Anda di halaman 1dari 25

GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM PERJAMUAN KUDUS

(Tinjauan Kritis Teologis Atas Ketidaksetujuan Majelis Sinode GMIT Terhadap


Keikutsertaan Anak dalam Perjamuan Kudus)

1.1 Latar Belakang


Perjamuan Kudus adalah sebuah ritus keagamaan yang dilakukan secara periodik
oleh umat Kristen. Perjamuan Kudus memiliki sebuah kebiasaan yaitu meminum anggur
dan memakan roti. Roti dan anggur dimaknai sebagai lambang tubuh dan darah Kristus
yang telah dikorbankan untuk manusia dan sebagai lambang keselamatan dari dosa.
Dengan demikian, Perjamuan Kudus bukan hanya sekedar ritus dalam kehidupan orang-
orang percaya akan tetapi merupakan sebuah lambang keselamatan dan penghayatan
iman orang Kristen.

Perjamuan Kudus merupakan sebuah sakramen yang secara periodik dan wajib
dilakukan oleh komunitas kristen. Perjamuan Kudus atau bisa disebut Ekaristi adalah
―To Give Thanks‖ (ucapan syukur), kata ini dalam bahasa Yunani Ecurishtia.1 Kata
ekaristi digunakan untuk menunjuk seluruh pelayanan sakramen Perjamuan pada tiga
abad pertama sejarah gereja. Kata ekaristi mengungkapkan pujian syukur atas karya
penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus, dalam peristiwa wafat dan
kebangkitan Kristus. Dengan pujian syukur tersebut, gereja mengenang misteri
penebusan Kristus itu sekarang kini dan di sini.2 Perjamuan Kudus sebagai sakramen
dipelopori oleh Yesus dan para murid-Nya sebelum Yesus melakukan pengorbanan.
Dalam Perjamuan itu dikenal adanya sebuah jamuan makan roti dan minum anggur.3

Istilah ―Perjamuan Kudus‖ yang sering digunakan oleh Gereja-gereja di


Indonesia yang bermakna Perjamuan yang Allah asingkan (khususkan, kuduskan) dan

1
Robert Benedetto, The New Westminster Dictionary of Church History: The early, medieval, and Reformation
eras (London: Westminster John Knox Press, 2008), 231.
2
Aris Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak: telaah atas keikutsertaan anak-anak dalam
Perjamuan Kudus (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 12-13.
3
Benedetto, The New Westminster Dictionary of Church History: The early, medieval, and Reformation eras,
231.
pakai sebagai alat dalam karya penyelamatan-Nya.4 Berkaitan dengan itu Perjamuan
Kudus adalah salah satu cara Allah mewujudkan seluruh rencana keselamatan bagi umat
ciptaannya. Maka, melalui Perjamuan Kudus manusia sebgai ciptaan-Nya dapat
menghayati rencana keselamatan Allah.

Pada masa Tuhan Yesus, Perjamuan itu dipersiapkan menurut peraturan yang
lazim untuk sekurang-kurangnya 10 orang. Perayaan itu terdiri dari: pertama, ditandai
dengan pembukaan oleh kepala rumah tangga dengan mengucapkan rumusan-tabhisan
perayaan paskah, kemudian cawan pertama diminum dan makanan dihidangkan tetapi
belum dimakan serta cawan kedua diisi tetapi belum diminum. Kedua, liturgi paskah
yang dimulai dengan penjelasan atas pertanyaan anak sulung mengenai makna dari
makanan yang dihidangkan, dilanjutkan dengan nyanyian pertama dari mazmur 13-114
dan cawan kedua diminum. Ketiga, Perjamuan sesungguhnya di mana kepala keluarga
mengucapkan doa dan memecah-mecahklannya dan memberikannya kepada anggota
keluarga untuk turut merayakan. Roti dan anggur dimakan dan diminum bersama-sama
oleh seluruh anggota keluarga. Pengucapan berkat atas cawan ketiga. Sehingga cawan itu
disebut cawan berkat atau cawan puji-pujian. Keempat, bagian penutup di mana
menyanyikan nyanyian bagian kedua dari mazmur 115-118 dan ucapan puji-pujian atas
cawan keempat. 5

Dengan melihat pada tradisi dan asal-usul katanya, ekaristi merupakan doa berkat
dalam Perjamuan makan Yahudi yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga sehingga
keterlibatan anak-anak dalam ekaristi ini perlu diperhatikan. Ketika ekaristi dimaknai
sebagai ucapan syukur, tentu anak-anak pun perlu dilatih dan dibiasakan untuk
melakukannya.6 Olah sebab itu Perjamuan Kudus tidak hanya dilakukan oleh warga sidi
jemaat akan tetapi oleh seluruh anggota jemaat termasuk anak-anak di dalamnya.

Dalam praktik yang berlangsung pada gereja-gereja saat ini, umumnya Perjamuan
Kudus hanya dapat diikuti oleh jemaat yang telah diteguhkan sebagai warga sidi jemaat.
Jemaat yang telah mengaku iman percaya mereka secara pribadi kepada Yesus yang
diikutsertakan dalam sakramen Perjamuan Kudus. Anggota sidi adalah mereka yang

4
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi anak-anak, 9.
5
J. L. Ch. Abineno, Pemberitaan Firman pada Hari-hari Khusus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1981), 137-8.
6
Widaryanto, Sakramen Perjamuan Bagi Anak-anak,13.
masuk dalam kategori orang dewasa yang telah melalui pembinaan iman. Maka dalam
praktik kehidupan bergereja saat ini Perjamuan Kudus masih dibatasi oleh kategori usia.

Sehubungan dengan itu maka perlu adanya transformasi pemahaman tentang


Perjamuan Kudus yang hanya boleh diikuti oleh anggota sidi. Pemahaman Perjamuan
Kudus yang bukan hanya diikuti oleh anggota sidi melainkan juga mengikutsertakan
anak-anak. Maka dengan demikian Perjamuan Kudus yang merupakan lambang
keselamatan memiliki sifat universal yang menjangkau seluruh orang-orang percaya.

Pandangan yang demikian sesungguhnya telah dirintis sejak lama oleh bapak
gereja mula-mula yakni Agustinus yang mengatakan:

Mereka yang berkata bahwa masa kanak-kanak tidak terhubung dengan Yesus
untuk diselamatkan, sesungguhnya sedang menolak bahwa Kristus adalah Yesus
bagi semua kanak-kanak orang percaya … Nah, sekarang, jika Anda dapat
menerima pemahaman bahwa Kristus bukanlah Yesus bagi setiap orang yang
telah dibaptis, maka penulis tidak yakin iman Anda dapat diakui berpadanan
dengan ajaran yang benar. Ya, mereka kanak-kanak, namun mereka adalah
anggota [tubuh]-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka menerima sakramen-
sakramen-Nya. Mereka kanak-kanak, namun mereka berperan di Meja-Nya, agar
mereka memperoleh kehidupan di dalam diri mereka. (Sermon 174.7)‖ ―Jadi
siapa yang dapat meragukan bahwa di dalam istilah dunia semua oranglah yang
diindikasikan memasuki dunia dengan terlahir? … Dari semua ini berlanjut,
bahwa bahkan bagi kehidupan kanak-kanak tubuh-Nya diberikan, yang Ia berikan
bagi kehidupan dunia; dan bahwa bahkan mereka mereka—kanak-kanak itu—
tidak akan mendapatkan kehidupan jika mereka tidak memakan tubuh Anak
Manusia... (On Merit III.27).7

Melalui argumentasi tersebut Agustinus menyatakan bahwa anak-anak pun dapat


diikutsertakan dalam Perjamuan Kudus, karena Perjamuan Kudus dimaknai sebagai
lambang keselamatan bagi seluruh umat termasuk anak-anak. Agustinus memahami
bahwa Perjamuan Kudus tidak terbatas oleh kategori usia ataupun peneguhan sidi.
Menurut Agustinus Pejamuan Kudus dapat diterima oleh semua orang termasuk anak-
anak. Hal itu dikarenakan setiap orang termasuk anak-anak merupakan bagian dari tubuh
Kristus yang berhak menerima kehidupan dalam diri mereka melalui Perjamuan Kudus.
Maka dari itu, Perjamuan Kudus merupakan hak setiap anggota tubuh Kristus.

7 Joas Adiprasetya, “PAEDOCOMMUNION: Perjamuan Kudus Kanak-kanak”, diakses 12 Maret 2017


http://gkipi.org/paedocommunion-Perjamuan-kudus-kanak-kanak/ .
Sehubungan dengan itu walaupun Agustinus sebagai bapak gereja telah
memberikan afirmasi akan keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus akan tetapi
Gereja Masehi Injili di Timor masih belum mengikutsertakan anak-anak dalam
Perjamuan Kudus. Fenomena ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti
pemahaman teologi yang dianut oleh gereja, tafsir terhadap Alkitab, tradisi gerejawi dan
banyak faktor lainnya yang relevan dengan dasar pelaksanaan Perjamuan Kudus.

Hal ini ialah fakta yang menarik bagi penulis untuk diteliti. Maka dari itu, dalam
tulisan ini penulis akan mencoba menggali pemahaman Gereja Masehi Injili di Timor
tentang Perjamuan Kudus. Secara khusus, penulis akan mengkaji secara sistematis dan
menganalisis secara mendalam mengenai pemahaman GMIT, dalam hal ini Majelis
Sinode, terhadap pemaknaan Perjamuan Kudus sehingga GMIT belum melibatkan anak
dalam Perjamuan Kudus.

1.2 Pembatasan Masalah


Adapun dari pembahasan di atas nampak jelas bahwa banyak aspek yang dapat dikaji
terkait tidak dilaksanakannya praktik Perjamuan anak di GMIT. Namun, tentu penelitian ini
perlu diarahkan pada pembahasan yang lebih spesifik. Maka, di sini penulis akan membatasi
pembahasan dengan melihat bagaimana Majelis Sinode GMIT memaknai Perjamuan Kudus
dan mengapa GMIT tidak melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

1.3 Rumusan masalah


Dewasa ini banyak dibicarakan tentang boleh tidaknya anak-anak dilibatkan dalam
Perjamuan Kudus. Perdebatan tentang hal ini terjadi pada dua tataran yakni tataran teoritik
dan praktik liturgis. Di Indonesia juga demikian. Beberapa orang melalui tulisan dan
pemikirannya telah membahas hal ini.
Bagi kita di Indonesia, Pdt. Aris Widaryanto dan Pdt. Joas Adiprasetya adalah para
teolog yang serius menggali dan berbicara tentang keikutsertaan anak dalam Perjamuan
Kudus. Widaryanto berbicara tentang pentingnya mengikutsertakan anak dalam Perjamuan
Kudus karena menurutnya anak-anak yang telah dibaptis merupakan bagian dari persektuan
orang orang-orang percaya. Secara praktis beliau menghimbau agar anak-anak diikut sertakan
dalam praktik Perjamuan Kudus. Adiprasetya mengatakan: ―jika Perjamuan tanpa melibatkan
anak-anak ini diterus diterapkan maka gereja akan menimbulkan korban. Anak-anak akan
menjadi korban karena ketika mereka belum bisa memehami secara baik apa makna dari roti
dan anggur tersebut maka mereka belum bisa ambil bagian dalam Perjamuan tersebut‖8.
Maka dari itu, penelitian tentang keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus sangat penting
untuk dikaji lebih jauh.
Sehubungan dengan itu, ketidak ikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus juga tidak
terlepas dari sejarah perpecahan gereja Barat menjadi dua kubu yaitu Protestan dan Katolik.
Kebanyakan gereja Protestan, termasuk gereja Prostestan di Indonesia, mengaku sebagai
gereja beraliran Calvinis dan mempraktikkan pemikiran Johanes Calvin. Dalam ajaran
Calvin, anak-anak tidak boleh diikut sertakan dalam Perjamuan Kudus. Anak –anak
dipandang belum bisa menghormati roti dan anggur tersebut. Jadi, bisa dilihat bahwa ada
perbedaan pandangan terhadap keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus di beberapa
gereja.
Demikan halnya GMIT sebagai salah satu gereja Protestan di Indonesia dalam praktik
yang ada belum membolehkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus. Tentu ada banya faktor
yang membuat GMIT belum melibatkan anak dalam Perjamuan Kudus. Salah satunya karena
GMIT mengakui sebagai gereja yang memanfaatkan dan meneruskan ajaran-ajaran Johanes
Calvin. Mengingat, seperti dikatakan di atas, Calvin tidak membolehkan anak-anak
mengikuti Perjamuan, hingga kini di GMIT anak-anak juga dilarang mengikuti Perjamuan
Kudus.
Oleh karena itu dalam penulisan tugas akhir (TA) ini akan dipersoalkan sejauhmana
GMIT dengan warisan tradisi pemahaman tentang perjamuan dan pemahamannya tentang
perjamuan yang terdapat dalam berbagai dokumen dimungkinkan merekonstruksi
pandangannya sehingga anak-anak dapat diukutsertakan dalam ibadah Perjamuan Kudus
yang dilakukan di GMIT. Untuk itu, penulis ingin mengajukan pertanyaan penelitian sebagai
berikut.
1. Bagaimana pandangan Majelis Sinode GMIT tentang Keikutsertaan anak dalam
Perjamuan Kudus?

2. Bagaimana keberatan-keberatan TeologisGMIT terhadap keikutsertaan anak-anak


dalm perjmauan kudus?.

8
Pernyataan ini diambil dari video khotbah yang diunggah di
https://www.youtube.com/watch?v=pkLrQhcR4cc, menit 16:40.
1.4 Tujuan Penelitian
Tugas Akhir yang berjudul GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM
PERJAMUAN KUDUS (Studi Sosio-Teologis Perihal Penolakan Majelis Sinode GMIT
Terhadap Keikutsertaan Anak Dalam Perjamuan Kudus) ini ditulis dengan tujuan sebagai
berikut:

1. Membedah pandangan GMIT terkhusus tentang kekutsertaan anak-anak dalam


Perjamuan Kudus.

2. Mencoba untuk memperlihatkan keberatan-keberatan teologis yang ada di GMIT


sehingga GMIT tidak melibatkan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

1.5 Manfaat penelitian

1. Bagi sinode Gereja Masehi Injili di Timor, penelitian ini dapat dijadikan sumbangsi
pemikiran bagi Gereja Masehi Injili di Timor untuk melaksanakan Perjamuan bagi
anak-anak
2. Bagi fakultas, penelitian ini dapat digunakan sebegai referensi pengajaran
matakuliah dogmatika.

1.6 Metode penelitian


Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode penelitian kualitatif.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara. Wawancara dilakukan secara tidak
terstruktur untuk menanyakan secara mendalam maksud dan penjelasan dari informan atau
narasumber.9 Sedangkan data sekunder akan diperoleh melalui buku-buku yang mendukung
pembahasan topik ini.

1.7 Sistematika Penulisan


Tugas akhir yang berjudul ―GMIT DAN KEIKUTSERTAAN ANAK DALAM
PERJAMUAN KUDUS

9
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Gramedia, 1997), 129
(Studi Sosio-Teologis Perihal Penolakan Majelis Sinode GMIT Terhadap Keikutsertaan Anak
Dalam Perjamuan Kudus) akan di bagi ke dalam lima bagian. Maka setelah pendahuluan ,
pada bagian kedua penulisakan membahas tentang sejarah Perjamuan Kudus. Berikutnya
akan membahas tentang praktik Perjamuan Kudus dan kemudian akan di bahas tentang
makna Perjamuan Kudus. Pada bagaian ketiga penulis akan mendeskripsikan pandangan
Majelis Sinode GMIT tentang Perjamuan Kudus kemudian pandangan Majelis Sinode GMIT
tentang Keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus . Kemudian pada bagian keempat
penulis akan menganalisa mengapa dalam Perjamuan Kudus Majelis Sinode GMIT belum
mengikutsertakan anak-anak. Pada bagian ini penulis akan menganalisis pandangan Majelis
Sinode GMIT tentang keikut sertaan anak berdasarkan teori sejarah, praktik dan makna
Perjamuan Kudus. Penulis berharap dalam bagian ini akan melahirkan pandangan baru
tentang Perjamuan Kudus dan keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus bagi GMIT.
Terakhir penulis akan membuat kesimpulan kecil.

Perjamuan Kudus :

1. Makna Perjamuan Kudus


Perjamuan Kudus merupakan salah satu sakramen yang dilakukan dalam Gereja
Protestan. Kata sakramen berasal dari kata sacramentum yang memiliki dua arti. Pertama,
sumpah prajurit yaitu sumpah kesetiaan yang harus diucapkan dihadapan panji-panji kaisar.
Kedua, uang tanggungan yang lama diletakan di kuil oleh dua golongan yang sedang
berperkara. Siapa yang kalah dalam perkara ini, akan kehilangan uang nya. Oleh karena itu
maka kata ―sakramen‖ yang dijabarkan dari kata sacer kudus mengandung juga arti
perbuatan atau perkara yang rahasia, yang kudus, yang berhubungan dengan para dewa.
Berhubungan dengan itu, kata sacramentum kemudian dipandang sebagai terjemahan dari
kata Yunani mysterion. Menurut gereja reformasi, hanya ada dua sakramen yaitu baptisan dan
Perjamuan Kudus. Ajaran gereja reformasi mengenai sakramen berpusat pada pengertian
sacramentum/mysterion atau rahasia. Maka dapat didefinisikan Sakramen sebagai suatu
mysterion sebab di dalam sakramen itu senantiasa ada karunia yang baru yang dicurahkan.10

10
Dr. H. Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1982), 424.
Berbagai Istilah sakramen saat ini digunakan untuk menyebut pelayanan Perjamuan
Kudus, di antaranya Perjamuan Kudus, perjamuan Tuhan, misa, Perjamuan Kudus,
pemecahan roti, serta kurban dan persembahan. Istilah-istilah ini menggambarkan bahwa
pemahaman pelayanan sakramen yang berkembang di jemaat sangatlah beragam. Begitu juga
istilah Perjamuan Kudus sering digunakan oleh gereja-gereja di Indonesia. Kata-kata tersebut
bermakna perjamuan yang Allah asingkan dan pakai sebagai alat dalam karya penyelamatan-
Nya. Sedangakan istilah ―Perjamuan Tuhan‖ di dalam Alkitab biasanya dihubungkan dalam
makna eskatologis Perjamuan Kudus. Istilah ini digunakan dalam hubungannya dengan
perjamuan malam terakhir Yesus bersama murid-muridNya, tetapi tidak dipakai sebagai
istilah Perjamuan Kudus. 11
Pemecahan roti sebenarnya merupakan istilah yang menunjuk pada tindakan para
kepala keluarga Yahudi pada awal perjamuan makan dalam rangka doa syukur singkat
sebelum makan. Istilah ini digunakan untuk menyebut pelayanan Perjamuan Kudus karena
pernah ada pandangan jemaat yang sangat menekankan pemecahan roti tersebut sebagai
lambang kesatuan jemaat dengan Tuhan dan sesama. Istilah kurban dan persembahan pada
masanya menjadi populer karena berkaitan dengan situasi gereja perdana yang menekankan
aspek persembahan material yang dibawa umat ke altar sebagai reaksi atas aliran bidaah
genostisisme.12

2. Perkembangan Pelayanan Perjamuan Kudus Kudus

Perjamuan Kudus dirayakan sejak ada gereja di dunia ini. Oleh sebab itu wajarlah
gereja-gereja Protestan merayakan Perjamuan Kudus juga, sama seperti Gereja Katolik
Roma. Hal itu perlu ditegaskan karena timbul kesan bahwa ada perbedaan antara misa atau
ekaristi di gereja Roma sangat berbeda dengan ‗Perjamuan Kudus‖ di gereja Protestan.
Namun dua-duanya bertolak dari perjamuan yang dirayakan oleh Yesus dengan murid-murid-
Nya dan oleh jemaat mula-mula. Ajaran Gereja Katolik Roma mengenai Perjamuan Kudus
berakar dalam zaman gereja kuno.13 Sehingga dalam bagian ini penulis akan memperlihatkan
perkembangan pelayanan Perjamuan Kudus dari Gereja perdana sampai pada abad
pertengahan.

11
Aris Widaryanto, Perjamuan Kudus bagi Anak-anak (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012), 9-10.
12
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 14-15
13
Christian de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 211-212.
Perjamuan Kudus Pada Masa Gereja Perdana

Perkembangan pelayanan Perjamuan Kudus yang dimulai pada masa gereja perdana
diwarnai oleh tanggapan beberapa tokoh, di antaranya C.J Den Heyer, E. Martasudjita, J.
Jeremias, dan I.H Enklar. C.J den Heyer dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa
pelayanan Perjamuan Kudus belum mendapat tempat yang sentral dalam gereja perdana.
Sehingga wajar apabila pada saat itu Perjamuan Kudus hanya dilakukan sekali setahun
terutama dalam jemaat yang warganya terdiri dari orang-orang Yahudi atau orang Kristen
Yahudi. Namun menurut E. Martasudjita, pelayanan Perjamuan Kudus sudah dilaksanakan
oleh gereja sejak awal kelahirannya. Menurutnya pelayanan Perjamuan Kudus dalam gereja
perdana tersebut berakar dalam perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa,
perjamuan malam terakhir Yesus bersama dengan para murid-Nya dan perjamuan makan
bersama Yesus yang bangkit pada saat penampakan-Nya. Menurut C.J Den Heyer, asal usul
memecahkan roti tidak selayaknya dicari dalam Perjamuan Paskah Yahudi, tetapi dalam
perjamuan kasih yang bermakna sangat esensial. J. Jeremias juga mengungkapkan pendapat
yang sama. Menurutnya Gereja Perdana tidak merayakan sakramen satu tahun sekali menurut
ritual paskah, tetapi mereka melaksanakannya menurut tata cara mereka dan setiap hari
Tuhan (minggu).14
Menurut bentuknya yang paling awal dan tertua, pada masa Gereja Perdana, pelayanan
Perjamuan Kudus disatukan dengan perjamuan makan yang biasa disebut Agape. Perjamuan
Kudus dilaksanakan menurut model perjamuan malam terakhir Yesus bersama para murid-
Nya yaitu diawali dengan doa berkat atas roti sebelum perjamuan, lalu perjamuan makan
yang sungguh-sungguh dan akhirnya doa berkat atas piala pada akhir perjamuan. Di
kemudian hari bagian doa berkat atas roti digabungkan dengan bagian doa berkat atas piala
sehingga membentuk suatu kesatuan Perjamuan Kudus. Tetapi akibat dari penyatuan tersebut,
maka terjadi pemisah antara Perjamuan Kudus dan perjamuan makan. Perjamuan makan
diadakan pada hari sabtu malam dan Perjamuan Kudus dilaksanakan pada hari minggu pagi
saat sebelum fajar.15

14
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 30-31.
15
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 32.
Perjamuan Kudus Pada Masa Bapa-bapa Gereja

