Anda di halaman 1dari 7

TRAGEDI LENYAPNYA DESA

LEGETANG DI DIENG
INDONESIAN HISTORY REBORNFRIDAY, FEBRUARY 24, 2017

Pada saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran,


Kecamatan Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang
makmur. Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi
kehidupan dukuh (desa) itu. Dukuh Legetang benar-benar ada di
tempat di sekitar tugu tersebut. Di peta baik tahun 1922 terdapat
daerah Legetang di lokasi yang ada di dekat tugu tersebut (agak
kearah utara).

Peta Tahun 1922

Yang perlu diperhatikan terdapat sebuah sungai kecil yang berada


diantara gunung Pengamun-amun dengan Dukuh Legetang sebelum
terjadi longsoran yang terlihat pada peta 1922. Setelah longsor
Gunung Pengamun-amun terjadi keanehan yang ada adalah sungai
tersebut tidak terkena dampak longsoran (logikanya sungai juga
terkena longsoran kan).

Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat yang mengubur Dusun


Legetang (Kepakisan) yang terjadi Pada suatu malam, 17 April 1955,
turun hujan yang amat lebat di dukuh itu , dalam ilustrasi berbasis
citra Google Earth. Saat lereng tenggara Gunung Pengamun-amun
hingga hampir ke puncaknya merosot dengan tipe rotasional (panah
kuning tak terputus), materialnya segera membentur bukit
dihadapannya. Sehingga berbelok arah menjadi mengubur dusun
Legetang (panah kuning putus-putus). 351 orang tewas dan hanya 1
jasad yang berhasil dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis
Google Earth dan Abdrurrahman, 2013 .

Salah seorang saksi tragedi Legetang, Suhuri warga Pekasiran RT 03/04


yang kini berusia sekitar 72 tahun mengatakan, musibah terjadi malam
hari pukul 23.00 saat musim hujan. Saya dan beberapa teman malam
itu tidur di masjid. Saya baru dengar kabar gunung Pengamunamun
longsor jam tiga pagi, katanya. Suhuri mengaku lemas seketika begitu
mendengar kabar tersebut, karena kakak kandungnya, Ahmad Ahyar,
bersama istri dan 6 anaknya tinggal di dusun Legetang. Namun Suhuri
maupun keluarganya dan warga lain tak berani langsung ke dusun
yang berjarak sekitar 800 meter dari pusat desa Pekasiran, karena
beredar kabar tanah dari lereng gunung Pengamun-amun masih terus
bergerak.

Lenyapnya desa Legetang dan penghuninya juga menyimpan misteri,


karena Suhuri dan beberapa warga Desa Pekasiran lain seusianya yang
kini masih hidup mengatakan, antara kaki gunung sampai perbatasan
kawasan pemukiman di dusun itu sama sekali tidak tertimbun, padahal
jaraknya beberapa ratus meter.

Longsoran tanah itu seperti terbang dari lereng gunung dan jatuh
tepat di pemukiman. Sangat aneh, kata Suhuri sembari menjelaskan,
gejala lereng gunung akan longsor sudak diketahui 70 hari sebelum
kejadian. Para pencari rumput pakan ternak dan kayu bakar untuk
mengasap tembakau rajangan di samping untuk memasak, melihat
ada retakan memanjang dan cukup dalam di tempat itu. Tapi tanda-
tanda tadi tak membuat orang waspada, meski sering jadi bahan
obrolan di Legetang. Orang baru menghubung-hubungkan soal retakan
di gunung itu setelah Legetang kiamat, katanya.

Waktu itu semua orang tercengang dan suasana mencekam melihat


seluruh kawasan dusun Legetang terkubur longsoran tanah. Tak ada
sedikit pun bagian rumah yang kelihatan. Tanda-tanda kehidupan
penghuninya juga tak ada, kenang Suhuri. Alam Legetang sebagian
besar cekung. Tanah dari lereng gunung seakan diuruk ke cekungan itu
dan meninggi dibanding tanah asli disekitarnya. Banyak warga yang
dibiarkan terkubur karena sulit dievakuasi, ujar Suhuri.
Pencarian terhadap korban, menurut Suhuri, hanya dipusatkan ke titik
yang diduga merupakan lokasi rumah bau (kepala dusun) Legetang
bernama Rana. Setelah dilakukan penggalian cukup lama oleh warga.
Tapi tak sedikit para korban dibiarkan terkubur, karena amat sulit
dievakuasi. Satu istri Rana lainnya, bernama Kastari, satu-satunya
warga Legetang yang selamat, karena ia pergi dari rumah sebelum
gunung itu longsor.

Kini tanah lokasi bencana itu sedikit demi sedikit digarap warga untuk
budidaya tembakau dan sayur. Sekitar 1980, ketika kentang
menggusur tanaman tembakau dan jagung di pegunungan Dieng,
bekas dusun Legetang pun berubah jadi ladang kentang dan kobis,
termasuk tanah kuburan umum milik bekas dusun tersebut.

Ada kisah lain kenapa Dusun Legetang mengalami musibah ini, Pada
saat itu, Dukuh Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan
Batur, Banjarnegara, merupakan sebuah dukuh yang makmur.
Berbagai kesuksesan di bidang pertanian menghiasi kehidupan dukuh
(desa) itu.

Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup


sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan
sebagainya.Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan
pertanian menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain
tidak panen tetapi mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur
yang dihasilkan juga lebih baik dari yang lain.

Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini


mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang
dinamakan istidraj atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki
yang banyak namun orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam
kesesatan. Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat.
Perjudian di dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras.
Tiap malam mereka mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian
tradisional yang dibawakan oleh para penari perempuan, yang sering
berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang malah melakukan
kemaksiatan bersama ibunya sendiri.

Beragam kemaksiatan lain sudah sedemikian parah di dukuh ini. Pada


suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di dukuh itu.
Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam
kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba
terdengar suara keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana,
atau seperti suara benda yang teramat berat jatuh. Suara itu terdengar
sampai ke desa-desa tetangganya. Namun malam itu tidak ada satu
pun yang berani keluar karena selain suasana teramat gelap, jalanan
pun sangat licin.

Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang


yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar
rumah dan ingin memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat
Cumiakkan telingan tadi malam. Mereka sangat kaget ketika di
kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun sudah terbelah,
rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat Dukuh
Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut.
Bukan saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit,
dengan mengubur seluruh dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang
yang tadinya berupa lembah, kini sudah menjadi sebuah gundukan
tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati. Gegerlah
kawasan Dieng
Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam

Anda mungkin juga menyukai