar”. Konfirmasi tertulis dengan
tanda tangan pemberi perintah yang harus diminta pada kesempatan
kunjungan berikutnya.

2. PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU DI WASPADAI

High alert medications adalah sejumlah obat-obatan yang memiliki risiko


tinggi menyebabkan bahaya yang besar pada pasien jika tidak digunakan secara tepat
(drugs that bear a heightened risk of causing significant patient harm when they are
used in error (ISMP - Institute for Safe Medication Practices).

LASA (Look Alike Sound Alike) merupakan sebuah peringatan (warning) untuk
keselamatan pasien (patient safety) : obat-obatan yang bentuk atau rupanya mirip dan
pengucapannya atau namanya mirip dan tidak boleh diletakkan berdekatan.
A. Peresepan
1) Jangan berikan instruksi hanya secara verbal mengenai high alert
medication
2) Instruksi ini harus mencakup minimal:
3) Nama pasien dan nomor rekam medis

i. Tanggal dan waktu instruksi dibuat

ii. Nama obat (generik), dosis, jalur pemberian, dan tanggal pemberian
setiap obat

iii. Kecepatan dan atau durasi pemberian obat

4) Dokter harus mempunyai diagnosis, kondisi, dan indikasi penggunaan setiap


high alert medication secara tertulis.
5) Sistem instruksi elektronik akan memberikan informasi terbaru secara
periodik mengenai standar pelayanan, dosis, dan konsentrasi obat (yang
telah disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi), serta informasi yang
dibutuhkan untuk mengoptimalisasi keselamatan pasien.
B. Prosedur Penyimpanan Elektrolit Konsentrat Tinggi Di Ruang Farmasi
1) Asisten apoteker (logistik farmasi / pelayanan farmasi) yang menerima obat
segera memisahkan obat yang termasuk kelompok obat yang “High alert”
sesuai daftar obat high alert yang dimiliki rumah sakit.
2) Tempelkan stiker merah bertuliskan “High alert” pada setiap kemasan obat
high alert.
3) Berikan selotip merah pada sekeliling tempat penyimpanan obat high alert
yang terpisah dari obat lain
C. Prinsip Penyimpanan Obat High Alert Di Ruang Perawatan
1) High alert medications disimpan di pos perawat di dalam troli atau cabinet
yang memiliki kunci.
2) Semua tempat penyimpanan harus diberikan label yang jelas dan dipisahkan
dengan obat-obatan rutin lainnya. Jika high alert medications harus
disimpan di area perawatan pasien, kuncilah tempat penyimpanan dengan
diberikan label.
Peringatan: high alert medications‟ pada tutup luar tempat penyimpanan

3) Jika menggunakan dispensing cabinet untuk menyimpan high alert


medications, berikanlah pesan pengingat di tutup cabinet agar pengasuh /
perawat pasien menjadi waspada dan berhati-hati dengan high alert
medications. Setiap kotak /tempat yang berisi high alert medications harus
diberi label.

4) Infus intravena high alert medications harus diberikan label yang jelas
dengan menggunakan huruf / tulisan yang berbeda dengan sekitarnya.
5) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang tidak sengaja di area tersebut bias di perkenankan kebijakan.
6) Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas dan disimpan pada area yang dibatasi ketat.

D. Prosedur Penyimpanan Obat LASA (Look Alike Sound Alike)


1) Setiap obat-obatan LASA memiliki resiko untuk tertukar dengan obat-obatan
lain dikarenakan pengucapan dan atau tampilannya yang hampir mirip.
Sehingga penyimpanannya harus sangat diperhatikan. Obat-obat LASA tidak
boleh diletakkan berdampingan dengan obat-obat yang memiliki kemiripan.
Walaupun terletak pada kelompok abjad yang sama harus diselingi dengan
minimal 2 (dua) obat dengan kategori LASA diantara atau ditengahnya.
2) Biasakan mengeja nama obat dengan kategori LASA saat memberi/menerima
instruksi.

E.Prosedur Pemberian Label

1) Label untukobat yang perlu diwaspadai dapat dibedakan menjadi dua jenis :

Penandaan obat High alert dilakukan dengan stiker bertuliskan “High alert
Double Check” pada obat. Obat-obatan yang bersifathigh alert diberikan
pelabelan berdasarkan jenis obat tersebut. Untuk obat jenis sitostika diberikan
label high alert berwarna ungu, sementara label merah high alert untuk obat
jenis elektrolit konsentrasi tinggi.

2) Penandaan obat-obatan LASA diberikan penanda dengan stiker LASA pada


tempat penyimpanan obat. Apabila obat dikemas dalam paket untuk
kebutuhan pasien, maka diberikan juga tanda LASA pada kemasan primer
obat.

F. Prosedur Penyiapan Obat High alert


1) Ahli farmasi melakukan verifikasi terhadap resep obat high alert sesuai
Pedoman Pelayanan Farmasi Penanganan High alert
2) Berikan penandaan pada lembar resep setiap obathigh alert, misal dengan
menggaris bawahi dengan tinta merah.
3) Jika ahli farmasi (apoteker) tidak berada di tempat, maka penanganan obat
high alert dapat didelegasikan pada asisten apoteker yang sudah ditentukan.
4) Dilakukan pemeriksaan kedua oleh petugas farmasi yang berbeda sebelum
obat diserahkan kepada perawat.
5) Petugas farmasi pertama dan kedua, membubuhkan tanda tangan dan nama
jelas di bagian belakang resep sebagai bukti telah dilakukan double check
terhadap obat tersebut.
6) Obat diserahkan kepada perawat/pasien disertai dengan informasi yang
memadai dan menandatangani buku serah terima obat rawat inap.

G. Prosedur Penyiapan Obat Yang Perlu Diwaspadai Di Ruang Perawatan


Penyiapan dan pemberian obat kepada pasien yang perlu diwaspadai termasuk
elektrolit konsentrasi tinggi harus memperhatikan kaidah berikut :
1) Setiap pemberian obat menerapkan PRINSIP 7 BENAR (benar pasien,
benar obat benar informasi, benar dosis, benar waktu pemberian, benar cara
pemberian, benar dokumentasi).
2) Pemberian elektrolit pekat harus dengan pengenceran dan penggunaan label
khusus.
3) Pastikan pengenceran dan pencampuran obat dilakukan oleh orang yang
berkompeten.
4) Pisahkan atau beri jarak penyimpanan obat dengan kategori LASA
5) Tidak menyimpan obat kategori kewaspadaan tinggi di meja dekat pasien
tanpa pengawasan.
6) Biasakan mengeja nama obat dengan kategori obat LASA saat memberi /
menerima instruksi.

H. Prosedur Pemberian Obat Yang Perlu Diwaspadai Di Ruang Perawatan


1) Sebelum perawat memberikan obat high alert kepada pasien maka perawat
lain harus melakukan pemeriksaan kembali (double check) secara independen
dengan memperhatikan kesesuaian antara obat dengan rekam medik/instruksi
dokter, ketepatan perhitungan dosis obat, dengan identitas pasien.
2) Untuk jenis obat high alert infus harus dipastikan betul ketepatan kecepatan
pompa infus (infuse pump). Jika obat lebih dari satu, tempelkan label nama
obat pada syringe pump dan di setiap ujung jalur selang.
3) Obat high alert elektrolit konsentrasi tinggi harus diberikan sesuai
perhitungan standar yang telah baku, yang berlaku di semua ruang perawatan.
4) Setiap kali pasien pindah ruang rawat, perawat pengantar menjelaskan kepada
perawat penerima pasien bahwa pasien mendapatkan obat high alert, dan
menyerahkan formulir pencatatan obat.
5) Dalam keadaan darurat yang dapat menyebabkan pelabelan dan tindakan
pencegahan terjadinya kesalahan obat high alert dapat mengakibatkan
tertundanya pemberian terapi dan memberikan dampak yang buruk pada
pasien, maka dokter dan perawat harus memastikan terlebih dahulu keadaan
klinis pasien yang membutuhkan terapi segera sehingga double check dapat
tidak dilakukan, namun sesaat sebelum memberikan obat, perawat harus
menyebutkan secara lantang semua jenis obat yang diberikan kepada pasien
sehingga diketahui dan didokumentasikan dengan baik oleh perawat yang
lainnya.

I. High alert medications

1. Agonis Adrenergik IV (epinefrin, fenilefrin, norepinefrin, isoproterenol)

a. Instruksi medikasi harus meliputi „kecepatan awal‟.

b. Saat titrasi obat, haruslah meliputi parameternya

c. Konsentrasi standar untuk infuse kontinu:

1) Epinefrin : 4 mg/250ml

2) Norepinefrin : 8 mg/250ml
3) Fenilefrin : 50 mg/250ml

d. Pada kondisi klinis di mana diperlukan konsentrasi infuse yang tidak


sesuai standar, spuit atau botol infuse harus diberi label „konsentrasi yang
digunakan adalah ….‟
e. Gunakan monitor kardiovaskular pada semua pasien dengan pemasangan
vena sentral

2. Epinefrin

a. Rute pemberian: intravena, intramuskular

b. Cara melarutkan:

Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau Dekstrosa 5% Pengenceran


standar adalah 1 mg per 250 mL NaCl 0,9%.
c. Temperatur penyimpanan: 15-25 °C, lindungi dari cahaya dan udara,
larutan yang sudah direkonstitusi stabil selama 24 jam di temperatur
ruangan.
d. Monitoring parameter: heart rate/nadi, tekanan darah, laju pernafasan.

e. Efek samping: angina, hipertensi, takikardia, mual, muntah, tremor, udem


paru.
f. Antidot: Phentolamine dapat diberikan dengan dosis 5-10 mg dalam 10
mL NaCl 0,9%.
3. Norepinefrin

a. Rute pemberian: intravena

Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam Dekstrosa 5% atau D5NS


Perhatian: Jangan memberikan NaHCO3 bersamaan dengan jalur infus
yang mengandung norepinefrin.
b. Obat harus diencerkan sebelum digunakan, gunakan pompa infus untuk
ketepatan pemberian obat.
c. Laju tetesan maksimum pada anak adalah 2 mcg/kg/menit.

d. Laju tetesan lazim pada dewasa adalah 0,01-3 mcg/kg/menit.

e. Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, lindungi dari cahaya, larutan yang


sudah direkonstitusi stabil selama 24 jam, jangan digunakan bila timbul
warna kecoklatan pada larutan.
f. Monitoring parameter: heart rate / nadi, tekanan darah, laju pernafasan.
g. Efek samping: aritmia, bradikardia, sakit kepala (sementara), dyspnea,
kesulitan bernafas.
h. Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian norepinefrin, monitor
heart rate / nadi, tekanan darah, laju pernafasan hingga kondisi pasien
membaik.
i. Bila terjadi ekstravasasi: ekstravasasi pada jaringan dapat berakibat
nekrosis lokal oleh karena sifat vasokonstriktif norepinefrin. Segera
berikan 10-15 mL larutan NaCl 0,9% yang dicampurkan dengan 5-10 mg
phentolamine (suatu penghambat adrenergik).

4. Antagonis adrenergic (propanolol, esmolol, metoprolol, labetalol)

a. Konsentrasi standar esmolol:

1) vial 100 mg/10ml

2) ampul 2,5 g/10ml

b. Metoprolol

1) Rute pemberian: intravena, dapat diberikan secara infus cepat (i.v.


push) selama 1 menit, atau infus lambat (misalnya 5-10 mg
metoprolol dalam 50 mL cairan selama 30-60 menit).
2) Temperatur penyimpanan: 25 °C, lindungi dari cahaya dan
kelembaban
3) Monitoring parameter: EKG, tekanan darah, heart rate.

4) Efek samping: hipotensi, bradikardia, pusing, gatal dan kemerahan


pada kulit.
5) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian metoprolol,
berikan terapi suportif untuk pasien, antara lain pemberian cairan
secara i.v, pemberian obat-obatan untuk meningkatkan tekanan darah
atau denyut jantung, serta pengawasan terhadap fungsi jantung dan
paru-paru pasien.

5. Dopamine dan dobutamin

a. Sering terjadi kesalahan berupa obat tertukar karena namanya yang mirip,
konsentrasi yang mirip, dan indikasinya yang serupa. Gunakan label yang
dapat membedakan nama obat (misalnya: DOBUTamin, DOPamin).
b. Gunakan konsentrasi standar.

c. Beri label pada pompa dan botol infuse berupa „nama obat dan
dosisnya‟.

6. Kalsium Intravena (sebagai gluceptate, gluconate, atau chloride)

a. CaCl tidak boleh diberikan melalui IM karena bersifat sangat iritatif


terhadap jaringan.
b. Faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam darah
adalah kadar fosfor serum dan albumin serum.
c. Efek samping yang dapat terjadi:

1) Interaksi obat dengan digoksin (injeksi cepat kalsium dapat


menyebabkan bradiaritmia, terutama pada pasien yang
mengkonsumsi digoksin).
2) Antagonis terhadap CCB (calcium-channel blocker) dan peningkatan
tekanan darah.
3) Hipokalsemia atau hiperkalsemia akibat pemantauan kadar kalsium
yang tidak efisien.
4) Rasio kalsium-fosfor yang tidak tepat dalam larutan IV dan
menyebabkan presipitasi dan kerusakan organ.
5) Nekrosis jaringan akibat ekstravasasi kalsium klorida.

6) Instruksikan pemberian kalsium dalam satuan miligram.

7) Lakukan pengecekan ganda.

