Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja Akhir

1. Pengertian Remaja Akhir

Anak-anak dan remaja pada abad pertengahan dipandang sebagai bentuk

miniatur dari orang dewasa (Santrock, 2007a). Rousseau (dalam Santrock, 2007a)

mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja bukan bentuk miniatur dari orang

dewasa. Hurlock (1980) menjelaskan adolescence (remaja) adalah istilah kata Latin

yang memiliki arti “tumbuh menjadi dewasa”. Dalam masyarakat modern, perjalanan

dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan disebut sebagai masa remaja

(adolescence) (Hurlock, 1980).

Masa remaja merupakan masa peralihan yang melibatkan perubahan dalam

aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berhubungan (Papalia dkk, 2009).

Santrock (2007a) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi

perkembangan masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan-

perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Perubahan biologis, kognitif dan

sosio-emosional bermula pada perkembangan fungsi seksual yang diikuti oleh proses

berpikir abstrak hingga kemandirian (Santrock, 2007a).

Rousseau (dalam Santrock, 2007a) mengkategorikan masa remaja dari proses

perkembangan penalaran yang ditandai oleh meningkatnya rasa ingin tahu pada usia

12 hingga 15 tahun, mulai matang secara emosional dan cenderung menaruh minat

pada orang lain pada usia 15 hingga 20 tahun. Papalia dkk (2009) mengkategorikan

usia remaja yang berawal dari usia 10 atau 11 tahun atau lebih awal sampai usia dua

11
12

puluhan awal. Sarwono (2013) mengkategorikan usia remaja dari usia 11 hingga 24

tahun. Santrock (2007a) membagi usia remaja menjadi dua katagori yaitu masa

remaja awal dimulai dari usia 10 hingga 13 tahun dan remaja akhir berusia 18 hingga

22 tahun. Menurut Hurlock (1980), masa remaja awal yang dikategorikan sebagai

usia belasan tahun dan masa remaja akhir sebagai usia belasan tahun hingga

mencapai usia 21 tahun. Mönks, Knoers, & Haditono (2002) juga membagi masa

remaja menjadi tiga kategori, yaitu masa remaja awal atau pubertas dimulai dari usia

12 sampai 15 tahun, masa remaja madya berusia 15 sampai 18 tahun, dan masa

remaja akhir berusia 18 sampai 21 tahun.

Sarwono (2013) mengemukakan tiga tahapan perkembangan yang dapat

membantu remaja menyesuaikan diri untuk menjadi dewasa, yaitu remaja awal,

remaja madya dan remaja akhir. Pada remaja awal, remaja belum memahami secara

sepenuhnya berbagai perubahan fisik dan dorongan yang timbul akibat perubahan

tersebut sehingga remaja sulit mengerti orang dewasa dan juga sulit dimengerti orang

dewasa. Pada remaja madya, remaja memiliki kecenderungan untuk mencintai diri

sendiri, berteman dengan teman-teman yang memiliki kesamaan sifat. Pada remaja

akhir, terjadi proses penguatan atau penyatuan menuju masa kedewasaan yang

ditandai oleh adanya minat yang kuat dalam kemampuan berpikir, keinginan ego

untuk bergabung dengan orang lain dan mengalami pengalaman baru, identitas

seksual yang tidak berubah, dapat menyeimbangkan kepentingan pribadi dengan

orang lain, serta dapat memisahkan hal-hal yang bersifat pribadi dengan umum.

Kesimpulan yang didapat dari pemaparan diatas adalah remaja akhir

merupakan individu yang berusia 18 sampai 21 tahun dan mengalami masa

penguatan atau penyatuan menuju masa kedewasaan yang ditandai meningkatnya

kemampuan berpikir, memiliki minat terhadap orang lain, mulai matang secara
13

emosional dan mampu menyeimbangkan kepentingan pribadi dan kepentingan

umum.

2. Gejolak-Gejolak Remaja Akhir Yang Berkaitan Dengan Problem Focused

Coping

Hall (dalam Santrock, 2007a) mengemukakan bahwa masa remaja mengalami

gejolak yang dipenuhi konflik dan perubahan suasana hati sehingga menimbulkan

pandangan badai dan stres (storm-and-stres-view) pada remaja. Beberapa gejolak

pada masa remaja yang berkaitan dengan coping, yaitu:

a. Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas Diri

Pada tahun awal masa remaja, remaja cenderung menyesuaikan diri

dengan teman sebaya namun seiring berjalan waktu, remaja mulai

mendambakan identitas diri dan tidak ingin memiliki kesamaan dengan teman

sebaya (Hurlock, 1980). Menurut Erikson (dalam Santrock, 2007a) pada masa

remaja, individu mengalami krisis psikososial pada tahap kelima yaitu identitas

diri versus kebingungan identitas. Remaja diharapkan dapat mengetahui lebih

jauh mengenai diri, keunikan yang dimiliki dan tujuan hidup. Remaja

cenderung melakukan eksplorasi identitas sehingga menimbulkan kesenjangan

antara rasa aman pada masa kanak-kanak dengan otonomi masa kedewasaan

(Santrock, 2007a).

Erikson (dalam Santrock, 2007a) menjelaskan remaja yang tidak berhasil

mencapai identitas diri akan mengalami kebingungan identitas sehingga remaja

cenderung menarik diri, mengisolasi diri dari teman sebaya dan keluarga

maupun membiarkan diri terbawa oleh dunia teman sebaya dan kehilangan

identitas diri. Marcia (dalam Santrock, 2007a) mengemukakan tiga aspek

penting dalam pembentukan identitas yaitu keyakinan bahwa orangtua


14

memberikan dukungan terhadap remaja, kemampuan menciptakan gagasan dan

kemampuan merefleksikan diri.

b. Kondisi Emosi Masa Remaja

Perubahan fisik mempengaruhi kondisi emosi remaja. Remaja

mengalami ketidakstabilan emosi dari waktu ke waktu karena dampak dari

penyesuaian diri pada pola perilaku dan harapan sosial baru. Remaja tidak lagi

menyampaikan emosi dengan perilaku atau gerakan meledak-ledak seperti

anak-anak, namun cenderung menggerutu, berdiam diri atau mengkritik

seseorang yang memicu emosinya (Hurlock, 1980).

Kematangan emosi ditandai dengan kemampuan remaja menilai kondisi

secara kritis sebelum menunjukkan reaksi secara emosional. Remaja yang

mencapai kematangan emosi pada akhir masa remaja mempengaruhi cara

mengungkapkan emosi yaitu dengan menunggu waktu dan kondisi yang tepat

untuk mengungkapkan emosi dengan cara-cara yang dapat diterima. Untuk

mencapai kematangan emosional, remaja harus belajar untuk memperoleh

gambaran mengenai situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional dengan

membicarakan masalah yang dialami dengan orang lain. Selain belajar

memperoleh gambaran situasi, remaja juga belajar menggunakan katarsis

emosi seperti latihan fisik, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis dalam

menyalurkan emosi (Hurlock, 1980).

c. Hubungan Relasi Dengan Orangtua

Remaja mengalami tekanan antara keinginan untuk bergantung dengan

orangtua dan kebutuhan untuk mandiri. Tekanan yang dialami remaja

cenderung dapat menyebabkan konflik dalam keluarga dan gaya pengasuhan

orangtua yang mempengaruhi bentuk dan hasil dari konflik yang terjadi. Hal
15

tersebut menyebabkan orangtua harus bersikap hati-hati dan seimbang dalam

memberikan kemandirian kepada remaja, serta orangtua diharapkan mampu

melindungi dari kegagalan akibat dari ketidakmatangan remaja (Papalia dkk,

2009). Parke dan Buriel (dalam Santrock, 2007b) mengemukakan bahwa

orangtua memiliki peran penting dalam mengawasi hubungan sosial remaja

dan sebagai pengelola kehidupan sosial remaja.

d. Hubungan Dengan Teman Sebaya

Teman sebaya memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membentuk

sikap, minat, penampilan, perilaku dan bahan pembicaraan dibandingkan

dengan keluarga (Hurlock, 1980). Pada masa remaja jumlah waktu berinteraksi

dengan teman sebaya cenderung meningkat. Remaja memiliki kebutuhan untuk

disukai dan diterima teman sebaya atau kelompok sosial sehingga pandangan

teman sebaya mengenai diri remaja merupakan hal penting bagi remaja. Teman

sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki kesamaan dalam usia dan

tingkat kematangan. Hubungan relasi yang baik antara remaja dengan teman

sebaya mempengaruhi perkembangan sosial dan berdampak pada

perkembangan selanjutnya (Santrock, 2007b). Remaja cenderung memilih

teman yang mempunyai minat dan nilai yang sama dengan diri remaja.

Kesamaan minat dan nilai dengan teman sebaya menyebabkan remaja memiliki

perasaan aman dan percaya dalam menceritakan masalah-masalah atau

membahas hal-hal yang tidak dapat dibicarakan dengan orangtua atau guru

(Hurlock, 1980).
16

B. Problem Focused Coping

1. Pengertian Problem Focused Coping

Coping adalah usaha merubah pola pikir dan perilaku untuk mengatur tuntutan

eksternal dan atau internal spesifik yang dinilai berat atau melebihi kemampuan

individu (Lazarus & Folkman, 1984). Coping merupakan usaha dalam mengelola

kebutuhan yang dinilai merugikan atau menguntungkan, usaha tersebut berlangsung

di dalam pikiran dan perilaku (Lazarus, 1993). Compas (1987) menjelaskan Coping

sebagai reaksi alami atau refleks dalam menghadapi serangkaian ancaman, serta

respon belajar terhadap stimulus yang tidak menyenangkan. Kirchner, Forns,

Amador, dan Munoz (2010) mengemukakan bahwa coping mengacu pada usaha

mengelola pikiran dan perilaku secara sadar dalam menghadapi stres yang

mengancam keseimbangan psikologis. Coping meliputi respon perilaku dan kognitif,

dimana kontribusi respon perilaku dan kognitif bervariasi sesuai dengan kondisi yang

memicu stres, tingkat perkembangan, dan gaya menanggapi stres. Menghadapi

kondisi yang memicu stres menimbulkan reaksi coping dalam tindakan fisik atau

mental. Coping digunakan untuk memunculkan motivasi untuk mengatasi kondisi

yang memicu stres (Compas, Connor-Smith, Saltzman, Thomsen, & Wadsworth,

2001).

Secara umum, fungsi coping dipengaruhi oleh kepentingan utama yang

dipercayai individu, yaitu coping yang cenderung pada mengubah atau mengelola

masalah yang menyebabkan kondisi stres, dan coping yang cenderung mengatur

respon emosional terhadap masalah tersebut. Kecenderungan untuk mengubah atau

mengelola masalah disebut sebagai problem focused coping, sedangkan

kecenderungan mengatur respon emosi disebut sebagai emotion focused coping.


17

Pemaparan fungsi coping menimbulkan dua tipe strategi coping yang dapat

digunakan individu dalam mengatasi masalah (Lazarus & Folkman, 1984), yaitu:

a. Problem Focused Coping

Problem focused coping adalah usaha mengubah atau mengelola masalah

yang dihadapi dengan melakukan confrontive coping, accepting responsibility,

planful problem-solving, dan positive re-appraisal (Folkman dkk, 1986).

Problem focused coping serupa dengan strategi yang digunakan untuk

pemecahan masalah, seperti mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi

alternatif, menimbang kerugian dan manfaat alternatif sehingga dapat memilih

salah satu alternatif, yang selanjutnya menentukan tindakan yang diambil.

Problem focused coping memiliki susunan yang lebih luas dalam

menggunakan strategi untuk mengatasi masalah dibandingkan hanya dengan

menggunakan strategi pemecahan masalah (Lazarus & Folkman, 1984).

b. Emotion Focused Coping

Emosional focused coping tidak mengubah makna dari kondisi stres

secara langsung, namun merubah cara individu dalam menginterprestasikan

kondisi stres tanpa merubah kondisi tersebut dengan melakukan distancing,

self-controling, seeking social support, dan escaape-avoidance (Folkman dkk,

1986). Emotional focused coping cenderung menyebabkan individu melakukan

tindakan menghindari, meminimalisasi masalah, memisahkan diri dari masalah,

membandingi secara positif, melihat nilai positif dari masalah untuk

mengurangi tekanan emosional dari kondisi stres. Individu menggunakan

emotional focused coping untuk mempertahankan harapan dan rasa optimis,

menyangkal fakta, menolak mengakui sesuatu yang buruk terjadi,


18

menunjukkan sikap seolah-olah kondisi stres tidak menganggu dan sebagainya

(Lazarus & Folkman, 1984).

