Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MAKALAH

Nama : Yeter Wahla

Nim : 2021040177

Kelas/ semester : V ( Lima)

Jurusan : Pak

1
Bagian I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Gereja adalah tempat yang bisa memberikan setiap orang dapat menerima
didikan rohani yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam Alkitab.
Menurut KBBI, gereja adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan
upacara agama Kristen, dan atau badan organisasi umat Kristen yang
memiliki satu kepercayaan, ajaran dan tata cara ibadah. Dari pengertian
kedua, gereja adalah organisasi, maka orang-orang yang mengatur gereja
memiliki suatu wewenang dalam mengatur kehidupan bergereja karena di
dalam gereja tidak hanya pendeta, tetapi ada majelis dan jemaat. Gereja
adalah pedoman belajar rohani bagi setiap orang yang berada di dalamnya.
Untuk itu, struktur dalam gereja adalah struktur yang melayani anggota-
anggota gereja dalam rangka keterlibatan mereka, karena kepemimpinan
gereja pada hakekatnya adalah kepemimpinan pelayanan. 1 Dalam bahasa
inggris, kata gereja adalah Church yang berasal dari bahasa Kuriakon yang
berarti “Milik Tuhan”. Kata ini biasa digunakan untuk menunjukkan hal-hal
lainnya seperti tempat, orang-orang, atau denominasi yang menjadi milik
Tuhan.2
Yang menjadi dasar gereja adalah umat dan atau persekutuan serta orang-
orang yang berada di dalamnya. Oleh karena itu tujuan dari gereja adalah
pertumbuhan hidup rohani orang Kristen secara pribadi. Pertumbuhan dan
kedewasaan hidup rohani orang Kristen secara pribadi adalah dasar
pertumbuhan gereja. Pertumbuhan gereja harus dimulai dari kualitas hidup
rohani.3 Sehingga, setiap pribadi yang menjadi bagian dari gereja mendapat
perhatian khusus agar mampu menjadi pribadi yang bertumbuh di dalam
Yesus Kristus. Gereja hadir sebagai “gereja yang mendidik”. Berkaitan

2
1
Widi Artanto, Gereja dan Misi-NYA: Mewujudkan Kehadiran Gereja dan Misi-Nya di Indonesia
(Yogyakarta: Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2016), 17.
2
Charles C Ryrie, Teologi Dasar: Panduan Populer Untuk Memahami Kebenaran Alkitab
( Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1986), 143.
3
Dr. Peter Wongso, Tugas Gereja dan Misi Masa Kini (Malang: SAAT, 1999), 69.

3
dengan pembinaan rohani, maka gereja perlu melakukan pendidikan agama
Kristen (PAK). Sebagaimana pandangan Miller bahwa PAK di gereja
merupakan suatu pelayanan yang berdiri di atas tradisi Kristen.
Gereja memiliki kurang lebih enam fungsi yakni pertama, gereja adalah
persekutuan yang beribadah. Orang belajar beribadah dengan mengambil
bagian dalam kebaktian. Kedua, gereja adalah persekutuan yang menebus.
Artinya, kebutuhan dasar para anggotanya terpenuhi dan hubungan yang
terputus dapat dipersatukan serta disembuhkan kembali. Ketiga, gereja
sebagai persekutuan belajar-mengajar. Gereja menyediakan kesempatan
belajar bagi orang dengan segala kategori usia. Dalam gereja, orang mencari
jawaban dari injil terhadap pertanyaan yang ditimbulkan oleh pengalaman
hidup. Keempat, gereja adalah persekutuan yang peduli akan kebutuhhan
orang lain terutama yang sakit, miskin, lemah, dan kesepian. Gereja berusaha
melayani siapa pun, khususnya yang paling hina dan lemah. Kelima, gereja
adalah persekutuan yang ingin membagikan iman kepada orang yang belum
menerima kabar baik. Keenam, gereja adalah persekutuan yang bekerja sama
dengan kelompok lain, baik kelompok yang berbeda agama, sosial dll. 4
Berbicara mengenai tugas gereja khususnya Pendidikan Agama Kristen,
maka penulis melakukan penelitian di salah satu gereja, yakni GMIT Imanuel
Kefamnanu. Kefamnanu adalah ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara dan
salah satu kabupaten di Propinsi NTT. Gereja Imanuel terletak di Kota
kefamnanu yang sering disebut sebagai Kota “SARI – Sehat, Aman, Rindang
dan Indah”. Gereja Imanuel berada di Kota Kefamnanu. Secara geografi,
GMIT Imanuel berada di tengah kota.
Hal ini diteliti karena adanya penggabungan dalam pendidikan agama
kristen terhadap anak usia batita-remaja. Pola pikir anak pada usia remaja,
biasanya sudah mulai bersifat kritis, sehingga memunculkan gap pola pikir
dengan anak-anak usia batita, balita, masa kanak-kanak awal-akhir dan
remaja. Gereja mengadakan pendidikan khusus terhadap anak usia remaja.
Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Dien Sumiyatiningsih yakni

4
Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik: Buku Pegangan Untuk Mengajar
Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2006), 27-29.

4
gereja seharusnya memiliki pendidikan khusus terhadap para remaja karena
pada usia-usia seperti itu adalah usia yang sensitif, dan pada usia ini antara
13-17 tahun, anak memasuki tahapan kematangan intelek. Anak remaja mulai
mampu berpikir jauh melebihi dunia nyata dan keyakinannya sendiri, yaitu
memasuki dunia ide-ide. Tahap ini merupakan awal berpikir hipotesis-
deduktif yang merupakan cara berpikir ilmiah.5
Selain itu dalam tahap ini, anak remaja didorong oleh spiritualitas diri
mereka untuk menemukan identitas diri, sehingga gereja berperan penting
dalam usia ini. Sesuai dengan perkembangan ego, remaja berada dalam situasi
pencarian identitas diri. Di satu sisi, remaja ingin memiliki identitas pribadi
yang meliputi identitas dalam seksualitas, pekerjaan/panggilan, dan sosial. Di
sisi lain, remaja juga ingin menyisihkan rasa kekaburan identitasnya. Dengan
begitu mereka mulai dan ingin belajar berbagai peran yang lebih khusus.
Mereka belajar dalam peran dan mencari peran mana yang sesuai dengan
pribadi mereka dan diintegrasikan menjadi identitas yang konsisten.6
Gereja memiliki peran penting dalam usia remaja ini, namun dalam
jemaat GMIT Imanuel Kefamnanu, nyatanya masih terdapat masa transisi
antara Pasca-Sekolah Minggu dan Pra-Katekisasi. Kelihatannya dalam gereja
tersebut tidak ada perhatian terhadap anak pada masa Pasca-Sekolah Minggu
dan Pra-Katekisasi karena anak sudah berumur 13 tahun, kebanyakan orang
tua menyuruh anaknya untuk ke sekolah minggu. Sementara itu, remaja
sendiri merasa bahwa dirinya sudah tidak cocok dengan komisi sekolah
minggu. Secara biologis remaja juga memasuki tahap perkembangan dalam
masa pubertas sehingga dalam pikiran mereka tidak selayaknya mengikuti
sekolah minggu. Di sisi lain, mereka sudah hidup dalam masyarakat yang
lebih realistis. Sementara itu, dalam sekolah minggu pengajarannya lebih
kepada cerita-cerita mitos dalam Alkitab dan pengenalan tokoh-tokoh
Alkitab, dll.
Kondisi di atas membuat pembinaan rohani di GMIT Imanuel Kefamnanu
menjadi kurang efektif karena GMIT Imanuel Kefamnanu menggabungkan

5
Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 26.
6
Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 127.

5
anak usia batita-remaja dalam satu komisi dengan pengajaran yang sama.
Sementara itu anak dengan usia 6-12 menyebutnya sebagai masa
pembentukan kebiasaan dorongan berprestasi yang cenderung menetap
sampai dewasa sehingga masa ini disebut sebagai masa kritis dalam dorongan
berprestasi. Elizabeth B. Hurlock adalah seorang psikolog menyebut masa ini
sebagai usia berkelompok karena anak ingin diterima oleh teman-teman
sebayanya sebagai anggota kelompok dan saat anak ingin menyesuaikan diri
dengan standar kelompok dalam penampilan, berbicara dan perilaku.7
II. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran gereja dalam pendidikan agama kristen terhadap anak
remaja yang memasuki masa transisi antara pasca sekolah minggu dan
pra-katekisasi di GMIT Imanuel Kefamenanu, TTU?
III. Tujuan Penelitian
Dalam penelitan ini yang menjadi tujuan penelitian adalah
1. Mendeskripsikan pendidikan agama kristen bagi anak remaja yang
memasuki masa transisi antara pasca sekolah minggu dan pra-katekisasi
di GMIT Imanuel Kefamenanu, TTU.
IV. Manfaat Penelitian
Adapun dari hasil pra-penelitian penulis mengkritisi program gereja
dalam proses belajar mengajar pada komisi PAR (Pendidikan Anak dan
Remaja).Yang menjadi persoalan adalah proses belajar anak usia batita dan
remaja digabung menjadi satu sedangkan berdasarkan psikologi
perkembangan anak, pemahaman anak usia batita sampai remaja sudah jauh
berbeda dan hal ini membuat proses belajar menjadi kurang efektif. Oleh
karena itu penulis menawarkan psikologi perkembangan sebagai model
pembelajaran sehingga ada pemb edaan antara anak usia batita dan remaja
seperti membuka 1 komisi khusus remaja dengan proses pembelajaran,
pembinaan dan pedidikan yang relevan dengan anak usia batita maupun
remaja yang berbasis kategoril.

7
Christiana Hari Soetjiningsih, Spikologi Perkembangan: Sejak Pembuahan Sampai dengan
Kanak-Kanak Akhir (Jakarta: PRENADA, 2012), 248.

6
V. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengambilan data dengan cara
“Observasi” dan “Wawancara”. Alasan penulis memilih metode observasi
agar penulis dapat memahami konsteks situasi sosial, pengalaman langsung,
mendapatkan informasi tambahan serta mendapatkan kesan pribadi. Alasan
penulis memilih metode wawancara karena penulis akan mengetahui hal-hal
yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterprestasikan situasi
dan fenomena yang terjadi.
VI. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tugas akhir ini, penulis akan membaginya dalam lima
bab. Bab pertama memaparkan latar belakang masalah yang akan diteliti oleh
peneliti berdasarkan rumusan dan tujuan penelitian serta metode penelitian
yang akan digunakan, tempat/lokasi, informan dan sumbangan penelitian.
Bab kedua memaparkan terdiri dari teori “Psikologi Perkembangan” dan
teori identitas lainnya sebagai teori pendukung yang akan digunakan oleh
peneliti. Bab ketiga memaparkan hasil penelitian. Bab keempat memaparkan
tentang analisis terhadap hasil penelitian dengan teori-teori pendukung. Bab
kelima memaparkan kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai