TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja Akhir
miniatur dari orang dewasa (Santrock, 2007a). Rousseau (dalam Santrock, 2007a)
mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja bukan bentuk miniatur dari orang
dewasa. Hurlock (1980) menjelaskan adolescence (remaja) adalah istilah kata Latin
yang memiliki arti “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam masyarakat modern, perjalanan
aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berhubungan (Papalia dkk, 2009).
sosio-emosional bermula pada perkembangan fungsi seksual yang diikuti oleh proses
perkembangan penalaran yang ditandai oleh meningkatnya rasa ingin tahu pada usia
12 hingga 15 tahun, mulai matang secara emosional dan cenderung menaruh minat
pada orang lain pada usia 15 hingga 20 tahun. Papalia dkk (2009) mengkategorikan
usia remaja yang berawal dari usia 10 atau 11 tahun atau lebih awal sampai usia dua
11
12
puluhan awal. Sarwono (2013) mengkategorikan usia remaja dari usia 11 hingga 24
tahun. Santrock (2007a) membagi usia remaja menjadi dua katagori yaitu masa
remaja awal dimulai dari usia 10 hingga 13 tahun dan remaja akhir berusia 18 hingga
22 tahun. Menurut Hurlock (1980), masa remaja awal yang dikategorikan sebagai
usia belasan tahun dan masa remaja akhir sebagai usia belasan tahun hingga
mencapai usia 21 tahun. Mönks, Knoers, & Haditono (2002) juga membagi masa
remaja menjadi tiga kategori, yaitu masa remaja awal atau pubertas dimulai dari usia
12 sampai 15 tahun, masa remaja madya berusia 15 sampai 18 tahun, dan masa
membantu remaja menyesuaikan diri untuk menjadi dewasa, yaitu remaja awal,
remaja madya dan remaja akhir. Pada remaja awal, remaja belum memahami secara
sepenuhnya berbagai perubahan fisik dan dorongan yang timbul akibat perubahan
tersebut sehingga remaja sulit mengerti orang dewasa dan juga sulit dimengerti orang
dewasa. Pada remaja madya, remaja memiliki kecenderungan untuk mencintai diri
sendiri, berteman dengan teman-teman yang memiliki kesamaan sifat. Pada remaja
akhir, terjadi proses penguatan atau penyatuan menuju masa kedewasaan yang
ditandai oleh adanya minat yang kuat dalam kemampuan berpikir, keinginan ego
untuk bergabung dengan orang lain dan mengalami pengalaman baru, identitas
orang lain, serta dapat memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan umum.
kemampuan berpikir, memiliki minat terhadap orang lain, mulai matang secara
13
umum.
Coping
gejolak yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati sehingga menimbulkan
mendambakan identitas diri dan tidak ingin memiliki kesamaan dengan teman
sebaya (Hurlock, 1980). Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007a) pada masa
remaja, individu mengalami krisis psikososial pada tahap kelima yaitu identitas
jauh mengenai diri, keunikan yang dimiliki dan tujuan hidup. Remaja
antara rasa aman pada masa kanak-kanak dengan otonomi masa kedewasaan
(Santrock, 2007a).
cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga
maupun membiarkan diri terbawa oleh dunia teman sebaya dan kehilangan
penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial baru. Remaja tidak lagi
mengungkapkan emosi yaitu dengan menunggu waktu dan kondisi yang tepat
emosi seperti latihan fisik, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis dalam
orangtua yang mempengaruhi bentuk dan hasil dari konflik yang terjadi. Hal
15
dengan keluarga (Hurlock, 1980). Pada masa remaja jumlah waktu berinteraksi
disukai dan diterima teman sebaya atau kelompok sosial sehingga pandangan
teman sebaya mengenai diri remaja merupakan hal penting bagi remaja. Teman
sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki kesamaan dalam usia dan
tingkat kematangan. Hubungan relasi yang baik antara remaja dengan teman
teman yang mempunyai minat dan nilai yang sama dengan diri remaja.
Kesamaan minat dan nilai dengan teman sebaya menyebabkan remaja memiliki
membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua atau guru
(Hurlock, 1980).
16
Coping adalah usaha merubah pola pikir dan perilaku untuk mengatur tuntutan
eksternal dan atau internal spesifik yang dinilai berat atau melebihi kemampuan
individu (Lazarus & Folkman, 1984). Coping merupakan usaha dalam mengelola
di dalam pikiran dan perilaku (Lazarus, 1993). Compas (1987) menjelaskan Coping
sebagai reaksi alami atau refleks dalam menghadapi serangkaian ancaman, serta
Amador, dan Munoz (2010) mengemukakan bahwa coping mengacu pada usaha
mengelola pikiran dan perilaku secara sadar dalam menghadapi stres yang
dimana kontribusi respon perilaku dan kognitif bervariasi sesuai dengan kondisi yang
kondisi yang memicu stres menimbulkan reaksi coping dalam tindakan fisik atau
2001).
dipercayai individu, yaitu coping yang cenderung pada mengubah atau mengelola
masalah yang menyebabkan kondisi stres, dan coping yang cenderung mengatur
Pemaparan fungsi coping menimbulkan dua tipe strategi coping yang dapat
digunakan individu dalam mengatasi masalah (Lazarus & Folkman, 1984), yaitu:
focused coping cenderung digunakan ketika individu merasa tidak mampu mengatasi
problem focused coping cenderung digunakan individu ketika merasa diri bisa
bahwa problem focused coping dapat bekerja lebih baik apabila digunakan dalam
jangka waktu lama dibandingkan dengan emotion focused coping. Maka kesimpulan
yang didapat adalah problem focused coping adalah usaha yang dilakukan individu
yaitu:
tetap pada prinsip yang dimiliki dan berjuang untuk mempertahankan prinsip
c. Planful problem solving adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi
kondisi stres dengan bersikap tenang dan berfokus terhadap masalah. Individu
kondisi stres tersebut seperti memahami apa yang telah diperbuat kemudian
menjadi diri yang lebih baik, mengetahui pengalaman yang didapat dari
perkembangan anak (Darling, 1999). Baumrind (2005) menyebutkan ada dua faktor
a. Responsiveness
b. Demandingness
mengutamakan kualitas anak dan membentuk standar untuk masa depan anak.
kepentingan dan cara khusus yang dimiliki anak. Orangtua dengan pola asuh
21
mengevaluasi perilaku dan sikap anak agar sesuai dengan standar yang telah
Orangtua menilai kepatuhan terhadap pendapat dan standar yang telah dibentuk
anak dan menetapkan tanggung jawab terhadap tugas rumah merupakan cara
tertib, peraturan yang jelas dan memantau aktivitas anak dengan hati-hati
(Baumrind, 1991).
22
sedikit tuntutan dalam tanggung jawab terhadap tugas rumah dan perilaku.
Orangtua tidak menempatkan diri sebagai individu yang dapat membentuk dan
tindakan mengontrol anak dan tidak mendorong anak untuk memenuhi standar
(Baumrind, 1966).
Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat atau neglect tidak menuntut
ataupun memenuhi kebutuhan anak. Orangtua tidak memiliki struktur dan tidak
dan perilaku bermasalah (Darling, 1999). Kopko (2007) menjelaskan bahwa orangtua
remaja, menyediakan keseimbangan antara afeksi dan dukungan serta tingkat kontrol
dalam mengelola perilaku remaja. Dampak yang timbul pada remaja adalah remaja
23
menjadi mandiri dan mengembangkan otonomi yang sehat dengan batasan, aturan
sehingga anak mengetahui alasan-alasan dari suatu keputusan yang dibuat dan
dengan orangtua yang menggunakan pola asuh selain autoritatif (Baumrind, 1991).
Kesimpulan dari pemaparan yang telah disampaikan bahwa pola asuh autoritatif
adalah pola pengasuhan dengan pemberian kontrol dan afeksi secara seimbang yang
mengutamakan kualitas anak dengan melibatkan anak secara aktif dalam menetapkan
standard melalui komunikasi dua arah dan membimbing anak untuk memiliki sikap
psikososial dan masalah perilaku. Konsekuensi yang ditimbulkan dari empat tipe
kompetensi sosial dan instrument yang baik serta tidak terlibat dalam prilaku
prestasi yang moderat di sekolah dan tidak terlibat dalam perilaku bermasalah,
mereka memiliki self-esteem yang tinggi, kemampuan sosial yang baik dan
Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat menyebabkan anak dan remaja
yang menerapkan pola asuh autoritatif pada anak menyebabkan anak memiliki
menjadi 19 dimensi yang berkaitan dengan affect maupun control. Tipe pola asuh
yang diterapkan oleh suatu keluarga didasarkan pada dimensi yang menonjol dari
anak.
anak.
struktur situasi sehingga anak memahami tugas secara objektif, fleksibel dalam
j. Warmth (Wm): interaksi yang hangat antara orangtua dengan anak seperti
emosional.
k. Coldness (Cl): interaksi yang dingin antara orangtua dengan anak seperti
n. Interactiveness (In): tingkat interaksi dua arah antara orangtua dengan anak.
o. Creativity (Cr): tingkat kreativitas orangtua dalam interaksi dengan anak atau
p. Activity (At): tingkat aktivitas fisik dalam melakukan manipulasi objek ketika
r. Sadness (Sa): tingkat kesedihan yang diekspresikan secara verbal atau non-
High Control
Autoritarian Autoritatif
MD LS
St Pr Rn In
At Cr
Negative DP An Ax Wm Rt Pl Positive
Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect
Berdasarkan Gambar 1 menunjukan bahwa delapan dari sembilan belas dimensi yang
menonjol dari pola asuh orangtua dapat dikategorikan ke dalam pola asuh autoritatif. Pola
asuh autoritatif yang diterapkan orangtua memiliki affect yang positif dan control yang
tinggi terhadap anak. Hal tesebut ditandai dengan orangtua menunjukkan sikap responsif
terhadap anak, kreatif dalam berinteraksi dan memecahkan masalah, berinteraksi dua arah,
anak, menggunakan bahasa secara hati-hati dalam berinteraksi dengan anak dan senang
menjalani peran sebagai orangtua menunjukkan affect yang positif serta control yang
D. Kecerdasan Emosional
luas yang merupakan kerangka kebutuhan manusia untuk meraih keberhasilan dalam
kemampuan memahami orang lain, mengetahui motivasi dan cara kerja individu
tersebut, serta bekerjasama dalam bekerja. Kecerdasan pribadi tidak dapat diabaikan
karena memberikan hasil pemikiran yang intuitif dan akal sehat (Goleman, 2015).
serangkaian ciri atau karakter yang memiliki dampak terhadap kehidupan individu
(Goleman, 2015).
28
dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kecakapan pribadi yang menentukan
cara individu dalam mengelola diri sendiri dan kecakapan sosial yang menentukan
cara individu dalam menangani suatu hubungan sehingga kedua kecakapan tersebut
tinggi dapat mengetahui dan mengatasi perasaan diri dengan baik dan memiliki
kemampuan mengenali dan menghadapi perasaan orang lain secara efektif. Hal
tersebut menyebabkan individu bekerja secara produktif dan dapat menguasai pola
Individu memiliki dua jenis pikiran yaitu pikiran rasional untuk berpikir dan
emosional individu tersebut. Pikiran rasional adalah suatu pemahaman yang individu
sadari seperti kesadaran untuk bertindak hati-hati. Pikiran emosional adalah suatu
pemahaman yang impulsif dan memiliki pengaruh yang besar terhadap individu.
Pikiran rasional dan emosional memiliki sifat saling mempengaruhi dalam kehidupan
mental individu karena emosi memberi informasi kepada pikiran rasional sehingga
emosional adalah neokorteks dan amigdala. Neokorteks merupakan bagian otak yang
Neokorteks memiliki peran dalam menyusun tindakan yang tepat, sedangkan respon
2015).
Amigdala memiliki fungsi untuk mengetahui makna emosional dan sebagai pusat
memahami dan merasakan perasaan serta menunjukkan sikap menarik diri dari
seperti detak jantung dan tekanan darah meningkat dalam menghadapi informasi
disadari secara penuh, hal ini menyebabkan individu bertindak tanpa menyadari
pada fakta-fakta dari suatu informasi karena terjadi proses perangsangan dengan
mampu membandingkan informasi yang terjadi saat ini dengan yang terjadi di masa
lalu. Proses membandingkan informasi bersifat asosiatif yaitu ketika suatu informasi
saat ini memiliki unsur kemiripan dengan di masa lalu maka amigdala akan
memberikan respon terhadap pola pikir, emosi dan reaksi dengan cara-cara yang
30
serupa tanpa menganalisis lebih mendalam informasi yang didapat saat ini.
mendominasi pikiran rasional karena amigdala bekerja secara aktif dan terjadi
Korteks prefrontal memiliki fungsi untuk mengatur reaksi emosi individu dengan
emosi memiliki peran penting dalam proses berpikir yang efektif untuk menyusun
terhadap sesuatu yang dikerjakan individu karena ketika otak berpikir, neokorteks
Menurut Goleman (2000) kecakapan emosi adalah kecakapan dari hasil belajar
dalam pekerjaan dengan melihat berapa banyak potensi individu miliki (Goleman,
31
2000). Hubungan antara lima dimensi kecerdasan emosional dan 25 kecakapan emosi
Mengenali emosi diri atau kesadaran diri adalah usaha mengenali perasaan
b. Mengelola emosi
bukan menekan emosi tersebut karena setiap perasaan dari emosi memiliki nilai
yaitu:
menyelesaikan kewajiban.
secara fleksibel.
c. Motivasi diri
tujuan. Individu yang memiliki motivasi diri cenderung memiliki harapan yang
oleh kecemasan, tidak bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi tantangan
atau kemunduran. Individu yang mampu melakukan motivasi diri juga memiliki
satu cara individu dalam memandang keberhasilan dan kegagalan. Individu yang
Keadaan flow juga dapat menimbulkan motivasi diri pada individu. Flow
merupakan keadaan yang terbebas dari gangguan emosional dan paksaan. Flow
melibatkan perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh individu dari hasil
fokus pada suatu pekerjaan. Goleman (2000) mengemukakan bahwa motivasi diri
kesempatan
d. Empati
empati meliputi kemampuan membaca emosi orang lain, namun pada tingkat
atau perasaan individu yang tidak tersampaikan (Goleman, 2000). Empati adalah
atau pesan non-verbal seperti gerak gerik, nada berbicara dan ekspresi wajah,
sesuatu (Goleman, 2015). Kunci utama individu dalam berempati dengan terlebih
34
dahulu memahami secara mendalam emosi yang dirasakan oleh diri sendiri.
hal tersebut.
e. Membina hubungan
orang lain. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan perasaan diri dan
emosi orang lain menyebabkan orang lain merasa nyaman, sehingga disenangi
mengelola perubahan.
Santrock (2007a) mengemukakan bahwa masa remaja adalah sebuah periode transisi
biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dibagi menjadi tiga kategori yaitu
masa remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir (Mönk, Knoers & Haditono, 2002).
Pada masa remaja akhir, remaja diharapkan sudah mampu menstabilkan gejolak-gejolak
yang dialami sehingga remaja mampu mencapai identitas diri, kematangan emosi,
hubungan relasi dengan orangtua dan teman sebaya yang baik (Santrock, 2007a). Remaja
akhir yang mencapai kematangan emosi mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi
36
secara tepat ketika menghadapi individu atau situasi yang memicu emosi (Ali dan Asrori,
2012). Remaja akhir yang mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi secara tepat
coping. Problem focused coping adalah usaha yang dimiliki individu untuk tidak
melibatkan emosi dalam mengatasi dan menghadapi kondisi stres atau masalah secara
dipengaruhi oleh peran pola asuh autoritatif. Wolfaardt dkk (2003) menjelaskan bahwa
individu yang diasuh dengan pola asuh autoritatif cenderung mengembangkan coping
secara aktif. Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki interaksi yang hangat dengan
anak karena menggunakan bahasa secara hati-hati dan jelas ketika memberikan respon
penuh perhatian terhadap ekpresi anak. Individu menggunakan pola interaksi hangat dalam
yang digunakan oleh orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan individu yang
diasuh dengan pola ash autoritatif akan mampu mengembangkan pemecahan masalah yang
terencana (planful problem solving) dengan menganalisis dan bersikap tenang dalam
Orangtua dengan pola asuh autortiatif juga menetapkan perilaku anak sesuai dengan yang
diharapkan sehingga anak mampu bersikap tegas, bertanggung jawab mandiri dan
37
kooperatif (Baumrind, 1991; Kopko, 2007). Individu yang diasuh dengan pola asuh
Saptoto, 2010). Kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri,
mengelola emosi, motivasi diri, empati, dan membina hubungan (Goleman, 2015).
Individu yang mampu mengenali emosi dan mengelola emosi akan mampu
langsung dan tepat terhadap individu yang membuat masalah. Individu yang mampu
mengenali emosi dan mengelola emosi cenderung akan mampu memotivasi diri, berempati
dan membina hubungan dengan orang lain sehingga dapat mengembangkan planful
problem solving, accepting responsibility dan positive reappraisal karena individu dapat
bersikap tenang, fokus melakukan analisa, mampu memotivasi diri ketika menghadapi
masalah, dan melakukan diskusi dalam melakukan negosiasi untuk menyelesaikan masalah
Diagram peran pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional terhadap problem focused
Keterangan Gambar 2.
: Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung
: Variabel yang diteliti
: Dimensi variabel
38
a. Confrontive coping
A. Mengenali emosi/kesadaran diri b. Accepting responsibility
B. Mengelola emosi c. Planful problem solving
C. Motivasi diri d. Positive Reappraisal
D. Kemampuan empati
E. Membina hubungan
Gambar 2. Diagram peran pola asuh autortiatif dan kecerdasan emosional terhadap problem
focused coping remaja akhir.
F. Hipotesis Penelitian
1. Hipotesis Mayor
Pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional berperan terhadap problem focused
2. Hipotesis Minor
a. Pola asuh autoritatif berperan terhadap problem focused coping remaja akhir di