Namun, perkembangan teknologi yang terjadi saat ini, membuat generasi muda
Indonesia menjadi asing, dan seolah tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya.
Interaksi sosial yang sebelumnya terjadi secara tatap muka, kini telah berubah
ke arah digital. Untuk itu diperlukan pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan
dan rasa nasionalisme kepada pemuda agar tidak melupakan identitas dan
sejarah bangsa.
Kita Ketahui lebih dari 50 persen atau 143 juta orang terutama generasi muda
terhubung dengan internet. Maka dari itu nasionalisme generasi muda dalam
bidang teknologi harus ada. misalnya, bagaimana inovasi yang dilakukan
mampu memberikan dampak ekonomi yang besar, mempermudah dalam
berbagi urusan kehidupan, dan mengangkat kedaulatan teknologi bangsa
Indonesia. Inovasi yang dilakukan oleh anak muda Indonesia sangat luar biasa.
Usahanya juga ikut memikirkan sisi sosial.
Ada 143,26 juta jiwa penduduk Indonesia sudah mengakses internet. Di era
digital ini, orang-orang rela mengeluarkan biaya seperti paket data internet atau
memasang wi-fi untuk memperoleh informasi.
Bahkan saat ini informasi masuk ke dalam kebutuhan pokok. Kalau dulu
kebutuhan pokok kita ada 3 yaitu sandang, pangan, dan papan, sekarang
kebutuhan pokok kita bertambah jadi 4, yaitu sandang, pangan, papan, dan
informasi. Hal ini terlihat dari jumlah pengguna internet di Indonesia yang terus
meningkat sebesar 11 juta orang per tahunnya.
Tapi sayangnya Pemuda di era digital saat ini, belum bisa mengendalikan
teknologi, akan tetapi malah dikendalikan oleh teknologi.
Di era digital, internet hampir dapat diakses oleh siapa saja tidak terkecuali oleh
golongan pemuda. Faktanya hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2017
yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa 63,47 persen
pemuda pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir.
Menanamkan Nasionalisme
Semenatara itu informasi diperoleh dari internet sangat beragam, baik informasi
yang bersifat fakta maupun informasi yang menjurus pada kebohongan (hoax).
Oleh karena itu Pengguna harus dapat menyaring informasi yang diterima agar
tidak terjebak dalam arus informasi yang meruntuhkan jiwa nasionalisme
kebangsaan. Salah satunya adalah ujaran kebencian dan berita hoax yang
mudah sekali diakses.
Akhirnya hasil yang menentukan segalanya, karena prialaku dan karakter siswa
dipinggirkan kalah dengan kognitif siswa. Bahkan dibuatlah test paling sulit, agar
bisa menyeleksi siswa yang memiliki hasil nilai ujian tinggi, bukan moral atau
prilakunya yang tinggi. Karena masyarakat digital senang dengan yang instan,
maka pada akhirnya nasionalisme tergusur akibat matrealisme dan hasilisme,
sehingga menyebabkan terpecah belahnya Indonesia, semakin cepat di era
digital.
Oleh karena itu penting melakukan tiga langkah di atas, karena pemudalah
dengan Sumpah Pemudanya, berhasil menjadikan satu Indonesia, jangan
sampai Indonesia hancur di tangan pemuda, karena pemuda mampu berbuat
segalanya. Membangun pemuda dengan menanamkan nilai nasionalisme agar
siap memasuki era Digital, sehingga pemuda biasa mencipatkan persatuan dan
kesatuan bangsa. Selamat hari Sumpah Pemuda. Bangun pemuda, satukan
Indonesia.
@@@@@@
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, saat acara
Webinar Digital Culture Membangun Karakter Bangsa di era digital, Selasa (23/02/2021).
Jakarta, Ditjen Aptika – Nasionalisme merupakan sebuah sikap yang harus dikembangkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di era digital saat ini. Literasi digital diperlukan untuk
dapat memupuk sikap tersebut.
“Fenomena maraknya penyebaran paham radikal di ruang digital terjadi karena masyarakat merasa
kehadiran ruang digital bukan merupakan bagian dari realitas. Di sini peran penting literasi digital,
kita harus memberikan pemahaman apa yang kita lakukan secara fisik seharusnya terefleksikan
juga saat beraktivitas di ruang digital,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemkominfo,
Semuel Abrijani Pangerapan, saat acara Webinar Digital Culture Membangun Karakter Bangsa di
era digital, Selasa (23/02/2021).
Berdasarkan hasil studi RAND Europe tentang radikalisme di ruang digital, terdapat beberapa
wawasan menarik yang menunjukan sisi negatif ruang digital yang dapat mengancam pertumbuhan
nasionalisme. Pertama, ruang digital beserta karakteristiknya dapat digunakan untuk memfasilitasi
penyebaran konten-konten yang menghambat pertumbuhan nasionalisme.
Menurutnya pada era digital tentunya nilai-nilai nasionalisme harus ditanamkan melalui literasi
digital, agar masyarakat bisa menjadikan pancasila sebagai pembatas dari pemahaman yang
menggerus kedaulatan negara. Kemkominfo memiliki empat kerangka literasi digital, salah
satunya digital culture, yang mengajarkan mengenai wawasan kebangsaan di ruang digital.
“Kami ada empat kerangka literasi digital, yakni digital skill, digital ethics, digital safety, dan yang baru
saja saya jelaskan digital culture. Dalam digital culture kami tingkatkan kemampuan individu
masyarakat dalam membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila, serta Bhineka Tunggal Ika
dalam kehidupan sehari-hari,” papar Semuel.
Dirinya menjelaskan bahwa ada empat dasar yang akan ditanamkan dalam digital culture, yakni:
1. Pengetahuan dasar akan Pancasila serta Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan kehidupan
berbudaya, berbangsa, dan berbahasa Indonesia;
2. Pengetahuan dasar membedakan informasi mana saja yang tidak sejalan dengan nilai
pancasila pada mesin telusur;
3. Pengetahuan dasar mengetahui pentingnya multikulturalisme dan kebhinekaan, serta
memahami cara melestarikan bahasa daerah, seni, dan budaya dalam ruang digital;
4. Pengetahuan dasar yang mendorong perilaku mencintai produk dalam negeri, serta
memahami hak atas akses kebebasan berekspresi dan hak atas kekayaan intelektual di dunia
digital.
“Terkait dengan pengembangan literasi digital berbasis nasionalisme ini, kami kerja sama dengan
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Karena kita perlu konten-konten terkait dan BPIP
merupakan lembaga yang paling tepat,” tuturnya.
Hal tersebut menurutnya merupakan bentuk nyata kolaborasi antar lembaga pemerintahan untuk
membangun Indonesia yang cerdas dan bermartabat. Transformasi digital sendiri baginya ibarat
berpindah kapal, dimana pemerintah bersama-sama dengan stakeholder terkait harus bisa
memindahkan seluruh masyarakat Indonesia dengan beragam cara berbeda.
“Prinsipnya nobody left behind, oleh karena itu literasi digital tidak bisa dilakukan oleh satu instansi
saja,” tegasnya.
Pada kesempatan tersebut dirinya juga mengajak masyarakat memberikan apresiasi terhadap
orang-orang yang menyebarkan konten-konten positif di ruang digital. “Contohnya kita bisa
memberikan like atau memberikan dukungan melalui kolom komentar pada postingannya,” ajaknya.
Sementara itu Wakil Kepala BPIP, Hariono, mengatakan era digital menghadirkan peluang dan
tantangan bagi masyarakat Indonesia terkhusus generasi muda. Oleh karenanya penting untuk
melakukan filtering sehingga masyarakat tidak menjadi korban banjir informasi di era digital.
Wakil Kepala
BPIP, Hariono, yang bergabung secara virtual (23/2).
Menurutnya nilai Pancasila diharapkan bukan hanya sebagai penyaring, tetapi juga menjadi
penggerak kemajuan bangsa. “Melalui ruang digital masyarakat Indonesia harus menunjukan bahwa
kualitas anak-anak muda kita tidak kalah dibanding dengan negara lain,” tandasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa Pancasila telah menjadi tatanan hidup bangsa dan negara. Sehingga
setiap masyarakat Indonesia punya tanggung jawab moral bagaimana Pancasila bisa di
aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di ruang digital.
“Pancasila tidak berhenti sebagai alat pemersatu bangsa, mari kita gunakan kesempatan adanya
ruang digital ini untuk menjadikan Pancasila sebagai kekuatan kemajuan bangsa Indonesia,”
pungkasnya. (lry)
@@@@@
Rektor INF: Generasi Milenial Tidak
Hanya Jadi Pengikut tapi Buatlah
Perubahan
27 October 2021 Tiara Hana Pratiwi Pemberdayaan Informatika 0
Rektor INF Yohanes Freadyanus saat acara Pertunjukan Rakyat Virtual, Selasa (26/10/2021).
Jakarta, Ditjen Aptika – Rektor Institut Nasional Flores (INF) mengajak generasi milenial untuk
menjadi pekerja-pekerja kreatif yang tidak hanya menjadi pengikut, tapi membuat berbagai
perubahan.
“Generasi sekarang jadilah pekerja kreatif, wiraswasta, profesi pekerjaan bebas, dan pekerjaan-
pekerjaan menakjubkan lainnya. Jangan hanya jadi pengikut, tapi buatlah perubahan. Misalnya
kalian suka menonton film, maka besok giliran film kalian yang ditonton,” kata Rektor INF Yohanes
Freadyanus saat acara Pertunjukan Rakyat Virtual, Selasa (26/10/2021).
Mengutip hasil survei Badan Pusat Statistik pada Mei 2021, Johanes menyebut tingkat
pengangguran di Indonesia pada tahun 2020 mencapai hampir 10 juta orang. Industri kreatif
berpotensi besar dalam membuka lapangan kerja bagi para generasi muda.
Dilanjutkan oleh Yohanes, generasi milenial juga harus memiliki sejumlah keahlian, yaitu berpikir
kritis, komunikatif, kolaboratif, dan kreatif.
“Di era sekarang ini, sedang terjadi peralihan dari teknologi komunikasi dengan konsep analog ke
teknologi digital, sehingga pola komunikasi yang terjalin tidak lagi satu arah. Lebih mengedepankan
komunikasi sirkular yang memungkinkan adanya dialog antar pelaku komunikasi,” terang Johanes.
Sementara itu Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Nagekeo, Servulus Babo Nuwa
menambahkan tantangan yang dihadapi UMKM Nagekeo di era UMKM 4.0.
“Tantangannya yaitu infrastruktur pendukung literasi digital, pemetaan wilayah, kualitas produksi dan
daya saing produk. Bagaimana memenuhi standar produk dan isu lingkungan, serta kapasitas
produksi yang sesuai dengan kebutuhan pasar,” jelas Servulus.
1. Literasi dasar, yaitu literasi baca dan tulis, literasi sains, literasi finansial, literasi digital dan
literasi budaya;
2. Era industri, seperti pada era Industri 1.0 – 3.0, ditemukan mesin uap, listrik dan komputasi
data;
3. Era industri 4.0, industri berkembang dengan adanya Internet of Things (IoT), big data,
kecerdasan buatan (AI), teknologi nano, bioteknologi, virtual reality dan augmented reality;
4. Era industri 5.0, terjadi kebangkitan society dengan konsep industri fokus pada pemberdayaan
manusia, teknologi dan data.
Lihat juga: Sesditjen Aptika: Penguasaan Literasi Digital Penting Bagi Generasi Milenial
Sedangkan Koordinator Tata Kelola Komunikasi Publik Ditjen IKP Kemkominfo, Mulyani mengajak
semua pihak untuk berpikir kreatif, terutama di kondisi sulit akibat pandemi Covid-19 ini. Generasi
muda juga perlu meningkatkan kreativitas seperti dalam berinteraksi, dan berbisnis.
“Kementerian Kominfo beberapa hari lalu sudah meluncurkan program literasi digital. Dengan
adanya program tersebut, diharapkan generasi milenial bisa terdorong untuk berpikir lebih kreatif
dan inovatif,” tutur Mulyani.
Pertunjukan rakyat secara daring tersebut dibuat dalam rangka pemulihan ekonomi nasional dan
penanganan Covid-19. Tema yang diangkat yaitu Pemberdayaan dan Inovasi Teknologi Digital
untuk Meningkatkan Produktivitas Ekonomi Bisnis. (thp/magang)
@@@@@
Jakarta, Ditjen Aptika – Kementerian Komunikasi dan Informatika mendorong Pramuka untuk lebih
terampil menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Direktur Tata Kelola Ditjen Aptika
Kominfo, Mariam F. Barata menyatakan hal itu selaras dengan salah satu prinsip Dasa Darma
Pramuka, yaitu meningkatkan keterampilan.
“Poinnya itu adalah rajin, terampil dan gembira. Terampil di sini ya menggunakan TIK. Kita pernah
punya program yang namanya Jota Joti, kemudian juga banyak program-program Pramuka yang
memang dapat meningkatkan kemampuan para Pramuka di dalam penggunaan IT. Misalnya, bisa
menciptakan suatu karya,” ungkapnya dalam Webinar bersama Pengurus Regional Pramuka Jawa
Tengah, di Jakarta, Jumat (04/06/2021).
Menurut Direktur Mariam, Pramuka bisa disebut sebagai agen literasi digital. Oleh karena itu,
Pramuka harus punya kompetensi dan juga punya peran dan semangat yang milenial. “Karena
masih muda-muda dan Pramuka memiliki tingkatan berdasarkan usia. Ada Pramuka Siaga,
Pramuka Penggalang, Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega,” jelasnya.
