Anda di halaman 1dari 8

Ganja atau “Cannabis Sativa” mulai dicap barang illegal di

Indonesia sejak tahun 1960 an. Tanaman ganja dimasukkan ke


golongan Narkotika ke IV namun setelah Konvensi Tuggal 1961 pada
tahun 2020 yang diselenggarakan oleh CND atau PBB (Perserikatan
Bangsa Bangsa) ganja masuk pada golongan I. Hal itu terjadi setelah
CND mempertimbangkan karena sebanyak 27 negara dari 53 negara
setuju bahwa ganja dicabut dari golongan IV dan sisanya menolak.
Keputusan CND tersebut membuka peluang ntuk melakukan
penelitian sebagai obat di bidang kesehatan serta ilmu pengetahuan
mengenai ganja. Dengan begitu CND sangat mendukung adanya
penelitian dan riset mengenai tanaman ganja. Hukum di Indonesia
mengatur bahwa ganja termasuk ke dalam golongan I. Artinya ganja
hanya bisa digunakan sebagai zat yang memiliki manfaat d bidang
kesehatan. Zat zat yang termasuk di golongan I Narkotika dapat
menimbulkan kecanduan dan ketergantungan pada penggunanya. Zat
zat tersebut hanya bisa digunakan untuk pengembangan penelitian,
ilmu pengetahuan dan bukan untuk terapi. Golongan I juga berpotensi
tinggi untuk disalahgnakan dan tidak bisa digunakan untuk terapi. Di
Indonesia sendiri sudah ada sebanyak dua sampai 3 juta orang yang
pernah menghisap ganja. Rata rata yang menggunakan ganja ersebut
adalah anak muda atau remaja. Hukuman minimal 4 tahun di penjara
untuk pengguna ganja di Indonesia. Maka dari itu, prespektif
masyarakat mengenai ganja dianggap negatif. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya edukasi dan pengetahuan tentang tanaman ini.
Media massa juga mengambil peran terkait prespektif masyarakat.
Media hanya menampilkan sisi buruk dan dampak negatif mengenai
ganja. Namun, dibalik dogma negatif yang diberikan masyarakat
terhadap ganja, tersimpan segudang manfaat yang diberikan. Seiring
dengan perkembangan teknologi saat ini mulai bermunculan manfaat
dari beberapa kandungan ganja. Banyak pihak yang menyadari akan
manfaat ganja contohnya, gerakan sosial seperti Gerakan Lingkar
Ganja Nusantara yang berusaha untuk melegalisasi ganja untuk
keperluan medis. Beberapa daiantara mereka berusaha mengedukasi
masyarakat dan menyebarluaskan informasi yang tepat dan akurat
mengenai tanaman ganja. Seperti di Provinsi Aceh di mana ganja
ditanam dan dikembangkan untuk kebutuhan dan keperluan sehari
hari. Hal tersebut dilakukan karena penanaman tumbuhan ganja tidak
membuthkan iklim yang stabil dan tanah yang subur. Jadi, membuat
tanaman ganja di Aceh mudah didapat.
Upaya pelegalan penggunaan ganja telah lama dilakukan dan
banyak cara telah dilakukan. Akhirnya beberapa negara memberikan
ijin untuk penggunaan ganja namun dalam dosis dan kententuan
tertentu. Salah satu negara tersebut adalah Belanda, negara tersebut
telah melegalkan pemakaian dan penjualan ganja. Namun hal tersebut
dibatasi dengan dosis tertentu untuk konsumsi pribadi. Pelegalan
ganja di Negara Belanda juga memiliki minimal usia untuk
penggunanya, yaitu 18 tahun. Hal tersebut sudah dilegalkan sejak
tahun 1970 an. Dibeberapa negara maju dan negara berkembang lain
ganja juga sudah dilegalkan untuk keperluan medis maupun
dikonsumsi dengan jumlah yang sangat sedikit. Negara Tiongkok
salah satu negara yang memperbolehkan penggunaan ganja untuk
kajian kajian resmi yang membahas tentang khasiat medis maupun
bidang industri mengenai tanaman ganja. Di Indonesia sendiri ada
kasus seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) menanam ganja
dirumahnya untuk pengobatan istrinya. Sang istri mengidap
syringomyelia atau adanya kista berisi caira di dalam sumsum tulang
belakang. Fidelis memutuskan untuk menyembuhkan dan mengobati
isrinya sendiri dikarenkan tidak ada perkembangan lebih baik. Fidelis
sudah membawa istrinya tersebut ke dokter dan sudah minum
berbagai macam obat termasuk yang diresepkan dokter namun masih
tidak ada perkembangan yang signifikan. Pengobatan alternatif juga
sudah ia coba namun tetap saja tidak ada perkembangan. Lalu
akhirnya Fidelis memutuskan untuk melakukan pengobatan sendiri
menggunakan tanaman ganja. Ternyata pengobatan menggunakan
tanaman ganja yang dilakukan Fidelis berdampak cukup baik untuk
kesembuhan istrinya. Isrinya sudah mempunyai nafsu makan yang
tinggi yang membuat istrinya lebih sehat dari sebelumnya. Pola tidur
istrinya pun juga mulai teratur. Fidelis sendiri mengetahui cara
pengolahan ekstrak ganja dari buku buku yang pernah ia baca
mengenai marijuana. Namun ternyata Badan Narkotika Nasional
(BNN) menangkapnya dikarenakan menanam 39 tanaman ganja
(Cannabis Sativa). Dengan ditangkapnya Fidelis istrinya pun terlantar
dan tidak ada lagi pengobatan menggunakan ganja. Istrinya pun
meninggal dunia setelah 32 hari setelah Fidelis ditangkap oleh BNN
(Badan Narkotika Nasional). Hal tersebut menunjukkan bahwa ganja
memiliki manfaat sebagai penyembuh. Terlebih lagi dengan teknologi
pada era ini diharapkan bisa untuk membuktikan bahwa ganja
bukanlah barang haram jika digunakan untuk menyembuhkan suatu
penyakit dan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan.
Orang zaman dahulu sudah percaya bahwa ganja adalah
tanaman yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Buktinya
adalah dalam dokumen Mesir Kuno dari 1550 SM ditemukan arsip
mengenai pengobatan herbal menggunaan ganja. Tidak hanya itu,
Bangsa Sumeria juga menulis tentang manfaat tanaman ganja yang
ditulis di lempengan tanah liat pada tahun 3000 SM. Ganja sendiri
sudah dikenal sebagai obat di Cina lebih tepatnya 5000 tahun yang
lalu. Nusantara mengenal ganja setelah ada pedagang dari Gujarat
membawa ganja ke Indonesia bagian timur seperti Maluku yang pada
saat itu menjadi pusat rempah rempah dunia. Penggunaan ganja di
Indonesia sudah dilakukan ribuan tahun lalu oleh para tabib sebagai
obat herbal. Tanaman ganja yang beredar di Maluku digunakan oleh
masyarakat di bidang medis dan rekreasi (senang senang). Ganja
dignakan sebagai rekreasi dikarenakan ganja dapat membantu
penggunanya dalam mencari kreativitas dalam pekerjaannya dan
berimajinasi. Seperti contohnya Adit Indranatan yang pekerjaannya
adalah sebagai tukang sablon berkata bahwa ai mulai menkonsumsi
ganja sejak 2008. Ganja tersebut memabtunya untuk mencari
kreativias yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai tukang sablon.
Hasil karya karyanya lah yang menjadi saksi bisu selama ia
menggunakan ganja. Ia juga berkata bahwa ganja tidak mempengaruhi
kesehatannya sama sekali bahkan ia merasa lebih sehat dan lebih
energik. Dapat ditemukan juga relief gambar daun ganja pada dinding
Candi Kendalisodo yang berada di Gunung Penanggungan Mojokerto.
Sejak zaman dahulu ganja sudah dijadikan pengobatan, kepentingan
ritual, bumbu masakan, dan bahan makanan. Kitab Tajul Muluk
adalah salah satu contohnya. Kitab tersebut berisi tulisan tangan
menggunakan Huruf Arab lalu kemudian diterjemahkan ke dalam
Bahasa Melayu. Dalam kitab tersebut, ganja dijadikan sebagai obat
diabetes atau kencing manis. Cara untuk membuat obat diabetes
maupun kencing manis berdasarkan kitab tersebut adalah akar ganja
direbus zaman sekarang lalu air rebusan tersebut diminum. Namun
saat ini istilah ganja dikenal dengan pucuk daun, bunga dari batang
yang tanaman yang dipotong lalu dicacah dan dikeringkan lalu
dibentuk menjadi rokok. Tanaman ini biasanya setinggi dua meter.
Daunnya berbentuk menjari. Ganja hanya bisa tumbuh di pegunungan
tropis 1000 meter diatas permukaan tanah. Dengan perkembangan
teknologi informasi seperti saat ini, masyarakat dapat dengan mudah
memperoleh informasi tentang apa pun termasuk informasi tentang
penelitian ganja. Telah ditemukan lebih dari 100 jenis cannabinoid
yang berbeda di dalam tanaman seperti contohnya THC
(Tetrahydrocannabinol) dan CBD (Cannabidiol). CBD (Cannabidiol)
sudah ditemukan sejak tahun 1940 an. CBD adalah zat di dalam ganja
yang tidak memabukkan seperti THC. Kedua zat tersebut termasuk ke
dalam zat aktif. Zat aktif pada tanaman ganja sudah terbukti memiliki
manfaat dan khasiat pada bidang pengobatan. Zat THC
(Tetrahydrocannabinol) yang efeknya adalah membuat penggunanya
merasa “tinggi”. Namun ganja bisa menjadi obat yang tepat dan
mujarab apabila dosis dan formulanya tepat. Ada 500 zat kimia dalam
tanaman ganja. Salah satunya adalah Cannabinoid. Zat kimia tersebut
berkaitan langsung dengan reseptor pada tubuh dan juga bisa
memengaruhi sistem imun dan otak. Pada obat Marinol dan Cesamet
yang mengandung THC ini biasanya digunakan untuk mengatasi
kehilangan nafsu makan dan mual akibat dari pasien pengidan AIDS
dan kemoterapi yang memberikan efek “high”. Perasaan “high”
sendiri dikarenakan adanya kandungan hem atau Tetra Hidro Cabinol
(THC) itu sendiri. Tidak hanya merasa “high” efek lainnya adalah
perubahan kesadaran terhadap waktu, perubahan indra, gerakan tubuh
terganggu, sulit untuk memecahkan masalah dan juga memori atau
ingatan terganggu. Hal tersebut dikarenakan otak melepaskan hormon
yang bernama dopamin dan hormon tersebut bertugas untuk
melepaskan dan memunculkan persaan senang. Pemicu dari lepasnya
hormon dopamin adalah THC. Tidak hanya efek jangka pendek, ganja
juga memiliki efek jangka panjang. Salah satunya adalah ganja dapat
mempengaruhi perkembangan otak. Penurunan daya pikir, fungsi
belajar serta memori terganggu adalah efek jangka panjang
menggunakan ganja pada remaja. Efek jangka panjang lainnya yang
dapat muncul adalah gangguan pada pernapasan, salah satunya
menyebabkan kanker paru paru karea asap ganja samadengan asap
tembakau yang mengandung karsinogen, adanya masalah pada
perkembangan janin saat mengandung, paranoia, halusinasi serta
meningkatkan denyut jantung. Penggunaan ganja juga dapat
menimbulkan geala psikotik. Gejala tersebut seperti bicara melantur,
paranoid, halusinasi, sulit untuk berinteraksi dan gangguan suasana
hati. Namun, hal hal tersebut dapat terjadi apabila takaran pemakaian
atau dosis sangat berlebihan. Lalu ada obat Sativex, obat ini sedang
menjalani penelitian di Amerika Serikat. Obat ini diperuntukkan untuk
pengidap kanker payudara. Kandungan obat ini adalah bahan kimia
yang terkandung di dalam tanaman ganja dan cara penggunaannya
disemprotkan ke dalam mulut. Tidak hanya untuk kanker payudara,
ganja juga bisa mengobati epilepsi, gejala HIV atau AIDS, glaukoma,
Sindrom Iritasi Usus Besar, Sindrom Radang Usus dan susah tidur.
Namun penelitian ganja di Indonesia masih tertinggal jauh dibanding
negara maju dan berkembang lainnya. Seperti di Uruguay di sana
mereka telah melegalkan penggunaan ganja sebagai kepentingan
medis. Di Turki pun pada tahun 2016 sudah melegalkan ganj untuk
keperluan medis. Pada tahun 2020 WHO telah mengusulkan legalisasi
mengeni tanama ganja di bidang medis. Namun, pemerintah Indonesia
tetap menolak dengan tegas usulan dari WHO tersebut.
Berdasarkan fakta diatas sebenarnya ganja tidak terlalu
memiliki banyak dampak negatif. Ganja memiliki lebih banyak
dampak positif seperti sebagai penyembuh berbagai penyakit. Di
lapangan juga sudah banyak bukti nyata bahwa ganja bukanlah
tanaman yang sangat buruk. Sudah banyak pergeseran pandangan
mengenai tanaman ini. Sebaiknya perlu dilakukan kebijakan mengenai
legalitas tanaman ganja ini oleh pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai