Anda di halaman 1dari 38

Pelaksanaan Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak

di GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung:


Suatu Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Ruang dan Partisipasi Anak dalam
Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi guna memenuhi sebagian dari
persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si.Teol)

Oleh:
Indah Mardilah 712014116

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2020
ii
iii
iv
v
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena kasih dan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir yang berjudul, “Pelaksanaan Ibadah dan
Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung: Suatu
Tinjauan Kritis terhadap Pemisahan Ruang dan Partisipasi Anak dalam Ibadah dan Sakramen
Perjamuan Kudus.” Penulis juga tak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada beberapa
pihak yang mendukung dan memberi bantuan selama proses penyelesaian Tugas Akhir ini, yaitu
terkhusus kepada:

1. Kedua orang tua saya yang mendukung saya dalam hal materi maupun moril selama berkuliah
di Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

2. Kedua Dosen Pembimbing saya, Pdt. Dr. Ebenhaezer Nuban Timo dan Pdt. Nimali Fidelis
Buke yang telah membimbing selama penulisan Tugas Akhir ini.

3. Dosen-dosen Fakultas Teologi, UKSW yang telah memberikan ilmu dan didikan kepada kami
selama masa perkuliahan.

4. Seluruh anggota jemaat GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung dan secara khusus
Pdt. Krishermawan Santoso selaku Pendeta jemaat GKSBS Semuli jaya, Pnt. Darsono, Dkn.
Kukuh Walyudi, Dkn. Guritno, Ibu Sunarsih selaku Guru sekolah minggu, dan Ibu Sri Mulyani
selaku anggota jemaat, yang telah bersedia untuk diwawancarai.

Tugas Akhir ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca, terkhusus bagi GKSBS
Semuli jaya Kelompok Sumber Agung untuk menjadi bahan pertimbangan terkait pelaksanaan
Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak.

Penulis menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan Tugas Akhir ini. Penulis
juga mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga Tugas Akhir ini dapat lebih baik.

Penulis

vi
Abstrak

GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung menerima anak-anak yang telah dibaptis
menjadi bagian dalam Sakramen Perjamuan Kudus bersama anggota jemaat dewasa, yang
berlandaskan pada keputusan Sidang Sinode di Bengkulu pada tahun 2005. Dalam pelaksanaan
ibadah dan Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung memunculkan kontroversi, sebab pihak
“empunya Gereja” memisahkan ruang bagi anak-anak dari perkumpulan orang dewasa, dan
anak-anak tidak mendapat kesempatan yang sama dalam partisipasi mereka di ibadah dan
Sakramen Perjamuan Kudus. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan pandangan jemaat
GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung mengenai pemisahan ruang anggota jemaat
dewasa dan anak-anak pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, serta
meninjau partisipasi anak-anak terhadap pemisahan ruang di ibadah dan Sakramen Perjamuan
Kudus bersama Anak-anak di GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan penulisan artikel secara
deskriptif. Hasil penelitian ini ialah Gereja belum menerima anak-anak secara penuh, termasuk
tingkah laku mereka yang dirasa mengganggu orang dewasa dalam beribadah dan melaksanakan
Perjamuan Kudus. Ditambah lagi, Gereja mendiskreditkan kemampuan anak-anak pada ranah
kognitif dan iman, sehingga menutup akses mereka berpartisipasi secara penuh bersama anggota
jemaat dewasa. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu Gereja dimaknai sebagai komunitas iman
yang di dalamnya terdapat orang dewasa dan anak-anak, maka kebijakan apapun semestinya
untuk kebaikan bersama dan memiliki landasan yang jelas supaya tidak merugikan salah satu
pihak.

Kata Kunci: Perjamuan Kudus bersama Anak, Pemisahan Ruang, Partisipasi Anak, GKSBS
Sumber Agung.

vii
1. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Gereja bukan hanya menunjuk pada gedung ibadah umat Kristen Protestan dan Khatolik,
melainkan persekutuan umat Allah. Secara etimologi, istilah “gereja” berasal dari kata bahasa
Portugis yaitu “igreja” yang gilirannya berasal dari Bahasa Latin “ecclesia” yang merupakan
transkripsi dari kata Bahasa Yunani “ekklesia” berarti “rapat rakyat”, “perkumpulan rakyat” dan
dalam konteks keagamaan berarti “perkumpulan orang beriman”. Perkumpulan ini bukanlah
sesuatu yang kebetulan, melainkan para peserta berkumpul karena dipanggil keluar (ek-kalein)
dari urusan mereka masing-masing.1

Dalam rangka pemeliharaan iman, Gereja melaksanakan sakramen-sakramen. Sakramen


dalam ritus keagamaan Gereja Khatolik berjumlah tujuh sakramen yaitu Sakramen Baptis,
Krisma, Ekaristi, Perkawinan, Tahbisan, Rekonsiliasi, dan Pengurapan Orang Sakit.2 Sedangkan
dalam Gereja Protestan hanya ada dua Sakramen yang diberlakukan hingga saat ini yaitu
Sakramen Baptisan Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus. Kata sakramen sendiri berasal dari
kata Latin sacramentum, yang sudah dilazimkan oleh Tertullianus (sekitar tahun 200) menjadi
istilah theologia. Di kalangan ketentaraan Romawi, kata itu telah digunakan untuk sumpah-setia.
Timbulnya selaku istilah Theologia mungkin, dapat dimengerti dengan mengingat kepada
penggunaannya di lapangan hukum dan pengadilan. Misalnya dalam bidang hukum, kata
“sacramentum” telah dipakai untuk barang atau kepunyaan yang menjadi petaruh atau jaminan,
pada waktu dua pihak mengadakan perjanjian. Lebih jelas lagi: bila dua orang berselisih, lalu
membawa perkaranya ke hadapan pengadilan, maka kedua pihak wajib terlebih dahulu
menyetorkan uang jaminan; uang kepunyaan orang yang kalah, kemudiannya disita. Uang
jaminan itulah yang disebut “sacramentum”, sebab orang harus menyetorkannya kepada
perbendaharaan sebuah kuil (Latinnya: “sacrum”). Dengan mengingat latar belakang ini, maka
kedua sakramen yang dibicarakan di sini adalah sebagai petaruh atau jaminan yang diberikan
Allah dalam mengadakan perjanjianNya!3

Secara khusus penelitian ini membahas mengenai Sakramen Perjamuan Kudus, yang
menurut JL. CH. Abineno diistilahkan dengan nama Perjamuan Malam. Istilah Perjamuan

1
Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 209.
2
Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, 314.
3
G.C. Van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 437.
1
Malam digunakan untuk menekankan aspek pengenangan kembali akan perjamuan perpisahan
yang Yesus rayakan bersama murid-muridNya pada malam sebelum Ia dihukum mati.4 Menurut
beliau, Perjamuan Malam yang Kudus adalah perjamuan yang Allah “asingkan” (kuduskan) dan
pakai sebagai alat dalam karya penyelamatanNya. Roti dan anggur adalah makanan dan
minuman rakyat- khususnya di pesta-pesta- di Palestina pada waktu itu. Roti dan anggur ini
Allah “asingkan” (= kuduskan) sebagai alat atau wahana yang Ia pakai untuk memberitakan
karya penyelamatanNya dalam Yesus Kristus.5 Dalam arti yang demikian, maka Perjamuan
Kudus bukanlah perjamuan yang penuh dengan misteri dan bernuansa magis, karena pada
dasarnya Perjamuan Kudus adalah perjamuan biasa yang Allah kuduskan.

Gereja-gereja Protestan di Indonesia memiliki ketentuan dan ketetapannya masing-masing


dalam mempraktekkan Sakramen Perjamuan Kudus. Secara umum, Gereja-gereja protestan di
Indonesia masih memberlakukan syarat-syarat khusus untuk menerima Sakramen Perjamuan
Kudus yaitu hanya kepada anggota jemaat dewasa yang telah menerima Sakramen Baptisan
Dewasa atau sidi dan tidak dalam siasat Gereja. Mereka yang dikatakan belum layak yaitu
mereka yang belum Baptis Dewasa atau sidi dan masih dalam siasat Gereja tidak diperkenankan
ambil bagian dalam sakramen ini. Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir di Gereja-gereja
tertentu, Sakramen Perjamuan Kudus ini juga diberikan kepada mereka yang belum Baptis Sidi.
Sakramen Baptisan sudah cukup menjadi syarat bagi mereka untuk menerima Sakramen
Perjamuan Kudus, sehingga anak-anak yang telah dibaptis pun dapat menerima sakramen
Perjamuan Kudus. Salah satu gereja yang melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus bersama
Anak ialah Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS). Gereja Kristen Sumatera Bagian
Selatan (GKSBS) merupakan gereja yang terletak di Sumatera Bagian Selatan, yang wilayah
pelayanannya meliputi empat provinsi yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu dan
Jambi.6

GKSBS telah mensahkan secara sinodal Sakramen Perjamuan Kudus bagi anak-anak yaitu
pada saat Sidang Sinode VIII Sinode GKSBS tanggal 23-26 September 2005 di Bengkulu pada
Artikel 12: Liturgi Kontektual.7 Kemudian keputusan tersebut dirumuskan dalam Tata Gereja
GKSBS 2015 yang merupakan pengganti Tata Gereja Tahun 1996. Dalam Tata Gereja GKSBS

4
George Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Flores, NTT: Nusa Indah, 1991), 195.
5
J.L. CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 9.
6
“Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 16.45, http://gksbs.org/?page_id=2.
7
Sinode GKSBS, “Profil.”
2
2015 Bab IV bagian C, Sakramen Perjamuan adalah perayaan pengenangan anggota GKSBS
dalam perjumpaannya dengan Kristus. Pada prinsipnya sakramen Perjamuan Kudus dilaksanakan
pada saat Firman dilayankan dan dilayankan sekurang-kurangnya 4 (empat) kali setahun dan
peserta sakramen perjamuan ialah anggota baptisan.8 Dengan demikian, Sakramen Perjamuan
tidak hanya untuk mereka yang telah baptis dewasa atau sidi, tetapi juga bagi anak-anak yang
telah dibaptis dan telah menjadi anggota jemaat GKSBS, dapat menerima Sakramen Perjamuan
Kudus. Ketetapan ini menunjukkan bahwa Sinode GKSBS tidak memisahkan kedua sakramen
Gereja yaitu Baptisan dan Perjamuan Kudus.

Pengesahan dalam Sidang Sinode dan Tata Gereja GKSBS 2015 merupakan keseriusan
GKSBS untuk melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak di gereja-gereja
GKSBS. Hal ini berlandaskan pada sikap dan perbuatan Yesus terhadap anak-anak yang terdapat
dalam teks Injil Matius 19:14, Lukas 18:16, “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalangi-
halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya
kerajaan sorga.” Serta yang terdapat dalam teks Injil Markus 10:15, yang berbunyi “…Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti anak
kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Dari kesaksian Injil ini, GKSBS menafsirkanya bahwa
Yesus menerima anak-anak untuk datang beribadah kepada-Nya serta mengapresiasi mereka
untuk menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah. Keteladanan itu terlihat dari
pernyataan Yesus yang demikian, “sebab orang-orang (anak-anak) yang seperti itulah yang
empunya Kerajaan Sorga.” Atas landasan teologis yang demikian, maka siapapun anggota
Gereja Allah berhak untuk beribadah dan menerima berbagai ritus gerejawi, salah satuya
Sakramen Perjamuan Kudus yang tidak terikat pada kondisi-kondisi tertentu, seperti harus
dewasa, harus mengerti atau paham, apalagi harus pandai. 9 Dengan demikian anak-anak yang
notabene-nya dianggap tidak mengerti apapun dalam paradigma orang dewasa, pada akhirnya
bisa menjadi bagian dalam meja Perjamuan Tuhan karena setiap umat dihadapan Tuhan adalah
sama. Sikap anti-diskriminatif inilah yang ditunjukkan pada praktek Perjamuan Kudus bersama
anak.

Akan tetapi sikap yang demikian menurut penulis tidak tercermin dalam ibadah dan
Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung. GKSBS Sumber Agung merupakan
salah satu kelompok jemaat GKSBS Semuli Jaya yang merupakan bagian dari Klasis Kotabumi,

8
Tata Gereja GKSBS 2015, 78.
9
GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus Anak.”
3
Lampung. Pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung
menuai kontroversi. Bahwasannya Gereja tersebut membuat kebijakan pemisahan ruang antara
anggota jemaat dewasa dan anak-anak. Pemisahan ruang yang dimaksud ialah pengaturan tempat
duduk bagi anggota jemaat dewasa dan anak – anak, sehingga anak-anak tidak duduk bersama
orang tua ataupun anggota jemaat dewasa yang lain.

Terjadinya pemisahan ruang antara anak-anak dan orang dewasa dikarenakan Gereja
lebih mengutamakan kepentingan orang dewasa dengan mengesampingkan esensi Perjamuan
Kudus bersama anak. Keheningan, kekhusyukan, jauh dari gangguan tingkah-laku anak-anak
itulah yang hendak didapatkan anggota jemaat dewasa selama berlangsungnya ibadah dan
Sakramen Perjamuan Kudus. Mereka “sang empunya gereja” mengatur tempat duduk anak-anak
supaya terpisah dari tempat perkumpulan orang-orang dewasa berada. Gedung gereja yang
berbentuk L (memanjang ke depan dan menyamping) memungkinkan anggota jemaat dewasa
ditempatkan di ruang utama gedung gereja, sedangkan anak-anak ditempatkan di ruang samping
(bukan ruang utama) yang merupakan ruang yang biasa digunakan untuk sekolah minggu.
Kebijakan ini diambil karena bagi anggota jemaat dewasa, ketika anak-anak duduk bersama
dengan anggota jemaat dewasa, kehadiran mereka cukup mengganggu konsentrasi dan
kekhusyukan mereka dalam beribadah.

Pada hari Minggu dilayankan Sakramen Perjamuan Kudus, di pagi hari pada waktu sekolah
minggu, anak-anak telah menerima pembekalan oleh Majelis setempat mengenai hal-hal
berkaitan dengan Perjamuan Kudus. Meskipun dengan tujuan yang sama dengan anggota jemaat
dewasa, yaitu mengikuti Perjamuan Kudus, tetapi anak-anak tidak mengikuti rangkaian liturgi
ibadah di Gereja secara penuh. Mereka diarahkan dan dipimpin oleh para guru sekolah minggu
untuk melakukan aktivitas yang telah didesain sedemikian rupa sembari para anggota jemaat
dewasa menyelesaikan ibadah. Biasanya mereka melakukan aktivitas seperti menggambar,
mewarnai, dan lain sebagainya. Baru kemudian ketika Pendeta hendak melangsungkan Sakramen
Perjamuan Kudus, anak-anak diberhentikan dari aktivitas mereka dan kemudian menyantap roti
dan meminum anggur bersamaan dengan anggota jemaat dewasa.

Memang anak-anak dan orang dewasa makan roti dan minum anggur bersamaan pada saat
Sakramen Perjamuan Kudus. Namun, anak-anak tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi
secara penuh. Jika semua umat berhak menerima warta anugerah keselamatan yang sama,
mengapa anak-anak harus dibedakan dari orang dewasa dalam pelaksanaan ibadah dan Sakramen

4
Perjamuan Kudus? Penulis melihat pelaksanaan ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus di
GKSBS Sumber Agung menunjukkan bahwa Gereja tidak menerima sepenuhnya anak-anak
untuk berada di tengah-tengah orang dewasa. Hingga ada upaya penyingkiran anak-anak dengan
memisahkan ruang antara anak-anak dan orang dewasa, serta adanya pembedaan perlakuan
gereja terhadap anak-anak pada saat ibadah sebelum Perjamuan Kudus, yang mengakibatkan
anak-anak kehilangan kesempatan untuk mendengarkan khotbah sebagaimana orang dewasa
melakukannya.

Maka timbul pertanyaan oleh penulis yang menjadi rumusan masalah: 1. Bagaimana
pandangan anggota jemaat dewasa maupun anak-anak di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber
Agung mengenai kebijakan pemisahan ruangan untuk anggota jemaat dewasa dan anak-anak
pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak di GKSBS
Semuli Jaya kelompok Sumber Agung. 2. Mengapa anak-anak tidak perlu berpartisipasi secara
penuh bersama dengan anggota jemaat dewasa dalam ibadah bersama dan Sakramen Perjamuan
Kudus di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung?

Tujuan dari penelitian ini ialah: 1. Mendeskripsikan pandangan jemaat GKSBS Semuli Jaya
Kelompok Sumber Agung mengenai pemisahan ruang anggota jemaat dewasa dan anak-anak
pada saat berlangsungnya ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus. 2. Mendeskripsikan
kelebihan dan kekurangan anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh bersama anggota jemaat
dewasa dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak-anak di GKSBS Semuli
Jaya Kelompok Sumber Agung.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi lapangan dengan teknik pengumpulan data yaitu
wawancara (interview). Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih
mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi.10
Jenis wawancara yang akan dilakukan ialah wawancara semiterstruktur (Semistrucktur
Interview). Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara
terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya.11 Penulis akan
mewawancarai narasumber yaitu Pendeta Jemaat GKSBS Semuli Jaya (1 orang), majelis gereja

10
Prof. Dr. H. Kaelan, M.S, Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya, Filsafat, Seni,
Agama dan Humaniora (Yogyakarta : Paradigma,2012), 111.
11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods), (Bandung: Alfabeta, 2012),
318.
5
setempat (Penatua: 1 orang, Diaken: 2 orang), serta anggota jemaat (2 orang), dan guru sekolah
minggu (2 orang).

GKSBS telah mensahkan Perjamuan Kudus bagi anak-anak sejak tahun 2005 secara sinodal,
namun dalam pelaksanaannya, hingga saat ini gereja belum benar-benar menunjukkan
penerimaan sepenuhnya terhadap kehadiran anak-anak dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan
Kudus di GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung. Hal ini menjadi urgensi penulis untuk
perlunya peninjauan kembali pelaksanaan Perjamuan Kudus bersama anak ini. Sehingga
diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi gereja
mengenai pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli
Jaya kelompok Sumber Agung.

Sistematika penulisan Tugas Akhir ini terbagi menjadi lima bagian. Pertama, berisi tentang
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, urgensi dan manfaat penelitian, metode
penelitian, lokasi penelitian, dan sistematika penulisan. Kedua, berisi tentang landasan teori
berkaitan dengan pelaksanaan Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak. Ketiga, berisi tentang
data hasil penelitian di lapangan. Keempat, berisi tentang analisa dari teori terhadap data hasil
penelitian di lapangan. Kelima, berisi tentang kesimpulan dan penutup.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Sakramen dan Perjamuan Kudus

Sakramen tidak hanya dapat didefinisikan sebagai simbol religius, keagamaan. Sebab
tidak semua simbol religius disebut sakramen. Pada umumnya dibedakan dua macam simbol
atau lambang religius. Simbol religius yang satu ialah simbol ekspresif. Artinya: sebuah realita
fisik (benda atau perbuatan) menjadi ekspresi atau ungkapan dari suatu pengalaman subjektif
batiniah (keyakinan, perasaan dan sebagainya) terhadap Yang Transenden. Misalnya saja, tanda
salib dan lilin yang merupakan simbol suatu keyakinan, perasaaan dan pengalaman orang
Kristen. Dengan membuat tanda salib dan memasang lilin seorang Kristen mengekspresikan
kebatinannya.12 Jenis simbol religious yang kedua ialah simbol representatif, yaitu sebuah
lambang yang menunjuk dan menghadirkan suatu realitas yang melampaui segala pengalaman
biasa dan hanya tercapai melalui dan dalam simbol itu. Sebab realitas itu justru memperlihatkan

12
C. Groenen OFM, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah, Wujud, Struktur
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), 20-21.
6
diri dalam simbol dan berupa simbol saja.13 Suatu simbol representatif berdasarkan pengalaman
dan bermaksud untuk mencetuskan pengalaman. Mula-mula salah satu realitas fisik (benda,
perbuatan, kejadian) langsung dialami oleh seseorang atau kelompok sebagai penampakan dari
Yang Transenden. Tetapi kemudian realitas itu dijadikan sebuah simbol sosial dan ditetapkan
guna mengantar lain-lain orang (anggota-anggota kelompok social itu) kepada pengalaman
religius yang sama, sehingga melalui dan dalam simbol itu Yang Transenden menjadi dialami.
Yang Transenden (ilahi) itu tidak hanya nampak berupa simbol, tetapi ia pun nampak, teralami
sebagai realitas dinamis, suatu kekuatan atau daya yang menyentuh orang yang mengalaminya
berupa simbol.14 Maka dalam hal ini „sakramen‟ merupakan simbol/lambang representatif, yaitu
benda/barang atau perbuatan religius yang menjadi simbol (sosial) dari Yang Transenden, yang
Ilahi.15 Gereja-gereja Protestan di Indonesia melaksanakan dua sakramen, yaitu Sakramen
Baptisan Kudus dan Sakramen Perjamuan Kudus.

Sakramen Perjamuan Kudus memiliki beberapa nama lain, yaitu diantaranya: Ekaristi,
Misa, Pemecahan roti, Perjamuan Tuhan, Perjamuan Malam, Kurban dan Persembahan, Liturgi
Ilahi, Komuni Suci, dan lainnya. Meskipun ada beberapa nama untuk sakramen Perjamuan
Kudus, namun semuanya menunjuk pada sakramen yang sama dan menggunakan elemen yang
sama yaitu roti dan anggur. Dalam kalimat pengantarnya, Cornelis P. Venema mengartikan
Perjamuan Tuhan sebagai sarana rahmat, yang Kristus gunakan oleh Roh-Nya untuk memelihara
iman orang-orang percaya dan untuk memperkuat persekutuan mereka denganNya dan dengan
mereka yang menjadi anggota tubuh-Nya, Gereja.16

Sakramen Perjamuan Kudus memiliki makna, yang menurut Dr. J.L.CH. Abineno ada
lima arti atau makna untuk Perjamuan Malam (Perjamuan Kudus). Pertama, perjamuan
pengucapan syukur. Perjamuan Malam –sama seperti Paskah Israel− adalah suatu pesta: suatu
pesta kemenangan. Dalam pesta itu kita diundang sebagai “tamu” untuk turut merayakannya.
Yang mengundang kita ialah Kristus sebagai “tuan” pesta. Ia mau, supaya kita melakukan hal itu
dengan gembira. Itu yang mau diberitakan oleh Perjamuan Malam kepada kita. Oleh karena
kematian dan kebangkitanNya, Allah mendamaikan kamu dengan diriNya (bnd II Kor 5:18).
Sebagai anak-anakNya yang diperkenankan lagi dalam persekutuan dengan Dia. Maka harus

13
C. Groenen OFM, Sakramentologi, 21.
14
C. Groenen OFM, Sakramentologi, 22.
15
C. Groenen OFM, Sakramentologi, 24.
16
Cornelis P. Venema, Children at the Lord’s Table? : Assessing the Case for Paedocommunion (Grand Rapids:
Reformation Heritage Books, 2009), vii.
7
bergembira dan mengucap syukur kepadaNya atas kasih dan anugerahNya itu. 17 Kedua,
Perjamuan Malam merupakan peringatan akan Yesus. Peringatan yang dimaksud ialah
mempresentir kembali dan menghayati sekarang juga keselamatan yang Yesus kerjakan oleh
kematian dan kebangkitanNya.18 Ketiga, Perjamuan Malam merupakan pemberian Roh Kudus.
Elemen roti dan anggur yang digunakan dalam Perjamuan tetaplah secara fisik roti dan anggur,
tidak berubah menjadi tubuh dan darah Yesus. Tetapi oleh pekerjaan Roh Kudus kita beroleh
persekutuan dengan Kristus (= dengan kematian dan kebangkitanNya) yang benar-benar hadir
dalam Perjamuan Malam.19 Keempat, Perjamuan Malam adalah perjamuan persekutuan.
Pertama-tama persekutuan dengan Kristus. Ia memberikan “koinonia” (= persekutuan) tubuh dan
darahNya kepada kita. Dalam koinonia Perjamuan Malam ada distansi, ada jarak: kristus tetap
Kristus dan kita tetap kita. Tidak ada perpaduan fisik dan mistik. Semua oleh karena pekerjaan
Roh Kudus beroleh persekutuan dengan tubuh dan darahNya.20 Persekutuan dalam Perjamuan
Malam kita tidak hanya mendapat persekutuan dengan Kristus tetapi juga seorang dengan yang
lain sebagai satu tubuh Tuhan. Maka dari itu koinonia (= persekutuan) Perjamuan Malam
bertentangan dengan perbedaan (diskriminasi) ras, suku, bahasa, golong dan lain-lain. Perjamuan
Malam terbuka untuk semua orang: yang kaya, yang miskin, yang berkuasa, yang lemah, dan
sebagainya.21 Kelima, Perjamuan Malam dan Perjamuan Agung di masa depan. Perjamuan
Agung merupakan perjamuan yang dinantikan dalam Kerajaan Allah (bnd Mat 8:11, Luk 13:28
dyb; 14:13 dyb). Tetapi hadirnya Yesus Kristus (dalam diri, perkataan, dan perbuatanNya),
Kerajaan Allah itu telah mendobrak masuk ke dalam dunia. Karena itu Perjamuan Malam bukan
hanya lambang saja! Ia bukan berfungsi sebagai jari, yang menunjuk pada keselamatan yang
akan datang. Perjamuan Malam − sebagai berita tentang kematian dan kebangkitan Kristus−
adalah benar-benar representasi dari keselamatan yang Allah berikan dalam Kristus. Aspek
eskatologis ini dapat memelihara kita dari rupa-rupa anggapan magis dalam Perjamuan Malam,
tetapi dapat juga mendorong dan “merangsang” kita untuk merayakan Perjamuan Malam dengan
gembira dan dengan penuh harapan.22

17
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 22.
18
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 26.
19
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 27.
20
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 29.
21
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 30.
22
J.L.CH. Abineno, Perjamuan Malam, 32.
8
2.2 Praktek Paedocommunion (Perjamuan Kudus untuk Anak)

Meskipun terbilang suatu gagasan yang baru di lingkungan gereja - gereja protestan di
Indonesia, Perjamuan Kudus Anak atau Paedocommunion (Paedo (bahasa Yunani) = anak;
Communion = Komuni/ Perjamuan) sudah dipraktekkan sejak Gereja mula-mula. Seperti yang
dikemukakan oleh bapa-bapa Gereja seperti Cyprianus, Augustinus dan Leo Agung.

1. Cyprianus

Cyprianus (Uskup Carthage, sekitar tahun 250) menulis tentang paedocommunion di


dalam On the Lapsed (9, 25-26) dan Epistle (58.3, 5). Tulisannya di dalam On the Lapsed berikut
ini merupakan kesaksiannya sendiri:

Learn what occurred when I myself was present and a witness. Some parents who by chance were escaping,
being little careful on account of their terror, left a little daughter under the care of a wet-nurse. The nurse
gave up the forsaken child to the magistrates. They gave it, in the presence of an idol whither the people
flocked (because it was not yet able to eat flesh on account of its years), bread mingled with wine, which
however itself was the remainder of what had been used in the immolation of those that had perished.
Subsequently the mother recovered her child. But the girl was no more able to speak, or to indicate the
crime that had been committed, than she had before been able to understand or to prevent it. Therefore it
happened unawares in their ignorance, that when we were sacrificing, the mother brought it in with her.
Moreover, the girl mingled with the saints, became impatient of our prayer and supplications, and was at
one moment shaken with weeping, and at another tossed about like a wave of the sea by the violent
excitement of her mind; as if by the compulsion of a torturer the soul of that still tender child confessed a
consciousness of the fact with such signs as it could. When, however, the solemnities were finished, and the
deacon began to offer the cup to those present, and when, as the rest received it, its turn approached, the
little child, by the instinct of the divine majesty, turned away its face, compressed its mouth with resisting
lips, and refused the cup. Still the deacon persisted, and, although against her efforts, forced on her some of
the sacrament of the cup. Then there followed a sobbing and vomiting. In a profane body and mouth the
Eucharist could not remain; the draught sanctified in the blood of the Lord burst forth from the polluted
stomach. So great is the Lord‟s power, so great is His majesty. The secrets of darkness were disclosed
under His light, and not even hidden crimes deceived God‟s priest. This much about an infant, which was
not yet of an age to speak of the crime committed by others in respect of herself. 23

Meskipun kita meragukan validitas penafsiran Cyprianus tentang kejadian ini atau
setidaknya aspek-aspek signifikan darinya, akan tetapi tidak ada alasan untuk meragukan

23
Cyprian, Treatises, “On the Lapsed,” ch. 25-26, p. 444;
9
peristiwa yang sebenarnya atau praktek komuni anak-anak yang kecil (bayi) yang jelas tersirat.24
Tulisannya yang lebih prinsipal terdapat di dalam Epistle 58:3, 5 sebagai berikut:

Moreover, belief in divine Scripture declares to us, that among all, whether infants or those who are older,
there is the same equality of the divine gift. . . . But in that is expressed the divine and spiritual equality,
that all men are like and equal, since they have once been made by God; and our age may have a difference
in the increase of our bodies, according to the world, but not according to God; unless that very grace also
which is given to the baptized is given either less or more, according to the age of the receivers, whereas the
Holy Spirit is not given with measure, but by the love and mercy of the Father alike to all. For God, as He
does not accept the person, so does not accept the age; since He shows Himself Father to all with well-
weighed equality for the attainment of heavenly grace. . . . But if anything could hinder men from obtaining
grace, their more heinous sins might rather hinder those who are mature and grown up and older. (Epistle
58:3,5)

Cyprianus menegaskan bahwa ia menolak apa yang secara implisit dilakukan oleh kita secara
modern: membuat anak-anak perjanjian sebagai orang kristen kelas kedua. Melainkan sama
dengan orang dewasa berhak menerima rahmat Ilahi di kedudukan yang sama. 25 Menurutnya
justru anak-anak yang lebih layak dibandingkan orang dewasa, karena orang dewasa memiliki
dosa yang jauh lebih banyak. Maka Cyprianus menerima anak-anak bukan sebagai kelas bawah,
tetapi sama kedudukannya dengan anggota jemaat dewasa pada umumnya.

2. Augustinus

Bapa gereja yang sangat kaliber yaitu St. Augustinus (354-430) juga menulis tentang
paedocommunion. Dalam tulisannya di Sermon 174, 7, ia berkata, “Mereka adalah anak-anak
kecil, tetapi mereka menjadi para anggota-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, namun mereka
menerima sakramen-sakramen-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, tetapi mereka menjadi
peserta dalam meja perjamuan-Nya sehingga mereka dapat memiliki hidup di dalam dirinya
sendiri.”26 Dari tulisan Agustinus ini menjadi sangat jelas bahwa paedocommunion dipraktekkan
pada masa bapa-bapa gereja.

24
Tim Gallant, Feed My Lambs: Why the Lord’s Table Should Be Restored to Covenant Children (Canada: Pactum
Reformanda Publishing, 2002), 113-114.
25
Gallant, Feed My Lambs, 114-115.
26
Agustinus, “Sermons”, no. 174, bag. 7 sebagaimana dikutip Urban, Op. Cit., 356. Bnd. McGrath, Op. Cit., 12-13,
514-517. Berkhof, Op. Cit., 27, 67. Reinhold Seeberg, Text-book of the History of Doctrines (Grand Rapids,
Michigan: Baker Book House, 1958), 312-328. Martasudjita, Op. Cit., 256-258.
10
3. Leo Agung

Menambah referensi praktek paedocommunion pada abad ketiga dan keempat, saksi Leo
1 (440-461) sebagai uskup Roma pada waktu itu menjawab pertanyaan: apa yang semestinya
dilakukan kepada mereka yang telah ditangkap oleh orang-orang kafir setelah dibesarkan di
rumah-rumah Kristen. Jika mereka tidak yakin apakah mereka telah dibaptis, tetapi dapat
mengingat menghadiri gereja, haruskah mereka dibaptis sekarang, untuk berjaga-jaga, atau
tidak? Kemudian Uskup Roma itu menjawab berdasarkan pengamatannya bahwa mereka yang
ingat pergi ke gereja bersama orang tua mereka dapat mengingat apakah mereka menerima apa
yang biasa diberikan kepada orang tua mereka. Lanjutnya ia mengakui bahwa mungkin saja ini
juga luput dari ingatan mereka. Dengan kata lain anak-anak itu dapat diyakinkan akan baptisan
mereka jika mereka telah ambil bagian dalam komuni (karena komuni tidak akan diberikan
kepada mereka yang belum dibaptis).27 Pada masa itu, komuni dilakukan oleh seseorang yang
telah dibaptis termasuk yang masih anak-anak. Komuni menjadi bukti yang meyakinkan
seseorang sudah menjadi bagian dari anggota gereja atau belum, karena pembaptisan selalu
diikuti dengan komuni. Sehingga, mereka yang telah menerima komuni tentu sudah dibaptis dan
menjadi anggota gereja.

