Anda di halaman 1dari 15

Dieng, Desa yang Hilang dan Elegi Api di

Atas Awan
Terbanglah di atas Dataran Tinggi Dieng, daerah yang secara administratif dimiliki oleh dua
kabupaten yakni Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo di propinsi Jawa
Tengah. Kita bisa terbang secara fisik, entah secara langsung menggunakan pesawat
ultralight maupun secara tak langsung dengan PUNA (pesawat udara nir awak) atau lebih
dikenal sebagai dron (drone). Tetapi bisa juga kita terbang secara non-fisik, dengan
menggunakan program komputer (software) atau aplikasi pemetaan populer seperti Google
Earth maupun Google Maps. Tetapkan koordinat 7º 12′ LS 109º 51′ BT (-7,2; 109,85)
sebagai titik awal. Lalu bergeraklah perlahan ke barat.

Jika dilakukan dengan benar maka panorama memukau Dataran Tinggi Dieng bagian barat
pun tersajilah. Tepatnya panorama di sekitar kota Batur (Kabupaten Banjarnegara). Kita akan
menyaksikan bentang lahan berbukit-bukit yang terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang lahan
tertentu berpola geometris khas. Lahan-lahan pertanian mudah dikenali sebagai kotak persegi
empat mengikuti kontur tanah. Di lereng yang curam, kotak-kotak itu ramping dan
membentuk sistem undak-undakan (terasering). Sebaliknya di lereng landai, kotak-kotak
tersebut nampak lebih lebar.
Gambar 1. Panorama sebagian Dataran Tinggi Dieng barat di sekitar koordinat 7º 12′ LS 109º
51′ BT. Nampak Desa Pesurenan dan bekas Desa Kepucukan. Desa Kepucukan adalah desa
yang hilang pasca tragedi seiring meletusnya Telaga Sinila (Kawah Sinila) di tahun 1979 TU.
Sumber: Sudibyo, 2017 dengan basis Google Earth.

Sekitar setengah kilometer ke barat daya dari titik awal penerbangan kita, tersaji panorama
berbeda. Tempat ini juga lahan pertanian, namun pola geometrisnya berbeda. Ukuran kotak-
kotak di sini lebih kecil dibanding lahan pertanian disekelilingnya. Mereka juga cenderung
menampakkan geometri mendekati bujursangkar, bukan persegi empat. Saat dibandingkan
dengan geometri lahan pemukiman, misalnya di kota Batur (sebelah barat) maupun desa
Pesurenan (sebelah timur), terlihat geometri lahan di tempat itu relatif serupa dengan lahan
pemukiman. Inilah lokasi dari sebuah desa yang hilang. Sebelum tahun 1979 Tarikh Umum
(TU), tempat ini bernama Desa Kepucukan, bagian dari kecamatan Batur (Kabupaten
Banjarnegara).

Kepucukan

Kita mungkin pernah mendengar tentang desa yang hilang di Dataran Tinggi Dieng. Namun
hampir semuanya selalu merujuk ke dusun Legetang, bagian dari Desa Kepakisan (juga di
kecamatan Batur). Dusun yang makmur itu lenyap dalam semalam dan terhapus dari peta
setelah bencana tanah longsor dahsyat menimbuni sepenuhnya pada tengah malam 16 April
1955 TU. Kecuali jasad kepala dusun, segenap 350 orang penduduk dan tamu yang
berkunjung ke dusun tersebut pada malam naas itu tertimbun di bawah berton-ton material
tebal produk longsoran lereng sektor tenggara Gunung Pangamun-amun.

Gambar 2. Pintu masuk ke bekas desa Kepucukan dengan gapura yang masih berdiri tegak.
Desa Kepucukan dinyatakan dihapus secara administratif pasca Tragedi Sinila 1979 dan
dinyatakan sebagai kawasan terlarang. Meski demikian pelanggaran sering terjadi. Sumber:
BanyumasNews/Nanang, 2014.

Tetapi sesungguhnya ada beberapa desa yang hilang di Dieng. Salah satunya adalah desa
Kepucukan. Berbeda dengan ketampakan bekas dusun Legetang yang kini hanya berupa
bukit kecil sebagai kuburan massal bagi ratusan penduduknya, bekas desa Kepucukan masih
mudah dikenali baik dalam citra satelit maupun foto udara. Desa Kepucukan hilang setelah
dinyatakan dihapus pemerintah Kabupaten Banjarnegara pada tahun 1979 TU, menyusul
malapetaka memilukan Tragedi Sinila. Tragedi itu merenggut nyawa 149 orang dan memaksa
tak kurang dari 15.000 orang lainnya di kawasan Dataran Tinggi Dieng bagian barat untuk
mengungsi. Tragedi ini sekaligus menyajikan gambaran nyata bagi dunia, betapa sebuah
gunung berapi yang bererupsi dalam skala kecil bisa berujung pada malapetaka berskala
besar dalam situasi khusus.

Tragedi Sinila terjadi pada Selasa 20 Februari 1979 TU. Petaka diawali oleh rentetan tiga
gempa dangkal berturut-turut. Gempa pertama terjadi pada pukul 01:55 WIB. Getarannya
cukup keras dengan skala intensitas mungkin mencapai 4 hingga 5 MMI (Modified Mercalli
Intensity) sehingga cukup kuat untuk membangunkan orang-orang yang terlelap di kota
Batur. Gempa kedua menyusul terjadi pada pukul 02:40 WIB, getarannya juga cukup kuat
pula hingga dirasakan warga desa Pesurenan. Dan gempa terakhir mengguncang pada pukul
04:00 WIB.

Gambar 3. Panorama Kawah Sinila dan Kawah Sigludug, dua kawah yang berperan besar
Tragedi Sinila 1979. Kawah Sinila tergenangi air sebagai telaga, sementara Kawah Sigludug
tetap kering. Kawah Sigludug baru muncul pada 20 Februari 1979 TU. Sumber: Sudibyo,
2017 dengan basis Google Earth.

Tanpa disadari penduduk yang tinggal diatasnya, rentetan gempa menyebabkan


kesetimbangan rapuh dalam perut bumi Dataran Tinggi Dieng bagian barat terganggu berat.
Retakan-retakan timbul dan menyebar dalam tanah yang sejatinya sudah rapuh karena
dibelah oleh aneka sesar dan diperlemah oleh alterasi hidrotermal khas vulkanisme. Retakan-
retakan itu juga menembus cebakan-cebakan (reservoir) gas vulkanik yang ada di kedalaman
sekitar 1 hingga 2 kilometer. Akibatnya isi cebakan berupa gas karbondioksida (CO2) dan uap
air bertekanan tinggi pun segera meraih jalan keluarnya.

Gerakan gas dan uap itu memilih jalan termudah yang sudah ada, yakni titik lemah yang
berujung di Kawah Sinila. Penduduk Dieng sudah lama mengenal kawah ini. Ia adalah
cekungan bergaris tengah sekitar 50 meter yang terisi air sehingga menjadi sebuah telaga
(danau kecil) yang diberi nama Telaga Nila atau Telaga Sinila. Kawah yang ini kurang
populer dibandingkan dengan kawah-kawah tetangganya seperti Kawah Candradimuka,
Telaga Dringo dan Sumur (kawah) Jalatunda. Penduduk juga mengenalnya sebagai kawah
yang kalem, tak seperti Kawah Timbang yang juga tetangganya namun lasak. Akan tetapi
kesan kalem itu akan segera terhapus pada petaka Selasa pagi itu.

Erupsi freatik pun terjadilah, yang dimulai sejak pukul 05:04 WIB. Dorongan sangat kuat
dari gas dan uap bertekanan tinggi membobol dasar Kawah Sinila diiringi dentuman
menggelegar. Material letusan pun menyembur tinggi hingga beberapa ratus meter,
membentuk kolom coklat gelap meraksasa yang mendirikan bulu roma. Bongkahan-
bongkahan tanah dan bebatuan hingga seukuran 40 sentimeter mulai terlontar hingga sejarak
150 meter dari kawah. Bersamaan dengannya uap pekat pun terus mengepul. Tanah bergetar.
Sekitar pukul 06:00 WIB terjadilah semburan kedua. Horor kian mencekam saat tanah
sejarak 250 meter di sebelah barat-baratdaya kawah Sinila mendadak berlubang pada pukul
06:50 WIB. Kawah baru ini sontak menyemburkan material letusan dan kepulan uap pekat. Ia
rajin mengirimkan suara gemuruh susul menyusul mirip petir. Dalam istilah setempat petir
memiliki nama gluduk atau gludug. Sehingga kawah baru itupun mendapatkan nama Kawah
Sigludug.
Gambar 4. Rekonstruksi aliran lahar dari Kawah Sinila dan Kawah Sigludug dalam peristiwa
erupsi 1979 yang berujung pada Tragedi Sinila. Nampak aliran lahar mengepung Desa
Kepucukan dari arah utara dan timur sehingga hanya menyisakan arah ke barat sebagai
pilihan untuk menyelamatkan diri, yang berujung pada tragedi. Digambar ulang dari Guern
dkk (1982). Sumber: Sudibyo, 2017 dengan basis Google Earth.

Pada pukul 06:00 WIB itu kawah Sinila mulai melelehkan lahar. Lahar bergerak mengikuti
alur batang sungai kecil didekatnya. Sekitar pukul 07:00 WIB, kawah Sinila kembali
memuntahkan laharnya. Lahar mengalir hingga sejauh kurang lebih 4 kilometer, memotong
jalan raya utama Dieng dan hampir menjangkau jalan lintas selatan di dekat desa Kaliputih.
Kawah Sigludug pun turut memuntahkan lahar, namun dengan volume lebih sedikit. Lahar
Sigludug hanya mengalir sejauh sekitar 1 kilometer saja mengikuti alur batang kali
Tempurung untuk kemudian berhenti sebelum gerbang desa Kepucukan.

Kejadian ini sontak menggemparkan penduduk Dataran Tinggi Dieng bagian barat. Warga
enam desa yang mengitari kawah Sinila dan kawah Sigludug pun mengungsi. Termasuk desa
Kepucukan. Namun tanpa disadari penduduk Kepucukan, takdir kebumian menempatkan
mereka dalam simalakama. Desa ini dijepit dua lembah sungai, baik di sisi timur maupun
barat. Terdapat tiga jalur untuk keluar masuk desa, masing-masing ke utara menuju jalur raya
utama Dieng. Lalu ke timur menuju desa Pesurenan dan yang terakhir ke barat menuju kota
Batur. Sebagian jalur ke barat adalah jalan setapak yang menyeberangi kali Tempurung dan
berujung di jalur jalan raya lintas utara Dieng sejarak 1,5 kilometer sebelah timur kota Batur.
Di sini berdiri bangunan SD (sekolah dasar) Inpres Kepucukan.

Liang Maut

Pada horor Selasa pagi itu penduduk Kepucukan tak mungkin mengungsi ke utara. Itu sama
saja menuju marabahaya, karena disanalah Kawah Sinila dan Kawah Sigludug berada.
Mereka juga tak mungkin ke timur, sebab lahar Sinila telah memutus jalur tersebut. Maka
pilihan rasional yang tersedia adalah ke barat. Akan tetapi tak satupun menyadari bahwa jalur
barat yang dikira aman sesungguhnya adalah jalur maut.

Gambar 5. Lokasi jalur maut Tragedi Sinila 1979, digambar ulang dari Guern dkk (1982)
Direktorat Vulkanologi (1979). Nampak pula posisi liang-liang maut penyembur gas
karbondioksida, yang turut berkontribusi pada jatuhnya korban terutama di sekitar SD Inpres
Kepucukan. Sumber: Sudibyo, 2017 dengan basis Google Earth.

Rentetan gempa disusul erupsi kawah Sinila dan kawah Sigludug membuat tanah yang sudah
rapuh itu kian retak-retak di banyak tempat. Beberapa dari retakannya menjulur hingga
muncul di paras bumi, sebagai rekahan atau liang kecil. Seperti halnya di Kawah Sinila dan
Kawah Sigludug, dari liang-liang kecil ini tersembur gas CO2. Dua liang muncul di sekitar
Kawah Timbang. Kawah Timbang sendiri juga turut menyemburkan gas yang sama. Densitas
(massa jenis) gas CO2 lebih berat dibanding udara, sehingga selalu menempel ke paras tanah.
Keterikatan gas CO2 dengan uap air seperti yang umum dijumpai di Dieng membuat
densitasnya menjadi lebih besar. Sehingga ia menjadi laksana air mengalir, bergerak dari
tempat yang tinggi ke rendah dengan dikendalikan gravitasi Bumi.
Kombinasi semburan gas CO2 dari dua liang dan Kawah Timbang mengalir jauh ke selatan-
baratdaya, menyusuri lembah sungai kecil. Sejarak 800 meter dari kawah Timbang, aliran
maut ini bersua dengan barisan pengungsi Kepucukan yang sedang menyusuri jalan raya
utama Dieng menjelang kompleks makam (bong) Cina, sekitar 1 kilometer dari kota Batur.
Tak terelakkan lagi dalam tempo singkat barisan ini bertumbangan di tempatnya masing-
masing. Pingsan lalu meregang nyawa. Sisanya, yang melihat barisan bagian depan gugur,
sontak berbalik arah kembali ke Kepucukan. Tanpa disadari, liang-liang kecil yang sama juga
bermunculan di sekitar SD Inpres Kepucukan. Bahkan ada empat liang disini, satu
diantaranya persis di pinggir jalan setapak. Tak pelak, CO2 pun menyambar-nyambar.
Sebanyak 145 orang meregang nyawa di jalan raya.

Gambar 6. Daerah bahaya dalam Tragedi Sinila 1979, digambar ulang dari Direktorat
Vulkanologi (1979). Nampak segenap Desa Kepucukan tercakup ke dalam daerah bahaya,
sehingga desa ini terlalu rawan untuk dihuni kembali. Sumber: Sudibyo, 2017 dengan basis
Google Maps.

Mulai pukul 11:00 WIB aktivitas di kawah Sinila dan Sigludug cenderung mereda. Letusan
benar-benar berhenti pada keesokan harinya. Secara keseluruhan erupsi Sinila dan Siglugug
memiliki skala 1 VEI (Volcanic Explosivity Index), karena muntahan material letusannya
kurang dari sejuta meter kubik. Kawah Sinila sendiri hanya memuntahkan 15.000 meter3
lahar dengan komponen lava didalamnya adalah lava tua (berasal dari magma tua, tanpa
keterlibatan magma segar).

Kaldera

Banjarnegara pun gempar kala menyaksikan ratusan penduduk Kepucukan telah


bergelimpangan tanpa nyawa. Upaya evakuasi intensif terutama mulai Rabu pagi (21
Februari 1979 TU) juga diiringi jatuhnya lagi 4 korban jiwa dari relawan. Butuh waktu tiga
hari untuk mengevakuasi seluruh jasad korban. Seluruh jasad disemayamkan secara terpisah
di tiga lokasi dalam kota Batur, yakni di kantor Koramil, Masjid Batur dan kantor kecamatan.
Mereka semua lantas dimakamkan pada sebuah pemakaman massal di tengah-tengah ladang
kentang tak jauh dari kota Batur. Sebuah tugu peringatan didirikan di sini.

Indonesia dan juga dunia dibuat terpana menatap korban-korban tragedi Sinila. Tragedi
letusan gunung berapi yang aneh, karena jasad para korban nampak relatif bersih tanpa
diselimuti debu vulkanik. Perhatian besar pun tertuju ke kawasan Dataran Tinggi Dieng.
Ebiet G Ade mengabadikan tragedi ini dengan apik dalam lagunya Berita kepada Kawan di
album Camelia III.

Penyelidikan memperlihatkan korban-korban berjatuhan akibat paparan gas CO2 dalam


konsentrasi tinggi. Selain di sekitar kawah Timbang dan SD Inpres Kepucukan, liang-liang
gas itu juga muncul di sejumlah titik. Sebagian diantaranya terkonsentrasi di tepi barat Kali
Tempurung. Sebagian diantaranya juga sudah diketahui sebelum tahun 1979 TU. Konsentrasi
gas CO2 demikian pekat hingga mencapai 40 kali lipat ambang batas aman. Eksistensi liang-
liang tersebut dan hasil pengukuran gas vulkanik di berbagai titik menjadi alasan Direktorat
Vulkanologi (kini Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/PVMBG) untuk
membentuk Daerah Bahaya Dieng. Zona tersebut terbagi ke dalam dua zona, yakni zona
tertutup total dan tertutup sebagian. Tidak boleh ada orang yang masuk dan beraktivitas di
zona tertutup total, apapun alasannya. Sementara pada zona tertutup sebagian boleh dimasuki
dan ada aktivitas manusia meski terbatas hanya di siang hari dan hanya pada saat angin
berhembus.

Segenap desa Kepucukan dan desa Simbar tercakup ke dalam Daerah Bahaya Dieng ini.
Beberapa bulan kemudian pemerintah kabupaten Banjarnegara mengambil keputusan
menghapus desa Kepucukan dan desa Simbar secara administratif. Sebagian dari penyintas
(survivor) di kedua desa diikutsertakan program transmigrasi ke pulau Sumatra. Sebagian
lainnya berpindah tempat tinggal ke desa-desa tetangga. Seluruh bangunan di bekas kedua
desa pun dibongkar. Namun lahan tempat bangunan-bangunan itu semula berdiri tetap
dibiarkan apa adanya. Inilah yang membuat bekas desa Kepucukan mudah dikenali dari
udara.
Gambar 7. Struktur kompleks vulkanik Dieng, yang terdiri dari kaldera (garis merah) di sisi
timur dan graben/cekungan Batur (garis hitam) di sisi barat. Nampak sejumlah kerucut
vulkanis yang tumbuh dalam kompleks vulkanik ini. Digambar ulang dari Sukhyar (1994).
Sumber: Sudibyo, 2017 dengan basis Google Maps.

Tragedi Sinila menampakkan salah satu wajah Dieng, yakni wajah ancaman. Wajah yang
merugikan bagi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Di sisi lain Dataran
Tinggi Dieng juga memiliki wajah yang ramah, yakni wajah keindahan. Ancaman dan
keindahan memang berbaur menjadi satu bagi tanah yang adalah dataran tinggi tertinggi
kedua di dunia setelah Dataran Tinggi Tibet.

Secara geologis Dataran Tinggi Dieng adalah kaldera, atau cekungan (depresi) vulkano-
tektonik. Jadi ia adalah produk dari letusan dahsyat sebuah gunung berapi, yang di kemudian
hari nampaknya diikuti oleh pergerakan tektonik khususnya pematahan (pensesaran). Dalam
hal ini Dataran Tinggi Dieng memiliki kemiripan dengan Danau Toba, meski tentu saja dari
segi ukurannya jauh lebih kecil. Karena aktivitas vulkaniknya maka dataran tinggi ini disebut
juga Kompleks Vulkanik Dieng.

Kompleks vulkanik Dieng mencakup area sepanjang 14 kilometer (arah barat-timur) dan
lebar 6 kilometer (arah utara-selatan). Antara setengah hingga satu juta tahun silam, sebagian
kompleks vulkanik ini adalah bagian barat dari Gunung Prahu tua. Suatu letusan dahsyat
dialami Gunung Prahu tua pada masa akhir hidupnya, menghasilkan kaldera yang memiliki
diameter 7 kilometer. Sisa tubuhnya (tinggal setinggi 2.566 meter dpl) menjadi Gunung
Prahu muda yang juga adalah batas sisi timur kaldera. Batas sisi barat dan selatannya masing-
masing diduduki Gunung Nagasari (2.365 meter dpl) dan Gunung Bisma (2.365 meter dpl),
dua kerucut vulkanik yang lahir dalam aktivitas pascakaldera.

Aktivitas pascakaldera juga membentuk Gunung Seroja (2.275 meter dpl), yang di kemudian
hari mengalami erupsi parasitik di kakinya dan membentuk kawah 800 meter yang lantas
terisi air sebagai Telaga Menjer. Lalu terbentuk pula Gunung Merdada dan Gunung
Pangonan (2.308 meter dpl). Puncak keduanya juga berhias kawah, namun hanya kawah
Merdada saja yang tergenangi air sebagian menjadi Telaga Merdada. Di sekitar jajaran
Gunung Pangonan dan Merdada inilah kemudian lahir Gunung Pagerkandang/Sipandu (2.241
meter dpl) dan Igir Binem. Gunung Pagerkandang memiliki kawah kering, namun di kakinya
tumbuh kawah parasiter yang tergenangi air menjadi telaga Sileri. Sementara Igir Binem
memiliki dua kawah berisi air yang saling berdampingan, masing-masing Telaga Warna dan
Telaga Pengilon.

Kerucut-kerucut vulkanis ini mulai tumbuh sekitar 17.000 tahun silam. Sementara leleran
lava termuda dalam kaldera berumur 8.500 tahun, yakni aliran lava Sikunang. Setelah itu
masih lahir lagi sejumlah kerucut vulkanik seluruhnya terkonsentrasi di dekat batas selatan
kaldera. Misalnya Gunung Sidede (2.231 meter dpl), Gunung Pakuwaja (2.395 meter dpl),
Gunung Sikunir (2.463 meter dpl), Gunung Sikendil (2.340 meter dpl), Gunung Prambanan
dan Gunung Watusumbul (2.154 meter dpl).

Setelah kaldera Dieng terbentuk dan aktivitas pascakaldera mulai tumbuh, ketidakstabilan
masih berlangsung di sisi barat. Hingga terjadilah pensesaran turun atau pengamblesan
(subsidence) yang membentuk graben Batur. Segera sesar-sesar di graben menjadi jalur-jalur
lemah yang dilalui magma dari dapur magma di bawah kaldera. Sehingga sejumlah kerucut
vulkanis pun lahir. Misalnya Gunung Dringo dan Gunung Petarangan (2.135 meter dpl).
Keduanya muncul pada masa yang sama dengan lahirnya Gunung Pangonan dan Gunung
Merdada. Lalu Gunung Legetang, yang lahir tepat di sisi timur graben Batur. Baik di dalam
kaldera maupun graben Batur, kerucut-kerucut vulkanik tersebut menjulang mulai dari
setinggi 100 hingga 300 meter dari paras dataran Dieng.

Gambar 8. Diagram skematik sederhana tentang sistem sesar besar Kebumen-Muria-Meratus


dan Cilacap-Pamanukan-Lematang di Jawa Tengah. Aktivitas sistem sesar besar ini diduga
menjadi penyebab kompleks vulkanik Dieng “terdorong” ke utara dari lokasi seharusnya.
Digambar ulang dari Satyana dan Purwaningsih (2002) Sumber: Sudibyo, 2015.
Dibanding jajaran gunung berapi aktif di tanah Jawa yang bergabung dalam jalur vulkanik
Jawa muda, kompleks vulkanik Dieng terletak terlalu ke utara. Selain Dieng, hanya ada tiga
gunung berapi muda Jawa yang juga berposisi demikian. Masing-masing Gunung Ciremai,
Gunung Ungaran dan Gunung Muria. Keempat gunung berapi tersebut bisa menyebal keluar
dari jalur vulkanik Jawa muda akibat aktifnya dua sesar besar, masing-masing sesar besar
Kebumen-Muria-Meratus dan sesar besar Cilacap-Pamanukan-Lematang. Selain menjadi
penyebab keluarnya kompleks vulkanik Dieng dari jalur vulkanik Jawa muda, dua sesar besar
tersebut juga bertanggung jawab atas lebih sempitnya lebar pulau Jawa di bagian tengah
ketimbang di bagian barat maupun timur.

Api di Atas Awan

Kompleks vulkanik Dieng adalah satu-satunya gunung berapi berkaldera yang ada di Jawa
Tengah. Aktivitas pascakaldera disini dalam kurun 17.000 tahun terakhir telah membentuk
tak kurang dari 100 kawah. Sebagian besar diantaranya, yakni sekitar 70 kawah,
terkonsentrasi dalam kaldera. Sementara sisanya, yakni sekitar 30 kawah, mengambil tempat
dalam graben Batur.

Gambar 9. Kawah Timbang, diabadikan dari sisi utara. Kawah kering ini dikenal rajin
menyemburkan gas karbondioksida yang terikat uap air. Gas tersebut akan mengalir
menuruni lembah di latar belakang. Sebagian korban Tragedi Sinila menghirup gas beracun
dari kawah Timbang ini. Sumber: Aldhila Gusta, 2014.

Dengan lokasinya yang menjulang di ketinggian dan dipahat secara simultan oleh panas
magma dan air hujan selama beribu-ribu tahun, tak heran bila kompleks vulkanik Dieng
menjadi tempat yang eksotis. Eksotisme yang telah dikenal sejak beratus-ratus tahun silam.
Peradaban Jawa masa kuna bahkan menempatkannya dalam posisi tempat suci sesuai dengan
kosmologi yang diyakini. Candi-candi Hindu tertua di Jawa pun berdiri di sini, yang
dibangun di masa Kerajaan Medang. Dua pusat kerajaan Medang pada zamannya, yakni
Mamrati dan Poh Pitu, pun (diduga) terletak tak jauh dari Dieng yakni di sebelah timur
Gunung Sindoro. Candi-candi tersebut kini menjadi tempat kunjungan wisatawan yang ramai.

Selain candi, Dieng juga banyak dikunjungi karena aktivitas pascakalderanya. Hanya di
Dieng kita bisa ‘merasakan’ gelegak aktivitas vulkanik dalam jarak yang begitu dekat seperti
di Kawah Sikidang. Suatu sensasi yang unik karena api (kawah) itu berada di daerah yang
sesungguhnya dingin menggigil karena berlokasi di atas garis awan. Panorama di aneka
telaga seperti Telaga Warna, Telaga Pengilon dan Telaga Menjer pun sungguh menawan.
Pada aras yang lain, kompleks vulkanik ini terkenal akan kesuburan tanahnya, salah satu ciri
khas kawasan vulkanik. Dengan kesuburan lahannya dan ditunjang oleh kedudukannya di
ketinggian, lahan pertanian Dieng menjadi produsen kentang terbesar se-Indonesia.

Gambar 10. Kawah Sikendang, tepat di tepi jalur lalu-lalang antara Telaga Warna dan Telaga
Pengilon. Dengan konsentrasi gas CO2 yang dilepaskan kawah ini mencapai 74 % maka
perlu penataan lebih lanjut agar pengunjung tidak tepat berada di bibir kawah. Sumber:
Geomagz/Parpar Priatna, 2015.

Akan tetapi high risk high gain, sisi eksotika Dieng sebanding dengan sisi ancamannya.
Kompleks ini adalah kompleks vulkanik yang masih aktif, sehingga gejolak magmanya kerap
menghasilkan erupsi. Meski dalam tiga abad terakhir karakter letusan di Dieng berupa erupsi
freatik yang kerap diikuti lontaran/semburan lumpur dengan lubang letusan yang berbeda-
beda. Erupsi di Dieng memiliki skala yang kecil, hanya 1 hingga 2 VEI, terhitung sejak
catatan tahun 1786 TU. Gelegak magma juga memanasi tubuh kompleks vulkanik Dieng
dengan begitu intensif dan berkesinambungan sehingga laksana dikukus terus menerus.
Akibatnya terjadi alterasi hidrotermal (persentuhan dengan cairan panas produk aktivitas
vulkanik), yang melemahkan kekuatan batuan. Sehingga tanah Dieng menjadi lebih rapuh
dan mudah longsor. Diduga pernah terjadi letusan yang cukup besar dengan segala akibatnya
sehingga Dieng sempat kosong dari hunian manusia selama beberapa waktu, sebelum
kemudian mulai dihuni kembali di abad ke-19 TU.

Gambar 11. Distribusi gas karbondioksida dalam tanah pada kompleks vulkanik Dieng.
Nampak konsentrasi tertinggi (lebih dari 25 %) dijumpai baik dalam kaldera maupun graben
Batur. Sumber: UGM/Fak. Geografi, 2014.

Namun ancaman paling menonjol di Dieng adalah gas beracunnya, dalam wujud gas CO2.
Gas ini adalah gas vulkanik, berasal dari magma segar nun jauh di kedalaman Dieng. Magma
segar tersebut tak bergerak, namun melepaskan cairan hidrotermal yang kaya gas CO2 secara
kontinu. Berkurangnya tekanan saat bergerak ke atas membuat cairan superpanas ini
mengalami pendidihan pada kedalaman sekitar 4,5 kilometer sehingga terbentuklah gas CO2
yang kaya uap air. Campuran ini terus bergerak ke atas sembari terus memperkaya
konsentrasi gas CO2-nya hingga akhirnya tiba di cebakan-cebakan pada kedalaman sekitar 1
kilometer. Dari sini sebagian gas tersebut mengalir keluar terutama lewat lubang-lubang
kawah. Namun sebagian lainnya tetap tersekap dalam cebakan dan dalam tanah.

Kawah Sikidang melepaskan gas CO2 dalam konsentrasi 5,7 % yang tergolong rendah.
Sebaliknya Kawah Sileri, yang paling rajin meletus itu, memiliki konsentrasi gas CO2 yang
cukup tinggi, yakni sebesar 56 %. Bahkan Kawah Sikendang, kawah kecil tak populer yang
terletak di sisi Telaga Warna, melepaskan gas CO2 hingga 73,8 %. Pengukuran gas CO2
dalam tanah menunjukkan bahwa baik kaldera maupun graben Batur umumnya mengandung
gas CO2 dalam konsentrasi lebih dari 0,5 % (angka batas aman). Sebaliknya konsentrasi gas
CO2 di udara terbuka hanya berkisar 0,03 % atau setara dengan lingkungan selain Dieng.
Kandungan gas CO2 yang besar di dalam tanah membawa implikasi bahwa mereka bisa
terbebaskan ke udara saat terjadi gangguan besar dalam tanah Dieng, baik berupa gempa
bumi maupun letusan gunung berapi.

Anda mungkin juga menyukai