Folkman dan Lazarus (1984) menjelaskan bahwa secara umum emotion

focused coping cenderung digunakan ketika individu merasa tidak mampu mengatasi

masalah yang mengancam atau kondisi lingkungan yang menantang, sedangkan

problem focused coping cenderung digunakan individu ketika merasa diri bisa

mengatasi masalah. Heppner dan Lee (dalam Santrock, 2007b) mengemukakan

bahwa problem focused coping dapat bekerja lebih baik apabila digunakan dalam

jangka waktu lama dibandingkan dengan emotion focused coping. Maka kesimpulan

yang didapat adalah problem focused coping adalah usaha yang dilakukan individu

untuk mengatasi masalah dengan melakukan confrontive coping, accepting

responsibility, planful problem solving, dan positive reappraisal

2. Dimensi Problem Focused Coping

Folkman, dkk (1986), memaparkan empat dimensi problem focused coping

yaitu:

a. Confrontive coping adalah usaha yang dilakukan individu merubah kondisi

atau situasi stres dengan mengekspresikan perasaan secara langsung terhadap

sesuatu peristiwa atau terhadap individu yang menimbulkan stres seperti

mengekpresikan perasaan terhadap seseorang yang menimbulkan masalah,

tetap pada prinsip yang dimiliki dan berjuang untuk mempertahankan prinsip

tersebut sehingga dengan memiliki kemampuan confrontive coping

menyebabkan individu mampu mengambil resiko dari kondisi stres yang

dihadapi (Folkman dkk, 1986).

b. Accepting responsibility adalah sikap individu untuk memahami peran yang

dimiliki ketika berada di kondisi yang menimbulkan stres dengan berusaha


19

untuk membuat kondisi tersebut kembali stabil seperti mengkritik atau

introspeksi diri, meminta maaf atau melakukan sesuatu untuk memperbaiki

kondisi, membuat perjanjian dengan diri sendiri sehingga tidak melakukan

kesalahan serupa dimasa mendatang (Folkman dkk, 1986).

c. Planful problem solving adalah usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi

kondisi stres dengan bersikap tenang dan berfokus terhadap masalah. Individu

melakukan analisis untuk melakukan pemecahan masalah dalam mengatasi

kondisi stres tersebut seperti memahami apa yang telah diperbuat kemudian

meningkatkan usaha untuk memperbaiki kondisi, membuat perencanaan dalam

berperilaku atau membuat berbagai macam solusi untuk mengatasi masalah

(Folkman dkk, 1986).

d. Positive reappraisal adalah usaha individu untuk menciptakan makna positif

dengan berfokus pada pengembangan diri seperti berubah atau berkembang

menjadi diri yang lebih baik, mengetahui pengalaman yang didapat dari

berbagai masalah sehingga membuat diri menjadi lebih baik dimasa

mendatang. Individu dengan positive reappraisal memiliki sifat religious

karena individu menemukan keyakinan baru (Folkman dkk, 1986).

C. Pola Asuh Autoritatif

1. Pengertian Pola Asuh Autoritatif

Pola asuh merupakan aktivitas kompleks yang melibatkan berbagai perilaku

spesifik, dimana aktivitas tersebut bekerja sendiri dan bersama-sama mempengaruhi

perkembangan anak (Darling, 1999). Baumrind (2005) menyebutkan ada dua faktor

yang menentukan pola asuh, yaitu:


20

a. Responsiveness

Responsiveness merupakan tanggapan orangtua dalam membantu

perkembangan anak dengan menyesuaikan diri, mendukung, dan menyetujui

permintaan anak secara tidak langsung. Orangtua yang memiliki

responsiveness cenderung memberikan kehangatan, dukungan otonomi, dan

komunikasi dua arah.

b. Demandingness

Demandingness merupakan tuntutan orangtua terhadap anak supaya

berperilaku seperti harapan masyarakat dengan melakukan regulasi perilaku,

konfrontasi secara langsung, menutut kedewasaan (kontrol perilaku) dan

mengawasi aktivitas anak (memonitor).

Baumrind (1991) mengemukakan empat tipe pola asuh yang digunakan

orangtua dalam membimbing anak, yaitu:

a. Pola Asuh Autoritatif

Orangtua dengan pola asuh autoritatif mengarahkan anak untuk mampu

beraktivitas secara rasional dan berorientasi pada masalah. Orangtua

mengutamakan kualitas anak dan membentuk standar untuk masa depan anak.

Orangtua menggunakan komunikasi dua arah dalam menetapkan suatu standar

sehingga anak mengetahui alasan dari standar yang ditetapkan dan

menyampaikan pendapatnya apabila terdapat standar yang dirasa memberatkan

anak. Orangtua melibatkan anak dalam membentuk standar karena standar

yang ditetapkan berlaku hingga di masa mendatang. Orangtua tidak

memaksakan otoritas sebagai orang dewasa namun dapat menghargai

kepentingan dan cara khusus yang dimiliki anak. Orangtua dengan pola asuh
21

autoritatif memiliki keseimbangan dalam memberikan responsiveness dan

demandingness (Baumrind, 1966).

Orangtua menggunakan alasan serta kekuatan dalam mencapai suatu

tujuan. Orangtua dengan pola asuh autoritatif tidak membuat keputusan

berdasarkan keinginan sendiri atau keinginan anak, karena orangtua autoritatif

tidak memandang diri sebagai sosok yang sempurna (Baumrind, 1968).

Orangtua mengharapkan anak dapat bersikap tegas, memiliki tanggung jawab,

mandiri dan menjadi individu yang koperatif (Baumrind, 1991).

b. Pola Asuh Autoritarian

Orangtua dengan pola asuh autoritarian membentuk, mengontrol dan

mengevaluasi perilaku dan sikap anak agar sesuai dengan standar yang telah

ditetapkan. Standar tersebut merupakan standar mutlak yang dirumuskan oleh

otoritas tertinggi. Orangtua tidak menggunakan komunikasi dua arah dan

menegaskan bahwa anak harus menerima pendapat yang diberikan orangtua.

Orangtua menilai kepatuhan terhadap pendapat dan standar yang telah dibentuk

sebagai kebijakan yang mulia dalam membatasi perilaku anak. Orangtua

percaya dalam menempatkan anak sesuai dengan tempat, membatasi otonomi

anak dan menetapkan tanggung jawab terhadap tugas rumah merupakan cara

menanamkan rasa hormat anak dalan bekerja (Baumrind, 1966; 1968).

Orangtua dengan pola asuh autoritarian memberikan demandingness namun

tidak memberikan responsiveness. Orangtua menyediakan lingkungan yang

tertib, peraturan yang jelas dan memantau aktivitas anak dengan hati-hati

(Baumrind, 1991).
22

c. Pola Asuh Permisif

Orangtua dengan pola asuh permisif cenderung memenuhi kebutuhan

anak, kurang mengarahkan anak, dan menujukkan sikap lemah lembut

(Baumrind, 1991). Orangtua menunjukkan perilaku tidak memberikan

hukuman, menerima dan menyetujui keinginan anak. Orangtua memberikan

sedikit tuntutan dalam tanggung jawab terhadap tugas rumah dan perilaku.

Orangtua tidak menempatkan diri sebagai individu yang dapat membentuk dan

mengubah perilaku anak, namun menempatkan diri sebagai sumber dimana

anak dapat memenuhi keinginan-keinginannya. Orangtua menghindari

tindakan mengontrol anak dan tidak mendorong anak untuk memenuhi standar

yang ditetapkan, namun mengijinkan anak untuk mengatur kegiatannya sendiri

(Baumrind, 1966).

d. Pola Asuh Tidak Terlibat atau Neglect

Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat atau neglect tidak menuntut

ataupun memenuhi kebutuhan anak. Orangtua tidak memiliki struktur dan tidak

memantau serta mendukung anak, karena secara aktif menolak bertanggung

jawab dalam membesarkan anak (Baumrind, 1991). Darling (1999)

menjelaskan bahwa orangtua dengan pola asuh tidak terlibat cenderung

menolak dan mengabaikan peran orangtua dalam mengasuh anak.

Pola asuh yang digunakan orangtua dapat memprediksi kesejahteraan anak

dalam aspek kompentesi sosial, kemampuan akademik, perkembangan psikososial

dan perilaku bermasalah (Darling, 1999). Kopko (2007) menjelaskan bahwa orangtua

dengan pola asuh autoritatif memiliki pengaruh terhadap perkembangan kesehatan

remaja, menyediakan keseimbangan antara afeksi dan dukungan serta tingkat kontrol

dalam mengelola perilaku remaja. Dampak yang timbul pada remaja adalah remaja
23

menjadi mandiri dan mengembangkan otonomi yang sehat dengan batasan, aturan

dan pedoman yang telah ditentukan oleh orangtua.

Orangtua autoritatif mengajarkan anak untuk melakukan komunikasi dua arah

sehingga anak mengetahui alasan-alasan dari suatu keputusan yang dibuat dan

mengembangkan kemampuan mendengar pendapat orang lain. Pola asuh autoritatif

menyebabkan anak dan remaja lebih kompeten dalam bersosialisasi dibandingkan

dengan orangtua yang menggunakan pola asuh selain autoritatif (Baumrind, 1991).

Kesimpulan dari pemaparan yang telah disampaikan bahwa pola asuh autoritatif

adalah pola pengasuhan dengan pemberian kontrol dan afeksi secara seimbang yang

mengutamakan kualitas anak dengan melibatkan anak secara aktif dalam menetapkan

standard melalui komunikasi dua arah dan membimbing anak untuk memiliki sikap

yang tegas, bertanggungjawab, mandiri serta kooperatif.

2. Konsekuensi Pola Asuh Terhadap Anak

Darling (1999) mengemukakan bahwa responsiveness yang diberikan orangtua

dapat memprediksi kompetensi sosial dan fungsi psikososial anak, sedangkan

demandingness berhubungan dengan kompetensi instrumen dan kontrol perilaku.

Tipe pola asuh yang diterapkan orangtua memiliki konsekuensi terhadap

kesejahteraan anak dalam kompetensi sosial, prestasi akademik, perkembangan

psikososial dan masalah perilaku. Konsekuensi yang ditimbulkan dari empat tipe

pola asuh terhadap anak, adalah:

a. Pola Asuh Autoritatif

Orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan anak memiliki

kompetensi sosial dan instrument yang baik serta tidak terlibat dalam prilaku

bermasalah. Anak cenderung dapat menyeimbangkan penyesuaian dan tuntutan

ekstrenal dengan kebutuhan pribadi dan kemandirian (Darling, 1999).


24

b. Pola Asuh Autoritarian

Orangtua dengan pola asuh autoritarian menyebabkan anak menunjukkan

prestasi yang moderat di sekolah dan tidak terlibat dalam perilaku bermasalah,

tetapi memiliki kekurangan dalam kemampuan sosial, self-esteem yang rendah

dan tingkat depresi yang tinggi (Darling, 1999).

c. Pola Asuh Permisif

Orangtua dengan pola asuh permisif menyebabkan anak terlibat dalam

perilaku bermasalah dan memiliki prestasi yang rendah di sekolah, tetapi

mereka memiliki self-esteem yang tinggi, kemampuan sosial yang baik dan

tingkat depresi yang rendah (Darling, 1999).

d. Pola Asuh Tidak Terlibat

Orangtua dengan pola asuh tidak terlibat menyebabkan anak dan remaja

menunjukkan prestasi yang rendah dalam semua bidang (Darling, 1999).

Kesimpulan yang dari pemaparan yang telah disampaikan bahwa orangtua

yang menerapkan pola asuh autoritatif pada anak menyebabkan anak memiliki

kemampuan sosial yang baik serta mampu menyeimbangkan diri terhadap

penyesuaian dan tuntutan eksternal dengan kebutuhan pribadi dan kemandirian

sehingga anak tidak terlibat dalam perilaku bermasalah.

3. Pola Asuh dan Dimensi Pola Asuh

Menurut Cross (2009) perlakuan orangtua terhadap anak dapat diuraikan

menjadi 19 dimensi yang berkaitan dengan affect maupun control. Tipe pola asuh

yang diterapkan oleh suatu keluarga didasarkan pada dimensi yang menonjol dari

kesembilanbelas dimensi sebagai berikut:

a. Pleasure (Pl) : kesenangan dalam menjalani peran orangtua.

b. Displeasure (DP): keengganan dalam menjalani peran orangtua.


25

c. Confidence (Cn) : kepercayaan diri dalam menjalani peran orangtua.

d. Respect (Rt): orangtua menghormati otonomi anak dengan menunjukkan sikap

tidak instruktif, mengenali kompetensi anak, melakukan negosiasi dengan

anak.

e. Limit setting (LS): menetapkan perilaku anak yang diharapkan orangtua,

konsisten dalam menunjukkan batasan, secara langsung menghadapi konflik

atau ketidakpatuhan anak.

f. Expressiveness (Ex): orangtua mengekspresikan secara langsung perasaan,

pikiran, kesenangan atau kesedihan.

g. Maturity Demands (MD): menempatkan standard perilaku yang tepat untuk

kapasitas dan tingkat perkembangan anak.

h. Precision (Pr): ketelitian orangtua dalam menggunakan bahasa seperti

menggunakan bahasa yang jelas, aktif bertanya untuk memastikan pemahaman

anak.

i. Structure (St): struktur yang disediakan orangtua seperti menyediakan

informasi yang adekuat mengenai sesuatu yang harus diselesaikan, terdapat

struktur situasi sehingga anak memahami tugas secara objektif, fleksibel dalam

mempertahankan fokus pada sesuatu yang harus diselesaikan.

j. Warmth (Wm): interaksi yang hangat antara orangtua dengan anak seperti

menunjukkan sikap positif dan afeksi terhadap anak, menyediakan dukungan

emosional.

k. Coldness (Cl): interaksi yang dingin antara orangtua dengan anak seperti

menunjukkan sikap acuh terhadap anak.

l. Anger (An): tingkat kemarahan, ketidaksenangan, permusuhan yang

ditunjukkan orangtua terhadap anak secara langsung maupun tidak langsung.


26

m. Responsiveness (Rn): orangtua memberikan respon terhadap anak seperti

mendengarkan dengan penuh perhatian terhadap ekspresi anak, mampu

memahami kebutuhan anak dan menanggapi kebutuhan yang dirasakan

n. Interactiveness (In): tingkat interaksi dua arah antara orangtua dengan anak.

o. Creativity (Cr): tingkat kreativitas orangtua dalam interaksi dengan anak atau

pemecahan masalah ketika berada dalam situasi sulit.

p. Activity (At): tingkat aktivitas fisik dalam melakukan manipulasi objek ketika

melakukan interaksi dengan anak.

q. Happiness (Ha): tingkat kebahagiaan yang diekspresikan secara verbal atau

non-verbal oleh orangtua.

r. Sadness (Sa): tingkat kesedihan yang diekspresikan secara verbal atau non-

verbal oleh orangtua.

s. Anxiety (Ax): kecemasan atau ketakutan yang ditunjukan orangtua.

High Control
Autoritarian Autoritatif
MD LS
St Pr Rn In
At Cr

Negative DP An Ax Wm Rt Pl Positive
Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect

Tidak Peduli Permisif


Low Control
Gambar 1. 19 Dimensi pola asuh yang digolongkan sesuai dengan empat tipe pola asuh orangtua
(Autoritatif, Autoritarian, Permisif, Tidak Terlibat/Neglect) (Cross, 2009).
27

Berdasarkan Gambar 1 menunjukan bahwa delapan dari sembilan belas dimensi yang

menonjol dari pola asuh orangtua dapat dikategorikan ke dalam pola asuh autoritatif. Pola

asuh autoritatif yang diterapkan orangtua memiliki affect yang positif dan control yang

tinggi terhadap anak. Hal tesebut ditandai dengan orangtua menunjukkan sikap responsif

terhadap anak, kreatif dalam berinteraksi dan memecahkan masalah, berinteraksi dua arah,

menunjukkan kehangatan, menghormati otonomi anak, memiliki harapan terhadap perilaku

anak, menggunakan bahasa secara hati-hati dalam berinteraksi dengan anak dan senang

menjalani peran sebagai orangtua menunjukkan affect yang positif serta control yang

tinggi (Cross, 2009).

D. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Sternberg dan Salovey (dalam Goleman, 2015), memandang kecerdasan secara

luas yang merupakan kerangka kebutuhan manusia untuk meraih keberhasilan dalam

hidup. Gardner (dalam Goleman, 2015) menjelaskan kecerdasan pribadi adalah

kemampuan memahami orang lain, mengetahui motivasi dan cara kerja individu

tersebut, serta bekerjasama dalam bekerja. Kecerdasan pribadi tidak dapat diabaikan

karena memberikan hasil pemikiran yang intuitif dan akal sehat (Goleman, 2015).

Salovey (dalam Goleman, 2015), mencantumkan kecerdasan pribadi yang

disebutkan Gardner sebagai dasar dari definisi kecerdasan emosional. Kecerdasan

emosional adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi,

motivasi diri, empati, dan membina hubungan. Kecerdasan emosional merupakan

serangkaian ciri atau karakter yang memiliki dampak terhadap kehidupan individu

(Goleman, 2015).
28

Ketrampilan kecerdasan emosi mempengaruhi ketrampilan kognitif yang

menyebabkan individu dapat menggunakan potensi diri dengan maksimal. Individu

dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki kecakapan pribadi yang menentukan

cara individu dalam mengelola diri sendiri dan kecakapan sosial yang menentukan

cara individu dalam menangani suatu hubungan sehingga kedua kecakapan tersebut

mempengatuhi potensi yang dimiliki individu (Goleman, 2000). Kecerdasan

emosional yang tinggi maupun rendah dan ketrampilan emosi mempengaruhi

kehidupan emosional individu. Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang

tinggi dapat mengetahui dan mengatasi perasaan diri dengan baik dan memiliki

kemampuan mengenali dan menghadapi perasaan orang lain secara efektif. Hal

tersebut menyebabkan individu bekerja secara produktif dan dapat menguasai pola

pikir yang menimbulkan kebahagiaan dan keberhasilan dalam kehidupan. Individu

yang tidak memiliki kecerdasan emosional cenderung mengalami perdebatan dengan

diri sendiri sehingga mempengaruhi kemampuan dalam memusatkan pikiran ketika

bekerja dan tidak dapat berpikir dengan jernih (Goleman, 2015).

2. Pikiran Rasional dan Emosional

Individu memiliki dua jenis pikiran yaitu pikiran rasional untuk berpikir dan

pikiran emosional untuk merasakan yang berpengaruh terhadap kecerdasan

emosional individu tersebut. Pikiran rasional adalah suatu pemahaman yang individu

sadari seperti kesadaran untuk bertindak hati-hati. Pikiran emosional adalah suatu

pemahaman yang impulsif dan memiliki pengaruh yang besar terhadap individu.

Pikiran rasional dan emosional memiliki sifat saling mempengaruhi dalam kehidupan

mental individu karena emosi memberi informasi kepada pikiran rasional sehingga

pikiran rasional memilah-milah informasi dari emosi (Goleman, 2015).


29

Bagian-bagian otak yang memiliki pengaruh terhadap pikiran rasional dan

emosional adalah neokorteks dan amigdala. Neokorteks merupakan bagian otak yang

melakukan proses pikiran rasional. Neokorteks memiliki fungsi mengumpulkan dan

memahami informasi yang diberikan oleh indra sehingga dapat menambahkan

informasi dari proses berpikir terhadap informasi yang diperoleh individu.

Neokorteks memiliki peran dalam menyusun tindakan yang tepat, sedangkan respon

yang menyebabkan individu bertindak merupakan peran dari amigdala (Goleman,

2015).

Amigdala merupakan bagian otak yang mempengaruhi pikiran emosional.

Amigdala memiliki fungsi untuk mengetahui makna emosional dan sebagai pusat

ingatan emosional. Individu yang memiliki kerusakan pada amigdala sulit

memahami dan merasakan perasaan serta menunjukkan sikap menarik diri dari

lingkungan sosial. Amigdala dapat menganalisis informasi yang diperoleh indra

dimana mengisyaratkan kesulitan sehingga menyebabkan tubuh menunjukkan reaksi

seperti detak jantung dan tekanan darah meningkat dalam menghadapi informasi

tersebut (Goleman, 2015).

Amigdala mampu menyimpan ingatan dan respon emosional yang tidak

disadari secara penuh, hal ini menyebabkan individu bertindak tanpa menyadari

tindakan yang dilakukan. Amigdala menyisipkan ingatan emosional yang melekat

pada fakta-fakta dari suatu informasi karena terjadi proses perangsangan dengan

melibatkan hipokampus dalam mengenali makna dari informasi tersebut. Amigdala

mampu membandingkan informasi yang terjadi saat ini dengan yang terjadi di masa

lalu. Proses membandingkan informasi bersifat asosiatif yaitu ketika suatu informasi

saat ini memiliki unsur kemiripan dengan di masa lalu maka amigdala akan

memberikan respon terhadap pola pikir, emosi dan reaksi dengan cara-cara yang
30

serupa tanpa menganalisis lebih mendalam informasi yang didapat saat ini.

Kecepatan dalam memberikan respon menimbulkan ketidaktelitian yang

menyebabkan individu bertindak secara irasional dan mempengaruhi hubungan antar

individu (Goleman, 2015).

Kesulitan dalam mengendalikan emosi menyebabkan pikiran emosional

mendominasi pikiran rasional karena amigdala bekerja secara aktif dan terjadi

kegagalan dalam mengaktifkan proses neokorteks yang berfungsi menjaga

keseimbangan respon emosional. Untuk menghindari pikiran emosional yang

mendominasi, maka dalam mengelola emosi dibutuhkan peran korteks prefrontal.

Korteks prefrontal memiliki fungsi untuk mengatur reaksi emosi individu dengan

melakukan penilaian terhadap informasi sehingga individu mampu menimbang

reaksi yang ditunjukkan sebelum bertindak (Goleman, 2015).

Pembelajaran emosi dalam kehidupan individu membantu dalam menyusun

keputusan, karena hubungan antara amigdala dan neokorteks menjelaskan bahwa

emosi memiliki peran penting dalam proses berpikir yang efektif untuk menyusun

keputusan-keputusan yang bijaksana maupun berpikir jernih (Goleman, 2015). Hasil

penelitian LeDoux (dalam Goleman, 2015) menunjukkan amigdala memiliki kendali

terhadap sesuatu yang dikerjakan individu karena ketika otak berpikir, neokorteks

sedang menyusun keputusan. Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruh terhadap

neokorteks merupakan inti dari kecerdasan emosional.

3. Dimensi Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman (2000) kecakapan emosi adalah kecakapan dari hasil belajar

berdasarkan kecerdasan emosional sehingga menghasilkan kinerja yang menonjol

dalam pekerjaan dengan melihat berapa banyak potensi individu miliki (Goleman,
31

2000). Hubungan antara lima dimensi kecerdasan emosional dan 25 kecakapan emosi

adalah sebagai berikut:

a. Mengenali emosi diri

Mengenali emosi diri atau kesadaran diri adalah usaha mengenali perasaan

diri ketika perasaan tersebut terjadi. Kesadaran diri merupakan kemampuan

mendasar dalam kecerdasan emosional sehingga dapat terbentuk kecakapan-

kecakapan lain seperti mengelola emosi. Kesadaran diri membantu individu

mengenali perasaan yang tidak menyenangkan dan membantu individu

melepaskan diri dari perasaan tersebut. Ketidakmampuan menyadari perasaan

menyebabkan individu terbawa oleh perasaan (Goleman, 2015). Goleman (2000)

mengemukakan bahwa mengenali emosi menyebabkan individu memiliki tiga

kecakapan emosi, yaitu:

1) Kesadaran emosi yaitu kemampuan individu mengenali emosi dan pengaruh

dari emosi yang dirasakan.

2) Penilaian diri secara akurat yaitu kemampuan untuk mengetahui kekuatan

dan kelemahan yang dimiliki individu

3) Percaya diri merupakan keyakinan mengenai harga diri dan kemampuan

yang dimiliki individu.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri

dengan melibatkan usaha dalam mengatasi perasaan sehingga dapat tersampaikan

secara tepat. Mengelola emosi membantu individu menyeimbangkan emosi

bukan menekan emosi tersebut karena setiap perasaan dari emosi memiliki nilai

dan makna tersendiri. Menyeimbangkan emosi merupakan kunci kesejahteraan

emosi setiap individu (Goleman, 2015). Goleman (2000) mengemukakan bahwa


32

mengelola emosi menyebabkan individu memiliki lima kecakapan emosional,

yaitu:

1) Pengendalian diri yaitu kemampuan individu dalam mengelola emosi dan

impuls secara efektif.

2) Dapat dipercaya merupakan hasil yang diperoleh individu ketika

menunjukkan kejujuran dan integritas

3) Kewaspadaan merupakan kemampuan yang menyebabkan individu

diandalkan oleh oranglain dan mampu bertanggung jawab dalam

menyelesaikan kewajiban.

4) Adaptibilitas yaitu kemampuan individu dalam menghadapi perubahan

secara fleksibel.

5) Inovasi yaitu kemampuan individu menunjukkan sikap terbuka terhadap ide

dan pendekatan baru serta informasi saat ini.

c. Motivasi diri

Motivasi diri adalah kemampuan individu menata emosi untuk mencapai

tujuan. Individu yang memiliki motivasi diri cenderung memiliki harapan yang

tinggi, dimana harapan memiliki peran dalam keberhasilan individu untuk

menyelesaikan tugas-tugas. Harapan memiliki arti bahwa individu tidak terbawa

oleh kecemasan, tidak bersikap pasrah atau depresi dalam menghadapi tantangan

atau kemunduran. Individu yang mampu melakukan motivasi diri juga memiliki

sikap optimisme (Goleman, 2015).

Seligman (dalam Goleman, 2015) mendefinsikan optimisme sebagai salah

satu cara individu dalam memandang keberhasilan dan kegagalan. Individu yang

optimis cenderung memandang kegagalan sebagai sesuatu yang dapat diubah

sehingga individu dapat berhasil di masa depan. Reaksi emosional terhadap


33

kegagalan memiliki peran penting dalam meningkatkan motivasi diri. Optimisme

memiliki arti bahwa segala sesuatu dalam kehidupan dapat terselesaikan.

Keadaan flow juga dapat menimbulkan motivasi diri pada individu. Flow

merupakan keadaan yang terbebas dari gangguan emosional dan paksaan. Flow

melibatkan perasaan penuh motivasi yang ditimbulkan oleh individu dari hasil

fokus pada suatu pekerjaan. Goleman (2000) mengemukakan bahwa motivasi diri

menyebabkan individu memiliki tiga kecakapan emosional, yaitu:

1) Dorongan berprestasi yaitu kemampuan individu untuk meningkatkan atau

memenuhi standar keunggulan.

2) Komitmen yaitu kemampuan tetap bertahan terhadap visi dan tujuan

individu atau kelompok.

3) Inisiatif yaitu kemampuan yang menggerakan individu untuk menemukan

kesempatan

4) Optimisme yaitu kemampuan individu dalam menerima kegagalan serta

tantangan sebagai awal dari keberhasilan.

d. Empati

Empati merupakan radar sosial individu. Pada tingkatan terendah dalam

empati meliputi kemampuan membaca emosi orang lain, namun pada tingkat

tertinggi empati mencangkup kemampuan individu untuk menanggapi kebutuhan

atau perasaan individu yang tidak tersampaikan (Goleman, 2000). Empati adalah

kemampuan individu mengenali atau memahami perasaan yang dirasakan orang

lain. Individu cenderung menunjukkan perasaan yang dirasakan melalui isyarat

atau pesan non-verbal seperti gerak gerik, nada berbicara dan ekspresi wajah,

karena kebenaran emosional terletak pada bagaiama individu menyampaikan

sesuatu (Goleman, 2015). Kunci utama individu dalam berempati dengan terlebih
34

dahulu memahami secara mendalam emosi yang dirasakan oleh diri sendiri.

Empati memiliki lima kecakapan emosional (Goleman, 2000), yaitu:

1) Memahami orang lain adalah kemampuan individu untuk mengetahui

perasaan dan perspektif orang lain serta menunjukkan ketertarikan terhadap

hal tersebut.

2) Orientasi pelayanan adalah kemampuan individu untuk mengantisipasi,

mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.

3) Mengembangkan orang lain adalah kemampuan individu mengetahui

kebutuhan orang lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuannya.

4) Mengatasi keragaman adalah kemampuan individu dalam menghadapi

keragaman latar belakang yang dimiliki orang lain.

5) Kesadaran politis adalah kemampuan individu dalam membaca arus-arus

emosi sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.

e. Membina hubungan

Membina hubungan merupakan kemampuan yang mendukung popularitas,

kepemimpinan, dan keberhasilan antar individu. Dalam membina hubungan

individu dapat menyampaikan perasaannya sendiri dan mampu mengatasi emosi

orang lain. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan perasaan diri dan

emosi orang lain menyebabkan orang lain merasa nyaman, sehingga disenangi

serta dikenali oleh banyak orang (Goleman, 2015). Goleman (2000)

mengemukakan bahwa membina hubungan menyebabkan individu memiliki

delapan kecakapan emosional, yaitu:

1) Memberikan pengaruh yaitu kemampuan individu menyusun strategi untuk

melakukan persuasif secara aktif


35

2) Komunikasi yaitu kemampuan individu menyampaikan pesan dengan

menyakinkan dan jelas.

3) Kepemimpinan yaitu kemampuan individu dalam menimbulkan inspirasi

dan memandu orang lain maupun kelompok.

4) Katalisator perubahan yaitu kemampuan individu memulai, mendorong dan

mengelola perubahan.

5) Manajemen konflik yaitu kemampuan individu melakukan negosiasi dan

mengatasi perbedaan pendapat.

6) Pengikat jaringan yaitu kemampuan individu dalam membangun hubungan

sebagai media untuk memperluas jaringan.

7) Kolaborasi dan kooperasi yaitu kemampuan individu dalam bekerjasama

dengan orang lain untuk tujuan bersama.

8) Kemampuan tim yaitu kemampuan individu dalam menciptakan

keseimbangan kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.

E. Peran Pola Asuh Autoritatif Dan Kecerdasan Emosional Terhadap Problem

Focused Coping Pada Remaja Akhir

Santrock (2007a) mengemukakan bahwa masa remaja adalah sebuah periode transisi

perkembangan masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkakn perubahan

biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dibagi menjadi tiga kategori yaitu

masa remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir (Mönk, Knoers & Haditono, 2002).

Pada masa remaja akhir, remaja diharapkan sudah mampu menstabilkan gejolak-gejolak

yang dialami sehingga remaja mampu mencapai identitas diri, kematangan emosi,

hubungan relasi dengan orangtua dan teman sebaya yang baik (Santrock, 2007a). Remaja

akhir yang mencapai kematangan emosi mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi
36

secara tepat ketika menghadapi individu atau situasi yang memicu emosi (Ali dan Asrori,

2012). Remaja akhir yang mampu mengatasi dan mengungkapkan emosi secara tepat

dalam menghadapi masalah merupakan perwujudan dari penggunaan problem focused

coping. Problem focused coping adalah usaha yang dimiliki individu untuk tidak

melibatkan emosi dalam mengatasi dan menghadapi kondisi stres atau masalah secara

langsung (Lazarus & Folkman, 1984).

Mengembangkan kemampuan problem focused coping pada remaja akhir

dipengaruhi oleh peran pola asuh autoritatif. Wolfaardt dkk (2003) menjelaskan bahwa

individu yang diasuh dengan pola asuh autoritatif cenderung mengembangkan coping

secara aktif. Orangtua dengan pola asuh autoritatif memiliki interaksi yang hangat dengan

anak karena menggunakan bahasa secara hati-hati dan jelas ketika memberikan respon

penuh perhatian terhadap ekpresi anak. Individu menggunakan pola interaksi hangat dalam

menghadapi orang lain sehingga menimbulkan kemampuan confrontive coping karena

mampu mengekspresikan perasaan secara langsung terhadap sesuatu peristiwa atau

individu yang menimbulkan stres.

Pola asuh autoritatif dapat mengembangkan kemampuan problem solving atau

pemecahan masalah individu. Kreativitas dalam interaksi maupun memecahkan masalah

yang digunakan oleh orangtua dengan pola asuh autoritatif menyebabkan individu yang

diasuh dengan pola ash autoritatif akan mampu mengembangkan pemecahan masalah yang

terencana (planful problem solving) dengan menganalisis dan bersikap tenang dalam

menghadapi masalah (Suparmi & Ngahu, 2006).

Peran orangtua dalam mempersepsikan otonomi dan menstimulasi suasana keluarga

mempengaruhi perilaku coping remaja (Seiffge-Krenke dan Pakalniskiene, 2011).

Orangtua dengan pola asuh autortiatif juga menetapkan perilaku anak sesuai dengan yang

diharapkan sehingga anak mampu bersikap tegas, bertanggung jawab mandiri dan
37

kooperatif (Baumrind, 1991; Kopko, 2007). Individu yang diasuh dengan pola asuh

autoritatif cenderung memahami batasan-batasan dalam berperilaku dan peran yang

dimiliki pada situasi tertentu sehingga individu mengembangkan kemampuan menerima

tanggung jawab (accepting responsibility) atas tindakan yang dilakukan.

Selain pola asuh autoritatif, kecerdasan emosional juga berperan dalam

mempengaruhi individu mengembangkan problem focused coping (Fajarwati, 2005;

Saptoto, 2010). Kecerdasan emosional adalah kemampuan dalam mengenali emosi diri,

mengelola emosi, motivasi diri, empati, dan membina hubungan (Goleman, 2015).

Individu yang mampu mengenali emosi dan mengelola emosi akan mampu

mengembangkan confrontive coping sehingga mampu mengekspresikan perasaan secara

langsung dan tepat terhadap individu yang membuat masalah. Individu yang mampu

mengenali emosi dan mengelola emosi cenderung akan mampu memotivasi diri, berempati

dan membina hubungan dengan orang lain sehingga dapat mengembangkan planful

problem solving, accepting responsibility dan positive reappraisal karena individu dapat

bersikap tenang, fokus melakukan analisa, mampu memotivasi diri ketika menghadapi

masalah, dan melakukan diskusi dalam melakukan negosiasi untuk menyelesaikan masalah

(Fajarwati, 2005; Saptoto, 2010).

Diagram peran pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional terhadap problem focused

coping dapat dilihat pada gambar 2.

Keterangan Gambar 2.
: Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung
: Variabel yang diteliti
: Dimensi variabel
38

a. Kehangatan interaksi orangtua dengan anak


b. Tegas dalam mengarahkan perilaku anak
c. Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang
anak
d. Menetapkan perilaku yang diharapkan

POLA ASUH AUTORITAITF


PROBLEM FOCUSED
COPING
KECERDASAN EMOSIONAL

a. Confrontive coping
A. Mengenali emosi/kesadaran diri b. Accepting responsibility
B. Mengelola emosi c. Planful problem solving
C. Motivasi diri d. Positive Reappraisal
D. Kemampuan empati
E. Membina hubungan

Gambar 2. Diagram peran pola asuh autortiatif dan kecerdasan emosional terhadap problem
focused coping remaja akhir.

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Mayor

Pola asuh autoritatif dan kecerdasan emosional berperan terhadap problem focused

coping remaja akhir di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.

2. Hipotesis Minor

a. Pola asuh autoritatif berperan terhadap problem focused coping remaja akhir di

Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.

b. Kecerdasan emosional berperan terhadap problem focused coping remaja akhir

di Program Studi Pendidikan Dokter FK UNUD.

Anda mungkin juga menyukai