Berdasarkan bukti catatan sejarah menunjukkan bahwa paedocommunion (komuni anak-


anak) sudah dipraktekkan sejak Gereja Mula-mula baik di Gereja Barat maupun Timur. Selama
tiga abad pertama, komuni bayi bukan menjadi pertanyaan sentral pada waktu itu. Orang dewasa
yang percaya dibaptis, ternyata bayi dan anak-anak juga dimasukkan ketika keluarga mereka
dibaptis. Oleh karena pola inisiasi Kristen yang berkembang selama tiga abad pertama termasuk
pemandian air (didahului atau diikuti oleh pengurapan) yang diakhiri oleh ekaristi, maka semua
yang dibaptis, termasuk bayi, menerima komuni.28

Namun praktek ini bertahan kurang lebih selama 1200 tahun saja di Gereja Barat (Katolik
dan Protestan) karena pada tahun 1215 diadakan Konsili Lateran Keempat yang mengesahkan
doktrin Transubtansiasi. Doktrin Transbutansiasi adalah doktrin yang menandaskan bahwa
hakikat roti dan anggur berubah menjadi hakikat tubuh dan darah Yesus. Maka dari itu,
menjatuhkan roti dan anggur dapat berakibat pada penistaan tubuh dan darah Yesus. Itulah

27
Gallant, Feed My Lambs, 120.
28
Ruth A. Meyers, “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” Anglican and Episcopal History,
Vol. 57, No. 2 (June 1988): 162, diakses January 14, 2016,
https://www.jstor.org/stable/42610259?seq=1#page_scan_tab_contents.
11
sebabnya anak-anak tidak diperkenankan lagi menerima roti dan anggur perjamuan karena
dikhawatirkan mereka menjatuhkannya, yang itu artinya mereka menista tubuh dan darah
Yesus.29 Oleh karena penekanan teologis ini maka terjadi pemisahan sakramen Baptisan dan
Ekaristi. Di Gereja Roma Ekaristi tidak diberikan kepada anak-anak orang percaya, tetapi bagi
mereka yang memenuhi syarat yaitu telah dibaptis dan juga melakukan konfirmasi. Konfirmasi
umumnya diberikan kepada mereka yang sudah mencapai usia kebijaksanaan, kecuali jika anak
tersebut sakit parah. Gereja Lutheran dan Reformed seperti halnya Gereja Roma, mereka yang
memiliki akses ke meja Perjamuan haruslah terlebih dahulu melakukan pengakuan iman
(konfirmasi), terlebih di Gereja Protestan yang membaptis Bayi. Akses ke meja, dalam arti
tertentu, merupakan hak istimewa yang harus diperoleh dengan artikulasi iman evangelis, yang
melibatkan pemahaman intelektual dan komitmen.30 Seperti halnya juga sebagian besar gereja-
gereja di Indonesia hingga saat ini, baik yang beraliran Calvinis maupun Lutheran, masih
memberlakukan pengakuan iman (sidi) untuk melayakkan seseorang datang ke meja Perjamuan
Tuhan.

2.3 Anak-anak dalam Perjamuan Paskah

Partisipasi anak-anak juga ditunjukkan dalam perjamuan Paskah Yahudi atau seder yang
diadakan pada malam 15 Nisan. Dalam perjamuan tersebut, setiap keluarga yang merayakan
paskah melibatkan anak-anak dalam perjamuan makan mereka. Seperti yang tercatat dalam
Misnah 10: 4.31 Anak-anak diberi tempat dan berpartisipasi di dalamnya dengan mengajukan
pertanyaan kepada ayahnya (kepala keluarga). Meskipun dalam dokumen tersebut Perjamuan
Paskah tidak ditulis secara rinci bagaimana tempat duduk anak-anak tesebut. Akan tetapi kita
dapat menangkap suatu gambar, jika ada komunikasi yaitu tanya-jawab antara anak dan orang
tuanya, masakah anak-anak itu duduk terpisah dari orang tua mereka? Tentulah anak-anak
berkomunikasi dan menerima jamuan makan paskah di meja yang sama dengan orang tua
mereka. Hal ini sepakat dengan suatu ilustrasi dalam buku The Origin of Seder: Sebuah keluarga
berpartisipasi dalam perjamuan makan paskah.32 Tergambar bahwa anak-anak duduk bersama
orang tua mereka melingkari meja yang sama dan terdapat hidangan makanan khas paskah di
atas meja. Gambar ilustrasi tersebut juga menunjukkan anak-anak berkomunikasi dengan
29
Joas Adiprasetya, Labirin Kehidupan: Spritualitas Sehari-hari Bagi Peziarah Iman (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016), 147-148.
30
Gallant, Feed My Lambs, 17.
31
Baruch M. Bokser, The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic Judaism (Berkeley:
University of California Press, 1984), 30.
32
Bokser, The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic Judaism, xix.
12
anggota keluarga lainnya yang barangkali menggambarkan tradisi tanya-jawab antara anak dan
kepala keluarga.

Tradisi tanya-jawab tersebut tercatat juga dalam teks Perjanjian Lama Keluaran 12: 26–
27. Setelah menerima perintah Allah tentang merayakan Paskah, Musa berkata kepada orang-
orang, “Dan ketika anak-anakmu bertanya kepadamu, 'Apa arti ibadah ini bagimu?' Kemudian
katakan kepada mereka, 'Itu adalah korban Paskah untuk TUHAN, yang melewati rumah-rumah
orang Israel di Mesir dan menyelamatkan rumah kami ketika ia membinasakan orang-orang
Mesir.'” Ada dua cara untuk menafsirkan teks ini. Pertama, anak-anak yang berpartisipasi dalam
perjamuan Paskah harus menunjukkan pemahaman dengan mengajukan pertanyaan tentang
makna Paskah. Pada saat yang sama, pertanyaan ini mengungkapkan bahwa partisipasi dalam
perjamuan Paskah adalah kesempatan untuk mengajar dan mempelajari makna Paskah dan
keselamatan Allah (Keidel, 1975; Stuart, 2006).33 Dengan demikian, tradisi Perjamuan Paskah
menunjukkan bahwa anak-anak berada di tempat yang sama dengan orang tua mereka. Tidak ada
pemisahan ruang khusus untuk anak-anak atau pun orang dewasa. Semua anggota keluarga
berkumpul dan berpartisipasi dalam perjamuan makan Paskah itu.

2.4 Anak- anak dalam Pemecahan Roti di Jemaat Perdana

Partisipasi anak dalam Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus (pemecahan roti)
terdapat juga dalam teks Perjanjian Baru. Kisah Para Rasul 10: 1-48 mengisahkan seorang
perwira pasukan di Kaisarea bernama Kornelius. Ia adalah seorang pemimpin romawi.
Tampaknya Ia adalah tokoh yang berpengaruh.34 Kornelius dan seisi rumahnya tergolong orang
yang takut akan Allah atau orang saleh (Ay. 1-2). Kemudian karena tidak ada yang keberatan
untuk membaptis mereka, mereka pun dibaptis (ay.47-48), yaitu Kornelius dan seisi rumahnya.
Jika dikatakan seisi rumah seorang tokoh penting atau bangsawan, maka yang dimaksud seisi
rumah itu ialah keluarganya (istri dan anak-anaknya, kerabat yang tinggal bersama barangkali)
dan para hambanya.35 Dengan demikian, Baptisan Kornelius dan seisi rumahnya adalah Baptisan
bagi semua orang yang ada di rumah itu, termasuk di dalamnya anak-anak.

Keterlibatan anak-anak tidak hanya dalam sakramen Baptisan, melainkan juga dalam
Sakramen Perjamuan Kudus (pemecahan roti). Teks Kisah Para Rasul 2:41-42, “Orang-orang

33
Hwarang Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s Supper?: A Perspektif From
Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1 (2013): 40.
34
St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 135.
35
C. Van den Berg, Sungguh Merekalah Umat-Ku (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 139-140.
13
yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka
bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam
persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Mereka yang
telah menerima diri dibaptis, kemudian mengadakan persekutuan dan memecahkan roti.
Pemecahan roti itu biasanya dilakukan di rumah masing-masing secara bergiliran dan makan
bersama (Kis 2:46b). Pelayanan persekutuan jemaat yang begitu besar pasti tidak mudah, tetapi
dalam Bait Allah ada tempat yang lapang, yaitu di Serambi Salomo. Perjamuan Kudus mereka
rayakan di rumah. Di samping itu, acara makan sehari-hari dipandang sangat sesuai untuk
menunjukkan rasa kasih dan suka cita secara murni dan tulus hati.36 Selain alasan diatas, bisa
jadi karena di jemaat perdana biasanya Baptisan dilakukan bukan hanya perorangan melainkan
kepada seluruh anggota keluarga dan para hambanya (jika memiliki) seperti halnya yang terjadi
pada Kornelius. Maka pemecahan roti itu pun dapat dilakukan di rumah, karena semua anggota
keluarga merupakan anggota Baptisan, sehingga tidak ada yang keberatan. Maka, perayakan
pemecahan roti pun seperti halnya acara makan bersama dengan keluarga. Semua yang hadir
termasuk anak-anak merayakan pemecahan roti itu pun di meja yang sama untuk makan
bersama.

Memecahkan roti atau makan bersama memang secara alamiah menjadi tanda
persaudaraan yang amat mendalam. Bukan makannya yang penting melainkan kumpul dan
makan apa yang menjadi hasil keluarga itu, jerih payah dan kegembiraan yang mereka alami,
dirasakan bersama dalam pemecahan roti atau makan bersama. Tampaknya istilah memecahkan
roti bukan hanya sekedar menunjuk makan bersama biasa, melainkan sambil mengenang apa
yang dulu pernah dibuat Yesus bersama para murid-Nya. Lebih dari itu, makan bersama lalu juga
menjadi tanda persatuan mereka dengan Dia yang telah menyerahkan hidupnya. Pemecahan roti
adalah ungkapan syukur mereka bersama yang kemudian menjadi perjamuan Ekaristi yang
dikenal jemaat masa kini.37 Oleh karena pemecahan roti atau makan bersama itu dilakukan
sebagai ungkapan syukur dan tanda persaudaraan seluruh anggota Baptisan. Maka tidak ada
pembedaan antar sesama anggota Baptisan yang anak-anak dan dewasa. Semua berbaur
menikmati makanan yang sama dan berkumpul di tempat yang sama.

Seperti halnya perjamuan makan Paskah dan pemecahan roti, orang tua berperan penting
untuk mengikutsertakan anak-anak mereka. Dalam perjamuan paskah, anak-anak diberi

36
Berg, Sungguh Merekalah Umat-Ku, 52.
37
St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul, 46.
14
kesempatan untuk menanyakan hal-hal terkait makan paskah kepada kepala keluarga untuk
mengingatkannya kembali makna perjamuan makan paskah di tengah keluarga. Ini menunjukkan
bagaimana orang tua juga berperan pada pemberian pengertian kepada anak. Selain itu, praktek
perjamuan makan paskah dan pemecahan roti itu pun tidak memisahkan ruang antara anak-anak
dan orang tua mereka. Maka di zaman sekarang ini, praktek Sakramen Perjamuan Kudus pun
semestinya tidak memisahkan ruang. Seperti yang diungkapkan oleh Pdt. Aris Windaryanto
bahwa dalam pelayanan sakramen perjamuan tersebut sebaiknya anak-anak tidak dipisahkan dari
orang tua mereka. Supaya peran orang tua yang harus bertanggung jawab membimbing dan
menghantar anak-anak mereka untuk dapat memahami dan menerima sakramen perjamuan
dengan baik dapat lebih dioptimalkan. Apabila perlu para orang tua dapat mengambilkan roti dan
anggur sakramen perjamuan untuk anak-anak mereka sambil menjelaskan secara singkat makna
sakramen perjamuan itu.38

2.5 Partisipasi anak dalam Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus

Partisipasi anak dalam Perjamuan Kudus seringkali dikaitkan dengan kemampuan


kognitif dan kapasitas iman anak. Istilah cognitive berasal dari kata cognition yang padanannya
knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (pengetahuan) ialah perolehan,
penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah kognitif menjadi sanggat popular sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis
manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan dan keyakinan.39
Seorang pakar dalam bidang ilmu psikologi, Jean Piaget mengemukakan empat tahap
perkembangan kognitif seorang anak. Tahap paling awal ialah tahap sensorimotor (0-2 tahun),
tahap praoperasi (umur 2-7 tahun), tahap operasi konkret (8-11 tahun), dan tahap operasi formal
(11 tahun keatas). Tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi
anak pada lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan lain-
lain.40 Tahap praoperasi dicirikan dengan perluasaan penggunaan pemikiran simbolis, atau
kemampuan representasional, tetapi belum mampu menggunakan pemikiran logis.41 Ciri lain
anak pada tahap praoperasi ialah egosentrisme, anak belum dapat melihat pandangan orang

38
Aris Windaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak: Telaah Atas Keikutsertaan Anak –anak Dalam Perjamuan
Kudus (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 107.
39
Yudrik Jahja, Psikologi perkembangan (Jakarta: Kencana, 2011), 56.
40
Dr. Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 26.
41
Diane E. Papalia, Human Development: Psikologi Perkembangan, ed. A.K.Anwar (Jakarta: Kencana, 2008), 323.
15
lain.42 Tahap operasi konkret, anak dapat berpikir logis ketimbang sebelumnya karena pada saat
ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan.
Walaupun demikian, mereka masih dibatasi untuk berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada
saat itu saja.43 Tahap operasi formal, seorang remaja dapat berpikir logis, berpikir dengan
pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan hipotesis, dan dapat mengambil
kesimpulan lepas dari apa yang diamati saat itu (Piaget & Inhelder, 1969; Piaget 1981). Pada
tahap ini, logika remaja mulai berkembang dan digunakan. Cara berpikir yang abstrak mulai
dimengerti.44 Piaget menjelaskan ada berbagai macam hal yang memengaruhi perkembangan
kognitif anak, setidaknya ada empat faktor, yaitu perkembangan organik dan kematangan sistem
saraf, latihan dan pengalaman, interaksi sosial, dan ekuilibrasi45 dan mekanismenya.46 Faktor-
faktor tersebut memengaruhi kemajuan kognitif tiap individu, sehingga meskipun urutan tahapan
tersebut tetap, namun umur individu mengalami tahap-tahap tersebut bisa jadi tidak selalu sama
atau bervariasi.

Mengenai perkembangan iman individu, James Fowler menyajikan teorinya dalam enam
tahap perkembangan iman (Fowler & Keen, 1978). Pada tahap pertama (2-7 tahun), “anak-anak
memperhatikan dan meniru suasana hati, gerakan, dan praktik nyata dari . . . orang pertama”
(Fowler, 1976, hlm. 192). Kemudian, pada tahap kedua (7-12 tahun) yaitu tahap kepercayaan
mitos-literal, anak-anak mulai berpikir operasional konkret. Ini adalah tahap, Fowler (1981)
mengatakan, “yang mana orang mulai mengambil untuk cerita dirinya sendiri, kepercayaan dan
ketaatan yang melambangkan kepemilikan komunitasnya.” Pada tahap ini, orang “dapat sangat
terpengaruh sangat kuat dan dalam oleh bahan simbolis dan dramatis dan dapat menggambarkan
dalam narasi tanpa akhir yang terperinci apa yang telah terjadi.” (hlm. 149)47 Menurut Fowler,
hal yang mendasari semua tahap iman itu adalah pengalaman dasar iman sebagai kepercayaan,
kapasitas yang hadir saat lahir, dan yang mulai berkembang segera setelah seorang anak mulai
berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu, juga saat lahir.48 Dengan demikian ada

42
Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 62.
43
Papalia, Human Development: Psikologi Perkembangan, 435.
44
Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 88.
45
Ekuilibrasi merupakan proses untuk menjadi ekuilibrium (kesetimbangan). Ekuilibrasi juga sering disebut
motivasi dasar seseorang yang memungkinkannya selalu berusaha memperkembangkan pemikiran dan
pengetahuannya. (Suparno, 2001, hlm.108)
46
Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, 104.
47
Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 33-34.
48
Meyers, “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” 173.
16
kesamaan pandangan Piaget dan Fowler, bahwa pengalaman dan interaksi sosial berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif maupun iman anak.

Oleh karena itu, dengan anak berpartisipasi dan turut berperan serta dalam Ibadah dan
Sakramen Perjamuan Kudus dapat menunjang perkembangan kognitif maupun iman anak,
karena pada dasarnya anak mengalami pengalaman secara langsung dan berinteraksi dengan
anggota jemaat. Partisipasi berulang dalam ibadah umum serta hubungan interpersonal
mempromosikan perkembangan keagamaan (Streib, 2001).49 Vygotsky juga berpendapat hal
yang sama, menurutnya dengan berpartisipasi dalam ibadat umum atau sakramen, anak-anak
kecil dapat mempelajari isi dan karakter iman Kristen dan dapat mengalami perkembangan batin.
Dengan berpartisipasi dengan orang tua dan anggota keluarga mereka, mengajukan pertanyaan
tentang makna ibadah dan iman, dan pada saat yang sama menerima instruksi dari orang dewasa,
mereka dapat mengalami ibadah yang mendalam di luar status pemahaman mereka.50 Dengan
demikian meskipun anak-anak belum memiliki kapasitas kognitif dan iman seperti orang dewasa,
berpartisipasi dalam ibadah umum dan sakramen akan mendorong perkembangan kognitif dan
iman anak-anak kearah kemajuan. Joyce Mercer menambahkan, bahwa penting bagi anak-anak
untuk berpartisipasi dalam praktek inti jemaat, jika anak-anak hanya berpartisipasi dalam praktek
yang kurang inti, kurang mendefinisikan identitas, maka anak-anak memiliki sedikit kesempatan
untuk belajar dan dibentuk dan diubah dalam identitas melalui partisipasi mereka dalam praktek.
Partisipasi yang kurang inti misalnya paduan suara anak-anak yang tampil dalam ibadah jemaat.
Maka penting bagi anak-anak untuk memiliki akses ke praktek-praktek utama jemaat, seperti
kegiatan misi, sakramen, cara menafsirkan Alkitab, dan pola-pola doa. Supaya anak-anak
menjadi murid dalam kehidupan dan iman Kristen, maka mereka harus memiliki kesempatan
untuk berpartisipasi dengan anggota jemaat lainnya dalam “praktek inti” yang menentukan
kehidupan dan imannya.51

Namun seringkali partisipasi anak dalam ibadah umum dan sakramen menimbulkan
masalah bagi komunitas iman. Tingkah laku anak yang aktif dan dirasa mengganggu orang
dewasa pada saat ibadah, membuat adanya upaya untuk menyingkiran anak-anak dari
perkumpulan komunitas iman yang sedang beribadah. Tentu saja ini menyangkut kepentingan
orang dewasa yang menginginkan suasana ibadah yang hening, khusyuk dan tanpa gangguan.

49
Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 39.
50
Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 40.
51
Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood (St. Louis, MO: Chalice, 2005), 201-
202.
17
Mercer berpendapat bahwa komunitas Kristen yaitu segenap jemaat perlu mengembang diri
sebagai komunitas yang terlibat dalam pengasuhan bersama, khususnya pertemuan mereka
dalam ibadah. Setiap orang dewasa yang disekitarnya terdapat anak, dapat bertanggung jawab
atas perawatan, disiplin, dan pengasuhan anak itu sesuai kebutuhan, sehingga komunitas iman
bertanggung jawab untuk menghadiri dan melatih anak-anak orang lain selama ibadah dan di
waktu lain. Dengan melakukan ini, komunitas mewujudkan komitmen pembaptisan dari anak-
anak tersebut yaitu komunitas membantu membesarkan anak-anak gereja dalam iman dengan
cara yang sangat nyata. Sehingga beban pengasuhan tidak hanya berlaku bagi orang tuanya
saja.52

3. HASIL PENELITIAN

3.1 Sejarah singkat GKSBS

Sinode GKSBS merupakan hasil dari usaha pelayanan yang dilakukan oleh Gereja
Kristen Jawa yang prihatin akan nasib para warga-pindah yang mengikuti program kolonisasi
oleh Pemerintah Hindia-Belanda di wilayah Sumatera Bagian Selatan. Sejak tanggal 5 Juli 1938,
ikatan Gereja-gereja Jawa di Jawa Tengah bagian Selatan meresmikan pekabaran Injil di
Lampung.53 Oleh karena pelayanannya itu, maka gereja semakin bertumbuh dan berkembang di
wilayah Sumatera Bagian Selatan. Jemaat yang semakin terorganisir hingga diputuskan untuk
membentuk klasis baru yaitu Klasis Sumatera Selatan. Tertuang dalam Akta Sinode GKJ IV
Tahun 1953 artikel 31, bahwa Klasis Sumatera Selatan meliputi wilayah propinsi Sumatra
Selatan waktu itu yaitu wilayah Palembang, Jambi, Bengkulu dan Lampung. 54 Adanya usulan
untuk membentuk sinode sendiri di wilayah tersebut, maka GKJ membentuk Deputat Sinode
Wilayah. Wilayah Sumatera Bagian Selatan merupakan bagian dari Deputat Wilayah 1 Sinode
55
GKJ. Deputat Wilayah ditingkatkan menjadi Sinode Wilayah dalam rangka melatih dan
membina Gereja di Sumbagsel untuk bersinode sendiri. Maka Deputat Wilayah 1 Sinode GKJ
menjadi Sinode Wilayah 1 GKJ sejak tahun 1974.56 Setelah mempersiapkan kemandirian Gereja,
sinode GKJ memutuskan kemandirian Sinode Wilayah 1 GKJ menjadi Sinode Gereja-gereja
Kristen Sumatera Bagian Selatan (Sinode GKSBS). Maka pada tanggal 6 Agustus 1987

52
Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood, 232.
53
E. Hoogerwerf, Gereja di tanah seberang: Lahirnya dan Berkembangnya Gereja Kristen Jawa di Sumatera
Selatan, ed. S.L. Tobing (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), 30.
54
GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 6.
55
GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 7.
56
GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 8.
18
ditetapkan lahirnya Sinode GKSBS, atas keputusan Sinode GKJ XVIII di Yogyakarta. 57 Pada
sidang IV Sinode GKSBS tanggal 26-29 Agustus 1996 di Bandar Lampung, nama “Gereja-
gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan” menjadi “Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan”. 58
Oleh karena sejarah GKSBS yang sangat dekat dengan GKJ, maka dalam Akta Sinode GKJ
XVIII tahun 1987, Artikel 119 bagian keputusan Sidang no. 3 menyatakan bahwa hubungan GKJ
dan GKSBS terjalin sebagai Gereja Saudara.59

3.2 Landasan Teologis Perjamuan Kudus untuk Anak di Sinode GKSBS

Sebelum Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak diputuskan dalam Sidang Sinode,
tentu Sinode GKSBS sudah memiliki landasan teologis yang jelas. GKSBS meyakini bahwa
Baptisan dan Perjamuan Kudus adalah sakramen yang ditetapkan oleh Allah. Kedua Sakramen
ini mendapat tempat yang setara dalam kehidupan Gereja. Sulit untuk mempertanggungjawabkan
secara teologis jika gereja membolehkan seseorang untuk dibaptis tetapi tidak memperbolehkan
untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Anak-anak yang telah layak dibaptis, maka pada saat yang
sama juga layak untuk ikut dalam Perjamuan Tuhan. Perjamuan Kudus bagi anak-anak dalam
gereja mula-mula (hingga abad 12) adalah hal yang biasa. Pada abad 11, Imam memasukkan
jarinya ke dalam cawan minuman, lalu menaruhnya di bibir atau mulut bayi. Namun di Barat,
kemudian tradisi ini menghilang. Hal yang menyebabkan adalah penekanan secara ekstrim pada
ke-sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus. Bahkan sampai kepada hal yang sekecil-
kecilnya, misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan
mendatangkan dosa dsb. Pada saat itu, anggota Jemaat semakin takut untuk ikut Perjamuan
Kudus.60

Selain daripada itu, GKSBS menilai bahwa perjamuan kudus yang hanya dilakukan oleh
anggota jemaat dewasa (anggota sidi) merupakan warisan tradisi semata. Biasanya anak-anak
tidak diperbolehkan dengan alasan: “mereka „kan belum dewasa jadi belum mengerti atau
“ketika dibaptis, iman mereka „kan masih ikut iman orang tuanya” atau “bagaimana
pendadarannya bagi anak-anak, kan mereka belum mudheng (mengerti, paham)”.61 Menurut
GKSBS itu artinya gereja menancapkan pagar diskriminasi terhadap siapa yang boleh atau tidak

57
GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 12-13.
58
“Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 9 November 2019 pukul 12.32 http://gksbs.org/?page_id=2.
59
GKSBS, Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, 12.
60
Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII Sinode GKSBS di Bengkulu, 4.
61
GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus”, diakses tanggal 13 November 2019 pukul 12.42,
https://gksbs.org/2015/10/27/tentag-perjamuan-kudus-anak/.
19
boleh menerima anugerah keselamatan lewat tanda sakramen. GKSBS kemudian menyoroti
bagaimana sikap Yesus terhadap anak-anak dalam Kitab Injil. Di dalam teks Matius 19:14,
Lukas 18: 16: “Biarlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku;
sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya kerajaan sorga” dan teks Markus 10: 15:
“Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barang siapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti
anak kecil, ia tidak akan masuk di dalamnya.” Sikap penerimaan Yesus terhadap anak-anak
dalam teks itu dengan tegas dan jelas mengungkapkan, bahwa syarat seseorang untuk bisa
menjadi bagian dalam anugerah keselamatan Allah (KERAJAAN ALLAH) bukan kondisi-
kondisi tertentu seperti harus dewasa, harus mengerti/paham, apalagi harus pandai. 62

Orang dewasa sering menciptakan batasan, menurut alur pikirnya sendiri. Menafikan
pikiran anak-anak. Menurut kita bahwa bentuk keber-iman-an adalah adanya pengertian-
pengertian dan kepercayaan tertentu yang dimiliki. Iman memang butuh pengertian, untuk
bertumbuh, tapi pasti bukan pra-syarat. Iman juga ada di dalamnya soal kepercayaan. Tapi iman
juga bukan hanya soal percaya atau tidak percaya. Dengan batasan tentang iman yang
mensyaratkan soal kepercayaan dan pengertian, maka anak-anak di anggap belum beriman.
Alangkah sombongnya para orang dewasa!!!63 Orang dewasa biarlah beriman bersama dengan
kepercayaan dan pengertian-pengertian sendiri sebagai orang dewasa. Maka, biarlah anak-anak
juga beriman dengan pengertian-pengertiannya sendiri. Masing-masing beriman dengan
pengertiannya (sesuai dengan tingkat perkembangannya sendiri). Tingkat perkembangan
psikologi yang semakin tinggi bukan otomatis tinggi pula imannya. Dalam tingkat
perkembangan kejiwaan yang bagaimanapun: bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, lanjut usia,
semua diundang oleh Yesus. Semua dapat duduk atau berdiri sejajar menyambut anugerah
keselamatan Allah. Sebagaimana setiap orang mendapat anugerah keselamatan dari Allah yang
ditandai dengan Sakramen Baptis Kudus, maka layak dan boleh pula ia mendapat dan merasakan
anugerah Allah yang dinyatakan dalam Perjamuan Kudus. Setiap orang yang sudah dibaptis,
layak pula ikut Perjamuan Kudus.64

Atas landasan itulah GKSBS mantap untuk melaksanakan Perjamuan Kudus bersama
anak. Sakramen Perjamuan Kudus tidak menuntut pemahaman iman yang baik, tetapi meyakini
bahwa setiap anggota tubuh-Nya berhak menerima anugerah keselamatan yang sama. Semangat
62
GKSBS ,“Tentang Perjamuan Kudus”
63
GKSBS, “Tentang Perjamuan Kudus”
64
Tentang Perjamuan Kudus, diakses tanggal 13 November 2019 pukul 12.42,
https://gksbs.org/2015/10/27/tentag-perjamuan-kudus-anak/.
20
kesetaraan dan anti-diskriminasi menjadi pilar penting Perjamuan Kudus bersama Anak di
GKSBS.

3.3 Gambaran Umum GKSBS Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung

Lokus penelitian ini adalah GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung yang
berlokasi di Desa Tanjung Iman, Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara,
Provinsi Lampung. Gereja ini merupakan pepanthan atau kelompok jemaat yang termasuk dalam
jangkauan wilayah pelayanan jemaat GKSBS Semuli Jaya. GKSBS Semuli Jaya sendiri memiliki
12 kelompok jemaat yang menyebar di beberapa daerah di Lampung Utara, diantaranya:
kelompok Semuli Jaya, Sumber Agung, Keramat Teluk, Trimodadi, Tata Karya, Semuli Raya,
Bumi Rahayu, Karya Sakti, Papan Asri, Sidorahayu, Bumi Jaya, dan Semuli Jaya RK 4. GKSBS
Semuli Jaya Kelompok Sumber Agung memiliki warga jemaat 72 KK 65 dengan 6 orang majelis
yang terdiri dari 2 penatua dan 4 diaken, 1 Pendeta jemaat aktif yang melayani di 12 kelompok
jemaat dan 1 Pendeta Emiritus. Ibadah minggu di GKSBS Sumber Agung diadakan satu kali
kebaktian yaitu pukul 11.00 WIB. Gereja ini memiliki 4 kelompok PA yang pembagiannya
bergantung pada lokasi tempat tinggal warga jemaat dan masing-masing memiliki jadual PA
sesuai kesepakatan tiap-tiap kelompok. Komisi sekolah minggu melakukan ibadah sekolah
minggu pada pukul 8.00 WIB dan ketika minggu itu bertepatan dengan dilaksanakannya
Perjamuan Kudus, maka kegiatan sekolah minggu itu adalah persiapan untuk anak-anak
menerima Perjamuan Kudus.66

3.4 Pemahaman dan Pelaksanaan Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS Semuli jaya
Kelompok Sumber Agung

Disahkannya Perjamuan Kudus bersama anak secara sinodal memang sejak tahun 2005,
namun setelah pihak sinode melakukan sosialisasi ke jemaat-jemaat masih terdapat pro-kontra,
termasuk di jemaat GKSBS Semulijaya Kelompok Sumber Agung. Menurut penuturan Dkn.
Kukuh Walyudi, anggota jemaat di Sumber Agung yang tidak setuju ialah karena anak-anak
membuat suasana gaduh dan anak-anak belum mengerti dengan baik apa itu Perjamuan Kudus,
sehingga orang tua (anggota jemaat dewasa) melaksanakan Sakramen Perjamuan Kudus merasa
terganggu. Meskipun begitu, mayoritas anggota jemaat GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber

65
Wawancara dengan Dkn. Guritno pada tanggal 13 November 2019, pukul 19.00 WIB.
66
Wawancara dengan Ibu Sunarsih (Guru Sekolah Minggu) pada tanggal 14 November 2019, pukul 18.30 WIB.
21
Agung menyetujui dilaksanakannya Perjamuan Kudus bersama Anak ini dan bersepakat
mempraktekkan Perjamuan Kudus bersama anak pada sekitar tahun 2009.67

Dipraktekkannya Ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama Anak di GKSBS


Sumber Agung menunjukkan penerimaan gereja terhadap kehadiran anak-anak di meja
Perjamuan Tuhan. Gereja memahami bahwa anak-anak yang telah dibaptis itu telah disatukan
dalam Kristus dan dalam teks kitab Matius 19:14 dan Lukas 18: 16 juga tertulis, “Biarlah anak-
anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang
seperti itulah yang empunya kerajaan sorga” sehingga ini mendasari bahwa anak-anak tidak
boleh dihalangi untuk menerima Perjamuan Kudus.68 Selain itu Perjamuan Kudus bersama anak
didasari pada praktek perjamuan Paskah dalam teks Perjanjian Lama yang dilakukan oleh
segenap keluarganya. Dalam melaksanakan ritual hal-hal terkait Paskah itu orang tua
mengajarkan hal-hal tersebut kepada anak-anaknya, apa maknanya, apa simbolnya, dan lain
sebagainya. Maka jika ditarik dari perjamuan Paskah orang tua berperan penuh menjelaskan dan
mengarahkan anak bagaimana Perjamuan Kudus itu. Maka disinilah peran orang tua
mengajarkan kepada anak-anaknya apa makna dan bagaimana sikap anak-anak dalam
melaksanakan Perjamuan Kudus.69

Akan tetapi di dalam prakteknya, hadirnya anak-anak di tengah perkumpulan komunitas


iman mendapat masalah terkait dengan apa yang ada dalam diri anak yaitu tingkah laku dan
kemampuan kognitif mereka. Untuk mensiasati terganggunya anggota jemaat dewasa dalam
beribadah, GKSBS Sumber Agung menerapkan pemisahan ruang untuk anak-anak dan orang
dewasa. Sehingga anak-anak tidak duduk bersama dengan orang tua mereka, melainkan duduk
bersama anak-anak yang lain di ruang sekolah minggu. Pemisahan ruang itu dilakukan sejak
dilaksanakannya Perjamuan Kudus bulan 6 tahun 2018.70 Ruang khusus untuk anak-anak itu
dimungkinkan karena gedung gereja GKSBS Sumber Agung cukup luas dan memiliki gedung
sekolah minggu sendiri yang berada di samping gedung utama. Bentuk bangunan menyerupai
huruf L dengan susunan ruang sebagai berikut: ruang utama yang lurus yang terdiri dari mimbar
gereja, tempat duduk majelis dan tempat duduk warga jemaat. Sedangkan ruang yang
menyamping digunakan untuk pastori dan gedung sekolah minggu. Pastori berhadapan langsung
dengan mimbar gereja yang dibatasi tembok. Sedangkan gedung sekolah minggu bersampingan

67
Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi pada tanggal 14 November 2019, pukul 19.00 WIB
68
Wawancara dengan Pnt. Darsono pada tanggal 14 November 2019, pukul 18.00 WIB
69
Wawancara dengan Pdt. Krishermawan Santoso pada tanggal 28 November 2019, pukul 13.00 WIB
70
Wawancara dengan Ibu sunarsih.
22
dengan pastori, berhadapan langsung ruang kosong jarak antara mimbar dan kursi warga jemaat.
Gedung sekolah minggu dilengkapi pintu besar yang dapat dibuka ketika ibadah dan Sakramen
Perjamuan Kudus sehingga anak-anak masih bisa mendengarkan.71

Menurut Pnt. Darsono, Dkn. Guritno, Dkn. Kukuh Walyudi pemisahan ruang itu
dilakukan semata-mata untuk menciptakan kenyamanan bagi orang dewasa dalam beribadah.72
Orang dewasa mendambakan suasana hening dan sakral,73serta kekhusyukan dalam beribadah
dan Perjamuan Kudus.74 Oleh karenanya pemisahan ruang itu dilakukan agar anak-anak tidak
mengganggu anggota jemaat dewasa, sehingga mereka dapat fokus beribadah dan melaksanakan
Sakramen Perjamuan Kudus dengan baik.75 Sebelumnya gereja melaksanakan Perjamuan Kudus
bersama anak tanpa ada pemisahan ruang. Akan tetapi beberapa orang tua mengeluh kepada
majelis setempat bahwa ketika anak-anak bersama orang tua, suasana menjadi gaduh dan kurang
khusyuk beribadah. Kemudian bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung sekolah
minggu, maka pemisahan ruang itu dilakukan dan tanggung jawab pengasuhan anak-anak
dilakukan oleh guru sekolah minggu.76 Pemisahan ruang ini tidak memiliki pertimbangan lain,
selain daripada hal-hal teknis demi kepentingan orang dewasa.

Praktek pemisahan ruang bagi anak-anak dan orang dewasa di GKSBS Sumber Agung
berdampak pada aspek partisipasi anak-anak dalam liturgi ibadah dan Sakramen Perjamuan
Kudus. Bahwasannya, anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh pada keseluruhan ibadah yang
disediakan gereja. Di awal ibadah anak-anak mengikuti liturgi yang disediakan gereja,
menyanyikan lagu PKJ/KJ yang biasa dinyanyikan pada saat ibadah umum. Oleh karena lagu-
lagu tersebut tidak terlalu akrab di telinga anak-anak sekolah minggu, maka sebagian besar anak-
anak menjadi pendengar saja dan ada yang sibuk sendiri. Kemudian ketika memasuki pelayanan
firman, anak-anak diberi kegiatan khusus oleh guru sekolah minggu mereka. Anak-anak dibagi
menjadi dua kelompok atau kelas yaitu kelas kecil dan kelas besar. Kelas kecil terdiri dari anak-
anak usia TK sampai kelas 3 SD (4-8 tahun) dan kelas besar terdiri dari anak-anak kelas 4 SD
sampai 1 SMP (9 -13 tahun). Kelas kecil diberi aktivitas mewarnai atau menggambar, sedangkan
yang kelas besar biasanya diberi pertanyaan-pertanyaan reflektif untuk mereka jawab. Kegiatan

71
Wawancara Ibu Srimulyani pada tanggal 13 November 2019, pukul 18.00 WIB
72
Wawancara dengan Dkn. Guritno pada tanggal 13 November 2019, pukul 19.30 WIB.
73
Wawancara dengan Pnt. Darsono.
74
Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi.
75
Wawancara dengan Ibu Sri Mulyani.
76
Wawancara dengan Dkn. Kukuh Walyudi.
23
atau aktivitas tersebut diberikan kepada anak-anak pada saat pelayanan firman karena anak-anak
dianggap belum mengerti apa yang disampaikan Pendeta pada saat berkhotbah dan untuk
menghindari mereka dari kejenuhan. Pendeta menggunakan bahasa formal dan memakai istilah
yang terlalu tinggi bagi anak-anak. Terkadang pun untuk anggota jemaat dewasa ada yang tidak
paham atau tidak nyambung dengan khotbahnya. Memasuki Sakramen Perjamuan Kudus anak-
anak dihentikan dari segala aktivitas mereka, kemudian menerima roti dan anggur bersamaan
dengan anggota jemaat dewasa. Setelah itu anak-anak mengikuti kembali liturgi yang ada yaitu
bagian penutup ibadah.77 Dengan demikian anak-anak tidak berpartisipasi secara penuh dalam
ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, oleh karena Gereja membatasi partisipasi anak dengan
pertimbangan kemampuan kognitif anak yang belum mampu menerima khotbah yang
disampaikan Pendeta/ pelayan Firman.

4. ANALISA TEORI TERHADAP HASIL PENELITIAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis melihat GKSBS Sumber Agung


memahami Perjamuan Kudus adalah sakramen yang diperuntukkan bagi mereka yang telah
menjadi bagian dari tubuh Kristus melalui Baptisannya, sehingga anak-anak yang telah dibaptis
pun dapat berpartipasi di dalamnya. Akan tetapi, Sakramen Perjamuan Kudus merupakan
sakramen sakral yang memerlukan suasana yang hening dan khusyuk. Hal ini bertolak belakang
dengan landasan teologis Sinode GKSBS yang menerima Perjamuan Kudus bersama Anak.
Sinode GKSBS mengkritisi pelaksanaan Perjamuan Kudus di Gereja Barat yang menekankan ke-
sakral-an dan ke-mistis-an Perjamuan Kudus yang dapat menyebabkan perasaan takut sampai
pada hal-hal kecil. Misalnya saat minum anggur jangan sampai anggur tumpah, karena akan
mendatangkan dosa dsb.78 Justru GKSBS Sumber Agung masih melanggengkan aspek
kesakralan dan keheningan dalam ibadah dan Perjamuan Kudus yang kemudian berdampak pada
penyingkiran anak-anak di tengah perkumpulan jemaat. Menurut Abineno, Perjamuan Kudus
atau Perjamuan Malam yang Kudus adalah perjamuan yang Allah “asingkan” (kuduskan) dan
pakai sebagai alat dalam karya penyelamatanNya. Roti dan anggur adalah makanan dan
minuman rakyat- khususnya di pesta-pesta- di Palestina pada waktu itu. Roti dan anggur ini
Allah “asingkan” (= kuduskan) sebagai alat atau wahana yang Ia pakai untuk memberitakan
karya penyelamatanNya dalam Yesus Kristus.79 Dengan demikian semestinya Perjamuan Kudus

77
Wawancara dengan Ibu Sunarsih.
78
Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII Sinode GKSBS di Bengkulu, 4.
79
J.L. CH. Abineno, Perjamuan Malam (Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982), 9.
24
dipahami sebagai Perjamuan biasa yang Allah kuduskan. Oleh karenanya tidak memerlukan
sikap yang terlalu mensakralkan Perjamuan Kudus itu sendiri.

GKSBS menerima Sakramen Perjamuan Kudus bersama anak juga berlandaskan pada
sikap dan perbuatan Yesus terhadap anak-anak (Matius 19:14, Lukas 18: 16 dan Markus 10: 15)
yang kemudian dimaknai sebagai sikap anti-diskriminatif antar sesama tubuh Kristus. Namun,
dalam pelaksanaan ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung, justru
jemaat membuat kebijakan yang cenderung menunjukkan sikap diskriminatif terhadap anak-
anak. Kebijakan pemisahan ruang merupakan pembedaan antara anak-anak dan orang dewasa,
alih-alih untuk kepentingan anak karena anak dapat belajar bersama teman sebayanya, namun
menurut penulis ini merupakan sikap diskriminatif dengan menyingkirkan anak-anak di tengah
perkumpulan jemaat demi kepentingan orang dewasa.

Seperti halnya dalam tradisi perjamuan Paskah, semsetinya pelaksanaan Perjamuan


Kudus anak duduk bersama orang tuanya. Sependapatan dengan itu, menurut Pdt. Krishermawan
Santoso di dalam pelaksanaan perjamuan Paskah itu dihadiri oleh seluruh anggota keluarga.
Ketika anak-anak duduk bersama orang tuanya, maka itu menjadi kesempatan bagi orang tua
mengajarkan hal-hal terkait Paskah, seperti apa maknanya, menjelaskan simbol yang digunakan,
dan sebagainya. Maka ibadah dan Perjamuan Kudus seharusnya anak-anak bersama orang tuanya
dan orang tua pun berperanan dalam menjelaskan makna Perjamuan Kudus pada anaknya. Teks
Perjanjian Lama Keluaran 12: 26–27 mencatat salah satu tradisi dalam Perjamuan Paskah itu.
Setelah menerima perintah Allah tentang merayakan Paskah, Musa berkata kepada orang-orang,
“Dan ketika anak-anakmu bertanya kepadamu, 'Apa arti ibadah ini bagimu?' Kemudian katakan
kepada mereka, 'Itu adalah korban Paskah untuk TUHAN, yang melewati rumah-rumah orang
Israel di Mesir dan menyelamatkan rumah kami ketika ia membinasakan orang-orang Mesir.'”
Maka berpartipasi dalam Perjamuan Paskah adalah kesempatan untuk mengajar dan mempelajari
makna Paskah dan keselamatan Allah (Keidel, 1975; Stuart, 2006).80 Dengan demikian,
berlandaskan pada praktek perjamuan Paskah maka seharusnya praktek Perjamuan Kudus juga
merupakan kesempatan orang tua untuk mengajarkan kepada anak-anaknya. Adanya pemisahan
ruang bagi orang tua dan anak-anak di GKSBS Sumber Agung, akan sulit untuk proses
pengajaran itu terjadi.

80
Hwarang Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s Supper?: A Perspektif From
Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1 (2013): 40.
25
Persoalan pokok terjadinya pemisahan ruang di GKSBS Sumber Agung ialah unsur
kepentingan satu pihak yaitu orang dewasa yang tidak menginginkan adanya gangguan dari
anak-anak sehingga bersepakat untuk memisahkan ruang dan membebankan tanggung jawab
pengasuhan anak-anak pada guru sekolah minggu. Mercer memberikan solusi yang menurut
penulis relevan terhadap persoalan tersebut. Bahwa komunitas Kristen yaitu segenap jemaat
perlu mengembang diri sebagai komunitas yang terlibat dalam pengasuhan bersama, khususnya
pertemuan mereka dalam ibadah. Sehingga beban pengasuhan tidak hanya untuk orang tuanya
saja (khususnya ibu) dan guru sekolah minggu, akan tetapi setiap orang dewasa yang
disekitarnya terdapat anak, dapat bertanggung jawab atas perawatan, disiplin, dan pengasuhan
anak itu sesuai kebutuhan, sehingga komunitas iman bertanggung jawab untuk menghadiri dan
melatih anak-anak orang lain selama ibadah dan di waktu lain. Dengan melakukan ini, komunitas
mewujudkan komitmen pembaptisan dari anak-anak tersebut yaitu komunitas membantu
membesarkan anak-anak gereja dalam iman dengan cara yang sangat nyata. Sehingga beban
pengasuhan tidak hanya berlaku bagi orang tuanya saja.81. Gereja yang di dalamnya terdapat
orang tua dan anak-anak, mestinya tidak hanya mementingkan kepentingan satu pihak saja. Oleh
karena itu, ketika Gereja menerima anak-anak dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus
maka Gereja juga menerima dan bertanggung jawab bersama pada beban pengasuhan anak-anak,
bukan hanya orang tua dan guru sekolah minggu saja.

Pemisahan ruang ketika ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber
Agung berdampak pada partisipasi anak-anak dalam liturgi Gereja. Anak-anak tersebut tidak
sepenuhnya berpartisipasi dalam ibadah dikarenakan Gereja telah memberikan aktivitas khusus
bagi anak-anak pada saat pelayanan firman berlangsung. Pemberian aktivitas bertujuan untuk
menghindarkan mereka dari kebosanan yang dapat memunculkan keributan dan karena mereka
pun dianggap belum memahami apa yang dikhotbahkan. Pemberian aktivitas tersebut memiliki
dampak positif yaitu membuat anak-anak menjadi lebih senang, tidak bosan, meningkatkan
kreativitas dengan anak-anak mewarnai atau menggambar, dan juga mengolah daya pikir anak-
anak, khususnya anak-anak kelas besar yang mana mereka diberi pertanyaan-pertanyaan. Akan
tetapi disisi lain, kebijakan pemberian aktivitas dengan alasan diatas, dapat mendiskreditkan
anak-anak dalam komunitas Kristen. Alih-alih untuk kebaikan anak, kebijakan ini justru
membuat anak-anak tidak menerima apa yang semestinya didapatkan sebagai anggota komunitas
Kristen. Anak-anak tidak menerima kesempatan yang sama dengan orang dewasa untuk

81
Joyce Ann Mercer, Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood (St. Louis, MO: Chalice, 2005), 232.
26
menerima Firman yang disampaikan oleh pelayan Firman. Dengan demikian, penulis melihat
anak-anak menjadi bagian yang terpisah dari komunitas Kristen dan kehadirannya sebagai
pelengkap dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus itu.

Menerapkan pemisahan ruang dan partisipasi yang tidak penuh anak-anak kehilangan
kesempatan untuk menghayati dan memaknai ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus bersama
anggota komunitas iman lainnya. Gereja perlu mempertimbangkan pendapat Piaget dan Fowler
yang menyarankan agar anak-anak perlu memiliki pengalaman dan interaksi sosial karena dapat
berpengaruh terhadap perkembangan kognitif dan iman anak-anak. Jika Gereja mengharapkan
anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan identitas komunitas imannya, maka
semestinya anak-anak tidak dijauhkan dari perkumpulan komunitas imannya itu sendiri.
Vygotsky berpendapat bahwa dengan berpartisipasi dalam ibadat umum atau sakramen, anak-
anak kecil dapat mempelajari isi dan karakter iman Kristen dan dapat mengalami perkembangan
batin. Dengan berpartisipasi dengan orang tua dan anggota keluarga mereka, mengajukan
pertanyaan tentang makna ibadah dan iman, dan pada saat yang sama menerima instruksi dari
orang dewasa, mereka dapat mengalami ibadah yang mendalam di luar status pemahaman
mereka.82 Maka, Gereja perlu membuka kesempatan bagi anak-anak bersama orang tua dan
anggota jemaat lainnya untuk berpartisipasi penuh dalam ibadah dan sakramen. Sebab pemisahan
ruang dan partisipasi yang berbeda bagi anak-anak, tidak hanya membuat mereka menjadi kaum
marginal di komunitas imannya, tetapi juga Gereja kehilangan kesempatan untuk mendorong
pembentukan identitas anak karena anak-anak tidak memiliki pengalaman langsung untuk belajar
dan menghayati imannya bersama komunitas iman pada umumnya. Selain itu, Gereja
menghilangkan kesempatan bagi para orang tua untuk membimbing dan mengajarkan iman
Kristen kepada anak-anaknya. Seperti yang disampaikan oleh Vygotsky, dengan melibatkan
orang tua dan keluarganya, anak-anak akan dapat mengalami pengalaman beribadah yang
mendalam. Sebab orang tua dan keluarga dari anak-anak itu lebih memiliki kedekatan batin dan
biasanya lebih orang tua lebih mengerti bagaimana menyampaikan penjelasan hal-hal terkait
ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus kepada anak-anak mereka.

82
Moon, “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord’s Supper?,” 40.
27
5. PENUTUP

5. 1 Kesimpulan

Gereja adalah milik semua orang yang telah menjadi bagian dalam tubuh Kristus, baik
mereka yang sudah dewasa maupun anak-anak. Kebijakan apapun dalam Gereja mestinya untuk
kepentingan bersama, bukan kepentingan sepihak. Pemisahan ruang untuk anak-anak dalam
ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus di GKSBS Sumber Agung merupakan upaya
marginalisasi anak-anak dalam komunitas iman mereka, yang berlandaskan pada kepentingan
orang dewasa. Pemisahan ruang juga menunjukkan bahwa komunitas iman tersebut melepaskan
tanggung jawab atas pengasuhan anak-anak dengan membebankan tanggung jawab itu pada guru
sekolah minggu. GKSBS Sumber Agung belum menerima sepenuhnya anak-anak dan apapun
yang melekat pada mereka, termasuk kemampuan kognitif dan pemahaman iman mereka yang
masih dalam tahap perkembangan. Sehingga membuat anak-anak tidak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam ibadah dan sakramen Perjamuan Kudus. Berbeda pandangan
dengan para ahli seperti Piaget, Fowler, dan Vygotsky dan Mercer, bahwa justru dengan
berpartisipasi dalam praktek inti jemaat dan dengan bimbingan oleh orang tua dan anggota
jemaat lainnya mendorong perkembangan iman yang lebih mendalam dan menentukan
identitasnya sebagai orang Kristen.

5.2 Saran

1. GKSBS Sumber Agung perlu memaknai ulang dari kehadiran anak-anak dalam Perjamuan
Kudus bersama anak di GKSBS. Sehingga diharapkan dapat mengubah mindset atau cara
berpikir orang dewasa di jemaat terhadap kehadiran anak-anak dalam ibadah dan Sakramen
Perjamuan Kudus.

2. GKSBS Semuli Jaya kelompok Sumber Agung semestinya tidak memisahkan ruang antara
anak-anak dan orang dewasa dalam ibadah dan Sakramen Perjamuan Kudus, karena merupakan
tindakan yang tidak mencerminkan penerimaan atas kehadiran anak-anak dalam ibadah dan
Sakramen Perjamuan Kudus.

3. Seluruh anggota jemaat dewasa perlu bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anak,
membimbing dan mengajarkan mereka sebagai proses pembentukan identitas Kristen. Sehingga
tanggung jawab ini, tidak hanya dibebankan pada orang tua atau guru sekolah minggu saja.

28
4. Gereja perlu membuka kesempatan yang sama bagi anak-anak untuk berpartisipasi aktif dalam
praktek inti jemaat, sehingga tidak melulu didominasi oleh anggota jemaat dewasa.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Syukur, Nico. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.


2. Van Niftrik, G.C. dan B.J. Boland. Dogmatika Masa kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
3. Kirchberger, George. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Flores, NTT: Nusa Indah,
1991.

4. J.L. CH. Abineno. Perjamuan Malam. Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia, 1982.

5. “Profil”, Sinode GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 16.45,
http://gksbs.org/?page_id=2.

6. “Tentang Perjamuan Kudus Anak”, GKSBS, diakses pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 17.30,
https://gksbs.org/?p=2340

7. Tata Gereja GKSBS 2015.

8. Prof. Dr. H. Kaelan, M.S. Metode Penelitian Kualitatif Interdisipliner bidang Sosial, Budaya,
Filsafat, Seni, Agama dan Humaniora. Yogyakarta: Paradigma, 2012.
9. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods).
Bandung: Alfabeta, 2012.
10. C. Groenen OFM, Sakramentologi: Ciri Sakramental Karya Penyelamatan Allah Sejarah,
Wujud, Struktur. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

11. Venema, Cornelis P. Children at the Lord’s Table? : Assessing the Case for
Paedocommunion. Grand Rapids: Reformation Heritage Books, 2009.

12. Gallant, Tim. Feed My Lambs: Why the Lord’s Table Should Be Restored to Covenant
Children. Canada: Pactum Reformanda Publishing, 2002.

13. Meyers, A. Ruth. “Infant Communion: Reflections on the Case from Tradition,” Anglican
and Episcopal History, Vol. 57, No. 2 (June 1988): 162.

14. Adiprasetya, Joas. Labirin Kehidupan: Spritualitas Sehari-hari Bagi Peziarah Iman. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2016.

15. Bokser, Baruch M. The Origins of The Seder: The Passover Rite and Early Rabbinic
Judaism. Berkeley: University of California Press, 1984.

30
16. Moon, Hwarang. “When Is It Appropriate For Children To Participate In The Lord‟s
Supper?: A Perspektif From Developmental Theory,” Christian Education Journal 10, no. 1
(2013): 40.

17. St. Darmawijaya, Pr, Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

18. Berg, C. Van den. Sungguh Merekalah Umat-Ku. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
2011.

19. Windaryanto, Aris. Sakramen Perjamuan bagi Anak: Telaah Atas Keikutsertaan Anak –anak
Dalam Perjamuan Kudus. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012.
20. Jahja, Yudrik. Psikologi perkembangan. Jakarta: Kencana, 2011.

21. Suparno, Paul. Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

22. Papalia, Diane E. Human Development: Psikologi Perkembangan. Diedit oleh A.K.Anwar.
Jakarta: Kencana, 2008.

23. Mercer, Joyce Ann. Welcoming Children: A Practical Theology of Childhood. St. Louis,
MO: Chalice, 2005.
24. E. Hoogerwerf. Gereja di tanah seberang: Lahirnya dan Berkembangnya Gereja Kristen
Jawa di Sumatera Selatan. Diedit oleh. S.L. Tobing. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
25. GKSBS. Buku Putih Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan.
26. GKSBS. Dokumen Dalam Rangka Sosialisasi Liturgi baru hasil keputusan Sidang VII
Sinode GKSBS di Bengkulu.

31

Anda mungkin juga menyukai