7. Infuse kontinu Heparin, Lepirudin, Argatroban, Warfarin IV

a. Protokol standar indikasi adalah untuk thrombosis vena dalam (Deep


Vein Thrombosis – DVT), sakit jantung, stroke, dan ultra-filtrasi.
b. Singkatan „u‟ untuk „unit‟ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan
singkatan.
c. Standar konsentrasi obat untuk infuse kontinu:

1) Heparin : 25.000 unit/500ml dekstrosa 5% (setara dengan 50


unit/ml)
2) Lepirudin : 50 mg/250ml dan 100 mg/250ml
3) Argatroban : 250 mg/250ml

d. Gunakan pompa infuse.

e. Lakukan pengecekan ganda.

f. Berikan stiker atau label pada vial heparin dan lakukan pengecekan ganda
terhadap adanya perubahan kecepatan pemberian.
g. Untuk pemberian bolus, berikan dengan spuit (daripada memodifikasi
kecepatan infus).
h. Obat-obatan harus diawasi dan dipantau.

i. Warfarin harus diinstruksikan secara harian berdasarkan pada nilai INR /


PT harian.
j. Heparin Natrium

1) Rute pemberian: intravena, jangan diberikan intramuskular karena ada


potensi nyeri dan hematoma.
2) Cara melarutkan: Pengenceran standar adalah 25.000 unit per 500 mL
Dekstrosa 5%, volume minimal adalah 250 mL Dekstrosa 5%.
3) Perhatian:Penggunaan pada pasien anak-anak masih terbatas datanya,
sesuaikan dosisnya sesuai kebutuhan pasien.Jangan menggunakan
sediaan heparin yang mengandung pengawet benzil alkohol pada
pasien bayi dan neonatus.
4) Temperatur penyimpanan: 25-30°C, jangan dibekukan, stabilitas
setelah direkonstitusi 24 jam, stabilitas setelah vial dibuka 30 hari.
5) Monitoring parameter: aPTT, tanda-tanda pendarahan, hemoglobin,
hematokrit.
6) Efek samping: trombositopenia, pendarahan, iritasi lokal, osteoporosis
(pada pemberian dosis tinggi dalam jangka waktu lama).
7) Antidot: Protamin sulfat (dosisnya 1-1,5 mg protamin sulfat untuk 100
unit heparin, berikan perlahan secara i.v).

8. Insulin IV

a. Singkatan „u‟ untuk „unit‟ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan


singkatan.
b. Infuse insulin: konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label „high alert’ ,
ikuti protokol standar ICU.

c. Vial insulin yang telah dibuka memiliki waktu kadaluarsa dalam 30 hari
setelah dibuka.
d. Vial insulin disimpan pada tempat terpisah di dalam kulkas dan diberi
label.
e. Pisahkan tempat penyimpanan insulin dan heparin (karena sering
tertukar).
f. Jangan pernah menyiapkan insulin dengan dosis U100 di dalam spuit 1 cc,
selalu gunakan spuit insulin (khusus).
g. Lakukan pengecekan ganda.

h. Perawat harus memberitahukan kepada pasien bahwa mereka akan


diberikan suntikan insulin.
i. Distribusi dan penyimpanan vial insulin dengan beragam dosis:

1) Simpan dalam kulkas secara terpisah dan diberi label yang tepat.

2) Semua vial insulin harus dibuang dalam waktu 30 hari setelah


dibuka (injeksi jarum suntik). Tanggal dibuka / digunakannya
insulin untuk pertama kali harus dicatat pada vial.
j. Insulin

1) Rute pemberian: subkutan, intravena, intramuskular.

2) Perhatian: Insulin sebaiknya jangan digunakan secara bolus i.v pada


pasien anak-anak dengan ketoasidosis diabetika.
3) Temperatur penyimpanan: Bila kemasan belum dibuka simpan pada
suhu 2-8 °C, jangan dibekukan. Bila sudah digunakan, jangan
disimpan pada suhu > 30 °C, stabil selama 30 hari.
4) Monitoring parameter: kadar glukosa darah, elektrolit, HbA1c.

5) Efek samping: hipoglikemia, hipokalemia, rasa lapar, mual, lemah


otot, palpitasi, edema perifer.
6) Bila terjadi overdosis insulin: berikan 400-600 mg glukosa/kg/jam
hingga masalah teratasi.
7) Singkatan „u‟ untuk „unit‟ tidak diperbolehkan. Jangan
menggunakan singkatan.
8) Infuse insulin: konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label „high
alert’ , ikuti protokol standar ICU

9) Vial insulin disimpan pada tempat terpisah di dalam kulkas dan


diberi label.
10) Pisahkan tempat penyimpanan insulin dan heparin (karena sering
tertukar).
11) Jangan pernah menyiapkan insulin dengan dosis U100di dalam spuit 1
cc, selalu gunakan spuit insulin (khusus).
12) Lakukan pengecekan ganda.

9. Konsentrat elektrolit: injeksi NaCl > 0,9% dan injeksi Kalium (klorida,
asetat, dan fosfat) ≥ 0,4 Eq/ml10
a. Jika KCl diinjeksi terlalu cepat ( misalnya pada kecepatan melebihi 10
mEq/jam) atau dengan dosis yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan
henti jantung.
b. KCl tidak boleh diberikan sebagai IV push / bolus.

c. Hanya disimpan di apotek, ICU, ICCU, dan kamar operasi.

d. Standar konsentrasi pemberian infuse NaCl: maksimal 3% dalam 500ml.

e. Berikan label pada botol infuse: „larutan natrium


hipertonik 3%‟ (Tulisan berwarna merah).
f. Protokol untuk KCl:

1) Indikasi infuse KCl

2) Kecepatan maksimal infuse

3) Konsentrasi maksimal yang masih diperbolehkan

4) Panduan mengenai kapan diperlukannya monitor kardiovaskular

5) Penentuan bahwa semua infuse KCl harus diberikan via pompa

6) Larangan untuk memberikan larutan KCl multipel secara


berbarengan (misalnya: tidak boleh memberikan KCl IV sementara
pasien sedang mendapat infuse KCl di jalur IV lainnya)
7) Diperbolehkan untuk melakukan substitusi dari KCl oral menjadi
KCl IV, jika diperlukan
g. Lakukan pengecekan ganda.

h. KCl 7,46 %

1) Rute pemberian: intravena.

2) Cara melarutkan:

Pelarut yang dapat digunakan adalah NaCl 0,9% dan Dekstrosa


5%.
KCl harus dilarutkan dahulu sebelum digunakan, jangan
digunakan secara i.v. push.
a) 1 mL KCl 7,46% setara dengan 1 mEq.

b) Pindahkan sejumlah tertentu larutan KCl 7,46%


menggunakan spuit steril ke dalam kemasan infus pelarut.
c) Kocok perlahan hingga homogen, atur tetesan sesuai
instruksi.
d) Kecuali disebutkan lain, laju tetesan maksimal adalah 10-
40 mEq per jam.
3) Temperatur penyimpanan: 25-30 °C, untuk yang sudah
direkonstitusi stabil selama 24 jam.
4) Monitoring parameter: kadar kalium serum.

5) Efek samping: hiperkalemia, rash, nyeri abdomen, mual,


muntah.
6) Bila terjadi hiperkalemia: berikan 25-50 gram (250-500 mL)
D10 ditambah dengan 10 unit insulin reguler diberikan secara
i.v. selama 30-60 menit.

i. NaCl 3%

a. Rute pemberian: intravena

Cara melarutkan: Untuk pengenceran, dapat digunakan


aqua pro injeksi.Atur tetesan infus dengan saksama sesuai
dengan instruksi yang diberikan, cara pemberian i.v central
line direkomendasikan. Kecuali disebutkan lain, maka laju
penetesan maksimal adalah 100 mL/jam.
b. Temperatur penyimpanan: 25-30 °C, jangan dibekukan,
lindungi dari panas.
c. Monitoring parameter: kadar natrium serum.

d. Efek samping: hipernatremia, hipokalemia, thrombosis,


phlebitis, ekstravasasi, CHF, edema paru.

10. Infuse narkose / opiat, termasuk infuse narkose epidural

a. Opiate dan substansi lainnya harus disimpan dalam lemari penyimpanan


yang terkunci di apotik / unit farmasi dan di ruang perawatan pasien.
b. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya
tersedia dalam meresepkan obat.
c. Berikan label „high alert’: untuk infuse kontinu dengan konsentrasi non-
standar yang diberikan /diantarkan ke unit rawat, jika dperlukan sewaktu-
waktu.
d. Konsentrasi standar:

1) Morfin : 1 mg/ml

2) Meperidin : 10 mg/ml

3) Hidromorfin : 0,2 mg/ml (lima kali lebih poten


dibandingkan morfin)
4) Fentanil : 10 mcg/ml (penggunaan di ICU)

e. Konsentrasi tinggi: (berikan label „konsentrasi tinggi‟)

1) Morfin : 5 mg/ml

2) Hidromorfin : 1 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan


morfin)
3) Fentanil : 50 mcg/ml(penggunaan ICU)

f. Instruksi penggunaan narkose harus mengikuti Kebijakan Titrasi.

g. Pastikan tersedia nalokson atau sejenisnya di semua area yang terdapat


kemungkinan menggunakan morfin.
h. Tanyakan kepada semua pasien yang menerima opiate mengenai riwayat
alergi.
i. Hanya gunakan nama generic.

j. Jalur pemberian epidural:

1) semua pemberian infuse narkose / opiate harus diberikan dengan


pompa infuse yang terprogram dan diberikan label pada alat pompa.
2) gunakan tabung infuse yang spesifik (misalnya: wana: kuning
bergaris) tanpa portal injeksi.
3) berikan label pada ujung distal selang infuse epidural dan selang
infus IV untuk membedakan.

k. Jika diperlukan perubahan dosis, hubungi dokter yang bertanggungjawab.

l. Lakukan pengecekan ganda.


m. Morfin

1) Rute pemberian: oral, intravena, epidural.

2) Perhatian:Bila diberikan secara i.v push, sebaiknya diencerkan

dahulu dengan aqua pro injeksi atau NaCl 0,9% hingga konsentrasi 1-
2 mg/mL, kemudian suntikkan perlahan. Untuk penggunaan epidural
jangan gunakan sediaan yang mengandung pengawet.
3) Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, lindungi dari cahaya.

4) Monitoring parameter: derajat nyeri, tekanan darah, status mental dan


respirasi pasien.
5) Efek samping: hipotensi, bradikardia, mengantuk, pusing, sakit kepala,
gatal, penglepasan histamin, retensi urin, konstipasi, sedasi.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian morfin, berikan
terapi suportif antara lain pemberian oksigen dan monitor tanda-tanda
vital pasien. Pemberian antagonis opioid seperti naloxone hendaknya
diberikan bila memang ada depresi pernafasan berat.
a) Dosis naloxone untuk bayi atau anak < 5 tahun atau anak dg berat
badan < 20 kg: dosis awal 0,1 mg/kgBB secara i.v (dosis
maksimum 2 mg), dapat diulang setiap 2-3 menit bila diperlukan.
b) Dosis naloxone untuk dewasa: 0,4-2 mg secara i.v, dapat diulang
setiap 2-3 menit.
n. Fentanyl

1) Rute pemberian: oral, intravena.

2) Cara melarutkan: Dapat digunakan tanpa diencerkan dahulu, atau


dapat pula diencerkan dengan 250 mL Dekstrosa 5%.
3) Perhatian: Penggunaan secara i.v pelan selama 1-2 Menit.

4) Jangan digunakan pada pasien yang menerima pengobatan


monoaminoksidase inhibitor (contohnya selegiline, phenelzine, dan
isocarboxazide) dalam 2 minggu terakhir.
5) Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, lindungi dari cahaya.

6) Monitoring parameter: status respirasi dan kardiovaskuler, tekanan


darah, heart rate, tanda-tanda ketagihan.

7) Efek samping: konfusio, konstipasi, mulut kering, mual, somnolence,


berkeringat, muntah, nyeri abdomen, bradikardia, depresi pernafasan.
8) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian fentanyl, berikan
terapi suportif, pemberian naloxone dapat dipertimbangkan tergantung
kondisi pasien (bila terjadi depresi pernafasan).
a) Dosis naloxone untuk bayi atau anak < 5 tahun atau anak dg berat
badan < 20 kg: dosis awal 0,1 mg/kgBB secara i.v (dosis
maksimum 2 mg), dapat diulang setiap 2-3 menit bila diperlukan.
b) Dosis naloxone untuk dewasa: 0,4-2 mg secara i.v, dapat diulang
setiap 2-3 menit.
o. Pethidin

1) Rute pemberian: intravena, oral.

2) Perhatian: Jangan diberikan bila pasien menggunakan obat


penghambat monoaminoksidase / MAO (contohnya selegiline,
phenelzine, dan isocarboxazide) dalam 2 minggu terakhir.
3) Temperatur penyimpanan: 15-25 °C, lindungi dari cahaya.

4) Monitoring parameter: derajat nyeri, tekanan darah, status mental dan


respirasi pasien.
5) Efek samping: mulut kering, pusing, konstipasi, retensi urin, mual,
hipotensi, vasodilasi, depresi pernafasan.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian pethidin, berikan
terapi suportif dan simptomatik, antara lain pemberian cairan i.v dan
atau bantuan pernafasan. Pemberian antagonis opioid seperti Naloxone
dapat diberikan bila diperlukan (dosis sama dengan kasus overdosis
morfin / fentanyl).
p. Sufentanil

1) Rute pemberian: intravena, epidural. Berikan secara injeksi pelan.

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam Dekstrosa 5%.

3) Temperatur penyimpanan: 15-25 °C, lindungi dari cahaya.

4) Monitoring parameter: derajat nyeri, tekanan darah, status mental dan


respirasi pasien.
5) Efek samping: depresi pernafasan, kekakuan otot rangka, retensi urin,
hipotensi, gatal, somnolence, mual, muntah.

6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian sufentanil, berikan


terapi suportif dan simptomatik, antara lain pemberian cairan i.v dan
atau bantuan pernafasan. Pemberian antagonis opioid seperti Naloxone
dapat diberikan bila diperlukan (dosis sama dengan kasus overdosis
morfin / fentanyl).

11. Agen sedasi IV (lorazepam, midazolam, propofol)

a. Setiap infuse obat sedasi kontinu memiliki standar dosis, yaitu:

1) Lorazepam : 1 mg/ml

2) Midazolam : 1 mg/ml, efek puncak: 5-10 menit

3) Propofol : 10 mg/ml

b. Lakukan monitor selama pemberian obat (oksimetri denyut, tanda


vital, tersedia peralatan resusitasi)
c. Midazolam (Sedacum)

1) Rute pemberian: Intranasal, oral, intra muskular, intravena.

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau


Dekstrosa 5%.
3) Penggunaan secara intranasal dapat menggunakan syringe 1 mL
tanpa jarum, diteteskan di tiap-tiap lubang hidung selama 15 detik.
Gunakan konsentrasi 5 mg/mL. Bagi dosis sama rata pada masing-
masing lubang hidung.
4) Penggunaan secara i.v secara perlahan selama 2-5 menit
menggunakan konsentrasi 1-5 mg/mL atau dengan pompa infus.
5) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C, larutan yang sudah
direkonstitusi stabil selama 24 jam.
6) Monitoring parameter: status pernafasan dan kardiovaskuler,
tekanan darah.
7) Efek samping: laju pernafasan menurun, hipotensi, mengantuk,
nyeri lokal, mual, muntah.
8) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian midazolam.
Monitor pernafasan, denyut nadi, dan tekanan darah, berikan terapi

suportif bila perlu. Bila terjadi hipotensi maka dapat diberikan


terapi cairan intravena dan atau vasopresor.
d. Propofol

1) Rute pemberian: intravena.

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam Dekstrosa 5%.


3) Perhatian:Jangan diberikan bersamaan melalui kateter i.v
bersamaan dengan darah atau plasma dan tidak
direkomendasikanuntuk anak usia < 3 tahun.
4) Temperatur penyimpanan: 2-25 °C, jangan dibekukan, sediaan
yang sudah direkonstitusi stabil selama 6 jam.
5) Monitoring parameter: tekanan darah, tanda obstruksi saluran
nafas.
6) Efek samping: hipotensi, bradikardia, nyeri lokal, sakit kepala /
mual / muntah pada periode recovery.
7) Antidot: tidak ada antidot spesifik untuk propofol. Bila terjadi
overdosis, segera hentikan pemberian propofol kemudian berikan
terapi suportif untuk pasien.

12. Infus Magnesium Sulfat

a. Tergolong sebagai high alert medications pada pemberian konsentrasi


melebihi standar, yaitu > 40 mg/ml dalam larutan 100 ml (4 g dalam
100 ml larutan isotonic / normal saline).
b. Perlu pengecekan ganda (perhitungan dosis, persiapan dosis,
pengaturan pompa infuse).
13. Agen blok neuromuscular (Suksinilkolin, rokuronium, vekuronium,
atrakurium, pankuronium)
a. Harus disimpan di area khusus dan spesifik, seperti: kamar operasi,
Ruang Rawat Intensif (Pediatric Intensive Care Unit / Neonates
Intensive Care Unit / Intensive Care Unit), IGD, Cath Lab.
b. Berikan label yang terlihat jelas dan dapat dibedakan dengan obat-
obatan lainnya. Farmasi akan memberikan label pada semua vial
untuk penyimpanan obat di luar kamar operasi.

c. Penyimpanan harus dipisahkan dari obat-obatan lainnya, misalnya


dengan kotak berwarna, penyekatan, dan sebagainya.
d. Semua infuse agen blok neuromuscular harus memiliki label yang
bertuliskan:
1) „peringatan: agen paralisis‟

2) „dapat menyebabkan henti napas‟

e. Lakukan pengecekan ganda.


f. Untuk setiap container obat baru yang disediakan oleh farmasi
(misalnya: vial, spuit, dan sebagainya), pengecekan ganda harus
dicatat oleh kedua petugas di rekam medis pasien.
g. Catatlah jika ada perubahan instruksi, termasuk perubahan kecepatan
infuse dan pengaturan pompa infuse.
h. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya
tersedia. Instruksi juga harus menyatakan „Pasien harus terpasang
ventilator‟.
i. Jangan pernah menganggap obat-obatan ini sebagai „relaksan‟.

j. Harus dihentikan pemberiannya pada pasien yang di-ekstubasi dan


tidak menggunakan ventilator lagi.

14. Obat-obatan inotropik IV (digoksin)

a. Obat ini memiliki rentang terapeutik yang sempit dan memiliki


sejumlah interaksi obat.
b. Pasien-pasien yang harus mendapatkan pengawasan ekstra adalah:
lansia (geriatric) yang mendapat dosis tinggi obat inotropik dan juga
mengkonsumsi quinidine.
c. Dalam penggunaan obat, berikan edukasi kepada pasien mengenai
pentingnya kepatuhan pasien dalam hal dosis, perlunya pemeriksaan
darah perifer secara rutin, dan tanda-tanda peringatan akan terjadinya
potensi overdosis.
d. Tingkatkan pemantauan pasien dan pemeriksaan laboratorium.

e. Lakukan pemeriksaan digoksin darah secara rutin.

f. Digoxin :

1) Rute pemberian: intravena pelan selama 5 menit

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau


Dekstrosa 5%
3) Perhatian: Digoxin memiliki indeks terapi sempit, oleh karena
itu perhatikan dosisnya dengan saksama.
4) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C, lindungi dari cahaya.

5) Monitoring parameter: heart rate, EKG, kreatinin serum,


kalium serum, magnesium serum, kalsium serum.
6) Efek samping: pusing, mual, muntah, sakit kepala, aritmia.
7) Bila terjadi efek samping: segera hentikan pemberian digoksin,
berikan terapi suportif meliputi pemberian kalium bila terjadi
hipokalemia, monitor kadar elektrolit darah, dan monitor
fungsi jantung.

15. Garam fosfat (natrium dan kalium)

a. Sebisa mungkin, berikan terapi pengganti fosfat melalui jalur oral.

b. Berikan dalam bentuk natrium fostat, kapanpun memungkinkan.

c. Pemberian kalium fosfat berdasarkan pada level / kadar fosfat


inorganic pasien dan faktor klinis lainnya.
d. Dosis normal kalium fosfat: tidak melebihi 0,32 mmol/kgBB dalam 12
jam. Dosis dapat diulang hingga serum fosfat > 2 mg/dl.
e. Selalu berikan via pompa infuse.

16. Obat Anestesi:

a. Enflurane

1) Rute pemberian: inhalasi

2) Perhatian:

a) Untuk pasien dewasa, dosis induksi untuk anestesi bedah


adalah 2-4,5%, dengan dosis pemeliharaan 0,5-3%, jangan
melebihi dosis 3%. Sedangkan untuk keperluan cesarean
section digunakan dosis 0,5-1% sebagai tambahan terhadap
obat anestesi lainnya.

b) Untuk pasien anak-anak, keamanan dan kemanjurannya belum


ditetapkan.
3) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C.

4) Efek samping: malignant hyperthermia, hipotensi, depresi


pernafasan, nilai lekosit meningkat, mual, muntah.
5) Antidot: Dantrolene dapat digunakan untuk mengatasi efek
samping malignant hyperthermia. Dosisnya adalah 2,5 mg per kg
berat badan, diberikan secara bolus i.v.
b. Halothane
1) Rute pemberian: inhalasi.

2) Perhatian: Untuk pasien dewasa, dosis induksi anestesi adalah


0,5-3%, dengan dosis pemeliharaan 0,5-1,5%.
3) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C, lindungi dari cahaya.

4) Efek samping: malignant hyperthermia, artimia, hipotensi,


hiperpireksia, mual, muntah.
5) Antidot: Dantrolene dapat digunakan untuk mengatasi efek
samping malignant hyperthermia. Dosisnya adalah 2,5 mg per kg
berat badan, diberikan secara bolus i.v.
c. Isoflurane

1) Rute pemberian: inhalasi

2) Perhatian:

a) Untuk pasien dewasa, dosis induksi anestesi adalah 1,5-3%,


dosis pemeliharaan adalah 1-2,5% dengan nitrat oksida, bila
digunakan oksigen saja maka dapat ditambah 0,5-1% lagi.
b) Untuk pasien anak-anak, keamanan dan kemanjurannya
belum ditetapkan.
3) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C.

4) Efek samping: malignant hyperthermia, mual, muntah, aritmia,


peningkatan nilai lekosit.
5) Antidot: Dantrolene dapat digunakan untuk mengatasi efek
samping malignant hyperthermia. Dosisnya adalah 2,5 mg per kg
berat badan, diberikan secara bolus i.v.

d. Ketamine HCl

1) Rute pemberian: intravena.

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau


Dekstrosa 5%.
3) Perhatian: Pemberian secara i.v. tidak boleh melebihi 0,5
mg/kg/menit atau diberikan lebih cepat dari 60 detik.
4) Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, lindungi dari cahaya.

5) Monitoring parameter: heart rate / nadi, tekanan darah, laju


pernafasan.
6) Efek samping: bradikardia, anoreksia, mual, muntah, nyeri di lokasi
suntikan, obstruksi saluran pernafasan, konfusio, hipotensi,
hipertensi dan takikardia temporer, laringospasme.
7) Pengelolaan overdosis: Monitor heart rate / nadi dan tekanan
darah. Respirasi mekanik dapat digunakan bila terjadi depresi
sistem pernafasan.
e. Desflurane

1) Rute pemberian: inhalasi

2) Perhatian:

a) Dosis pemeliharaan untuk anestesi adalah 2,5-8,5% untuk


pasien dewasa, dan 5,2-10% untuk anak-anak.
b) Tidak direkomendasikan untuk anak < 12 tahun

3) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C

4) Monitoring parameter: tekanan darah, laju pernafasan, denyut nadi,


temperatur.
5) Efek samping: hipotensi, depresi sistem pernafasan, aritmia, mual,
muntah, salivasi meningkat, laringospasme. Efek samping
malignant hyperthermia dapat terjadi namun jarang dilaporkan.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian desflurane, jaga
fungsi pernafasan dan kardiovaskuler pasien.
f. Ropivakain HCl

1) Rute pemberian: intravena

2) Perhatian:

a) Berikan secara i.v pelan

b) Tidak direkomendasikan untuk anak < 12 tahun

3) Temperatur penyimpanan: < 30 °C, jangan dibekukan

4) Monitoring parameter: heart rate/nadi, tekanan darah, laju


pernafasan.
5) Efek samping: hipotensi, nyeri lokal, mual, muntah, konvulsi,
aritmia.
6) Antidot:

a) Bila terjadi konvulsi maka tujuan terapi adalah untuk menjaga


oksigenasi dan menghentikan konvulsi. Pasien diberikan
oksigen dan antikonvulsi (Diazepam 5-10 mg i.v.)
b) Bila terjadi depresi kardiovaskuler (misalnya hipotensi,
bradikardia), maka dapat diberikan Efedrin 5-10 mg i.v dan
dapat diulang setelah 2-3 menit sesuai kebutuhan.
g. Bupivacain HCl

1) Rute pemberian: spinal, epidural

2) Perhatian:

a) Larutan yang mengandung pengawet jangan digunakan untuk


epidural blok.
b) Tidak direkomendasikan untuk digunakan pada anak <12
tahun
3) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C.

4) Monitoring parameter: heart rate / nadi, tekanan darah, laju


pernafasan, kesadaran pasien, toksisitas sistem syaraf pusat.
5) Efek samping: hipotensi, bradikardia, apnea, mual, muntah.

6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian bupivacain HCl,


jaga fungsi pernafasan pasien.

h. Thiopental natrium

1) Rute pemberian: intravena

2) Cara melarutkan: Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau Dekstrosa


5%
3) Perhatian:

a) Jangan menggunakan aqua pro injeksi untuk membuat


larutan dengan konsentrasi <2% karena bersifat hipotonik
yang mengakibatkan hemolisis.
b) Berikan secara i.v pelan untuk mengurangi efek depresi
pernafasan dan kemungkinan overdosis.
4) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C, lindungi dari cahaya.

5) Monitoring parameter: heart rate / nadi, tekanan darah, laju


pernafasan.
6) Efek samping: aritmia, delirium, sakit kepala, amnesia, rash pada
kulit, nyeri abdomen, diare, batuk, bronkospasme, laringospasme.
7) Pengelolaan overdosis: Segera hentikan pemberian thiopental.
Jaga pernafasan pasien dengan bantuan oksigen bila perlu.
Monitor laju pernafasan, gas darah, dan elektrolit serum. Bila
terjadi laringospasme, obat relaksan otot polos rangka dapat
diberikan.
8) Rute pemberian: inhalasi.

9) Perhatian:

a) Dosis lazim pasien dewasa untuk anestesi adalah 1,4-2,6%


atau 0,7-1,4% dengan nitrat oksida.
b) Dosis lazim pasien anak-anak adalah 2,5-3,3% atau 2%
dengan nitrat oksida
10) Temperatur penyimpanan: 15-30 °C.

11) Monitoring parameter: tekanan darah, temperatur, denyut nadi,


dan laju pernafasan.
12) Efek samping: depresi jantung dan sistem pernafasan, hipotensi,
mual, muntah.
13) Bila terjadi overdosis: hentikan segera pemberian sevoflurane,
jaga fungsi pernafasan dan kardiovaskuler pasien.

i. Lidocain HCl

1) Rute pemberian: intravena, endotracheal

2) Cara melarutkan:

a) Dapat dilarutkan dalam NaCl 0,9% atau Dekstrosa 5%

b) Pengenceran standar adalah 2 gram per 250 mL Dekstrosa


5%.
3) Temperatur penyimpanan: < 30 °C.

