DISUSUN OLEH
JAKARTA 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui definisi syok
2. Mengetahui patofisiologi syok
3. Mengetahui klasifikasi syok
4. Mengetahui tatalaksana syok
Syok adalah proses yang progresif, dimana apabila tubuh tidak mampu
mentoleransi maka dapat mengakibatkan kerusakan irreversible pada organ vital dan
dapat menyebabkan kematian. Syok memiliki pola patofisiologi, manisfestasi klinis,
dan pengobatan berbeda tergantung pada etiologinya. Hypovolemic dan septic syok
adalah syok yang paling sering dijumpai pada anak- anak, cardiogenik syok dijumpai
pada neonatus yang memiliki kelainan jantung congenital juga pasca bedah kelainan
jantung congenital syok bisa terjadi pada anak yang lebih dewasa.
Anak-anak bukan orang dewasa yang kecil. Kalimat ini harus dipahami dengan
benar ketika membicarakan distribusi total cairan tubuh dan respon kompensasi
kardiovaskular pada anak-anak selama keadaan insufisiensi sirkulasi yang progresif.
Gejala dan tanda syok yang dapat dengan mudah dilihat pada orang dewasa mungkin
tidak akan terlihat pada anak, mengakibatkan terlambatnya pengenalan dan
mengabaikan keadaan syok yang parah. Walaupun anak lebih besar persentase total
cairan tubuhnya tapi untuk melindungi mereka dari kolaps kardiovaskular,
peningkatan sisa metabolik rata-rata, peningkatan insensible water loss, dan penurunan
renal concentrating ability biasanya membuat anak lebih mudah terjadi hipoperfusi
pada organ. Gejala dan tanda awal dari berkurangnya volume dapat tidak diketahui
pada anak-anak, tapi sejalan dengan perkembangan penyakit, penemuan gejala dan
tanda menjadi dapat ditemukan sama seperti orang dewasa.
Tambahan pada CO, pengatur utama dari tekanan darah adalah SVR. Anak
memaksimalkan SVR untuk mempertahankan tekanan darah yang normal, pada
keadaan penurunan CO yang signifikan. Peningkatan SVR oleh karena vasokontriksi
perifer yang dipengaruhi system saraf simpatis dan angiotensin. Hasilnya, aliran darah
diredistributsi dari pembuluh nonessential seperti kulit, otot skelet, ginjal dan organ
splanknik ke otak, jantung, paru-paru dan kelenjar adrenal. Sesuai pengaturan dari
pembuluh darah, endogen atau eksogen melalui zat-zat vasoaktif, dapat menormalkan
tekanan darah tanpa tergantung dari CO. Karena itu, pada pasien anak, tekanan darah
merupakan indicator yang jelek dari hemostatis kardiovaskular. Evaluasi heart rate dan
perfusi end-organ, termasuk capillary refill, kualitas dari denyut perifer, kesadaran,
urine output, dan status asam-basa, lebih bernilai daripada tekanan darah dalam
menentukan status sirkulasi anak.
Pada dasarnya, syok merupakan suatu keadaan dimana tidak adekuatnya suplai
oksigen dan substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Akibat dari
kekurangan oksigan dan substrat-substrat penting, maka sel-sel ini tidak dapat
mempertahankan produksi O2 aerobik secara efisien. Pada keadaan normal,
metabolisme aerobik menghasilkan 6 molekul adenosine trifosfat (ATP) tiap 1
molekul glukosa. Pada keadaan syok, pengiriman O2 terganggu, sehingga sel hanya
dapat menghasilkan 2 molekul ATP tiap 1 molekul glukosa, sehingga terjadi
penumpukan dan produksi asam laktat. Pada akhirnya metabolisme seluler tidak lagi
bisa menghasilkan energi yang cukup bagi komponen hemostasis seluluer, sehingga
terjadi kerusakan pompa ion membran dan terjadi penumpukan natrium intraseluler,
pengeluaran kalium dan penumpukan kalsium sitosol.
Sel membengkak, membran sel rusak, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Kematian sel yang luas menyebabkan gagal multi sistem organ dan apabila ireversibel,
dapat terjadi kematian. Kerusakan metabolik ini dapat disebabkan karena defisiensi
absolut dari transpor oksigen (syok hipoksik) atau disebabkan karena defisiensi
transport substrat, biasanya glukosa (syok iskemik). Yang paling sering terjadi adalah
kombinasi dari kedua hal diatas yaitu hipoksik dan iskemik. Atas dasar hal tersebut
diatas, maka sangatlah penting untuk memberikan oksigen pada keadaan syok.
Pengiriman oksigen (Oxygen Delivery = DO2) adalah jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan tubuh permenit. DO2 tergantung pada jumlah darah yang dipompa
oleh jantung permenit (Cardiac Output = CO) dan kandungan O2 arteri (CaO2),
sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:
Keadaan syok dapat terlihat secara klinis apabila terdapat gangguan pada
CaCO2, baik karena hipoksia, yang dapat menyebabkan penurunan SaO2 maupun
karena anemia yang menyebabkan penurunan kadar Hb sehingga menurunkan
kapasitas total pengiriman O2. Cardiac output tergantung pada 2 keadaan, yaitu
jumlah darah yang dipompa tiap denyut jantung (Stroke Volume = SV) dan laju
jantung (Heart Rate = HR). Stroke volume dipengaruhi oleh volume pengisian
ventrikel akhir diastolik (ventricular preload), kontaktilitas otot jantung dan
afterload. Tiap variabel yang mempengaruhi cardiac output diatas, pada keadaan
syok, dapat mengalami gangguan atau kerusakan.
2.3 Klasifikasi syok
2.3.1 Stadium Syok
Secara klinis, syok terbagi ke dalam 3 fase, yaitu :
Syok
mengganggu ke jaringan
distribusi menurun;
cairan gangguan
keseimbangan
elektrolit
insult insipidus
Defisiensi
Adrenal
1. Sistem Kardiovaskuler
a. Gangguan sirkulasi perifer mengakibatkan pucat, ekstremitas dingin.
Kurangnya pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan
penurunan tekanan darah. Nadi cepat dan halus.
b. Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan, karena
adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume
sirkulasi darah.
c. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang paling baik.
d. CVP rendah.
2. Sistem Respirasi
Pernapasan cepat dan dangkal.
3. Sistem saraf pusat
Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah
sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak
sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa
gelisahnya pasien memang karena kesakitan.
4. Sistem Saluran Cerna
Bisa trjadi mual dan muntah.
5. Sistem Saluran kemih
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa
adalah 60 ml/jam (0,5-1 ml/kg/jam). Pada anak 1-2ml/kg/jam.
Ini adalah syok yang paling umum ditemui, terjadi karena kekurungan
volume sirkulasi yang disebabkan karena kehilangan darah dan juga cairan
tubuh. Kehilangan darah dibagi menjadi dua yaitu perdarahan yang tampak
dan tidak tampak. Perdarahan yang tampak misal perdarahan dari luka dan
hematemesis, sedangkan perdarahan yang tak tampak misal perdarahan pada
saluran cerna seperti perdarahan tukak duodenum, cedera limpa, patah tulang.
Kehilangan cairan terjadi pada luka bakar yang luas dimana terjadi kehilangan
cairan pada permukaan kulit yang hangus atau terkumpul didalam kulit yang
melepuh. Muntah hebat dan diare juga mengakibatkan kehilangan banyak
cairan intrvaskuler. Obstruksi ileus juga bisa menyebabkan banyak kehingan
cairan, juga pada sepsis berat dan peritonitis bisa menyebabkan kehingan
cairan.
1. Darah
2. Plasma
3. Cairan ekstrasel
2.3.4.4 Penyebab
1. perdarahahn
2. luka bakar
3. cedera yang luas
4. dehidrasi
5. kehilangan cairan pada muntah, diare, ileus
2.3.4.5 Patofisiologi
Gejala sama dengan syok hipovolemik, namun untuk tahap syok septik
diawali dengan:
Tanda dan gejala sama dengan shock hypovolemic tapi ditambah dengan
peningkatan JVP dan pulsus paradoksus karena tamponade jantung.
2.3.7 Syok Kardiogenik
Syok tipe ini adalah syok yang terjadi karena kagagalan efektivitas
fungsi pompa jantung. Hal ini disebabkan karena kerusakan otot jantung,
paling sering yaitu infark pada myocard. Syok kardiogenik juga bisa
disebabkan aritmia. Syok ini jarang terjadi pada anak-anak.
Tanda dan gejala syok kardiogenik sama dengan syok hipovolemik ditambah
dengan:
Neonatus 60 mmHg
1. Denyut jantung
Cardiac output dapat dipengaruhi oleh stroke volume dan
heart rate, sehingga apabila terjadi penurunan stroke volume maka
tubuh akan berusaha mempertahankan cardiac output dengan cara
meningkatkan heart rate. Namun, ada keadaan-keadaan tertentu
dimana heart rate tidak daat meningkat, yaitu pada blokade
farmakologik dan kerusakan neurologik.
2. Perfusi kulit
Kulit dapat dianggap sebagi bagian yang non vital. Pasien
yang memiliki kemampuan untuk mengkompensasi penurunan DO2
dengan menarik darah dari organ yang non vital (selain otak dan
jantung), menunjukkan tanda-tanda penurunan perfusi kulit. Hal ini
dikenali dengan adanya tanda-tanda denyut nadi distal yang
menghilang, kulit akan teraba dingin dan pengisian ulang kapiler
memanjang (>5 detik), yang pada keadaan normal biasanya dapat
terisi dalam 2-3 detik. Cara pengukuran pengisian ulang kapiler ini
yaitu dengan menekan ujung jari(kuku) hingga pucat (kurang lebih
selama 5 detik), kemudian dilepas dan dihitung waktunya pada saat
ujung jari(kuku) menjadi merah kembali. Pada pasien dengan fase
awal syok distributif (anafilaksis, sepsis) akan terjadi vasodilatasi,
sehingga kulit akan teraba hangat, denyut nadi akan teraba kuat dan
terdapat pengisian ulang kapiler yang cepat (1-2 detik). Pada keadaan
ini, perfusi kulit tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis,
sehingga harus dicari gangguan metabolik lain seperti lactoacidosis,
hal ini dapat mendukung bahwa telah terjadi gangguan DO2.
2.4.2 Monitoring
Memperbaiki kontraktilitas
miokard bila dosis ditingkatkan
1. Sebagian besar anak dengan syok tidak memerlukan transfusi darah, tetapi
kapasitas angkut oksigen diruang intravaskular harus cukup untuk
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan.
2. Transfusi darah dipertimbangkan apabila tidak ada perbaikan setelah
pemberian cairan isotonik sebanyak 60mL/kg
3. Transfusi darah harus diberikan berdasarkan penilaian klinis an tidak
berdasarkan kadar hemoglobin
4. Pada anak dengan anemia kronis (anemia defisiensi) darah harus diberikan
dengan hati-hati. Pemberian tidak boleh melebihi 5-10mL/kg dalam 4 jam
untuk mencegah gagal jantung kongestif, kecuali bila proses kehilangan
darah masih berlangsung.
Kelainan yang mendasari
1. Lean body mass (tubuh tanpa lemak), yaitu air (73%), tulang, jaringan
bukan lemak.
2. Jaringan lemak
Cairan tubuh (60%) terdiri atas:
Jumlah air dalam tubuh berkaitan erat dengan jumlah elektrolit tubuh.
konsentrasi natrium darah merupakan indikator yang baik dari jumlah cairan
dalam tubuh. Tubuh berusaha untuk mempertahankan jumlah total cairan
tubuh sehingga kadar natrium darah tetap stabil. Jika kadar natrium terlalu
tinggi, tubuh akan menahan air untuk melarutkan kelebihan natrium, sehingga
akan timbul rasa haus dan lebih sedikit mengeluarkan air kemih. Sedangkan
jika kadar natrium terlalu rendah, ginjal mengeluarkan lebih banyak air untuk
mengembalikan kadar natrium kembali ke normal.
1) Cairan Kristaloid
2) Cairan Koloid
1. Albumin
2. Dekstran
Dekstran merupakan polimer polisakarida dalam dekstrosea 5% atau NaCl
0,9% dengan berat molekul 40.000. dekstran dengan cepat di keluarkan oleh
ginjaldan dapat membentuk kompleks dengan fibrinogen sehingga
menyebabkan koagulopati. Dua bentuk dekstran : dekstran 40 dan dekstran
70. Dekstran 40 lebih sering di gunakan dan terdapat kemungkinan alergi.
3. Hemasel
Hemasel mengandung kalsium 10kali lebih banyak 6,3 mmol/l, dan kalium
5,1mmol/l. pemberian dalam jumlah banyak tidak di anjurkan karena
menyebabkan defek koagulasi dan tidak mempengaruhi fungsi ginjal.
Pemberian dalam jumlah besar dalam bentuk gelatin kompleks dapat
menyebabkan kebocoran pada kapiler dan menyebabkan edema paru.
4. HAS ( Human Albumin Solution )
HAS di bebaskan melalui ginjal melalui hidrolisis dengan amylase. HAS juga
tersimpan dalam RES.
5. komplikasi minimal
3. memerlukan volume
4 kali lebih banyak
Terapi Farmakologi
Obat-obatan inotropik dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan
memiliki berbagai macam efek pada resisten vaskular perifer. Obat-obatan
inotropik antara lain adalah vasokonstriktor (misalnya, epinefrin,
norepinefrin), vasodilator (misalnya, dobutamine, milrinon). Indikasi
penggunaan obat-obatan ini adalah apabila pasien memerlukan perbaikan
fungsi kontraksi atau pada pasien dengan syok yang tidak terkompensasi
yang tidak respon hanya dengan terapi cairan.
1. Dopamin
Dopamin sering digunakan pada pasien dengan syok septik,
baik hanya dopamin saja maupun dikombinasi dengan obat inotropik
lainnya. Dopamin berguna dalam fungsi vasodilatornya untuk perfusi
end-organ seperti pembuluh darah di ginjal maupun di intestinal
dengan dosis rendahnya (2-5 mcg/kg/min IV). Pada dosis intermediet
(5-10 mcg/kg/min IV) obat ini dapat meningkatkan kontraktilitas
miokard bersama dengan efek obat agonis-beta1. Pada dosis tinggi (10-
20 mcg/kg/min IV), obat ini dapat meningkatkan vasokonstriksi perifer
dan meningkatkan tekanan darah sentral.
2. Epinefrin
Epinefrin menstimulasi kedua reseptor alfa dan beta, sehingga
dapat meningkatkan kontraktilitas miokard dan meningkatkan
vasokonstriksi perifer. Dosis pemberian biasanya diawali dengan 0.1
mcg/kg/min IV. Pada kasus berat, pasien dapat menerima 2-3
mcg/kg/min IV atau lebih.
3. Dobutamin
Dobutamin merupakan agen inotropik murni, dengan efek
beta-1 agonis yang dapat meningkatkan kontraktilitas jantung. Obat ini
juga dapat memberikan efek beta-2 ringan, yaitu vasodilatasi perifer
yang akan mengurangi tahanan vaskuler sistemik dan afteload, juga
dapat meningkatkan perfusi jaringan. Karena itu, dobutamin
merupakan obat yang cukup baik bagi pasien dengan syok kardiogenik
dengan tujuan untuk meningkatkan kontraktilitas otot jantung.
Dobutamin jarang menyebabkan disritmia ventrikular dibandingkan
dengan epinefrin. Dosis pemberian awal adalah 5 mcg/kg/menit IV
dan dapat ditingkatkan perlahan-lahan hingga 20 mcg/kg.menit IV.
4. Norepinefrin
Norepinefrin merupakan agonis alfa yang dapat memberikan
efek vasokonstriksi perifer dan meningkatkan tahanan vaskular perifer.
Efek utamanya adalah sebagai pressor agent untuk meningkatkan
tekanan darah di sekitar muka pada keadaan syok setelah diberikan
terapi cairan.
Dopamine 2.5-20 + + +
mcg/kg/min
Norepinephrine 0.05-2 + ++ ++
mcg/kg/min
Epinephrine 0.05-2 ++ ++ +
mcg/kg/min
Phenylephrine 2-10 - ++ ++
mcg/kg/min
5. Glukosa
Bayi dan anak-anak memiliki simpanan glikogen yang terbatas yang dapat
cepat berkurang pada keadaan syok sehingga terjadi hipoglikemia. Karena
glukosa merupakan substrat yang penting, maka harus segera dilakukan
pemeriksaan kadar glukosa pada pasien syok. Apabila didapatkan kadar
gula yang rendah maka berikan dextrosa IV. Dosis pemberian dextrose
adalah 0.5-1 gr/kg IV. Dextrosa sangat baik diberikan secara IV.
6. Sodium Bikarbonat
Sodium bikarbonat dalam penatalaksanaan syok masih kontroversial.
Dalam keadaan syok, terjadi asidosis yang akan mengganggu
kontraktilitas miokardium dan fungsi optimal dari katekolamin. Namun,
pemberian bikarbonat akan memperburuk keadaan asidosis intraselular
karena sodum bikarbonat hanya mengkoreksi asidosis serum. Hal ini
disebabkan karena ion bikarbonat tidak dapat melewati membran sel
semipermiabel. Sehingga, asidosis dalam serum ditambah dengan
bikarbonat akan menyebabkan produksi karbondioksida dan air, seperti
yang terdapat pada persamaan Henderson-Hasselbach. Apabila
karbondioksida yang meningkat tidak dikeluarkan melalui ventilasi, maka
karbondioksida ini akan masuk ke dalam sel dan terjadi reaksi Henderson-
Hasselbach namun dalam arah yang sebaliknya dan meningkatkan asidosis
intraselular. Asidosis intraselular ini akan menyebabkan penurunan
kontraktilitas otot jantung (Cingolan, 1985; Pannier,1968). Selain itu,
pemberian bikarbonat akan menyebabkan hipernatremia dan
hiperosmolalitas. Oleh karena itu, asidosis yang terjadi pada keadaan syok
dapt dikoreksi dengan meningkatkan perfusi dengan pemberian cairan
tambahan dan penggunaan obat-obatan kardiotropik dibarengi dengan
ventilasi yang optimal. Pada pasien dengan syok persisten dengan
kehilangan bicarbonat yang terus menerus (misalnya pada diare),
pemberian bikarbonat secara hati-hati dapat diindikasikan.
Pemberian bikarbonat dapat dihitung sebagai berikut :
HCO3- (mEq) = Defisit basa x berat badan pasien (kg) x 0,3
Jumlah pemberian awal merupakan setengah dari hasil hitungan di atas
dan dapat diulangi sambil memantau perkembangan pasien. Atau,
bikarbonat dapat juga diberikan 0.5-1 mEq/kg/dosis IV selama 1-2 menit.
Penelitian pada pasien dengan cardiovascular arrest, gagal untuk
menunjukkan perbaikan setelah diberikan terapi bikarbonat.
7. Kalsium
Kalsium merupakan mediator coupling reaksi eksitasi-kontraksi dalam sel,
termasuk sel jantung. Syok dapat menyebabkan perubahan dalam kadar ion
kalsium serum. Pemberian produk darah (yang mengandung sitrat) dapat
mengikat kalsium bebas, sehingga dapat menyebabkan penurunan kadar
kalsium. Karena itu, pemberian kalsium berguna pada pasien syok dengan
hipkalsemia. Pemberian kalsium juga diindikasikan untuk pasien syok
yang disebabkan oleh aritmia akibat hiperkalemia, hipermagnesemia, atau
toksisitas calcium channel bloker. Kalsium dapat diberikan dalam bentuk
kalsium glukonat atau kalsium klorida. Kalsium klorida merupakan obat
terpilih pada kasus syok, karena kalsium klorida memiliki efek yang dapat
lebih meninggikan dan mempertahankan kadar kalsium dalam darah. Dosis
yang direkomendasikan adalah 10-20mg/kg (0,1- 0,2 ml/kg kalsium klorida
10%) IV, dimasukan bersama cairan ifus dengan kecepatan tetesan tidak
lebih dari 100mg/menit IV.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Frankel LR, Kache S. Shock. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HD,
Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke 18. Philadelphia:
W.B. Saunders Company; 2007. h.413-20.
2. McNutt S, Denninghoff KR, Temdrup T. Shock: rapid recognition and appropriate
ED intervention. Emerg Med Pract 2000;2:1-24.
3. McKiernan CA, Lieberman SA. Circulatory shock in children: an overview. Pediatr
Rev 2005;26:451-9.
4. Bierley J, Carcillo JA, Choong K, Cornell T, DeCaen A, Deymann A, et al. Clinical
practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal septic shock:
2007 update from the American College of Critical Care Medicine. Crit Care Med
2009;37:666-85
5. Yager P, Noviski N. Shock. Pediatr Rev 2010;31:3119
6. Arikan AA, Citak A. Pediatric shock. Signa Vitae. 2008;3:13-23
7. Pedoman Diagnosa dan Terapi Berdasarkan Gejala dan Keluhan. Prosedur Tetap
Standar Pelayanan Medis IRD RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1997.
8. Soegijanto S, et all. Demam Berdarah Dengue. Pedoman Diagnosa dan Terapi
Lab/UPF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. 1994.
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku
Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1985. p.607-21.