Anda di halaman 1dari 10

1

PENGARUH PEMBERIAN RESPIRATORY MUSCLE TRAINING TERHADAP


PENURUNAN DYSPNEA PADA PASIEN PPOK
DI RUANG BUYA HAMKA RUMAH SAKIT
TINGKAT III Dr. REKSODIWIRYO
PADANG TAHUN 2022

Jufrika Gusni
Program Studi S1 Keperawatan STIKes Indonesia
Email: rahminafilia6@gmail.com

ABSTRAK

Jumlah penderita PPOK di seluruh dunia mengalami peningkatan dari sekitar 227 juta
kasus pada tahun 2010 menjadi 396 juta kasus pada tahun 2021 dengan prevalensi 12.2% (WHO,
2021). Prevalensi angka kejadian PPOK di Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang
Tahun 2021 yaitu sebanyak 136 orang dan bulan Januari sampai Maret 2022 sebanyak 29 orang
(Rekam Medik Rumah Sakit, 2021). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
Pengaruh Pemberian Respiratory Muscle Training terhadap Penurunan Dyspnea pada Pasien
PPOK di Ruang Buya Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022.
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian Quasi-eksperimen dengan rancangan One
Group Pretest-Posttest design, penelitian ini dilaksanakan di Ruang Buya Hamka Rumah Sakit
Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang dari bulan Maret sampai Sepember 2022. Populasi
penelitian ini adalah penderita PPOK yang mengalami dyspnea yang berjumlah 10 orang dan
semua populasi dijadikan sampel penelitian. Teknik pengambilan sampel purposive sampling.
Analisa data dengan analisa univariat menggunakan nilai mean dan standar deviasi dan bivariat
menggunakan uji statistik paired t-test dengan tingkat kepercayaan 95% α = 0,05.
Hasil penelitian didapatkan nilai rata-rata dyspnea sebelum pemberian respiratory muscle
training yaitu 27,0 dengan standar deviasi 1.41421 dan rata-rata dyspnea sesudah pemberian
respiratory muscle training yaitu 21,5 dengan standar deviasi 1.64992. Ada pengaruh pemberian
respiratory muscle training terhadap penurunan dyspnea pada pasien PPOK di Ruang Buya
Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022 dengan hasil uji statistik
p-value= 0.000.
Melalui Direktur Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang diharapkan untuk
memotivasi tenaga keperawatan di Ruang Buya Hamka dalam memberikan asuhan keperawatan
untuk mengatasi dyspnea pada pasien PPOK.

Kata Kunci : respiratory muscle training, dyspnea, PPOK


2

prevalensi terbanyak yaitu provinsi Sulawesi


PENDAHULUAN Tengah sebanyak 5,5%, NTT sebanyak 5,4%,
Penyakit paru obstruktif kronik Lampung sebanyak 1,3%. Angka-angka
(PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary tersebut menunjukkan semakin meningkatnya
Disease (COPD) merupakan penyakit respirasi kematian akibat penyakit PPOK (Riskesdas,
kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati 2018). Prevalensi PPOK di Sumatera Barat
yang ditandai dengan adanya hambatan aliran masih cukup tinggi yaitu 3,6% dari seluruh
udara yang resisten dan biasanya bersifat kejadian PPOK di Indonesia yang cukup besar
progresif serta berhubungan dengan jika dibandingkan dengan beberapa daerah
peningkatan respon inflamasi kronis saluran lainnya, seperti Jakarta, Riau, Jambi dari
napas yang disebabkan oleh gas atau partikel provinsi-provinsi besar lainnya, sedangkan
iritan tertentu (Global initiative for chronic prevalensi tertinggi terjadi di Kota Padang
Obstructive Lung Diseases, 2016). PPOK yaitu mencapai 3,7% (DinKes Kota Padang,
adalah sekelompok penyakit paru yang 2021). Prevalensi angka kejadian PPOK di
ditandai dengan peningkatan resistensi saluran Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo
napas bawah, pada saat resistensi saluran Padang Tahun 2021 yaitu sebanyak 136 orang
napas meningkat maka harus diciptakan dan bulan Januari sampai Maret 2022
gradien tekanan yang lebih besar untuk sebanyak 29 orang (Rekam Medik Rumah
mempetahankan kecepatan aliran udara yang Sakit, 2021).
normal (Sherwood, 2016). PPOK merupakan Keluhan yang sering dirasakan oleh
salah satu dari penyakit tidak menular dengan penderita PPOK dan menyebabkan penderita
tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup datang ke rumah sakit untuk mendapatkan
tinggi, baik di negara berkembang maupun pengobatan adalah sesak napas. Sesak napas
negara maju (Mutmainah, Restuasti & Munir, yang dialami oleh penderita PPOK akan
2015). memengaruhi setiap aspek kehidupan
Faktor-faktor yang berperan dalam penderita, diantarnya hubungan dengan
peningkatan penyakit PPOK yaitu genetik, keluarga, aktivitas perawatan diri sehari-hari,
merokok, polusi udara, dan asma. kebiasaan dan aktivitas sosial, oleh karenanya kualitas
merokok yang masih tinggi, pertambahan hidup PPOK akan menurun (Ritianingsih &
penduduk, meningkatnya usia rata-rata Nurhayati, 2017). Pasien PPOK akan
penduduk dan polusi udara terutama di lokasi mengalami batuk-batuk, sesak nafas secara
industri dan pertambangan. PPOK tidak bisa kronis dan menahun diakibatkan oleh
dideteksi dini dan diketahui setelah kondisi tumpukan mukus yang kental dan mengendap
pasien memburuk, hal ini disebabkan oleh menyebabkan obstruksi jalan nafas, sehingga
karena masyarakat yang kurang mengetahui asupan oksigen tidak adekuat (Kusyati, 2016).
sehingga angka kejadian menjadi lebih tinggi Dyspnea adalah keadaan yang
atau meningkat (Global initiative for chronic menggambarkan sensasi sesak napas, yang
Obstructive Lung Diseases, 2016). ditandai dengan terhambatnya aliran udara,
Jumlah penderita PPOK di seluruh atau sulit bernapas dan sesak dada yang sering
dunia mengalami peningkatan dari sekitar 227 dikaitkan dengan penyakit jantung atau
juta kasus pada tahun 2010 menjadi 396 juta pernafasan (Global initiative for chronic
kasus pada tahun 2021 dengan prevalensi Obstructive Lung Diseases, 2016). Dyspnea
12.2%, dimana prevalensi tertinggi terjadi di pada pasien PPOK sering diartikan sebagai
Amerika dan Asia Tenggara (WHO, 2021). keadaan yang tidak nyaman karena disebabkan
Hasil Riskesdas 2018 didapatkan prevalensi kesulitan bernafas, bukan hanya sensasi
PPOK di Indonesia sebanyak 4,5% dengan subjektivitas, tapi juga sebagai gejala
3

pernafasan yang serius. Persepsi dyspnea yang (Gomes-neto et al., 2016). RMT memiliki efek
berlebihan pada umumnya menyebabkan yang menguntungkan pada kondisi neurologis
pembatasan aktivitas sehari-hari, oleh karena seperti pasien paska stroke karena RMT dapat
itu pengurangan sensasi pernafasan yang tidak meningkatkan fungsi pernapasan tetapi
nyaman dapat memainkan peran penting manfaatnya belum diketahui secara pasti
dalam mencegah ketidakaktifan fisik pada (Pollock et al., 2012).
pasien PPOK (Shingai et al., 2015). Latihan respiratory muscle training
Pasien PPOK yang mengalami keluhan digunakan untuk menjaga kondisi saat dan
Dyspnea bersifat progresif, irreversible, dan setelah melakukan aktivitas baik sehari-hari
menurunkan toleransi dalam beraktivitas maupun untuk berolahraga, respiratory muscle
(Cawley et al., 2014). Melalui intervensi yang training juga digunakan sebagi peningkat
tepat, cepat dan sikap yang benar kebanyakan performa dengan cara meningkatkan kerja dari
pasien mendapatkan kembali beberapa fungsi muscle pump, meningkatkan frekwensi, durasi
yang hilang dan menikmati kehidupan yang dan intensitas kontraksi otot pernafasan
lebih bahagia dan produktif (Ealias & Babu, disamping itu juga melatih sebagian dari otot-
2016). Penanganan umum dispnea yaitu otot lain (Galvan and Cataneo, 2017).
memposisikan pasien pada posisi setengah Pemberian Respiratory muscle training
duduk atau berbaring dengan bantal yang memberikan efek peningkatan daya tahan
tinggi, diberikan oksigen sebanyak 2-4 liter kardiorespirasi, hal ini dapat dipahami karena
per menit tergantung derajat sesaknya dan jantung merupakan organ vital yang memasok
pengobatan sesuai dengan penyakit yang kebutuhan darah di seluruh tubuh.
diderita. Terapi farmakologis yang dapat Meningkatnya aktivitas fisik pada saat berlatih
dilakukan yaitu quick relief medicine, akan mengakibatkan kebutuhan darah yang
bronkodilator, long relief medicine dan kaya akan oksigen semakin besar. Kebutuhan
kortikosteroid bentuk inhalasi. Terapi non ini dipenuhi oleh jantung dengan
farmakologis yang dapat dilakukan yaitu meningkatkan aliran darah, kemampuan
olahraga teratur, menghindari alergen, terapi kontraksi otot respirasi yang lebih kuat
emosi dan fisioterapi dada. Fisioterapi membantu dalam menjaga nilai pernafasan
berperan penting dalam meningkatkan fungsi saat terjadi pembebanan lebih besar. Sehingga
yang hilang dan meningkatkan kualitas hidup kesanggupan sistem jantung, paru, dan
penderita PPOK. Salah satu cara penanganan pembuluh darah untuk berfungsi secara
dalam kasus PPOK adalah dengan optimal pada keadaan istirahat dan kerja
memberikan Respiratory Muscle Training dalam mengambil oksigen dan
(RMT). menyalurkannya ke jaringan yang aktif
Respiratory Muscle Training adalah sehingga dapat digunakan pada proses
sebuah teknik yang bertujuan untuk metabolisme tubuh (Harsono, 2018).
meningkatkan fungsi otot pernapasan melalui Sejalan dengan penelitian yang
latihan tertentu untuk meningkatkan fungsi dilakukan Ali, dkk (2021) tentang “Pengaruh
otot pernapasan dan dapat membantu Pemberian Respiratory Muscle Training
mengurangi dispnea. RMT dapat terdiri dari terhadap Penurunan Dyspnea pada Pasien
Inspiratory Muscle Training (IMT) atau PPOK” didapatkan hasil bahwa tidak ada
Ekspiratory Muscle Training (EMT) atau perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis
kombinasi keduanya (Pereira et al., 2019). alat yang digunakan antara RMT standar
RMT dapat meningkatkan kapasitas paru dengan RMT prototype dalam menurunkan
karena meningkatkan fungsi pernapasan dan dyspnea pada pasien PPOK dengan p-
dapat di toleransi pada pasien paska stroke value=0.000. Penelitian lain juga dilakukan
4

Lee et al. (2017) dengan membandingkan Penelitian ini dilakukan di Ruang Buya
intervensi Respiratory Muscle Training Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr.
dengan perangkat Standar (Smiths Medical Reksodiwiryo Padang dari bulan Maret sampai
ASD, Inc.). Hasil penelitian ini menunjukan September 2022. Intervensi dilakukan pada
bahwa penggunaan perangkat RMT dapat tanggal 11 Juli 2022 sampai dengan 20 Juli
menurunkan sensasi dyspnea yang 2022. Populasi penelitian ini adalah pasien
dibandingkan dengan sebelum pelatihan PPOK yang mengalami sesak napas di Ruang
dengan p-value=0.001. Buya Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr.
Survey awal yang dilakukan oleh Reksodiwiryo Padang tanggal 11 Juli 2022
penulis pada tanggal 28 Maret 2022 dengan sampai tanggal 20 Juli 2022 dengan populasi
mewawancarai lima penderita PPOK yang sebanyak 10 orang.
mengalami dyspnea di Ruang Buya Hamka
Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo HASIL PENELITIAN
Padang, tiga orang mengatakan napasnya 1. Analisis Situasi
sesak, sulit melakukan aktivitas, sesak Rumah Sakit Tingkat III Dr.
bertambah saat melakukan pergerakan dengan Reksodiwiryo Padang adalah sebuah rumah
pernapasan rata-rata 26x/menit. Sedangkan sakit pemerintah yang dikelola oleh TNI
dua orang lainnya mengatakan juga AD terletak pada kawasan Ganting, Kota
mengalami sesak napas namun tidak terlalu Padang, Provinsi Sumatera Barat,
sesak saat melakukan aktivitas dengan Indonesia. Rumah Sakit Tingkat III Dr.
pernapasan rata-rata 24x/menit. Setelah Reksodiwiryo Padang memiliki berbagai
penulis mewawancarai perawat di Ruang Buya jenis pelayanan seperti ruang penyakit
Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr. dalam, ruang bedah, ICU, ruang paru,
Reksodiwiryo Padang didapatkan data bahwa ruang operasi, ruang kebidanan, ruang
untuk mengurangi dyspnea pada pasien PPOK hemodialisa dan ruang anak. Rumah Sakit
biasanya yang dilakukan yaitu memberikan Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang
oksigen dengan nasalcanul sebanyak 3-5 liter terdapat sarana dan prasarana yang
per menit dan memposisikan semifowler, mendukung seperti mesjid, kantin, area
namun belum pernah dilakukan dengan parkir, taman, dan lain-lain. Rumah Sakit
pemberian terapi Respiratory Muscle Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang
Training. sebagian dikelilingi oleh asrama TNI AD
Berdasarkan latar belakang diatas dan pemukiman warga sekitar. Di Rumah
peneliti telah melakukan penelitian dengan Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Padang
judul “Pengaruh Pemberian Respiratory terdapat ruangan Buya Hamka yang
Muscle Training terhadap Penurunan Dyspnea merupakan ruangan paru. Ruangan Buya
pada Pasien PPOK di Ruang Buya Hamka Hamka dipimpinan seorang Kepala
Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Ruangan, terdapat satu orang Kepala Tim
Padang Tahun 2022”. dan anggota. Ruangan Buya Hamka
terdapat tempat tidur sebanyak 12 buah.
METODE PENELITIAN 2. Karakteristik Responden
Jenis penelitian ini adalah Quasi- Peneliti telah melakukan penelitian
eksperimen dengan rancangan One Group di Rumah Sakit Tingkat III Dr.
Pretest-Posttest design, yaitu penelitian yang Reksodiwiryo Padang untuk pengumpulan
memberikan perlakuan terhadap responden data dari bulan Maret sampai bulan
(Notoatmodjo, 2020). Agustus 2022 dan intervensi dilakukan
pada tanggal 11 Juli 2022 sampai dengan
5

20 Juli 2022, dengan responden sebanyak Rata-Rata Dyspnea Responden Sesudah


10 orang penderita PPOK yang mengalami Pemberian Respiratory Muscle Training
dyspnea, jenis kelamin laki-laki sebanyak pada Pasien PPOK di Ruang Buya Hamka
70% dan jenis kelamin perempuan Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo
sebanyak 30% dengan rentang usia 43 Padang Tahun 2022
tahun sampai 60 tahun dengan lama hari
perawatan lima sampai enam hari rawatan. Variabel Mean Std. Min Max
3. Analisa Univariat Devation
a. Rata-Rata Dyspnea Responden Post 21,5 1,64992 20 24
Sebelum Pemberian Respiratory
Muscle Training pada Pasien PPOK Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa
nilai rata-rata dyspnea responden sesudah
Rata-rata dyspnea responden pemberian respiratory muscle training yaitu
sebelum pemberian respiratory muscle 21,5 dengan standar deviasi 1,64992. Dyspnea
training pada pasien PPOK dapat dilihat dengan nilai maksimum 24 dan nilai minimum
pada table 4.1 20 pada penderita PPOK.

Tabel 4.1 4. Analisa Bivariat


Rata-Rata Dyspnea Responden Sebelum a. Rata-Rata Dyspnea Responden
Pemberian Respiratory Muscle Training Sebelum dan Sesudah Pemberian
pada Pasien PPOK di Ruang Buya Hamka Respiratory Muscle Training pada
Rumah Sakit Tingkat III Dr. Reksodiwiryo Pasien PPOK
Padang Tahun 2022
Rata-rata dyspnea responden
Variabel Mean Std. Min Max sebelum dan sesudah pemberian
Devation respiratory muscle training pada pasien
Pre 27,0 1,41421 25 30 PPOK dapat dilihat pada table 4.3

Pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa Tabel 4.3


nilai rata-rata dyspnea responden sebelum Rata-Rata Dyspnea Responden Sebelum
pemberian respiratory muscle training yaitu dan Sesudah Pemberian Respiratory Muscle
27,0 dengan standar deviasi 1,41421. Dyspnea Training pada Pasien PPOK di Ruang Buya
dengan nilai maksimum 30 dan nilai minimum Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr.
25 pada penderita PPOK. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022
Variabel N Mean SD SE P-
b. Rata-Rata Dyspnea Responden value
Sesudah Pemberian Respiratory Pre 10 27,0 1,41421 0,44721 0.000
Muscle Training pada Pasien PPOK Post 10 21,5 1,64992 0,52175

Rata-rata dyspnea responden Pada Tabel 4.3 menunjukkan adanya


sesudah pemberian respiratory muscle perbedaan antara dyspnea responden sebelum
training pada pasien PPOK dapat dilihat dan sesudah diberikan respiratory muscle
pada table 4.2 training dengan nilai rata-rata 27,0 dengan
standar deviasi 1,41421 menjadi nilai rata-rata
Tabel 4.2 21,5 dengan standar deviasi 1,64992. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p-value 0.000
6

(p<0.05) yang berarti ada pengaruh pemberian menahun diakibatkan oleh tumpukan
respiratory muscle training terhadap mukus yang kental dan mengendap
penurunan dyspnea pada pasien PPOK di menyebabkan obstruksi jalan nafas,
Ruang Buya Hamka Rumah Sakit Tingkat III sehingga asupan oksigen tidak adekuat
Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022. (Kusyati, 2016).
PPOK memiliki gejala-gejala yang
PEMBAHASAN progresif, salah satunya yang sangat
1. Dyspnea berpengaruh yang membuat pasien PPOK
Hasil penelitian menunjukkan datang berobat adalah sesak napas. Sesak
bahwa nilai rata-rata dyspnea responden napas adalah suatu gejala kompleks yang
sebelum pemberian respiratory muscle merupakan keluhan utama, dipengaruhi
training yaitu 27,0 dengan standar deviasi oleh beberapa faktor yaitu fisiologi,
1,41421. Dyspnea dengan nilai maksimum psikologi, sosial, dan juga lingkungan.
30 dan nilai minimum 25 pada penderita Sesak napas secara kualitatif berbeda pada
PPOK. Hasil penelitian ini sejalan dengan setiap individu penderita PPOK dan sangat
penelitian yang dilakukan Muhammad tergantung dari bentuk patofisiologi yang
(2018) tentang “Dyspnea pada Pasien terjadi yang tentunya bervariasi pada
PPOK” didapatkan hasil penelitian bahwa penyakit yang heterogen dan kompleks ini
lebih dari separuh (67%) pasien PPOK (Antoniu, 2018). Dispnea atau sesak nafas
mengalami dyspnea dengan frekuensi merupakan gejala utama dan dapat
pernapasan lebih dari 26 kali per menit dan melemahkan pasien penyakit paru
kurang dari separuh (33%) pasien PPOK obstruktif kronis (PPOK). Beberapa faktor
mengalami dyspnea dengan frekuensi patofisiologi yang berkontribusi dalam
pernapasan kurang dari 26 kali per menit. munculnya dypsnea termasuk peningkatan
Penelitian lain juga dilakukan Permata, dkk intrinsik beban mekanis otot-otot inspirasi,
(2017) tentang “Kejadian Dyspnea pada peningkatan pembatasan mekanik dinding
Pasien PPOK” didapatkan hasil bahwa dada, kelemahan fungsional otot inspirasi,
lebih dari separuh (56%) pasien PPOK peningkatan ventilasi, kelainan pertukaran
mengalami dyspnea dengan pernapasan gas, kompresi jalan nafas dinamis, efek
>25 kali per menit dan kurang dari separuh kardiovaskuler (Gosselink, 2018).
(44%) pasien PPOK yang mengalami Dyspnea adalah keadaan yang
dyspnea dengan pernapasan <25 kali per menggambarkan sensasi sesak napas, yang
menit. ditandai dengan terhambatnya aliran udara,
Keluhan yang sering dirasakan oleh atau sulit bernapas dan sesak dada yang
penderita PPOK dan menyebabkan sering dikaitkan dengan penyakit jantung
penderita datang ke rumah sakit untuk atau pernafasan (GOLD, 2016). Dyspnea
mendapatkan pengobatan adalah sesak pada pasien PPOK sering diartikan sebagai
napas. Sesak napas yang dialami oleh keadaan yang tidak nyaman karena
penderita PPOK akan memengaruhi setiap disebabkan kesulitan bernafas, bukan hanya
aspek kehidupan penderita, diantarnya sensasi subjektivitas, tapi juga sebagai
hubungan dengan keluarga, aktivitas gejala pernafasan yang serius. Persepsi
perawatan diri sehari-hari, dan aktivitas dyspnea yang berlebihan pada umumnya
sosial, oleh karenanya kualitas hidup PPOK menyebabkan pembatasan aktivitas sehari-
akan menurun (Ritianingsih & Nurhayati, hari, oleh karena itu pengurangan sensasi
2017). Pasien PPOK akan mengalami pernafasan yang tidak nyaman dapat
batuk-batuk, sesak nafas secara kronis dan memainkan peran penting dalam mencegah
7

ketidakaktifan fisik pada pasien PPOK 2. Pengaruh Respiratory Muscle Training


(Shingai et al., 2015). terhadap Penurunan Dyspnea pada
Pasien PPOK yang mengalami Pasien PPOK
keluhan Dyspnea bersifat progresif, Hasil penelitian menunjukkan
irreversible, dan menurunkan toleransi adanya perbedaan antara dyspnea
dalam beraktivitas (Cawley et al., 2014). responden sebelum dan sesudah diberikan
Melalui intervensi yang tepat, cepat dan respiratory muscle training dengan nilai
sikap yang benar kebanyakan pasien rata-rata 27,0 dengan standar deviasi
mendapatkan kembali beberapa fungsi yang 1,41421 menjadi nilai rata-rata 21,5 dengan
hilang dan menikmati kehidupan yang lebih standar deviasi 1,64992. Hasil uji statistik
bahagia dan produktif (Ealias & Babu, didapatkan nilai p-value 0.000 (p<0.05)
2016). Penanganan umum dispnea yaitu yang berarti ada pengaruh pemberian
memposisikan pasien pada posisi setengah respiratory muscle training terhadap
duduk atau berbaring dengan bantal yang penurunan dyspnea pada pasien PPOK di
tinggi, diberikan oksigen sebanyak 2-4 liter Ruang Buya Hamka Rumah Sakit Tingkat
per menit tergantung derajat sesaknya dan III Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022.
pengobatan sesuai dengan penyakit yang Hasil penelitian ini sejalan dengan
diderita. Terapi farmakologis yang dapat penelitian yang dilakukan Ali, dkk (2021)
dilakukan yaitu quick relief medicine, tentang “Pengaruh Pemberian Respiratory
bronkodilator, long relief medicine dan Muscle Training terhadap Penurunan
kortikosteroid bentuk inhalasi. Terapi non Dyspnea pada Pasien PPOK” didapatkan
farmakologis yang dapat dilakukan yaitu hasil bahwa tidak ada perbedaan yang
olahraga teratur, menghindari alergen, signifikan berdasarkan jenis alat yang
terapi emosi dan fisioterapi dada. digunakan antara Respiratory Muscle
Fisioterapi berperan penting dalam Training menurunkan dyspnea pada pasien
meningkatkan fungsi yang hilang dan PPOK dengan p-value=0.000. penelitian
meningkatkan kualitas hidup penderita lain juga dilakukan oleh Ibrahim, dkk
PPOK. Salah satu cara penanganan dalam (2020/0 tentang “Pengaruh Respiratory
kasus PPOK adalah dengan memberikan Muscle Training terhadap Dyspnea pada
Respiratory Muscle Training (RMT) Pasien PPOK” didapatkan bahwa terjadi
(Galvan and Cataneo, 2017). penurunan dyspnea pada pasien PPOK
Analisa peneliti yaitu peningkatan dengan p-value= 0.002.
dyspnea pada pasien POK disebabkan Pada dasarnya, kelemahan otot
karena beberapa faktor diantaranya faktor pernapasan telah terbukti berkontribusi
genetik, merokok, polusi udara, dan asma. pada sensasi dyspnea, yang diakibatkan
Setelah dilakukan penelitian pada oleh hipopnea atau gangguan pusat
responden, responden mengatakan pernapasan, dan akhirnya menyebabkan
menghabiskan satu bungkus rokok dalam penurunan toleransi olahraga dan
sehari. Hal ini menyebabkan peningkatan penurunan kualitas hidup. Prinsip
dyspnea pada pasien PPOK yang Respiratory Muscle Training yang telah
mengakibatkan pasien PPOK kesulitan didapatkan bahwa seseorang melakukan
bernafas, bukan hanya sensasi subjektivitas, Inspirasi atau Ekspirasi. Proses Inspirasi
tapi juga sebagai gejala pernafasan yang atau ekspirasi tersebut menyebabkan
serius. tekanan intra abdomen meningkat,
kemudian difragma akan bergerak ke atas
sehingga rongga thorax akan mengecil.
8

Rongga thorax yang mengecil penurunan dyspnea setelah dilakukan


menyebabkan tekanan intra alveolus pemberian terapi respiratory muscle
meningkat dan melebihi tekanan udara di training dengan rata-rata penurunan
atmosfir sehingga udara dapat mengalir sebanyak 5.5%.
keluar. Hal tersebut mengurangi sesak
napas dan meningkatkan kenyamanan KESIMPULAN
dengan mengurangi hiperventilasi (Galvan Berdasarkan hasil penelitian yang
and Cataneo, 2017). dilakukan tentang Pengaruh Pemberian
Kapasitas latihan dapat Respiratory Muscle Training terhadap
meningkatkan ventilasi seiring dengan Penurunan Dyspnea pada Pasien PPOK di
peningkatan kekuatan diafragma, yang Ruang Buya Hamka Rumah Sakit Tingkat III
pada akhirnya menurunkan sensasi dispnea Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2022, maka
dengan latihan submaksimal. Ketika pasien dapat disimpulkan sebagai berikut :
PPOK melakukan latihan ini, mereka 1. Rata-rata dyspnea pasien PPOK sebelum
merasakan udara mengisi paru-paru dengan pemberian respiratory muscle training
penuh dan menyebabkan efek relaksasi. yaitu 27,0 dengan standar deviasi 1,41421
Secara patofisiologis, latihan ini memiliki dengan nilai maksimum 30 dan nilai
dampak signifikan pada peningkatan minimum 25.
kapasitas paru-paru dan kekuatan otot 2. Rata-rata dyspnea pasien PPOK sesudah
pernapasan (Harsono, 2018). pemberian respiratory muscle training
Selain itu, latihan ini dapat yaitu 21,5 dengan standar deviasi 1,64992
meningkatkan toleransi aktivitas, hal ini dengan nilai maksimum 24 dan nilai
terjadi karena peningkatan fungsi otot minimum 20.
pernapasan melalui pernapasan perut, yang 3. Ada pengaruh pemberian respiratory
menyebabkan berkurangnya volume residu muscle training terhadap penurunan
di paru-paru, peningkatan volume kapasitas dyspnea pada pasien PPOK di Ruang Buya
vital, peningkatan volume tidal yang Hamka Rumah Sakit Tingkat III Dr.
membantu pasien untuk mencapai volume Reksodiwiryo Padang Tahun 2022 dengan
ventilasi yang cukup untuk hasil uji statistik p-value = 0.000
mempertahankan aktivitas mereka dan
meningkatkan toleransi mereka. DAFTAR PUSTAKA
Respiratory Muscle Training yang Ali, dkk. 2021. Pengaruh Pemberian
dilakukan secara rutin dapat memberikan Respiratory Muscle Training
kemandirian pasien PPOK dalam terhadap Penurunan Dyspnea pada
menangani dyspnea tanpa tergantung pada Pasien PPOK. Jurnal Kesehatan Vol
obat bronkodilator (Harsono, 2018). 1 No 3.
Analisa peneliti yaitu penurunan Antariksa B, Djajalaksana S,
dyspnea pada pasien PPOK setelah Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F,
diberikan respiratory muscle training Suradi,. Sutoyo, DK., Wiyono, WH.,
disebabkan karena udara mengisi paru-paru Rai, IBN. 2011. PPOK (Penyakit
dengan penuh dan menyebabkan efek Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis
relaksasi. Secara patofisiologis, memiliki dan Penatalaksanaan. Jakarta:
dampak signifikan pada peningkatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
kapasitas paru-paru dan kekuatan otot Antoniu. 2018. Dyspnea pada Pasien PPOK.
pernapasan. Dalam penelitian ini Jakarta: EGC
didapatkan semua respponden mengalami
9

Black. 2014. Keperawatan Medikal Bedah : Kusyati. 2016. Asuhan Keperawatan pada
Menejemen Klinis untuk Hasil yang Pasien PPOK. Jakarta: Salemba
Diharapkan. Edisi 8. Jakarta: CV Medika
Pentasada Media Edukasi Lee, Annemarie, Laura, Roger and Dina.
Cawley, D. Billing, J. Oliver, D. Kendall & 2017. Distractive Auditory Stimuli in
Pinnoock. 2014. Potential Triggers the form of Music in Individuals with
For The Holistic ssesment Of People COPD. Chest 148 (2)
With Severe Chronic Obstructive Muhammad. 2018. Dyspnea pada Pasien
Pulmonary Disease. Thesis. BMJ PPOK. Jurnal Keperawatan.
Supportive & Palliative Care 4 (2) Universitas Andalas. Vol 1 No 4
Chandrasoma. 2016. Ringkasan Patologi Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan
Anatomi. Jakarta: EGC dengan Gangguan Sistem
Dinas Kesehatan Kota Padang. 2021. Pernafasan. Jakarta : Salemba
Prevalensi Angka Kejadian PPOK. Medika
DinKes Kota Padang Muthmainnah, Restuastuti, T., & Munir, S.M.
Ealias & Babu. 2016. Effectiveneess of Pursed 2015. Gambaran Kualitas Hidup
Lip Breathing Excercise On Selected Pasien Ppok Stabil Di Poli Paru Rsud
Physiological Parameters Among Arifin Achmad Provinsi Riau Dengan
COPD Patient. International Journal Menggunakan Kuesioner SGRQ.
Of Science and Researh 5(5) JOM FK, Vol. 2, No. 2: Oktober 2015
Galvan and Cataneo. 2017. Respiratory Notoatmodjo, S. 2020. Metodologi Penelitian
Muscle Training Reduces Dynamic Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Hyperinflation Induced by Aktivities Pangastuti, HS dkk. 2019. Bahan Ajar
of Daily Living Test in Patients With Keperawatan PPOK. Jakarta: EGC
Chronic Obstructive Pulmonary Padila, P. 2012. Buku Ajar Asuhan
Disease. Journal of Rehabilitation Keperawatan Medikal Bedah.
Medicine 13(02) Yogyakarta: Nuhamedika
Global initiative for chronic Obstructive Lung Pereira, Karloh, Dos, Palu, dan Mayer. 2019.
Diseases (GOLD). 2016. Global Pursed Lips Breathing Reduces
strategy for the diagnosis, Dynamic Hyperinflation Induced by
management and prevention of Aktivities of Daily Living Test in
chronic obstructive pulmonary Patients With Chronic Obstructive
diseases. National institutes of health Pulmonary Disease. Journal of
national heart, lung and Blood Rehabilitation Medicine 47(10)
institute Permatasari, C.Y. 2016. Studi Penggunaan
Gosselink. 2018. Penatalaksanaan Dyspnea Kortikosteroid pada Pasien Penyakit
pada Pasien PPOK. Jakarta: Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Sakemba Medika Skripsi. Fakultas Keperawatan
Harsono. 2018. Respiratory Muscle Training Universitas Airlangga
pada Pasien PPOK. Jakarta: EGC Price and Wilson. 2016. Patofisiologi; Konsep
Hartono, A. 2013. Patofisiologi Aplikasi pada Klinis Proses-Proses Penyakit.
Praktik Keperawatan. Jakarta : EGC Penerbit BukuKedokteran. Jakarta:
Irwan. 2016. Asuhan Keperawatan PPOK. EGC
Jakarta: Salemba Medika Putra, PW dan Artika, IDM. 2013. Diagnosis
dan Tata Laksana Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). E-Jurnal
10

Medika Udayana. Vol 2 diakses pada


https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/
article/download/4872/3658/
Reviono, dkk. 2018. THE Dynamic Of
Tubercolosis Case Finding In The Era
Of The Public-Private Mix Strategi
For Tubercolusis Control In Central
Java, Indonesia. Global Health
Action, Vol 10 No 3
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar.
Riskesdas
Ritianingsih, N. & Nurhayati, F. 2017. Lama
Sakit Berhubungan dengan Kualitas
Hidup Pasien PPOK. Jurnal
Kesehatan Bakti Tunas Husada, Vol.
17, No. 1
Santjaka. 2011. Statistik untuk Penelitian
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika
Sherwood. 2016. Fisiologi Manusia dari Sel
ke Sistem. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah.
Jakarta: EGC
Soemantri, Imran. 2013. Asuhan Keperawatan
pada Klien dangan Gangguan Sistem
Pernafasan. Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika
Shingai, Kazuya, Kanezaki Masashi, Senju
Hideaki. 2015. Distractive Audiotory
Stimuli Alleviate the Perception of
Dyspnea Induced by Low-Intensity
Exercise in Elderly Subjects With
COPD. Respir Care 60 (5).
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. 2017. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi V. Jararta : Interna Publishing
Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif
dan Kualitatif. R & B. Bandung:
Alfabeta
WHO. 2021. Prevalensi Angka Kejadian
PPOK. WHO

Anda mungkin juga menyukai