Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

ANEMIA APLASTIK DAN ANEMIA DEFESIENSI BESI


Mata Kuliah : Keperawatan Dewasa Sistem Kardio, Respiratori, dan Hematologi
Dosen Pengampu : Desi Natalia, T.I., S. Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Chaterina Zeofany Rappay (01.2.21.00743)
Cut Nasya Obillia Putri P (01.2.21.00744)
Imanuel Dwi Agung W (01.2.21.00755)
Lisa Raykawati (01.2.21.00757 )
Teresa Yasmin Kalia (01.2.21.00764)
Vanesa Febriana Putri (01.2.21.00766)
Toli Wanena (01.2.21.00773)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN RUMAH SAKIT BAPTIS
KEDIRI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat meyelesaikan makalah ini dengan judul
“Anemia Aplastik Dan Anemia Defesiensi Besi” dengan baik. Makalah ini
disusun sebagai salah satu bentuk tugas dari mata kuliah Keperawatan Dewasa
Sistem Kardio, Respiratori, dan Hematologi

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada

1. Ibu Desi Natalia, T.I., S. Kep., Ns., M.Kep selaku dosen dari mata
kuliah Keperawatan Dewasa Sistem Kardio, Respiratori, dan
Hematologi
2. Beberapa pihak yang telah mendukung keberlangsungan
pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan makalah ini masih jauh


dari kesempurnaan. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang penyusun miliki. Oleh karena itu penulis berharap dari
pembaca, adanya kritik dan saran yang sekira dapat membangun dari berbagai
pihak demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini. Semoga tersusunnya
makalah ini dapat berguna sebagaimana mestinya

Kediri, 09 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan jumlah sel
darah merah yang mengakibatkan penurunan jumlah hemoglobin dan
hematokrit di bawah 12 g/dL. Asupan protein dalam tubuh sangat membantu
penyerapan zat besi, maka dari itu protein bekerja sama dengan rantai protein
mengangkut elektron yang berperan dalam metabolisme energi. Selain itu
vitamin C dalam tubuh harus tercukupi karena vitamin C merupakan reduktor,
maka di dalam usus zat besi (Fe) akan dipertahankan tetap dalam bentuk ferro
sehingga lebih mudah diserap. Selain itu vitamin C membantu transfer zat besi
dari darah ke hati serta mengaktifkan enzim-enzim yang mengandung zat besi.
(Brunner & Suddarth, 2000:22)
Anemia aplastik disebabkan oleh penurunan pada prekusor sel-sel
sumsum tulang dan penggatian sumsum dengan lemak. Anemia aplastik sering
terjadi pada usia 15 & 25 tahun dan ada puncak kedua yang lebih kecil pada
kasus anemia aplastik setelah umur 60 tahun. Dimana usia rerata dalam
penelitian antara lain 38,0 kurang lebih 15,6 tahun pada pasien dewasa dengan
anemia aplastik. Sebagian besar penyebab kasus dari anemia aplastik ini
bersifat idiopatik dan dari beberapa kasus yang ada penyakit anemia aplastik
bisa berhubungan dengam infeksi, obat-obatan, racun, radiasi, kehamilan
(Wong, 2012).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer dan hasil laboratorium yang menunjukan cadangan besi
kosong. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas
untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan yang diakibatkan perdarahan. Besi merupakan bagian dari molekul
Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan
berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin
merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar
hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang
sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah gangguan kegagalan susmsum tulang yang
menyebabkan penipisan semua unsur sumsum .produksi sel-sel darah
menurun atau terhenti .terjadi pansitopenia dan hiposelularitas sumsum (Betz
& Swoden, 2002). Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan
berkurangnya sel darah dalam darah tepi, sebagai akibat terhentinya
pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. anemia adalah
berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 1 mm3 darah
atau berkurangnya volume sel yang didapatkan (packed red cells volume)
dalam 100 ml darah. Hal ini terjadi bila terdapat gangguan terhadap
keseimbangan antara pembentukan darah pada masa embrio setelah beberapa
minggu dari pada masa anak atau dewasa(Ngastiyah, 2012). Anemia aplastik
disebabkan oleh rusaknya sumsum tulang. Gangguan berupa berkurangnya
sel darah dalam darah tepi sebagai akibat terhentinya pembentukan sel
hemopoetik dalam sumsum tulang. Istilah anemia mendeskripsikan keadaan
penurunan jumlah sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin dibawah nilai
normal. Sebagai akibat dari penurunan ini, kemampuan darah untuk
membawa oksigen menjadi berkurang sehingga ketersediaan oksigen untuk
jaringan mengalami penurunan. Anemia merupakan kelainan patologik yang
paling sering dijumpai pada masa bayi dan kanak-kanak (Wong, 2009).

2.1.1 Patofisiologi

Adanya suatu anemia mencerminkan adanya suatu kegagalan sumsum


atau kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan
sumsum (misalnya berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat
kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau penyebab lain yang
belum diketahui. Sel darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau
hemolisis (destruksi). Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam
sel fagositik atau dalam sistem retikuloendotelial, terutama dalam hati dan
limpa. Hasil dari proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran darah.
Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan
dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar
diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera). Apabila sel darah merah
mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan hemplitik) maka
hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila

3
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein
pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin
akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalamurin (hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh
penghancuran sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak
mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan dasar : 1) hitung retikulosit
dalam sirkulasi darah; 2) derajat proliferasi sel darah merah muda dalam
sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi;
dan ada tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia (Betz dan Swoden,
2002).

2.1.2 Pathway

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari anemia aplastik antara lain :

1. Faktor konginetal : sindrom fanconi yang biasanya disertai


kelainan bawaan lain seperti mikrosefali,trabismus,anomali jari,
kelainan ginjal dan sebagainya. Faktor di dapat :
a. Bahan kimia : benzen,insektisida, senyawa As Au Pb

4
b. Obat : kloramfenikol, mesantoin (antikonvulsam),
piribenzamine (antihistamin), santonin kalomel, obat
sitostatika (myleran, methotrexate, TEM , vincristine,
rubidomycine, dan sebagainya.
c. Radiasi: sinar rontgen, radioaktif.
d. Faktor individu : alergi terhadap obat,bahan kimia dan
sebagainya.
e. Infeksi, keganasan, gangguan endokrin dan
sebagainya,idiopatik sering ditemukan.

Berbagai bahan yang kadang juga menyebabkan aplasia atau


hipoplasia meliputi berbagai antimikrobial, antikejang, obat antitiroid, obat
hipoglikemik oral, antihistamin, analgetik, seratif, phenothiazine, insektisida,
dan logam berat. Yang tersering adalah antimikrobila, cloramfenikol,
rampesinikol, dan arseniorganik, anti kejang, mephenitoin, (mesantion) dan
trimedhadiaone (tridione), obat analgetik antiinflamasi, dan senyawa emas
(Bruner & Suddart, 2001)

2.1.4 Manisfestasi Klinis

Pada aplastik terdapat pasitopenia sehingga keluhan dan gejala yang


timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hypoplasia eritropoietik akan
menimbulkan anemia dimana timbul gejala – gejala anemia antara lain lemah,
dispnoe d’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain – lain.
Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga
mangakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat local sehingga
mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat local maupun bersifat
sistemik. Trombositopenia tentu dapatbmengakibatkan perdarahan di kulit,
selaput lender atau perdarahan diborgan – organ lain.

Manifestasi klinis pada klien anemia aplastik menurut (Rukman Kiswari,


2014) dapat berupa :

1. Sindrom anemia
a. Sistem kardiovaskuler : rasa lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak
napas intolransi terhadap aktivitas fisik, angina pectoris hingga
gejala payah jantung.
b. Susunan saraf : sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata
berkunang – kunang terutama pada waktu perubahan posisi dari

5
posisis jongkok ke posisi berdiri, iritabel, lesu dan perasaan dingin
pada ekstremitas.
c. Sistem percernaan : anoreksia, mual dan muntah, flaturensi, perut
kembung, enek di ulu hati, diare atau konstipasi.
d. Sistem urogenital : gangguan haid dan libido menurun.
e. Epitel dan kulit : kelihatan pucat, kulit tidak elastis atau kurang
cerah, rambut tipis dan kekuning-kuningan.
2. Gejala perdarahan : ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan
subkonjungtiva, perdarahan gusi, hematemesis/melena atau
menorrhagia pada wanita. Perdarahan organ dalam lebih jarang
dijumpai, namun jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
3. Tanda – tanda infeksi: ulserasi mulut atau tenggorokan, selulitis leher,
febris, sepsis atau syok septik.

2.1.5 Komplikasi

Menurut Betz dan Swoden (2002), komplikasi penyakit Anemia


Aplastik sebagai berikut :

1. Sepsis
2. Sensifiitas terhadap antigen donor yang bereaksi silang
menyebabkan perdarahan yang tidak terkendali.
3. Graff versus host disease(timbul setelah pencangkokan sumsum
tulang)
4. Kegagalan cangkok sumsum (terjadi setelah transplantasi sumsum
tulang)
5. Leukimia mielogen akut- berhubungan dengan anemia fanconi.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang Menurut Muscari (2005)


pemeriksaan diagnostik pada anemia adalah :

1. Jumlah pemeriksaan darah lengkap dibawah normal (Hemoglobin


< 12 g/dL, Hematokrit < 33%, dan sel darah merah)
2. Feritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi
3. Kadar B12 serum rendah pada anemia pernisiosa
4. Tes comb direk positif menandakan anemia hemolitik autoimun
5. Hemoglobin elektroforesis mengidentifikasi tipe hemoglobin
abnormal pada penyakit sel sabit

6
6. Tes schilling digunakan untuk mendiagnosa defisiensi vitamin B12

2.1.7 Penatalaksanaan Medis

Pilihan utama pengobatan anemia aplastik adalah transplantasi sum


sum tulang dengan donor saudara kandung , yang antigen limfosit
manusianya limfosit (HLA) sesuai. Pada lebih dari 70% kasus tidak ada
kesesuaian dari saudara kandung. Namun terdapat kemungkinan kesesuaian
yang semakin besar antara orangtua dan anaknya yang menderita anemia
aplastik. Jika ingin melakukan transplantasi sumsum tulang, pemeriksaan
HLA keluarga harus segera dilakukan dan produk darah harus sedikit
mungkin digunakan untuk menghindari terjadinya sensitifisasi untuk
menghindari sensitisasi , darah hendaknya juga jangan didonasi oleh keluarga
anak. Produk darah harus selalu diradiasi dan disaring untuk menghilangkan
sel-sel darah putih yang ada, sebelum diberikan pada anak yang menjadi
calon penerima transplantasi sumsum tulang. Produk darah yang dapat
diberikan sebagai berikut :

1. Trombosit untuk mempertahankan jumlah trombosit lebih dari


20.000 per mm3. Pakai platelet feresis donor tunggal untuk
menurunkan jumlah pajanan antigen HLA pada anak itu.
2. Packed read blood cells- untuk mempertahankan hemoglobin.
untuk terapi jangka panjang ,gunakan deferoksamin sebagai
agen kelasi untuk mencegah komplikasi kelebihan besi.
3. Granulosit ditransfusi ke pasien yang mengalami sepsis gram
negatif ( Ngastiyah, 2012)

Pendidikan kesehatan

Pencegahan anemia aplasik terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan


tersier. Antara lain :

1. Pencegahan primer :
a. Menghindari paparan bahan kimia berlebih. Bahan kimia yang dapat
menyebabkan anemia aplastik antara lain yang terkandung pestisida
dan insektisida. Kandungan benzena dalam bensin juga disebut dapat
menyebabkan anemia aplastik pada seseorang. Anemia aplastik ini
dapat sembuh dengan sendirinya apabila menghindari paparan
berulang dari bahan kimia tersebut.

7
b. Menjauhi radiasi sinar x atau radiasi. Salah satu penyebab anemia
aplastik pada seseorang adalah perawatan radiasi dan kemoterapi. Hal
ini merupakan sebuah perawatan yang dilakukan untuk membunuh sel
kanker di dalam tubuh, yang ternyata dapat merusak sel sehat,
termasuk sel yang memproduksi darah di sumsum tulang. Pada
akhirnya, anemia aplastik pun terjadi karena efek samping dari
perawatan tersebut.

2. Pencegahan sekunder

a. Cek darah rutin. Tujuannya untuk memastikan apakah gejala yang

muncul merupakan tanda penyakit anemia aplastik atau karena

penyakit lainnya. Mendiagnosis penyakit ini bisa dilakukan melalui

pemeriksaan fisik, gejala-gejala yang dialami, serta riwayat kesehatan

di keluarga.

3. Pencegahan tersier
a. Tranfusi sel darah merah. Transfusi darah bertujuan untuk
mempertahankan jumlah sel darah yang cukup untuk mempertahankan
tubuh agar tetap sehat. Pemberian transfusi dilakukan melalui selang
intravena ke pembuluh darah.
b. Tranplantasi sumsum tulang. Penggantian sumsum tulang belakang
dari pendonor yang sehat dapat berpotensi menyembuhkan anemia
aplastik.

2.1.8 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas klien
Pengkajian identitas klien berupa nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, tanggal masuk RS, tanggal
rencana operasi, nomor medrek, diagnosa medis dan alamat
(Rohmah, 2010).
b. Identitas penanggung jawab
Identitas penangguang jawab baik ayah, ibu, suami, istri, ataupun
anak yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

8
pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat (Rohmah,
2010).

c. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang
o Keluhan utama saat masuk rumah sakit. Keluhan yang
biasanya dikeluhkan oleh klien anemia aplastik adalah
cepat lelah, penurunankadar hemoglobin dalam darah,
kepala terasa pusing, lesu, susah berkonsentrasi,
penglihatan berkunang-kunang, prestasi kerja fisik
pikiran menurun.
o Keluhan utama saat dikaji Keluhan yang dikemukakan
sampai dibawa ke RS dan masuk ruang perawatan,
komponen ini terdiri dari PQRST yaitu : P : Palliative
merupakan faktor yang mencetus terjadinya penyakit, hal
yang meringankan atau memperberat gejala, klien
dengan anemia aplastik mengeluhkan kepala terasa
pusing dan mudah lelah. Q : Quallitative suatu keluhan
atau penyakit yang dirasakan. Rasa pusing dikepala
menyebabkan susah konsentrasi dan prestasi kerja fisik
pikiran menurun. R : Region sejauh mana lokasi
penyebaran yang dirasakan. Pusing dikepala bagian atas
kebelakang menyebabkan susah untuk berkonsentrasi. S :
Serverity/scale derajat keganasan atau intensitas dari
keluhan tersebut. T : Time dimana keluhan dirasakan dan
juga lama serta frekuensinya. Pusing dirasakan pada
waktu yang tidak menentu dan biasanya akan terasa jika
terlalu banyak beraktivitas.
o Riwayat kesehatan dahulu Perlu ditanyakan antara lain
apakah klien pernah mengalami penyakit yang sama
sebelumnya atau punya penyakit yang menular (Rohmah,
2010).
o Riwayat kesehatan keluarga Mengkaji apakah ada
anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang
sama dengan klien atau apakah ada penyakit yang
sifatnya keturunan maupun menular (Rohmah, 2010).

9
d.Pola aktivitas sehari-hari
Disini dikaji pola aktivitas klien di rumah (sebelum sakit) dan
selama di RS (saat sakit). Pengkajian pola aktivitas ini meliputi pola
nutrisi, eliminasi, istirahat tidur, personal hygiene dan aktivitas
(Rohmah, 2010).
- Pola nutrisi
Kaji kebiasaan makan, minum sehari-hari, adakah pantangan
atau tidak, frekuensi jumlah makan dan minum dalam sehari.
Pada klien anemia aplastik sering mengalami anoreksia/nafsu
makan berkurang.
- Pola eliminasi
Kaji kebiasaan BAB dan BAK, frekuensinya, jumlah,
konsistensi, serta warna feses dan urine. Apakah ada masalah
yang berhubungan dengan pola eliminasi atau tidak. Pola
eliminasi pada klien dengan anemia aplastik biasanya tidak
terganggu.
- Pola istirahat tidur
Kaji kebiasaan tidur, berapa lama tidur siang dan malam, apakah
ada masalah yang berhubungan dengan pola istirahat tidur. Pola
istirahat tidur pada klien anemia aplastik biasanya suah tidur dan
sering terjaga dimalam hari (insomnia).
- Personal hygiene
Kaji kebersihan diri klien seperti mandi, gosok gigi, cuci rambut,
dan memotong kuku. Pada klien dengan anemia aplastik akan
terjadi penurunan kemampuan peningkatan kebutuhan bantuan
melakukan aktivitas sehari-hari.
- Aktivitas
Kaji kebiasaan klien sehari-hari dilingkungan keluarga dan
masyarakat. Apakah klien mandiri atau masih bergantung
dengan orang lain. Pada klien anemia aplastik aktivitas klien
akan terbatas karena terjadi kelemahan otot.
e. Pemeriksaan fisik

10
- Keadaan umum dan tanda-tanda vital. Pada klien dengan anemia
aplastik akan didapatkan gejala pucat, kepala pusing, tampak
lesu, penglihatan berkunang-kunang, aktivitas berkurang, susah
berkonsentrasi dan cepat lelah. Pada pemeriksaan tanda-tanda
vital sering ditemukan nadi meningkat (takikardi) dan
hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif.
- Pemeriksaan fisik persistem
a. Sistem Pernafasan Pada klien anemia aplastik akan
ditemukan pernafasan nafas pendek pada istirahat dan
aktivitas.
b. Sistem Kardiovaskular Pada klien anemia aplastik akan
ditemukan peningkatan sistolik dengan diastolik stabil.
c. Sistem Pencernaan Disfagia kesulitan menelan,
anoreksia nafsu makan menurun, membran mukosa
kering, konstipasi diare, dan BAB menghitam.
d. Sistem Perkemihan Terdapat hematuria atau kencing
yang ditandai adanya darah pada urine, warna urine
gelap.
e. Sistem Endokrin Sistem endokrin biasanya jarang
terjadi gangguan pada kasus anemia aplastik.
f. Sistem Integumen Konjungtiva pucat, perdarahan pada
gusi dan hidung, adanya petekie (keunguan), ekimosis
(luka memar) pada kulit, turgor kulit kurang, kulit
kering. Kulit seperti berlilin, pucat atau kuning lemon
terang.
g. Sistem Muskuloskeletal Kelemahan otot, dan
penurunan kekuatan. Ataksia, tubuh tidak tegak. Bahu
menurun, postur lunglai, berjalan lambat, dan tanda-
tanda lain yang menunjukkan keletihan.
h. Sistem Persarafan Pememriksaan sakit kepala,
berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan
berkonsentrasi. Penurunan penglihatan, dan kelmahan,
serta keseimbangan buruk.
f. Data Psikologi
1. Body Image Persepsi atau perasaan tentang penampilan diri dari
segi ukuran dan bentuk

11
2. Idela Diri Persepsi individu tentang bagaimana dia harus
berperilaku berdasarkan standar, tujuan, keinginan, atau nilai
pribadi.
3. Identitas Diri Kesadaran akan diri sendiri yang sumber dari
observasi dan penilaian diri sendiri.
4. Peran Diri Perlaku yang diharapkan secara sosial yang
berhubungan dnegan fungsi individu pada berbagai kelompok.

g. Data sosial dan budaya


Pada aspek ini perlu dikaji pola komunikasi dan interaksi
interpersonal, gaya hidup, faktor social, kultur, serta keadaan
lingkungan sekitar dan rumah.
h. Data spiritual
Mengenai keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penerimaan
terhadap penyakitnya, keyakinan akan kesembuhan dan pelaksanaan
sebelum atau selama dirawat.
i. Data penunjang
Pemeriksaan laboratorium atau radiologi perlu dilakukan untuk
memvalidasi dalam menegakkan diagnosa sebagai pemeriksaan
penunjang.
1. Laboratorium Anemia normokromik nomositer disertai
retikusitopenia. Jumlah Hb lebih rendah dari normal
(12-14/gdL). Leukopenia dengan relative limfositosis, tidak
dijumpai sel muda dalam darah tepi. Trombositopenia, yang
bervariasi dari ringan sampai sangat berat. Sumsum tulang,
hypoplasia sampai apalsia. Aplasia tidak menyebar secara
merata pada seluruh sumsum tulang, sehingga sumsum tulang
yang normal dalam satu kali pemeriksaan tidak dapat
menyingkirkan diagnosis anemia aplastik, harus diulangi pada
tempat-tempat yang lain. Darah lengkap, jumlah masingmasing
sel darah (eritrosit, leukosit, trombosit).
2. Radiologi Pemeriksaan radiologi umumnya tidak dibutuhkan
untuk menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survey skeletal
khususnya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang
yang diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan
abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu

12
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan
lemak.

2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Betz and Swoden (2009) dan Taylor (2010) diagnosa
keperawatan yang muncul pada anak dengan anemia aplastik adalah :
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan
dengan penurunan suplai O2 ke jaringan.
2. Resiko cedera berhubungan dengan ketidakseimbangan
suplai O2.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas
tubuh sekunder menurun (penurunan HB), prosedur
invasif.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
5. Keletihan fisik berhubungan dengan menurunya
imunitas tubuh.
6. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
berhubungan dengan menurunya imunitas tubuh.
7. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kekurangan asupan nutrisi esensial.
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan pada anak dengan anemia aplastik menurut
Taylor (2010) untuk diagnosa keperawatan pertama dan diagnosa kedua
dan keenam menurut Betz and Swoden (2009), diagnosa ketujuh
menurut Ngastiyah (2012) sebagai berikut:
Diagnosa 1 :
ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan suplai O2 ke jaringan dengan intervensi:
1) Ukur tanda-tanda vital.
2) observasi adanya emboli.

13
3) tingkatkan aktivitas untuk cegah pengumpulan darah
4) Berikan penkes tentang terapi antikoogulan
5) Monitor tanda-tanda perdarahan
6) Monitor adanya data laboratorium terkait dengan
kehilangan darah (misalnya hemoglobin, hematokrit).
7) anjurkan pasien untuk konsumsi sayursayuran yang hijau.
8) observasi nadi perifer setiap 4 jam
9) kaji warna kulit dan tekstur kulit setiap 4 jam
10) Berikan produk darah yang diresepkan dokter.
11) kolaborasi pemberian terapi antikoagulan.
Diagnosa 2 :
Resiko cedera berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
ke jaringan dengan Intervensi :
1) Kaji ulang keberadaan faktor resiko cedera.
2) Lakukan modifikasi lingkungan agar lebih aman.
3) Ajarkan klien tentang upaya penundaan cedera.
4) kolaborasi dengan dokter tentang penatalaksanaan
cedera.
Diagnosa 3 :
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunitas tubuh sekunder
menurun (penurunan HB), prosedur invasif. Intervensi :
1) Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
2) Batasi pengunjung bila perlu dan anjurkan untuk istirahat
yang cukup.
3) Anjurkan keluarga untuk cucitangan sebelum dan setelah
kontak dengan klien.
4) Gunakan sabun anti microba untuk mencuci tangan.
5) Lakukan cucitangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.
6) Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindun.
7) Pertahankan lingkungan yang aseptic selama
pemasangan alat.
8) Lakukan perawatan luka dan dressing infus.
9) Tingkatkan intake nutrisi, dan cairan yang adekuat
berikan antibiotic sesuai program.
Diagnosa 4 :

14
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Intevensi:
1) Kaji status fisiologi pasien yang menyebabkan kelelahan
sesuai denga konteks usia dan perkembangan.
2) Anjurkan pasien mengungkapkan perasaan secara verbal
mengenai keterbatasan yang dialami, Perbaiki defisit status
fisiologi sebagai prioritas utama.
3) Tentukan jenis dan banyaknya aktivitas yang dibutuhkan
untuk menjaga ketahanan, Monitor asupan nutrisi untuk
mengetahui sumber energi yang adekuat.
4) Catat waktu dan lama istirahat/tidur pasien.
5) Monitor sumber dan ketidak nyamanan /nyeri yang dialami
pasien selama aktivitas.

Diagnosa 5 :

Keletihan fisik berhubungan dengan menurunya imunitas


tubuh. Intevensi:
1) Observasi adanya pembatasan klien dalam
melakukan aktivitas, dorong anak untuk
mengungkapkan perasaan terhadap keterbatasan.
2) Kaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan.
3) Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat,
monitor respon kardfiovaskuler terhadap aktivitas.
4) Monitor pola tidur dan lamanya tidur.
5) Dukung pasien dan keluarga untuk mengungkap
kanperasaanya.

Diagnosa 6 :

Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan


berhubungan dengan menurunnya imunitas tubuh. Intervensi :
1) Anak akan menunjukan tanda-tanda
keseimbangan dan elektrolit yang ditandai dengan
membrane mukosa lembab.
2) Pengisian kembali kapiler 3-5 detik.
3) Anak akan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan yang normal.
4) Anak tidak menunjukan perdarahan dan infeksi.

15
5) Anak akan menunjukan status nutrisi yang
adekuat yang ditandai dengan nafsu makan baik
dan berat badan sesuai.
Diagnosa 7 :
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
kekurangan asupan nutrisi esensial. Intervensi:
1) anjurkan pasien untuk tidak konsumsi makanan
berbumbu dan bergas
2) Penkes tentang diet tinggi zat besi dan kurangi
makanan berserat.
3) Berikan makanan yang menarik sambil bercerita
saat makan
4) Berikan makanan yang hangat dan menarik sesuai
kesukaan pasien.
5) Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.
6) Timbang BB.
7) ajarka pasien tidak konsumsi makanan berbumbu
dan bergas.
8) kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
suplimen, vitamin, zat besi dan folat.
9) kolaborasi dengan ahli gizi untuk rubah makan
TKTP
4. Implementasi

Pelaksanaan adalah realisasi rencana tindakan untuk


mencapai tujuan yang telah diterapkan. Kegiatan dalam
pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, dan
menilai data yang baru. Dalam pelaksanaan membutuhkan
keterampilan kognitif, interpersonal, psikomotor (Rohmah, 2010).

5. Evaluasi

Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang


sistematis dan terncana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi
dibagi menjadi 2, yaitu :

a) Evaluasi formatif

16
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses
keperawatan dan hasil tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini
dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan guna menilai kefektifan tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi 4 komponen
yang dikenal dengan SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan
klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (perbandingan
data dengan teori), dan perencanaan.

b) Evaluasi sumatif

Evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah


semua proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini
bertujuan menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang
telah diberikan. Metode yang dapat digunakan pada evaluasi Janis ini
adalah melakukan wawancara pada akhir layan, menanyakan respon
klien dan keluarga terkait layanan keperawatan, mengadakan
pertemuan pada akhir layanan.

Hasil Penelitian

Hasil laboratorium pada pasien Anemia aplastik yang telah mendapat terapi
sikloposfamid ditampilkan pada table 1. Pada table tersebut bisa dilihat bagaimana
jumlah haemoglobin, leukosit, trombosit baik sebelum dan sesudah tansfusi
packed red cell (PRC) dan juga Trombosit. Data pada table tersebut terlihat bahwa
pada beberapa pasien menunjukkan hasil yang baik tetapi pada berapa pasien
nampaknya tidak menimbukan efek terapi seperti yang diharapkan. Terapi
sikloposfamid dosis tinggi (50 mg/kg) telah dianjurkan sebagai lini pertama yang
efektif untuk anemia aplastik. 1,8,9 Angka respon yang tinggi dikaitkan dengan
pencegahan kekambuhan dan juga penyakit klonal. Namun sitopenia yang
berkepanjangan menghasilkan toksisitas yang berlebihan akibat komplikasi
neutropenik . Follow-up jangka panjang pada pasien yang mendapat
sikloposfamide memperlihatkan bahwa relaps dan penyakit klonal dapat terjadi
setelah terapi sikloposfamid. Pada hasil penelitian ini terlihat tidak sesuai dengan
hasil penelitian diatas, pada data table satu diatas kita lihat bahwa pada sebagian
besar terapi sikloposfamide yang diberikan tidak memberikan respon seperti yang
diharapkan untukmencapai respon komplit. Hal yang sama juga bias kita lihat dari
hasil penelitian yang dilakukan oleh Griner. Hampir pada semua pasien yang

17
diterapi dengan sikloposfamide pada penelitian masih menunjukkan adanya
sitopenia dan masih membutuhkan transfuse sel darah merah dan transfuse
trombosit.

2.2 Anemia Defisiensi Besi

2.2.1 Definisi Anemia Defiensi Besi

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan


zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang
karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat
besi dalam darah.

Jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah berarti orang
tersebut mendekati anemia walaupun belum ditemukan gejala-gejala fisiologis.
Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk
membentuk sel sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar
hemoglobin terus menurun di bawah batas normal, keadaan inilah yang disebut
anemia gizi besi. Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan oleh berkurangnya cadangan hesi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan
menurunnya saturasi transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau
hemosiderin sumsum tulang. Secara morfologis keadaan ini diklasifikasikan
sebagai anemia mikrosilik hipokrom disertai penurunan kuantitatif pada sintesis
hemoglobin.

Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia Wanita usia subur sering
mengalami anemia, karena kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan
kebutuhan besi sewaktu hamil.

2.2.2 Klasifikasi Anemia Difisiensi Besi

Secara morfologis, anemia dapat diklasifikasikan menurut ukuran sel


dan hemoglobin yang dikandungnya, antara lain :

1. Makrositik

18
Pada anemia makrositik ukuran sel darah merah bertambah besar dan
jumlah hemoglobin tiap sel juga bertambah. Ada dua jenis anemia
makrositik yaitu :
a. Anemia Megaloblastik adalah kekurangan vitamin B12, asam folat
dan gangguan sintesis DNA.
b. Anemia Non Megaloblastik adalah eritropolesis yang dipercepat
dan peningkatan luas permukaan membran.
2. Mikrositik
Mengecilnya ukuran sel darah merah yang dischabkan oleh defisiensi besi,
gangguan sintesis globin, porfirin dan heme serta gangguant metabolisme
besi lainnya.
3. Normositik
Pada anemia normositik ukuran sel darah merah tidak berubah, ini
disebabkan kehilangan darah yang parah, meningkatnya volume plasma
secara berlebihan, penyakit-penyakit hemolitik. gangguan endokrin, ginjal,
dan hati.
2.2.3 Etiologi

Terjadinya Anemia Difisiensi Besi sangat ditentukan oleh kemampuan


absorpsi besi, diit yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan
jumlah yang hilang. Berdasar umur Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis


a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun
pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat,
sehingga pada periode ini insiden Anemia Difisiensi Besi
meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat
3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali
lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan
sangat cepat. pada umur 1 tahun berat badannya dapat
mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan
adalah kehilangan darah lewat menstruasi.

2. Kurangnya besi yang diserap

19
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya
membutuhkan makanan yang banyak mengandung besi.
Bayi cukup bulan akan menyerap lebih kurang 200 mg besi
selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat
ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6
bulan pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung
dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi
dalam ASI diabsropsi bayi, sedangkan dari PASI hanya
10% hesi yang dapat diabsropsi. Pada bayi yang
mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI lebih
berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.
b. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa
ususnya mengalami perubahan secara histologis dan
fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi
parsial atau total sering disertai Anemia Defisiensi Besi
walaupun penderita mendapat makanan yang cukup besi.
Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung dan
makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat
utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya Anemia Difisiensi Besi. Kehilangan darah akan mempengaruhi
keseimbangan status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan
kehilangan besi 0.5 mg, schingga darah 3-4 ml/hari (1.52 mg) dapat
mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa
perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus peptikum,
karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin, obat
anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan
menghisap darah dari pembuluh darah submukosa usus.

4. Transfusi feto-maternal

20
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
Anemia Difisiensi Besi pada akhir masa fetus dan pada awal masa
neonatus.

5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan
besi melaui urin rata-rata 1.8 - 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita Anemi Difisiensi Besi

7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis


Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru
yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang hilang
timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga
1,5-3 g/dl dalam 24 jam.

8. Latihan yang berlebihan


Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya 10
ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia
yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.

2.2.4 Patofisiologi Anemia Defiensi Besi


Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah)
dan juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor
penggiat. Zat besi yang terdapat dalam enzim juga diperlukan
untuk mengangkut elektro (sitokrom), untuk mengaktifkan
oksigen (oksidase dan oksigenase). Defisiensi zat besi tidak
menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik) sehingga
anemia pada balita sukar untuk dideteksi.
Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya
simpanan zat besi (feritin) dant bertambahnya absorbsi zat besi
yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan
besi. Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan

21
zat besi, berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya
jumlah protoporpirin yang diubah menjadi heme, dan akan
diikuti dengan menurunnya kadar feritin serum. Akhirnya
terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar
Rb (Gutrie, 186:303)
Bila sebagian dari feritin jaringan meninggalkan sel akan
mengakibatkan konsentrasi feritin serum rendah. Kadar feritin
serum dapat menggambarkan keadaan simpanan zat besi
dalam jaringan. Dengan demikian kadar feritin serum yang
rendah akan menunjukkan orang tersebut dalam keadaan
anemia gizi bila kadar feritin serumnya <12 ng/ml. Hal yang
perlu diperhatikan adalah bila kadar feritin serum normal tidak
selalu menunjukkan status besi dalam keadaan normal. Karena
status besi yang berkurang lebih dahulu baru diikuti dengan
kadar feritin. Diagnosis anemia zat gizi ditentukan dengan tes
skrining dengan cara mengukur kadar Hb, hematokrit (Ht),
volume sel darah merah (MCV). konsentrasi Hb dalam sel
darah merah (MCH) dengan hatasan terendah 95% acuan
(Dallman, 1990)

2.2.5 Pathway

2.2.5 Manifestasi Klinis


Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak
menunjukkan gejala dan baru terdeteksi dengan skrining
laboratorium pada usia 12 bulan. Gejala khas dari anemia
defisiensi besi adalah :
1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah
menjadi rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi
cekung sehingga mirip dengan sendok.
2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan
permukaan lidah tampak licin dan mengkilap yang
disebabkan oleh menghilangnya papil lidah

22
3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel
hipofaring.

Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang


paling mengkhawatirkan adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu menurunnya
fungsi intelektual, terganggunya fungsi motorik dapat muncul lebih dahulu
sebelum anemia terbentuk. Telah banyak penelitian dilakukan mengenai
hubungan antara keadaan kurang besi dan uji kognitif. di Guatemala terhadap bayi
berumur 6-24 bulan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan skor mental dan skor
motoric antara kelompok anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan anak
normal. Penelitian juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang
menunjukkan bahwa anak dengan anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang
lebih rendah terhadap uji oddity learning jika dibandingkan kelompok kontrol.
Terdapat bukti bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat menetap walaupun
dengan penanganan, sehingga pencegahan menjadi sangat penting. Pica,
keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, atau
pagofagia, keinginan untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala Jurnal
Averrous sistemik lain dari defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan
pengkonsumsian bahan-bahan mengandung timah sehingga akan menyebabkan
plumbisme.

2.2.6 Komplikasi
Anemia defisiensi besi umumnya tidak menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, kondisi ini dapat menimbulkan
komplikasi yang berbahaya jika tidak segera diobati, yaitu :
1. Masalah jantung, seperti gangguan irama jantung, yang dapat memicu
kardiomegali atau gagal jantung
2. Komplikasi kehamilan, kelahiran prematur, atau berat badan lahir yang
rendah pada bayi jika anemia terjadi pada ibu hamil
3. Gangguan pertumbuhan dan rentan terkena infeksi pada bayi atau
anak-anak

4. Depresi
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

23
Salah satu pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan
sumsum tulang, dan pemeriksaan sumsum tulang diindikasikan
pada defisiensi besi yang diagnosisnya sulit ditegakkan dan
pemeriksaan–pemeriksaan lainnya yang memberiksan hasil
meragukan. Pada defisiensi besi, pemeriksaan sumsum tulang
dengan pewarnaan prussian blue menunjukkan gambaran
hiperplastik pada tahap awal, dengan penurunan rasio myeloid-
eritroid (M:E ratio), karena peningkatan dari eritropoiesis.
Dengan terus berlangsungnya proses defisiensi besi,
hiperplasia akan menghilang dan akan berlanjut dengan
produksi RBC yang semakin melambat. Normoblast
polikromatofil yang akan memperlihatkan perubahan
morfologi yang paling jelas. Perbandingan nukleus dan
sitoplasma akan menjadi asinkron, dengan pematangan
sitoplasma lebih lambat dibandingkan pematangan nukleus.
Sitoplasma tetap berwarna kebiru-biruan setelah nukleus mulai
berkondensasi. Membran sel tampak ireguler dan biasanya
disebut “shaggy”.Pada ADB gambaran sumsum tulang dengan
pewarnaan prussian blue tidak ada besi yang terwarnai.

Asuhan Keperawatan

1. Tahap Pengkajian
Tahap ini merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan data dari klien, keluarga dan laporan atau buku
catatan kesehatan klien baik berupa data subyektif maupun data obyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan lainnya seperti
pemeriksaan laboratorium. Menurut (Kyle, T., & Carman, 2016) pada
anak defisiensi besi akan terlihat kuku cekung menyerupai sendok,
kelemahan otot, sakit kepala, irritabilitas, sesak nafas, pucat, letih, adanya
splenomegali, keletihan dan ketidakmampuan makan sesuai kebutuhan dan
dampak neurolgis seperti berjalan, berdiri, dan duduk terganggu. pada
pemeriksaan labolatorium secara teori jika anemia defisiensi besi akan
menunjukan hasil labolatorium MCV dan MCH rendah (mikrositik), dan
RDW meningkat. Dari hasil pengkajian penulis mengenai mansifestasi
klinis dan juga data labolatorium ada kesenjangan antara teori dan juga
kasus yang penulis kaji yaitu penulis tidak menemukan kuku seperti

24
sendok (koilonika), hepatomegali, sesak nafas, karena jika ada tanda yang
seperti di atas, itu menunjukan anemia defisiensi besi yang sudah
menggangu pada jantung, dan pada pemeriksaan labolatorium secara teori
jika anemia defisiensi besi akan menunjukan hasil labolatorium MCV dan
MCH rendah (mikrositik), dan RDW meningkat akan tetapi yang penulis
dapatkan dari hasil labolatorium hanya RDW yang meningkat yang
mengindikasikan Anemia Defisiensi Besi. Dalam melakukan pengkajian
terhadap klien, penulis tidak mendapatkan suatu halangan atau kesulitan
dengan melakukan pengkajian. Hal ini dibantu oleh kerjasama dengan
orang tua klien dan tenaga medis lainnya.

2. Tahap Diagnosa keperawatan


a. Diagnosis keperawatan menurut teori:
1) Aktual/resiko tinggi perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan intake, mual, dan anoreksia.
2) Aktual/resiko gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan
menurunnya pengangkutan oksigen sekunder dari penurunan sel-sel darah
merah.
3) Aktual/resiko tinggi nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium sekunder
daripenurunan suplai darah ke miokardium, peningkatan produksi asam
laktat.
4) Aktual/resiko tinggi pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan
pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di paru sekunder dari
edema paru akut.
5) Keletihan yang berhubungan dengan penurunan suplai oksigen di dalam
darah, yang dibuktikan dengan kurang energi, peningkatan kebutuhan
tidur, atau penurunan minat unttuk bermain.
6) Ketidakefektifan koping keluarga yang berhubungan dengan perawatam
inap anak atau gangguan genetik kronik yang kemungkinkan mengancam

25
jiwa yang dibuktikan dengan kesedihan berat atau penyangkalan, menarik
diri, atau mengungkapkan ketidakadekuatan keterampilan koping.
7) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan, yang berhubungan dengan
masalah bicara, motorik, psikososial, atau kognitif yang di buktikan
dengan keterlambatan dalam memenuhi penanda perkembangan.

b. Diagnosis keperawatan yang ditemukan pada kasus By. A adalah:


1) Gangguan ketidakseimbangan nutrisi berhubungan dengan faktor biologis
(anemia), anoreksia. Diagnosa keperawatan ini dimunculkan karena
anemia defisensi besi yang menyebabkan BB klien 3,1 kg tidak sesuai usia
harusnya klien mempunyai BB 4,5 kg.
2) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan anemia diagnosa keperawatan
ini di munculkan karena pada saat pengkajian dan pemeriksaan Denver II,
pertumbuhan dan perkembangan tidak sesuai dengan usia; mengalami
keterlambatan.
3) Gangguan rasa aman: takut berhubungan pada anak berhubungan dengan
efek hospitalisasi. Diagnosa keperawatan ini di munculkan karena pada
saat pengkajian klien selalu menolak sentuhan orang lain dan terkesan
takut dengan perawat ataupun orang lain, karena klien selalu dengan
ibunya.
4) Risiko tinggi perfusi jaringan berulang berhubungan dengan penurunan
HB Diagnosa keperawatan ini dimunculkan karena seminggu yang lalu
HB klien sangat rendah yaitu 7,3.

c. Diagnosis keperawatan yang ditemukan pada tinjauan teoritis tetapi


tidak terdapat pada tinjauan kasus By. A adalah :
1) Aktual/resiko tinggi nyeri yang berhubungan dengan ketidakseimbangan
suplai darah dan oksigen dengan kebutuhan miokardium sekunder dari
penurunan suplai darah ke miokardium, peningkatan produksi asam laktat.
Diagnosa ini tidak di munculkan karena sebelumyna klien mendapatkan
pengobatan di ruang PICU.
2) Aktual/resiko tinggi pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan
pengembangan paru tidak optimal, kelebihan cairan di paru sekunder dari
edema paru akut. Diagnosa ini tidak di munculkan karena sebelumyna
klien mendapatkan pengobatan di ruang PICU.
3) Keletihan yang berhubungan dengan penurunan suplai oksigen di dalam
darah, yang dibuktikan dengan kurang energi, peningkatan kebutuhan

26
tidur, atau penurunan minat untuk bermain. Diagnosa ini tidak
dimunculkan, karena penulis sudah memasukannya ke diagnosa gangguan
pertumbuhan dan perkembangan.

3 Tahap Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses untuk merumuskan tujuan dan
menentukan intervensi yang sesuai dengan diagnosis keperawatan yang
ditegakkan:
a. Tujuan
Tidak ada teori yang membahas tentang tujuan, maka solusinya adalah
penulis hanya dapat memperkirakan kriteria waktu sesuai dengan analisis
penulis. Begitu juga dengan kriteria hasil yang harus dicapai, penulis
memperkirakan berdasarkan data fokus yang didapat pada saat anamnesa
dengan klien. Penulis membuat rumusan tujuan yang memuat kriteria
hasil dan kriteria waktu yang didasarkan pada keadaan klien dan
perjalanan penyakit yang diderita klien. Rumusan tujuan dibuat spesifik
untuk tiap diagnosis keperawatan dan Smart.

b. Intervensi

Intervensi pada perencanaan setiap diagnosis pasti berbeda pada setiap


diagnosis. Dalam hal ini penulis tidak menuliskan semua intervensi yang ada
berdasarkan teori pada tahap perencanaan, tetapi penulis hanya menuliskan
beberapa intervensi ke dalam perencanaan. Ini semua melihat dari data fokus
atau kebutuhan klien berdasarkan hasil anamnesa dengan klien. Solusinya
intervensi dibuat sesuai dengan kebutuhan klien karena intervensi disusun
untuk mengatasi etiologi dalam rumusan diagnosis keperawatan.

c. Rasional

Pada rasional, penulis mengacu pada intervensi yang akan dilakukansesuai


dengan keadaan klien. Penulis mengalami kesulitan untuk menentukan
rasional, karena keterbatasan sumber referensi. Tidak semua sumber yang
penulis gunakan terdapat informasi tentang rasional. membuat rasional yang
spesifik untuk setiap intervensi dalam setiap diagnosis keperawatan untuk
menjelaskan apa alasan ilmiah intervensi tersebut dilakukan.

4 Implementasi

27
Tahap implementasi merupakan tahap dimana penulis melaksanakan asuhan
keperawatan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat. Pada tahap ini penulis
menemukan hambatan dalam melaksanakan implementasi. Diantaranya pada saat
memberikan tindakan pemeriksaan Denver II dan terapi bermain klien menangis
dan rewel, maka pemecahannya adalah melibatkan orang tua klien dalam setiap
melaksanakan tindakan agar semua implementasi dapat berjalan dengan lancar.
Tidak semua implementasi dilaksanakan oleh penulis karena keterbatasan waktu
penulis, maka pemecahannya adalah penulis bekerja sama dengan perawat yang
lain untuk melanjutkan tindakan keperawatan kepada By. A.

5 Evaluasi

Evaluasi dilakukan setelah penulis melakukan tindakan. Evaluasi dilaksanakan


setiap hari untuk mengetahui perkembangan kondisi klien apakah membaik atau
memburuk. Evaluasi yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan
keperawatan disebut evaluasi formatif. Pada tahap ini penulis mengalami
hambatan untuk mengevaluasi perkembangan data hasil laboratorium karena
selama klien dirawat, hanya satu kali dilakukan pemeriksaan darah lengkap yaitu
pada saat klien baru masuk dirawat di ruang Arya Kemuning dan sampai klien
pulang tidak pernah dilakukan lagi pemeriksaan laboratorium untuk memutuskan
klien boleh pulang karena kondisinya sudah membaik. Solusi untuk mengatasi hal
tersebut, penulis mengobservasi keadaan setiap harinya selama dirawat. Dalam hal
observasi penulis berpikir bahwa klien boleh pulang karena adanya perbaikan
pada kondisi klien walaupun tidak ditunjang dengan data laboratorium, dibuktikan
dengan satu diagnosa keperawatan sudah teratasi dan hanya tiga diagnosis
keperawatan yang teratasi sebagian. Namun pertumbuhan dan perkembangan,
ketidakseimbangan nutrisi dan rasa aman takut dapat teratasi saat penulis
melakukan follow up.

28
Pendidikan Kesehatan

Pencegahan Anemia Difiensi Besi

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer anemia dapat dilakukan dengan mendorong berbagai usaha


untuk meningkatkan status kesehatan, yaitu dengan mengurangi berbagai faktor
risiko yang menjadi penyebab anemia. Upaya yang dapat dilakukan pada tahap
ini, seperti menyediakan dan mengonsumsi berbagai makanan yang mengandung
gizi tinggi, memperhatikan informasi gizi dan status kedaluwarsa makanan, serta
melaksanakan gaya hidup sehat (Umroningsih, 2017).

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder anemia dapat dilakukan dengan melaksanakan pemeriksaan


anemia sedari dini ke pelayanan kesehatan untuk menekankan diagnosis penyakit
dan deteksi dini penyakit (Umroningsih, 2017). Pemeriksaan yang dapat
dilakukan, sebagai berikut.

a. Anamnesis atau Keluhan

Penderita anemia yang melakukan anamnesis atau pemeriksaan terhadap keluhan


akan menemukan beberapa gejala anemia, seperti mudah lelah, pusing, mata
berkunang-kunang, dan beberapa tanda anemia lain yang dirasakan penderita.

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, keluhan yang ditemukan, seperti kulit pucat, lemah, pucat
pada membran mukosa, konjungtiva, pucat pada kuku dan jari tangan, serta lemah
karena kekurangan sel darah merah.

c. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan hemoglobin (Hb) pada penderita anemia dapat dilakukan


menggunakan alat test meter MHD-1.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier anemia mencakup upaya pengobatan dan rehabilitasi untuk


mencegah kejadian anemia lebih lanjut (Umroningsih, 2017). Pencegahan yang
dapat dilakukan pada tahap ini, sebagai berikut.

29
a. Menyediakan Suplemen Zat Besi

Suplemen zat besi yang diperlukan, yaitu Tablet Tambah Darah (TTD). Tablet
Tambah Darah (TTD) merupakan tablet besi folat yang mengandung 60 mg besi
elemental dan 0,25 mg asam folat. Mengonsumsi tablet tambah darah ketika
menstruasi dapat membantu mencegah anemia pada remaja.

b. Mengonsumsi Makanan yang Mengandung Zat Besi

Makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging, ayam, ikan, hati, telur,
sayur-sayuran, dan buah-buahan dapat membantu meningkatkan penyerapan zat
besi di dalam usus sehingga dapat membantu mencegah terjadinya anemia.

c. Mengurangi Makanan Penghambat Penyerapan Zat Besi

Makanan-makanan yang dapat menghambat penyerapan zat besi harus dihindari


agar remaja tidak mengalami anemia. Makanan tersebut, meliputi teh, kopi, dan
minuman beralkohol.

d. Edukasi Gizi

Melaksanakan edukasi gizi berbasis hortikultura sangat penting untuk membantu


memperbaiki ketersediaan zat besi pada bahan pangan.

Hasil Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh Bowles menyatakan bahwa dalam penilaian yang
dilakukan terhadap 61 wanita hamil, 50% menyatakan patuh mengkonsumsi
suplemen besi (Bowles, 2010). Menurut penelitian lain dikatakan bahwa tingkat
kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi suplementasi besi di Perancis adalah
87% yang diukur dengan menggunakan kuesioner (Blot et al, 2008). Penelitian
lain menunjukkan bahwa 97.7% ibu hamil di India Tengah mengikuti saran
dokter, baik dosis, frekuensi dan lama penggunaan obat (Adhikari et al, 2011).
Hasil uji statistik menggunakan ChiSquare dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa pengetahuan berhubungan signifikan terhadap kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet zat besi dengan koefisien (r) +13,108 dan nilai signifikansi
(p) 0,011. Dimana nilainya lebih kecil daripada nilai α yang ditetapkan (α=0,05).
Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa hipotesis awal (Ho) ditolak. Hal ini
didukung dengan penelitian oleh Wipayani (2008) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang anemia dan kepatuhan
mereka untuk mengkonsumsi tablet besi dengan p = 0,014.

30
31

Anda mungkin juga menyukai