Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PENYAJIAN BLUE-PRINT

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Penyusunan Skala Psikologi

Dosen Pengampu : Haryu Islamudin S.ag, M. Si.

Disusun oleh :

Suci Melati Suwardi (D20185014)

Rachma Lestari Dori (D20185063)

Moh. Zacky Abdillah (D20185073)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER

APRIL 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelitian merupakan salah satu hal yang penting dalam memecahkan suatu
masalah, dimana masalah tersebut masih belum menemui titik terang. Ketika melakukan
penelitian sudah pasti nantinya akan menggunakan berbagai macam metode untuk
mendapatkan jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang telah dijabarkan di dalamnya.
Salah satu metode yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu permasalahan, yang
mana permasalahan tersebut berhubungan dengan penskoran nilai dalam psikologi yakni
menggunakan metode penyusunan skala psikologi.
Penyusunan skala psikologi adalah suatu rancangan psikologi yang mana dibuat
guna melakukan suatu pengukuran terhadap bidang fisik yang segi validitasnya hampir
semua dapat diterima secara universal. Dalam penyusunan skala psikologi terdapat salah
satu metode yakni metode blue print, yang mana metode tersebut digunakan untuk
memuat aspek-aspek dan indicator-indikator keperilakuan serta proporsianalitas aitem
dalam perancangan skala yang mana berbentuk tabel. Blue print seringkali digunakan
dalam penyusunan skala psikologi, akan tetapi metode ini seringkali tidak difahami
tentang apa itu sebenarnya blue print¸apa saja yang terkandung dalam blue print, serta
bagaimana penyusunan blue print itu sendiri, oleh karena itu kami sebagai pemakalah
hendak membahas terkait metode tersebut agar metode tersebut bisa dipahami dan
dimengerti.

B. Rumusan Masalah
a. tentang apa itu sebenarnya blue print¸?
b. apa saja yang terkandung dalam blue print, ?
c. serta bagaimana penyusunan blue print itu sendiri ?

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini dibuat adalah agar dapat dipahami dan dimengerti tentang blue
print, segala bagian dari blue print, dan penyusunan blue print.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Atribut Psikologi Sebagai Konsep
Dalam konteks kehidupan sehari-hari dan penelitian ilmiah, banyak istilah atau kata
yang berkaitan dengan psikologi, seperti kenakalan remaja, kesehatan, kecerdasan atau
kecerdasan, kepribadian, kedewasaan, kecemasan, perilaku agresif, motivasi, minat,
kesejahteraan, dll. Maksud dari istilah ini adalah untuk menyederhanakan berbagai gejala
atau indikator yang terdapat pada istilah tersebut. Oleh karena itu, penggunaan konsep ini
akan memudahkan seseorang dalam memahami gejalanya. 1 Menurut Kerlinger (1973),
Konsep yang dibuat dan digunakan untuk penelitian ilmiah tertentu dan ilmu
pengetahuan tertentu di sebut konstruk.2 Di sisi lain, Latipun (2015) berpendapat bahwa
seseorang dapat memahami suatu konstruk/struktur, tetapi sulit untuk mengukurnya.
Contohnya adalah kecerdasan dan kecemasan. Dapat sepenuhnya menjelaskan
kecerdasan dan kecemasan. Namun, tidaklah mudah untuk mengukurnya dan
memberinya angka yang menunjukkan tingkat kecerdasan atau kecemasan. Dalam
konteks penelitian tidak terdapat variabilitas dalam konstruksi psikologi. Oleh karena itu,
konstruk/struktur perlu disusun agar mempunyai arti yang lebih rinci, spesifik, jelas dan
terukur, serta mempunyai nilai, yang kemudian disebut variabel.
Berbagai variabel psikologis, seperti kecemasan, harga diri, agresi, kestabilan emosi,
ketertarikan, dll., Tidaklah nyata, tetapi hanya merupakan hipotesis konsep psikologis
yang digunakan untuk menjelaskan fenomena psikologis yang muncul dalam perilaku
manusia dan menjelaskan fenomena psikologisnya serta menjelaskan hubungannya
dengan variabel lain. Berbeda halnya dengan situasi di mana batas-batas variabel fisik
(seperti kekuatan angkat, ketinggian, kecepatan, suhu udara, volume, dll.) lebih mudah
diterima secara umum, atribut psikologis lebih abstrak, dan pembatasan tidak selalu
diterima dan diberlakukan secara universal. Selain banyak konsep dan teori variabel
psikologis tunggal dengan nama yang sama, berbagai bentuk perilaku yang
menggambarkan variabel ini biasanya tumpang tindih dengan bentuk perilaku variabel
atau atribut psikologis lainnya. Inilah permulaan masalah penerjemahan konsep teoritis
ke dalam perilaku yang harus dapat diukur secara operasional.
Masalah lainnya, variabel psikologis biasanya memiliki nama dan substansi yang
sama, tetapi batasan konsep teoretisnya berbeda. Misalnya dalam berbagai situasi,
kecerdasan diartikan sebagai atribut yang sama dengan kemampuan kognitif yang
menggambarkan perbedaan antara orang pintar dan orang bebal, ternyata memiliki lebih
dari selusin konsep dan landasan teoritis yang berbeda. Akibatnya, masing-masing
konsep dan teori ini akan melahirkan bentuk skala kecerdas yang tidak sama, meskipun
tujuan pengukurannya serupa. Itulah sebabnya sekarang ini dikenal berbagai bentuk tes
dan skala intelegensi yang populer seperti Wechsler Adult Intelegence Scales (WAIS),

1
Ahmad Saifuddin, “Penyusunan Skala Psikologi Edisi Pertama”, 2020, hal.29.
2
Ibid., 29.
Otis Lenon Mental Ability Test, Raven’s Progressive Matrices (PM), Culture Fair
Intelegence Tests (CFIT), The Kaufman Assesment Battery For Children (K-ABC) dan
lain-lain.
Sebagai sebuah konsep teoritis, tentunya tidak mungkin untuk mengukur atribut
psikologis secara langsung, karena konsep tersebut merupakan abstraksi ide atau konsep
dari hal-hal tertentu. Pengukuran atribut psikologis hanya dapat dilakukan secara tidak
langsung melalui simbol perilaku, simbol perilaku tersebut mencerminkan adanya atribut
yang diukur dan dapat disebut indikator perilaku. Indikator perilaku ini menjadi dasar
untuk dijadikan dasar stimulus berdasarkan masalah atau pernyataan yang dikenal dengan
sebutan aitem.
Konsep teoritis selalu dapat ditemukan dalam buku teks yang membahas tentang
makna, karakteristik atau esensi dari sutu atribut atau variabel. Atribut kecemasan
misalnya kita dapat menemukan hubungannya dalam buku-buku tentang psikologi klinis
dan psikologi sosial, dan atribut motivasi bahasanya dapat kita temukan didalam berbagai
buku tentang psikologi belajar dan psikologi kepribadian, dll. Tanpa pemahaman penuh
tentang konsep teoritis atribut, tidak mungkin membuat alat yang dapat mengukur atribut
secara efektif. Tidak jarang dalam bekerja keras untuk memahami konsep-konsep teoritis
ini perlu berdiskusi dengan para ahli di bidang atribut yang relevan.
Karena hampir dapat dipastikan terdapat lebih dari satu teori untuk setiap atribut yang
kita pertimbangkan, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu kompleksitas teori
tersebut dan memilih salah satu yang paling sesuai untuk pembuatan alat ukur. Pilih teori
yang sederhana sebanyak mungkin, tetapi sejalan dengan tujuan skala produksi. Semakin
sederhana teori yang menjelaskan atribut, semakin mudah untuk menetapkan struktur
mental. Dengan cara ini, dimensi perilaku pada akhirnya akan memudahkan dalam
menghasilkan indikator perilaku operasional. Pengembangan indikator perilaku yang
jelas dan dapat ditindaklanjuti sangat penting sebagai referensi utama bagi penulis item.
Item yang ditulis menurut indikator yang jelas adalah item yang memenuhi fungsinya dan
memenuhi tujuan pengukuran yang disyaratkan, serta memiliki kemampuan pembeda
yang tinggi.
Faktanya, tidak semua atribut atau variabel yang akan diukur dapat didukung secara
teoritis dalam buku teks. Terkadang nama atribut yang akan diukur belum menjadi bagian
dari istilah atau istilah psikologis formal, sehingga skalanya belum memiliki referensi
teoritis untuk dipilih.
Jika tidak ada referensi teoritis yang pasti dapat ditemukan, maka rumusan perilaku
dapat diperoleh melalui diskusi para ahli tentang atribut yang akan diukur. Hasil ekspresi
perilaku yang diperoleh melalui diskusi tersebut kemudian diekspresikan kembali secara
operasional sebagai indikator perilaku.
Di sisi lain, banyak teori atau konsep tentang atribut, jika hanya teori atau konsep
tentang atribut, jika memilih menggunakan hanya satu, rasanya kurang lengkap atau tidak
sesuai dengan budaya lokal. Dalam hal ini, perancang skala dapat menggabungkan
sebagian atau seluruh dari dua atau tiga teori untuk diproses sebagai referensi konseptual
untuk konfigurasi skala yang diinginkan. Perlu dicatat bahwa dua atau tiga teori yang
akan digabungkan harus berasal dari aliran teoritis yang sama, daripada menggabungkan
teori dari dua atau tiga paradigma yang kontradiktif.

B. Dimensi Kepribadian
Sebagai objek pengukuran, konsep teoritis tentang atribut psikologis harus
dipahami sebagai representasi bangunan teoritis dengan berbagai ciri atau karakteristik
dari atribut tersebut. Misalnya, untuk membangun skala harga diri (self-esteem), konsep
teoritis harga diri akan dianggap sebagai bidang psikologis yang memuat karakteristik
orang dengan harga diri tinggi, dan orang dengan harga diri rendah. Demikian pula,
dalam rangka menciptakan skala untuk mengukur tingkat prokrastinasi/penundaan,
konsep teoritis penundaan akan dianggap sebagai bidang yang mengandung beberapa
karakteristik pribadi yang tidak akan dimiliki oleh mereka yang memiliki kecenderungan
rendah untuk menunda-nunda. Bangunan teoritis ini disebut konstrak. Ini akan menjadi
acuan saat merumuskan dimensi atau aspek perilaku dari atribut yang akan diukur.
Dimensi atau aspek perilaku harus mewakili atribut pengukuran yang diharapkan
oleh teori dasar. Rumus ukuran tidak boleh melebihi rentang teoritis, dan setiap aspek
harus diwakili oleh item pada skala tersebut agar struktur objek pengukuran tetap utuh.
Oleh karena itu, butir-butir dalam skala mendukung validitas isi skala. Dimensi atau
aspek perilaku merupakan hasil penguraian struktur menjadi konsep perilaku baru yang
lebih spesifik yang menggambarkan karakteristik seseorang dengan atribut yang akan
diuji.
Pernyataan perilaku adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
“Bagaimanakah deskripsi konseptual mengenai perilaku seseorang yang cenderung
memiliki tingkat prokrastinasi tinggi?”
“Apakah deskripsi konseptual mengenai perilaku seseorang yang self-esteemnya tinggi?”
“Seperti apakah gambaran konseptual mengenai perilaku individu yang agresif?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan awal dari rumusan dimensi perilaku, dan
tidak lepas dari ranah teoritis yang telah dipahami sebelumnya. Agar lebih mudah
dipahami dan terurai menjadi beberapa indikator, maka dimensi perilaku sebaiknya
dituliskan dalam bentuk kalimat atau kata kerja agar lebih menggambarkan makna
perilaku yang diharapkan.
Misalnya, dari atribut agresif yang telah dipelajari secara teoritis dapat dibentuk tiga
dimensi perilaku yang merupakan ciri utama orang agresif, bukan karakteristik banyak
orang yang tidak agresif (Gambar 2.1). Perhatikan bahwa dimensi perilaku ini adalah
"forabel", yang artinya berisi kata kerja yang mendukung sifat pribadi yang
menyinggung. Aspek perilaku tidak boleh diekspresikan dalam bentuk kalimat yang tidak
menyenangkan.
AGRESIVITAS

Merasa dominan Kurang memiliki


Bertindak emosional
afeksi

Gambar 2.1. Contoh Penguraian Atribut Agresivitas Menjadi Tiga Dimensi Keprilakuan

Sebagai contoh lain, desain skala prokrastinasi mungkin menyimpang dari definisi
atribut prokrastinasi (Milgram, 1991; Ferrari et al., 1995), yang telah dirumuskan ulang
sebagai dimensi perilaku berikut:

I. Menunjukkan rangkaian perilaku penagguhan.


II. Menghasilkan bentuk perilaku dibawah standar.
III. Melibatkan tugas yang dianggap penting oleh perilaku prokrastinasi, dan
IV. Merasakan kerisauan emosional sehingga akibat perilaku tersebut.

Dimensi atau aspek perilaku yang dikembangkan merupakan keseluruhan ruang


lingkup pengukuran dan harus diungkapkan oleh item yang akan ditulis. Artinya, penulis
item harus menulis item yang dapat mengungkapkan semua aspek tersebut, dan kemudian
skala dapat memiliki fungsi pengukuran yang efektif.
Kedua contoh di atas menggambarkan penguraian atribut sebagai objek pengukuran
menjadi beberapa dimensi perilaku.Perlu diketahui bahwa skala yang akan dilakukan
sebagai alat ukur kedua akan menghasilkan skor tunggal yang dapat ditempatkan pada
kontinum psikologis sehingga interpretasinya akan mengambil bentuk kontinuitas
rendah-tinggi (untuk skala agresivitas) atau ringan hingga berat (untuk skala
prokrastinasi). Semakin besar skornya, semakin kuat indikasi bahwa atribut yang diukur
ada dalam diri subjek.
Dalam kasus lain, mungkin saja struktur atribut yang diukur terdiri dari dua atau lebih
subdomain yang berbeda, dan tujuan penskalaannya adalah untuk menempatkan individu
dalam suatu tipe atau klasifikasi berdasarkan atribut yang diukur. Misalnya, mengukur
atribut kepribadian tertentu tidak untuk mengungkapkan seberapa tinggi seseorang,
karena diagnosis semacam itu sama sekali tidak ada artinya. Ukuran kepribadian lebih
tepat ditujukan untuk membedakan individu menjadi tipe kepribadian tertentu, seperti
ekstrovert atau introvert. Dengan cara ini, tipologi kepribadian ini merupakan subdomain
teoritis dari konstruksi atribut kepribadian (Gambar 2.2).

KEPRIBADIAN

Kepribadian Kepribadian
Ekstrovert Introvert

Dimensi I Dimensi II Dimensi V Dimensi VI

Dimensi III Dimensi IV Dimensi VII

Gambar. 2.2 Dimensi dari Dua Subdomain Kepribadian

Contoh lainnya adalah pengukuran atribut-atribut strategis dalam menghadapi


masalah, tentunya bukan untuk menentukan seberapa tinggi atau baik strategi seseorang
dalam memecahkan masalah, tetapi untuk mengetahui kapan seseorang cenderung
memilih strategi yang mana untuk menghadapi masalah. Oleh karena itu, tipe strategi
penghindaran, tipe penilaian masalah dan tipe strategi pemecahan masalah aktif
digunakan sebagai subdomain untuk mendesain grid skala strategi berorientasi masalah.
Ini berarti bahwa dimensi perilaku berasal dari subdomain, bukan langsung berasal dari
atribut yang akan diukur.

C. Indikator Keperilakuan
Indikator keperilakuan (behavioral indicatory) adalah deskripsi bentuk-bentuk
perilaku yang mengindikasikan adanya atribut psikologis yang diukur. Salah satu
karakteristik utama indikator keperilakuan adalah rumusannya yang sangat operasional
dan berada dalam tingkat kejelasan yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan.
Sebagai suatu analogi, fungsi indikator keperilakuan dalam mendiagnosis atribut
psikologi dapat disamakan dengan fungsi simptom atau gejala-gejala yang digunakan
dokter untuk mendiagnosis penyakit. Dokter tidak punya alat ukur penyakit, tapi ia dapat
menyimpulkan bahwa seseorang menderita demam berdarah dari melihat dan mengukur
misalnya suhu badan, tekanan darah, nadi, kadar HB dan lain-lain. Begitu pula dalam
dunia pengukuran psikologi, sebagai suatu atribut maka “kecemasan” tidak dapat diukur
secara langsung namun dapat disimpulkan dari bentuk-bentuk perilaku tertentu yang
mengindikasikan secara tidak langsung adanya kecemasan. Itulah fungsi indikator
keperilakuan.
Perumusan indikator keperilakuan banyak tergantung pada kreativitas dan intuisi
perancang skala. Selama rumusan indikator keperilakuan dinilai relevan dan logis untuk
menggambarkan secara konkret aspek keperilakuannya, maka indikator tersebut dapat
diterima. Rumusan indikator keperilakuan harus dinyatakan dalam bentuk favorabel
sebagaimana perumusan dimensi-dimensi keperilakuan dan seyogyanya dalam bentuk
kalimat/kata kerja.

D. Kisi-kisi dan Blue-print


Merupakan uraian yang disajikan dalam bentuk tabel yang memuat aspek /
dimensi keperilakuan dan indikator masing-masing aspek. Aspek keperilakuan yang
diukur belum tentu memiliki signifikansi kontribusi yang sama. Satu aspek dapat lebih
berperan dan kontribusinya juga lebih menentukan dibanding aspek lainnya. Oleh
karenanya aspek yang lebih penting harus mendapat bobot yang lebih besar atau
memeroleh porsi yang lebih banyak dari keseluruhan jumlah aitem. Untuk memperjelas
perbandingan muatan diantara kesemua aspek dalam blue-print, aspek atau dimensi
keperilakuan tidak hanya disebutkan namanya dan diuaraikan indikatornya saja tetapi
juga dilengkapi dengan angka-angka yang menunjukkan bobot masing-masing. Bobot ini
dinyatakan dalam bentuk persentase atau proporsi.
Contoh fiktif blue-print yang digunakan dalam perancangan skala agresivitas.

Aspek Indikator Bobot (%)


I. Merasa dominan Tidak suka mengalah 25
Menyalahkan orang lain
II. Emosional dalam Berperilaku kasar 37,5
bertindak Suka berkelahi
III. Kurang memiliki Suka menyakiti 37,5
afeksi Cenderung membenci
Tidak merasa bersalah
Total 100 %
E. Konstrak Tunggal dan Konstrak Komposit
Atribut Psikologi yang hendak disusun skala ukurnya dipandang sebagai konstrak
tunggal yang terdiri atas beberapa aspek keprilakuan yang diturunkan dari konsep teoritik
yang mendasarinya. Jadi antara aspek keperilakuan akan ada hubungan korelasional.
Oleh karena itu, skor skala (X) biasanya merupakan jumlah total dari seluruh skor aitem
(X=∑i) tanpa memperhatikan dari aspek atau indicator keperilakuan manakah aitem itu
berasal.
Sementara itu, terdapat pula atribut psikologi yang lainnya secara konseptual
bukan konstrak tunggal tetapi merupakan komposisi dari beberapa konstrak teoritik
berbeda yang membentuk kosntrak baru. Beberapa konstrak berlaku sebagai komponen
bagi atribut yang hendak diukur, sehingga atribut tersebut dinamai atribut komposit.
Atribut yang mana hendak diukur tidak langsung dijadikan sebagai obyek
ukurnya melainkan dirancang terlebih dahulu untuk mengukur masing-masing
komponen, lalu kemudian skor dari kesemua komponen diderivasi menjadi skor atribut.
Perancangan dalam pengukuran terhadap atribut komposit, diharapkan agar interkorelasi
diantara komponen yang satu bukan yang lain karena setiap komponen memiliki fungsi
ukur yang unik dan tidak tumpang tindih.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar S, Februari 2017.Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai