Anda di halaman 1dari 59

Konservasi Tumbuhan Langka Medan, Oktober 2022

RESUME PERBANYAKAN TUMBUHAN KAKAO


(Theobroma cacao L.)
Dosen Penanggungjawab:
Mariah Ulfa, S.Hut., M.Sc

Disusun Oleh;
Sri Meliana Saragih
191201109
KSH-7

FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
a. Klasifikasi
• Kerajaan : Plantae
• Divisi : Spermatophyta
• Kelas : Dicotyledoneae
• Ordo : Malvales
• Famili : Sterculiaceae
• Genus : Theobroma
• Spesies : Theobroma cacao L.
b. Status Konservasi: Least Concern (stabil)
Gambar 1. Pohon Kakao

Gambar 2. Daun Kakao Gambar 3. Bunga Kakao Gambar 4. Buah Kakao

c. Deskripsi
Tanaman Kakao (Theobroma cacao L) ditemukan di Hutan Tridharma USU,
tepatnya disamping Gedung Fakultas Farmasi. Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan terdapat dua pohon kakao yang sedang berbuah. Morfologi dari tumbuhan
kakao antara lain, memiliki komposisi daun yang majemuk dengan letak yang selang
seling (opposite), bentuk daun oval, pangkal daun optuse, permukaan daun licin
gundul tanpa rambut (Gambar 2). Buah dan bunga tumbuh di sekitar ranting dan
batang pohon (Gambar 4). Bunga kakao termasuk bunga tunggal, buah majemuk
(Gambar 3). Batang silindris tidak berbanir, kulit batang bertekstur licin,
perkembangan batang monopodial, dengan percabangan menerus.
Beberapa upaya perbanyakan Theobroma cacao L. berdasarkan literatur:

1. Judul : Studi Sumber Stek Daun dengan Pemberian Rootone – F dan


Benzil Amino Purin (BAP) terhadap Pertumbuhan Tunas Stek
Daun Kakao (Theobroma cacao).
Penulis : Ahmad Zuheri Pulungan, Ellen Panggabean, Retna Astuti K.
Tahun : 2017.
Vol:Hal : 2(01): 29-35.
Upaya perbanyakan tanaman Kakao yang digunakan pada literatur ini adalah
perbanyakan vegetatif dengan stek daun. Kriteria daun yang digunakan adalah sepertiga
bagian ujung daun yang tidak terlalu tua. Beberapa alat dan bahan tambahan seperti zat
pengatur tumbuh ROOTONE-F, Benzyl Amino Purin (BAP), gunting stek, dll. Tujuan
litetatur ini Meningkatkan persentase pertumbuhan stek daun kakao. Literatur ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, 3 x 3 dengan 3 ulangan
sehingga diperoleh sembilan kombinasi perlakuan. Hasil literatur menunjukkan bahwa
pertumbuhan stek daun kakao dengan penggunaan ZPT pada berbagai konsentrasi tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan stek daun. Sehingga
disimpulkan bahwa: Stek daun kakao mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
alternatif cara perbanyakan tanaman. Pemberian ZPT Rootone-F pada perlakuan R1B3
dapat memberikan persentase hidup tertinggi mencapai 56,67%. Pemberian ZPT
Rootone-F dan Benzil Amino Purin (BAP) menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada
pertumbuhan kalus terhadap semua perlakuan stek daun kakao.

2. Judul : Pengaruh Tingkat Keberhasilan Pemindahan Bantalan Bunga


Kakao (Theobroma cacao L) melalui Pemilihan Bantalan Bunga
Kakao Aktif dan Non Aktif dengan Teknik Okulasi yang
Berbeda.
Penulis : Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring
Tahun : 2017.
Vol:Hal : 5(01): 12-22.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemindahan
bantalan bunga kakao aktif dan nonaktif dan teknik okulasi terhadap pemindahan
bantalan bunga kakao (Theobroma cacao L.). Metode menggunakan Rancangan Acak
Kelopok (RAK). Hasil Penelitian menunjukkan Pemilihan bantalan bunga aktif
memberikan hasil sangat nyata terhadap jumlah bunga umur 50 HSO, dan memberikan
hasil nyata pada jumlah bunga umur 70 HSO. Sementara bantalan bunga nonaktif tidak
berpengaruh nyata terhadap umur berbunga dan jumlah bunga. Tehnik okulasi forket
memberikan hasil sangat nyata, sementara tehnik okulasi T-Budding memberikan hasil
yang tidak memuaskan terhadap jumlah bunga dan waktu berbunga pada okulasi bantalan
bunga tanaman kakao. Kombinasi perlakuan bantalan bunga aktif dengan tehnik okuasi
forket menunjukkan hasil sangat nyata, sementara kombinasi perlakuan antara bantalan
bunga nonaktif dengan tehnik okulasi T-Budding tidak dapat memberikan hasil yang
memuaskan pada okulasi bantalan bunga atau tidak nyata.

3. Judul : Keberhasilan Pertautan Sambung Pucuk pada Kakao


(Theobroma cacao L) dengan Waktu Penyambungan dan
Panjang Entres Berbeda.
Penulis : Susila Bety Ariani, Desi Sri Pasca Sari Sembiring, Nani Kitti
Sihaloho.
Tahun : 2017.
Vol:Hal : 1(02): 87-99.
Tujuan Penelitian untuk mengetahui waktu sambung pucuk yang tepat dan panjang
entres yang ideal terhadap tingkat keberhasilan pertautan sambungan yang baik pada
perbanyakan kakao (Theobroma cacao L). Penelitian dilakukan menggunakan rancangan
acak kelompok (RAK) yang diteliti menggunakan 2 faktor yaitu: Faktor 1 waktu (W)
penyambungan dengan tiga taraf perlakuan, Faktor 2 panjang entres (P) dengan tiga taraf
perlakuan, yaitu: P1 = 1,5 cm Panjang Entres, P2 = 4,5 cm Panjang Entres P3 = 7,5 cm
Panjang Entres. Pelaksanaan grafting pada sore hari (W3) memperlihatkan keberhasilan
pertautan sambungan lebih baik dan semakin baik lagi jika menggunakan entres yang
lebih panjang (7,5 cm). Keberhasilan pertautan sambungan lebih tinggi jika grafting
dilakukan pada sore hari dari pada pagi dan siang hari. Pelaksanaan grafting pada waktu
penyambungan berpengaruh nyata pada jumlah tunas tubuh.

4. Judul : Vegetative propagation of selected clones of cocoa (Theobroma


cacao L.) by stem cuttings.
Penulis : Essola Essola Emmanuel Junior, Caspa Roseline Gusua,
Tchatchoua Dorothy Tchapda and Owona Ndongo Pierre Andre.
Tahun : 2017.
Vol:Hal : 9(09): 80-90.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh klon, sumber stek dan zat
pengatur tumbuh konsentrasi pada pertumbuhan dan perakaran stek batang kakao
(Theobroma cacao L.). Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
Lengkap dengan 3 ulangan. Stek diatur dan dipantau setiap minggu untuk tunas bertunas
selama 10 minggu dan rooting pada minggu ke-10. Parameter berikut adalah diukur:
tingkat kelangsungan hidup, jumlah stek dengan tunas, jumlah tunas yang dihasilkan,
panjang daun, jumlah dan panjang akar yang dihasilkan. Kloning, sumber pemotongan
dan konsentrasi zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup,
perkecambahan pucuk dan perakaran stek kakao pada p = 0,05. Keseluruhan,stek mulai
menghasilkan tunas 3 minggu setelah pengaturan (WS) dan pada 10 WS semua stek
memiliki berakar. Penilaian stek pada propagator Clementine menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup sekitar75%, dengan stek ortotropik menunjukkan hasil yang lebih
tinggi daripada stek plagiotropik, sedangkan, D1 (12,5 mg) adalah konsentrasi pengatur
pertumbuhan efektif (IBA) keseluruhan yang menginduksi jumlah akar tertinggi dari
semua klon. UPA143 merupakan klon dengan nilai tertinggi untuk semua faktor yang
dinilai. Hasil produksi tanaman kakao akan lebih baik dengan perbanyakan stek.

5. Judul : Rooting Ability of Cocoa (Theobroma cacao L.) Stem Cuttings:


Effect of Genotype, Cutting Type, Hormone Concentration and
Their Interactions.
Penulis : Kamga, Tchatchoua, Caspa, Yombo A, Bessa and L. J. Baleba.
Tahun : 2018.
Vol:Hal : 1(02): 01-10.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan perakaran stek batang
kakao umur delapan tahun hibrida disebarluaskan di zona agroekologi ke-5 Kamerun.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap 6 x 2 x 3 dengan tiga
ulangan. Penelitian dilakukan di tempat penelitian pertanian multiguna stasiun
Nkoemvone – Ebolowa. Metodologi: Faktor yang diteliti adalah enam genotipe (G1 =
IMC67 x SNK 64, G2 = SNK 620 x MA 12, G3 = T79/501 x SNK 109, G4 = T79/501 x
SNK 64, G5 = SNK 413 x UPA 143 dan G6 = UPA 143 x SNK 64), dua jenis Pemotongan
(C1 = Orthotropic dan C2 = Plagiotropic) dan tiga rooting konsentrasi hormon (H1 = 2
tablet per liter air, H2 = tablet per liter air dan H3 =1 tablet per liter air). Kemampuan
rooting dievaluasi dengan menilai persentase stek, jumlah akar per stek berakar dan
panjang akar terpanjang per stek berakar.
Hasil analisis varians menunjukkan bahwa genotipe, konsentrasi hormon dan
sebagian besar interaksi mereka sangat signifikan sedangkan jenis pemotongan tidak
signifikan pada pengukuran sifat-sifat. Rooting terbaik diperoleh dengan genotipe G4
untuk semua parameter yang diukur. Dulu ditunjukkan dalam percobaan ini bahwa
genotipe G4 dapat diperbanyak menggunakan hormon Rhizopon, dengan a
konsentrasi tablet per liter air dan jenis pemotongan plagiotropik. Ini juga diperhatikan
dalam mereka istilah interaksi, di mana genotipe G4/Hormon konsentrasi 2 dan 3 adalah
kombinasi terbaik untuk semua parameter.
Perbedaan yang nyata antar genotipe merupakan indikasi adanya perbedaan
genotipe mungkin memerlukan kondisi yang berbeda untuk propagasi mereka. Seperti
penyelidikan terhadap persyaratan untuk perbanyakan genotipe lain harus
dipertimbangkan di masa depan.
Agrotekma, 2 (1) Desember 2017 ISSN 2548-7841 (Print) ISSN 2614-011X (Online)

Agrotekma
Jurnal Agroteknologi dan Ilmu Pertanian
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/agrotekma

Studi Sumber Stek Daun Dengan Pemberian Rootone – F Dan Benzil


Amino Purin (BAP) Terhadap Pertumbuhan Tunas
Stek Daun Kakao (Theobroma cacao)
Leaf Cut Source Study by Rootone - F and Benzil Amino Purin (BAP) Against
Growth of Shoots Cocoa Leaf Cut (Theobroma cacao)
Ahmad Zuheri Pulungan, Ellen. L. Panggabean, Retna Astuti K.
Fakultas Pertanian, Universitas Medan Area, Indonesia
*Corresponding author: E-mail: ahmadumafp@gmail.com
Abstrak
Rendahnya produktivitas kakao di Indonesia disebabkan oleh teknologi budidaya tanaman kakao yang
masih sederhana, serta penggunaan bahan tanam kakao yang mutunya kurang baik. Sehingga perlu
dilakukan penelitian untuk penggunan bibit unggul yang relatif mudah dan praktis yaitu dengan cara
stek daun. Penelitian tentang “Studi Sumber Stek Daun Dengan Pemberian Rooton-F dan Benzil Amino
Purin (BAP) Terhadap Pertumbuhan Tunas Stek Daun Kakao (Theobroma Cacao)” telah dilaksanakan
dikebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas Medan Area, Jalan Kolam No. 1 Medan Estate, mulai
bulan Mei sampai Juli 2014. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Meningkatkan persentase pertumbuhan
stek daun kakao. 2. Mengetahui pengaruh hasil ZPT Rotoone-F dan Benzil Amino Purin (BAP) terhadap
keberhasilan stek daun kakao. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, 3
x 3 dengan 3 ulangan sehingga diperoleh sembilan kombinasi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertumbuhan stek daun kakao dengan penggunaan ZPT pada berbagai konsentrasi tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan stek daun. Berdasarkan hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa:1. Stek daun kakao mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai
alternatif cara perbanyakan tanaman. Pemberian ZPT Rootone-F pada perlakuan R1B3 dapat
memberikan persentase hidup tertinggi mencapai 56,67%. 2. Pemberian ZPT Rootone-F dan Benzil
Amino Purin (BAP) menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada pertumbuhan kalus terhadap semua
perlakuan stek daun kakao
Kata Kunci: Stek, Rootone-F, Benzil Amino Purin (BAP), Daun Kakao
Abstract
The low productivity of cocoa in Indonesia is caused by the simple cocoa cultivation technology, and the
use of poor quality cocoa planting materials. So it is necessary to do research for the use of superior seeds
are relatively easy and practical that is by way of leaf cuttings. Research on "Study of Leaf Cut Source by
Granting Rooton-F and Benzil Amino Purin (BAP) Against Growth of Cocoa Leaf Cutting Stage
(Theobroma Cacao)" has been conducted experimental plantation of Faculty of Agriculture, University of
Medan Area, No. 1 Medan Estate, from May to July 2014. The purpose of this study are: 1. Increasing the
percentage of cocoa leaf growth growth. 2. Knowing the effect of ZPT Rotoone-F and Benzil Amino Purin
(BAP) on the success of cocoa leaf cuttings. This study used Factorial Randomized Complete Random
(RAL), 3 x 3 with 3 replications to obtain nine combinations of treatments. The results showed that the
growth of cocoa leaf cuttings with the use of ZPT in various concentrations did not give a significant effect
on the growth of leaf cuttings. Based on the results of research can be concluded that: 1. Cocoa leaf
cuttings have the potential to be developed as an alternative way of plant propagation. Administration of
ZPT Rootone-F on R1B3 treatment can provide the highest percentage of life reaching 56.67%. 2.
Administration of ZPT Rootone-F and Benzil Amino Purine (BAP) showed an unstable influence on callus
growth on all cocoa leaf treatment
Keywords: Cuttings, Rootone-F, Benzil Amino Purin (BAP), Cocoa Leaf
How to Cite: Pulungan A. Z., Ellen. L. P., Retna A. K., (2017), Studi Sumber Stek Daun Dengan Pemberian
Rootone – F Dan Benzil Amino Purin (BAP) Terhadap Pertumbuhan Tunas Stek Daun Kakao
(Theobroma cacao), Agrotekma, 2 (1): 29-35

29
Ahmad Zuheri Pulungan, Ellen. L. Panggabean, Retna Astuti K., Studi Sumber Stek Daun Dengan

PENDAHULUAN peningkatan tersebut sebagian besar


Kakao merupakan salah satu disebabkan oleh meningkatnya jumlah
komoditas perkebunan yang memiliki tanaman produktif, sementara laju
peran penting dalam menunjang produktivitas tanaman per hektar per
peningkatan Perekonomian Nasional. tahun cenderung menurun.
Indonesia merupakan negara terbesar Menurut Suhendi (2007) beberapa
ketiga mengisi pasokan kakao dunia yang faktor yang menyebabkan rendahnya
diperkirakan mencapai 20% bersama produktivitas kakao selain serangan hama
Negara Asia lainnya seperti Malaysia, dan penyakit, anomali iklim, tajuk tanaman
Filipina, dan Papua New Guinea (UNCTAD, rusak, populasi tanaman berkurang,
2007; WCF, 2007 dalam Supartha, 2008). teknologi budidaya oleh petani yang masih
Data Biro Pusat Statistik menunjukkan sederhana, penggunaan bahan tanam yang
bahwa pada tahun 1983 luas areal mutunya kurang baik juga karena umur
tanaman kakao 59.928 ha, dengan tanaman yang sudah cukup tua sehingga
produksi sekitar 20.000 ton, dan pada kurang produktif lagi. Hasil penelitian
tahun 1993 luas areal tanaman kakao menunjukkan bahwa tanaman kakao
menjadi 535.000 ha dengan produksi produktivitasnya mulai menurun setelah
mencapai 258.000 ton (Direktorat Jenderal umur 15 - 20 tahun.
Perkebunan, 2006). Produksi kakao saat Yasman dan Smits, (1988)
ini 435.000 ton dengan produksi dari menyebutkan beberapa keuntungan dari
perkebunan rakyat sekitar 87%. Produksi sistem stek antara lain adalah hasilnya
tertinggi yakni 67% diperoleh dari wilayah homogen, dapat diproduksi dalam jumlah
sentra produksi kakao yang berpusat di dan waktu yang diinginkan, dapat
daerah Sulawesi Selatan, Sulawesi digunakan untuk menganalisa tempat
Tenggara, dan Sulawesi Tengah (Suhendi, tumbuh (file side quality) dan dapat
2007). memperbanyak genotip-genotip yang baik
Provinsi Bali merupakan salah satu di dari suatu jenis pohon.
antara daerah lain penghasil kakao Selama ini perbanyakan tanaman
nasional yang juga memberi sumbangan kakao dengan menggunakan sambung
rata-rata sekitar 5.968,11 ton setiap tahun samping, Selain itu juga digunakan untuk
mulai tahun 2003 (Dinas Perkebunan memperbaiki tanaman yang rusak secara
Provinsi Bali, 2009). Sumbangan tersebut fisik, menambah jumlah klon dalam
terus meningkat pada tahun–tahun populasi tanaman, mengganti klon, dan
berikutnya karena meningkatnya pemendekan tajuk tanaman. Jika
pertanaman kakao di Provinsi Bali. dibandingkan dengan sambung pucuk,
Meningkatnya luas areal tanaman kakao maka sambung samping memiliki tingkat
tidak diikuti oleh peningkatan produksi keberhasilan yang lebih tinggi karena
kakao yaitu tahun 2007 yaitu 7.425,94 ton, batang bawah masih memiliki tajuk yang
tahun 2008 yaitu 6.745,51 ton, dan tahun lengkap, sehingga proses fotosintesis
2009 yaitu 6.800,54 ton (Dinas untuk menghasilkan zat-zat makanan
Perkebunan Provinsi Bali, 2009). Produksi dapat berlangsung dengan baik (Agro
kakao di Provinsi Bali pada tahun 2009 Media, 2007).
mengalami peningkatan, namun

30
Agrotekma, 2 (1) Desember 2017: 29-35

METODE PENELITIAN lebar sungkup 1,2 meter dengan panjang 6


Bahan yang digunakan adalah Daun m, serta tinggi sungkup 1,2 m. sungkup
bahagian ujung yang di gunting sepertiga dibuat dari plastik transparan, ini
bagian daun, keadaan daun tidak terlalu bertujuan agar intentitas cahaya dapat
tua yang masih dalam proses masuk, dan di atasnya diberikan naungan
perkembangan, zat pengatur tumbuh yang agar suhu di dalam sungkup tetap terjaga
digunakan ROOTONE-F, Benzyl Amino antara 260C-290C, agar suhu dapat
Purin (BAP), fungisida Dhitane M-45, pasir diperoleh sesuai dengan yang diharapkan
halus dan Air. Peralatan yang digunakan maka jarak antara shading house dengan
yaitu gunting stek, ember plastik, sendok, naungan diatasnya diatur berkisar
gelas ukur, sprayer, timbangan, oven setengah meter dari atas sheding house,
(outoklav), termometer (pengukur suhu dengan kelembapan relatif (RH) > 95%.
ruangan) cangkul, Pisau, Bambu, Kawat, Bahan stek diletakkan pada keranjang mini
Plastik transparan, Tepas rumbia dan alat (tray) yang telah diberi media pasir yang
tulis. telah di sterilisasi.
Percobaan ini dilakukan dengan Media tanam berupa pasir halus
menggunakan Rancangan Acak Lengkap disiapkan dengan takaran yang sudah
(RAL) factorial, (1) Perlakuan yang ditentukan yang kemudian disterilisasi
dilakukan adalah : Faktor Konsentrasi dengan cara menggongseng pasir dengan
Rootone-f (R) R 1 : Konsentrasi 100 ppm, R menggunakan wajan besi sampai pasir
2 : Konsentrasi 200 ppm, R 3 : Konsentrasi berubah warna menjadi putih. Media
300 ppm. (2) Faktor Konsentrasi Benzil tanam yang telah siap dimasukan ke dalam
Amino Purin (B) B 1 : Konsentrasi 100 keranjang mini (tray) yang telah dicuci
ppm, B 2 :Konsentrasi 200 ppm, B 3 : dengan air dan telah di sterilisasi
Konsentrasi 300 ppm kemudian media diaklimatisasi dalam
Model umum percobaan Rancangan ruang sungkup plastik (shadding house)
Acak Lengkap (RAL) Faktorial adalah yang siap di gunakan tempat penyemaian
sebagai berikut : daun yang telah di potong sesuai dengan
Yijk = µ + αi + βj + Σijk ukuran yang ditentukan.
Keterangan : Zat Pengatur Tumbuh Rootone-F
Yij :Nilai Pengamatan ditimbang dengan menggunakan
µ :Nilai Rata-rata pengamatan timbangan analitik dengan berat masing-
αi :Pengaruh perlakuan zat pengatur masing 0,01g, 0,02g, 0,03g, sehingga
tumbuh rootone-F taraf ke-i diperoleh konsentrasi ZPT 100 ppm, 200
βj :Pengaruh perlakuan BAP taraf ke-j ppm, 300 ppm, kemudian ZPT Rootone-F
Σij : Galat percobaan. dilarutkan ke dalam air 100 ml Aquades.
Parameter yang di amaati adalah Setelah media tanam dan ZPT
Persentase hidup, diperoleh dengan Rootone-F di siapkan, langkah barikutnya
menghitung stek daun yang hidup sampai persiapan bahan stek diambil dari daun
minggu keenam dengan kriteria setek tanaman yang daun berwarna hijau segar,
tetap hijau. kemudian daun yang telah diambil
Percobaan ini dilakukan dengan dipotong, daun bagian ujung (sepertiga
membuat sungkup berbentuk segitiga, dari bagian daun) direndam pada larutan

31
Ahmad Zuheri Pulungan, Ellen. L. Panggabean, Retna Astuti K., Studi Sumber Stek Daun Dengan

yang telah disediakan. Bahan stek menggunakan sprayer yang berisi larutan
direndam pada larutan selama 120 menit fungisida Dithane M-45pencegahan jamur
diharapkan larutan dapat masuk kedalam dan bakteri.
jaringan daun.
Penanaman dilakukan pada sore hari HASIL DAN PEMBAHASAN
setelah penyiapan bahan stek, media yang Dari hasil pengamatan persentasi
disiapkan dalam keadaan telah siap tanam, stek daun kakao hidup untuk semua
yaitu media telah steril dan media pasir perlakuan pada umur 1 sampai 2 MSA,
sebagai media tanam telah dilubangi ini daun kakao masi hidup hingga mancapai
bertujuan agar bahan stek tidak 100%. Persentasi stek daun kakao hidup
mengalami kerusakan akibat gesekan mulai menurun untuk semua perlakuan
vertikal dengan media, bahan stek yang pada 3 MSA, secara berturut – turut yaitu
telah direndam selama 120 menit hasil penurunan RIBI 96,66%, R1B2
kemudian ditanam pada lubang-lubang 96,66%, R2B1 90%, R2B3 96,66%, R3B1
yang telah disusun sedemikian sesuai 96,66%, R3B3 96,66%. Persentase hidup
dengan jumlah yang ditentukan. keranjang stek daun kakao umur 3 MSA dapat dilihat
plastik yang digunakan ukuran 30 cm x 23 pada Tabel 1.
cm x l0 cm, Selanjutnya bahan stek Tabel 1. Persentase Hidup Stek Daun Kakao
ditanam dengan jarak 2 cm x 5 cm sedalam Umur 3 MSA.
1 cm, Setelah stek daun berumur 40 hari,
media pasir dikurangi dengan cara
menyiramkan air dengan selang hingga
pangkal setek terlihat.
Persiapan Benzyl Amino Purin (BAP)
yang disediakan setelah bahan stek
membentuk kalus atau tanaman telah
berumur 5 MST, BAP disiapkan dan
ditimbang dengan menggunakan
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
timbangan analitik dengan bobot masing- yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan
masing 0,01g, 0,02g, 0,03g sehingga taraf 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.

diperoleh konsentrasi ZPT 100 ppm, 200 Sampai pada minggu ke 3 sesuai
ppm, 300 ppm, kemudian ZPT BAP yang dengan hasil pengamatan menunjukkan
telah disiapkan dilarutkan ke dalam air bahwa persentase hidup stek daun untuk
100 ml Aquades. Selanjutnya, setiap 2 hari semua perlakuan tidak nyata. Perlakuan
sekali bahan stek (pada bagian pangkal R1B3, R2B2, R3B2, menghasilkan
bawah daun) ditetesin larutan BAP dengan persentase hidup yang paling tinggi yaitu
konsentrasi yang telah ditentukan dengan mencapai 100%, sedangkan persentase
menggunakan agar tumbuh calon tunas hidup terendah terdapat pada perlakuan
pada stek daun. Pemeliharaan setek R2B1 yaitu 90%.
meliputi penyiraman setiap 3 hari Pada umur 4 MSA persentase stek
sekalisampai 8 MST, penyiangan terhadap daun kakao yang hidup mengalami
gulma, dan penyemprotan hama dan penurunan pada semua perlakuan. Pada
penyakit. Dengan menyemprotkan air perlakuan R2B1 sebesar 90%-80%

32
Agrotekma, 2 (1) Desember 2017: 29-35

mengalami penurunan yang tinggi bila R2B2 86,67 bc


R2B3 76,67 c
dibandingkan dengan umur 3 MSA. R3B1 90 b
Pengamatan stek daun kakao pada minggu R3B2 96,67 a
ke 4 dapat kita lihat pada Tabel ke 2. R3B3 90 b
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan taraf
Tabel 2. Persentase Hidup Stek Daun Kakao 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.
Umur 4 MSA.
Perlakuan % Hidup Notasi Sampai pada minggu ke 5 sesuai
R1B1 93,33 ab
dengan hasil pengamatan menunjukkan
R1B2 93,33 ab
R1B3 96,67 a bahwa persentase hidup stek daun untuk
R2B1 80 c semua perlakuan tidak nyata, perlakuan
R2B2 90 b
R2B3 90 b R3B2, menghasilkan persentase hidup
R3B1 90 b yang paling tinggi yaitu mencapai 96,67%,
R3B2 96.67 a sedangkan persentase hidup terendah
R3B3 93.33 ab
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom terdapat pada perlakuan R2B1 yaitu
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan 66,67%.
taraf 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.
Pada umur 6 MSA persentase stek
Sampai pada minggu ke 4 sesuai daun kakao yang hidup mengalami
dengan hasil pengamatan menunjukkan penurunan pada semua perlakuan, dan
bahwa persentase hidup stek daun untuk penurunan persentase hidup yang paling
semua perlakuan tidak nyata, perlakuan besar terdapat pada perlakuan R1B2 yaitu
R1B3, R3B1, menghasilkan persentase 90%-70% bila dibandingkan dengan umur
hidup yang paling tinggiyaitu mencapai 5 MSA. Pengamatan persentase hidup stek
96,67%, sedang-kan persentase hidup daun kakao pada minggu ke 6 dapat kita
terendah terdapat pada perlakuan R2B1 lihat pada Tabel ke 4.
yaitu 80%. Tabel 4. Persentase Hidup Stek Daun Kakao
Pada umur 5 MSA persentase stek Umur 6 MSA.
Perlakuan % Hidup Notasi
daun kakao yang hidup mengalami R1B1 80 ab
penurunan hampir pada semua perlakuan R1B2 70 c
kecuali perlakuan R1B1,R3B1 dan R3B2. R1B3 76,67 b
R2B1 53,33 d
Penurunan persentase hidup yang paling R2B2 70 bc
besar terdapat pada perlakuan R2B1 yaitu R2B3 60 c
R3B1 83,33 a
80% – 66.67% bila dibandingkan dengan
R3B2 83,33 a
umur pengamatan 4 MSA. Pengamatan R3B3 80 ab
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
persentase hidup stek daun kakao pada
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan
minggu ke 5 dapat kita lihat pada Tabel ke taraf 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.
3. Sampai pada minggu ke 6 sesuai
dengan hasil pengamatan menunjukkan
Tabel 3. Persentase Hidup Stek Daun Kakao bahwa persentase hidup stek daun untuk
Umur 5 MSA. semua perlakuan tidak nyata, perlakuan
Perlakuan % Hidup Notasi
R1B1 93.33 ab
R3B1, R3B2, menghasilkan persentase
R1B2 90 b hidup yang paling tinggi yaitu mencapai
R1B3 93.33 ab 83,3%, sedangkan persentase hidup
R2B1 66.67 d

33
Ahmad Zuheri Pulungan, Ellen. L. Panggabean, Retna Astuti K., Studi Sumber Stek Daun Dengan

terendah terdapat pada perlakuan R2B1 Pada umur 8 MSA persentase stek
yaitu 53,3%. daun kakao yang hidup mengalami
Pada umur 7 MSA persentase stek penurunan pada semua perlakuan, dan
daun kakao yang hidup mengalami penurunan persentase hidup yang paling
penurunan pada semua perlakuan, dan besar terdapat pada perlakuan R2B3 yaitu
penurunan persentase hidup yang paling 53,3% - 24,67% bila dibandingkan dengan
besar terdapat pada perlakuan R2B1 yaitu umur 7 MSA. Pengamatan persentase
53,3% - 36,67% dan perlakuan R3B3 yaitu hidup stek daun kakao pada minggu ke 4
80% - 63,3% bila dibandingkan dengan dapat kita lihat pada Tabel ke 6.
umur 6 MSA. Sampai pada minggu ke 7 Tabel 6. Persentase Hidup Stek Daun Kakao
sesuai dengan hasil pengamatan Umur 8 MSA.
menunjukkan bahwa persentase hidup Perlakuan % Hidup Notasi
R1B1 53,33 B
stek daun untuk semua perlakuan tidak R1B2 40 bc
nyata, perlakuan R3B1, menghasilkan R1B3 56,67 ab
R2B1 33,33 cd
persentase hidup yang paling tinggi yaitu
R2B2 43,33 c
mencapai 76,67%, sedangkan persentase R2B3 24,67 d
hidup terendah terdapat pada perlakuan R3B1 60 a
R3B2 53,33 b
R2B1 yaitu 36,67%. Pengamatan R3B3 50 bc
persentase hidup stek daun kakao pada Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan
minggu ke 7 dapat kita lihat pada Tabel ke taraf 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.
5. Sampai pada minggu ke 8 sesuai
Tabel 5. Persentase Hidup Stek Daun Kakao hasil pengamatan menunjukkan bahwa
Umur 7 MSA persentase hidup stek daun untuk semua
Perlakuan % Hidup Notasi
R1B1 70 b
perlakuan tidak nyata, perlakuan R1B3,
R1B2 60 c menghasilkan persentase hidup paling
R1B3 73,33 ab tinggi yaitu mencapai 56,67%, sedangkan
R2B1 36,67 d
R2B2 60 b persentase hidup terendah terdapat pada
R2B3 53,33 c perlakuan R2B3 yaitu 24,67%.Tabel 7.
R3B1 76,67 a Pengaruh konsentrasi Rootone-f terhadap
R3B2 73,33 ab
R3B3 63,33 bc persentase hidup daun kakao setiap minggu
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom sampai akhir pengamatan.
yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 (huruf kecil) dan
taraf 0,01 (huruf besar) berdasarkan uji jarak duncan.

Pengaruh Persentase hidup stek daun kakao umur (MSA)


Konsentrsi 2 3 4 5 6 7 8
Rootone F
R1B1 100 96,67 93,33 93.33 80 70 53,33
R1B2 100 96,67 93,33 90 70 60 40
R1B3 100 100 96,67 93.33 76,67 73,33 56,67
R2B1 100 90 80 66.67 53,33 36,67 33,33
R2B2 100 100 90 86,67 70 60 43,33
R2B3 100 96,67 90 76,67 60 53,33 24,67
R3B1 100 96,67 90 90 83,33 76,67 60
R3B2 100 100 96.67 96,67 83,33 73,33 53,33
R3B3 100 96,67 93.33 90 80 63,33 50

34
Agrotekma, 2 (1) Desember 2017: 29-35

Dari Tabel 7 diatas dapat kita lihat DAFTAR PUSTAKA


persentase hidup stek daun kakao akibat Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen
Pertanian (2006) Statistik Perkebunan 2006.
pengaruh Rootone f yang paling tinggi
Ditjen Perkebunan Departemen Pertanian,
ditunjukan pada konsentrasi R1B3 dan Jakarta.
R3B2, sedangkan persentase hidup Supartha, I. W., I. W. Susila, I. M. Mastika. 2008.
Demplot Pengendalian Hama Penggerek
terendah pada konsentrasi R2B1. Namun
dan Penyakit Busuk Buah Kakao Secara
di akhir pengamatan sesuai pada Tabel Integrasi, Kerjasama Dinas Perkebunan
sidik ragam menunjukkan pengaruh Zat Provinsi Bali dengan Jurusan HPT Fak.
Pertanian Universitas Udayana Denpasar.
Pengatur Tumbuh Rootone-F terhadap
Dinas Perkebunan Provinsi Bali.
persentase tumbuh tidak nyata. Yasman, I dan W.T.M. Smits, 1988. Metode
Penurunan persentase hidup untuk R2B1 Pembuatan Stek Dipterocarpaceae. Balai
Penelitian Kehutanan Samarinda.
yang paling besar terjadi pada umur 2 MSA
memasuki umur 3 MSA, kemudian
memasuki umur 4 MSA mengalami
penurunan sebesar 3,37% dan memasuki
5 MSA sampai akhir pengamatan
persentase hidup stek daun kakao
mencapai 33,3 %, sedangkan untuk
perlakuan R1B3, dan R3B2 pada akhir
pengamatan masing – masing 65,7%, dan
53,3 %.

SIMPULAN
Stek daun kakao mempunyai potensi
untuk dikembangkan sebagai aternatif
cara perbanyakan tanaman. Dengan
pemberian ZPT Rootone-F dapat
memberikan persentase hidup tertinggi
pada perlakuan R1B3 mencapai 56,67%.
Pemberian zat pengatur tumbuh auksin
dari Rootone-F dan Benzil Amino Purin
(BAP) tidak menunjukkan adanya
pertumbuhan kalus pada semua perlakuan
stek daun kakao, sehingga terjadinya
pengaruh tidak nyata terhadap semua
perlakuan.

35
Serambi Saintia, Vol. V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

Pengaruh Tingkat Keberhasilan Pemindahan Bantalan Bunga Kakao (Theobroma


cacao L) melalui Pemilihan Bantalan Bunga Kakao Aktif dan Non Aktif
dengan Teknik Okulasi yang Berbeda
1
Hamidan
2
Desi Sri Pasca Sari Sembiring
1,2
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Gunung Leuser
desisripascasari@gmail.com

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemindahan


bantalan bunga kakao Aktif dan nonaktif dan teknik okulasi terhadap
pemindahan bantalan bunga kakao (Theobroma cacao L.). Penelitian
dilaksanakan di kampus Fakultas Pertanian Kecamatan Babussalam Kabupaten
Aceh Tenggara dengan ketinggian tempat lebih kurang 200 m di atas
permukaan laut. Metode penelitin ini menggunakan Rancangan Acak Kelopok
(RAK) pola faktorial dengan dua faktor diteliti, faktor pertama Faktor Bantalan
Bunga Aktif dan Nonaktif (B), B1 = Bantalan bunga aktif, B2= Bantalan bunga
nonaktif, Faktor Teknik okulasi terdiri dari, T1= Teknik okulasi pokert, T2 =
Teknik pokulasi T terbalik dengan demikian terdapat 2 x2 = 4 kombinasi
perlakuan. Hasil Penelitian menunjukkan Pemilihan bantalan bunga aktif
memberikan hasil sangat nyata terhadap jumlah bunga umur 50 HSO, dan
memberikan hasil nyata pada jumlah bunga umur 70 HSO. Sementara bantalan
bunga nonaktif tidak berpengaruh nyata terhadap umur berbunga dan jumlah
bunga, Tehnik okulasi forket memberikan hasil sangat nyata, sementara tehnik
okulasi T-Budding memberikan hasil yang tidak memuaskan terhadap jumlah
bunga dan waktu berbunga pada okulasi bantalan bunga tanaman kakao,
Kombinasi perlakuan bantalan bunga aktif dengan tehnik okuasi forket
menunjukkan hasil sangat nyata, sementara kombinasi perlakuan antara
bantalan bunga nonaktif dengan tehnik okulasi T-Budding tidak dapat
memberikan hasil yang memuaskan pada okulasi bantalan bunga atau tidak
nyata.
Kata Kunci: Bantalan bunga, Kakao, Teknik Okulasi

PENDAHULUAN
Tanaman kakao ( Theobroma cacao L. ) berasal dari Amerika Selatan. Dengan
tempat tumbuhnya dihutan hujan tropis. Nama latin tanaman kakao adalah Theobroma
cacao L yang berarti makanan untuk tuhan. Masyarakat aztec dan Mayans di Amerika
tengah telah membudidayakan tanaman kakao sejak lama, yaitu sebelum kedatangan
orang-orang Eropa. Orang-orang Indian Mesoamerikala yang pertama kali
menciptakan minuman dari serbuk coklat yang dicampur dengan air dan kemudian
diberi perasa seperti : merica, vanili, dan rempah-rempah lainnya. Minuman ini
merupakan minuman spesial yang biasa dipersembahkan untuk pemerintahan Mayan
dan untuk upacara-upacara spesial
( Sandisanjaya 2014 ).

12
Serambi Saintia, Volume V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

Masyarakat Sanyol belajar tentang kakao dari masyarakat Indian Aztec pada
tahun 1500-an dan mereka kembali ke Eropa dengan membawa makanan baru, di
Spanyol kakao adalah minuman yang dipersembahkan hanya untuk raja. Mereka
meminumnya selagi masih panas dengan diberi rasa gula dan madu. Secara perlahan
tetapi pasti kakao berkembang kekerajaan di Eropa dan pada abat ke-17 kakao menjadi
persembahan khusus untuk masyarakat kelas atas ( sandisanjaya, 2014 )
Kakao ( Theobroma cacao L. ) merupakan salah satu komoditi andalan
perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional karena
sebagai sumber lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Selain itu kakao
juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan
agroindustri. Produk kakao merupakan bahan yang sangat penting dalam beberapa jenis
makanan dan minuman. Lemak kakao ( cacao butter ) khususnya digunakan dalam
kosmetik dan industri farmasi ( Adi Prawoto et al 2004 ).
Sebelum budidaya tanaman kakao persiapan lahan sangat perlu untuk di
rencanakan agar partumbuhan kakao subur, gulma merupakan salah satu penyebab
menurunnya hasil panen kakao maka dari itu pengemdalian gulma perlu dilakukan,
akan tetapi di era ini pengendalian pertumbuhan gulma sangatlah mudah seperti
menggunakan tanaman penutup tanah ( Cover Crop ) terutama jenis polong-polongan
seperti peurariajavanica, Centrosemapubescens, Calopogonium mucunoides dan lain-
lainnya untuk pengendalian gulma terutama jenis rumputan ( Zaenuddin et al 2004).
Menurut International Cacao Organizatin (ICCO), pada tahun 2010 produksi
biji kakao indonesia sebesar 440 ribu ton, sedangkan Pantai Gading mencapai 1,511 juta
ton dan Ghana 1,025 juta ton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kakao
produktivitasnya mulai menurun setelah umur 15 - 20 tahun. Tanaman tersebut
umumnya memiliki produktivitas yang hanya tinggal setengah dari potensi
produktivitasnya. Kondisi ini berarti bahwa tanaman kakao yang sudah tua potensi
produktivitasnya rendah, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi
( Wijaya et al 2014).
Upaya rehabilitasi tanaman kakao dimaksudkan untuk memperbaiki atau
meningkatkan potensi produktivitas dan salah satunya dilakukan dengan teknologi
sambung samping (side grafting). Menurut Prastowo et al. (2006) sambung samping
merupakan teknik perbaikan tanaman yang dilakukan dengan cara menyisipkan batang
atas (entres) dengan klon-klon yang dikehendaki sifat unggulnya pada sisi batang
bawah. Secara garis besar, tujuan perbaikan tanaman adalah untuk meningkatkan
produktivitas dan mutu biji yang dihasilkan.
Sambung samping dapat juga digunakan untuk memperbaiki tanaman yang
rusak secara fisik, menambah jumlah klon dalam populasi tanaman, mengganti klon,
dan pemendekan tajuk tanaman. Jika dibandingkan dengan sambung pucuk, maka
sambung samping memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi karena batang bawah
masih memiliki tajuk yang lengkap, sehingga proses fotosintesis untuk menghasilkan
zat-zat makanan dapat berlangsung dengan baik (Agro Media, 2007).
Upaya yang telah dilakukan oleh petani selama ini untuk mengatasi penurunan
produksi tanaman kakao yang dipengaruhi umur tanaman yang sudah tua adalah
dengan melakukan peremajaan. Peremajaan dilakukan dengan cara mengganti tanaman
kakao yang tidak produktif (tua/rusak) dengan tanaman baru secara keseluruhan atau
bertahap dengan menggunakan bahan tanaman unggul. Kegiatan ini dinilai kurang
efektif karena membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperoleh hasil, dilain
13
Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring

pihak kebutuhan hidup sehari-hari petani terus meningkat. Apabila permasalahan


tersebut tidak segera ditangani, maka dapat mengganggu kelangsungan produksi kakao
sebab akan terjadi penurunan produksi dari waktu kewaktu.
Namun upaya untuk menghasilkan produksi buah yang besar dan berkualitas
dapat dilakukan dengan penempelan bantalan bunga atau okulasi bantalan bunga
(budding) adalah penggabungan dua bagian tanaman yang berlainan sedemikian rupa,
sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan tumbuh sebagai bantalan bunga
setelah terjadi regenerasi jaringan pada bekas luka tempelan atau tautannya. Bagian
bawah (yang mempunyai perakaran) yang menerima tempelan disebut batang bawah
(rootstock atau understock) atau sering disebut stock. Bagian tanaman yang
ditempelkan atau disebut bantalan bunga, entres (scion) dan merupakan potongan satu
mata bantalan bunga (Prastowo dan Roshetko , 2006).
Okulasi dilakukan dengan metode okulasi fokert. Kulit batang bawah disayat
secara melintang dengan lebar 3-6 mm, kemudian dikupas ke arah bawah dengan
panjang 1.5-2 cm sehingga terbentuk lidah. Lidah kemudian dipotong dengan
menggunakan pisau okulasi dan disisakan seperempat bagian. Bantalan Bunga dari
cabang entres disayat dengan kayunya sepanjang ± 2 cm. Selanjutnya Bantalan Bunga
disisipkan pada sayatan batang bawah, lalu diikat dengan plastik yang telah disiapkan .
Pengikatan dimulai dari bagian bawah ke atas (sistem genting bertingkat) agar pada
waktu hujan atau penyiraman air tidak masuk ke dalam okulasian. Setelah okulasi
berumur tiga minggu, plastik dibuka. Bantalan bunga yang berwarna hijau menandakan
bahwa okulasi berhasil (hidup). Mata tunas yang berwarna coklat menandakan okulasi
mengalami kegagalan.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemindahan bantalan bunga kakao Aktif
dan Nonaktif .
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan teknik okulasi terhadap pemindahan
bantalan bunga kakao (Theobroma cacao L.).

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kakao
Cokelat merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau
cabang. Oleh karena itu, tanaman ini digolongkan kedalam kelompok tanaman
cauliflori. Adapun sistematikanya menurut klasifikasi botani adalah sebagai berikut :
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klas : Dicotiledon
Ordo : Malvales
Famili : Sterculiaceae
Genus : Theobroma
Spesies : Theobroma cacao L.
Kakao merupakan tanaman perkebunan di lahan kering, dan jika diusahakan
secara baik dapat berproduksi tinggi serta menguntungkan secara ekonomis. Sebagai
salah satu tanaman yang dimanfaatkan bijinya, maka biji kakao dapat dipergunakan
untuk bahan pembuat minuman, campuran gula-gula dan beberapa jenis makanan

14
Serambi Saintia, Volume V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

lainnya bahkan karena kandungan lemaknya tinggi biji kakao dapat dibuat cacao
butter/mentega kakao, sabun, parfum dan obat-obatan ( Siregar T, 2014 ).

Metode Okulasi Bantalan Bunga.


Menurut Wijaya et al (2014) bahwa Okulasi dilakukan dengan dua metode,
yaitu :
1. Okulasi metode forkert
Kulit batang bawah disayat secara melintang dengan lebar 3-6 mm, kemudian
dikupas ke arah bawah dengan panjang 1.5-2 cm sehingga terbentuk lidah. Lidah
kemudian dipotong dengan menggunakan pisau okulasi dan disisakan seperempat
bagian. Bantalan bunga dari cabang entres disayat dengan kayunya sepanjang ± 2 cm.
Selanjutnya bantalan bunga disisipkan pada sayatan batang bawah, lalu diikat dengan
tali plastik yang telah disiapkan. Pengikatan dimulai dari bagian bawah ke atas (sistem
genting bertingkat) agar pada waktu hujan atau penyiraman air tidak masuk ke dalam
okulasian. Setelah okulasi berumur dua atau tiga minggu, tali plastik dibuka. Bantalan
bunga yang berwarna hijau menandakan bahwa okulasi berhasil (hidup). Mata tunas
yang berwarna coklat menandakan okulasi mengalami kegagalan.
Keberhasilan okulasi sangat tergantung pada kondisi batang bawah dan jenis
tali okulasi. Prastowo Roshetko (2006) mengatakan bahwa waktu terbaik pelaksanaan
okulasi adalah pada pagi hari, antara jam 07.00 - 11.00, karena saat tersebut tanaman
sedang aktif berfotosintesis sehingga kambium tanaman juga dalam kondisi aktif dan
optimum, diatas jam 12.00 daun mulai layu, tetapi ini bisa diatasi dengan menempel di
tempat yang teduh sehingga terhindar dari sinar matahari langsung.
2. Metode T atau T-Budding
Menurut Suhendi (2007) bahwa Metode T ini digunakan secara luas dalam
budidaya tanaman buah-buahan. Persyaratan umum okulasi metode ini adalah diameter
batang sudah mencapai 6-25 mm dan pertumbuhan batang bawah cukup aktif, sehingga
kulit batang mudah sekali dilepaskan dari bagian kayunya. Urutan kerja metode ini
sebagai berikut :
a. Menyiapkan batang Bawah
Dibuat irisan vertikal dengan panjang 2,5 cm. Selanjutnya dibuat irisan horisontal
di ujung atas irisan vertikal dengan lebar sekitar 1/3 lingkaran batang. Untuk membuka
kulit, sebaiknya pisau agak dicongkelkan.
b. Menyiapkan Mata Okulasi
Dibuat sayatan kulit bersama sebagian kayu 1 cm di bawah bantalan sampai 1 cm di
atas bantalan. Dibuat potongan mendatar 2 cm di atas mata hinga menembus kulit dan
kayu untuk memudahkan pengambilan bantalan. Kayu menempel pada bantalan dilepas
dari ujung ke pangkal.
c. Menyisipkan Mata
Potongan bantalan buah disisipkan di bawah kulit batang bawah sampai batas atas
dari mata dan torehan batang bawah bertautan setelah itu diikat erat.

Penyebab Kegagalan Okulasi Bantalan Buah


Menurut Wijaya et al (2014) yang dapat menyebabkan kegagalan okulasi
bantalan buah yaitu :
a. Pisau okulasi tidak tajam sehingga dapat menimbulkan kegagalan yang tinggi.

15
Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring

b. Pisau okulasi kotor, biasanya terkena getah dari pohon lai atau kotor karena
terkena tanah.
c. Menyentuh sengaja atau tidak sengaja dari bagian yang disayat atau bantalan
bunga. Ini salah satu penyebab timbulnya bakteri, yang akan menyerang
okulasi tersebut.
d. Ketika penyayatan bantalan bunga/buah berhenti di tengah-tengah, lalu sayatan
diteruskan kembali, ini dapat menyebabkan sayatan tidak rata sehingga antara
batang bawah dan bantaan bunga tidang dapat menyatu secara baik, jika hal ini
terjadi sebaiknya bantalan bunga harus diganti.
e. Bantalan bunga jatuh setelah disayat lalu terkena air, tanah, atau terkena yang
lainnya yang dapat menimbulkan sumber bakteri.
f. Batang bawah atau bantalan bunga yang dipakai tidak sehat.
g. Dalam pengikatan kurang kencang. Sehingga air mudah masuk kedalam dan hal
ini dapat menyebabkan pembusukan pada okulasi tersebut.
h. Cuaca yang tidak mendukung misal keadaan yang terlalu panas sementara
tanaman tidak memiliki naungan sama sekali

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Perapat Tinggi Kecamatan Lawe Alas
Kabupaten Aceh Tenggara dimulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan bulan
Desenber 2015. Ketinggian tempat terletak pada ketinggian ± 220 meter di atas
permukaan laut.

Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok ( RAK ) dengan pola
fakorial 2 x 2 dengan 6 ulangan. Terdiri dari dua ( 2 ) faktor yaitu :
1. Faktor Bantalan Bunga Aktif dan Nonaktif (B)
B1 = Bantalan bunga aktif
B2 = Bantalan bunga nonaktif
2. Faktor Teknik okulasi terdiri dari :
T1 = Teknik okulasi pokert
T2 = Teknik pokulasi T terbalik
Dengan demikian diperoleh 4 kombinasi perlakuan dan 6 ulangan = 24
percobaan. Penempatan perlakuan pada satuan percobaan dilakukan secara acak yang
hasilnya dapat dilihat pada bagan percobaan.

Bahan dan Alat


Dalam penelitian ini bahan-bahan dan alat-alat penelitian yang digunakan
adalah sebagai berikt :
1. Batang bawah
2. Bantalan bunga
3. Plastik pengikat
4. Pisau okulasi
5. Gunting okulasi
6. Batu asah
7. Alat tulis ( buku dan pena )
16
Serambi Saintia, Volume V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

Metode Analisa
Menurut Hanafiah ( 2003 ) bahwa dari hasil pengamatan dengan menggunakan
analisis sidik ragam model linier.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Persentase Keberhasilan Okulasi Pemindahan Bantalan Bunga Kakao
(Theobroma cacao L)
Dari hasil data secara statistik yang dilakukan oleh Peneliti bahwa hasil
persentase keberhasilan okulasi bantalan bunga kakao (Theobroma cacao L). Memiliki
hasil yang memuaskan dan meyakinkan. Hal ini dapat dilihat pada daftar hitung
keberhasilan persentase okulasi bantalan bunga kakao pada umur 30 HSO dan angka
persentasenya adalah 95,83 % Lampiran 3. Faktor yang mampu mempengaruhi
keberhasilan okulasi bantalan bunga kakao (Theobroma cacao L) yang diamati oleh
peneliti dilapangan, ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang kurang baik sangat berpengaruh nyata untuk keberhasilan
okulasi bantalan bunga kakao, misalnya lingkungan yang kurang sanitasi. Lebih-lebih
tanaman induknya ditanama dilahan basah artinya lahan bekas persawahan yang
kelembapannya cukup tinggi, kelembapan yang tinggi juga mampu mengakibatkan
kegagalan okulasi bantalan bunga kakao dengan alasan, apabila kelembapan yang
tinggi menyebabkan pemulihan luka bekas sayatan akan lambat sehingga bantalan
bunga busuk
b. Faktor Iklim
Dari hasil pengamatan peneliti, bahwa iklim yang kurang baik sangat mengganggu
keberhasilan okulasi bantalan bunga kakao, misal pada saat musim penghujan yang
cukup tinggi sehingga mengakibatkan sukarnya penyatuan antara bantalan bunga
dengan pohon induk atau entres dan stock, jadi baiknya okulasi bantalan bunga
dilakukan pada saat akhir musim hujan diawal musim kemarau sehingga terhindar dari
kelembapan.
c. Faktor Usia Tanaman
Tanaman yang dimaksud disini ialah tanaman yang sudah cukup tua yaitu
berumur 10 tahun keatas, karena diusia tanaman yang sudah tua ini akan menyebabkan
kegagalan yang tinggi akibat kulit tanaman yang tidak sehat juga pembukaan jendela
okulasi sangat sulit dilakukan.
d. Faktor Alat dan Bahan
Alat dan bahan merupakan modal utama dalam pelaksanaan okulasi bantalan
bunga kakao selain pohon induk atau stock, apabila alat dan bahan yang digunakan
tidak steril maka dapat dikatakan jauh sebelum okulasi dlakukan kegagalan telah
menunggu, jadi sebelum melakukan okulasi bantalan bunga kakao ini keseterilan alat
dan bahan perlu untuk diperhatikan.

Umur Munculnya Bunga


Okulasi bantalan bunga ini akan mengeluarkan bunga setelah okulasi benar-
benar telah menyatu atau telah pulih dari sayatan kulitnya. Berdasarkan data
pengamatan okulasi bantalan bunga bahwa munculnya bunga setelah berumur 46 HSO,
Lampiran 4, 5 dan 6. Peneliti menyimpulkan bahwa bunga tanaman kakao ini memiliki
17
Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring

sifat yang setia dan menghasilkan bunga dari batang dan cabang pada bekas tangkai
daun (cauliflori ), artinya peneliti telah mengamati secara teliti bahwa pada bantalan
mana awalnya kakao menghasilkan bunga maka untuk menghasilkan bunga
selanjutnya tetap pada bantalan tersebut, sehingga sewaktu peneliti melakukan okulasi
bantalan bunga ini tidak ada keraguan sama sekali akan kegagalan pertumbuhan bunga.
Kecuali ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya misal, bantalan bunga telah
rusak atau tempat keluarnya mata bunga telah rusak, maka hal ini akan mengakibatkan
bantalan bunga tidak menghasilkan bunga lagi, kemudian disaat penyayatan ternyata
pohon induk yang akan disayat mengalami kondisi yang tidak sehat, misal pohon
tanaman terserang penyakit Kanker Batang, Penggerek Batang dan terserang Jamur
Phytoptora. Hal inilah yang akan menyebabkan kegagalan.
Sebaik apapun kriteria bantalan bunga yang kita gunakan saat okulasi, tetap
akan mengalami kegagalan karena penyakit tersebut telah merusak sytem kerja dari sel-
sel tanaman sehingga kulit tanaman lambat laun akan mati, sementara dalam okulasi ini
sangat diperlukan kerja sama antara sel bantalan bunga dengan sel pohon induk untuk
proses perpaduan keduanya

Tabel 1. Daftar rata-rata waktu berbunganya okulasi bantalan bunga.


ULANGAN
Perlakuan Jumlah Rataan
I II III IV V VI

B1T1 45,60 45,00 44,67 45,00 45,00 44,33 269,60 44,93

B1T2 47,00 45,00 45,00 45,00 45,00 45,67 272,67 45,45

B2T2 45,00 46,33 46,67 46,00 44,67 46,33 275,00 45,83

B2T1 46,67 50,00 48,33 47,67 46,67 64,67 304,01 50,67


Jumlah 184,27 186,33 184,67 183,67 181,34 201,00 1.121,28
Rataan 46,07 46,58 46,17 45,92 45,34 50,25 46,72

Jumlah Bunga
Hasil pengamatan terhadap jumlah bunga pada okulasi bantalan bunga kakao
(Theobroma cacao L). Pada umur 50 dan 70 hari, telah disajikan pada lampiran 7 dan
10. Hasil Uji F pada analisis sidik ragam ( lampiran 7 ) menunjukkan bahwa dari 4
kombinasi perlakuan pemilihan bantalan bunga aktif dan tehnik okulasi forket
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah bunga pada umur 50 Hari Setelah Okulai
(HSO). Hal ini dikarenakan bantalan bunga aktif memiliki jaringan sel – sel yang telah
aktif artinya bantalan ini sebelumnya sudah pernah menghasilkan bunga, oleh sebab itu
jaringan sel tersebut akan berlanjut setelah sayatan pulih kembali.

18
Serambi Saintia, Volume V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

Tabel 2. Rata-rata jumlah bunga dari 4 kombinasi perlakukuan pada umur 50 HSO
ULANGAN
Perlakuan Jumlah Rataan
I II III IV V VI
1,94
B1T1 1,33 2,33 1,00 2,33 2,67 2,00 11,66
1,72
B1T2 2,00 1,33 1,33 1,33 2,00 2,33 10,32
1,50
B2T2 1,67 1,00 2,00 1,67 1,33 1,33 9,00
1,67
B2T1 2,00 2,00 1,33 1,67 1,33 1,67 10,00
Jumlah
7,00 6,66 5,66 7,00 7,33 7,33 40,98
Rataan 1,71
1,75 1,67 1,42 1,75 1,83 1,83

Pada tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah bunga kakao pada umur 50 Hari
Setelah Okulasi yang terbaik dijumpai pada kombinasi antara Bantalan bunga aktif dan
tehnik okulasi forkert (B1T1) yakni sebesar 11,66 dan yang terkecil di jumpai pada
kombinasi bantalan bunga nonaktif dengan tehnik okulasi T-Budding (B2T2) yaitu
9,00.

Tabel 3. Rata-rata jumlah bunga kakao pada umur 70 Hari Setelah Okulasi.
ULANGAN
Perlakuan Jumlah Rataan
I II III IV V VI

B1T1 2,33 2,67 1,67 2,33 2,67 2,33 14,00 2,33

B1T2 2,00 2,00 2,00 1,67 2,33 2,33 12,33 2,06

B2T2 2,33 2,00 2,00 2,33 1,33 2,00 11,99 2,00

B2T1 2,00 2,33 2,33 2,00 1,67 2,67 13,00 2,17


Jumlah
8,66 9,00 8,00 8,33 8,00 9,33 51,32
Rataan
2,17 2,25 2,00 2,08 2,00 2,33 2,14

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah bunga kakao pada umur 70 Hari
Setelah Okulasi, yang terbaik dijumpai pada kombinasi antara Bantalan bunga aktif dan
tehnik okulasi forkert (B1T1) yakni sebesar 14,00 dan yang terkecil di jumpai pada
kombinasi bantalan bunga nonaktif dengan tehnik okulasi T-Budding (B2T2) yaitu
11,99

19
Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring

Pengaruh Pemilihan Bantalan Bunga Aktif Dan Non Aktif Terhadap Persentase
Keberhasilan Okulasi, Waktu Berbunga Dan Jumlah Bunga Tanaman Kakao.
Persentase keberhasilan okulasi
Hasil penelitian menunjukakan bahwa pemilihan bantalan bunga kakao aktif
lebih baik dalam okulasi ini dibandingkan dengan bantalan bunga nonaktif, hal ini
dikarenakan bantalan bunga aktif memiliki jaringan sel yang telah aktif. Namun
keseterilan alat dan bahan sangat perlu diperhatikan dalam okulasi bantalan bunga ini
agar persentase keberhasilannya dapat menjadi lebih tinggi.

Waktu berbunga
Dalam kecepatan umur berbunga pada okulasi bantalan bunga ini Bantalan
bunga aktif menunjukkan lebih cepat menghasilkan bunga yakni pada umur 44 HSO,
ini menunjukkan bahwa bantalan bunga lebih baik digunakan untuk okulasi bantalan
bunga dibandingkan dengan bantalan bunga nonaktif.

Jumlah bunga
Pemilihan bantalan bunga aktif dan bantalan bunga nonaktif tidak berpengaruh
nyata terhadap jumlah bunga pada umur 50 HSO, akan tetapi keduanya berpengaruh
sangat nyata pada umur 70 HSO, jika dibandingkan antara bantalan bunga aktif dan
bantalan bunga nonaktif maka bantalan bunga yang paling tepat digunakan untuk
okulasi adalah bantalan bunga aktif, dimana bantalan bunga aktif memiliki jaringan sel
- sel yang telah aktif dan dapat berlanjut kembali setelah luka sayatan okulasinya
sembuh sehingga mamp menghasilkan bunga lebih cepat dibanding bantalan bunga
nonaktif dan hal ini sesuai dengan hipotesis penelitian. Sesuai dengan pendapat
Gunawan E (2014) mengemukakan bantalan bunga berasal dari tanaman pohon induk
yang sudah berproduksi minimum dua kali dan kualitas buah yang dihasilkan sudah
terbukti keunggulannya. Tanaman induk sebaiknya produksinya sudah stabil sehingga
dapat menurunkan sifat unggul kepada okulasi bantalan bunga, serta mempercepat
pertumbuhan bunga.
Sebelum melakukan penelitian okulasi bantalan bunga ini, peneliti melakukan
pemupukan serta pemangkasan dan pemupukan perlu dilakukan lebih intensif yaitu
satu minggu sebelum okulasi, agar pupuk yang diberikan dapat diserap oleh pohon
induk terlebih dahulu, sehingga ketika okulasi dilakukan pohon induk dalam keadaan
stabil dan luka sayatan pada pohon induk cepat menyatu dengan bantalan bunga
sehingga mempercepat perangsangan bunga. Dari hasil penelitian dilapangan bahwa
bantalan bunga yang paling baik digunakan untuk okulasi bantalan bunga adalah
bantalan bunga aktif, hal ini diduga karena bantalan bunga aktif memiliki jaringan sel
yang aktif, sehingga ketika melakukan okulasi bantalan bunga proses pemulihan
sayatannya cepat terjadi.
Jika dinilai dari segi ekonomi, okulasi bantalan bunga ini tidak memiliki nilai
ekonomi yang tinggi, jika dibandingkan dengan luas lahan yang berhektar-hektar lalu
dilakukan okulasi bantalan bunga, hal ini dapat menyebabkan nilai ekonomi jauh
menurun dan membuat para pekerja jenuh, namun jika jumlah luas lahan relatif sempit
mungkin para pekerja mampu melakukannya. Karena okulasi bantalan bunga ini harus
dilakukan secara teliti jika dilihat secara kasat mata okulasi bantalan bunga ini tidak
perlu banyak perlakuan lainnya selain menempelkan bantalan bunga terhadap pohon
induknya atau undestum saja lalu ikat dengan kencang, akan tetapi hal itu semua tidak
20
Serambi Saintia, Volume V, No. 1, April 2017 ISSN : 2337 - 9952

cukup dalam okulasi bantalan bunga melainkan iklim, lingkungan, keseterilan alatdan
bahan serta teknik kerja yang harus diperhatikan.

Pengaruh Tehnik Okulasi Bantalan Bunga Terhadap Persentase Keberhasilan,


Waktu Berbunga Dan Jumlah Bunga.
Persentase keberhasilan
Tehnik okulasi tidak berpengaruh sama sekali terhadap persentase keberhasilan
okulasi bantalan bunga, yang paling penting diperhatikan dalam okulasi bantalan bunga
ini adalah penyayatan jendela pohon induk jangan sampai terlalau lebar dan terlalu
panjang, karena hal ini dapat mengakibatkan sulitnya pemulihan luka sayatan sehingga
persentase keberhasilannyan rendah.

Jumlah bunga
Dari data hasil F Hitung tehnik okulasi menunjukkan berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah bunga pada umur 50 dan 70 HSO, tidak berpengaruh nyata terhadap
umur berbunga. Pengamatan yang diambil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
tehnik okulasi forkert lebih baik dibanding tehnik okulasi T- Budding, sesuai dengan
pendapat Wijaya et al (2014) mengemukakan bahwa tehnik okulasi forkert lebih baik
dibanding dengan okulasi huruf T, karena kambium tidak rusak karena tergores oleh
pisau terutama dibagian tengah pada waktu penorehan, dimana bekas torehan itu akan
ditempeli oleh bantalan bunga.
Dari kedua tehnik okulasi yang telah diterakan harus dikerjakan secara teliti
terutama dalam penyayatan kulit batang induknya, sayatan jangan sempat terlalu
panjang atau terlalu lebar, hal ini salah satu penyebab kegagalan dalam okulasi atau
memperlambat proses penyembuhan luka sayatan, kemudian waktu penyayatan harus
diperhatikan sesuai dengan pendapat Prastowo et al (2006) mengemukakan bahwa
waktu terbaik dalam pelaksanaan okulasi adalah pada pagi hari yaitu, antara pukul
07.00-11.00, karena saat tersebut tanaman sedang aktif berfotosintesis sehingga
kambium tanaman juga dalam kondisi aktif dan oftimum. Diatas jam 12.00 daun mulai
layu, tetapi hal ini dapat diatasi dengan melakukan okulasi ditempat yang teduh
sehingga terhindar langsung dengan sinar mata hari langsung.

PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
1. Pemilihan bantalan bunga aktif memberikan hasil sangat nyata terhadap jumlah
bunga umur 50 HSO, dan memberikan hasil nyata pada jumlah bunga umur 70
HSO. Sementara bantalan bunga nonaktif tidak berpengaruh nyata terhadap
umur berbunga dan jumlah bunga.
2. Tehnik okulasi forket memberikan hasil sangat nyata, sementara tehnik okulasi
T-Budding memberikan hasil yang tidak memuaskan terhadap jumlah bunga
dan waktu berbunga pada okulasi bantalan bunga tanaman kakao.
3. Kombinasi perlakuan bantalan bunga aktif dengan tehnik okuasi forket
menunjukkan hasil sangat nyata, sementara kombinasi perlakuan antara
bantalan bunga nonaktif dengan tehnik okulasi T-Budding tidak dapat
memberikan hasil yang memuaskan pada okulasi bantalan bunga atau tidak
nyata.

21
Hamidan dan Desi Sri Pasca Sari Sembiring

DAFTAR RUJUKAN
Adi Prawoto. 2004. Pusat penelitian kopi dan kakao indonesia (Coffee and Cacao
Research Institute, Sulawesi)
Agro Media, 2007., Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan
Pengembangan dan Penelitian Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural
Research and Development), Departemen Pertanian RI
Ali Hanafiah, M.S. 2003. Rancangan Percobaan. PT RajaGrafindo Persada Jakarta.
Gunawan E. 2014 Perbanyakan tanaman okulasi, Jakarta: Agromedia Pustaka.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004, Panduan Lengkap Budidaya Kakao
(Kiat mengatasi permasalahanpraktis), PT. Agromedia Pustaka.
Prastowo dan Roshetko, 2006, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Penebar
Swadaya Jakarta
Rukmana. 2003. Pengolahan kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen
Pertanian RI.
Siregar T, Riyadi S, Nuraeni L.2014.BudidayaCoklat ( Penebar Swadaya,Jakarta)
Sri Mulato dkk, 2005, Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.
Susanto, 2000. Tanaman kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil, Kanisius,
Yogyakarta.
Suhendi, 2007. Budidaya tanaman kakao. Penebar Swadaya Jakarta.
Sandisanjaya. 2014. Pengembangan Dan Pengolahan Kakao. Direktorat Jenderal
Perkebunan Departemen Pertanian RI.
Samsul. 2010. Perbanyakan Tanaman Okulasi, Sambung, dan Cangkok. Penebar
Swadaya Jakarta.www.penebarswadaya.net
Wijaya, M. S.,Budiana N.S. 2014 Membuat Stek, Cangkok, Sambung dan Okulasi.
Penebar Swadaya Jakarta.
Zaenuddin, Baoh, 2004, Kakao (Theobroma cacao L), Direktorat Jenderal Bina
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian RI.

22
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

KEBERHASILAN PERTAUTAN SAMBUNG PUCUK PADA KAKAO


(Theobroma cacao L) DENGAN WAKTU PENYAMBUNGAN DAN
PANJANG ENTRES BERBEDA

THE RIGHT SHOOT-TIME and IDEAL LENGHT of ENTRAPMENT on GOOD


LINKAGE SUCCESS RATE on COCOA PROPAGATION (Theobroma cacao L).

Oleh :
Susila Bety Ariani , Desi Sri Pasca Sari Sembiring2 dan Nani Kitti Sihaloho3
1

1,2,3)
Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Gunung Leuser
Email ; desisripascasari@gmail.com

Abstrak
Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui waktu sambung pucuk yang tepat dan
panjang entres yang ideal terhadap tingkat keberhasilan pertautan sambungan Yang baik
pada perbanyakan kakao (Theobroma cacao L). Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diteliti menggunakan 2 faktor
yaitu: Faktor1 waktu (W) penyambungan dengan tiga taraf perlakuan, yaitu W1 = Pagi
hari (pukul 07.00-09.00), W2 =Siang hari (pukul 11.00-13.00), W3 =Sore hari (pukul
15.00-17.00). Faktor 2 panjang entres (P) dengan tiga taraf perlakuan, yaitu : P1 = 1,5
cm Panjang Entres, P2 = 4,5 cm Panjang Entres P3 = 7,5 cm Panjang Entres.
Pelaksanaan grafting pada sore hari (W3) memperlihatkan keberhasilan pertautan
sambungan lebih baik dan semakin baik lagi jika menggunakan entres yang lebih panjang
(7,5 cm). Keberhasilan pertautan sambungan lebih tinggi jika grafting dilakukan pada
sore hari dari pada pagi dan siang hari.penggunaan entres yang panjang hingga 7,5 cm,
memberikan pertautan sambungan lebih baik dibandingkan entres pendek.
Kata Kunci: Sambung pucuk, entres

Abstract
The purpose of this study was to determine the right shoot-time and ideal length of
entrapment on good linkage success rate on cocoa propagation (Theobroma cacao L).
This research was conducted by using randomized block design (RAK) which was studied
using 2 factors, namely: time factor (W) grafting with three treatment levels, ie W1 =
morning (at 07.00-09.00), W2 = Daytime (11:00 to 13:00 pm ), W3 = Afternoon (15:00
to 17:00). Factor 2 entres length (P) with three treatment levels, namely: P1 = 1.5 cm
Length of Entres, P2 = 4.5 cm Length of Entres P3 = 7.5 cm Length of Entres.
Implementation of grafting in the afternoon (W3) shows better linkage success and better
if using longer entres (7.5 cm). The connection success is higher if grafting is done in the
afternoon of the morning and afternoon. The use of long entres of up to 7.5 cm, provides
better link connection than short entres.
Keyword: grafting, entres

I. Pendahuluan dengan batang atas dari tanaman yang


berbeda sedemikian rupa menjadi
Sambung pucuk atau mengenten
penyatuan, dan kombinasi ini akan terus
merupakan penggabungan batang bawah

Hal 87
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

tumbuh membentuk tanaman baru, dengan tingkat keberhasilannya lebih


terjadi penyatuanini di sebabkan oleh dari 80% (Rahardjo, 2011).
penyatuannya kambium batang bawah Entres yang digunakan berwarna
dengan kambium batang atas. Pada hijau kecoklatan dengan 2 – 3 mata
dasarnya banyak sambung yang dapat tunas, bagian bawah entres dipotang
kita gunakan tergantung dari berbagai miring. Entres dimasukkan dengan hati-
macam tanaman yang akan kita jadikan hati kedalam tapak sambungan dengan
media untuk perkembangbiakannya. membuka lidah torehan pendek
Sambung pucuk adalah penyatuan pucuk mengarah kekulit. Entes lalu ditutup
(sebagai calon batang atas) dengan dengan plastik sampai tertutup
batang bawah sehingga terbentuk seluruhnya, dan diikat dengan tali rafia
tanaman baru yang mampu saling agar air hujan tidak masuk kedalam
menyesuaikan diri secara kompleks bidang sambungan (Yoga, 2013).
(Pendas, 2013). Pada masa yang akan datang,
Teknik sambung pucuk adalah cara komoditi biji coklat yang unggul seperti
menyambungkan batang bawah dan sambung pucuk diharapkan menduduki
batang atas agar supaya produksi lebih tempat yang sejajar dengan komoditi
dipercepat dengan cara ini tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa sawit
akan berproduksi hanya dengan jangka dan karet. Setidaknya dari segi luas areal
waktu 2 tahun, batang bawah berumur pertanaman maupun sumbangannya
enam bulan disisakan 15 cm dan dicoget kepada Negara sebagai komoditi ekspor
menyerupai huruf M, sedangkan batang dengan tujuan untuk memanfaatkan
atas dari pucuk panjang 3 cm daunnya sumber daya alam, memenuhi konsumsi
dipangkas dan di coget menyerupai dan memperoleh devisa ekspor, serta
huruf V, setelah itu batang atas meningkatkan pendapatan produsen biji
dimasukkan kebatang bawah lalu diikat coklat, sampai tahun 1988 pemerintah
dengan plastik lalu ditutup dengan telah merencanakan perluasan areal
plastik ES dan diikat bagian bawahnya, coklat seluas 1.213.600 ha, baik yang
hal ini dilakukan untuk mengurangi dikelola oleh PT Perkebunan Negara,
penguapan dan percepatan swasta, maupun rakyat (Siregar dkk,
penyambungan jaringan sel di biarkan 2006).
selama dua minggu dan dibuka Perbanyakan tanaman kakao
dibiarkan untuk tumbuh selanjutnya dengan cara sambung pucuk memiliki
selama enam bulan bibit ini biasa di kelebihan dan kekurangan. Menurut
tanam dilapangan (Wisahya,2011). winarsih ( 1999 ), kelebihan sambung
Tanaman kakao dapat diperbanyak pucuk dibandingkan dengan okulasi
dengan benih hibrida dan secara klonal adalah sebagai berikut : hemat waktu
(sambungan atau okulasi), namun untuk menghasilkan bibit klonal siap
pertanaman kakao asal benih hibrida tanam dikebun dan hemat tempat.
yang telah diusahakan oleh petani sejak Dengan sambung pucuk diperlukan
tahun 1970 mulai menunjukkan hingga waktu 12 bulan.Salah satu
keragaan yang kurang produktif tersebut perawatan penting saat okulasi bibit
mendorong petani melakukan kakao adalah perundukan batang bawah,
peremajaan dan penanaman ulang. Bibit perundukan ini memerlukan tempat
kakao untuk batang bawah yang akan yang lebih luas pasalnya batang bawah
disambung maupun ditempel (okulasi) dalam kondisi belum dipotong.Berbeda
sebaikknya berumur 4 – 6 bulan. dengan sambung pucuk, teknik ini tidak
Umumnya perbanyakan vegetatif memerlukan perundukan sehingga lebih
tanaman kakao adalah cara sambung efesien dalam menggunakan tempat
pucuk pada bibit berumur 4 – 5 bulan dibedengan (Lukito dkk., 2010).

Hal 88
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Perbanyakan tanaman secara klonal ini dilaksanakan mulai bulan mei 2017
umumnya dilakukan dengan teknik sampai dengan juni 2017.
penyambungan.Dalam teknik
2.2. Bahan Dan Alat Penelitian
penyambunga sifat-sifat bahan tanaman
Bahan-bahan yang digunakan
benih. Keunggulan sifat-sifat bahan
dalam penelitian ini adalah batang
tanam klonal yang akan disambung
bawah kakao, paranet untuk naungan,
umumya sudah diketahui secara baik.
tali rafia, triflek, spidol, penggaris,
Prinsif dasar perbanyakan sambung
meteran, bambu, buku dan alat tulis,
pucuk adalah penyatuan kambium dari
entres dari klon anjuran. Alat-alat yang
batang bawah dan batang atas, untuk
digunakan dalam penelitian ini adalah
terbentukknya pertautan antara batang
cangkul, untuk pembersihan lahan,
atas dan batang bawah, kambium sangat
parang, pisau okulasi/karter, gunting
berperan penting dengan dibuatnya luka
tangan.
pada batang.(Basri 2009).
Jaringan kambium yang sedang
III. Metode Penelitian
aktif akan membentuk jaringan prenkim,
didalam jaringan prenkim atau kalus Penelitian ini dilakukan dengan
tersebut akan terbentuk jaringan menggunakan rancangan acak kelompok
kambium baru yang kompatibel (serasi) (RAK) yang diteliti menggunakan 2
dan akan bertautan (Wahyudidkk., 2008) faktor yaitu.
Tujuan Penelitian adalah untuk Faktor1 waktu (W) penyambungan
mengetahui waktu sambung pucuk yang dengan tiga taraf perlakuan, yaitu
tepat dan panjang entres yang ideal W1 = Pagi hari (pukul 07.00-09.00)
terhadap tingkat keberhasilan pertautan W2 = Siang hari (pukul 11.00-13.00)
sambungan Yang baik pada W3 = Sore hari (pukul 15.00-17.00)
perbanyakan kakao (Theobroma cacao Faktor 2 panjang entres (P) dengan tiga
L). Hipotesis dalam penelitian ini taraf perlakuan, yaitu :
adalah; P1 = 1,5 cm Panjang Entres
1) Waktu penyambungan pucuk pada P2 = 4,5 cm Panjang Entres
tanaman kakao (Theobroma cacao P3 = 7,5 cm Panjang Entres
L) akan menentukan keberhasilan Jumlah kombinasi perlakuan
sambung pucuk kakao adalah 3 x 3 = 9 kombinasi perlakuan ,
2) Panjang entres yang berbeda akan yaitu :
menentukan keberhasilan sambung W1P1
pucuk kakao (Theobromacacao L) W2P1 W3P1
3) Akan menentukan keberhasilan W1P2
waktu penyambungan dan panjang W2P2 W3P2
entres yang berbeda sambung pucuk W1P3
pada tanaman kakao (Theobroma W2P3 W3P3
cacao L)
Metode Analisa
II. Bahan Dan Metode Penelitian Model linear dari metode analisa untuk
Rancangan Acak Kelompok ( RAK )
2.1. Tempat Dan Waktu
factorial adalah :
Tempat dan waktu penelitian ini
dilakukan di Desa Bambel. Kecamatan Yijk = µ + αi + βj +δik + ( βδ ) jk + ∑ ijk
Bambel. Kabupaten Aceh Tenggara Dimana :
dengan posisi lahan datar dan Yijk = Hasil pengamatan karna pengaruh
diperkirakan mempunyai ketinggian faktor pertama dengan taraf ke j
tempat kira-kira ± 220 m dpl. Penelitian faktor kedua dengan taraf ke k
Dan blok ke 1

Hal 89
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

µ = Nilai tengah kecepatan tumbuh karena berkaitan


αi = Pengaruh blok ke-1 dengan kandungan asimilat yang
βj = Pengaruh faktor pertama dengan terakumulasi pada entres yang
taraf ke-i didefoliasi. Akumulasi asimilat dapat
δik = Pengaruh faktor kedua dengan merangsang pembelahan, pembesaran
taraf ke-i dan deferensiasi sel, yang kemudian
βδ) jk = Pengaruh intraksi antara faktor mendorong proses pertautan antara
pertama pada taraf ke-1 dengan batang atas dan bawah.
faktor ke2 Pada tabel 1 data penelitian pada
∑ijk = Pengaruh intraksi antara faktor jumlah tunas yang tumbuh pada analisis
pertama pada taraf ke-j dan faktor sidik ragam (lampiran 3, 5 dan 8)
kedua pada taraf ke-k. disajikan pada lampiran 2, 4, dan 6 data
tersebut menunjukkan bahwa waktu
IV. Hasil Dan Pembahasan penyambungan pada umur 3 MSS
berpengaruh nyata sedangkan pada umur
4.1. Hasil
5 dan 8 MSS berpengaruh tidak nyata.
Hasil analisis sidik ragam
Hal ini dikarnakan daya generasi entres
(lampiran 1 – 15) menunjukkan bahwa
menurun pada umur 5 –8 MSS sehingga
dengan waktu penyambungan dan
kemampuan untuk menumbuhkan tunas
panjang entres berbeda berpengaruh
lebih menurun karena disebabkan
tidak nyata terhadap, jumlah entres
kambium tanaman masih dalam keadaan
tumbuh, jumlah daun, tinggi tanaman,
kurang maksimum sehingga laju
diameter batang, dan entres dorman
pertumbuhan tunas terhambat.
Jumlah Tunas Hal ini diduga terjadi karena
Hasil pengamatan jumlah tunas berkaitan erat dengan keseimbangan
pada 3 – 8 Minggu Setelah hormon dan kandungan asimilat (sumber
Sambung(MSS) dapat dilihat pada tabel energi) yang terakumulasi pada entres
lampiran 2, 4, 6 dan sedangkan daftar yang didefoliasi serta kandungan
sidik ragam dapat dilihat pada tabel 3, asimilat dan potensi fotosintat batang
5, 7dari tabel dapat dilihat bahwa jumlah bawah yang mempunyai perlakuan
tunas yg tumbuh untuk semua perlakuan defoliasi akan menurunkan konsentrsi
mulai dari umur 3 – 8 MSS auksin pada ketiak daun dan
menunjukkan bahwa jumlah tunas meningkatkan kandungan hormon
mengalami penurunan. sitokinin yang merangsang
Pada tabel lampiran 3, 5, dan 7 pembentukan tunas.
dapat dilihat bahwa sidik ragam jumlah Dari tabel 1 diatas juga dapat
tunas yang tumbuh 3-7 MSS dilihat total jumlah tunas tertinggi pada
menunjukkan bahwa dengan waktu 3 MSS yang tertinggi terdapat pada W3
penyambungan dan panjang entres yang yaitu 2,18 dan yang terendah pada
berbeda terhadap jumlah tunas yang perlakuan 8 MSS terdapat pada
tumbuh di minggu ke 3 nyata dan pada perlakuan W1 yaitu 1,40. Jumlah tunas
minggu ke 5 – 7 berpengaruh tidak tertinggi ada pada waktu penyambungan
nyata terhadap jumlah tunas yang sore hari (W3) karena bila dipagi hari
tumbuh.Hal ini diduga karna pada transpirasi masih tinggi bila dilakukan
minggu ke 3 MSS perlakuan waktu penyambungan , sementara bila sore hari
penyambungan mempengaruhi sudah lebih sedikit terjadi transpirasi.
pertumbuhan tunas. Hal ini sesuai Sehingga lebih cepat terjadi
dengan penelitian Lukman (2004) yang penambahan tunas.
menyatakan bahwa perlakuan defoliasi
entres dapat mendukung persentase

Hal 90
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Tabel 1. Rataan jumlah tunas pada waktu Penyambungan dan Panjang Entres yang
berbeda.
Perlakuan Rata-rata Jumlah Tunas
Waktu Penyambungan (W) 3 MSS 5 MSS 8 MSS
WI 1,70a 1,73 1,40
W2 1,74b 1,92 1,60
W3 2,18c 2,11 1,78
BNT 0,05 0,73 - -
Panjang Entres (P)
P1 1,59a 1,74 1,56
P2 1,89b 1,92 1,49
P3 2,14c 2,11 1,74
BNT 0,05 0,73 - -
Intraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 1,55 1,55 1,66
W1P2 1,55 1,77 1,22
W1P3 1,99 1,88 1,33
W2P1 1,44 1,89 1,89
W2P2 1,78 1,77 1,25
W2P3 2,00 2,11 1,66
W3P1 1,77 1,77 1,13
W3P2 2,33 2,22 2,00
W3P3 2,44 2,33 2,22
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%

Untuk panjang entres pada tabel 1 diisi kembali jika jumlah daun yang
juga dapat dilihat bahwa panjang entres aktif berfotosintesis lebih banyak.
berpengaruh nyata terhadap jumlah Hal ini diduga pada waktu
tunas dan total jumlah tunas yang penyambungan dan panjang entres
tumbuh yang tertinggi pada 3 MSS (W3P3) terhadap 3MSS daya generasi
terdapat pada perlakuan P3 yaitu 2,14 entres naik sehingga kemampuannya
dan yang terendah pada perlakuan P2 untuk menumbuhkan tinggi karena
yaitu 1,49 disebabkan kambium tanaman masih
Berdasarkan penelitian Lukman berada dalam keadaan maksimum
(2014) menyatakan bahwa perlakuan sehingga laju pertumbuhan pada tunas
defoliasi entres dapat merangsang tidak terhambat. Hal ini berbeda dengan
pembentukan tunas karena tunas penelitian Yanti, L dan Sembiring, D
merupakan sink yang kuat. Perlakuan (2017) yang menyatakan Pemilihan
depoliasi akan menurunkan konsentrasi mata entres tidak berpengaruh nyata
auksin pada ketiak daun dan terhadap jumlah daun tunas,jumlah
meningkatkan kandungan hormon tunas tumbuh dan kecepatan tumbuh
sitokonin yang merangsang tunas.
pembentukan tunas.
Jumlah Daun
Sesuai dengan Waard dan Zaubin
Dari tabel lampiran dapat dilihat
(1983) menyatakan bahwa terkurasnya
bahwa jumlah daun untuk semua
energi untuk proses pertumbuhan tunas
perlakuan mulai dari umur 10 MSS
dan pertautan sambungan.akan cepat

Hal 91
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

dengan perlakuan waktu penyambungan juga tidak berpengaruh tidak nyata


dan panjang entres yang berbeda terhadap jumlah daun.
berpengaruh tidak nyata dan intraksinya

Tabel 2. Rataan Jumlah Daun Pada Waktu Penyambungan Dan Panjang Entres yang
berbeda
Perlakuan Rata-rata Jumlah Daun
Waktu Penyambungan (W) 10 MSS
W1 5,59
W2 6,81
W3 7,40
Panjang Entres ( P )
P1 6,74
P2 7,55
P3 5,52
Intraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 7,55
W1P2 6,22
W1P3 3,00
W2P1 7,33
W2P2 7,89
W2P3 5,22
W3P1 5,33
W3P2 8,55
W3P3 8,33
Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%

Pada tabel 2 rataan jumlah daun Kimball (1991) pertumbuhan daun


memperlihatkan bahwa pada waktu terjadi akibat pembelahan pemanjanan
penyambungan berpengaruh tidak nyata. dan difrensiasi sel-sel pada meristem
Dari tabel 2 dapat dilihat total dari kuncup terminal dan kuncup lateral
pertambahan jumlah daun tertinggi pada yang memproduksi sel-baru pada
10 MSS yang tertinggi terdapat pada W3 priodik. Sehingga akan membentuk
yaitu 7,40 helai dan yang terendah pada daun terbaru. Terbentuknya daun baru
perlakuan W1 yaitu 5,59 helai. akan meningkatkan laju potosintesis.
Untuk perlakuan panjang entres Pertumbuhan daun sangat
pada tabel 2 juga dapat dilihat bahwa dipengaruhi unsur hara baik makro
panjang entres berpengaruh tidak nyata maupun mikro.Unsur hara nitrogen
terhadap pertambahan jumlah daun. Dan merupakan unsur hara yang berperan
total jumlah daun yang tertinggi pada dalam merangsang pertumbuhan secara
10 MSS terdapat pada perlakuan P2 keseluruhan.Khususya batang, daun dan
yaitu 7,55 helai dan yang terendah pada cabang tanaman. Menurut Hakim,
perlakuan P3 yaitu 5,52 helai. Yusuf, Lubis, Sutopo, Amin, Gio Ban
Pada perlakuan 2 memperlihatkan Hong Dan Barley (1986), berkurangnya
bahwa perlakuan panjang entres konsentrasi nitrogen dalam tanah salah
berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah satunya disebabkan oleh pencucian air
daun yang tumbuh. Menurut hujan maupun penyiraman. Jika

Hal 92
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

konsentrasi dalam sel lebih rendah dari umur 10 MSS menunjukkan tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi diluar tanaman terhadap waktu penyambungan
sel tanaman maka air kan bergerak dan panjang entres yang berbeda
keluar dari dalam sel tanaman. berpengaruh tidak nyata dan intraksinya
Daun yang lebih banyak pada juga berpenaruh tidak nyata terhadap
batang bawah, tampaknya menghasilkan tinggi tanaman.
tunas yang lebih banyak pada bibit Tinggi tanaman yang ditampilkan
sambung pucuk kakao. Hasil ini sesuai oleh masing-masing varietas diduga
dengan penelitian Zaubin dan Suryadi dipengaruhi oleh batang atas dan batang
(2002) yang mendapatkan bahwa daun bawah dalam menyalurkan serapan hara
batang bawah yang lebih banyak pada dari akar untuk ditransfer ke daun
sambung pucuk mente (Anacardium sehingga proses fotosintesis terjadi
occidentale) akan menghasilkan tunas dengan baik, selanjutnya juga mampu
lebih banyak. Daun berfungsi sebagai mentransfer balik keseluruh batang
penghasil fotosintat bagi pertumbuhan bawah. Perbedaan kecepatan
dan perkembangan tanaman. pertumbuhan terutama tinggi tanaman
salah satu indicator peroses
Tinggi tanaman
penyambungan berjalan dengan baik.
Dari tabel dapat dilihat bahwa
tinggi tanaman untuk perlakuan mulai

Table 3. Rataan Tinggi Tanaman(cm) pada waktu Penyambungan dan Panjang Entres
yang berbeda.
Perlakuan Rata-rata Tinggi Tanaman cm
Waktu Penyambungan (W) 10 MSS
W1 10,48
W2 24,00
W3 21,29
Panjang Entres (P)
P1 16,37
P2 22,66
P3 16,74
Intreraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 20,00
W1P2 19,00
W1P3 10,44
W2P1 28,44
W2P2 25,44
W2P3 18,11
W3P1 18,66
W3P2 23,55
W3P3 21,67
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan
yang Nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%

Pada tabel 3 rataan tinggi 3 juga dapat dilihat total pertambahan


tanaman memperlihatkan bahwa pada tinggi tanaman tertinggi pada 10 MSS
waktu penyambungan dengan berbagai yang tertinggi terdapat pada W2 yaitu
taraf berpengaruh tidak nyata. Dari tabel

Hal 93
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

24.00 cm dan yang terendah pada (lukman et al., 2003,. Dzauli et al.,
perlakuan W1 yaitu 10,48 cm. 2005).
Untuk perlakuan panjang entres Rendahnyah keberhasilan sambung
pada tabel 3 juga dapat dilihat bahwa pucuk ditingkat petani disebabkan
panjang entres berpengaruh tidak nyata beberapa hal seperti pemilihan entres
terhadap tinggi tanaman. Dan total yang tidak tepat, belum menggunakan
pertambahan tinggi pada 10 MSS plastik pengikat yang transparan dan
terdapat pada perlakuan P2 yaitu 22,66 lentur serta fase pertumbuhan tanaman
cm dan yang terendah pada perlakuan waktu pelaksanakan penyambungan
P1 yaitu 16,37 cm. tidak tepat.
Selanjutnya sifat genetik masing-
Diameter Batang
masing varietas juga berpengaruh
Diketahui bahwa diameter batang
terhadap kemampuan untuk
untuk semua perlakuan mulai dari umur
menghasilkan prenkim yang penting
tanaman 10 MSS menunjukkan waktu
dalam proses penyambungan.Sejalan
penyambungan dan panjang entres yang
dengan pendapat Kusumo et al (1992)
berbeda berpengaruh tidak nyata dan
menyatakan bahwa keberhasilan
intraksinya juga berpengaruh tidak nyata
penyambungan juga dipengaruhi oleh
terhadap diameter batang.
kondisi batang bawah, lingkungan, dan
Pada tabel 4 rataan diameter batang
keterampilan teknik penyambungan.
pada waktu penyambungan dengan taraf
Pada tabel 3 rataan tinggi tanaman
konsentrasi berpengaruh tidak nyata.
memperlihatkan bahwa pada waktu
Dari tabel 4 juga dapat dilihat total
penyambungan berbagai taraf tidak
diameter batang tertinggi pada 10 MSS
berpengaruh nyata. Dari tabel 3 juga
yang tertinggi terdapat pada W2 yaitu
dapat dilihat total tinggi tanaman pada
3,00 cm dan yang terendah pada
10 MSS yang tertinggi W2 yaitu
perlakuan W1 yaitu 2,03 cm.
24,00cm dan yang terendah pada
Untuk panjang entres pada tabel 4
perlakuan W1 yaitu 10,48
dapat dilihat bahwa panjang entres
Pada perlakuan panjang entres
berpengaruh tidak nyata terhadap
pada tabel 3 juga dapat dilihat bahwa
diameter batang. Dan total diameter
panjang entres tidak berpengaruh
batang yang tertinggi pada 10 MSS
nyata.terhadap pertambahan pada tinggi
terdapat pada perlakuan P1 yaitu 2,96
tanaman. Dan total pertambahan tinggi
cm dan yang terendah pada perlakuan
tanaman yang tertinggi pada 10 MSS
P3 yaitu 2,07.
terdapat pada perlakuan P2 yaitu 22,66
Hal ini diduga bahwa adanya faktor
cm dan yang terendah pada perlakuan
yang mempengaruhi pertumbuhan
P1 yaitu 16,37.
diameter batang tanaman seperti
Pada entres kakao sambung pucuk
kekurangan air sehingga unsur hara
rata-rata pertambahan tinggi tanaman
yang harusnya tersalur pada keseluruhan
terbaik terdapat pada perlakuan P2 yaitu
tanaman terhambat akibatnya
dengan rata-rata 22,66 cm. panjang
pertumbuhan diameter batang tanaman
entres dipengaruhi oleh banyaknya
terhambat.
kambium yang dapat memacu
pertumbuhan tiggi tanaman bibit kakao
tersebut. Keberhasilan sambung pucuk
dilakukan oleh petani 15-35 % (suryadi
dan zaubin, 1999), sedangkan ditingkat
penelitian dapat mencapai 65,9-89,3 %

Hal 94
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Tablel 4. Rataan Diameter Batang (mm) pada Waktu Penyambungan Dan Panjang Entres
yang berbeda
Perlakuan Rata-rata Diameter Batang(mm)
Waktu Penyambungan (W) 10 MSS
W1 2,03
W2 3,00
W3 2,67
Panjang Entres ( P )
P1 2,96
P2 2,66
P3 2,07
Intreraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 2,22
W1P2 2,44
W1P3 1,44
W2P1 4,00
W2P2 2,55
W2P3 2,44
W3P1 2,67
W3P2 3,00
W3P3 2,33
Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan
yang Nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%

Sependapat dengan Salisbury dan Pada tabel 5 rataan entres dorman


Ross (1992) menyatakan bahwa memperlihatkan bahwa pada waktu
tanaman pada kondisi cukup air penyambungan yang berbeda dengan
(tekanan turgor) tinggi, pertumbuhan sel berbagai taraf konsentrasi berpengaruh
langsung lebih baik, sebaliknya pada tidak nyata. Dari tabel 10 MSS yang
tekanan turgor rendah karena tertinggi terdapat pada W1 yaitu 0,22
kekurangan air mengakibatkan dan yang terendah pada perlakuan (W2)
terhentinya pertumbuhan sel sehingga dan (W3) yakni (0,18).
diameter batang lebih kecil dan tanaman Untuk perlakuan panjang entres
tumbuh kerdil/pendek. Potensial air pada tabel 5 dapat dilihat bahwa panjang
didalam tanama selalu bervariasi dalam entres tidak berpengaruh nyata terhadap
sehari. entres dorman. Dan total entres dorman
yang tertinggi 10 MSS terdapat pada
Entres Dorman
perlakuan P2 yaitu 0,33 dan yang
Pada daftar sidik ragam dapat
terendah pada perlakuan P1 yaitu 0,07.
dilihat bahwa entres dorman untuk
Analisis keragaman menunjukkan
semua perlakuan mulai dari umur 10
bahwa perlakuan waktu penyambunan
MSS menunjukkan waktu
dan panjang entres grafting maupun
penyambungan dan panjang entresyang
intaksi keduanya tidak berpengaruh
berbeda berpengaruh tidak nyata dan
nyata terhadap persentase bibit dorman
intraksinya tidak berpengaruh tidak
Abd Hadid dan Yohanis Yambing.
nyata terhadap entres dorman.

Hal 95
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Tablel 5. Rataan Entres Dorman pada Waktu Penyambungan Dan Panjang Entres yang
berbeda
Perlakuan Rata-rata Dorman
waktu penyambungan (W) 10 MSS
W1 0,22
W2 0,18
W3 0,18
Panjang entres ( P )
P1 0,07
P2 0,33
P3 0,18
Intreraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 0,00
W1P2 0,55
W1P3 0,11
W2P1 0,00
W2P2 0,22
W2P3 0,33
W3P1 0,22
W3P2 0,22
W3P3 0,11
Keterangan : angka yang diikuti dengan huruf berbeda menunjukkan adanya
perbedaan yang Nyata berdasarkan uji BNT pada taraf 5%

Persentase bibit jadi transpirasi meningkat dan potosintesis


Dari tabel dapat dilihat bahwa terhambat.
jumlah bibit jadi untuk semua perlakuan
mulai dari umur 10 MSS menunjukkan
bahwa pada waktu penyambungan dan
panjang entres yang berbeda
berpengaruh tidak nyata dan intraksinya
berpengaruh tidak nyata terhadap
persentase bibit jadi.
Analisis keragaman menunjukkan
bahwa perlakuan waktu penyambungan
dan panjang entres grafting.Berpengaruh
tidak nyata pada persentase bibit jadi
intraksi keduannya tidak berpengaruh
nyata dengan panjang dan waktu
grafting tidak berpengaruh nyata
terhadap persenase bibit jadi.
Jumin (1994) menyatakan suhu
akan mempengaruhi proses fisiologis
tanaman dalam hal pertumbuhan
tanaman jika suhu tinggi dan
kelembaban rendah menyebabkan
terhambatnya unsur hara karena

Hal 96
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Tabel 6. Rataan persentase bibit jadi pada waktu penyambungan dan panjang entres yang
berbeda.
Perlakuan Rata-rata Jumlah Bibit Jadi
Waktu Penyambungan (W) 10 MSS
W1 51,85
W2 55,55
W3 44,44
Panjang Entres ( P )
P1 53,70
P2 51,85
P3 46,30
Intreraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 66,66
W1P2 38,89
W1P3 50,00
W2P1 55,55
W2P2 61,11
W2P3 50,00
W3P1 38,89
W3P2 55,55
W3P3 38,89

terbentuknya graf union.Ketersediaan air


Persentase bibit mati
mempengaruhi pertumbuhan, terutama
Dari tabel lampiran dapat dilihat
perluasan sel namun air juga dapat
bahwa persentase bibit mati untuk
memberikan pengaruh yang negative
semua perlakuan mulai dari umur 10
bagi tanaman, khususnya pada saat
MSS menunjukkan waktu
sambung belum menyatu sempurna,
penyambungan dan panjang entres yang
adanya titik-titik air dapat menyebabkan
berbeda berpengaruh tidak nyata dan
kebusukan pada sayatan.
intraksinya berpengaruh tidak nyata
Pada pertumbuhan dan tanaman
terhadap persentase bibit mati
sangat dipengaruhi oleh unsur hara baik
Analisis keragaman menunjukkan
itu makro maupun mikro.Unsur hara
bahwa perlakuan waktu, panjang entres
nitrogen merupakan unsur hara yang
grafting maupun intraksi keduanya tidak
berperan dalam merangsang
berpengaruh nyata terhadap persentase
pertumbuhan secara keseluruhan
bibit mati . Hal ini diduga karena curah
khususnya batang daun dan cabang
hujan yang cukup tinggi juga
tanaman. Seperti pendapat Lakitan
menyebabkan basahnya sambungan
(1996) menyatakan bahwa konsentrasi
kondisi ini terjadi terutama pada saat
Nitrogen tinggi umumnya menghasilkan
hujan turun dengan waktu yang cukup
daun yang lebih besar.
lama. Air masuk menembus sungkup
dan lilitan plastik, sehingga secara
langsung membasahi sambungan. Dan
ketersediaan air sangat mempengruhi
tumbuhan dan perkembangan tanaman
terutama untuk keberhasilan

Hal 97
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Tabel 7. Rataan persentase bibit mati pada waktu penyambungan dan panjang entres
yang berbeda.
Perlakuan Rata-rata jumlah Bibit Mati
Waktu Penyambungan (W) 10 MSS
W1 48,15
W2 44,44
W3 55,55
Panjang Entres ( P )
P1 46,29
P2 48,15
P3 53,70
Intreraksi Waktu Penyambungan (W) dan Panjang Entres (P)
W1P1 33,33
W1P2 61,11
W1P3 50,00
W2P1 44,44
W2P2 38,89
W2P3 50,00
W3P1 61,11
W3P2 44,44
W3P3 61,11

V. Simpulan dan Saran semakin baik lagi jika menggunakan


entres yang lebih panjang (7,5 cm).
5.1. Kesimpulan
keberhasilan pertautan sambungan
1). Pelaksanaan grafting pada waktu
lebih tinggi jika grafting dilakukan
penyambungan berpengaruh nyata
pada sore hari dari pada pagi dan
pada jumlah tunas tubuh 3 MSS,
siang hari.penggunaan entres yang
sedangkan 5 MSS dan 8 MSS tidak
panjang hingga 7,5 cm, memberikan
nyata. Jumlah daun 70 HSS, tinggi
pertautan sambungan lebih baik
tanaman 10 MSS, diameter batang
dibandingkan entres pendek.
10 MSS, entres dorman 10 MSS,
persentase bibit jadi 10 HSS, dan 5.2. Saran
persentase bibit mati 10 MSS Pertumbuhan bibit dengan cara
menunjukkan berpengaruh tidak sambung pucuk yang lebih baik hanya
nyata. dapat di capai jika melakukan grafting
2). Pelaksanaan grafting pada panjang pada sore hari, namun dapat juga dapat
entres yang berbeda berpengaruh dilakukan siang hari asalkan
nyata pada jumlah tunas tubuh 3 menggunakan entres panjang 7,5 cm.
MSS, sedangkan 5 MSS dan 8 MSS tetapi tingkat keberhasilan pertautan
tidak nyata. Jumlah daun 10 MSS, sambungan yang dicapai pada penelitian
tinggi tanaman 10 MSS, diameter ini masih sangat rendah sehingga
batang 10 MSS, entres dorman 10 disarankan dilakukan penelitian lanjutan
MSS, persentase bibit jadi 10 MSS, untuk mengetahui kekonsistenan
dan persentase bibit mati 10 MSS pengaruh detail dari perlakuan.
menunjukkan berpengaruh tidak
nyata.
3). Pelaksanaan grafting pada sore hari
memperlihatkan keberhasilan
pertautan sambungan lebih baik dan

Hal 98
Jurnal Agroteknosains | Vol. 01 | No. 02 | Nopember 2017 | p-ISSN : 2598-6228 | e-ISSN : 2598-0092

Daftar Pustaka mempunyai jumlah daun yang


berbeda . Padang.
Basri Z. 2009. Kajian metode Salisbury. F.B., and C.W. Ross. 1992.
perbanyakan klonal pada Plant physiology. Wardworth
tanaman kakao (Theobroma Publishing Company.
cacao L). Media litbang sulteng California.
Butar-butar, N., 1989. Prinsip-prinsip Situmorang, S., 1989, Pengaruh Letak
pemeliharaan tanaman coklat. Buah Pada Pohon Terhadap
Bulk PTP-IV, Pabatu Kwalitas Bibit. Sidang Komisi
Harrock’s. 2006. History Of Teknik Perkebunan V
Propagation And Improvement Budidaya Kakao di Tretes..
Vegetables. Amsterdam Salisbury, F.B dan C.W.Ross., Fisiologi
Halid, A.2008. Keberhasilan pertautan tumbuhan.Diterjemahkan oleh
sambung pucuk pada manga Diah R Lukman dan Sumaryono
dengan waktu penyambungan ITB. Bandung.
dan panjang entres berbeda. J. Tirtawinata, M. R., 2003. Kajian
Agroland 15 (4) : 296-301. Anatomi dan Fisiologi
ISSN : 0854 – 641X. Sambungan Bibit Dengan
Heddy, S., 1989. Budidaya Tanaman Beberapa Anggota Kerabat
Kakao. Angkasa Bandung. Cluisiaceae. Disterdasi
Jumin, H.D.1994. Dasar-dasar Program Pascasarjana Unstitut
Agronomi. Rajawali Press. Pertanian Bogor.
Jakarta. Waard, Zaubin (1983). Pengaruh Saat
Lukito,H,M. 2010. Perbanyakan Depoliasi Entres Terhadap
tanaman kakao memiliki Pertumbuhan Sambung Pucuk
kelebihan dan kekurangan . Kakao (Theobrama cacao L)
Jakarta Dengan Batang Bawah
Lakitan, B. 1996. Fisiologi Tumbuhan Mempunyai Jumlah Daun
dan Perkembangan Berbeda. Jakarta.
Tanaman.Raja. Jakarta. Wisahya. 2011. Teknik Memperbanyak
Parastowo N,H, dkk. 2006 . Teknik Tanaman Kakao Dan
pembibitan dan perbanyakan Pemasarannya. Jakarta
vegetatif tanaman kakao Wudianto, R.2001. Membuat Stek
(Theobroma cacao L). Bogor Cangkok dan okulasi. Jakarta
Pendas. 2013. Budidaya Tanaman Yanti, L dan Sembiring, DSPSS . 2017.
Kakao. Bogor Pengaruh Pemilihan Mata
Raharjo, P. 2011. Menghasilkan Benih Entres Yang Berbeda dan
Dan Bibit Kakao Unggul. Teknis Pengirisan Mata Entres
Jakarta . Terhadap Keberhasilan
Siregar, H.S. 2006. Coklat Sambung Pucuk Kakao
Pembudidayaan Pengolahan (Theobroma cacao,L), Jurnal
Dan Pemasaran. Jakarta. Agroteknosains, Fakultas
Susanto.1994. Cara Memperbanyak Pertanian, Universitas Quality.
Tanaman Kakao (Theobroma ISSN 2598-0092
cacao L) Jakarta. Yoga, A. 2013. Respon pertumbuhan
Syafrison dkk. 2011. Pengaruh saat bibit Kakao (Theobroma cacao
defoliasi entres tehadap L) terhadap pemberian pupuk
pertumbuhan sambung pucuk kompos. Bogor.
kakao (Theobroma cacao L)
dengan batang bawah yang

Hal 99
Vol. 9(9), pp. 80-90, September 2017
DOI: 10.5897/JHF2017.0502
Article Number: FC037CC65866
ISSN 2006-9782 Journal of Horticulture and Forestry
Copyright ©2017
Author(s) retain the copyright of this article
http://www.academicjournals.org/JHF

Full Length Research Paper

Vegetative propagation of selected clones of cocoa


(Theobroma cacao L.) by stem cuttings
Essola Essola Emmanuel Junior1, Caspa Roseline Gusua2, Tchatchoua Dorothy Tchapda1*
and Owona Ndongo Pierre Andre3
1
Department of Agriculture, Animal Husbandry and Derived Products, The Higher Institute of the Sahel,
University of Maroua, P. O. Box 46 Maroua, Cameroon.
2
Institute of Agricultural Research for Development (IRAD), Forest and Wood Program,
P. O. Box 2123 Yaounde, Cameroon.
3
Institute of Agricultural Research for Development (IRAD), Nkoemvone, P. O. Box 65 Ebolowa,
South Region, Cameroon.
Received 1 August, 2017; Accepted 23 August, 2017

The government of Cameroon is responsible for distributing hybrid cocoa seeds to farmers in
Cameroon. These high-yielding and pod rot-resistant hybrids are obtained from self-incompatible
commercial clones used for seed production by manual pollination of freshly opened flowers. The
experimental procedure for the propagation technique of these clones has never been reported. The
objectives of this study are to assess the effect of clone, cutting source and growth regulator
concentration on the growth and rooting of cocoa (Theobroma cacao L.) stem cuttings. The experiment
consisted of 4 clones (SNK16, ICS40, UPA143 and T79/501; two cutting sources: B1 = orthotropic and
B2 = Plagiotropic) and four concentrations of growth regulator (4-indol-3-butyric acid) concentrations
(D0 = 0 mg, D1 = 12.5 mg, D2 = 25 mg and D3 = 37.5 mg), thus a 4 × 2 × 4 factorial experiment in a
completely randomized block design with 3 replicates was designed. Cuttings were set and monitored
th
weekly for shoot sprouting for 10 weeks and rooting at the 10 week. The following parameters were
measured: survival rate, number of cuttings with shoots, number of produced shoots, leaves length,
number and length of produced roots. Clone, cutting source and growth regulator concentration
significantly affected survival rate, shoot sprouting and rooting of cocoa cuttings at p = 0.05. Overall,
cuttings started producing shoots 3 weeks after setting (WAS) and at 10 WAS all the cuttings had
rooted. Assessment of cuttings in Clementine propagators showed a survival rate of approximately
75%, with orthotropic cuttings showing higher results than plagiotropic cuttings, whereas, D1 (12.5 mg)
was the overall effective growth regulator (IBA) concentration that induced the highest number of roots
from all the clones. UPA143 was the clone with highest value for all the factors assessed. The results
will be valuable in management decision when producing planting materials by stem cuttings.

Key words: Theobroma cacao, vegetative propagation, clone, cutting source, growth regulator concentration,
clementine propagator, shoot and root growth.

INTRODUCTION
th
Cocoa was introduced in Cameroon in the 19 century a cash crop for all producing countries, and is an
and has since played a major role in the economic important source of income for farmers. In Cameroon,
development of the country (Champaud, 1966). Cocoa is cocoa is one of the main export products, and represents
Essola Junior et al. 81

approximately 28% of non-oil exports and 40% of exports requirement (Koko et al., 2011) for successful cutting
from the primary sector (Ondoua et al., 2016). Cameroon establishment had been reported. According to Wiesman
produces about 280,000 tons of cocoa beans annually and Jaenicke (2002), several endogenous and
th
and is considered as the 5 high cocoa producer in the exogenous factors such as water and energy status,
World (FAOSTAT, 2015). This has been possible through hormonal balance, mineral and health status of cuttings,
consistent government effort carried out by the Cocoa age of the cutting, propagation environment and stock
Development Cooperation (with French acronym plant management influence the success of this process.
SODECAO) which provides farmers with highly Leakey (2004) reported that adequate stock plant
productive hybrids that are also adapted to the climatic management improved the rooting ability of cuttings by
conditions in Cameroon. These high-yielding and pod rot- providing the appropriate morphological and physiological
resistant hybrids are obtained by manual pollination of conditions for shoot development. There are even more
freshly opened flowers from self-incompatible commercial sophisticated techniques such as micropropagation by
clones planted in seed orchards of SODECAO. These tissue culture in cocoa (Troare et al., 2003;
commercial clones are imported from Trinidad and Brazil Chantrapradist and Kanchanapoom, 1995). Vegetative
and propagated vegetatively for the establishment of propagation of cocoa by cuttings was initiated by the
seed orchard. At the start of the program, seed orchards Institute of Agricultural Research for Development (IRAD)
were established by grafting because that was the only in the past few years but the experimental procedure for
available method valorized during that period for the the propagation technique has never been reported. This
propagation of cocoa. Faced with graft incompatibility and will assist in the management process in the production
variability of seedlings, there is usually insufficient of clones. The aim of this research is to vegetatively
production of clones for the seed orchards. Vegetative propagate selected clones of cocoa by stem cuttings.
propagation by cuttings can resolve the above problems Specifically, to assess the effect of growth regulators
although it was abandoned in Cameroon about 40 years concentration and source of cuttings on bud sprouting
ago (personal communication). and rooting of selected cocoa clones used in Cameroon.
Vegetative propagation is used to obtain an exact copy
of the genome of a mother plant. This is achieved
through the use of meristematic, undifferentiated cells MATERIALS AND METHODS
that can differentiate into organs required to form a whole
The study was carried out at the nursery of the Institute of
new plant (Wiesman and Jaenicke, 2002). The typical Agricultural Research for Development (IRAD) Nkoemvone
approach is propagation by stem cuttings, in which roots (2.81122°N and 11.13972°E), situated 15 km from Ebolowa, the
are induced to form on a piece of stem detached from a capital of the South Region of Cameroon. The site is located in a
donor plant (Libby, 2004). Vegetative propagation is one bimodal rainfall zone, dominated by ferralitic soils. The mean
of the used techniques in propagating superior annual temperature is 25°C, with the least monthly temperature of
22.8°C recorded in July, whereas the highest monthly temperature
commercial cocoa clones (Tee and Lamin, 2014). The
of 28.6°C is recorded in April. Mean annual rainfall ranges from
technique for producing rooted cuttings was first 1550 to 2000 mm with highest precipitation occurring between April
elaborated by Pyke (1933) and was further developed in and May as well as between September and October.
the 1950s (Evans, 1951). Several authors (Archibald, The Clementine propagator was used for this trial (Figure 1a).
1955; McKelvie, 1957; Hall, 1963) had also made These propagators consist of a series of 10 propagators coupled
important contributions to the vegetative propagation of together and adjacent to another series which serves for hardening
plants. These propagators were constructed in cement bricks and
cocoa by stem cuttings in Ghana. The physiological are 1 m high, 6 m long and 1.5 m wide. At the interior is a 15 cm
principle involved in propagating cocoa clones by stem wide and 25 cm deep pipe used for watering and drainage. They
cuttings promotes the development of adventitious roots have a transparent glass cover to allow penetration of light for
from the pericycle region at the stem base just above the photosynthesis in the cuttings, and are conceived to maintain a
cut, in a high humidity environment (Laliberté and End, permanent relative humidity of approximately 100%. Successful
2015; De Klerk et al., 1999; Rasmussen et al., 2009). rooting of cocoa cuttings requires a humid environment (Hartmann
et al., 2002).
Modern scientific investigations have improved the
management techniques of cuttings. A number of studies
on hormone application, cutting stock origin (Toxopeus, Preparation of materials, setting of cuttings and observation of
1970; Kevers et al., 1997; Lily and Ramadasan, 1979; trial
Koko et al., 2011), number of leaves on cuttings (Amoah,
Propagators were cleaned and cleared of all dirt particles, and filled
1986), effect of light, temperature and humidity (Lily and with gravel up to 10 cm. Wooden propagation trays were then filled
Ramadasan, 1979), rooting media (Amoah, 1986; Lily with sawn wood chips previously treated with a systemic fungicide,
and Ramadasan, 1979; Kouamanan, 2001) and water cleanomil, which contains copper oxide (600 g/kg) and metalaxyl

*Corresponding author. E-mail: d.tchatchoua@yahoo.com. Tel: 00237677598313.

Author(s) agree that this article remain permanently open access under the terms of the Creative Commons
Attribution License 4.0 International License
82 J. Hortic. For.

A b c

d e f

Figure 1. Vegetative propagation stages. (a) Clean Clementine propagator; (b) Collection of cuttings; (c) Preparation of cuttings;
(d) Establishment of plagiotropic cuttings; (e) Establishment of orthotropic cuttings; (f) Transfer of cutting into the propagator.

(120 g/kg) as active ingredients; as well as a systemic insecticide, maintain photosynthesis for cutting survival (Longman, 1993).
parastar, containing imidiachloprid (20 g/l) and lambda-cyhalothrine The growth regulator, 4-indol-3-butyric acid (IBA) (10 mg per
(20 g/l) as active ingredients. 50g of each of the fungicide and tablet) was applied to cuttings at four different concentrations of:
insecticide were dissolved in 15 L of water in a watering can before D0: 0 mg of IBA; D1: 12.5 mg of IBA in ½ a liter of water; D2: 25 mg
application. Propagation trays were placed in the propagators. of IBA in ½ a liter of water; D3: 37.5 mg of IBA in ½ a liter of water.
Decomposed saw dust was treated in the same manner like the Each cutting was quickly dipped into the growth regulator solution
sawn wood chips and filled into perforated alkathene plastic pots of of appropriate concentration for about 30 s before setting in treated
dimension, 24 × 14 cm three days before cuttings were set. decomposed saw dust in the perforated alkathene plastic pot
The plant genetic materials used for this trial consisted of 4 (Figure 1d and e). Cuttings were set about 3 cm deep. Pots were
clones including Upper Amazonian Forastero (UPA143 and then placed in germination trays in propagators filled with sawn
T79/501) as well as Trinitario (SNK16 and ICS40) found in the wood chips to ensure their stability (Figure 1f). The trial was a 4 × 2
SODECAO seed orchards which were used for the production of × 4 factorial experiment in a completely randomized block design,
high-yielding and pod rot-resistant hybrids. with 3 replicates. Each treatment consisted of 30 cuttings, with a
Two cutting sources, orthotropic (B1) from the main stem and total of 2880 cuttings set for the trial (that is 30 × 32 = 960 × 3
plagiotropic (B2) from branches were used in this trial. Young and repetitions = 2880). Cuttings were watered on a daily basis in the
healthy cocoa shoots were collected from tree bases and trunks (for morning and any fallen leaves and dead cuttings were removed.
orthotropic cuttings, B1) and from secondary and tertiary branches
(for plagiotropic cuttings, B2) in the cocoa seed orchard (Figure 1b).
The latter were collected early (before 7 a.m.) in the morning. Each Data collection and analysis
shoot/branch was reduced to a cutting of about 15 cm in length and
1 cm diameter (Figure 1c). Each cutting had a slanting upper Survival rate (%) was assessed on 2880 cuttings. Because of the
surface to ease run-off during watering (Tchoundjeu, 1989). The destructive nature of the assessment when plants are lifted to
leaves were reduced to four and each halved to about 80 cm 2 collect rooting data, a Z-sampling method was used on each
surface areas to reduce water loss through evapotranspiration and treatment for data collection on the shoot and root parameters
Essola Junior et al. 83

Figure 2. Evolution of dead cuttings in weekly periods for clone, cutting source and growth regulator concentration.

st
which reduced the sample to 960 cuttings (that is, 10 × 32 = 320 × dead cuttings in the 1 week of the trial while mortality in
3 repetitions = 960). Foliar growth (number of cuttings with shoots, Upper Amazon clones (UPA143 and T79/501) started at
number of produced shoots and leaves length) and root growth rd
(number and length of roots per cutting) were assessed at the 10th
the 3 week. The highest mortality was observed at the
rd th
week. 3 and 5 WAS on all the clones. The mortality rate was
The survival rate and shoot sprouting were collected in 2 weekly always higher in Trinitario than in Upper Amazon clones,
intervals for a period of 10 weeks from when cuttings were set, notwithstanding the week (Figure 2). The survival rate
while rooting was assessed at the end of the 10th week. The rooting was significant for clone and cutting type at P = 0.05
media were flooded in water to ease lifting of cuttings and to (Table 1) UPA143 had a significantly higher survival rate
prevent the roots from breaking. A cutting was considered to have
rooted if it had a root of at least 1 cm (Atangana et al., 2006). A
than the other clones while T79/501 showed significantly
rooted cutting was assessed for number of roots by counting, higher survival rate than ICS40 and SNK16 which were
whereas root lengths were measured using a ruler. Number of not significantly different. Orthotropic cuttings showed a
cuttings with shoots and number of produced shoots were counted significantly higher survival rate than plagiotropic cuttings,
while the leaves lengths were measured from the petiole base whereas growth regulator concentration had no effect on
through the mid rib to the tip using a ruler. The number of life
cutting survival with D0 having the highest rate of survival
cuttings at the time of data collection was used to estimate survival.
Data were input on Microsoft Excel and analyzed using the (59.37) (Table 2).
Statistical Package for Social Sciences (SPSS) Version 16. Generally, orthotropic cuttings showed a better survival
Univariate analysis of variance with 3 factors (clone, cutting type rate than plagiotopic cuttings confirming the result of
and growth regulator concentration) was carried out, whereas the Liabeuf (1946) on the vigor of orthotropic cuttings.
Duncan multiple range test was used to separate means at 5% Regarding the method of propagation, setting cuttings in
level of significance.
Clementine propagators were less successful (76 %
survival) than in plastic tunnels (Koko et al., 2011), with
80% survival rate, although the difference is minimal.
RESULTS AND DISCUSSION

Effects of clone, cutting source and growth regulator Effects of clone, cutting source and growth regulator
concentration on survival rate concentration on number of cuttings with shoots

Mortality rate had no particular trend with time among the According to the results, all 4 clones produced young
clones, cutting sources and growth regulator shoots at 3 WAS of cuttings and at 10 WAS where almost
concentrations. Higher mortality rate was observed in all the cuttings had shoots (Figure 3) with 100% in clone
Trinitario clones (ICS40 6 and SNK16 2) which recorded UPA143. The analysis of variance results showed
84 J. Hortic. For.

Table 1. Analysis of variance on rate of survival at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 4059.34 1353.28 0.000 ***
Cutting type 1 2831.3 2831.28 0.000 ***
Growth regulator concentration 3 64.59 21.53 0.915
Error 24 3027.50 126.15
Total 31 9982-72
***Significant at p = 0.05.

Table 2. Mean survival rate of clone, cutting source and growth regulator concentration at 10 WAS.

Source of variation Level Number of cuttings Mean survival rate


bc
SNK16 720 52.57
c
ICS40 720 45.00
Clone b
T79/501 720 58.75
a
UPA143 720 75.5
a
B1 1440 67.31
Cutting type b
B2 1440 48.50
a
D0 720 59.37
a
Growth regulator D1 720 58.75
a
concentration D2 720 55.63
a
D3 720 57.87
Values with the same letters are not significantly different (p=0.05).

Figure 3. Sprouted shoots.


Essola Junior et al. 85

Table 3. Analysis of variance of the number of cuttings with shoots at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 3.660 1.220 0.000***
Cutting type 1 0.367 0.367 0.017***
Growth regulator concentration 3 0.700 0.233 0.012***
Error 952 60.890 0.064
Total 959 65.616
*** Significant at p = 0.05.

Figure 4. Evolution on number of budded cuttings 2 weekly periods for clone, type of cutting and growth regulator concentration.

significant differences in all the sources of variation shoots than SNK16 clone (Tables 4 and 5). There was
(Table 3). All cuttings (100%) of clone UPA143 showed an increase in the number of buds produced per clone,
the presence of flushing at 3 WAS, followed by clone growth regulator concentration and cutting type with time
ICS40 with 77.5% of cuttings having shoots, whereas (from weeks 3 to 10). Growth regulator concentration D1
T79/501 and SNK16 clones produced shoots on 35 and (12.5 mg of IBA in half a liter of water) induced more
7% of cuttings, respectively (Figure 4 and Table 5). buds notwithstanding the clone, cutting type or week of
assessment. Clone UPA143 produced the highest
number of shoots, despite the cutting type or growth
Effect of clone, cutting source and growth regulator regulator concentration, followed by clone ICS40 (where
concentration on number of shoots produced per orthotropic cuttings produced more buds than plagiotropic
cutting cuttings), clone T79/501 (with plagiotropic cuttings
producing slightly more buds that orthotropic cuttings)
Significant differences were observed on the clones, and lastly, clone SNK16 (where there was only a minimal
cutting sources and the growth regulator concentrations difference in bud production between orthotropic and
with respect to the number of produced shoots. Clone plagiotropic cuttings, with the former having more buds).
UPA143 had a significantly higher number of shoots than Bud production was observed to be largely influenced by
ICS40 and T79/501 clones which showed no significant genetic factors, although adequate growth regulator
difference, but produced a significantly higher number of application and use of appropriate cutting type could also
86 J. Hortic. For.

Table 4. Analysis of variance of the number of shoots produced at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 121.165 40.388 0.000***
Cutting type 1 3.212 3.212 0.0005***
Growth regulator concentration 3 60.318 20.106 0.000***
Error 952 380.765 0.400
Total 959 565.374
***Significant at p = 0.05.

Table 5. Mean number of shoot growth parameters at 10 WAS.

Number of Mean number of Mean number of Mean of leaves


Source of variation Level
cuttings set cuttings with shoots produced shoots length (cm)
c c c
SNK16 240 201 1.09 6.065
a a b
ICS40 240 236.01 1.90 9.165
Clone b b b
T79/501 240 225.07 1.46 9.162
a a a
UPA143 240 240 1.97 12.565
a a a
B1 480 460.94 1.6639 9.92
Cutting type b b b
B2 480 442.08 1.5468 9.55
a a a
D1 240 227.00 2.0125 11.16
ab b b
Growth regulator D2 240 226.99 1.5083 9.54
b c b
concentration D3 240 217.00 1.3333 8.47
ab b c
D0 240 223.99 1.5667 7.77
Values with the same letters are not significantly different at p=0.05.

Figure 5. Evolution on number of shoots produced in 2 weekly periods for clone, cutting source and growth regulator concentration.

play an important role (Figure 5 and Table 4). The trend concentration was different where concentration (D2) had
in the number of cuttings with shoots was similar to that the highest number of cuttings with shoots but produced
of the number of produced shoots for clone and type of less shoots as compared to the concentration (D0)
cuttings. However, the trend in growth regulator though not significantly different (Table 5).
Essola Junior et al. 87

Table 6. Analysis of variance of the length of leaves (cm) at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 5074.87 1691.62 0.000***
Cutting type 1 438.22 438.22 0.000 ***
Growth regulator concentration 3 1565.5 521.83 0.000***
Error 951 3945.84 4.144
Total 959
***Significant at p = 0.05.

Effect of clone, cutting type and growth regulator accordance with Charrier (1969) who pointed out that leaf
concentration on leaf length growth of cocoa cuttings varies with the applied hormone
concentration.
The results showed that clone, cutting type and growth The obtained results were in line with those of Amoah
regulator concentration had highly significant effects on (2006a) who observed that the effect of clone was very
leaf length (Table 6). Clone UPA143 had significantly predominant in the course of rooting, with different
longer leaves than the other clones, with a mean leaf degrees of leaf production between clones. Koko et al.
length of 4.5 cm at week 10 with growth regulator (2011) also reported that the Upper Amazon clones
concentration D1 (12.5 mg of IBA in ½ a liter of water) produced leaves earlier than Trinitario clones. However,
and orthotropic cuttings, whereas the least mean leaf Koko et al. (2011) however observed leaves on Upper
length was recorded in clone SNK16 at 5 WAS with the Amazon clones 5 WAS, in contrast to the present study in
control treatment for growth regulator concentration (D0) which sproutings were observed at 3 WAS for Upper
and plagiotropic cuttings. Amazon clones and 5 WAS for Trinitario clones. All used
Orthotropic cuttings (B1) produced longer leaves at 10 clones for the trial were grown under the same
WAS for most clones and all growth regulator environmental conditions; therefore differences in results
concentrations. There was only a slight difference in leaf are possibly genetic. This observation was in line with
lengths between both cutting types with clone UPA143. that of Nanda et al. (1968) who reported that success in
Growth regulator concentration D1 induced the longest cocoa propagation using cuttings from different clones
leaves, notwithstanding the clone, cutting source or can vary considerably according to their genetic
number of weeks after setting of cuttings. This showed constitutions.
that leaf length of rooted cocoa cuttings vary with clone,
cutting type and used growth regulator concentration.
Analysis of variance showed a highly significant Effect of clone, cutting type and growth regulator
difference among the studied factors at 5% level of concentration on number of produced roots per
significance (Table 6). A comparison of clones for leaf cutting
length at 10 WAS using Duncan multiple range test
showed a similarity between ICS40 and T79/501, with Analysis of variance revealed a highly significant
difference in their means very close to 0. On the contrary, difference among the tested factors at the significance
there was a significant difference among UPA143 and the level of 5% (Table 7). Clone UPA143 produced a
rest of the clones, confirming that leaf length of cocoa significantly higher number of roots, notwithstanding the
cuttings are influenced by clones (Table 5). Maximum cutting type or growth regulator concentration (Figure 6).
leaf production was attained by all clones at 10 WAS. Orthotropic cuttings produced more roots than
The LSD for growth regulator concentration revealed that plagiotropic cuttings, whereas IBA concentration (D3)
50% of cuttings in the control treatment (D0) had leaf induced the greatest number of roots on orthotropic
lengths of less than 8 cm, which was inferior to those of cuttings of clones UPA143 and SNK16 (Table 9).
D3, D2 and D1 by 9, 10 and 11 cm, respectively. Generally, D1 and D2 induced many roots for all clones
Difference in the growth regulator concentrations and cutting types. Duncan multiple range test reveals a
indicated a difference at 5% confirming, the effect of significant difference in the number of roots produced by
growth regulator concentration on leaf length of cocoa cocoa cuttings treated with different IBA concentrations.
cuttings at 10 WAS. According to Himme (1956), leaf A comparison of clones using the Duncan multiple
lengths of cocoa cuttings vary with respect to cutting range test showed that there was no significant difference
origin, in line with the results of the present study which in root number of cocoa cuttings between clones T79/501
revealed that orthotropic cuttings produced longer leaves and ICS40 at p=0.05 (Table 9). This confirmed that
than plagiotropic cuttings. Growth regulator concentration clones affect root production in cocoa cuttings although
also influenced leaf lengths of cocoa cuttings in there may be similarities between some clones. A Tuckey
88 J. Hortic. For.

Table 7. Analysis of variance of number of roots produced at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 5537.975 1845.992 0.000***
Cutting type 1 375.584 375.584 0.000 ***
Growth regulator concentration 3 1578.639 526.213 0.000***
Error 951 4222.491 4.435
Total 959 11710.962
*** Significant at p = 0.05.

Figure 6. Rooted cuttings.

plot of cutting type showed that orthotropic cuttings rooting, flushing and cuttings survival of some cocoa
produced between 3 and 19 roots, whereas plagiotropic clones (KKM22 and MCBC1) in a non-mist propagator,
cuttings produced between 1 and 17 roots. The median but not others (LKMS1, PBC123 and BR25) which
value for root number of orthotropic cuttings was 10, showed low (2.79-6.43%) rooting rates. On the contrary,
meaning that at least 50% of the latter cuttings produced Mbah and Retallick (1992) observed that different IBA
at least 10 roots. On the other hand, the median value for concentrations did not improve rooting in Balanites
plagiotropic cuttings was 8, thus 50% of them produced aegyptiaca cuttings. Shiembo et al. (1996) reported that
at least 8 roots. A Duncan multiple range test of cutting applications of different IBA concentrations made no
types showed a significant difference in the number of significant difference to rooting of Irvingia gabonensis
produced roots between orthotropic and plagiotropic cuttings. However, the latter growth regulator improved
cuttings at p=0.05. root number in Ricinodendron heudelotii cuttings but did
All 3 factors (clone, cutting type and growth regulator not affect the rooting percentage (Shiembo et al., 1997).
concentration) had positive effects on rooting of cocoa This showed that IBA application had different effects on
cuttings, in line with Liabeuf (1946) who observed an the rooting of different tropical tree species.
increase in root production on cocoa cuttings treated with
IBA as well as Himme (1956) in a study on cocoa root
system. Archibald (1953) observed considerable variation Effect of clone, cutting type and growth regulator
in rooting behavior among cuttings from different clones, concentration on root length of cocoa cuttings
different trees of the same clone, different parts of the
same tree and different parts of the same shoot due to Clone UPA143 had the longest roots at 10 WAS,
internal factors, with photosynthetic efficiency of the leaf notwithstanding the cutting type, whereas ICS40, SNK16
being a key determinant in the cutting survival. Hall and T79/501 showed average root growth. The longest
(1963) and Toxopeus (1964) observed significant root at 10 WAS (13.6 cm) was produced by orthotropic
differences among clones in rooting ability. The latter cuttings (B1) with growth regulator treatment D1 (12.5
authors found that Upper Amazon and Trinitario clones mg) (Figure 6). Analysis of variance of the effect of each
perform higher than Amelonado in rooting response. factor on cocoa root length showed that there were highly
Tee and Lamin (2014) observed that IBA application on significant differences at p=0.05 for each factor (Table 8).
cocoa cuttings in different substrates positively influenced A comparison of clones with respect to root length using
Essola Junior et al. 89

Table 8. Analysis of variance of length of roots at 10 WAS.

Source of variation Df SS MS P - value


Clone 3 2322.097 773.44 0.000***
Cutting type 1 358.603 358.603 0.000 ***
Growth regulator concentration 3 948.471 316.157 0.000***
Error 951 2307.165 2.423
Total 959 5937.341
*** Significant at p = 0.05.

Table 9. Mean number of root parameters at 10 WAS.

Source of variation Level Mean number of root per cutting Length of root (cm)
c c
SNK16 5.8536 5.02
b b
ICS40 9.2614 6.06
Clone b b
T79/501 9.2490 6.07
a a
UPA143 12.6611 9.18
a a
B1 9.93 7.29
Cutting type b b
B2 8.55 5.97
d
D0 7.7792d 5.4708
a a
D1 11.1917 8.1029
Growth regulator concentration b b
D2 9.5417 6.7733
c c
D3 8.5125 5.9767
Values with the same letters are not significantly different at p=0.05.

LSD showed there were significant differences at p=0.05 Amazon and Trinitario clones root well than the clone
except between ICS40 and T79/501. The median values Amelonado, the reasons being genetic.
for root length of cocoa cuttings for the factor IBA
concentration varied from a minimum of 5 cm for dose D0
to 8 cm for dose D1. D2 and D3 registered 6 and 5.5 cm, Conclusion
respectively (Figure 6).
Clone UPA143 had the longest mean root length, The effect of four clones, two cutting sources and four
followed by ICS40, T79/501 and SNK16 in a decreasing IBA concentrations has provided important information on
order. Orthotropic cuttings (B1) produced longer roots cocoa propagation. Orthotropic cuttings (B1) showed a
than plagiotropic cuttings, whereas growth regulator better survival rate (67.31%) than plagiotopic cuttings
concentration D1 induced longer mean roots than the (B2), confirming the result of other scientists elsewhere
others (D2, D3, and D0) in a decreasing order (Table 9). on the vigor of orthotropic cuttings.
Results of analysis of variance for the factors A classification of the different clones showed survival
investigated in this trial showed significant differences at rates of 75.5% for UPA143, 58.75% for T79/501, 52.57%
p=0.05. Additionally, individual analysis of each factor for SNK16 and 45% for ICS40 after 10 weeks in the
showed significant differences among clones, cutting propagator. Clones ICS40 and T79/501 had similar
types and growth regulator concentrations. This results for root number meaning the effect of clone could
confirmed that root length of cocoa cuttings vary be limited in some cases, whereas orthotropic cuttings
depending on clone, cutting origin and growth regulator and growth regulator concentration D1 showed
concentration. Liabeuf (1946) obtained similar results significantly higher mean values for all parameters
after treatment of cocoa cuttings with IBA. Apart from assessed.
growth regulator treatment, clone and cutting type had Vegetative propagation by stem cuttings is a technique
significant effects on root production and root length. that had been abandoned in Cameroon, in favor of
Clones, foliar surface, physiological age, anatomic traits, grafting for the establishment of cocoa seed orchards.
nutritional and biochemical factors exerted a strong However, stem cuttings have the advantage of providing
influence on rooting. According to Amoah (2006b), Upper many plants within a short time for the creation of such
90 J. Hortic. For.

seed orchards. Future research will be the evaluations of Koko L, Koffi N, Konan A (2011). Multiplication végétative du cacaoyer
(Theobroma cacao L.) par la technique de bouturage direct sous
all the clones available in the research stations of IRAD in
tunnel plastique. J. Appl. Biosci. 46:3124-3132.
different media. Kouamanan OK (2001). Multiplication vegetative du cacaoyer : le
bouturage. Mémoire de maitrise, Universite d’Abobo-Adjame (Cote
d’Ivoire). P 43.
Laliberté B, End M (2015). Supplying new cocoa planting material to
CONFLICT OF INTERESTS
farmers: A review of propagation methodologies. Bioversity
International, Rome, Italy. P 200.
The authors have not declared any conflict of interests. Leakey RRB (2004). Physiology of vegetative propagation. In: (Burley J,
Evans J, Youngquist JA (eds.) Encyclopedia of forest sciences.
Academic Press, London, UK. pp. 1655-1668.
Liabeuf J (1946). Rapport annuel des activités de la station cacaoyère
ACKNOWLEDGEMENT de Nkoemvone. pp. 6-9.
Libby WJ (2004). Propagation technology for forest trees. In: Burley J,
The authors acknowledge the Institute of Agricultural Evans J, Youngquist JA (eds) Encyclopedia of Forest Sciences.
Academic Press, London, UK. pp. 237-244.
Research for Development (IRAD) Nkoemvone, South
Lily VG, Ramadasan A (1979). Changes in phenolic content in coconut
region Cameroon. The technical staffs of the Institute are leaf in relation to the development of leaf rot. Indian Phytopath.
appreciated for their assistance in setting cuttings, daily 32:112-113.
watering and data collection during this period. Longman KA (1993). Rooting cuttings of tropical trees: tropical trees:
Propagation and Planting Manuals. Vol.1, 138. Illustrated by Wilson
RHF. Commonwealth Science.
Mbah JM, Retallick SJ (1992). Vegetative propagation of Balanites
REFERENCES aegyptiaca (L.) Del. Commonwealth For. Rev. 71(1):52-56.
McKelvie AD (1957). W.A.C.R.I. breeding material, Proceedings of the
Amoah FM (1986). Studies on the rapid propagation of cacao cacao breeding conference, Tafo, Ghana, 1-3 October 1956, 10-15.
(Theobroma cacao L.) (Ph D Thesis). Wye College, University of Nanda KK, Purohit AN, Anand VK (1968). Seasonal rooting response of
London. P 280. stem cuttings of some forest tree species to auxins. Indian For.
Amoah FM (2006a). Review of vegetative propagation of cacao 94(2):154-162.
(Theobroma cacao L.) by rooted cuttings. 1. Physiological Ondoua JM, Mony RD, Siegfried D, Ngotta BJB, Taffouo VD, Kenne M,
considerations. Ghana J. Agric. Sci. 39:209-216. Ekodeck GE (2016). Myrmecofauna of cocoa trees infested by
Amoah FM (2006b). Review of vegetative propagation of cacao Loranthaceae genus Phragmanthera in SODECAO seed fields of
(Theobroma cacao L.) by rooted cuttings. 2. Environmental and Nkoemvone (South of Cameroon). J. Entomol. Nematol. 8(3):19-27.
technical considerations. Ghana J. Agric. Sci. 39:217-226. Pyke EE (1933). The vegetative propagation of cacao. II softwood
Archibald JF (1953). Factors involved in the rooting response of cuttings, Second annual report on cacao research, Trinidad 2:3-9.
cuttings, Proceedings of the West African international cocoa Rasmussen A, Smith TE, Hunt MA (2009). Cellular stages of root
research conference, 12-16 December 1953, Tafo, Gold Coast. pp. formation, root system quality and survival of Pinus elliottii var. elliottii
40-42. × P. caribaea var. hondurensis cuttings in different temperature
Archibald JF (1955). The propagation of cocoa by cuttings, Technical environments. New For. 38:285-294.
Bulletin, (West African Research Institute), P. 3. Shiembo PN, Newton AC, Leakey RRB (1996). Vegetation propagation
Atangana AR, Tchoundjeu Z, Asaah EK, Simons AJ, Khasa DP (2006). of Irvingia gabonensis, A West African fruit tree. For. Ecol. Manag.
Domestication of Allanlackia floribunda: Amenability to vegetative 87(1-3):185-192.
propagation. For. Ecol. Manag. 237:246-251. Shiembo PN, Newton AC, Leakey RRB (1997). Vegetative Propagation
Champaud J (1966). Distribution du nombre de graines par cabosse of Ricinodendron heudelotii, a West African Fruit Tree. J. Trop. For.
chez plusieurs clones de cacaoyer: un caractère à prendre en Sci. 9(4):514-525.
compte pour l’amélioration des rendements. Dans : 16ème Tchoundjeu Z (1989). Vegetative Propagation of the Tropical
Conférence internationale sur la recherche cacaoyère. Lagos: Cocoa Hardwoods of Khaya ivorensis (A. Chef) and Lovoa trichilioides
Producers' Alliance, Bali (Indonésie). (Harm). Thesis Submitted to the University of Edinburgh for the
Chantrapradist C, Kanchanapoom K (1995). Somatic embryo formation Degree of Doctor of Philosophy. P 261.
from cotyledonary culture of Theobroma cacao L. J. Sci. Soc. Tee YK, Lamin K (2014). Vegetative propagation in Cocoa (Theobroma
Thailand 21:125-130. cacao): Effects of propagation environment and rooting substrates
Charrier A (1969). Contribution à l’étude de la morphogenèse et de la on rooting behaviour of cocoa stem cuttings, In: Enhancing
multiplication vegetative du cacaoyer (Theobroma cacao L.). Café strategic plant physiological research and technologies for
Cacao Thé 13:97-114. sustainable resources. proceedings of the international conference
De Klerk GJ, Van der Krieken W, De Jong JC (1999). Review–The on plant physiology. pp. 26-28.
formation of adventitious roots: New concepts, new possibilities. In Toxopeus H (1964). F3 Amazon in Nigeria. The Cocoa Research
Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 35:189-199. Institute of Nigeria. Annual report. pp. 13-23.
Evans H (1951). Investigations of the vegetative propagation of cocoa. Toxopeus H (1970). Seasonal trend of the rooting success of cutting of
Trop. Agric. (Trinidad), 28:7-12. cacao clnes in Nigeria and the relations with the establishment ability.
FAOSTAT (2015). Statistiques de la production cacaoyere au Euphytica 19(4):426-429.
Cameroun. Troare A, Maximova SN, Guiltinan MJ (2003). Micropropagation of
Hall TRH (1963). The cuttings production and rooting potential of some Theobroma cacao L. using somatic embryo-derived plants. Soc. In
WACRI cocoa clones. Trop. Agric. (Trinidad) 40(3):223-228. vitro Biol. 1-7. In Vitro Cell. Develop. Biol. Plant 39.3:332-337.
Hartmann HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL (2002). Plant Wiesman Z, Jaenicke H (2002). Introduction to vegetative tree
propagation principles and practices. Prentice Hall ENG. Cliff, New propagation: concepts and principles. In: Jaenicke H, Beniest J (eds):
Jersey 07632. Vegetative Tree Propagation in Agroforestry: Training Guidelines and
Himme V (1956). Etude du systeme radiculaire du cacaoyer au Congo References. International Centre for Research in Agroforestry
belge et Ruanda urundi. Bulletin d’information de l’INEAC. 58p. (ICRAF), Nairobi, Kenya. P 148.
Kevers C, Hausman JF, Faivre-Rampant O, Evers D, Gaspar T (1997).
Hormonal control of adventitious rooting: Progress and questions. J.
Appl. Bot. Angew. Bot. 71:71-79.
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/325547363

Rooting Ability of Cocoa (Theobroma cacao L.) Stem Cuttings: Effect of


Genotype, Cutting Type, Hormone Concentration and Their Interactions

Article  in  Asian Journal of Agricultural and Horticultural Research · March 2018


DOI: 10.9734/AJAHR/2018/40168

CITATIONS READS

2 1,334

5 authors, including:

Rose Caspa Laurent Baleba


IRAD Cameroon Institute of Agricultural Research for Development
16 PUBLICATIONS   59 CITATIONS    6 PUBLICATIONS   19 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Rose Caspa on 27 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Asian Journal of Agricultural and Horticultural Research

1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

Rooting Ability of Cocoa (Theobroma cacao L.) Stem


Cuttings: Effect of Genotype, Cutting Type,
Hormone Concentration and Their Interactions
K. M. D. Kamga1*, D. T. Tchatchoua1, R. G. Caspa2, G. Yombo A. Bessa3
and L. J. Baleba3
1
Department of Agriculture, Animal Husbandry and Derived Products, National Advanced School of
Engineering, University of Maroua, B.P.46, Maroua, Cameroon.
2
Institute of Agricultural Research for Development (IRAD), Forest and Wood Program,
P.O.Box 2123, Yaounde, Cameroon.
3
Institute of Agricultural Research for Development (IRAD), Nkoemvone, P.O.Box 65, Ebolowa,
South Region, Cameroon.

Authors’ contributions

This work was carried out in collaboration between all authors. Author KMDK designed the
experiment, carried out the research and wrote the first draft of the manuscript. Author DTT initiated
the concept, designed the experiment, performed the statistical analysis and wrote the article. Author
RGC wrote the article with literature searches. Authors GYAB and LJB designed the experiment,
wrote the protocol and managed the analysis of the study. All authors read and approved the final
manuscript.

Article Information

DOI: 10.9734/AJAHR/2018/40168
Editor(s):
(1) Fatemeh Nejatzadeh-Barandozi, Department of Horticulture, Faculty of Agriculture, Azad Islamiz University of Khoy, West
Azarbayjan, Khoy, Iran.
Reviewers:
(1) Bado Souleymane, University of Natural Resources and Life Sciences, Austria.
(2) R. Mahalakshmi, India.
Complete Peer review History: http://www.sciencedomain.org/review-history/23865

Received 11th January 2018


th
Accepted 20 March 2018
Short Research Article th
Published 28 March 2018

ABSTRACT
Aims: This study aimed to evaluate the rooting ability of stem cuttings of eight-year-old cocoa
th
hybrids disseminated in the 5 agroecological zone of Cameroon.
Study Design: The experiment was a 6 x 2 x 3 randomised complete block design with three
replications.
Place and Duration of Study: The study was conducted at the multipurpose agricultural research
station Nkoemvone – Ebolowa from February to September 2017.
_____________________________________________________________________________________________________

*Corresponding author: Email: kadimitri02@yahoo.fr;


Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

Methodology: The studied factors were six genotypes (G1 = IMC67 x SNK 64, G2 = SNK 620 x
MA 12, G3 = T79/501 x SNK 109, G4 = T79/501 x SNK 64, G5 = SNK 413 x UPA 143 and G6 =
UPA 143 x SNK 64), two Cutting types (C1 = Orthotropic and C2 = Plagiotropic) and three rooting
hormone concentrations (H1 = 2 tablets per liter of water, H2 = ½ tablet per liter of water and H3 =
1 tablet per liter of water). Rooting ability was evaluated by assessing percentage of rooted
cuttings, number of root per rooted cutting and the length of the longest root per rooted cutting.
Results: Analysis of variance results indicated that genotype, hormone concentration and most of
their interactions were highly significant while cutting type was not significant on the measured
traits. The best rooting was obtained with genotype G4 for all the measured parameters. It was
shown in this experiment that genotype G4 could be propagated using Rhizopon hormone, with a
concentration of ½ tablet per litre of water and plagiotropic cutting type. This is also noticed in their
interaction terms, where genotype G4/Hormone concentration 2 and 3 were the best combinations
for all parameters.
Conclusion: Significant differences among genotypes are an indication that different genotypes
may require different conditions for their propagation. As such investigations into the requirement
for the propagation of the other genotypes should be considered in the future.

Keywords: Theobroma cacao; vegetative propagation; hybrid; cutting type; rooting; hormone
concentration; 5th agroecological zone.

1. INTRODUCTION banks in which clones from diverse origins and


characteristics are planted. These living
Cocoa (Theobroma cacao L.) is a neotropical genebanks are found primarily at the Institute
perennial plant belonging to the family of Agricultural Research and Development
Malvaceae [1] which develops naturally around (IRAD) station of Nkoemvone in the South
the equator between latitudes 20o North and Region and maintained by vegetation
South [2]. The principal objective of cocoa propagation. Despite the fact that Cameroon
cultivation in all countries is to obtain cocoa makes a considerable contribution to
beans which constitute a significant raw material global cocoa production, mean yields (300 kg)
for food, pharmaceutical and cosmetic industries per hectare remain low [5]. This corresponds
[3,4]. Cocoa is cultivated in America, Asia and to ten times less its standard potential
Africa where it contributes significantly to their when cocoa is cultivated under optimum
economies, especially those of West African conditions [12]. Factors responsible for the poor
countries [5]. The latter sub-region contributes yields include:- cocoa brown pod rot disease
about 70% of global production of cocoa beans caused by the fungus (Phytophthora megakarya)
[6,7]. and mites,Sahlbergella singularis and Distantiella
theobromae [13,14] ageing of cocoa plantations
Cameroon is the fifth world producer of cocoa and farmers as well as bad agricultural practices
beans after Ivory Coast, Ghana, Indonesia, and [15-18] have also contributed to reduced
Nigeria [7]. The cocoa chain represents about production. According to Mahob [19], lack of
3% of Gross Domestic Product, 6% of the improved planting material contributes to low
primary GDP and about 30% of the agricultural cocoa production.
sub-sector destined for exportation and
transformation [8]. Cocoa is cultivated on an area The future of cocoa in Cameroon as inscribed
of about 400.000 to 600.000 hectares spread in the cocoa and coffee development plan by
within the humid forest zone [9]. Annual 2020 can only be attained through increase
production during the 2014/2015 and 2015/2016 of seed banks, replanting of old plantations,
seasons were respectively, 232.530 and 269.495 establishment of new plantations, which
tons of marketable cocoa beans [10,11]. The necessitate an increase in demand for
monetary value of exported cocoa beans in improved planting materials. Many structures and
Cameroon is estimated at 200 billion francs CFA projects have been put in place by the
and is a source of sustenance for about 2 million government such as project for the selection and
people distributed among about 400.000 diffusion of improved cocoa and coffee planting
producer families [8]. material (SDMVCC), Fund for the development
of cocoa and coffee chains (FODECC) and
The maintenance of cocoa genetic diversity in Cocoa development company (SODECAO).
Cameroon is done by the establishment of gene They are responsible for the production and

2
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

dissemination of disease resistant and improved 2. MATERIALS AND METHODS


planting material such as hybrids. This is
achieved in IRAD through controlled manual 2.1 Experimental Site and Establishment
pollination and the establishment of multi-clonal of Cuttings
seed orchards from improved local clones
belonging to different genetic groups [20]. The The experimental site and propagation procedure
first flowering of such hybrids occurs 5 to 7 have been previously reported by [24]. However,
years after planting [14]. Multi-clonal seed the genotypes used in this experiment consisted
orchards produce hybrids in a heterogenous of six hybrids (genotypes) G1 = IMC67 x SNK
manner with an uncertainty of individuals' 64, G2 = SNK 620 x MA 12, G3 = T79/501 x
identities since pollination takes place naturally. SNK 109, G4 = T79/501 x SNK 64, G5 = SNK
Studies in multi-clonal seed orchards show 413 x UPA 143 and G6 = UPA 143 x SNK 64 of
that about 97% of cocoa beans obtained results age 8 years old. These genotypes were chosen
from self-pollination [21,22]. According to the based on their good performance concerning
latter authors, manual pollination requires yield, growth, resistance to pests and diseases
qualified personnel and sophisticated equipment and other morphological characteristics (Fig. 1).
but gives a low rate of success (7 to 29.2 %).
The same difficulties encountered in the The trial was a 6 x 2 x 3 randomized complete
development of hybrids are sometimes block design with three replications. Cuttings
responsible for the high prices charged by were collected early in the morning (before 7 am)
producers during sale [23]. There is a necessity from afore mentioned six cocoa hybrids, from C1
for a method of rapid production of these hybrids = orthotropic (upright stems) and C2 =
from improved cocoa planting material. The plagiotropic (side) branches. Cuttings had an
objective of this study was to evaluate the rooting average of four leaves and were about 30 cm
ability of cuttings of selected cocoa hybrids used long. These were quickly dipped into three
in the humid forest zone of Cameroon. different concentrations of indolebutyric acid
Specifically, the study aimed at assessing the (IBA) (H1: two tablets per litre of water; H2: ½
effect of genotype, hormone concentration, tablet per litre of water and H3: 1 tablet per litre
cutting type and their interactions on rooting of of water) before setting in, decomposed saw dust
stem cuttings. disinfected three days before. Alkatene plastic

G1 = IMC67 x SNK 64 G2 = SNK 620 x MA 12 G3 = T79/501 x SNK 109

G4 = T79/501 x SNK 64 G5 = SNK 413 x UPA 143 G6 = UPA 143 x SNK 64


Fig. 1. Observed characteristics of the six genotypes

3
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

pots (24 x 14 cm) containing cuttings were then 3. RESULTS


placed in propagators containing trays filled with
disinfected wood chips to provide stability. The 3.1 Effect of Genotype on the
experimental unit consisted of 20 cuttings each Percentage of Rooted Cuttings,
giving a total of 2160 cuttings (20 cuttings x 6
Number of Roots per Rooted Cutting
genotypes x 2 cutting types x 3 hormone
concentrations x 3 replications). The trial was and Length of the Longest Root
watered daily in the morning and evening
whereas fallen and dead leaves were removed The measured parameters varied from 45 to
as reported by [25]. 90% for the percentage of rooted cuttings, 1 to
16 for the number of roots per rooted cutting
2.2 Data Collection and Analyses and 3 to 33.6 cm for the length of the longest
root among the genotypes. Results of analysis
Percentage of rooted cutting (rate of survival) of variance show that genotype has significant
was determined by the proportion of life cuttings effect on the percentage of rooted cuttings,
at the end (after about 3 months) of the the number of roots and the length of the
experiment to the number of cuttings set. The longest root at 5% level with P < .000. The
number of roots per rooted cutting was counted DMRT test for mean comparison shows that
to determine root production, whereas length of genotype T79/501 x SNK 64 had highest values
the longest root per rooted cutting was measured in all the measured parameters with 85% ± 5.47
using a ruler. These data were entered into for the percentage of rooted cuttings, 10.05 ±
Microsoft Excel 2013 and analysed using SPSS 2.36 for the number of roots per rooted
IBM version 20. Normality test and homogeneity cutting and 13.84 cm ± 4.77 for the length of the
of variance test were conducted to confirm the longest roots and was significantly different
validity of tests of analysis of variance. Means from all the other genotypes used, whereas
were separated using Duncan Multiple range test SNK413 X UPA 143 showed the least
(DMRT). The univariate analysis of variance percentage of rooted cuttings, number of roots
(ANOVA) with principal factors: genotypes, per cutting and length of the longest root with
hormone concentrations, cutting types and 50.00 ± 6.32%, 3.28 ± 0.87 and 4.76 cm ± 1.10
interactions: genotype x hormone concentration respectively (Table 1).
and genotype x cutting type to test the
significance between different parameters at 5 % 3.2 Effect of Hormone Concentration on
level using the GLM type III model as follow: the Percentage of Rooted Cuttings,
Number of Roots per Rooted Cutting
Yijkl = µ + Gi + Hj + Tk + Rl + GiHj + GiTk + εijkl and Length of the Longest Root
Y = Observation for the ijklth individual, µ = Descriptive statistics of the mean data obtained
overall mean of the experiment, Gi = the random among the hormone concentrations show that it
th
effect of the i genotype, Hj = the fixed effect of varies from 61.25 to 73.61% for the percentage
th
the j hormone concentration, Tk = the fixed of rooted cuttings, 5.17 to 6.53 for the number of
th
effect of the k cutting type, Rl = the random root and 7.76 to 9.19 cm for the length of the
effect of lth replication, GiHj = interaction effect of longest root. Result indicated that the percentage
th th
i genotype x j hormone concentration, GiTk = of rooted cuttings was best (73.61% ± 12.30) in
interaction effect of ith genotype x kth cutting type, hormone concentration H2 (½ tablet per litre of
εijkl = the sampling error water) which was not significantly different from

Table 1. Mean values of percentage of rooted cuttings, number of root per rooted cuttings and
the length of the longest root per cutting among genotypes

Genotype Number of Percentage of Number of root Length of the


cuttings rooted cuttings per rooted cutting longest root
e d e
G1 (IMC67 x SNK 64) 360 60.00 ± 8.94 4.30 ± 1.47 5.57 ± 1.50
G2 (SNK 620x MA 12) 360 65.00d ± 10.95 4.88c ± 1.38 6.61d ± 1.48
G3 (T79/501x SNK 109) 360 80.00b ± 10.48 6.97b ± 2.14 11.71b ± 2.29
a a a
G4 (T79/501x SNK 64) 360 85.00 ± 5.47 10.05 ± 2.36 13.84 ± 4.77
G5 (SNK 413x UPA 143) 360 50.00f ± 6.32 e
3.28 ± 0.87 f
4.76 ± 1.10
c b c
G6 (UPA 143x SNK 64) 360 75.00 ± 10.85 6.56 ± 1.40 9.79 ± 1.40
P - value P < .000 P < .000 P < .000

4
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

hormone concentration H3 (1 tablet per litre of cutting and the length of the longest root with
water). Results of ANOVA revealed that both orthotropic and plagiotrophic cuttings each
hormone concentration had a highly significant producing 6 roots per cutting and 8.1 cm for the
effect on number of roots with P = 0.000. There length of the longest root at 5%, with P = 0.87
was no significant difference in root number (Table 3).
between ½ and 1 hormone tablet per litre of
water, which induced the greatest number of 3.4 Interaction Effect between
roots with mean values of 6.53 ± 2.83 and 6.33 ± Genotype/Hormone Concentration on
2.86 respectively. The least number of roots was the Percentage of Rooted Cuttings,
produced by hormone concentration H1 with 2 the Number of Roots and Length of
tablets per litre of water (Table 2).
the Longest Root
ANOVA results reveal that hormone
concentration had a significant effect on length of Significant interaction effect was found in
the longest root at the level of 5 % with P = 0.000 genotype/hormone concentration on the number
(Table 2). It was observed that the longest root of rooted cuttings (P = 0.012) and the length of
length was induced by ½ and 1 hormone tablet the longest root (P = 0.00). There was no
per litre of water, which showed no significant significant effect on the percentage of rooted
difference at the 5% level, with mean root lengths cutting and the results could not be reported
of 9.19 ± 4.17cm and 9.18 ± 4.41 cm. further. The highest mean number of root per
rooted cutting was obtained from the interactions
3.3 Effect of Cutting Type on the between genotype 4 and hormone
Percentage of Rooted Cuttings, concentrations 2 and 3, which showed mean root
Number of Root and Length of the per cutting as 10.7 and 10.5 respectively (Fig. 2,
Longest Root 3). This was followed by genotype 4/ two tablets
per litre of water (8.8 mean roots). For the mean
According to the ANOVA results, cutting type had number of roots genotype, 4 was highest in all
significant influence on the percentage of rooted the concentration applied. Genotype 5/hormone
cutting at 5 %, with P = 0.025 with plagiotrophic concentration 1 had the lowest mean number of
cuttings showing the highest (70.37 ± 15.55) roots with 2.9. It was shown that hormone
percentage of rooted cuttings. Cutting type had concentration 1 recorded the lowest mean
no influence on the number of roots per rooted number of roots for all the genotypes.

Table 2. Mean values of percentage of rooted cuttings, number of root per rooted cuttings and
the length of the longest root per cutting among hormone concentrations

Hormone Number of percentage (%) of Number of Length of the


concentration cuttings rooted cuttings roots per longest root
rooted cutting (cm)
b b b
2 tablets per liter 720 61.25 ± 12.67 5.17 ± 2.39 7.76 ± 3.27
of water
½ tablet per liter 720 73.61a ± 12.30 6.53a ± 2.83 9.19a ± 4.17
of water
a a a
1 tablet per liter of 720 72.63 ± 15.20 6.33 ± 2.86 9.18 ± 4.41
water
P - value P <.000 P <.000 P <.000

Table 3. Mean values of percentage of rooted cuttings, number of root per rooted cuttings and
the length of the longest root per cutting among cutting types

Cutting type Number of percentage of Number of root per Length of the


cuttings rooted cuttings rooted cutting longest root
Orthotropic 1080 67.963 b ± 14.16 6.006 a ± 2.73 8.731 a ± 4.06
Plagiotropic 1080 70.370 a ± 15.55 6.020 a ± 2.8 8.700 a ± 4.01
P - value P = .025 P= .873 P = .817

5
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

The longest roots were induced by interactions and Lass [3], reported that differences in cocoa
between genotype 4/concentration 2 and 3, with genotypes lead to differences in their rooting
mean root lengths of 14.6 and 14.8 cm abilities. The fact of having obtained the best
respectively (Fig. 4, 5). Other interesting results rooting parameters with hybrid T79 / 501 x
came from interactions between genotype SNK64, T79 / 501 x SNK 109, UPA 143 x SNK
3/concentration 3 (12.4 cm), genotype 64, could be explained by the fact that in these
3/concentration 2 (12.2 cm), genotype hybridizations the African clones are involved
4/concentration 1(12cm). On their part, (SNK : Cameroonian clone, and T79 / 501:
interactions between genotype 6/concentrations Ghanaian clone), thus corroborating with the
3, 2 and genotype 3/concentration 1 each observations of [26], who reported that
produced longest roots of about 10 cm. Amazonian high clones such as UPA 143, and
those belonging to the Trinitario group such as
4. DISCUSSION T79 / 501 and the SNK, are more efficient during
cuttings, and therefore root better. For the effect
The results obtained on the genetic potential give of hormone concentration, it was also observed
us information on the effectiveness of the that the higher hormone concentration had a
differences in the rooting of the cuttings from the negative impact on the percentage of rooted
difference in the genetic potential of the hybrids. cuttings whereby hormone concentration H1 (2
Current literature on cocoa propagation does not tablet per litre of water) had the lowest (61.25 ±
provide information on the rooting of cuttings 12.67) mean percentage of rooted cuttings. In
taken from hybrids, as cuttings are often the test of the effect of concentration on the
collected mostly from clones. Similar results were rooting of cuttings, the results showed that the
obtained by Hall [26]. Toxopeus [27], and Wood concentration of the rhizogenic hormone solution

Fig. 2. An interaction effect between genotype/Hormone concentrations on number of roots

Fig. 3. Age of rooted cuttings, a) Genotype 3/Two Rhizopon tablets per litre of water b)
Genotype 3/½ Rhizopon tablet per litre of water c) Genotype 4/1Rhizopon tablet per litre of
water

6
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

Fig. 4. An interaction effect between genotype/Hormone concentration on length of the longest


roots

a b c

Fig. 5. Length of the longest root a) Genotype 4/ hormone concentration 2 b) Genotype 4/


hormone concentration 3 c) Genotype 4/ hormone concentration 1

has indeed a consequence on the rooting; these economically important, but also reduce plant
results corroborate those from the [28, 27]. Wood production failures that sometimes occur when
and Lass [3] and Essola et al. [24] experiments, the hormone is missing or being not easily
which reported that hormones are one of the accessible.
important factors influencing the rooting of
cuttings; having obtained better rooting results at The observation of the non-significance of the
the lower concentrations of 1 and 0.5 tablets per rooting differences of cuttings according to
liter rather than the highest concentration of 2 whether they are orthotropic or plagiotropic, is in
tablets per liter, may be due to the fact that the line with the results obtained by Murray [30] cited
hormone used is based on auxin, slowing the by Lockwood [31], who reported that the root
activity of stimulation of rhizogenesis, due to an system of cocoa plants grown from rooted
excessive concentration of auxin, as underlined plagiotropic cuttings is similar to that of seedlings
by Charvet-Candela [29]. However, the non- grown from seeds. Several authors [32, 33, 8],
significance of the rooting results recorded for report that the plants resulting from the rooting of
hormone solution concentrations of ½ tablet per plagiotropic cuttings adopt a bulky canopy in
liter and 1 tablet per liter both gave better results, culture and have a low resistance to lodging and
it would be sensible and recommendable for water stress, this being explained in that these
users of Rhizopon, opting for the lowest plants do not develop a taproot, unlike plants
concentration, ½ tablet, which could not only be resulting from the cutting of orthotropic branches;

7
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

in the case of this study, these pivotal roots have for all the measured parameters, while no
not been observed on orthotropic cuttings that significant effect between genotype and cutting
have been experimented; this could be explained type. With the increasing demand of planting
by the stage of root development, perhaps not materials in this zone of Cameroon it is
advanced enough to be able to distinguish recommended on the basis of this work carried
between lateral roots and pivoting roots. These out to evaluate the cutting ability of cocoa hybrids
same authors as well as Lee [34] emphasized to clone the cocoa hybrids by cuttings. This will
that this lack of taproot is a disadvantage for not only reduce the time it takes for stock plants
cultivation, especially during periods when to flower but also reduce the problems with
rainfall is not sufficient; However, Boulay [35] sophisticated equipment required by manual
considers that this lack of root actually affects pollination.
little the mineral nutrition of the plant, because
the cocoa tree is a humicole species, which have ACKNOWLEDGEMENTS
nearly 85% of its roots grouped in the surface
horizon in the first 25 cm approximately. The first author is grateful to IRAD Nkoemvone
Interaction effects have never been studied in for permitting him assessed their structure used
propagation techniques in cocoa and comparison their facilities and work staff during the internship
can only be done using some tropical forest and period.
fruit trees. Significant interaction effect between
genotype and hormone (NAA) in rooting ability of COMPETING INTERESTS
P. santalinoides was reported by Dembele et al.
[36]. Authors have declared that no competing
interests exist.
5. CONCLUSION
REFERENCES
The present study focused on the evaluation of
the rooting ability of hybrids of cacao in the wet 1. Whitlock BA, Bayer C, Baum D.
forest zone with bimodal rainfall in Cameroon, Phylogenetic relationships and floral
where it was necessary to test the influence of evolution of the Bettnerioideae
the genetic potential, the concentration of (“Sterculiaceae” or Malvaceae S.1) based
Rhizogen hormone solution (Rhizopon) and on sequences of the chloroplast genre
cutting types on the rooting of the cuttings. ndhF. Systematic Botany. 2001;26:420-
Testing these effects showed that all the cocoa 437.
hybrids that have been the subject of this 2. Niemenak N, Cilas C, Rohsius C,
experiment can indeed be propagated Bleiholder H, Meier U. Lieberei R.
vegetatively by stem cuttings. However, more Phenological growth stages of cacao
specifically, the number of buds emitted, the plants (Theobroma sp.): Codification and
percentage of rooted cuttings, the number of description according to the BBCH scale.
roots emitted and the length of the longest root Annals of Applied Biology. 2010;156:13-
emitted vary greatly depending on the hybrid. 24.
Hybrids T79 / 501 X SNK 64, T79 / 501 X SNK 3. Wood GAR, Lass RA. Cocoa. 4th edition,
109 and UPA 143 X SNK 64 gave better results, Blackwell Science Ltd. London, UK; 1985.
unlike the hybrids SNK 413 X UPA 143, which 4. Mossu G. Le cacaoyer. Maisonneuve et
gave unsatisfactory results. The concentration of Larose, Paris: 9-15 et 1990:140-145.
the solution of the hormone used has an effect French.
on the rooting of the cuttings with the best rooting 5. Babin R. Contribution à l’amélioration de la
obtained for concentration 0.5 tablet of Rhizopon lutte contre le miride du cacaoyer
per liter. It was noticed that among the Sahlbergella singularis Hagl. (Hemiptera :
concentration used, a uniform trend could be Miridae). Influence des facteurs agro-
found, the lowest concentration having the écologiques sur la dynamique des
highest values for all the measured parameters. populations du ravageur. Thèse de
Thus, indicating higher concentrations may be Doctorat de l’Université de Montpellier III,
detrimental for the propagation of these hybrids. Département Biologie Ecologie
However, the conclusion will need more Environnement Montpellier: France; 2009.
experimental procedures with higher French.
concentrations. There was an interaction effect 6. Atlas. Atlas de l’Intégration Régionale en
between genotype and hormone concentration Afrique de l’Ouest; 2007. French.

8
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

7. Anonymous. Economie et Business. diseases. C. Cilas and D. Despréaux Eds.


Cacao : Embellie du marché en Afrique Repères CIRAD, Montpellier, Cedex,
avec des prix record au producteur (Papier France; 2004. French.
général, Xinhuanet 29/03/2010); 2010. 19. Mahob R. Pesticides use in cocoa sector
French. in Cameroon: characterization of supply
8. ICCO. Rapport de la commission source, nature of actives ingredients,
consultative sur l’économie cacaoyère fashion and reasons for their utilization.
mondiale à Accra au Ghana. Mesures Int. J. Biol. Chem. Sci. 2013;8(5):1976-
prises par les gouvernements pour 1989.
parvenir à une économie cacaoyère plus 20. Besse J. La sélection générative du
durable : Cas du Cameroun; 2007. French. cacaoyer en cote d’ivoire: Bilan et
9. Jagoret P. Analyse et évaluation de orientation des recherches en 1975. In: 5e
systèmes agroforestiers complexes sur le Conference Internationale sur la
long terme : Application aux systèmes de Recherche Cacaoyère, Ibadan, Nigeria;
culture à base de cacaoyer au Centre 1975. French.
Cameroun. Thèse de Doctorat de 21. Launaud C, Sounigo O, Amefia YK, Paulin
l’Université de Montpellier SupAgro, D, Lachenaud P, Clément D. Nouvelles
Département Systèmes Intégrés en données sur le fonctionnement du système
Biologie, Agronomie, Géosciences, d’incompatibilité du cacaoyer et ses
Hydrosciences et Environnement, conséquences pour la sélection, Café
Montpellier, France; 2011. French. Cacao Thé. 1987;31(4):267-282. French.
10. Anonymous. Rapport annuel d’activité 22. Lachenaud, PH, Sounigo O. Production de
2016, MINCOMMERCE; 2017. French. semences de cacaoyer en cote d’Ivoive.
11. ONCC. Rapport annuel d’activités 2016, Influence des proportions relatives des
Office National du cacao et du Café; 2017. parents d’un champ semencier biclonal sur
French. la quantite, la qualite et l’origine genetique
12. Toxopeus H. Botany, types, populations. In des semences Cafe, Cacao, The Paris;
Cocoa G.A.R. Wood and R.A. Lass Eds., 1985. French
Longman, London; 1985.
23. Bastide P, Sounigo O. Production of cocoa
13. Fosu-Mensah BY, Okoffo ED, Darko G.
hybrid seeds in Cote d’ivoire. Various hand
Organophosphorus pesticide residues in
pollination trials. Café Cacao Thé; vol
soils and drinking water sources from
XXXVII, n° 4, oct-déc. Paris; 1993.
cocoa producing areas in Ghana.
Environmental Systems Research. 24. Essola Essola Junior, Caspa RG,
2016;5:10. Tchatchoua DT, Owona NPA. Vegetative
14. Efombagn MIB, Sounigo O, Nyassé S, propagation of selected clones of Cocoa
Manzanares-Dauleux M, Eskes AB. (Theobroma cacao L.) by stem cuttings.
Phenotypic variation of cacao (Theobroma Journal of Horticulture and Forestry.
cacao L.) on farms and in the gene bank in 2017;9(9):80-90.
Cameroon. Journal of Plant Breeding and 25. Tee YK, Lamin K. Vegetative propagation
Crop Science. 2009;1(6):254-257. in cocoa (Theobromae cacao): Effects of
15. Entwistle PF. Pests of cocoa. P.F. propagation environment and rooting
Entwistle Ed. Longman Group Ltd, London, substrates on rooting behaviour of cocoa
UK; 1972. stem cuttings. Malaysian Cocoa Board,
16. Lavabre EM. Insectes nuisibles des Malaysia; 2015.
cultures tropicales (cacaoyer, caféier, 26. Hall TRH. The cuttings production and
colatier, poivrier, théier). G.-P. rooting potential of some WACRI cocoa
Maisonneuve et Larose, Paris; 1970. clones. Tropical Agriculture (Trinidad).
French. 1963;40(3):223-228.
17. Nyassé S. Etude de la diversité de 27. Toxopeus H. Botany, types and
Phytophthora megakarya et caractérisation populations. In G.A.R. Wood and R. A.
de la résistance du cacaoyer (Theobroma Lass Eds. Cocoa. Blackwell Science,
cacao L.) à cet agent pathogène. Thèse de London; 1964.
Doctorat de l’INP de Toulouse, Toulouse, 28. Jaenicke H, Beniest B. La multiplication
France; 1997. French. végétative des ligneux en agroforesterie.
18. Cilas C, Despréaux D. Improvement of World Agroforestry Centre. 2003;162.
cocoa tree resistance to Phytophthora French.

9
Kamga et al.; AJAHR, 1(2): 1-10, 2018; Article no.AJAHR.40168

29. Charvet-Candela V. Rôle de l'auxine system for Theobroma cacao L. PhD,


fongique dans la symbiose Pennsylvania State University, USA; 2009.
ectomycorhizienne Hebeloma 34. Lee MT. Recent experiences in field use of
cylindrosporum/ Pinus pinaster: cocoa clones for large scale commercial
Identification et caractérisation de gènes planting in Malaysia: pros and cons,
de la plante régulés par l'auxine fongique. Proceedings of the technical meeting:
Doctoral Dissertation, Lyon 1; 2000. State of knowledge on mass production of
French. genetically improved propagules of cocoa,
30. Murray DB. A new method of vegetative 19-23 October 1998, Ilhéus, Bahia, Brazil;
propagation, Proceedings of the 5th inter- 2000.
American cocoa conference, Turrialba; 35. Boulay M. Etude de la phénologie de
1954. différents hybrides de Cacaoyer associés
31. Lockwood G. Improved seed for West à six espèces d’arbres d’ombrage.
African cocoa farmers, INGENIC meeting; Mémoire de Maître ès Science,
2012. Département des Sciences du bois et de la
32. Mooleedhar V. A review of vegetative forêt, Université de Laval, Canada; 1998.
propagation methods in cocoa in Trinidad French.
and the implications for mass production of 36. Ky-Dembele C, Bayala J, Kalinganire A,
clonal cocoa plants, Proceedings of the Traore TF, Kone B, Olivier A. Clonal
technical meeting: State of knowledge on propagation of P. santalinoides L’Her.ex
mass production of genetically improved DC. The effect of substrate, cutting type,
propagules of cocoa. 19-23 October 1998 genotype and auxin, Southern Forest.
Ilhéus, Bahia; 2000. Journal of Forest Science. 2016;78(3)193-
33. Miller CR. An integrated in vitro and 199.
greenhouse orthotropic clonal propagation DOI: 10.2989/20702620.2016.1150696

© 2018 Kamga et al.; This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Commons Attribution License
(http://creativecommons.org/licenses/by/4.0), which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium,
provided the original work is properly cited.

Peer-review history:
The peer review history for this paper can be accessed here:
http://www.sciencedomain.org/review-history/23865

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai