Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Asma adalah salah satu penyakit saluran nafas kronik utama, yang mengenai 1-

18% penduduk di suluruh dunia. Asma ditandai oleh keluhan respirasi, seperti mengi,

sesak, rasa berat di dada, dan/atau batuk serta hambatan aliran udara ekspirasi yang

variabel. Variabel disini dimaksudkan bahwa semua gejala dan bukti hambatan aliran

udara ekspirasi tersebut terjadi fluktuatif dalam hal waktu dan intensitasnya. Variasi

tersebut terjadi akibat rangsangan berbagai faktor pencetus seperti aktivitas fisik, allergen,

iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus(Rai & Artana, 2016)

Pada penderita asma yang stabil dan penderita bukan asma, serta penderita asma

yang terkontrol baik akan mempunyai hasil pembacaan aliran puncak secara konsisten

lebih besar daripada 80% dari yang diperkirakan. Penderita asma yang kurang terkontrol

akan mempunyai hasil pembacaan aliran puncak ekspirasi (PEFR) yang lebih bervariasi,

tetapi aliran puncaktersebut dapat kembali ke dalam batas-batas normal dengan

pengobatan. Penderita asma berat juga akan mempunyai hasil pembacaan aliran puncak

yang bervariasi, yang tidak dapat kembali normal bahkan setelah pengobatan. Penderita

bukan asma dengan beberapa penyakit paru lainnya mungkin secara konsistem

mempunyai hasil pembacaan aliran puncak ekspirasi (PEFR) dibawah 80% atau

mengalami penurunan walaupun dengan pengobatan (Crockett, 1997)

Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang pasti, namun diperkirakan 3- 8%

angka kejadiannya terus meningkat (Wahyu, Pepin, & Hexawan, 2013). Data World

Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi total di dunia diperkirakan 1-18 %.


Data penderita asma di seluruh dunia menunjukkan 300 juta orang dan diperkirakan

meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. Angka kematian di seluruh dunia mencapai

180.000/tahun. Kurang lebih sudah ada 300 juta orang hidup dengan kelainan pernapasan

kronik ini (GINA, 2011a) (Putri, 2012).

Riset Kesehatan Dasar (RISKEDAS) di Indonesia tahun 2013 mendapatkan hasil

prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5%. Disampaikan

pula bahwa asma lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Sedangkan

berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia didapatkan bahwa

angka kematian akibat penyakit asma adalah sebanyak 63.584 orang (Depkes, 2014).

Asma adalah penyakit peradangan saluran nafas dan penyumbatan saluran nafas

yang ditandai oleh adanya gejala intermitten, termasuk mengi, rasa sesak di dada,

kesulitan bernafas (dispnea), dan batuk bersama dengan hiperresponsivitas bronkus.

(Stephen & William, 2010). Pada asma, dinding bronkus mengalami reaksi yang

berlebihan terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi spasme otot polos yang periodic

dan menimbulkan konstriksi jalan nafas berat. Hipoksia akan terjadi, bahkan aliran serta

volume udara pada saat ekspirasi akan mengalami penurunan lebih lanjut.

Gejala asma dapat menjadi lebih buruk hingga menimbulkan komplikasi yang

mengakibatkan distress pernapasan yang biasa dikenal dengan status asmatikus. Ditandai

dengan pernapasan wheezing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika

bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi),

perbesaran vena leher, hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan

kemudian berakhir dengan tachypnea. Episode perburukan yang progresif dari sesak nafas,

mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut menunjukkan

buruknya gejala serangan asma yang biasanya mendahului penurunan arus puncak
ekspirasi atau peak expiratory flow rate (PEFR)(Pribadi, 2004) .Adapun komplikasi lain

dari penyakit asma dalam jangka yang lama mampu mengakibatkan bronkitis kronik,

pnemonia, pnemuthoraks, kor pulmonal dan gagal jantung. Begitu bahayanya gejala asma

yang dapat mengantarkan penderitanya kepada kematian seketika, sehingga sangat penting

sekali penyakit ini dikontrol dan di kendalikan untuk kepentingan keselamatan jiwa

penderitanya (Sundaru, 2006).

Asma dapat diatasi dengan farmakologis dan non farmakologis. Salah satu upaya

farmakologis untuk meredakan serangan kekambuhan asma bronkial adalah terapi

nebulasi dengan bronkodilator untuk menimbulkan bronkodilatasi dengan tujuan

menurunkan sesak nafas (respiration rate) dan mempertahankan nadi oksimetri, sehingga

saturasi oksigen (SpO2) adekuat. Udara lembab yang dihirup melalui nebulizer, dapat

membantu mengeluarkan sekresi bronchus (Oman, 2002). Untuk non farmakologis dan

juga salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan pertukaran gas

adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat membantu paru mengembang

secara maksimal sehingga membantu meningkatkan pertukaran gas (Black & Hawks,

2005). Posisi yang tepat juga dapat meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan sehingga

dapat mengurangi usaha bernafas/ dispnea (Monahan & Neighbors, 2000). Kadangkala

klien asma pada kondisi dispnea diatur posisinya dalam posisi yang beragam. Umumnya

mereka akan diposisikan dalam keadaan posisi duduk menelungkup (sitting forward

leaning/ orthopneic position/ posisi condong ke depan (Ritianingsih et al., 2005).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kim, et al (2012) posisi condong ke depan

(CKD) dapat membantu meningkatkan kondisi pernafasan.Posisi condong ke depan

meningkatkan tekanan intraabdominal dan menurunkan penekanan diafragma kebagian

rongga abdomen selama inspirasi (Bhatt, et al, 2009). Posisi CKD akan meningkatkan otot

diafragma dan otot interkosta eksternal pada posisikurang lebih 45 derajat. Otot diafragma
yang berada pada posisi 45 derajat menyebabkan gaya grafitasi bumi bekerja cukup

adekuat pada otot utama inspirasi tersebut dibandingkan posisi duduk atau setengah

duduk. Gaya grafitasi bumi yang bekerja pada otot diafragma memudahkan otot tersebut

berkontraksi bergerak ke bawah memperbesar volume rongga toraks dengan menambah

panjang vertikalnya. Begitu juga dengan otot interkosta eksternal, gaya grafitasi bumi

yang bekerja pada otot tersebut mempermudah iga terangkat keluar sehingga semakin

memperbesar rongga toraks dalam dimensi anteroposterior (Khasanah & Maryoto, 2013)

Kebutuhan untuk melakukan tes dan penanganan fungsi paru yang tepat dan

akurat diperlukan untuk mengetahui penyakit paru sejak dini. (Nafisah, 2010). Dalam

rangka menilai fungsi paru, dengan menggunakan spirometer atau pengukuran Peak

Ekspiratory Flow Rate (PEFR) dikombinasikan untuk mengkonfirmasi dan mengeliminasi

penyakit pada pasien serta untuk menilai tingkat keparahan penyakit (Rasdini, 2013).Arus

Puncak Ekspirasi (PEFR) adalah kecepatan maksimum aliran udara yang terjadi saat

seseorang melakukan ekspirasi paksa secara cepat yang dimulai dari inspirasimaksimal.

PEFR merupakan salah satu parameter faal paru untuk menentukanadanya kelainan di

saluran pernapasan, jika hasil pengukuran arus puncak ekspirasi menurun berarti ada

hambatan aliran udara di saluran pernapasan hingga menyebabkan sesak

nafas(Alimmattabrina, Arkhaesi, & Anam, 2015). Eltayara, Ghezzo, dan Milic-Emili

(2001) dan Landers, McWhorter, Filibeck, dan Robinson (2006) menyatakan bahwa posisi

duduk menelungkup (posisi condong ke depan) dapat mengurangi dyspnea karena posisi

tersebut membantu peningkatan fungsi paru. Sementara Bhatt, Guleria, Luqman-Arafath,

Gupta, Mohan, Nanda, dan Stoltzfus (2007) dalam penelitiannya menyatakan setelah klien

diposisikan selama lima menit pada posisi condong ke depan ternyata berpengaruh

terhadap fungsi pernafasan (Ritianingsih et al., 2005). Sedangkan menurut Muttaqin


(2014) dan Dian (2016), menyatakan bahwa terapi nebulizer dapat meningkatkan fungsi

paru dan membersihkan jalan nafas.

Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai pengaruh pemberian terapi nebulasi dengan penambahan posisi condong ke

depan (CKD) terhadap peak expiratory flow ratepadapasien asma.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian terapi nebulasi dengan penambahan posisi condong

ke depan (CKD) terhadap peak expiratory flow rate pasien asma di RSUD dr. Soedarsono

Pasuruan?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian

terapi nebulasi dengan penambahan posisi condong ke depan (CKD) terhadap peak

expiratory flow rate pasien asma di RSUD dr. Soedarsono Pasuruan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui peak expiratory flow rate sebelum dilakukan pemberian terapi

nebulasi dengan penambahan posisi CKD

2. Mengetahuipeak expiratory flow rate sesudah dilakukan pemberian terapi

nebulasi dengan penambahan posisi CKD

3. Mengetahui peak expiratory flow rate sebelum dilakukan terapi nebulasi

tanpa penambahan posisi CKD


4. Mengetahuipeak expiratory flow rate sesudah dilakukan terapi nebulasi

tanpa penambahan posisi CKD

5. Mengidentifikasi pengaruh terapi nebulasi dengan penambahan posisi

condong ke depan (CKD) terhadap peak expiratory flow rate

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Aspek Teoritis

a. Bagi peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumber data untuk

pelaksanaan yang lebih baik di waktu yang akan datang

b. Bagi peneliti

Diharapkan memperoleh pengalaman dalam melaksanakan aplikasi riset

keperawatan khususnya tentang penelitian pengaruh pemberian terapi

nebulasi dengan penambahan posisi condong ke depan (CKD) pada

penderita asma.

1.4.2 Aspek Praktis

a. Bagi pasien

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar oleh masyarakat dan

responden dalammeningkatkan pengetahuan tentang pengaruh pemberian

terapi nebulasi dengan penambahan posisi condong ke depan (CKD) pada

penderita asma

b. Bagi instansi rumah sakit


Penelitian ini diharapkan menjadi panduan dan acuan dalam bekerja

terutama dalam melakukan terapi nebulasi dengan penambahan posisi

condong ke depan (CKD) pada penderita asma

Anda mungkin juga menyukai