Anda di halaman 1dari 29

KOMPETENSI KHUSUS 7&8

OLEH :

NAMA : A. HESTI WULANDASARI AMIR


NIM : 15120210172
GELOMBANG : 4 (EMPAT)

PKPA INDUSTRI
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
Tugas Khusus 7
Menjelaskan peran bahan tambahan dalam formulasi sediaan farmasi
antara lain : dapar, pengawet, antioksidan, dan / atau bahan penolong
lainnya
Menurut PDF Tablet : 133
1) Filler atau pengisi atau pengencer tablet terdiri dari kelompok zat
heterogen yang tercantum dalam Tabel 3. Karena bahan ini sering terdiri
dari sebagian besar tablet, pemilihan bahan dari kelompok ini sebagai
pembawa obat adalah kepentingan utama. Karena kombinasi juga
merupakan kemungkinan, pertimbangan harus diberikan untuk
kemungkinan campuran. Kalsium sulfat, dihidrat, juga dikenal sebagai
terra alba atau pengisi putih salju, adalah serbuk yang tidak larut, tidak
higroskopis, agak abrasif. Merupakan pengisi tablet paling murah dan
dapat digunakan untuk berbagai macam obat asam, netral, dan basa.
Pengikat yang disarankan adalah: polimer seperti PVP dan
metilselulosa, dan juga pasta pati. Kalsium fosfat, dibasic tidak larut
dalam air, sedikit larut dalam asam encer, dan nonhigroskopis, netral,
agak abrasif. putih halus bubuk. Ini menghasilkan tablet keras yang
membutuhkan disintegran yang baik dan pelumas yang efektif. Sifatnya
mirip dengan kalsium sulfat tetapi lebih mahal daripada kalsium sulfat
dan digunakan sampai batas tertentu dalam granulasi basah.
Laktosa, juga dikenal sebagai gula susu, adalah yang tertua dan secara
tradisional merupakan pengisi yang paling banyak digunakan dalam
sejarah pembuatan tablet.
2) Binder atau Pengikat
Pengikat adalah perekat yang ditambahkan ke formulasi tablet untuk
memberikan kekompakan yang diperlukan untuk ikatan bersama butiran
di bawah pemadatan untuk membentuk tablet. Jumlah yang digunakan
harus diatur dengan hati-hati, karena tablet harus tetap utuh sampai
tertelan dan kemudian harus melepaskan obatnya.
Pengikat adalah gula atau bahan polimer. Terdiri atas dua kelas: (a)
polimer alami seperti pati atau gom termasuk akasia, tragakan, dan
gelatin. dan (b) polimer sintetik seperti polivinilpirolidon, metil dan
etilselulosa dan hidroksipropilselulosa. Pengikat dari kedua jenis dapat
ditambahkan ke campuran bubuk dan campuran dibasahi dengan air,
campuran alkohol-air, atau pelarut, atau bahan pengikat dapat
dimasukkan ke dalam larutan dalam air atau pelarut dan ditambahkan ke
bubuk.
Gelatin : Jika pengikat yang lebih kuat diperlukan, larutan gelatin 2
hingga 10% dapat digunakan. Larutan gelatin harus dibuat dengan
terlebih dahulu membiarkan gelatin untuk menghidrasi dalam air dingin
selama beberapa jam atau semalam, lalu memanaskannya hingga
campuran mendidih. Larutan gelatin harus tetap panas sampai
digunakan karena akan menjadi gel pada pendinginan. Larutan gelatin
cenderung menghasilkan tablet keras yang membutuhkan bahan
penghancur aktif.
3) Lubricant (Pelincir)
Lubrikan digunakan dalam formulasi tablet untuk memudahkan
pengeluaran tablet dari cetakan, untuk mencegah menempelnya tablet
ke pukulan, dan untuk mencegah keausan berlebihan pada punch dan
die. Lubrikan berfungsi dengan menyisipkan film kekuatan geser rendah
pada antarmuka antara tablet dan dinding die dan permukaan punch.
Pelumas harus dipilih dengan cermat untuk efisiensi dan untuk sifat-sifat
formulasi tablet. Stearat logam karena sifatnya yang kasar dan tersedia
dalam jumlah dan ukuran partikel yang kecil, mungkin merupakan
pelumas yang paling efisien dan umum digunakan. Bahan ini umumnya
tidak reaktif tetapi sedikit basa (kecuali seng), dan memiliki kelemahan
memperlambat disintegrasi dan pembubaran tablet karena sifat
hidrofobiknya. Dari logam stearat, magnesium adalah yang paling
banyak digunakan. Ini juga berfungsi sebagai glidant dan antiadherent.
4) Antiadheren
Antiadherent berguna dalam formula yang memiliki kecenderungan
untuk melekat dengan mudah. Talc, magnesium stearat, dan pati jagung
memberikan tampilan permukaan punch yang luar biasa atau sifat
antiadheren. Permukaan punch yang sangat efisien namun larut dalam
air adalah DL-Ieucine. Penggunaan minyak silikon sebagai antiadherent
telah disarankan.
5) Glidant (Pelicin)
Pada umumnya bahan yang merupakan glidan yang baik adalah
lubrikan yang buruk. Glidan dapat meningkatkan aliran granulasi dari
hopper hingga akhirnya masuk ke rongga die.
6) Desintegrant (Penghancur)
Disintegran adalah istilah yang digunakan untuk berbagai bahan yang
ditambahkan ke granulasi tablet untuk tujuan menyebabkan tablet yang
terkompresi pecah (hancur) ketika ditempatkan di lingkungan berair.
Pada dasarnya fungsi utama penghancur adalah untuk menghindari
efisiensi pengikat tablet dan kekuatan fisik yang bekerja di bawah
kompresi untuk membentuk tablet. Ada dua metode yang digunakan
untuk memasukkan bahan penghancur ke dalam tablet. Metode ini
disebut penambahan eksternal dan penambahan internal. Dalam metode
penambahan internal, penghancurnya adalah dicampur dengan bubuk
lain sebelum membasahi campuran bubuk dengan larutan granulasi.
Dengan demikian, penghancur tergabung dalam granula. Ketika metode
ini digunakan, bagian dari penghancur dapat ditambahkan secara
internal dan bagian eksternal. Ini memberikan gangguan langsung pada
tablet menjadi butiran yang sebelumnya dikompresi sementara zat
penghancur di dalam butiran menghasilkan erosi lebih lanjut dari butiran
ke bubuk asli partikel. Namun demikian, metode dua langkah biasanya
menghasilkan yang lebih baik dan disintegrasi yang lebih lengkap
daripada metode biasa untuk menambahkan disintegrant ke permukaan
granulasi saja. Pati adalah penghancur tertua dan mungkin yang paling
banyak digunakan oleh industri farmasi.
7) Pewarna: Bahan pewarna dimasukkan ke dalam tablet umumnya untuk
satu atau lebih dari tiga tujuan. Pertama, warna dapat digunakan untuk
mengidentifikasi produk yang tampak serupa dalam lini produk, atau
dalam kasus di mana produk dengan penampilan serupa ada di garis
produsen yang berbeda. Ini mungkin sangat penting ketika identifikasi
produk karena masalah (karena overdosis atau keracunan dan
penyalahgunaan obat-obatan). Kedua, warna dapat membantu
meminimalkan kemungkinan campur aduk selama pembuatan. Ketiga,
dan mungkin yang paling tidak penting, adalah penambahan pewarna ke
tablet karena nilai estetika atau nilai pemasarannya

8) Flavouring and Sweetening agent


Perasa dan pemanis biasanya digunakan untuk meningkatkan rasa
kunyah tablet. Flavor dimasukkan sebagai padatan dalam bentuk butiran
semprot kering dan minyak, biasanya pada langkah lubrikasin, karena
sensitivitas bahan ini akan kelembaban dan kecenderungannya untuk
menguap ketika dipanaskan. Perasa berair (larut dalam air) tidak banyak
diterima karena stabilitas yang lebih rendah selama penyimpanan
Pemanis ditambahkan terutama ke tablet kunyah ketika biasanya
pembawa yang digunakan seperti manitol, laktosa, sukrosa, dan
dekstrosa tidak cukup menutupi rasa yang tidak enak dari bahan
tertentu.
9) Adsorbent
Adsorben seperti silikon dioksida (Syloid, Cab-O-Sil, Aerosil)
mampu menahan sejumlah besar cairan tanpa menjadi basah. Ini
memungkinkan banyak minyak, ekstrak cairan, dan lelehan eutektik
untuk dimasukkan ke dalam tablet. Mampu menahan hingga 50% dari
berat airnya, silikon dioksida sistem teradsorpsi sering muncul sebagai
bubuk yang mengalir bebas. Karakteristik adsorben ini menjelaskan
mengapa bahan-bahan ini berfungsi dengan baik dalam formulasi tablet
untuk meringankan picking, terutama dengan tablet vitamin E tingkat
tinggi. Silikon dioksida juga memperlihatkan sifat glidan dan dapat
berfungsi sebagai glidan dan adsorben dalam formula. Adsorben
potensial lainnya termasuk tanah liat seperti bentonit dan kaolin,
magnesiurn silikat, trikalsium fosfat, magnesium karbonat, dan
magnesium oksida. Biasanya cairan yang akan diadsorbsi terlebih dahulu
dicampur dengan adsorben sebelum penggabungan ke dalam formula.
Pati juga memiliki sifat adsorben.
Komposisi Injeksi
a. Zat pembawa air
Jenis-jenis zat pembawa air yang digunakan untuk sediaan injeksi yaitu
(Ansel, 2014; Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020) :
1) Water for injection adalah air yang paling sering digunakan sebagai pembawa
pada pembuatan injeksi. Air ini dimurnikan dengan cara penyulingan atau
osmosis terbalik dan memenuhi standar yang sama dengan purified water
yaitu tidak lebih dari 1 mg per 100 mL WFI dan tidak boleh mengandung zat
tambahan lain (harus bebas pirogen).
2) Sodium chloride injection adalah larutan steril dan isotonik mengandung
natrium klorida dan tidak mengandung zat antimikroba. Kandungan ion Na
dan Cl dalam injeksi kurang lebih 154 mEq per liter. Larutan ini dapat
digunakan sebagai pembawa steril dalam pembuatan larutan atau suspensi
obat untuk pemberian secara parenteral.
3) Ringer’s injection adalah larutan steril mengandung natrium klorida, kalium
klorida dan kalsium klorida dalam air untuk injeksi. Ketiga zat tersebut
kadarnya sama dengan kadar zat-zat dalam larutan fisiologis tubuh.
b. Zat pembawa lain
Bila faktor-faktor fisika dan kimia membatasi penggunaan pembawa air
secara keseluruhan maka formulator harus beralih pada pembawa bukan
air. Pembawa yang dipilih harus tidak mengiritasi, tidak toksik, tidak boleh
menimbulkan efek farmakologis serta tidak boleh mempengaruhi aktivitas
obat. Contoh : minyak-minyak lemak nabati, gliserin, polietilen glikol,
propilen glikol, alkohol, dan yang jarang digunakan adalah etil oleat,
isopropil miristat, dan dimetilasetamid (Ansel, 2014).
Batasan-batasan ditetapkan oleh USP untuk minyak lemak nabati yang
dapat digunakan dalam produk parenteral antara lain harus tetap jernih bila
didinginkan sampai 100C untuk menjamin kestabilan dan kejernihan produk
obat selama penyimpanan di lemari pendingin, minyak tidak boleh
mengandung minyak mineral atau paraffin karena zat-zat tersebut tidak
diabsorbsi pada jaringan tubuh. Bila minyak nabati digunakan dalam produk
parenteral, pada label harus tertera minyak yang digunakan. Yang paling
umum digunakan adalah minyak jagung, minyak biji kapas, minyak kacang
tanah, dan minyak wijen. Kadang-kadang digunakan minyak jarak dan
minyak zaitun (Ansel, 2014).
c. Bahan tambahan lainnya (Nema & Ludwig, 2010)
1) Senyawa Aktif Polimer dan Permukaan
 Bahan peningkat viskositas dan pensuspensi seperti karboksi metil
selulosa, natrium karboksi meti lselulosa, akasia, Povidone, gelatin
terhidrolisis, sorbitol
 Bahan pelarut, pembasah, atau pengemulsi seperti Cremophore EL,
sodium desoxycholate, Polysorbate 20 atau 80, minyak jarak PEG 40,
minyak jarak PEG 60, natrium dodesil sulfat, lesitin, atau fosfolipid
kuning telur
 Bahan pembentuk gel seperti aluminium monostearat yang
ditambahkan ke minyak tetap untuk membentuk media suspensi kental
atau seperti gel.
 Agen pengompleks seperti siklodekstrin
2) Agen pengkelat
Agen-agen ini merupakan logam berat kompleks yang
memungkinkan untuk meningkatkan kemanjuran antioksidan atau
pengawet. Seperti asam sitrat, asam tartarat, dan beberapa asam amino.
3) Antioksidan
Antioksidan digunakan untuk mencegah oksidasi zat aktif dan
eksipien dalam produk jadi dan dapat dikategorikan ke dalam tiga
kelompok :
 Antioksidan sejati: Mereka bereaksi dengan radikal bebas melalui
mekanisme pemutusan rantai misalnya, butylated hydroxytoluene.
 Agen pereduksi: Mereka memiliki potensi redoks yang lebih rendah
daripada obat dan teroksidasi secara istimewa, misalnya, asam
askorbat. Dengan demikian, mereka dapat dikonsumsi selama umur
simpan produk.
 Sinergis antioksidan: Ini meningkatkan efek antioksidan, misalnya,
EDTA.
Sulfit, bisulfit, dan metabisulfit merupakan mayoritas antioksidan
yang digunakan dalam produk parenteral meskipun beberapa laporan
ketidakcocokan dan toksisitas. Butylated hydroxy anisole, butylated
hydroxy toluene, alfa-tocopherol, dan propil galat digunakan dalam
kendaraan semi atau tidak berair karena kandungan air yang rendah
kelarutan. Asam askorbat/natrium askorbat dapat berfungsi sebagai
antioksidan, penyangga, dan agen-agen pengkelat dalam formulasi yang
sama. Beberapa asam amino seperti metionin dan sistein juga berfungsi
sebagai antioksidan yang efektif.
4) Pengawet
Benzil alkohol adalah pengawet yang paling umum digunakan
dalam formulasi sediaan parenteral. Paraben adalah pengawet paling
umum kedua. Thimerosal juga umum, terutama dalam vaksin, meskipun
beberapa individu sensitif terhadap merkuri. Klorokresol diakui sebagai
pengawet yang baik untuk parenteral, m-Kresol, Myristyl g- picolinium,
khlorida, metil paraben, propil paraben, fenol, 2-fenoksietanol, dan fenil
merkuri nitrat
5) Buffer
Buffer ditambahkan ke formulasi untuk mengatur pH untuk
mengoptimalkan kelarutan dan stabilitas. Untuk sediaan parenteral,
diinginkan untuk menargetkan pH produk ke pH fisiologis. Buffer yang
paling umum digunakan adalah fosfat, sitrat, dan asetat. Mono- dan di-
etanolamina ditambahkan untuk mengatur pH dan membentuk garam
yang sesuai. Hidrogen bromida, asam sulfat, asam benzena sulfonat,
dan asam metana sulfonat ditambahkan terhadap obat-obatan yang
merupakan garam bromida, sulfat, besylate, atau mesylate. Glucono-d-
lactone digunakan untuk mengatur pH Quinidine Glukonat. Asam amino,
histidin, arginin, aspartat, dan glisin, berfungsi sebagai buffer.
Tugas Khusus 8

Menjelaskan prinsip stabilitas sediaan farmasi, factor yang berpengaruh, serta


teknik pengujiannya.

A. Prinsip Stabilitas Sediaan Farmasi


Menurut FI VI, Hal : 2149
Apoteker sebaiknya menghindari bahan dan kondisi yang menyebabkan
terjadinya penurunan mutu fisik atau peruraian sediaan obat secara kimia.
Stabilitas dan efek klinik sediaan obat dapat dipertahankan dengan meniadakan
perubahan atau menghindari cara pembuatan yang tidak tepat. Apoteker
sebaiknya menetapkan dan mempertahankan kondisi yang dapat memastikan
kestabilan obat guna membantu mencegah kegagalan terapi dan respons yang
merugikan.
Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk bertahan
dalam batas yang ditetapkan dan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan, yaitu shelf life nya, sifat dan karakterisitiknya sama dengan yang
dimilikinya pada saat produk dibuat. Lima jenis stabilitas yang umum dikenal,
dapat dilihat pada tabel.

Kriteria untuk Tingkat Keberterimaan Stabilitas

Kondisi dipertahankan sepanjang periode


Jenis Stabilitas
penyimpanan dan penggunaan obat

Tiap zat aktif mempertahankan keutuhan kimia dan


Kimia potensi yang tertera pada etiket dalam batas yang
ditetapkan.

Mempertahankan sifat fisika awal, termasuk pemerian,


Fisika kesesuaian, keseragaman, disolusi dan
kemampuanuntuk disuspensikan.

Sterilitas atau resistensi terhadap pertumbuhan


mikroba dipertahankan sesuai dengan persyaratan
Mikrobiologi
yang dinyatakan. Zat antimikroba yang ada
mempertahankan efektivitas dalam batas yang
ditetapkan.

Terapi Efek terapi tidak berubah.

Toksikologi Tidak terjadi peningkatan toksisitas yang bermakna.

Menurut Kemenkes, 2018, Hal : 48


Perlu dipertimbangkan interaksi yang mungkin terjadi antara zat aktif dan
eksipien yang merupakan calon untuk dimasukan pada formulasi yang diinginkan
stabilitas solid berkaitan dengan stabilitas fisik dan kimia. Umumnya bahan solid
farmasetik terdegradasi sebagai akibat solvolisis, oksidasi, fotolisis, dan pirolisis.
Sifat fisik zat aktif seperti kelarutan, pKa, titik cair, bentuk kristal, dan kandungan
keseimbangan lembap juga memengaruhi stabilitasnya. Faktor paling umum
yang menyebabkan reaksi dalam keadaan solid adalah panas, cahaya, oksigen,
dan kelembapan. Reaksi dalam keadaan solid umumnya lambat dan biasanya
menggunakan kondisi perlakuan tekanan dalam menginvestigasi stabilitas.
B. Faktor Yang Mempengaruhi
Menurut FI VI, Hal : 2149
Tiap bahan di dalam suatu bentuk sediaan, baik yang berkhasiat terapi
aktif atau inaktif dapat mem- pengaruhi stabilitas. Faktor lingkungan utama yang
dapat menurunkan stabilitas seperti paparan terhadap suhu yang merugikan,
cahaya, oksigen, karbon dioksida dan kelembaban. Demikian juga factor utama
bentuk sediaan yang mempengaruhi stabilitas obat seperti ukuran partikel
(terutama dalam emulsi dan suspensi), pH, komposisi sistem pelarut (misalnya
persentase air dan kepolaran), kesesuaian antara anion dan kation, kekuatan
ion larutan, wadah utama, adanya bahan tambahan kimiaspesifik, ikatan
molekular, difusi obat dan adanya bahan pengisi. Dalam sediaan obat, reaksi-
reaksi berikut biasanya menyebabkan berkurangnya kandungan zat aktif dan
perubahan ini biasanya tidak tampak secara visual.
1. Hidrolisis
Ester dan ß-laktam adalah ikatan kimia yang dapat terhidrolisis dengan
adanya air. Sebagai contoh, ester asetil dalam aspirin terhidrolisis menjadi
asam asetat dan asam salisilat pada kondisi lembab, tetapi pada kondisi
lingkungan kering hidrolisis ini dapat diabaikan. Kecepatan hidrolisis aspirin
meningkat dengan meningkatnya tekanan uap air di lingkungan.
Ikatan amida juga terhidrolisis, walaupun pada umumnya lebih lambat
dibanding ester. Sebagai contoh, prokain (suatu ester) akan terhidrolisis jika
disterilkan dalam autoklaf, tetapi prokainamida tidak. Ikatan amida atau
peptida dalam berbagai senyawa peptida dan protein bervariasi dalam
kelabilan untuk terhidrolisis.
Ikatan laktam dan azometin (atau imin) dalam benzodiazepin juga labil
terhadap hidrolisis. Pemicu atau katalis proses hidrolisis yang utama adalah
pH dan zat kimia tertentu (misalnya dekstrosa dan tembaga pada hidrolisis
ampisilin).
2. Epimerisasi
Golongan tetrasiklin paling mudah mengalami epimerisasi. Reaksi ini
terjadi dengan cepat jika obat terlarut diberi suasana pH lebih dari 3 dan
menghasilkan penyusunan ulang sterik pada golongan dimetilamino.
Epitetrasiklin adalah epimer tetrasiklin, hanya sedikit atau tidak mempunyai
aktivitas antibakteri.
3. Dekarboksilasi
Beberapa asam karboksilat yang larut seperti asam p-aminosalisilat,
kehilangan karbondioksida dari gugus karboksilnya jika dipanaskan. Reaksi
ini mengurangi kekuatannsi farmakologi.
Dekarboksilasi ß -keto dapat terjadi pada beberapa antibiotik padat
yang mempunyai gugus karbonil pada ß-karbon dari asam karboksilat atau
anion karboksilat. Dekarboksilasi semacam ini terjadi pada antibiotik :
natrium karbenisilin, asam bebas karbenisilin, natrium tikarsilin dan
asambebas tikarsilin.
4. Dehidrasi
Dehidrasi tetrasiklin yang dikatalisasi dengan asam membentuk
epianhidrotetrasiklin, suatu produk yang kekurangan aktivitas antibakteri dan
menyebabkan toksisitas.
5. Oksidasi
Struktur molekul yang mudah teroksidasi adalah yang mempunyai
gugus hidroksil yang terikat langsung pada cincin aromatik (contohnya
turunan fenol seperti katekolamin dan morfin), diena terkonyugasi (seperti
vitamin A dan asam lemak bebas tak jenuh), cincin aromatik heterosiklik,
turunan nitroso dan nitrit, serta aldehid (contohnya perasa). Hasil oksidasi
biasanya kekurangan aktivitas terapi. Contoh identifikasi terjadinya oksidasi
secara visual adalah perubahan warna epinefrin dari tidak berwarna menjadi
kekuningan yang mungkin tidak terlihat pada beberapa pengenceran atau
dengan beberapa mata.
Oksidasi dikatalisasi dengan nilai pH yang lebih tinggi dari nilai pH
optimum, ion logam berat polivalen (contohnya besi dan tembaga) dan
paparan terhadap oksigen dan cahaya UV. Dua terakhir penyebab oksidasi
membenarkan penggunaan zat kimia antioksidan, gas nitrogen yang dialirkan
pada saat pengisian ampul dan vial, atau wadah /pengemas yang tidak
tembus cahaya dan gelas bening coklat atau wadah plastik.
6. Dekomposisi fotokimia
Paparan cahaya UV dapat menyebabkan oksidasi (foto-oksidasi) dan
fotolisis pada ikatan kovalen. Nifedipin, nitroprussida, riboflavin dan fenotiazin
sangat labil terhadap fotooksidasi. Pada senyawa yang rentan, energy
fotokimia menghasilkan radikal bebas antara yang dapat mengekalkan reaksi
berantai.
7. Kekuatan ion
Efek konsentrasi total dari elektrolit terlarut terhadap kecepatan reaksi
hidrolisis berasal dari pengaruh kekuatan ion pada daya tarik antar ion. Pada
umumnya kecepatan hidrolisis yang konstan merupakan perbandingan
kekuatan ion dengan ion yang berlawanan muatan (contohnya, kation obat
dan anion pengisi) dan secara langsung sebanding dengan kekuatan ion.
Reaksi yang menghasilkan ion yang bermuatan berlawanan dengan obat
aslinya karena peningkatan kekuatan ion, dapat meningkatkan kecepatan
hidrolisis. Kekuatan ion garam organic yang tinggi dapat juga mengurangi
kelarutan beberapa obat lainnya.
8. Efek pH
Degradasi banyak obat dalam larutan meningkat atau menurun secara
eksponensial ketika pH menurun atau meningkat melampaui rentang nilai pH
spesifik. Tingkat pH yang tidak tepat dengan terkena kenaikan suhu
merupakan faktor yang banyak menyebabkan obat kehilangan efek klinik
yang bermakna, disebabkan oleh reaksi hidrolisis dan oksidasi. Sebagai
contoh, larutan atau suspensi obat, mungkin stabil selama beberapa hari,
minggu, bahkan tahun dalam bentuk formulasi aslinya, tetapi jika dicampur
dengan cairan lain yang mengubah pH, akan terdegradasi dalam beberapa
menit atau hari. Dengan perubahan pH walaupun hanya 1 unit (misalnya dari
4 menjadi 3 atau dari 8 menjadi 9) dapat menurunkan stabilitas obat dengan
faktor 10 atau lebih.
Suatu sistem dapar pH, biasanya asam atau basa lemah dan
garamnya, merupakan bahan pengisi yang biasa digunakan dalam sediaan
cairan untuk mempertahankan pH pada suatu rentang yang akan
meminimalkan kecepatan degradasi obat. pH larutan obat dapat juga diatur
atau didapar untuk mencapai kelarutan obat. Sebagai contoh, pH yang
berkaitan dengan pKa akan mengontrol fraksi terionisasi yang biasanya lebih
larut dan jenis non ionik yang kurang larut dari suatu senyawa organik yang
bersifat elektrolit lemah.
Pengaruh pH pada stabilitas fisik sistem dua fase, terutama emulsi,
juga penting. Sebagai contoh, emulsi lemak intravena yang stabil dengan
adanya pH asam.
9. Kompatibilitas (ketercampuran) antar ion (Ion N+ -Ion N- )
Kompatibilitas atau kelarutan ion-ion berlawanan muatan terutama
tergantung pada jumlah muatan per ion dan ukuran molekul ion. Pada
umumnya ion polivalen yang berlawanan muatan akan menjadi lebih tidak
tercampur. Jadi suatu ketidaktercampuran lebih mudah terjadi pada
penambahan ion yang banyak dengan muatan yang berlawanan dengan
obat.
10. Kestabilan keadaan padat
Reaksi-reaksi relative lambat pada keadaan padat. Jadi, stabilitas obat
pada keadaan padat jarang diperhatikan pada pembuatan obat. Kecepatan
degradasi zat padat kering biasanya ditunjukkan dengan kurva kinetik ordo 1
atau kurva sigmoid. Oleh karena itu, obat-obat padat dengan suhu lebur lebih
rendah sebaiknya tidak dikombinasi dengan senyawa kimia lain yang dapat
membentuk campuran eutektik.
Pada keadaan lembab, dekomposisi obat padat dapat mengubah
kinetik kimia orde 0 karena kecepatan dikontrol oleh fraksi obat yang relatif
kecil yang ada dalam suatu larutan jenuh, berada pada permukaan produk
ruahan obat padat (biasanya tidak kelihatan).
11. Suhu
Pada umumnya kecepatan reaksi kimia akan meningkat secara
eksponensial pada setiap kenaikan suhu 10º. Hubungan ini dapat diamati
pada hampir semua reaksi hidrolisis obat dan beberapa reaksi oksidasi obat.
Faktor aktual dari peningkatan kecepatan tergantung pada energi aktivasi dari
reaksi tertentu. Energi aktivasi adalah suatu fungsi dari ikatan reaktif spesifik
dan formulasi obat (misalnya pelarut, pH, bahan tambahan). Sebagai contoh,
obat dapat terhidrolisis jika mengalami peningkatan suhu 20º, seperti dari
dingin menjadi suhu ruang yang terkontrol (Lihat Persyaratan dan Ketentuan
Umum). Shelf life obat pada suhu ruang terkontrol menurun ¼ sampai 1/25
dari shelf lifenya pada keadaan suhu lemari pendingin.
Apoteker harus waspada bahwa suhu dingin yang tidak tepat dapat
menimbulkan kerusakan. Sebagai contoh, lemari pendingin dapat
menyebabkan viskositas yang ekstrim pada beberapa obat cair dan
menyebabkan supersaturasi pada yang lain. Pembekuan dapat memecah
atau menyebabkan peningkatan ukuran tetesan suatu emulsi; juga dapat
mendenaturasi protein; dan dalam kasus yang jarang terjadi dapat
menyebabkan terbentuknya keadaan polimorfis yang kurang larut pada
beberapa obat.
C. Teknik Pengujian (Uji Stabilitas)
Menurut Kemenkes, 2018, Hal : 48 – 49
1. Studi stabilitas pada suhu yang ditingkatkan
Menggunakan peningkatan suhu yang paling umum sekitar 30º, 40º,
50º, dan 60º C. Sampel yang disimpan pada suhu tertinggi harus diperiksa
perubahan fisik dan kimianya pada jarak waktu yang sering dan setiap
perubahan fisik dan kimianya pada jarak waktu yang sering dan setiap
perubahan dibandingkan terhadap suatu sampel kendali yang sesuai
(biasanya sampel yang disimpan pada suhu 5º C atau -2º C), harus dicatat.
Bukti yang nyata harus diperoleh dengan memantau sampel yang
disimpanpada suhu yang lebih rendah untuk waktu yang lebih lama. Data
yang diperoleh dapat digunakan untuk menetapkan untuk kecepatan
degradasi pada suhu yang lebih rendah.
2. Stabilitas fotolitik
Banyak zat aktif menjadi pudar atau gelap pada jajanan terhadap
cahaya. Menjadi pudar atau gelap pada pajanan terhadap cahaya. Hal
tersebut mengakibatkan masalah estetik yang dapat dikendalikan dengan
menggunakan wadah kaca coklat atau wadah buram dengan menambahkan
suatu zat pewarna dalam sediaan untuk menutupi perubahan warna.
Pewarna yang digunakan untuk tujuan ini harus cukup fotostabil. Selama
periode ini, sampel harus sering diperiksa terhadap perubahan penampilan
dan dalam perubahan/kehilangan kimiawi dan harus dibandingkan terhadap
sampel yang disimpan di bawah kondisi yang sama, tetapi terlindung dari
cahaya.
3. Stabilitas dalam oksidasi
Sensitivitas tiap zat aktif terhadap oksigen atmosfer harus dievaluasi,
jika perlu sediaan jadi dikemas di bawah kondisi atmosfer inert dan
mengandung suatu antioksidan. Sensitivitas zat aktif terhadap oksidasi dapat
dipastikan dengan menginvestigasi kestabilannya dalam suatu atmosfer
dengan tekanan oksigen yang tinggi.
Menurut CPOB 2018, Hal : 368
Studi stabilitas hendaklah dilakukan pada minimum tiga bets pilot atau
bets produksi. Bila hasil yang diperoleh dari ketiga bets berbeda secara
signifikan, hendaklah dilakukan pengujian pada bets berikutnya.
Karena beberapa produk menunjukkan ketidakstabilan secara tiba-tiba
pada mulanya, maka data hendaklah diambil pada pengujian antar waktu (waktu
awal dan waktu akhir) sampai pada dan melewati masa edar produk yang
direncanakan.
Dalam program pengujian, produk hendaklah diuji terhadap seluruh
spesifikasi pada saat preparasi. Pada pengujian antar waktu, parameter yang
mungkin berubah hendaklah diukur. Jenis parameter meliputi:
a) kestabilan fisis, misal ukuran partikel;
b) kestabilan kimiawi, misal pH, kandungan benzyl alcohol;
c) konsentrasi radioaktif;
d) kemurnian radiokimiawi;
e) biodistribusi; dan
f) kandungan Stano (Sn2+) (misal untuk kit 99mTc)
Bila produk akan disimpan dalam lemari pendingin tanpa peringatan
“Jangan dibekukan”, maka kestabilan, terutama kestabilan fisis (missal tidak
terbentuk endapan, tidak terjadi denaturasi protein) pada suhu sekitar -5˚C
hendaklah dibuktikan.
Untuk kit radiofarmaka, pengaruh umur produk terhadap kestabilan produk
setelah rekonstitusi hendaklah dibuktikan.
Rekonstitusi hendaklah dilakukan pada kondisi rekonstitusi ekstrim dan
pengukuran hendaklah dilakukan pada waktu rekonstitusi dan pada atau setelah
produk yang direkonstitusi tersebut kedaluwarsa.
Data stabilitas tambahan hendaklah tersedia, yang mencakup masa
simpan yang dinyatakan dari produk nonaktif ketika direkonstitusi dengan
99m
aktivitas Tc tertinggi dan terendah untuk digunakan pada preparasi
99m
radiofarmaka bertanda Tc menggunakan volume rekonstitusi maksimum dan
minimum.
Data hendaklah tersedia untuk konsentrasi radioaktif tertinggi yang akan
digunakan untuk rekonstitusi. Bila bentuk akhir bungkusan diubah, maka data
stabilitas hendaklah diperbaharui.
Menurut ICH
Indonesia termasuk kedalam Zona IV (benua Asia), dimana secara umum:
- Uji jangka panjang  30°C ± 2°C/ 65% r.h. ± 55 r.h. selama 12 bulan
- Uji dipercepat  40°C ± 2°C/ 75% r.h. ± 55 r.h. selama 6 bulan
Kondisi Penyimpanan BAF dan Sediaan Obat Secara Umum (a)
Refrigerator (b) Freezer (c) Dibawah -20°C (d).
a.

b.

c.

d.

Rancangan uji stabilitas Stabilitas Produk Jadi (Finished Pharmaceutical


Product) adalah sebagai berikut (ICH, 2005 hal. 6-12):
1) Seleksi Batch. Secara umum, desain uji stabilitas produk jadi didasarkan dari
sifat yang dimiliki oleh zat aktif dari produk. Uji stabilitas produk dilakukan
menggunakan paling sedikit 3 batch. Produk pada batch harus dengan
formulasi dan kemasan yang sama yang telah ditujukan untuk pemasaran.
Batch yang dipilih adalah batch yang dapat mewakili keseluruhan batch, baik
dari kualitas maupun spesifikasi produk 2 dari 3 batch utama yang digunakan
harus telah dalam bentuk formulasi skala pilot.
2) Sistem Pengemasan. Pengujian stabilitas harus dilakukan pada bentuk
sediaan yang dikemas dalam sistem penutupan kontainer yang akan diusulkan
untuk pemasaran. Studi pada kemasan ini, akan menjadi data pendukung
untuk degradasi sediaan dalam kemasan.
3) Spesifikasi Uji stabilitas yang dilakukan mencakup pengujian pada sifat-sifat
produk jadi yang rentan terhadap perubahan selama penyimpanan dan yang
akan mempengaruhi kualitas, keamanan, dan efikasi dari produk. Uji meliputi
uji fisik, kimia, biologi, dan mikrobiologi, dan konten pengawet.
4) Frekuensi Pengujian
a. Untuk uji long-term (jangka panjang), frekuensi pengujian harus mampu
menentukan profil stabilitas
b. Untuk uji periode re-test yang diusulkan minimal 12 bulan, frekuensi
pengujian pada kondisi penyimpanan jangka panjang biasanya harus
setiap tiga bulan selama tahun pertama, setiap enam bulan selama
tahun kedua, dan setiap tahun selama periode retest yang diusulkan
c. Pada uji accelerated (dipercepat), minimal tiga titik waktu, termasuk titik
waktu awal dan akhir (misalnya 0, 3 dan 6 bulan), yang paling dianjurkan
adalah pada tiap 6 bulan. Dimana diharapkan (berdasarkan pengalaman
pengembangan) bahwa hasil dari studi dipercepat cenderung mendekati
kriteria perubahan yang signifikan
d. Pengujian intermediet minimal empat titik waktu, termasuk titik waktu
awal dan akhir (misalnya 0, 6, 9 dan 12 bulan), dan yang paling
direkomendasikan adalah tiap 12 bulan
5) Kondisi Penyimpanan. Evaluasi dilakukan di bawah kondisi penyimpanan
(dengan toleransi yang tepat) yang menguji stabilitas termal dan kepekaan
terhadap kelembaban.

6) Stabilitas komitmen Ketika uji stabilitas jangka panjang pada 3 batch utama
tidak dapat memenuhi kriteria stabilitas yang baik, maka harus ada komitmen
untuk melanjutkan uji stabilitas.
7) Evaluasi Evaluasi yang dilakukan adalah evaluasi dari hasil uji secara fisika,
kimia, biologi dan mikrobiologi pada produk jadi. Tujuan dari adanya uji
stabilitas adalah untuk melihat dari minimum batch mengenai apakah
penggunaan obat dan informasi penyimpanan pada pelabelan dapat
diaplikasikan pada keseluruhan batch yang diproduksi dibawah kondisi yang
sama. Produk dapat dipasarkan ketika telah melewati uji stabilitas setelah 24
bulan dengan ketentuan :
a. Zat aktif pada produk diketahui stabil
b. Pada stabilitas studi yang dilakukan, tidak ditemukan terjadinya perubahan
yang signifikan
c. Data-data yang pendukung mengindikasikan bahwa formulasi yang sama
memenuhi kriteria stabilitas produk yang telah dilakukan selama 24 bulan
atau lebih.
d. Produsen akan melanjutkan uji stabilitas studi jangka waktu lama (long-
term studies) hingga produk jadi siap dipasarkan dan hasil produk dapat
memenuhi persyaratan pada regulasi obat nasional.
Analisis data dilakukan pada tahap evaluasi. Jika antar batch produk
memperlihatkan hasil variabilitas kecil, maka data dapat dikombinasi dengan
mengestimasi hasil dari keseluruhan produk. Pada uji statistik, produk akan
otomatis di tolak jika hasil p values lebih dari 0,25.
8) Pelabelan Informasi penyimpanan pada label dibuat berdasarkan evaluasi
stabilitas dari produk jadi, serta pada label harus tercantum tangal kadaluarsa
produk. Pada prinsipnya produk jadi harus dikemas dalam wadah atau
kemasan yang dapat menjamin stabilitas dan melindungi produk dari
kerusakan.
9) In-use stability Tujuan dari adanya uji in-use stability adalah untuk
menyediakan informasi menngenai pelabelan, kondisi penyimpanan dan
periode pemanfaatan produk setelah pembukaan dengan mempertimbangkan
volume pengisian wadah. Tes didesain untuk menstimulasikan penggunaan
produk jadi.
Evaluasi Injeksi
1) Penetapan pH
Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik (pH
meter) yang sesuai, yang telah dibakukan sebagaimana mestinya, yang
mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH menggunakan elektrode
indikator yang peka, elektroda kaca, dan elektrode pembanding yang
sesuai (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
2) Penetapan volume injeksi dalam wadah
Pilih salah satu atau lebih wadah, bila volume 10 mL atau lebih, 3 wadah
atau lebih bila volume lebih dari 3 mL dan kurang dari 10 mL, atau 5
wadah atau lebih bila volume 3 mL atau kurang. Ambil isi tiap wadah
dengan alat suntik hipodermik kering berukuran tidak lebih dari 3 kali
volume yang akan diukur dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21,
panjang tidak kurang dari 2,5 cm. Keluarkan gelembung udara dari dalam
jarum dan alat suntik dan pindahkan isi dalam alat suntik, tanpa
mengosongkan bagian jarum, ke dalam gelas ukur kering volume tertentu
yang telah dibakukan sehingga volume yang diukur memenuhi sekurang-
kurangnya 40% volume dari kapasitas tertera (garis-garis penunjuk
volume gelas ukur menunjuk volume yang ditampung, bukan yang
dituang). Cara lain, isi alat suntik dapat dipindahkan ke dalam gelas piala
kering yang telah ditara, volume dalam mL diperoleh dari hasil perhitungan
berat dalam g dibagi bobot jenis cairan. Untuk sediaan dengan volume 2
mL atau kurang, dapat digabungkan untuk pengukuran dengan
menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah.
Isi dari wadah 10 mL atau lebih dapat ditentukan dengan membuka
wadah, memindahkan isi secara langsung ke dalam gelas ukur atau gelas
piala yang telah ditara (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Volume tidak kurang dari volume yang tertera pada wadah bila diuji satu
per satu, atau bila wadah volume 1 mL dan 2 mL, tidak kurang dari jumlah
volume wadah yang tertera pada etiket bila isi digabung. Untuk injeksi
mengandung minyak, bila perlu hangatkan wadah dan segera kocok baik-
baik sebelum memisahkan isi. Dinginkan hingga suhu 25° sebelum
pengukuran volume (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
3) Bahan partikulat dalam injeksi
Bahan partikulat berupa zat asing yang bergerak dan asalnya tidak
tentu, kecuali gelembung gas, yang tidak dapat dikuantitasi dengan
analisis kimia karena jumlah materinya yang kecil dan komposisi yang
heterogen. Pengujian yang disebutkan di sini adalah uji fisika yang
bertujuan menghitung partikel asing subvisibel dalam rentang ukuran
tertentu (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020)

Larutan injeksi mula-mula diuji dengan prosedur pengaburan cahaya


(tahap 1). Jika tidak memenuhi batas yang ditetapkan, larutan uji harus
memenuhi prosedur mikroskopik (tahap 2) dengan batas-batas tersendiri.
Jika larutan uji, karena alasan teknis, tidak dapat diuji secara pengaburan
cahaya, dapat digunakan pengujian mikroskopik saja. Dalam tiap kasus
diperlukan dokumentasi yang menunjukkan bahwa prosedur pengaburan
cahaya tidak mampu menguji larutan injeksi, atau memberikan hasil yang
tidak absah. Diharapkan bahwa sebagian besar sediaan akan memenuhi
persyaratan atas dasar uji pengaburan cahaya saja, tetapi mungkin juga
sediaan tertentu memerlukan pengujian dengan uji pengaburan cahaya
yang diikuti dengan uji mikroskopik, untuk memastikan kesesuaian
terhadap persyaratan (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
4) Uji Kebocoran
Pilih 12 wadah, catat tanggal dan waktu. Timbang masing-masing
wadah dengan satuan mg dan catat bobot dalam mg dari masing-masing
wadah sebagai W1. Biarkan wadah dalam posisi tegak lurus pada suhu
kamar selama tidak kurang dari 3 hari, dan timbang kembali masing-
masing wadah, catat bobot dalam mg dari masing-masing wadah sebagai
W2, catat tanggal dan waktu. Tentukan waktu, T, dalam jam, yaitu jangka
waktu pengujian. Hitung laju kebocoran dalam mg per tahun, dari masing-
masing wadah dengan rumus (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020) :

Persyaratan dipenuhi jika laju kebocoran rata-rata per tahun untuk ke


12 wadah tidak lebih dari 3,5% dari bobot isi bersih, dan tidak satupun
wadah menunjukkan kebocoran lebih dari 5,0% dari bobot isi bersih per
tahun. Jika 1 wadah menunjukkan kebocoran lebih dari 5,0% per tahun dan
tidak satupun wadah menunjukkan kebocoran lebih dari 7,0% per tahun,
tentukan laju kebocoran dari 24 wadah yang lain (Farmakope Indonesia
Ed. VI, 2020).
5) Uji Kerjernihan dan warna
Periksa secara visual injeksi (Larutan uji), dalam tabung kaca jernih
yang sesuai dengan latar belakang putih: tidak ada warna merah muda
dan tidak ada endapan (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
6) Uji keseragaman sediaan
Untuk menjamin konsistensi satuan sediaan, masing-masing satuan
dalam bets harus mempunyai kandungan zat aktif dalam rentang sempit
yang mendekati kadar yang tertera pada etiket. Satuan sediaan
didefinisikan sebagai bentuk sediaan yang mengandung dosis tunggal
atau bagian dari suatu dosis zat aktif pada masing-masing
satuan.Persyaratan keseragaman sediaan tidak berlaku untuk suspensi,
emulsi, atau gel dalam wadah satuan dosis yang ditujukan untuk
penggunaan secara eksternal pada kulit (Farmakope Indonesia Ed. VI,
2020).
Keseragaman sediaan didefinisikan sebagai derajat keseragaman
jumlah zat aktif dalam satuan sediaan. Persyaratan yang ditetapkan
berlaku untuk masing-masing zat aktif yang terkandung dalam satuan
sediaan yang mengandung satu atau lebih zat aktif (Farmakope Indonesia
Ed. VI, 2020).
Keseragaman sediaan ditetapkan dengan salah satu dari dua metode,
yaitu Keragaman bobot dan Keseragaman kandungan. Uji Keseragaman
kandungan berdasarkan pada penetapan kadar masing-masing
kandungan zat aktif dalam satuan sediaan untuk menentukan apakah
kandungan masing-masing terletak dalam batasan yang ditentukan.
Metode keseragaman kandungan dapat digunakan untuk semua kasus.
Persyaratan keseragaman sediaan yaitu simpangan baku relatif (SBR)
kadar dari zat aktif pada sediaan akhir tidak lebih dari 2% (Farmakope
Indonesia Ed. VI, 2020).
7) Uji efektifitas antimikroba
Pengujian dapat dilakukan dalam tiap lima wadah asli bila volume
sediaan tiap wadahnya mencukupi dan wadah sediaan dapat ditusuk
secara aseptik (dengan jarum dan alat suntik melalui tutup karet
elastomerik), atau dalam lima wadah bakteriologi bertutup steril, berukuran
mencukupi untuk volume sediaan yang dipindahkan. Inokulasi tiap wadah
dengan satu inokula baku yang telah disiapkan dan diaduk. Volume
suspensi inokula yang digunakan antara 0,5% dan 1,0% dari volume
sediaan untuk meminimalkan efek potensial pada sediaan. Kadar mikroba
uji yang ditambahkan pada sediaan seperti halnya kadar akhir sediaan uji
setelah diinokulasi antara 1 x 105 dan 1 x 106 koloni per mL sediaan
(Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Kadar awal mikroba viabel dalam setiap sediaan uji diperkirakan
berdasarkan kadar mikroba dalam inokula baku yang ditetapkan dengan
metode ALT. Inkubasi wadah yang sudah diinokulasi pada suhu 22,5º ±
2,5º. Ambil sampel dari setiap wadah pada interval yang telah ditentukan.
Amati dan catat setiap perubahan yang terjadi pada interval tersebut.
Tetapkan dengan prosedur ALT jumlah koloni yang ada dari setiap
sediaan uji untuk interval yang digunakan. Angka Lempeng Total
menggunakan replika lempeng minimal, dengan menghitung rata-rata
jumlah koloni sebelum penetapan kesimpulan koloni per mL. Jika
digunakan penyaring membran, lakukan duplikasi membran penyaring
untuk setiap perkiraan (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).

Dengan menggunakan penghitungan kadar koloni per mL pada


pengujian awal, hitung perubahan nilai kadar koloni per mL dalam log 10
untuk tiap mikroba pada interval pengujian dan nyatakan perubahan kadar
sebagai log reduksi. Log reduksi adalah perbedaan antara nilai log10 koloni
per mL kadar awal dalam suspensi dan log10 koloni per mL yang bertahan
hidup pada saat itu. Persyaratan untuk efektivitas antimikroba dipenuhi jika
tidak terjadi peningkatan lebih tinggi dari 0,5 log10 unit terhadap nilai log
mikroba awal (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
8) Uji Sterilitas
Pengujian dapat dilakukan menggunakan teknik Penyaringan Membran
atau Inokulasi Langsung ke dalam Media Uji. Gunakan juga kontrol negatif
yang sesuai. Teknik Penyaringan Membran digunakan apabila sifat contoh
sesuai, yaitu untuk sediaan yang mengandung air dan dapat disaring,
sediaan yang mengandung alkohol atau minyak, dan sediaan yang dapat
dicampur dengan atau yang larut dalam pelarut air atau minyak, dengan
ketentuan bahwa pelarut tidak mempunyai efek antimikroba pada kondisi
pengujian (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Gunakan penyaring membran dengan porositas tidak lebih dari 0,45 μm
yang telah terbukti efektif menahan mikroba. Sebagai contoh, penyaring
selulosa nitrat digunakan untuk larutan yang mengandung air, minyak dan
larutan mengandung alkohol berkadar rendah; dan penyaring selulosa
asetat digunakan untuk larutan mengandung alkohol berkadar tinggi.
Penyaring khusus yang sesuai mungkin diperlukan untuk sediaan tertentu
(misal: untuk antibiotik). Peralatan penyaring dan membran disterilisasi
dengan cara yang sesuai. Peralatan dirancang hingga larutan uji dapat
dimasukkan dan disaring pada kondisi aseptik, membran dapat
dipindahkan secara aseptik ke dalam media, atau dapat dilakukan
inkubasi setelah media dimasukkan ke dalam alat penyaring itu sendiri
(Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Pindahkan isi wadah atau beberapa wadah yang akan diuji ke dalam
satu membran atau beberapa membran, Saring segera. Jika sediaan
mempunyai daya antimikroba, cuci membran tidak kurang dari tiga kali.
Setiap pencucian tidak lebih dari 5 kali 100 mL per membran, meskipun
jika selama uji kesesuaian metode ditemukan pencucian tersebut tidak
dapat menghilangkan daya antimikroba secara sempurna. Pindahkan
seluruh membran utuh ke dalam media atau potong menjadi dua bagian
yang sama secara aseptik dan pindahkan masing-masing bagian ke dalam
dua media yang sesuai. Gunakan volume yang sama pada tiap media.
Sebagai pilihan lain, pindahkan media ke dalam membran pada alat
penyaring. Inkubasi media selama tidak kurang dari 14 hari (Farmakope
Indonesia Ed. VI, 2020).
9) Uji pirogen
Uji pirogen dimaksudkan untuk membatasi risiko reaksi demam pada
tingkat yang dapat diterima oleh pasien pada pemberian sediaan injeksi.
Pengujian meliputi pengukuran kenaikan suhu kelinci setelah penyuntikan
sediaan uji secara intravena dan ditujukan untuk sediaan yang dapat
ditoleransi oleh kelinci percobaan pada dosis tidak lebih dari 10 mL per kg
yang disuntikkan secara intravena dalam periode tidak lebih dari 10 menit
(Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Alat suntik, jarum dan alat gelas dibebaskan dari pirogen dengan
pemanasan pada 250° selama tidak kurang dari 30 menit atau dengan
metode lain yang sesuai. Perlakukan semua pengencer dan larutan untuk
mencuci dan membilas peralatan atau alat suntik parenteral sedemikian
rupa yang dapat menjamin alat tersebut steril dan bebas pirogen. Lakukan
uji pirogen pada pengencer dan larutan untuk pencuci atau pembilas alat
secara berkala. Bila digunakan Injeksi Natrium Klorida sebagai pengencer,
gunakan larutan yang mengandung natrium klorida 0,9% (Farmakope
Indonesia Ed. VI, 2020).
Gunakan alat pendeteksi suhu yang teliti seperti termometer klinik atau
alat termistor atau alat sejenis yang telah dikalibrasi untuk menjamin
ketelitian ± 0,1° dan telah diuji untuk penetapan bahwa pembacaan
maksimum dapat dicapai kurang dari 5 menit. Masukkan alat pendeteksi
suhu ke dalam rektum kelinci uji dengan kedalaman tidak kurang dari 7,5
cm dan setelah periode waktu tidak kurang dari yang ditetapkan
sebelumnya, catat suhu tubuh kelinci (Farmakope Indonesia Ed. VI,
2020).
Gunakan kelinci dewasa yang sehat. Tempatkan kelinci satu ekor dalam
satu kandang dalam ruangan dengan suhu yang seragam antara 20-23°
dan bebas dari gangguan yang menimbulkan kegelisahan. Perbedaan
suhu tidak lebih dari ±3° dari suhu yang ditetapkan. Kelinci yang belum
pernah digunakan untuk uji pirogen, adaptasikan kelinci tidak lebih dari
tujuh hari dengan uji pendahuluan yang meliputi semua tahap yang tertera
pada Prosedur, kecuali penyuntikan. Kelinci tidak boleh digunakan untuk
uji pirogen lebih dari sekali dalam waktu 48 jam, atau sebelum 2 minggu
untuk uji pirogen yang menunjukkan kenaikan suhu 0,6° atau lebih, atau
telah digunakan untuk uji sediaan yang dinyatakan pirogenik (Farmakope
Indonesia Ed. VI, 2020).
Lakukan uji dalam ruang terpisah yang dirancang untuk pengujian
pirogen dan pada kondisi lingkungan yang sama dengan ruang
pemeliharaan hewan dan bebas dari gangguan yang menimbulkan
kegelisahan. Kelinci tidak diberi makan selama pengujian.
Boleh diberi minum setiap saat, tetapi terbatas. Jika termistor pengukur
suhu rektum digunakan untuk pengujian, kelinci diletakkan dalam
penyekap yang dapat menahan kelinci dengan leher yang longgar
sehingga dapat duduk dengan bebas. Tetapkan suhu kontrol dari tiap
kelinci tidak lebih dari 30 menit sebelum penyuntikan larutan uji. Suhu
tersebut digunakan sebagai awal untuk penetapan setiap kenaikan suhu
yang dihasilkan dari penyuntikan larutan uji. Dalam setiap kelompok
kelinci uji, gunakan kelinci yang mempunyai perbedaan suhu kontrol
antara satu dengan lainnya tidak lebih dari 1°, dan suhu kontrol setiap
kelinci tidak boleh lebih dari 39,8°. Kecuali dinyatakan lain pada masing-
masing monografi, suntikkan 10 mL larutan uji per kg berat badan
kedalam vena telinga setiap tiga kelinci, lakukan penyuntikan dalam waktu
10 menit. Larutan uji berupa sediaan yang perlu dikonstitusi sesuai etiket,
atau bahan uji yang diperlakukan dan disuntikkan sesuai dosis tersebut.
Untuk uji pirogen dari alat atau perangkat injeksi, gunakan cucian atau
bilasan permukaan yang kontak dengan bahan yang diberikan secara
parenteral, tempat penyuntikan atau jaringan tubuh pasien. Semua larutan
uji harus terjamin bebas kontaminasi. Lakukan penyuntikan setelah
larutan uji dihangatkan pada suhu 37 ± 2°. Rekam suhu berturut-turut
antara jam ke-1 dan ke-3 setelah penyuntikan dengan selang waktu 30
menit (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Setiap penurunan suhu dianggap nol. Sediaan memenuhi syarat
apabila tidak ada satupun kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5°
atau lebih. Bila ada kelinci yang menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau
lebih, lanjutkan uji menggunakan lima ekor kelinci lain. Sediaan memenuhi
syarat bebas pirogen bila tidak lebih dari 3 dari 8 ekor masing- masing
menunjukkan kenaikan suhu 0,5° atau lebih dan jumlah kenaikan suhu
maksimum 8 kelinci tidak melebihi 3,3° (Farmakope Indonesia Ed. VI,
2020).
10) Uji endotoksin
Uji endotoksin bakteri adalah uji untuk mendeteksi atau mengkuantitasi
endotoksin bakteri yang mungkin terdapat dalam sampel yang diuji.
Pengujian dilakukan menggunakan Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang
diperoleh dari ekstrak air amebosit dalam kepiting ladam kuda (Limulus
polyphemus atau Tachypleus tridentatus) dan dibuat khusus sebagai
pereaksi LAL. Terdapat dua tipe teknik uji, teknik pembentukan jendal gel
dan teknik fotometrik. Teknik fotometrik mencakup metode turbidimetri,
yang didasarkan pada pembentukan kekeruhan setelah penguraian
substrat endogen, dan metode kromogenik yang didasarkan pada
pembentukan warna setelah terjadi penguraian kompleks kromogen-
peptida sintetik. Lakukan salah satu dari teknik tersebut. Jika terjadi
keraguan, maka keputusan akhir didasarkan pada hasil Teknik
Pembentukan Jendal Gel (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Cara jendel gel dilakukan dengan menghitung jumlah endotoksin bakteri
dalam larutan sampel dengan cara titrasi hingga titik akhir. Siapkan larutan
A (larutan sampel dari sediaan uji yang bebas endotoksin), Larutan B
(larutan sampel dari uji faktor pengganggu), Larutan C (larutan pereaksi
dari kontrol kepekaan pereaksi LAL sesuai etiket, dan Larutan D (Kontrol
negatif air pereaksi LAL). Campur pereaksi LAL dengan larutan baku dari
masing-masing konsentrasi dalam tabung uji dengan volume yang sama
(0,1 mL). Jika digunakan vial atau ampul uji tunggal berisi pereaksi LAL
kering beku, tambahkan larutan langsung ke dalam vial atau ampul.
Inkubasi campuran reaksi dalam waktu yang tetap sesuai dengan petunjuk
produsen pereaksi LAL (biasanya 37 0 ± 10, selama 60 ± 2 menit), hindari
getaran. Untuk menguji integritas gel, ambil setiap tabung langsung dari
inkubator dan balikkan 1800 secara perlahan-lahan. Jika telah terbentuk gel
yang kuat, yang tetap di tempatnya walaupun telah dibalik, catat sebagai
hasil positif. Jika gel tidak terbentuk atau gel yang terbentuk jatuh ketika
dibalik, maka hasil dinyatakan negatif. Uji dinyatakan absah, jika larutan
baku konsentrasi terendah memberikan hasil negatif pada semua replikasi
uji (Farmakope Indonesia Ed. VI, 2020).
Metode turbidimetri mengukur peningkatan kekeruhan. Berdasarkan
prinsip pengujian yang digunakan, teknik ini diklasifikasikan menjadi
turbidimetri titik akhir dan turbidimetri kinetik. Cara turbidimetri titik akhir
didasarkan pada hubungan kuantitatif antara kadar endotoksin dan
kekeruhan (serapan atau transmisi) dari campuran reaksi pada akhir masa
inkubasi. Cara turbidimetri kinetik dapat dilakukan dengan dua cara:
mengukur waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai serapan yang
telah ditetapkan atau kecepatan pembentukan kekeruhan. Metode
kromogenik mengukur kromofor yang dilepaskan dari peptida kromogenik
yang sesuai, yang dihasilkan dari reaksi antara endotoksin dengan
pereaksi LAL. Berdasarkan prinsip pengujian yang digunakan, teknik ini
diklasifikasikan sebagai teknik kromogenik titik akhir atau kromogenik
kinetik. Cara kromogenik titik akhir didasarkan pada hubungan kuantitatif
antara kadar endotoksin dan pelepasan kromofor pada akhir masa
inkubasi. Cara kromogenik kinetik dapat dilakukan dengan mengukur
waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai serapan yang telah
ditentukan atau kecepatan pembentukan warna (Farmakope Indonesia
Ed. VI, 2020).

Anda mungkin juga menyukai