Sesudah masa para Rasul, terjadilah perubahan-perubahan besar dalam kehidupan


jemaat Kristen pada saat itu. Baptisan menjadi pintu masuk bagi orang-orang yang ingin
menjadi anggota gereja. Tata cara kebaktian pun mulai ditetapkan dan lambat laun kebaktian
dilaksanakan dengan liturgi yang lengkap. Setiap hari minggu diadakan Perjamuan Kudus
untuk seluruh anggota jemaat, termasuk anak-anak.16
Ignatius (98-117) memahami dan mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus adalah saluran
yang penting bagi seluruh umat Kristen untuk menerima anugerah Allah. Dia mengakui dan
mengajarkan bahwa elemen Perjamuan Kudus itu adalah visualisasi dari tubuh dan darah
Kristus yang dikorbankan untuk memberi hidup yang kekal bagi umat yang percaya padanya.
Yustinus Martir (110-165), mengajarkan bahwa setiap umat Kristen harus mengikuti
Perjamuan Kudus dan tidak memandang anggur dan roti hanya sebagai anggur dan roti biasa.
Karena ketika pemimpin kebaktian mengucapkan kata-kata syukur maka roti dan anggur itu
menjadi tubuh dan darah Kristus. Irenius (140-195) mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus
sebagai sarana ibadah harus diterima oleh seluruh umat yang percaya kepada Yesus Kristus.
Roti dan anggur pun dimaknai sebagai sesuatu yang riil. Ketika umat menerima roti dan
anggur, maka mereka telah menerima tubuh dan darah Kristus. Perjamuan Kudus sebagai
obat atau ragi yang lama kelamaan akan mengubah sifat dan karakter kemanusiaan menjadi
lebih baik. Sehingga orang yang menerima Perjamuan Kudus kudus perlu mempersiapkan
diri te rlebih dahulu.17
Tertullianus (160-225) adalah orang pertama yang menggunakan istilah sakramen.
Menurutnya sakramen adalah barang suci yang menyatakan keselamatan. Dalam Perjamuan
Kudus, roti dan anggur adalah barang kudus yang menguduskan setiap orang yang percaya
kepada Kristus. Cyrillus pada tahun 348 menulis ―Catechese-catechese‖ yang berisi tentang
watak dan pengajaran agama Kristen. Dia mengajarkan bahwa selama menjadi calon sidi,
seseorang sama sekali tidak diperkenankan turut ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.
Namun pada masanya Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa sakramen adalah firman
yang kelihatan. Menurutnya, pada saat roti dan anggur perjamuan dibagikan, firman Allah
diikutsertakan.18

16
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 34.
17
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 35.
18
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37.
Perjamuan Kudus Pada Abad Pertengahan

Sejak abad VIII, liturgi gereja telah mengarah kepada pembakuan. Akibatnya juga
terjadi kecenderungan penyeragaman pelayanan Perjamuan Kudus menurut ritus Romawi.
Pada abad IX dengan semangat pembaharuan, Paus Gregorius VII (1073-1085) mengadakan
konsolidasi dalam keseluruhan hidup gereja, terutama di bidang liturgi. Ia mengharuskan
semua Uskup di seluruh gereja barat menggunakan liturgi Romawi. Dengan demikian misa
kudus ritus Romawi diberlakukan di seluruh Gereja Barat. Praktik pelayanan Perjamuan
Kudus pada abad pertengahan juga diwarnai oleh zaman Gotik (abad XII-XIV) yang sangat
menekankan segi individual, subjektif dan etis. Sejak abad pertengahan, pelayanan
Perjamuan Kudus bahkan cenderung dikurangi. Sampai-sampai Konsili Lateran IV (1215)
menyatakan agar menyambut pelayanan sakramen paling kurang sekali setahun dan roti
perjamuan diterima melalui lidah dan bukan melalui tangan.19
Hal tersebut didasarkan pada pengajaran spiritualitas yang sangat menekankan
kekudusan dan kesucian Sakramen Mahakudus serta peristiwa kehadiran Tuhan dalam rupa
roti dan anggur. Akibatnya anak-anak tidak diizinkan ikut serta dalam pelayanan Perjamuan
Kudus. Mereka dianggap belum dapat atau belum mampu menghayati semua itu dengan baik.
Dua tokoh yang berperan dalam perubahan ini adalah Petrus Lambordus dan Thomas
Aquinas.20

Keikutsertaan Anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

Pelibatan anak-anak dalam Perjamuan Kudus Kudus sejak awal hingga saat ini,
merupakan sebuah pembicaraan yang serius. Sejak awal gereja perdana, anak-anak
diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Namun dalam pelaksanaan ke depannya,
keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus menjadi sebuah pertimbangan. Beberapa
tokoh, dalam pemikirannya menegaskan tentang pelibatan anak-anak dalam Perjamuan
Kudus. Sehingga dalam bagian ini, penulis akan membahas pandangan beberapa tokoh
tentang keikutsertaan anak-anak dalam Perjamuan Kudus.

19
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 38-39.
20
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 40.
Pertama, I. H. Enklaar. Menurutnya, Anak-anak yang sudah baptis diizinkan ikut
serta dalam pelayanan Perjamuan Kudus. Dalam pemikirannya, pada zaman para Rasul dan
Gereja Perdana, tidak pernah timbul pemikiran bahwa orang-orang yang sudah dibaptis itu
harus mencapai tingkat pengetahuan tentang agama Kristen yang lebih tinggi dan perilaku
yang lebih baik sebelum mereka diperkenankan menghadiri Perjamuan Kudus. Tak seorang
pun yang sudah dibaptis harus memenuhi syarat-syarat lain lagi. Hal ini terjadi karena
sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus, menempati tempat yang sentral dalam kehidupan
jemaat. Enklaar mengatakan bahwa bilamana orang beriman dengan menerima Baptisan
berpindah kedalam persekutuan-hidup dengan Kristus yang dimuliakan, maka perjamuan
dimaksudkan untuk dia pula. Karena melalui perjamuan itu persekutuan in terus menerus
beroleh hidup dan kekuatan baru.21

Kedua, Agustinus. Agustinus merupakan salah satu tokoh yang mendukung praktik
pelayanan Perjamuan Kudus kudus bagi anak-anak. Ia mempertahankan keyakinan bahwa
janji keselamatan dan pengampunan dosa yang disampaikan melalui Perjamuan Kudus
tidaklah bergantung pada kelayakan orang yang ikut dalam Perjamuan Kudus. Itulah
sebabnya dengan sangat kuat ia berargumen untuk mendukung praktik pelayanan
Perjamuan Kudus bagi semua orang yang telah dibaptis, termasuk anak-anak. Pengaruh
Agustitinus masih sangat kuat pada zaman itu sehingga anak-anak yang sudah dibaptis
justru dipersiapkan dan didorong untuk ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.22

Agustinus juga berargumen bahwa ―Mereka adalah anak-anak kecil, tetapi mereka
menjadi para anggota-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil, namun mereka menerima
sakramen-sakramen-Nya. Mereka adalah anak-anak kecil tetapi mejadi peserta dalam meja
perjamuan-Nya sehingga mereka dapat memiliki hidup di dalam dirinya sendiri.‖23

Ketiga, Martin Luther (1483-1546). Menurut Luther anak-anak harus dididik dalam
iman sebelum mereka ikut dalam Perjamuan Kudus. Ia juga mempertahankan kebiasaan
menyelenggarakan upacara khusus (konfirmasi atau peneguhan sidi) untuk menyertai
Perjamuan Kudus pertama bagi anak-anak antara umur 7-12 tahun. Dalam pemikiran Luther
Perjamuan Kudus roti dan anggur tetap utuh dan lengkap, dan Kristus memilih hadir tetapi

21
I. H. Enklaar, Baptisan Masal dan Pemisahan Sakramen-sakramen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1978), 12.
22
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37-38.
23
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 37.
hanya dalam substansi, tanpa aksiden tubuh dan darah-Nya. Perjamuan Kudus bagi Luther
bukan semata-mata lambang tetapi benar-benar merupakan tempat orang percaya bertemu
dengan Kristus. Menurutnya, Perjamuan Kudus adalah tanda nyata bahwa keselamatan
yang dijanjikan dalam firman mengenai penebusan dosa oleh Kristus pada kayu salib benar-
benar diberikan pada orang yang menyerahkan diri dalam iman pada Allah yang rahmani.
Dengan iman, Perjamuan Kudus menjadi tanda keselamatan yang efektif.24
Keempat, Ulrich Zwingli (1484-1531). Menurutnya sakramen adalah jaminan,
janji, atau sumpah. Sakramen tidak pernah mengandung arti yang suci atau sakral.
Sakramen lebih banyak mengandung arti ―kewajiban‖ dan oleh karena itu tidak ada batasan
dalam menerima Perjamuan Kudus baik itu dari orang dewasa atau anak-anak. Di
kemudian hari, Zwingli melihat sakramen, baik baptisan maupun perjamuan, lebih sebagai
tindakan jemaat (baik orang dewasa maupun anak-anak) untuk mengakui imannya. Ia
menetapkan bahwa Perjamuan Kudus hanya dirayakan empat kali dalam setahun dan hanya
boleh diikuti oleh mereka yang sudah percaya pada Kristus atau mereka yang mampu
mengungkapkan imannya, baik orang dewasa maupun anak-anak.25
Kelima, Yohanes Calvin (1509-1564). Calvin juga menekankan bahwa anak-anak
minimal berumur 10 tahun harus dididik dalam iman dan ia pun menciptakan suatu upacara
yang berhubungan dengan kali pertama anak-anak ikut serta dalam Perjamuan Kudus.26
Dalam upacara ini, pendeta memberikan ujian kepada anak-anak di depan jemaat. Menurut
jawaban-jawabannya, anak-anak mengaku imannya di depan jemaat. Setelah itu anak
diberkati dan diterima dalam persekutuan jemaat di sekitar meja Tuhan.27 Menurutnya,
Perjamuan Kudus adalah tanda, tetapi bukan tanda kosong. Sebab tanda tersebut diberikan
Allah melalui anak-Nya, supaya orang percaya melalui roti dan anggur betul-betul
dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Dalam Perjamuan Kudus kudus, Kristus
benar-benar hadir untuk menjadi satu dengan orang percaya dan memperkuat iman mereka.
Dengan kehadiran Kristus, maka roti dan anggur diubah menjadi makanan rohani sehingga
setiap umat dapat menerima apa yang diperoleh Kristus, yaitu pengampunan dosa dan hidup
yang kekal. Itulah sebabnya Calvin berbicara tentang Kristus sebagai yang hadir secara

24
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 49-51.
25
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 51-53.
26
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 56.
27
De Jonge, Apa Itu, 239.
dinamis, yaitu dalam kuasa dan akibat.28 Calvin sendiri memperbolehkan anak-anak ikut
dalam perjamuan karena anak-anak sudah bisa mengaku imannya sendiri dengan cara di uji
oleh pendeta di depan jemaat.
Keenam, John Wesley (1703-1791) memiliki latar belakang sebagai pendeta
Gereja Anglikan dan bersama saudaranya Charles Wesley menjadi tokoh pendiri Gereja
Methodis. Mereka mengartikan Perjamuan Kudus sebagai suatu anugerah, tanda, dan
simbol dari karya penebusan Kristus. Peringatan ini dipahami sebagai suatu memorial akan
pengorbanan Kristus, sekaligus menjadi perjamuan persekutuan dengan Kristus. Perjamuan
Kudus juga diyakini sebagai perjamuan persekutuan dengan Tuhan yang baik kepada semua
orang dan penuh rahmat terhadap semua yang dijadikan-Nya. Oleh sebab itu, bukan hanya
orang dewasa saja yang memerlukan persekutuan serta rahmat Tuhan tersebut, tetapi anak-
anak juga sangat memerlukannya. Wasley sendiri memperbolehkan anak-anak ikut serta ke
dalam Perjamuan Kudus brtolak dari teologi keselamatan universal yang mana dikatakan
bahwa keselamatan itu sendiri berlaku secara umum yang mana ana-anak juga turut masuk
ke dalamnya. 29
Perjamuan Kudus memiliki berbagai istilah. Istilah-istilah tersebut digunakan
tergantung dengan pemaknaan yang dipahami. Namun dalam perkembangan saat ini,
penyebutan untuk Perjamuan Kudus yang sering kita gunakan adalah ekaristi dan misa.
Perjamuan Kudus sendiri merupakan suatu hal yang sudah dilakukan sejak gereja perdana.
Sehingga dalam pelaksanaannya dari masa gereja perdana sampai pada saat ini, ada
beberapa peraturan yang dipertahankan dan ada beberapa hal yang mengalami perubahan.
Dalam uraian yang telah dipaparkan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan
bahwa, sejak gereja perdana, anak-anak sudah diperolehkan untuk mengikuti Perjamuan
Kudus kudus karena Perjamuan Kudus kudus dianggap sebagai penghayatan akan
keselamatan yang Tuhan berikan sehingga hal ini juga berlaku bagi semua orang tanpa
terkecuali. Namun dalam perkembangannya, hal ini mengalami perubahan. Pada abad
pertengahan, anak-anak mulai tidak diperbolehkan untuk mengikuti Perjamuan Kudus
karena mereka belum mampu menghayati tubuh dan darah Kristus dengan benar. Walaupun
dalam masa reformasi, menurut para ahli, anak-anak diperbolehkan untuk mengikuti
Perjamuan Kudus mulai dari rentang usia 7 tahun hingga 12 tahun dengan syarat terlebih

28
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 54-55
29
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 57-60.
dahulu harus ada pemhaman iman yang lebih dalam mempersiapkan mereka untuk
mengikuti Perjamuan Kudus. Tetapi hal ini tidak diteruskan oleh gereja-gereja saat ini.
Pemisahan Baptisan dan Perjamuan Kudus masih saja berlangsung. Walaupun
dalam teori, perayaan ekaristi tidak mengenal batasan baik batasan umur, sosial, ras dan
golongan yang bertentangan dengan pelaksanaan perjamuan pada gereja-gereja
30
kontemporer. Hal ini menunjukan bahwa perjamuan bagi anak-anak seharusnya tidak
menjadi sebuah hal yang perlu diperdebatkan saat ini. Karena dari perkembangan awalnya
anak-anak selalu didorong untuk terlibat dalam Perjamuan Kudus kudus.

3. Gambaran tentang GMIT


Sindoe GMIT didirikan pada tanggal 31 Oktober 1947. Berdirinya GMIT
tidak terlepas dari sejarah Kekristenan di Nusa Tenggara yang di bawa oleh orang-
orang Belanda lewat pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor, Rote dan
Sawu dilayani oleh seorang zendling dari Belanda dengan jumlah orang Kristen di
tiga pulau itu kurang lebih 15.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang Kristen yang terus
meningkat, maka dibuka sebuah sekolah pendeta di Rote Ba‘a. Tahun 1920, sekolah
tersebut dipindahkan ke Kupang. Sekolah ini sempat ditutup pada tahun 1931
kemudian dibuka lagi pada tahun 1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke
SoE.31
Stuktur yang dijalankan dalam GMIT berada pada asas presbiterial sinodal.
Seluruh jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT. Sinode GMIT dijalankan
oleh Majelis Sinode. Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat/Majelis Jemaat
Harian yang berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya
Majelis Sinode berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan
Pengawasan Pelayanan Sinode (BPPPS). Sedangkan Majelis Jemaat/Majelis Jemaat
Harian berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan
Pengawasan Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri dari ketua dan wakil ketua,
sekretaris dan wakil sekretaris, bendahara dan anggota-anggota.32

30
John D. Zizioulas, The Eucharistic Communion and The World (New York: T&T Clark International, 2011),
17.
31
Yulita Alexadra Nayoan, Kepemimpinan Perempuan dalam Gereja (Skripsi S.Si, Universitas Kristen Satya
Wacana, 2012), 58.
32
Nayoan, Kepemimpinan Perempuan, 60.
Program kerja Majelis Sinode GMIT sendiri dibagi menjadi 5 bidang
pelayanan. Tiga di antanya merupakan pokok ajaran Calvin yaitu bidang Koinonia
(persekutuan), bidang Marturia (kesaksian), bidang Diakonia (pelayanan kasih), dan
GMIT menambahkan dua yaitu bidang Liturgia (ibadah) dan bidang Oikumene
(penata layanan).33
4. Pandangan GMIT tentang keikutsertaan Anak-Anak Dalam Perjamuan Kudus
Pada dasarnya Perjamuan Kudus di GMIT dilakukan berdasarkan tata cara
perjamuan yang dipakai di gereja- gereja Belanda yakni tata cara perjamuan yang
dibawa dan dipraktikkan oleh para utusan lembaga zending yang mengabarkan injil di
Indonesia. Karena itu, hingga kini dalam praktik Perjamuan Kudus ini dianggap
34
sebagai salah satu sakramen yang bersifat sakral dan dipahami sebagai peristiwa
Iman yang berhubungan dengan peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus. Hal ini
disimbolkan dalam bentuk roti dan anggur yang dimakan bersama dalam Perjamuan
Kudus.35
Dalam pertaturan pastoral GMIT, Perjamuan Kudus diartikan sebagai pelayanan
sakramen yang :…―didasarkan pada amanat Yesus Kristus di dalam Alkitab (Mat.
36
26:26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:15-20, 27-30; dan 1Kor. 11:23-26). ‖ Menurut
GMIT pernyataan ini berarti ..‖Perjamuan Kudus juga merupakan kesinambungan
dari perjamuan Tuhan yang diadakan Yesus bersama para murid-Nya sebagaimana
disaksikan oleh Kitab Injil.37‖ Secara berkesinambungan, Perjamuan Kudus di GMIT
dipahami sebagai : (a) perintah atau amanat langsung dari Yesus Kristus.(b), sesuatu
yang perlu dilakukan secara kontinyu sebagai peringatan akan kematian-Nya (bnd.
Mat. 26:29; 1Kor.11:26). (c) tanda atau simbol yang kelihatan dari kasih karunia
Allah yang tidak kelihatan. (d) meterai yang otentik dan kelihatan yang membuktikan
dan meneguhkan adanya berkat-berkat penebusan yang tidak kelihatan yang
disediakan Allah bagi orang-orang percaya. 38

33
Nayoan, Kepemimpinan Perempuan, 63.
34
Wawancara dengan Pdt. Elyanor Manu-Nale, S.Th.
35
Wawancara dengan Pdt. Maria Litelnoni-Johanes, M.A.
36
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016), hal 1.
37
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016), hal 1.
38
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016), hal 1.
Masalahnya, menurut penulis Perjamuan Kudus di GMIT diterapkan dengan
secara sengaja membuat sejumlah syarat yang membatasi orang tertentu untuk tidak
mengikuti Perjamuan Kudus. Dalam peraturan pastoral GMIT, syarat-syarat itu
dianggap penting karena sebagai sebuah sakramen, Perjamuan Kudus dipandang
sebagai sebuah peristiwa perjamuan makan yang bermartabat dan karenanya hanya
boleh diikuti orang-orang yang dianggap layak untuk mengikuti Perjamuan Kudus,39
Pada prinsipinya pembatasan ini dipakai di GMIT berdasarkan pemahaman atas teks
I Kor 11:17-34 yang dipandang sebagai teks yang memang membatasi orang-orang
tertentu untuk tidak ambil bagian dalam Perjamuan Kudus.40
Pembatasan sebagaimana dikatakan di atas, menurut penulis dilakukan dengan
beberapa cara. Pertama, GMIT berusaha mengaitkan keikutsertaan seseorang dalam
Perjamuan Kudus, dengan menekankan pentingnya persiapan diri. Dalam peraturan
GMIT tentang perjamuan, hal ini dijelaskan sebagai berikut:
Perjamuan Kudus bukanlah sebuah perjamuan makan biasa. Ia adalah suatu
perjamuan yang istimewa dan bermartabat. Hal itu tampak dalam sejumlah
perintah atau nasehat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus (1Kor. 11:17-34).
Perintah rasul Paulus tersebut, menurut Donald Guthrie, memperlihatkan
tingginya nilai yang ia tanamkan untuk mempertahankan martabat Perjamuan
Kudus. Berdasarkan hal inilah maka dalam sejarah gereja timbul kebutuhan
akan adanya pemeriksaan diri bagi mereka yang akan mengikuti Perjamuan
Kudus sehingga mereka layak untuk itu. Bahkan adanya pemberlakuan disiplin
(siasat) gereja bagi mereka yang dipandang tidak menghargai wibawa
Perjamuan Kudus. Perhatikanlah peringatan Paulus: ―Barangsiapa yang makan
dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas
dirinya‖ (1Kor. 11:29).

Meskipun pemeriksaan diri yang disyaratkan di atas dalam peraturan Pastoral GMIT
tentang Perjamuan Kudus tidak dipahami sebagai hukuman melainkan sebagai
disiplin yang diharapkan meningkatkan kualitas iman umat,41 GMIT tidak bisa
menghindar dari kenyataan bahwa pada akhirnya hal ini membuat orang-orang yang
dianggap berdosa memang dilarang mengikuti Perjamuan Kudus. Apalagi dalam Tata
Ibadah Persiapan Perjamuan Kudus memang masih dicantumkan peryataan bahwa
orang-orang dengan dosa tertentu diharapkan menahan diri dari Perjamuan Kudus.
Kedua, GMIT juga berusaha membatasi keikutsertaan umat dalam Perjamuan Kudus
39
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016) hal 5.
40
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016) hal 4.
41
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016) hal 4.
memalui upaya mengaitkan kedewasaan iman dan kelayakan mengikuti Perjamuan
Kudus. Lebih lanjut:
Di dalam Alkitab PB Yesus tidak menjelaskan tentang siapa sajakah yang dapat
mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Juga tidak menjelaskan tentang
syarat-syarat untuk mengikuti Perjamuan Kudus. Apakah hal itu berarti bahwa
Perjamuan Kudus terbuka untuk semua jemaat bahkan semua orang, dari anak
kecil sampai orang dewasa? Sehubungan dengan pertanyaan tersebut kita dapat
menelusuri jawabannya pada perkataan-perkataan Yesus maupun pada nasehat
rasul Paulus.
Manakala Yesus menjelaskan tentang makna roti dan anggur sebagai tubuh dan
darah-Nya (Mrk. 26:26-29), hal ini mengandaikan bahwa perkataan yang
demikian ditujukan kepada orang-orang yang telah mengerti dan percaya kepada-
Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Yesus tidak mungkin mengatakan hal yang
mengandung makna yang khusus dan istimewa seperti ini kepada orang yang
belum mengerti dan percaya kepada-Nya. Hal yang sama juga diindikasikan
dalam nasehat rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Paulus katakan, karena
barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan
hukuman atas dirinya (1Kor. 11:27-29). Mengakui tubuh Tuhan berarti menjadi
bagian dari sebuah gereja yang kelihatan, di mana Yesus Kristus adalah Kepala-
Nya.
Berdasarkan hal itu, maka dapat dikatakan bahwa mereka yang boleh mengambil
bagian dalam Perjamuan Kudus adalah orang yang sudah mengerti dan
menghayati secara baik dan benar makna dari Perjamuan Kudus itu sendiri.
Dengan kata lain, orang yang dapat mengambil bagian dalam Perjamuan Kudus,
utamanya ialah orang yang telah bertobat dan percaya kepada Kristus, yang telah
menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi. Orang yang
belum bertobat dan percaya atau belum menerima Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamatnya secara pribadi, tidak layak dan tidak berhak untuk mengikuti
Perjamuan Kudus.

Berdasarkan kutipan di atas maka orang-orang yang dianggap belum dewasa imannya,
dianggap belum layak mengikuti Perjamuan Kudus. Dalam pertaturan GMIT tentang
Perjamuan Kudus dikatakan:
Sesuai dengan perintah Paulus, setiap orang harus memeriksa dirinya sendiri
sebelum makan roti dan minum dari cawan itu. Itu berarti bahwa anak-anak yang
belum mengerti dan orang-orang yang belum percaya tidak diperkenankan
mengikuti Perjamuan Kudus (kecuali, seperti dalam sakramen baptisan, iman
orangtua diterima dan dijadikan prasyarat bagi anak-anak untuk ikut ambil bagian
dalam Perjamuan Kudus). Dengan jalan demikian maka kebutuhan akan adanya
pemeriksaan diri dan penerapan disiplin sebelum atau dalam rangka Perjamuan
Kudus menjadi relevan.42
Anak-anak baru dianggap patut dan layak mengikuti Perjamuan Kudus jikalau mereka

42
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016), hal 5.
Sudah menjalani tahapan tertentu untuk menjadi anggota Sidi. Dalam hal ini sidi
dipahami sebagai langkah untuk mengambil keputusan iman secara pribadi43.
Dengan demikian, GMIT tidak memperbolehkan anak-anak ikut dalam Perjamuan
Kudus. Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, pada usia anak-anak, mereka
belum memahami makna sakramen Perjamuan Kudus itu sendiri. Orang-orang yang
mengikuti Perjamuan Kudus harus betul-betul sudah dewasa dalam iman dan dapat
bertindak sendiri, atau tidak bergantung dengan orang tua.44 Kedua, GMIT sendiri
menganut baptisan anak-anak dan bukan baptisan orang dewasa. Setelah dibaptis,
orang tua masih bertanggung jawab penuh terhadap pendidikan iman anak-anaknya
sampai pada anak-anak itu ditabis menjadi anggota sidi.45 Sehingga mengacu kepada
dua hal ini maka GMIT menyediakan wadah katekasasi kemudian penabisan sidi bagi
mereka yang akan ambil bagian dalam Sakramen Perjmauan Kudus.46
Katekasasi sidi sendiri dikuti oleh warga jemaat yang telah berumur 17 tahun,
yang betul-betul telah matang dalam kehidupan bergereja.47 Sehingga pada usia di
bawah 17 tahun, anak-anak diarahkan untuk mengikuti PAR. Dalam PAR sendiri,
mereka telah dididik dalam iman kepada Kristus, tetapi pemahaman mereka dan
kedewasaan mereka dalam iman lebih dinyatakan setelah mereka mengikuti
katekasasi dan ditabis menjadi anggota sidi. Karena setelah menjadi anggota sidi anak
tersebut dianggap sebagai seseorang yang dewasa secara iman dan bertanggung jawab
atas setiap perbuatan yang dilakukan kepada Tuhan.48
GMIT sendiri tidak memiliki dasar biblis yang menjadi patokan bagi mereka
untuk tidak memperbolehkan anak-anak ambil bagian dalam Perjamuan Kudus, tetapi
ini adalah prinsip refleksi teologis. Refleksi teologis yang dimaksud ialah soal
pemahaman makna roti dan anggur yang dilambangkan sebagai tubuh dan darah

43
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016), hal 4.
44
Wawancara dengan Pdt. Elyanor Manu-Nale, S.Th.
45
Wawancara dengan Pdt. Ari Kalemudji, M. Th.
46
Wawancara dengan Pdt. Elyanor Manu-Nale, S.Th
47
Wawancara dengan Pdt. Gayus Polin, S.Th.
48
Wawancara dengan Pdt. Ari Kalemudji, M.Th.
kristus. Karena mereka tidak dapat menikmati roti dan anggur tanpa memahami
makna dibalik sakramen itu sendiri.49

Analisa
Menurut penulis, sikap GMIT untuk tidak mengikutsertakan anak-anak dalam
Perjamuan Kudus adalah sesautu yang bisa ditinjau kembali dengan alasan sebagai berikut.
Pertama, dasar biblis yang dipakai GMIT untuk membatasi orang-orang tertentu yang
dipandang tidak layak mengikuti Perjamuan Kudus. Dasar Biblis yang dipakai adalah I Kor
11:17-34. Dalam pertaturan GMIT tentang Perjamuan Kudus ditegaskan bahwa berdasarkan
I Kor 11: 17-34, jelas bahwa orang yang tidak layak memang dibatasi mengikuti Perjamuan
Kudus. Padahal jika teks tersebut ditelusuri sebenarnya persoalannya bukan pada layak
tidaknya seseorang mengikuti Perjamuan Kudus. Persoalannya pada tata cara perjamuan
kudus yang waktu itu dianggap tidak layak. Kedua, sebagaimana dikatakan di atas GMIT
mengaitkan kedewasaan iman dengan kelayakan mengikuti perjamuan. Karena itu secara
operasional disebutkan bahwa mereka yang berusia 17 tahun dan sudah dithabiskan
mengikuti anggota sidi adalah mereka yang layak mengikuti Perjamuan Kudus.
Hal mendasar yang perlu dipertanyakan dari penjelasan seperti ini adalah : (a) apa
dasar GMIT menetapkan 17 tahun sebagai batasan usia yang menunjukkan kedewasaan
iman? Apakah mereka yang berusia di bawah 17 tahun tidak bisa mencapai kedewasaan
iman. Sebagai perbandingan, dalam tradisi Yahudi mereka yang berumur 12 tahun sudah
dianggap sebagai orang yang dewasa secara iman. Menurut ajaran dan budaya orang Yahudi,
usia 12 sudah dipandang sebagai usia yang cukup dewasa secara hukum adat dan untuk
mempelajari kitab suci.50 Pandangan ini yang melatarbelakangi Kisah Yesus sebagai orang
Yahudi yang pada Usia 12 tahun sudah menunjukkan kedewasaan iman sehingga kemudian
berdebat dengan para Ahli Taurat di Bait Allah (Lukas 2:4-52). Di kalangan gereja katolik,
usia 12 tahun juga dianggap sebagai usia yang dewasa sehingga mereka layak menerima
komuni (sambut baru). Berangkat dari apa yang sudah dijelaskan diatas penulis melihat
bahwa GMIT sendiri tidak memiliki dasar dalam penetapan umur melainkan GMIT terkesan
hanya mengadopsi ukuran kedewasaan seseorang dari aturan pemerintah yang mana usia
dewasa dan kematangan seseorang adalah ketika ia menginjak usia 17.

49
Wawancara dengan Pdt. Josepus Asbanu, M. Th
50
Diakses pada tanggal 01.Sept.2017, Edy Laskar https://edylaskar.wordpress.com/yesus-kristus/yesus-umur-
12-30-tahun/
Sejak tahun ‗70-an Gereja-gereja Protestan di Barat sudah membicarakan masalah
keikutsertaan anak-anak dalam Sakramen Perjamuan Kudus. Dalam thn.1996 REC
(Reformend Ecumenical Council) mengeluarkan keputusan agar gerejagereja anggota
mengikutsertakan anak dalam Sakramen Perjamuan Kudus. Menurut analisa Pdt.em Samuel
Tjahjadi mengenai diikutsertakan anak-anak dalam Sakramen Perjamuan Kudus, seringkali
berkisar pada 2 pokok:
1. Sakramen Perjamuan Kudus merupakan penggenapan Perjamuan Paslah Yahudi.
Apabila dalam Paskah Yahudi anak-anak diikutsertakan, sudah semestinya pula anak-
anak diikutsertakan dalam Sakramen Perjamuan Kudus.
2. Baptisan Kudus dan Perjamuan Kudus adalah 2 Sakramen yang sama-sama
merupakan tanda dan meterai dari anugerah keselamatan Allah dalam Yesus Kristus.
Apabil anak-anak menerima Baptisan Kudus, maka semestinyalah anak-anak
menerima Sakramen Perjamuan Kudus.51
Dua hal ini juga yang menjadi pertimbangan gereja-gareja yang telah
mengikutsertakan anak-anak kedalam Perjamuan Kudus.
Seperti GKI (Gereja Kristen Indonesia) yang telah mengikutsertakan anak-anak ke
dalam Perjamuan Kudus. GKI sendiri berani mengambil keputusan untuk melibatkan anak-
anak kedalam Perjamuan Kudus dengan berkaca kembali pada pendapat bapa-bapa Gereja
dan juga melihat kembali dasar-dasar biblis yang mendukung anak-anak untuk diikutsertakan
kedalam perjamuan kudus. sebagai penganut Calvinis GKI melihat kembali apa yang
dikatakan oleh Calvin sebagai bapa Gereja yang mebolehkan anak-anak yang berusia
miinimal 10 tahun ikutserta kedalam perjamuan kudus dan juga dasar-dasar biblis yang
begitu menghargai anak-anak (Mat. 18:6,10,14; 19:13-14; 21:15-16)52.
Penulis menilai bahwa saat ini GMIT sebagai salah satu penganut Calvinis harus
mencoba untuk lebih terbuka dengan perkembangan zaman dewasa ini. Gereja harus
mencoba untuk mengkontekstualisasikan diri terhadap perkembangan ynag ada termasuk
dalam hal Perjamuan Kudus dan tidak lagi selalu berpaku pada tradisi yang telah ada sejak
lama.
Selain itu, dari segi psikologi diyakini bahwa kedewasaan iman sebenarnya sudah bisa
dicapai pada usia yang lebih dini. Jean Piaget dalam teori perkembangan kognitif
menjelaskan bahwa anak-anak dalam rentang usia 5-12 tahun telah mencapai tahap operasi
51
Diunduh dari Pdt.em Samuel Tjahjadi, http::/gkisjatim.org
52
Widaryanto, Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak, 5.
konkret. Pada tahap ini, anak-anak belajar untuk menghitung, mengamati, menghafal dan
menyadari objek dan informasi konkret tanpa kehilangan perbedaan antara yang riil dan tidak
riil. Mereka juga sudah mulai memecahkan persoalan-persoalan. Pikiran mereka pada tingkat
ini lebih menyerupai komputer yang memproses data atau informasi dan membuat konklusi
berdasarkan data konkrit.53
Sedangkan menurut James Fowler dalam teori perkembangan iman menjelaskan
bahwa anak-anak dalam rentang usia 8-12 tahun telah mencapai tahap iman mistis atau
lateral. Dalam tahap ini, arti dan makna hidup, dunia, manusia, diambil dari orang-orang atau
kelompok yang diikuti. Iman yang diperoleh dari jemaat berupa kisah-kisah dan ajaran suci
yang membuat lingkungan hidup, dunia dan manusia menjadi bermakna. 54 Hal ini
menunjukan bahwa tahap perkembangan pada anak-anak, baik perkembangan kognitif
maupun perkembangan iman sudah dimulai sejak usia 5 tahun. Sehingga anak-anak pada usia
ini sudah dapat diberi pemahaman iman yang lebih mendalam menyangkut sakramen
Perjamuan Kudus agar mereka dapat menghayatinya dengan benar. Tidak harus menunggu
hingga usia 17 tahun tetapi sejak usia 5 tahun gereja tidak lepas tangan terhadap
perkembangan mereka. Termasuk salah satunya dengan mempersiapkan mereka untuk
terlibat dalam Perjamuan Kudus.
Selain mempertanyakan dasar GMIT menetapakn usia 17 tahun sebagai usia yang
layak mengikuti Perjamuan Kudus, hal kedua yang perlu dipertanyakan adalah apa dasar
GMIT menjadikan status keanggotaan sidi sebagai dasar menetukkan kelayakan seseorang
mengikuti Perjamuan Kudus. Kalau Sidi merupakan tindakan yang diambil untuk
memperlengkapi jemaaat dengan sejumlah pengetahuan iman yang diperlukan agar seseorang
layak mengikuti Perjamuan Kudus, apakah itu berarti sidi menggantikan makna baptisan
sebagai tanda seseorang dimasukkan menjadi anggota tubuh Kristus dan karenanya layak
mengikuti perjamuan? Menurut penulis jika kita berpegang pada makna baptisan sebagai
sakramen yang tanda seseorang diterima dalam persektuan dengan Allah dan jemaat,
sebagaimana dijelaskan dalam peraturan pastoral GMIT tentang baptisan55 maka sudah
selayaknya batisanlah yang dipakai sebagai kriteria dalam menentukan keikutsertaan
seseorang dalam perjamuan.

53
Daniel Nuhamara, Pendidikan Agama Kristen Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 61.
54
Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 37.
55
Majelis Sinode, Peraturan Pastoral tentang PK, (Majeils Sinode GMIT, 2016) 1.
Sabagai gereja penganut ajaran Calvin, GMIT dalam pelaksanaan perjamuan Kudus
di GMIT anak-anak tidak boleh diikut sertakan untuk ambil bagian di dalamnya, dikarenakan
anak-anak belum mampu menghayati iman dan juga belum memahami apa makna dari roti
dan anggur yang ada. Penulis melihat bahwa adanya sebuah sikap berbeda yang dilakukan
oleh Calvin. Pada pemaparan di atas sudah disinggung bahwa Calvin memperbolehkkan
anak-anak ambil bagian dalam Perjamuan Kudus tetapi kemudian dalam pertemuan di
Genewa Calvin mengatakan bahwa anak-anak tidak layak untuk mengambil bagian dalam
perjamuan kudus, bukan saja anak-anak tetapi juga orang-orang yang dikucilkan (difabel,
dsb).56 Penulis melihat bahwa hal ini perlu dikaji ulang oleh GMIT dalam peraturan pastoral
Perjamuan Kudus.

56
Christopher Elwood , The Body Broken ‖The Calvinist Doctrine of the Eucharist and the Symbolization of
Power in Sixteenth-Century France‖ New York Oxford Oxford University Press 1999, 149.
Kesimpulan

Mengacu pada uaraian di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu: pertama,
pembatasan sakramen perjamuan kudus yang berlangsung di GMIT didasari pada
pemahaman bahwa perjamuan kudus merupakan sesuatu yang sakral yang berhubungan
dengan pemaknaan roti dan anggur perjamuan sebagi tubuh Yesus yang dikorbankan bagi
kita. Sehingga dalam hal ini, anak-anak tidak diperbolehkan mengambil bagian karena
mereka belum dapat memahami dengan benar makna dari perjamuan kudus itu sendiri.
Kedua, pembatasan perjamuan kudus itu sendiri perlu dipertimbangkan kembali oleh
GMIT. Ada beberapa hal yang dapat menjadi landasan untuk mempertimbangkan kembali
apa yang telah diberlakukan, yaitu menyangkut sejarah perjamuan kudus itu sendiri,
perkembangan kognitif dan perkembangan iman anak-anak serta pemaknaan sakramen
baptisan dalam hubungannya dengan peneguhan sidi.
Ketiga, GMIT sebagai penganut paham Calvinisme seharusnya dapat menerapkan dan
melanjutkan apa yang telah dilakukan Calvin sebelumnya. Mengikutsertakan anak-anak
dalam perjamuan kudus bukanlah sebuah kesalahan yang dilakukan gereja, melainkan
melalui hal ini, gereja memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk dapat memperdalam
imannya dan memahami bahwa karya keselamatan yang Yesus kerjakan juga ditujukan bagi
mereka. Anugerah keselamatan yang Yesus berikan melalui pengorbanan di kayu salib tidak
hanya terbatas bagi orang-orang dewasa saja. Tetapi bagi setiap orang yang telah menjadi
bagian dan dimateraikan menjadi anak-anak Allah.
Melalui pemaparan di atas, penulis memberikan masukan bahwa GMIT perlu
mengkaji kembali peraturan yang sudah ada dan sedapat mungkin bisa menghilangkan
batasan bagi anak-anak untuk terlibat dalam sakramen perjamuan kudus. Sehingga sedini
mungkin anak-anak telah dibekali pemahaman-pemahaman yang lebih dalam dan
memperkuat iman mereka kepada Yesus Kristus.
Daftar Pustaka

Buku-buku:

Abineno, J. L. Ch. Pemberitaan Firman pada Hari-hari Khusus. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1981.
Benedetto, Robert. The New Westminster Dictionary of Church History: The early, medieval,
and Reformation eras. London: Westminster John Knox Press, 2008.
Crapps, Robert W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisius,
1994.
Hadiwijono, H. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Jonge, Christian de. Apa Itu Calvinisme? Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia,
1997.
Nuhamara, Daniel. Pendidikan Agama Kristen Remaja. Bandung: Jurnal Info Media, 2008.
Verkuyl, J. Aku Percaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Widaryanto, Aris. Sakramen Perjamuan bagi Anak-Anak: telaah atas keikutsertaan anak-
anak dalam Perjamuan Kudus. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2012.
Zizioulas, John D. The Eucharistic Communion and The World. New York: T&T Clark
International, 2011.

Tugas Akhir:
Nayoan, Yulita Alexadra. Kepemimpinan Perempuan dalam Gereja. S.Si, Universitas Kristen
Satya Wacana, 2012.

Website:
Google. Sejarah GMIT. https://sinodegmit.or.id/sejarah-gmit/. diakses pada 24 Agustus 2017,
pukul 20.00 WIB.

Di akses dari http://gkipi.org/paedocommunion-perjamuan-kudus-kanak-kanak/ pada 12


maret 2017, 18.50 WIB
Di akses dari https://www.youtube.com/watch?v=pkLrQhcR4cc, menit 16:40 pada 20 maret
2017, 20.43 WIB
Di akses dari https://edylaskar.wordpress.com/yesus-kristus/yesus-umur-12-30-tahun/ pada 2
September 2017, 22.15 WIB
Di akses dari Pdt.em Samuel, Tjahjadi Perjamuan Kudus Bagi Anak, http::/gkisjatim.org

Anda mungkin juga menyukai