Anda di halaman 1dari 4

Menurut Siagian (1998) birokrasi merupakan bagian dan organisasi

besar dan digunakan untuk menunjuk pada keseluruhan aparat

pemerintah yang terdapat dalam suatu negara. Sedangkan Max Weber

(dalam Parenti 1988) garis besar karakteristik birokrasi adalah 1)

mobilisasi yang sitematik dari energi manusia dan sumber daya material

untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan atau rencana-rencana yang

secara eksplisit telah didefinisikan, 2) pemanfaatan tenaga karier yang

terlatih yang menduduki jabatan-jabatan bukan atas dasar keturunan dan

yang terbatas yurisdiksinya telah ditetapkan secara spesifik, dan 3)

spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggung jawab

kepada suatu otoritas atau konstituensi.

Lebih lanjut Weber (Albrow, 1996) mengemukakan ciri-ciri ideal

birokrasi sebagai berikut :

a. Para anggota secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-

tugas impersonal jabatan mereka,

b. Ada hirarki jabatan yang jelas,

c. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas,

d. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak,

e. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya

didasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian,


f. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada juga hak-hak pensiun, gaji

berjenjang dalam keadaan-keadaan tertentu ia juga dapat

diberhentikan,

g. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja

pokoknya,

h. Terdapat suatu struktur carier, dan promosi dimungkinkan

berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut

pertimbangan keunggulan (superior).

I. Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun

dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut,

j. ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.

Kristiadi (1996) membagi pelaksanaan birokrasi di Indonesia ke dalam tiga

dimensi yaitu : 1) pejabat-pejabat pemerintah yang berkecimpung dalam

berbagai sektor pemerintah dan pembangunan, 2) sebagai manusia pelaku

penyelenggaraan pemerintah, dan 3) sebagai organisasi yang disebut

instansi pemerintah tingkat pusat yang meliputi departemen dan lembaga

pemerintah non departemen, kantor-kantor menteri negara, kesekretariatan

lembaga tinggi/tertinggi negara.

Osborne dan Gaebler (1996) menambahkan bahwa perilaku dan

bentuk birokrasi pemerintah yang diinginkan masyarakatnya adalah

inovatif, fleksibel dan responsive.


Organisasi birokrasi perlu dilakukan perombakan dan

pengembangan untuk menghadapi dan mengantisipasi hal-hal tersebut.

Osborne dan Gaebler (1996) pada hakekatnya mengemukakan upaya

untuk reorintasi dan refungsionalisasi birikrasi pemerintah dengan asumsi:

a) pemerintah masih diperlukan untuk menjawab pelbagai

kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks;

b) dibutuhkan pemerintah yang bersih dan efektif,

c) yang menjadi masalah bukan orang yang bekerja dalam

pemerintahan tetapi sistem tempat mereka bekerja,

d) dibutuhkan penataan pemerintahan, dan

e) upaya peningkatan keadilan.

Frank Goodnow (dalam Achmad Batinggi, 1999) bahwa ada 2

(dua) fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lainnya,

yaitu fungsi pokok politik dan administrasi. Fungsi pokok politik berarti

pemerintah membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara

fungsi administrasi berarti pemerintah sebagai pelaksana kebijakan-

kebijakan tersebut.

Dalam melaksanakan kedua fungsinya Riyadi (2005) menyatakan,

birokrasi pemerintah harus bersikap netral baik dari sisi politik, yaitu

bukan merupakan kekuatan politik dan juga dari sisi administratif, karena

apabila birokrasi menjadi kekuatan politik maka akan menjadi tidak netral

yaitu memihak kepada kekuatan/aliran politik tertentu. Demikian pula


dalam menjalanakan fungsi administratifnya, birokrasi harus tetap netral

tanpa memihak satu kelompok pun, karena birokrasi pemerintah haus

tetap berada dalam koridornya yaitu memberikan pelayanan bagi seluruh

warga negaranya. Dengan kata lain, birokrasi pemerintah merupakan

penyedia pelayanan publik, seperti yang dikemukakan Tjokroaminoto

(2001) bahwa idealnya birokrasi pemerintah itu berfungsi sebagai "agent

of mediating" antara pemerintah dan rakyat yaitu sebagai pelayanan

publik yang memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya, karena

dalam konteks pelayanan publik, birokrasi pemerintah merupakan garis

terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan publik.

J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt (2003) memperkenalkan

paradigma pelayanan publik yang dikenal dengan “new public service”

yang menyatakan bahwa administrasi publik harus

(1) melayani warga masyarakat bukan pelanggan;

(2) mengutamakan kepentingan publik;

(3) lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan;

(4) berfikir strategis dan bertindak demokratis;

(5) menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang

mudah;

(6) melayani daripada mengendalikan;

(7) menghargai orang, bukannya produktivitas semata.

Anda mungkin juga menyukai