4) Monitoring parameter: heart rate / nadi, tekanan darah, laju


pernafasan.
5) Efek samping: aritmia, bradikardia, depresi sistem pernafasan,
bronkospasme, mual, muntah.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian lidocain,
pastikan pasien mendapatkan oksigenasi yang cukup. Bila terjadi
aritmia ventrikular maka dapat diberikan Amiodaron. Monitor
fungsi kardiovaskuler pasien.
j. Streptokinase

1) Rute pemberian: intravena

2) Cara melarutkan: dapat dilarutkan dengan NaCl 0,9% atau Dekstrosa


5%.
3) Perhatian:

a) Streptokinase sebaiknya digunakan segera setelah


direkonstitusi, bila belum akan digunakan hendaknya
disimpan pada suhu 2-8 °C, buang setelah 8 jam
b) Jangan menambahkan obat lainnya ke dalam wadah berisi
Streptokinase, atau memberikan obat lain bersamaan dalam i.v.
linTemperatur penyimpanan: 15-30 °C
4) Monitoring parameter: PT (prothrombin time), aPTT (activated
partial thromboplastin time), kadar plasminogen dan fibrinogen.
5) Efek samping: pendarahan, aritmia, hipotensi, bronkospasme,
reaksi sentitifitas (alergi, demam).
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian obat, bila perlu
dapat diberikan tranfusi PRC untuk mengganti kehilangan volume
darah dan menetralkan pendarahan.

k. Amiodaron

1) Rute pemberian: intravena, oral

2) Perhatian:

a) Penggunaan oral sebaiknya setelah makan, bila pasien


mengalami rasa tidak nyaman di pencernaan dengan
pemberian dosis tunggal maka dosisnya dapat dibagi dua kali
pemberian.
b) Pemberian i.v > 2 mg/mL memiliki risiko iritasi vena.

c) Sebaiknya hanya digunakan untuk kasus aritmia yang


mengancam jiwa karena potensi toksisitasnya.
3) Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, lindungi dari cahaya.

4) Monitoring parameter: fungsi hati, fungsi paru, fungsi tiroid, dan


EKG (waspadai pemanjangan interval QTc).
5) Efek samping: hipotensi, bradikardia, pemanjangan interval QTc,
pusing, sakit kepala, hiper / hipotiroid, nodul tiroid, mual, muntah,
nilai abnormal tes fungsi hati.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian amiodaron,
berikan terapi suportif meliputi pemberian cairan secara i.v,
pemberian obat-obatan untuk mengatasi bradikardia / hipotensi
(bila terjadi), monitor EKG dan tekanan darah.
7) Kalium bila terjadi hipokalemia, monitor kadar elektrolit darah,
dan monitor fungsi jantung.

l. Glukosa 40%

1) Rute pemberian: intravena

2) Perhatian:

a) Berikan secara i.v pelan, karena bila diberikan terlalu cepat


ada risiko hiperglikemia dan sindroma hiperosmolar.
b) Kecuali disebutkan lain, maka laju tetesan yang
direkomendasikan adalah 0,5 gram/kg/jam.
3) Temperatur penyimpanan: 20-25 °C, jangan dibekukan

4) Monitoring parameter: kadar glukosa, kalium, dan fosfat serum.

5) Efek samping: demam, hiperosmolaritas, phlebitis, edema paru,


pendarahan serebral, hiperglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia,
ekstravasasi pada lokasi suntikan.
6) Bila terjadi overdosis: segera hentikan pemberian glukosa 40%,
berikan terapi suportif dan atau simptomatik.
J. Pemberian high alert medications pada pediatrik dan neonatus

1. High alert medications pada neonatus dan pediatric serupa dengan obat-
obatan pada dewasa, dan obat-obatan di bawah ini:
a. Regicide (semua jalur pemberian)

b. Chloral hydrate (semua jalur pemberian)

c. Insulin (semua jalur pemberian)

d. Digoksin (oral dan IV)

e. Infuse dopamine, dobutamin, epinefrin, norepinefrin

2. Pemberian chloral hydrate untuk sedasi:


a. Kesalahan yang sering terjadi:

1) Dosis tertukar karena terdapat 2 sediaan: 250 mg/5ml dan 500


mg/5ml.
2) Instruksi sering dalam bentuk satuan volume (ml), dan bukan
dalam dosis mg.
3) Pasien agitasi sering mendapat dosis multipel sebelum dosis
yang pertama mencapai efek puncaknya sehingga
mengakibatkan terjadinya overdosis.
b. Tidak boleh untuk penggunaan di rumah

c. Monitor semua anak yang diberikan chloral hydrate untuk sedasi


pre-operatif sebelum dan setelah prosedur dilakukan. buatlah
rencana resusitasi dan pastikan tersedianya peralatan resusitasi.
3. Prosedur pemberian obat:

a. Lakukan pengecekan ganda oleh 2 orang petugas kesehatan yang


berkualitas (perawat, dokter, ahli farmasi)
b. Berikut adalah konsentrasi standar obat-obatan untuk penggunaan
secara kontinu infuse intravena untuk semua pasien pediatric yang

dirawat, PICU, dan NICU. Berikan label „konsentrasi …….‟ untuk


spuit atau botol infuse dengan konsentrasi modifikasi.
TabelIV.4 :KonsentrasiStandarObat-obatanuntuk Pediatric, PICU, dan NICU

Obat Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi


3
KCl 0,1 mEq/ml 0,2 mEq/ml

(10 mEq/100ml) (20 mEq/100ml),


hanyauntukinfus vena
sentral
Spesifikuntuk pediatric / PICU
Dopamin 1600 mcg/ml 3200 mcg/ml

(400 mcg/250ml) (800 mcg/250ml)


Dobutamin 200 mcg/ml 4000 mcg/ml

(500 mcg/250ml) (1 mg g/250ml)


Epinefrin 16 mcg/ml 64 mcg/ml
(4 mg/250ml) (16 mg/250ml)
Norepinefrin 16 mcg/ml 32 mcg/ml 64 mcg/ml

(4 mg/250ml) (8 mg/250ml) (16


mg/250ml)
Insulin, regular 0,5 unit/ml 1 unit/ml
Spesifikuntuk NICU
Dopamine 400 mcg/ml 800 mcg/ml 1600 mcg/ml
Dobutamin 500 mcg/ml 1000 mcg/ml 2000 mcg/ml
Epinefrin 20 mcg/ml 40 mcg/ml
Insulin, regular 0,1 unit/ml 0,5 unit/ml
Fentanil 4 mcg/ml 12,5 mcg/ml

c. Hanya staf yang berpengalaman dan kompeten yang diperbolehkan


memberikan obat.
d. Simpan dan instruksikan hanya 1 (satu) konsentrasi.

e. Harus memberikan instruksi dalam satuan miligram, tidak boleh


menggunakan satuan milliliter.
Jangan menginstruksikan penggunaan obat-obatan ini sebagai rutinitas / jika perlu. Jika
diperlukan pemberian obat secara pro re nata (jika perlu), tentukan dosis maksimal

4. SITE MAKING

A. Prosedur Penandaan Area Operasi/Site marking

Pasien atau keluarga harus terlibat aktif dalam penandaan area operasi.
Partisipasi pasien dan atau keluarga akan memperkuat proses penandaan. Pasien
juga harus diinformasikan bahwa tanda yang diberikan harus tetap trlihat sampai
tindakan operasi dilakukan.

1. Pasien

Pemberian tanda area operasi harus melibatkan pasien secara aktif dan
pasien harus dalam kondisi terjaga dan sadar..

2. Anak-anak
Pemberian tanda area operasi pada pasien anak-anak harus melibatkan
orang tua dari anak tersebut.

3. Pasien dewasa dengan ketidakmampuan/keterbatasan dalam berkomunikasi

Anggota keluarga pasien harus diberikan kesempatan untuk terlibat dalam


proses penandaan area operasi.

4. Pada kondisi pasien tidak sadar, dalam pengaruh obat atau pasien gangguan
orientasidan tanpa keluarga maka pemberian site marking harus melibatkan
minimal dua orang tenaga medis untuk melakukan doble cek.

B. Proses Penandaan Area Operasi

Proses penandaan area operasi meliputi beberapa hal dibawah ini:

1. Waktu penandaan diberikan

a) Ruang persiapan untuk pasien one day care

b) Ruang rawat inap untuk pasien rawat inap

c) Ruang pemeriksaan gigi dan mulut untuk pasien gigi dan mulut

d) Khusus untuk area kepala penandaan dilakukan di ruang persiapan


operasi oleh dokter operator

2. Cara penandaan area operasi

a) Penandaan dilakukan pada area tubuh yang akan dilakukan operasi


dengan memberikan tanda khusus menggunakan tinta permanen ang
tidak mudah terhapus

b) Penandaan gigi yang akan dilakukan tindakan menggunakan Articulari


Paper sehingga gigi yang akan dilakukan tindakan berwarna merah
c) Sebelum memberikan penandaan harus dipastikan benar pasien, benar
tindakan operasi yang akan dilakukan, memperhatikan pemeriksaan
penunjang seperti hasil radiologi, hasil pemeriksaaan medis

d) Pada saat pemberian tanda, pasien harus dalam keadaan sadar untuk
diberikan edukasi dan bersama-sama petugas mengklarifikasi lokasi
pembedahan

e) Dalam kondisi pasien tidak sadar konfirmasi boleh dilakukan dengan


keluarga atau petugas medis lain (Duble Check).

3. Petugas yang memberikan tanda

a) Dokter operator/dokter yang akan melakukan tindakan

b) Petugas yang memberikan penandaan area operasi dapat diidentifikasi


pada file rekam medik

c) Pendelegasian kepada dokter lain/perawat itu mungkin dengan


persyaratan bahwa orang yang didilegasikan termasuk dalam kegiatan
operasi/tindakan/secara langsung terlibat dalam proses persiapan
pasien

4. Pasien menolak untuk diberikan penandaan area operasi

Pasien yang tetap menolak harus menandatangani form penolakan


tindakan pemberian site marking disertai edukasi risiko penolakaanya dan
rumah sakit tidak bertanggung jawab bila terjadi kesalahan lokasi oprasi.

5. Kebijakan dan tanggungjawab professional kesehatan dalam Pelaksanaan,


Pemeliharaan dan monitoring prosedur penandaan area operasi :
a) Manajemen: manajemen bertangung jawab memastikan bahwa
prosedur penandaan area operasi termasuk dalam proses verifikasi
preoperasi.
b) Kepala SMF: Bertanggung jawab untuk memastikan bahwa dokter
bedah dalam memberikan tindakan telah melakukan penandaan area
operasi sesuai dengan kebijakan yang berlaku di rumah sakit

c) Dokter bedah/dokter operator: bertanggung jawab dalam pemberian


tanda area operasi secara tepat dan sesuai dengan kebijakan rumah
sakit. Atau jika penandaan didelegasikan kepada orang lain maka
tanggung jawabnya sama seperti dokter bedah/dokter operator.

d) Kordinator pelaksana prosedur time out: bertanggung jawab untuk


memastikan bahwa setiap pasien yang ditransfer ke kamar operasi
sudah diberikan penandaan area operasi.

e) Tim Bedah: bertanggung jawab melaksanakan prosedur keselamatan


operasi (time out) sampai akhir dan memastikan bahwa sisi operasi
sudah diberikan tanda dengan tepat dan benar sebelum intervensi
dimulai.

C. Bagian tubuh yang memerlukan penandaan area operasi

1. Penandaan area operasi diberikan pada:

a) Organ yang memiliki 2 sisi kanan dan kiri

b) Area multiple level seperti tulang belakang

c) Berstruktur seperti gigi

d) Area operasi nodul yang pengerjaannya secara bertahap

2. Pengecualian pemberian tanda site marking:

a) Kegawatdaruratan mengancam jiwa

Kegawatdaruratan mengancam jiwa dimana waktu waktu yang


diperlukan untuk melakukan penandaan meningkatkan resiko
pada pasien; pasien ini dikecualikan untuk ditandai. Untung-rugi
melakukan penandaan harus dinilai oleh dokter bedah untuk
memutuskan apakah harus atau tidak untuk melakukan
penandaan.
b) Bayi premature

Penandaan mungkin dapat menjadi tato permanen. Metode


alternative dapat digunakan dengan memberikan gelang putih
berisi nama lokasi pembedahan

c) Operasi gigi

Site marking di gigi dilakukan langsung pada gigi pasien atau pada
hasil foto rontgen gigi. Penandaan gigi yang akan dilakukan
operasi secara langsung menggunakan articulasi paper sehingga
gigi yang akan dilakukan operasi berwarna merah sebagai penanda.
Site marking di gigi dapat dilakukan pada foto rontgen dengan
membri tanda silang pada gigi yang akan dilakukan tindakan.
Verifikasi kembali bahwa rontgen telah diletakkan dengan arah
yang benar dan identifikasi visual darigigi dan jaringan yang benar.

d) Luka atau Lesi

Penandaan area tidak diperlukan pada luka atau lesi yang tampak
jelas apabila luka ini merupakan area operasi yang diinginkan.
Namun, jika terdapat banyak luka dan hanya beberapa yang akan
ditangani, area operasi harus ditandai.

Pemberian Site Marking

Prosedur yang harus dilakukan oleh dokter bedah/dokter operator termasuk


dokter lain/perawat yang didelegasikan dalam penandaan area operasi/site
marking:

1. Ucapkan salam dan perkenalkan diri kepada pasien


2. Lakukan identifikasi pasien dengan tepat menanyakan nama dan tanggal
lahir pasien

3. Berikan KIE kepada pasien atau keluarga tentang maksud dan tujuan
pemberian tanda area operasi beserta risiko jika tidak dilakukan penandaan
serta agar pasien mempertaankan penandaan sampai oeperasi dilaksanakan

4. Dokumentasikan KIE pada form site marking yang melibatkan pasien dan
keluarga yang dibuktikan dngan penandatangan form edukasi site marking.

B. Penandaan Area Operasi

Area yang akan dilakukan tindakan atau dilakukan insisi diberikan tanda dengan
menggunakan spidol anti air yang tidak mudah terhapus. Bayi neonates
dipasangkan gelang putih berisi tulisan area yang akan dilakukan tindakan

Tanda X tidak dapat digunakan sebagai tanda site marking karena


membingungkan apakah area yang dim by aksud merupakan area operasi atau
larangan kecuali pada prosedur gigi yang menggambarkan gigi hilang.

1. Organ yang memiliki 2 sisi kanan dan kiri

S: Sinistra/Kiri

Dekstra/
: Kanan
D

2. Penandaan area multiple level yaitu tulang belakang

C1, C2, C3,C4,C5,C6 : Penandaan area pembedahan multiple


level

di tulang cervical
T1, T2, T3, dst : Penandaan area pembedahan multiple
level

di tulang thoracal

L1, L2, L3, dst : Penandaan area pembedahan multiple


level

di tulang lumbal

3. Penandaan pada gigi

a) Penadaan gigi menggunakan articulating paper. Articulating paper


memilki dua warna merah dan biru. Tempatkan kertas articulating
dengan warna merah menghadap ke gigi yang akan dilakukan penadaan
dan warna biru menghadap ke gigi yang berlawanan. Gigi yang
berwarna merah adalah gigi yang akan dilakukan tindakan.

b) Penandaan pada gigi dilakukan pada foto rontgen dan atau gambar

gigi dengan tanda:

O : Tanda pada gigi yang menggambarkan cavity

X : Tanda pada gigi yang menggambarkan Missing

I : Tanda pada gigi yang menggambarkan Impaksi

∑ : Tanda pada gigi yang menggambarkan gigi goyang

BR : Tanda pada gigi yang menggambarkan Bridge

 : Tanda pada gigi yang menggambarkan tumpatan


B : Tanda pada gigi yang menggambarkan belum
tumbuh

√ : Tanda pada gigi yang menggambarkan sisa akar

CR : Tanda pada gigi yang menggambarkan crown

^^^ : Tanda pada gigi yang menggambarkan karang gigi

4. Area operasi nodul yang pengerjaannya secara bertahap

N1, N2, N3, dstnya : Penandaan area operasi nodul yang


pengerjaannya secara bertahap

5. Penandaan akses tindakan Invasif

: Penandaan area akses tindakan invasif


dipasang NGT, DC, infuse, trakeostomi, CVP, WSD,
C. Setelah Pemberian ETT dan tindakan invasive lainnya.
site marking
2. Pelabelan tanggal dituliskan pada fiksasi alat invasive.
Setelah pemberian
tanda dokter 3. Pelabelan tanggal diulang lagi bila alat invasive yang
bedah/dokter digunakan diganti dengan yang baru.
operator termasuk
memberikan KIE 4. Batas waktu penggantian alat sesuai dengan SPO dari
kembali bahwa pemasangan alat.
tanda tidak boleh
dihilangkan sampai 5. Pergantian alat invasive berdasarkan jenis alat dan
prosedur/tindakan pergantian segera dilakukan apabila ada tanda-tanda
operasi dilakukan, infeksi.
jika tanda hilang
maka harus lapor 6. Prinsip-prinsip tindakan:
kepada  Tuliskan tanggal pada fiksasi alat invasive tersebut.
perawat/petugas dan
 Informasikan pada pasien dan keluarga tujuan penulisan
perawat atau petugas
label tanggal setelah pemasangan alat invasive.
melaporkan kepada
 Pastikan kesterilan alat yang digunakan untuk tindakan
dokter operator jaga
aseptic dengan melihat tanggal kadaluarsa kesterilan
agar pasien
alat.
diberikan site
marking kembali.  Pastikan alat invasive diganti sesuai batas tanggal
pemasangan sesuai dengan SPO masing-masing alat.

A. Tata Laksanan
D. Pelabelan Tanggal
Pada Tindakan
Invasive

1. Pelabelandengan
mengisi tanggal
setelah
pemasangan alat
invansive pada
pasien yang
BAB IV TATA LAKSANA

Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah. Salah satu


pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety checklist. Surgical Safety
Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan pembedahan yang aman
dan berkualitas pada pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi
untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang operasi. Tim
profesional terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi dan lainnya. Tim bedah harus
konsisten melakukan setiap item yang dilakukan dalam pembedahan mulai dari the
briefing phase, the time out phase, the debriefing phase sehingga dapat
meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan (Safety & Compliance,2012).
Manual ini menyediakan petunjuk penggunaan checklist, saran untuk
implementasi, dan rekomendasi untuk mengukur pelayanan pembedahan dan
hasilnya. Setting praktek yang berbeda harus mengadapatasi sesuai dengan
kemampuan mereka. Tiap poin checklist sudah berdasarkan bukti kliinis atau
pendapat ahli dimana yang akan mengurangi kejadian yang serius, mencegah
kesalahan pembedahan, dan hal ini juga mempengaruhi kejadian yang tidak
diharapkan atau biaya tidak terduga. Checklist ini juga dirancang untuk kemudahan
dan keringkasan. Banyak langkah yang sudah diterima sebagai praktek yang rutin di
berbagai fasilitas di seluruh dunia walaupun jarang diikuti oleh keseluruhan. Tiap
bagian bedah harus praktek dengan checklist dan mengevaluasi bagaimana
kesensitivan integrasi checklist ini dengan alur operasi biasanya.
Tujuan utama dari WHO surgical safety checklist-dan manualnya- untuk
membantu mendukung bahwa tim secara konsisten mengikuti beberapa langkah
keselamatan yang kritis dan meminimalkan hal yang umum dan risiko yang
membahayakan dan dapat dihindari dari pasien
bedah. Checklist ini juga memandu interaksi verbal antar tim sebagai arti konfirmasi
bahwa standar perawatan yang tepat dipastikan untuk setiap pasien. Untuk
mengimplementasikan checklist selama pembedahan, seorang harus
bertanggungjawab untuk melakukan pengecekan checklist. Hal ini diperlukan seorang
checklist koordinator biasanya perawat sirkuler tapi dapat berarti setiap klinisi yang
berpartisipasi dalam operasi.
Checklist membedakan operasi menjadi 3 fase dimana berhubungan dengan
waktu tertentu seperti pada prosedur normal-periode sebelum induksi anestesi, setelah
induksi dan sebelum insisi pembedahan dan periode selama atau setelah penutupan
luka tapi sebelum pasien masuk RR. Dalam setiap fase, ceklist koordinator harus
diijinkan mengkonfirmasi bahwa tim sudah melengkapi tugasnya sebelum proses
operasi dilakukan. Tim operasi harus familiar dengan langkah dalam ceklist, sehingga
mereka dapat mengintegrasikan ceklist tersebut dalam pola normal sehari-hari dan
dapat melengkapi secara verbal tanpa intervensi dari koordinator ceklist. Setiap tim
harus menggabungkan penggunaan ceklist ke dalaam pekerjaan dengan efisiensi yang
maksimum dan gangguan yang bertujuan untuk melengkapi langkah secara efektif.
1. Tiga fase operasi

a. Fase Sign In adalah fase sebelum induksi anestesi, koordinator secara verbal
memeriksa apakah identitas pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi
operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai, persetujuan
untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi.
Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien
apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi
alergi.Cek keselamatan ini penting untuk dilengkapi sebelum induksi anestesi
dalam rangka untuk keselamatan. Dalam hal ini membutuhkan kehadiran dari
setidaknya anestesist dan perawat. Tahapannya adalah :
1) Siapkan rekam medik pasien dan hasil pemeriksaan penunjang.
2) Siapkan check list evaluasi prabedah dan dilengkapi sebelum induksi
dimulai.
3) Pastikan pasien sudah dikonfirmasikan identitas dengan mencocokkannya
pada gelang : menanyakan nama pasien, tanggal lahir (umur) dan
mencocokkan nomor rekam medis pada nomor rekam medis pasien.
4) Pastikan pasien sudah dikonfirmasi area operasi, prosedur yang akan
dilakukan dan adanya persetujuan operasi.
5) Pastikan apakah side marking/penandaan tempat operasi sudah ditandai
kecuali pada kebijakan pengecualian.
6) Tanyakan kesiapan mesin dan obat anestesi.

7) Tanyakan apakah pulse oxymeter berfungsi dan pasien dengan nilai


normal.
8) Tanyakan pada pasien apakah memiliki alergi.

9) Pastikan adakah kemungkinan resiko kesulitan jalan nafas atau aspirasi,


bila ya pastikan alat-alat bantu tersedia (glade scope, bronchoscopy fiber
optic).
10) Pastikan adakah kemungkinan kehilangan darah ˃ 500 cc (pada anak 7 cc
/KgBB) bila ya, pastikan kesiapan akses IV/sentral line dan kesiapan
darah atau komponen cairan yang dibutuhkan.
11) Dokter anestesi dan perawat Menulis tanggal, jam, dan tanda tangan
verifikasi pada daftar tilik Surgical Safety Checklist.
12) Pasien dikirim ke ruang tindakan.

13) Tindakan induksi di mulai.

b. Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran
masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling
kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan
suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang benar.
Mereka juga
mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan dalam 60 menit
sebelumnya.
Sebelum membuat insisi bedah yang pertama, perlu dilakukan pengecekan
bahwa cek keselamataan yang penting sudah dilakukan. Cek ini akan dilakukan oleh
semua anggota tim.Pastikan semua anggota tim memperkenalkan diri dengan nama
dan perannya Tim operasi mungkin sering berubah, Efektif manajemen dari situasi
yang berisiko tinggi membutuhkan pengertian siapa anggota tim operasi dan peran
serta kemampuan mereka. Sebuah perkenalan yang simpel seperti menyuruh semua
orang di ruang untuk memperkenalkan diri dengan nama dan perannya. Tim yang
sudah familiar dengan satu sama lain dapat mengkonfirmasi bahwa sudah
diperkenalkan semua namun anggota baru atau staff baru harus memperkenalkan diri
termasuk siswa atau personel lain. Konfirmasi nama pasien, prosedur dan dimana
insisi akan dilakukan Koordinator ceklist atau anggota tim yang lain akan menyuruh
setiap orang di kamar operasi untuk berhenti dan secara verbal mengkonfirmasi nama
pasien, operasi yang akan dilakukan, tempat pembedahan dan posisi dari pasien untuk
menghindari salah pasien atau salah tempat operasi. Untuk contoh, perawatsirkuler
mengumumkan,”sebelum kita memulai insisi” dan lalu dilanjutkan “apakah semua
sepakat bahwa ini adalah pasien X dengan tindakan repair inguinal hernia kanan?”.
Anestesis, ahli bedah dan perawat sirkuler harus secara eksplistdan individual
menyepakati. Jika pasien tidak disedasi, dia dapat menolong untuk dikonfirmasi
dengan hal yang sama. Secara ringkas tahapannya meliputi :
a. Lanjutkan melengkapi check list time out sebelum dilakukan insisi pada pasien
yang dilakukan oleh :
1) Perawat circulating dengan membacakan secara verbal pada semua tim untuk
memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama dan perannya.
2) Konfirmasi pada semua tim nama pasien, prosedur dan area dimana insisi
akan dilakukan.
3) Pastikan apakah antibiotik profilaksis sudah diberikan dalam 60 menit
terakhir.
4) Antisipasi adanya kejadian kritis :

1. Dokter bedah menyampaikan

a) Step tindakan kritis atau tahapan tindakan tidak biasa yang


mungkin dilakukan.
b) Waktu penyelesaian tindakan.

c) Kemungkinan kekurangan darah pada pasien.

2. Dokter anestesi menyampaikan

a) Kemungkinan ada perhatian khusus pada saat operasi.

3. Tim perawat menyampaikan

a) Kesterilan alat dan bahan yang dipakai.

b) Adakah masalah alat yang akan dipakai atau hal yang perlu
diperhatikan.
5) Pastikan apakah dibutuhkan ”display imaging” (hasil adiologi yang
perlu di pajang.
6) Dokter Bedah, Dokter anestesi dan perawat Menulis tanggal, jam, dan
tanda tangan verifikasi pada daftar tilik Surgical safety Checklist.
7) Insisi dimulai

c. Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi yang telah
dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan
instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain
yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana
kunci dan memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta
pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi (Surgery &
Lives, 2008).
Setiap langkah harus dicek secara verbal dengan anggota tim yang
sesuai untuk memastikan bahwa tindakan utama telah dilakukan. Oleh karena
itu, sebelum induksi anstesi, koordinator ceklist secara verbal akan mereview
dengan anastesi dan pasien (jika mungkin) bahwa identitas pasien sudah
dikonfirmasi, bahwa prosedur dan tempat yang dioperasi sudah benar dan
persetujuan untuk pembedahan sudah dilakukan. Koordinator akan melihat
dan mengkonfirmasi secara verbal bahwa tempat operasi sudah ditandai (jika
mungkin) dan mereview dengan anestesi risiko kehilangan darah pada pasien,
kesulitan jalan napas dan reaksi alergi dan mesinanstesi serta pemeriksaan
medis sudah lengkap. Idealnya ahli bedah akan hadir pada fase sebelum
anestesi ini sehingga mempunyai ide yang jelas untuk mengantisipasi
kehilangan darah, alergi, atau komplikasi pasien yang lain. Tahapan sign out :
a. Lanjutkan mengisi check list sign out sesaat sebelum penutupan luka
operasi dengan :
1) Perawat circulating menyampaikan

a) Nama prosedur yang sudah dilakukan.

b) Jumlah instrumen, gass, jarum dan alat lain sama (sebutkan jumlah
angka untuk tiap alat/bahan) sebelum dan sesudah pembedahan.
c) Pelabelan specimen bahan PA (baca label specimen dan nama
pasien).
d) Bila ada masalah pada alat yang harus ditekankan selama periode
operasi.
2) Dokter bedah, dokter anesthesia dan perawat menyampaikan

a) Bila ada perhatian khusus yang harus dilakukan untuk recovery


maupun perawatan pada pasien ini.
b) Dokter bedah, dokter anestesi dan perawat menandatangani

check list signout untuk pasien ini.

c) Pasien dikirim keruang pemulihan.

d) Hal-hal yang disampaikan dan diserah terimakan di ruang


pemulihan diantaranya:
(1) Laporan operasi.
(2) Catatan anestesi.

(3) Kitir tindakan.

(4) Bahan pemeriksaan (PA, kultur).

(5) Data penunjang (rontgen, laboratorium).

(6) Barang-barang milik pasien.

(7) Vital sign.

(8) Program therapy post operasi.

d. Dokter Bedah, Dokter anestesi dan perawat Menulis tanggal, jam,


dan tanda tangan verifikasi pada daftar tilik Surgical Safety
Checklist.

5.HAND HIGEN
A. Tatalaksana DokumenHand Hygiene

WHO(World Health Organization)mensyaratkanfive moment of hand hygiene


yang merupakan petunjuk waktu kapan petugas harus melakukan hand hygiene, yaitu:
Five Moment of Hand Hygiene

Sebelum Kapan ? Bersihkan tangan sebelum menyentuh pasien.


1 kontakdengan Kenapa ? Untuk melindungi pasien dari bakteri patogen
pasien
yang ada pada tangan petugas.
Kapan ? Bersihkan tangan segera sebelum melakukan
Sebelum
melakukan tindakan aseptik.

2 tindakan aseptic Kenapa ? Untuk melindungi pasien dari bakteri patogen,


termasuk yang berasal daripermukaan tubuh pasien
sendiri dan memasuki bagian dalam tubuh.
Kapan ? Bersihkan tangan setelah kontak atau resiko
kontak dengan cairan tubuh pasien (dan setelah melepas
Setelah kontak sarung tangan).
3 dengan cairan Kenapa ? Untuk melindungi petugas kesehatan dan area
tubuh pasien sekelilingnya bebas dari bakteri patogen yang berasal dari
pasien.
Kapan ? Bersihkan tangan setelah menyentuh pasien,

dan sesaat setelah meninggalkan pasien.


Setelah kontak
4 Kenapa ? Untuk melindungi petugas kesehatan dan area
dengan pasien
sekelilingnya bebas dari bakteri patogen yang berasal dari
pasien.
Kapan ? Bersihkan tangan setelah menyentuh objek atau
Setelah furniture yang ada di sekitar pasien saat meninggalkan
kontakdengan pasien, walaupun tidak menyentuh pasien.
5 area sekitar Kenapa ? Untuk melindungi petugas kesehatan dan area
pasien sekelilingnya bebas dari bakteri patogen yang berasal dari
pasien.

Membersihkan tangan merupakan pilar dan indikator mutu dalam mencegah dan
mengendalikan infeksi, sehingga wajib dilakukan oleh setiap petugas rumah
sakit.Membersihkan tangan dapat dilakukan dengan mencuci tangan dengan air mengalir
atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol (Handrub).

1. Hand Hygiene dengan air mengalir

Mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun merupakan teknik hand hygiene
yang paling ideal. Dengan mencuci tangan, kotoran tidakterlihat dan bakteri patogen
yang terdapat pada area tangan dapat dikurangi secara maksimal.Hand hygiene
dengan mencuci tangan disarankan untuk dilakukan sesering mungkin, bila kondisi
dan sumber daya memungkinkan. Pelaksanaan hand hygienedengan mencuci tangan
efektif membutuhkan waktu sekitar 40- 60 detik, dengan langkah sebagai berikut:
a. tangan dengan air mengalir.

b. Tuangkan sabun kurang lebih 5cc untuk menyabuni seluruh permukaan tangan.
c. Mulai teknik 6 langkah:
1) Gosok tangan dengan posisi telapak pada telapak.

2) Gosok telapak tangan kanan diatas punggung tangan kiri dengan jari- jari
saling menjalin dan sebaliknya.
3) Gosok kedua telapak tangan dan jari – jari saling menjalin.

4) Gosok punggung jari – jari pada telapak yang berlawanan dengan jari

– jari saling mengunci.

5) Gosok memutar ibu jari kiri dengan tangan kanan mengunci pada ibu jari
tangan kiri dan sebaliknya.
6) Gosok kuku jari-jari kiri memutar pada telapak tangan kanan dan
sebaliknya
d. Bilas tangan dengan air mengalir.

e. Keringkan tangan sekering mungkin dengan tissue.

f. Gunakan tissue untuk mematikan kran.


2. Hand Hygiene Menggunakan Antiseptik berbasis Akohol (Handrub)

Pada pelaksanaan hand hygiene, mencuci tangan terkadang tidak dapat


dilakukan karena kondisi atau karena keterbatasan sumber daya. Banyaknya pasien
yang kontak dengan petugas dalam satu waktu, atau sulitnya mendapatkan sumber
air bersih yang memadai, menjadi kendala dalam melaksanakan hand hygiene
dengan mencuci tangan. Dengan alasan ini, WHO menyarankan alternatif lain
dalam melakukan hand hygiene, yaitu dengan handrub berbasis alkohol.
1) Keuntungan handrub
WHO merekomendasikan handrub berbasis alkohol karena beberapa hal
sebagai berikut:
1) Berdasarkan bukti, keuntungan intrinsik dari reaksinya yang cepat, efektif
terhadap aktivitas mikroba spektrum luas dengan resiko minimal terhadap
resistensi mikrobakterial.
2) Cocok untuk digunakan pada area atau fasilitas kesehatan dengan akses dan
dukungan sumberdaya yang terbatas dalam hal fasilitas hand hygiene
(termasuk air bersih, tissue, handuk, dan sebagainya).
3) Kemampuan promotif yang lebih besar dalam mendukung upaya hand
hygiene karena prosesnya yang cepat dan lebih nyaman untuk dilakukan.
4) Keuntungan finansial, mengurangi biaya yang perlu dikeluarkan rumah
sakit.
5) Resiko minimal terhadap adverse event karena meningkatnya keamanan,
berkaitan dengan akseptabilitas dan toleransinya dibandingkan dengan
produk lain.
2) Teknik mencuci tangan menggunakan hand rub

Pelaksanaan membersihkan tangan dengan menggunakan alcohol based


handrubefektif membutuhkan waktu sekitar 20-30 detik melalui 6 (enam) langkah
kebersihan tangan. Prosedur ini dimulai dengan menuangkan 3-5 ml handrub ke
dalam telapak tangan, dan kemudian memulai teknik 6 langkah:
1) Menggosok bagian dalam telapak tangan.

2) Menggosok punggung tangan bergantian.

3) Menggosok sela-sela jari tangan.

4) Menggosok ruas jari tangan dengan mengkaitkan kedua tangan.

5) Menggosok ibu jari tangan, bergantian.

6) Menggosok ujung jari tangan.


3. Hand Hygiene Metode bedah

Hand hygiene metode bedah adalah suatu upaya membersihkan tangan


dari benda asing dan mikroorganisme dengan menggunakan metode yang paling
maksimal sebelum melakukan prosedur bedah. Dengan tujuan tertinggi dalam upaya
mengurangi mikroorganisme patogen pada area tangan, mencuci tangan metode
bedah dilakukan dengan sangat hati-hati dan dalam waktu yang relatif lebih lama.
Pelaksanaan membersihkan tangan dengan mencuci tangan efektif membutuhkan
waktu sekitar 2-6 menit melalui 3 tahapan dengan langkah-langkah:
a. Membasahi tangan dengan air mengalir, dimulai dari ujung jari sampai 2 cm
diatas siku.

b. Menempatkan sekitar 15 ml cairan handrub antiseptik di telapak tangan kiri,


dengan menggunakan siku lengan yang lain atau dengan dorongan lutut untuk
mengoperasikan dispenser.
c. Meratakan dan menggosok cairan handrub.

d. Ratakan dengan kedua telapak tangan, dilanjutkan dengan menggosok


punggung, sela-sela jari tangan kiri dan kanan dan sebaliknya.
e. Kedua telapak tangan, jari -jari sisi dalam dari kedua tangan saling menggosok
dan mengait dilanjutkan dengan membersihkan kedua ibu jari dan ujung kuku
jari bergantian.
f. Mengambil sikat yang sudah berisi cairan handrub.

g. Menyikat tangan kanan dan tangan kiri bergantian.

h. Kuku dengan gerakan tegak searah dari atas ke bawah pada kedua tangan.

i. Jari-jari seakan mempunyai empat sisi, sela jari, secara urut mulai dari ibu jari
sampai dengan kelingking.
j. Telapak tangan, punggung melalui gerakan melingkar.

k. Daerah pergelangan tangan atas sampai dengan siku dengan gerakan melingkar.
l. Ulangi cara ini pada tangan kanan selama 2 menit.

m. Membilas tangan dengan air mengalir dari arah ujung jari ke siku dengan
memposisikan tangan tegak.
n. Lakukan sekali lagi menyikat tangan kanan dan tangan kiri secara bergantian.
o. Kuku dengan gerakan tegak searah dari atas ke bawah pada kedua tangan.

p. Jari-jari seakan mempunyai empat sisi, sela-sela jari, secara urut mulai dari ibu
jari sampai dengan kelingking.
q. Telapak tangan dan punggung dengan gerakan melingkar.

r. Daerah pergelangan tangan atas sampai dengan siku dengan gerakan melingkar
dilakukan selama 2 menit.
s. Membiarkan air menetes dari tangan sampai dengan siku.

t. Mengeringkan menggunakan handuk steril yang dibagi 2 bagian, satu bagian


untuk tangan kiri dan bagian yang lain untuk tangan kanan, memutar dari jari-
jari tangan ke arah siku.

u. Meletakkan handuk pada tempat yang disediakan.

4. Hal yang perlu diperhatikan dalam membersihkan tangan antara lain:

Sebelum dan sesudah melakukan hand hygiene, ada hal hal yang harus diperhatikan
agar tujuan hand hygiene dapat tercapai, diantaranya adalah:
a. Perawatan kuku tangan

Kuku tangan harus dalam keadaan bersih dan pendek.Kuku yang panjang dapat
menimbulkan potensi akumulasi bakteri patogen yang terdapat di bawah kuku.
b. Perhiasan dan aksesoris

Tidak diperkenankan menggunakan perhiasan pada pada area tangan seperti cincin,
karena adanya resiko akumulasi bakteri patogen pada perhiasan yang dipakai.
c. Kosmetik

Kosmetik yang dipakai petugas kesehatan, seperti cat kuku, dapat menyimpan
bakteri patogen, juga dapat terlepas dari tangan dan berpindah saat melakukan
kontak dengan pasien.Hal ini sangat berbahaya dan disarankan untuk tidak
dilakukan.
d. Penggunaan handuk atau tissue

Pengeringan tangan sebaiknya menggunakan tissuedisposible.Namun bila terdapat


keterbatasan dalam sumber daya, handuk yang bersih juga dapat digunakan, dengan
catatan hanya digunakan sekali, dan kemudian harus melalui proses pembersihan
agar dapat dipakai kembali di kemudian hari.

B. Penutup

Hand hygiene merupakan kegiatan yang paling efisien, paling murah dan paling
mudah dilakukan namun mempunyai dampak yang besar. Hal ini menjadikan setiap
institusi kesehatan wajib untuk berkomitmen dalam upaya peningkatan budaya
handhygiene di insitusinya. Dengan dibudayakannya hand hygiene, insitusi
kesehatan akan mampu meningkatkan kualitas perawatan, meningkatkan mutu
pelayanannya, dan yang terpenting institusi kesehatan akan mampu meningkatkan
keselamatan pasien.

7. RESIKO JATUH
A. Tata laksana
1. Assessment awal / skrining
a. Perawat akan melakukan penilaian dengan Assessment Resiko Jatuh dalam waktu 4
jam dari pasien masuk RS dan mencatat hasil assessment ke dalam status pasien.
b. Rencana intervensi akan segera disusun, diimplementasikan, dan dicatat dalam
Rencana Keperawatan Interdisiplin dalam waktu 2 jam setelah skrining.
c. Skrining dilakukan jika terdapat adanya resiko jatuh pada pasien.
d. Jika pada saat assessment ditemukan ada resiko jatuh pada pasien rawat inap berisiko
tinggi sampai berisiko sangat tinggi (menggunakan skala morse/ skala humpty
dumpty) maka wajib dipasangkan gelang berwarna kuning.
e. Pada pasien rawat jalan yang berisiko jatuh melalui skrining visual pada pasien rawat
jalan (menggunakan pengkajian dan intervensi risiko jatuh pasien rawat jalan Get Up
and Go Test) maka akan dikenakan kalung resiko jatuh yang dapat dilakukan oleh
petugas satpam, perawat/bidan, dan dokter. Kriteria pasien yang dikenakan kalung
resiko jatuh, yaitu:
1) Cara berjalan pasien (salah satu atau lebih)
1. Tidak seimbang/ sempoyongan/limbung.
2. Jalan dengan menggunakan alat bantu (kruk, tripot, kursi roda, orang lain).
2) Menopang saat akan duduk: tampak memegang pinggiran kursi atau meja / benda
lain sebagai penopang saat akan duduk.

2. Assessment ulang
a. Setiap pasien rawat inap akan dilakukan assessment ulang resiko jatuh setiap hari,
saat transfer ke unit lain, adanya perubahan kondisi pasien, adanya kejadian jatuh
pada pasien.
b. Penilaian menggunakan Assessment Resiko Jatuh dan Rencana Keperawatan
Interdisiplin akan diperbaharui/dimodifikasi sesuai dengan hasil assessment.
c. Untuk mengubah kategori dari resiko tinggi keresiko rendah, diperlukan skor < 25
dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut.
B. Faktor Resiko Jatuh
1. Intrinsik, yaitu berhubungan dengan kondisi pasien, termasuk kondisi psikologis.
2. Ekstrinsik, yaitu berhubungan dengan lingkunganfaktor resiko juga dapat dikelompokkan
menjadi kategori dapat diperkirakan (anticipated) dan tidak dapat diperkirakan
(unanticipated). Faktor resiko yang dapat diperkirakan merupakan hal-hal yang
diperkirakan dapat terjadi sebelum pasien jatuh.
Intrinsik (berhubungan Ekstrinsik (berhubungan
dengan kondisi pasien) dengan lingkungan)
Dapat 1. Riwayat jatuh sebelumnya. 1. Lantai basah/silau, ruang
diperkirakan 2. Inkontinensia. berantakan, pencahayaan
3. Gangguan kurang, kabel
kognitif/psikologis. longgar/lepas.
4. Gangguan 2. Alas kaki tidak pas.
keseimbangan/mobilitas. 3. Dudukan toilet yang
5. Usia> 65 tahun. rendah.
6. Osteoporosis. 4. Kursi atau tempat tidur
7. Status kesehatan yang beroda.
buruk. 5. Rawat inap
8. Status nutrisi. berkepanjangan.
6. Peralatan yang tidak
aman.
7. Peralatan rusak.
8. Tempat tidur ditinggalkan
dalam posisi tinggi.
Tidak dapat 1. Kejang. 1. Reaksi individu terhadap
diperkirakan 2. Aritmia jantung. obat-obatan.
3. Stroke atau Serangan
Iskemik Sementara
(Transient Ischaemic
Attack-TIA).
4. Pingsan.
5. ‘Serangan jatuh’ (Drop
Attack).

C. Hubungan Riwayat Penyakit dengan Terjadinya Jatuh


1. Penderita pernah mengalami stroke, apabila bagian otak yang terkena adalah lobus
kanan, maka kaki kiri pasien bisa mengalami lumpuh, sehingga kaki kanan pasien lebih
sering dipakai atau untuk bertumpu.
2. Pasien mungkin menderita Osteoartritis, oleh karena itu memerlukan anamnesis dan
pemeriksaan tambahan.
3. Pasien menderita Diabetes Milletus (DM), penderita DM terkadang memiliki masalah
berupa retinopati diabetik yang dapat menyebabkan visus menurun, sementara
penglihatan memegang peranan penting dalam menerima rangsangan propioseptif yang
berfungsi untuk menjaga keseimbangan.
4. Pasien menderita penyakit jantung. Penyakit jantung yang biasa terjadi pada lanjut usia,
yaitu penyakit jantung koroner, payah jantung, penyakit jantung hipertensi, aritmia, dan
stenosis aorta. Penyakit jantung tersebut dapat menyebabkan penurunan curah jantung
sehingga terjadi penurunan distribusi oksigen pada seluruh jaringan termasuk otak
sehigga bisa menimbulkan sinkop. Hal tersebut dapat menjadi faktor resiko terjadinya
jatuh.
5. Kemungkinan adanya pengaruh menopause, dimana jumlah estrogen menurun,
sehingga aktifitas osteoklas meningkat dan menyebabkan peningkatan degradasi
matriks tulang (osteoporosis), sehingga jika pasien jatuh gampang terjadi fraktur dan
nyeri.
6. Pengaruh obat-obat terhadap kondisi pasien
a. Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik (tiba-tiba jatuh dari posisi jongkok/duduk mau
berdiri).
b. Obat hipoglikemi oral dapat menyebabkan hipoglikemi akut.
c. Penggunaan obat anti hipertensi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik (pasien tiba-tiba jatuh dari posisi jongkok/duduk
mau berdiri), contoh: diuretik menyebabkan orang berulang kali harus ke kamar
kecil untuk BAK, selain itu dapat pula menyebabkan syok hipovolemik.
d. Penggunaan obat NSAID untuk mengobati rematik meningkatkan faktor resiko
osteoporosis sehingga apabila pasien jatuh, besar kemungkinan terjadi fraktur dan
nyeri.

7. Anamnesis tambahan
a. Aktivitas pada saat terjatuh.
b. Gejala sebelumnya, misalnya rasa pusing, palpitasi, sesak napas, nyeri dada,
lemah, konfusi, inkontinensia, hilangnya kesadaran, dan menggigit lidah.
c. Lokasi terjatuh.
d. Saksi saat terjatuh.
e. Riwayat medis yang lalu.
f. Penggunaan obat.
8. Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah dan denyut jantung, saat berbaring dan berdiri.
b. Ketajaman visual, lapangan pandang, dan pemeriksaan low-vision.
c. Kardiovaskuler.
d. Aritmia, murmur, dan bruit.
e. Anggota gerak.
f. Penyakit sendi degeneratif, vena varikosa, edema, gangguan kaki (pediatrik),
sepatu yang tidak sesuai ukuran.
g. Neurologis.
h. Termasuk pemeriksaan cara berjalan dan keseimbangan, misalnya duduk atau
bangkit dari tempat duduk, berjalan, membungkuk, berputar, meraih, menaiki dan
menuruni tangga, berdiri dengan mata tertutup (tes Romberg), dan tekanan sterna.
9. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
1) Foto rontgen.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah tepi.
2) Elektrolit.
3) Gula darah.
4) Kadar Kalsium.
c. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
10. Penatalaksanaan dan Pencegahan
a. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari kasus diatas yaitu dengan menghindari semua yang
menjadi faktor resiko jatuh, seperti faktor lingkungan. Lingkungan yang tidak
kondusif harus dihindari agar pasien aman. Segala aktivitas yang dilakukan pasien
harus diawasi. Hal ini dilakukan agar mencegah terjadinya kemungkinan terburuk
seperti kasus di atas.
Penggunaan obat sehubungan dengan riwayat penyakit pasien harus kita
kontrol dengan memperhatikan waktu pemberian dan besar dosisnya. Apabila pada
pemeriksaan didapatkan fraktur, maka dilakukan terapi operatif.Setelah tindakan
bedah dilakukan, apabila diperlukan rehabilitasi medis maka hal tersebut dapat
dilakukan. Dapat pula diberikan kalsium dan vitamin D secara oral apabila terdapat
tanda-tanda osteoporosis.
1) Operasi
Jika pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya fraktur yang
disebabkan karena pasien terjatuh (terpeleset) khususnya fraktur tulang
belakang yang mengakibatkan kompresi pada saraf sehingga kedua tungkai
tidak dapat digerakkan merupakan indikasi untuk dilakukan operasi, misalnya:
fiksasi internal nerve root, dan spinal cord.
2) Hospitalisasi (perawatan di rumah sakit)
Hal ini bertujuan untuk memudahkan penanganan pasien khususnya
dengan fraktur akut (immobilisasi) yang beresiko tinggi yang juga disertai
dengan penyakit kronik, yang membutuhkan perawatan intensif.
3) Operasi mata (operasi katarak)
Gangguan penglihatan pada pasien ini kemungkinan besar berupa
katarak senilis. Operasi dapat dilakukan jika pasien & keluarganya menyetujui
dan kondisi kesehatan pasien memungkinkan. Tindakan ini bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien yang selama ini terganggu akibat
gangguan penglihatan (kemungkinan salah satu penyebab pasien terjatuh).
Indikasi operasi katarak, yaitu:
a) Gangguan penglihatan.
b) Ketidakmampuan salah satu mata untuk melihat.
Kontraindikasi operasi katarak, yaitu:
a) Jika penglihatan pasien dapat dikoreksi dengan penggunaan kaca mata
atau alat bantu lainnya.
b) Kondisi kesehatan pasien tidak memungkinkan.
4) Fisioterapi
Setelah dilakukan tindakan operasi untuk mengatasi fraktur
dibutuhkan fisioterapi (rehabilitasi) yang penting untuk mengembalikan
fungsi alat gerak dan mengurangi disabilitas selama masa penyembuhan.
Penggunaan alat bantu berjalan misalnya tongkat biasanya dibutuhkan untuk
membantu permulaan berjalan kembali dan untuk mendukung aktifitas sehari-
hari lainnya.
5) Perbaikan status gizi
Penyusunan menu disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien setiap
harinya dan kemampuan untuk mencerna makanan. Pemberianmakanan
diberikan secara bertahap dimulai dengan porsi kecil tetapi sesering mungkin
diberikan.
6) Kontrol penyakit dan penggunaan obat-obatan
Hindari polifarmasi yang justru lebih banyak menimbulkan efek
samping, khususnya pada pasien beresiko tinggi.
7) Pendidikan keluarga
Jika fraktur yang diderita oleh pasien mengharuskan immobilisasi
untuk beberapa lama, keluarga harus senantiasa mengawasi, merawat pasien
dengan mencegah pasien terlalu banyak berbaring (posisi diubah-ubah) untuk
mencegah dekubitus dan penyakit iatrogenik. Berikan perhatian dan kasih
sayang agar pasien tidak merasa terisolasi dan depresi.
Penilaian dan Faktor Resiko Tatalaksana
Lingkungan saat jatuh sebelumnya. Perubahan lingkungan dan aktivitas
untuk mengurangi kemungkinan jatuh
berulang.
Konsumsi obat-obatan: Review dan kurangi konsumsi obat-
1. Obat-obat beresiko tinggi obatan.
(benzodiazepin, obat tidur lain,
neuroleptik, antidepresi,
antikonvulsi, atau antiaritmia kelas
IA).
2. Konsumsi 4 macam obat atau lebih.
PenglihatanVisus < 20 / 60: Penerangan yang tidak menyilaukan;
1. Penurunan persepsi kedalaman hindari pemakaian kacamata
(depth perception). multifokal saat berjalan; rujuk ke
2. Penurunan sensitivitas terhadap dokter spesialis mata
kontras.
3. Katarak.

Tekanan darah postural (setelah ≥ 5 Diagnosis dan tatalaksana penyebab


menit dalam posisi berbarnig / supine, dasar jika memungknkan; review dan
segera setelah berdiri, dan 2 menit kurangi obat-obatan; modifikasi dan
setelah berdiri) tekanan sistolik turun ≥ restriksi garam; hidrasi yang adekuat;
20 mmHg (atau ≥ 20%), dengan atau strategi kompensasi (elevasi bagian
tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit kepala tepat tidur, bangkit perlahan
berdiri atau latihan dorsofleksi); stoking
kompresi; terapi farmakologis jika
strategi di atas gagal.
Keseimbangan dan gaya berjalan: Diagnosis dan tatalaksana penyebab
1. Laporan pasien atau observasi dasar jika memungknkan; kurangi
adanya ketidakstabilan. obat-obatan yang mengganggu
2. Gangguan pada penilaian singakt keseimbangan; intervensi lingkungan;
(uji get up and go atau rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat
performance-oriented assessment of bantu dan latihan keseimbangan dan
mobility). gaya berjalan.
Pemeriksaan neurologis: Diagnosis dan tatalaksana penyebab
1. Gangguan proprioseptif. dasar jika memungknkan; tingkatkan
2. Gangguan kognitif. input proprioseptif (dengan alat bantu
3. Penurunan kekuatan otot. atau alas kaki yang sesuai, berhak
rendah dan bersol tipis); kurangi obat-
obatan yang mengganggu fungsi
kognitif; kewaspadaan pendamping
mengenai adanya defisit kognitif,
kurangi faktor resiko lingkungan;
rujuk ke rehabilitasi medik untuk
latihan gaya berjalan, keseimbangan,
dan kekuatan.
Pemeriksaan musculoskeletal, yaitu Diagnosis dan tatalaksana penyebab
pemeriksaan tungkai (sendi dan lingkup dasar jika memungknkan; rujuk ke
gerak sendi) dan pemeriksaan kaki. rehabilitasi medik untuk latihan
kekuatan, lingkup gerakan sendi, gaya
berjalan, dan keseimbangan serta alat
untuk bantu; gunakan alas kaki yang
sesuai; rujuk ke podiatrist.
Pemeriksaan kardiovaskular: Rujuk ke dokter spesialis jantung;
1. Sinkop. pemijatan sinus karotis (pada kasus
2. Aritmia (jika telah diketahui adanya sinkop).
penyakit kardiovaskular, terdapat
EKG yang abnormal, dan sinkop).
Evaluasi terhadap bahaya di rumah Rapikan karpet yang terlipat dan
setelah dipulangkan dari rumah sakit. gunakan lampu malam hari, bathmats
yang tidak licin, dan pegangan tangga;
intervensi lain yang diperlukan.

b. Pencegahan
1) Identifikasi faktor resiko.
2) Pemeriksaan faktor intrinsik resiko jatuh, assesmen keadaan neurologi,
muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang mendasari.
3) Pemeriksaan faktor ekstrinsik, lingkungan rumah yang berbahaya harus
dihilangkan, penerangan rumah harus cukup, lantai datar, tidak licin, bersih
dari benda-benda kecil yang mungkin sulit dilihat. Kamar mandi dibuat tidak
licin, diberi pegangan pada dindingnya.
4) Obat-obatan yang menyebabkan hipotensi postural, hipoglikemik atau
penurunan kewaspadaan dapat diberikan secara selektif.
5) Alat bantu berjalan baik berupa tongkat, tripod, kruk harus dibuat dari bahan
yang kuat tetapi ringan, aman tidak mudah brgeser serta sesuai dengan tinggi
badan lansia.

6) Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait)


Penilaian postural sway sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
jatuh pada lansia. Bila goyangan badan pada saat berjalan sangat beresiko
jatuh, maka diperlukan bantuan latihan dari rehabilitasi medik. Penilaian gaya
berjalan juga harus dilakukan dengan cermat:
a) Apakah penderita menapakkan kakinya dengan baik, tidak mudah goyah?
b) Apakah penderita mengangkat kakinya dengan benar pada saat berjalan?
c) Apakah kekuatan otot extremitas bawah penderita cukup kuat untuk
berjalan tanpa bantuan?
d) Bila terdapat penurunan dalam kesemuanya diatas maka perlu dikoreksi.
11. Mengatur /mengatasi faktor situasional
Dari uraian diatas penilaian resiko jatuh pada pasien dapat dilakukan penilaian
sebagai berikut:
a. Pasien Rawat Inap
Pengkajian resiko jatuh dewasa (skala morse)
No Item Pengkajian Skor Pencatatan
1 USIA
a. Kurang dari 60 0
tahun
b. Lebih dari 60 1
tahun 2
c. Lebih dari 80
tahun
2 DEFISIT
SENSORIS 0
a. Kacamata
bukan bifokal 1
b. Kacamata 1
bifokal
c. Gangguan 2
pendengaran
d. Kacamata 2
multifokal 3
e. Katarak /
glaukoma
f. Hampir tidak
melihat/buta
3 AKTIVITAS
a. Mandiri 0
b. ADL dibantu 2
sebagian
c. ADL dibantu 3
penuh
4 RIWAYAT
JATUH 0
a. Tidak pernah 1
b. Jatuh < 1 tahun 2
c. Jatuh < 1 bulan 3
d. Jatuh pada saat
dirawat
sekarang
5 KOGNISI
a. Orientasi baik 0
b. Kesulitan 2
mengerti
perintah 2
c. Gangguan 3
memori 3
d. Kebingungan
e. Disorientasi
6 PENGOBATAN
DAN
PENGGUNAAN
ALAT 1
KESEHATAN
a. > 4 jenis 2
pengobatan
b. Antihipertensi /
hipoglikemik / 2
Antidrepesan
c. Sedatif /
Psikotropika / 2
Narkotika
d. Infus /
epidural / spinal
/ dower catheter
/ traksi
7 MOBILITAS
a. Mandiri 0
b. Menggunakan 1
alat bantu
berpindah 2
c. Koordinasi /
keseimbangan
buruk 3
d. Dibantu 4
sebagian
e. Dibantu penuh
8 POLA BAB/BAK
a. Teratur 0
b. Inkontinensia 1
urine/feses
c. Nokturia 2
d. Urgensi/ 3
frekuensi
9 KOMORBIDITA
S 2
a. Diabetes /
penyakit
jantung/stroke / 2
ISK
b. Gangguan saraf 3
pusat/parkinson
c. Pasca bedah
0-24 jam
TOTAL SKOR
Keterangan
Resiko Rendah 0–7
Resiko Tinggi 8 –
13
Resiko Sangat Tinggi ≥ 14

Pengkajian resiko jatuh anak (skala humpty dumpty)


No Item Pengkajian Skor Pencatatan
1 USIA
b. Dibawah 3 4
tahun 3
c. 3-7 tahun 2
d. 7-13 tahun 1
e. > 13 tahun
2 JENIS KELAMIN
a. Laki-laki 2
b. Perempuan 1
3 DIAGNOSA
a. Kelainan 4
neurologi 3
b. Perubahan
dalam
oksigenasi
(masalah saluran
nafas, dehidrasi,
anemia,
anoreksia, 2
sinkop/sakit
kepala, dll) 1
c. Kelainan
Psikis/perilaku
d. Diagnosis lain
4 GANGGUAN
KOGNITIF
a. Tidak sadar 3
terhadap
keterbatasan
b. Lupa 2
keterbatasan 1
c. Mengetahui
kemampuan diri
5 FAKTOR
LINGKUNGAN
a. Riwayat jatuh 4
dari tempat tidur
saat bayi-anak
b. Pasien 3
menggunakan
alat bantu atau
box atau mebel
c. Pasien berada di 2
tempat tidur
d. Di luar ruang 1
rawat
6 RESPON
TERHADAP
OPERASI/OBAT
PENENANG /
EFEK ANASTESI 3
a. Dalam 24 jam 2
b. Dalam 48 jam
riwayat jatuh 1
c. > 48 jam
7 PENGGUNAAN
OBAT 3
a. Bermacam-
macam obat
yang digunakan:
obat sedative
(kecuali pasien
ICU yang
menggunakan
sedasi dan
paralisis),
Hipnotik,
Barbitural,
Fenoziatin,
Antidepresan 2
Laksans/
Dieuritika, 1
Narkotik
b. Salah satu dari
pengobatan
diatas
c. Pengobatan lain
TOTAL SKOR
Keterangan
Resiko Rendah 7-11
Resiko Tinggi ≥ 12

CATATAN:
1. Pengkajian awal resiko jatuh dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit,
dituliskan pada kolom IA (Initial Assessment).
2. Pengkajian ulang untuk pasien resiko jatuh ditulis pada kolom keterangan
dengan kode:
a. Setelah pasien jatuh (Post Falls) dengan kode: PF.
b. Perubahan kondisi (Change of Condition) dengan kode: CC.
c. Menerima pasien pindahan dari ruangan lain (On Ward Transfer) dengan
kode: WT.
d. Setiap minggu (Weekly) dengan kode: WK.
e. Saat pasien pulang (Discharge) dengan kode: DC.
Kode ini dituliskan pada kolom keterangan.

b. Pasien Rawat Jalan


Penilaian resiko jatuh pada pasien rawat jalan menggunakan pengkajian
dan intervensi resiko jatuh pasien rawat jalan get up ang go test.
1. Pengkajian
No Penilaian / Pengkajian Ya Tidak
.
a. Cara berjalan pasien (salah satu atau lebih)
A. Tidak seimbang/ sempoyongan/limbung
B. Jalan dengan menggunakan alat bantu (kruk, tripot,
kursi roda, orang lain)
b. Menopang saat akan duduk : tampak memegang
pinggiran kursi atau meja / benda lain sebagai
penopang saat akan duduk

2. Hasil
No Hasil Penilaian / Pengkajian Ket

1. Tidak berisiko Tidak ditemukan a & b


2. Risiko rendah Ditemukan salah satu dari a / b
3. Risiko tinggi Ditemukan a & b

3. Tindakan
No Hasil Kajian Tindakan Ya. Tidak TTD/ nama
petugas

1. Tidak berisiko Tidak ada tindakan


2. Risiko rendah Edukasi
3. Risiko tinggi Pasang pita kuning
Edukasi

3. Intervensi pencegahan jatuh


a. Rawat Inap
a. Tindakan pencegahan umum (untuk semua kategori)
1) Lakukan orientasi kamar inap kepada pasien.
2) Posisikan tempat tidur serendah mungkin, roda terkunci, kedua sisi pegangan
tempat tidur tepasang dengan baik.
3) Ruangan rapi.
4) Benda-benda pribadi berada dalam jangkauan.
5) Pencahayaan yang adekuat (disesuaikan dengan kebutuhan pasien).
6) Alat bantu berada dalam jangkauan (tongkat, alat penopang).
7) Optimalisasi penggunaan kacamata dan alat bantu.
8) Pantau efek obat-obatan.
9) Sediakan dukungan emosional dan psikologis.
10) Beri edukasi mengenai pencegahan jatuh pada pasien dan keluarga.
b. Kategori resiko tinggi: lakukan tindakan pencegahan umum dan hal-hal berikut ini.
1) Beri tulisan di depan kamar pasien ‘Pencegahan Jatuh’.
2) Beri penanda berupa gelang berwarna kuning yang dipakaikan di pergelangan
tangan pasien.
3) Sandal anti-licin.
4) Tawarkan bantuan ke kamar mandi/penggunaan pispot.
5) Kunjungi dan amati pasien oleh petugas medis.
6) Nilai kebutuhan, akan:
a) ADL
b) Tempat tidur rendah (khusus)
c) Lokasi kamar tidur berdekatan dengan pos perawat (nurse station)
d) Kursi Roda
2. Rawat Jalan
Petugas akan melakukan skrining awal atau assessment resiko jatuh/ menilai jika
pasien berisiko jatuh sesuai dengan pengkajian resiko jatuh rawat jalan get up and go
test. Petugas akan melakukan pemasangan tanda peringatan pasien resiko jatuh sesuai
dengan hasil assessment dan menginformasikan kepada pasien atau keluarga bahwa akan
dilakukan pemasangan penanda resiko jatuh berupa kalung berwarna kuning yang berisi
gambar jatuh dengan berkomunikasi aktif dan jelaskan akan dilakukan pemasangan
kalung tersebut pada pasien rawat jalan yang berisiko tinggi. Pada pasien rawat jalan
yang berisiko rendah, minta keluarga/pendamping pasien menemani pasien, jika pasien
datang sendiri maka petugas akan menemani pasien dan mengantarkan pasien ke ruang
tunggu. Pada pasien yang berisiko tinggi maka petugas akan memberikan kursi roda dan
didampingi oleh petugas / pendamping pasien.

4. Strategi Rencana Keperawatan


1. Strategi umum untuk pasien resiko jatuh, yaitu:
a. Tawarkan bantuan ke kamar (saat pasien bangun).
b. Gunakan 2-3 sisi pegangan tempat tidur.
c. Jangan ragu untuk meminta bantuan.
d. Barang-barang pribadi berada dalam jangkauan.
e. Adakan konferensi multidisiplin mingguan dengan partisipasi tim keperawatan.
f. Anjurkan pasien menggunakan sisi tubuh yang lebih kuat saat hendak turun dari
tempat tidur.
2. Strategi untuk mengurangi/mengantisipasi kejadian jatuh fisiologis, yaitu:
a. Berikan orientasi kamar tidur kepada pasien.
b. Libatkan pasien dalam pemilihan aktivitas sehari-harinya.
c. Pantau ketat efek obat-obatan, termasuk obat psikotropika.
d. Kurangi suara berisik.
e. Lakukan assessment ulang.
f. Sediakan dukungan emosional dan psikologis.
3. Strategi pada faktor lingkungan untuk mengurangi resiko jatuh, yaitu:
a. Kamar khusus pasien resiko jatuh dekat dengan nurse station.
b. Posisi tempat tidur rendah.
c. Lantai tidak silau/memantul dan tidak licin.
d. Pencahayaan yang adekuat.
e. Ruangan rapi.
f. Sarana toilet dekat dengan pasien.
4. Manajemen Setelah Kejadian Jatuh
a. Nilai apakah terdapat cedera akibat jatuh (abrasi, kontusio, laserasi, fraktur, cedera
kepala).
b. Nilai tanda vital.
c. Nilai adanya keterbatasan gerak.
d. Pantau pasien dengan ketat.
e. Catat dalam status pasien (rekam medik).
f. Laporkan kejadian jatuh kepada perawat yang bertugas dan lengkapi laporan insidens.
g. Modifikasi rencana keperawatan interdisiplin sesuai dengan kondisi pasien.
5. Edukasi pasien/keluarga
Pasien dan keluarga harus diinformasikan mengenai faktor resiko jatuh dan setuju
untuk mengikuti strategi pencegahan jatuh yang telah ditetapkan. Pasien dan keluarga
harus diberikan edukasi mengenai faktor resiko jatuh di lingkungan rumah sakit dan
melanjutkan keikutsertaannya sepanjang keperawatan pasien.
a. Informasikan pasien dan keluarga dalam semua aktivitas sebelum memulai
penggunaan alat bantu.
b. Ajari pasien untuk menggunakan pegangan dinding
c. Informasikan pasien mengenai dosis dan frekuensi konsumsi obat-obatan, efek
samping, serta interaksinya dengan makanan/obat-obatan lain.
D. Implementasi Resiko Jatuh
1. Rawat Jalan
Pada pasien rawat jalan yang berisiko rendah, minta keluarga/pendamping pasien
menemani pasien jika pasien datang sendiri maka petugas menemani pasien dan
mengantarkan pasien ke ruang tunggu. Pada pasien yang berisiko tinggi maka petugas
akan memberikan kursi roda dan didampingi oleh petugas/ pendamping pasien.
2. Rawat Inap
Resiko Tinggi: Skor 8- Resiko Sangat Tinggi:
Resiko Rendah: Skor 0-7
13 Skor ≥ 14
1. Orientasikan pasien 1. Orientasikan pasien 1. Orientasikan pasien
pada lingkungan pada lingkungan pada lingkungan
kamar/bangsal. kamar/bangsal. kamar/bangsal.
2. Pastikan rem tempat 2. Pastikan rem tempat 2. Pastikan rem tempat
tidur terkunci. tidur terkunci. tidur terkunci.
3. Pastikan bel pasien 3. Pastikan bel pasien 3. Pastikan bel pasien
terjangkau. terjangkau. terjangkau.
4. Singkirkan barang 4. Singkirkan barang 4. Singkirkan barang
yang berbahaya yang berbahaya yang berbahaya
terutama pada terutama pada terutama pada
malam hari (kursi malam hari (kursi malam hari (kursi
tambahan dan lain- tambahan dan lain- tambahan dan lain-
lain). lain). lain).
5. Minta persetujuan 5. Minta persetujuan 5. Minta persetujuan
pasien agar lampu pasien agar lampu pasien agar lampu
malam tetap malam tetap malam tetap
menyala karena menyala karena menyala karena
lingkungan masih lingkungan masih lingkungan masih
asing. asing. asing.
6. Pastikan alat bantu 6. Pastikan alat bantu 6. Pastikan alat bantu
jalan dalam jalan dalam jalan dalam
jangkauan (bila jangkauan (bila jangkauan (bila
menggunakan). menggunakan). menggunakan).
7. Pastikan alas kaki 7. Pastikan alas kaki 7. Pastikan alas kaki
tidak licin. tidak licin. tidak licin.
8. Pastikan kebutuhan 8. Pastikan kebutuhan 8. Pastikan kebutuhan
pribadi dalam pribadi dalam pribadi dalam
jangkauan. jangkauan. jangkauan.
9. Tempatkan meja 9. Tempatkan meja 9. Tempatkan meja
pasien dengan baik pasien dengan baik pasien dengan baik
agar tidak agar tidak agar tidak
menghalangi. menghalangi. menghalangi.
10. Tempatkan pasien 10. Tempatkan pasien 10. Tempatkan pasien
sesuai dengan tinggi sesuai dengan tinggi sesuai dengan tinggi
badannya. badannya. badannya.
11. Pasang penanda 11. Pasang penanda
resiko jatuh di luar resiko jatuh di luar
kamar. kamar.
12. Minta agar pasien 12. Minta agar pasien
segera memencet bel segera memencet
bila perlu bantuan. bel bila perlu
13. Awasi atau bantu bantuan.
sebagian Aktivitas 13. Awasi atau bantu
Daily Living pasien. sebagian Aktivitas
14. Cepat menanggapi Daily Living pasien.
bel. 14. Cepat menanggapi
15. Review kembali bel.
obat-obatan yang 15. Review kembali
beresiko. obat-obatan yang
16. Beritahu pasien agar beresiko.
mobilisasi secara 16. Beritahu pasien
bertahap: duduk agar mobilisasi
perlahan-lahan secara bertahap:
sebelum berdiri. duduk perlahan-
lahan sebelum
berdiri.
17. Kaji kebutuhan
BAB/BAK secara
teratur tiap 2-3 jam.
18. Kolaborasi dengan
fisioterapi/case
manager.
19. Bila memungkinakn
pindahkan pasien
dekat nurse station.
20. Kaji kebutuhan
dengan
menggunakan pagar
tempat tidur.
21. Orientasikan ulang
bila perlu.
22. Observasi lebih
ketat pada pasien
yang mendapatkan
obat laxantia/
diuretika.
23. Rendahkan sedikit
posisi tempat tidur.

Anda mungkin juga menyukai