Apalagi, kata Mariam, Menteri Kominfo Johnny G. Plate menyampaikan bahwa pelajar itu harus
mampu menguasai minimal satu bahasa asing, dan mampu menganalisa data yang terdapat di
dunia digital. Kemampuan ini dinilai penting agar dapat berkomunikasi di tingkat Global.
“Hal ini ditujukan agar Pramuka dapat memilah dan memilih informasi-informasi yang benar,
sehingga dapat membuat konten positif dan menganalisa sekaligus mengenali berita-berita negatif,”
tutur Mariam lebih lanjut.
Bahkan, penggunaan IT yang bermanfaat dapat membuat Pramuka memahami sistem mekanika
teknologi, mampu menciptakan inovasi dan modernisasi, serta berpikir kritis.
“Jadi, sebagai agen literasi Pramuka harus punya keterampilan dalam membuat konten atau berita
yang positif, bisa mengenali konten-konten negatif dan harus bisa memilahkan serta mampu men-
sharing informasi. Kalau hoaks atau tidak benar, ya jangan ikut membagikan,” terangnya.
Mariam pun melanjutkan, apabila para Pramuka melihat informasi yang tidak benar di ruang digital,
mereka bisa melaporkannya kepada Kominfo melalui email aduankonten@kominfo.go.id atau bisa
juga lewat layanan WhatsApp di nomor 08119224545.
Selain Direktur Tata Kelola, hadir sebagai pembicara lainnya dalam Webinar yang ditujukan untuk
menyosialisasikan Gerakan Literasi Digital Nasional itu antara lain founder Drone Emprit Ismail
Fahmi, pakar teknologi informasi Onno W. Purbo, dan Ketua Umum Siberkreasi Yosi
Mokalu. (hm.ys)
@@@@@@
Jakarta, Ditjen Aptika – Sebagai pengguna teknologi tidak dapat dipungkiri salah satu aspek penting
yang perlu diperhatikan ialah aspek keamanan. Ketika melakukan aktivitas di dunia digital baik
secara sadar maupun tidak, warganet telah meninggalkan jejak digital (digital footprint) selama
berselancar di internet.
Unggahan foto, aktivitas berbagi pesan, mengunjungi laman situs, unggahan konten atau
meninggalkan komentar, mengisi data pribadi, internet banking dan masih banyak lainnya. Data-data
tersebut merupakan jejak digital yang tanpa sadar akan tersimpan secara abadi di internet.
Dunia digital memiliki jangkauan yang luas, tidak terbatas ruang dan waktu, mudah diterima serta
dibagikan. Jika dahulu kita mengenal jejak batu tulis dan hanya ada di satu tempat, tapi jejak digital
bisa diakses banyak orang dalam waktu singkat.
“Banyak yang belum sadar akan hal tersebut, kita masih sering menemukan masih banyak orang
meninggalkan komentar kasar dan informasi hoaks di dunia digital yang berujung pada masalah
hukum. Masih banyak pula masyarakat yang belum memahami pentingnya kerahasiaan data seperti
data KTP dan data keuangan, asal dimasukkan dalam aplikasi yang berujung pada kasus
penipuan,” ucap Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan
Menengah Kemendikbud, Jumeri, dalam Webinar Digital Society dengan tema Waspada Rekam
Jejak Digital Pendidik dan Peserta Didik di Internet, Kamis (12/08/2021).
Padahal menurut Dirjen Jumeri, jejak digital yang berisi informasi data pribadi sangat rawan
disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Data-data tersebut dapat berakibat pada
berbagai aspek yang akhirnya berimplikasi pada hubungan personal hingga ke ranah hukum, jangan
sampai kita mengalami hal tersebut,” harapnya.
Selain itu hal yang tidak disadari oleh banyak netizen ialah mereka tidak mengira kalau jejak digital
pada media sosial bisa dijadikan identifikasi instansi bagi calon pelamar kerja, calon CPNS, calon
pelamar beasiswa, bahkan promosi jabatan sebagai bahan pertimbangan.
“Kita tetap harus waspada serta berhati-hati terkait informasi apapun yang kita bagikan di internet.
Setiap detik kita buka internet data kita sudah tertinggal. Ada rambu-rambu yang harus kita
perhatikan, seperti UU ITE yang harus kita taati,” tandasnya.
Hal yang harus diperhatikan dalam meninggalkan Jejak Digital di internet (12/8).
Sementara itu, Pengurus Siberkreasi Komite Edukasi Mafindo, Heni Mulyati, mengatakan dilansir
dari Dictionary.com bahwa rekam jejak digital adalah jejak data yang kita buat dan kita tinggalkan
ketika menggunakan perangkat digital.
“Bentuk jejak digital sendiri bermacam-macam bentuknya, bisa berupa riwayat pencarian, biasanya
pada history search browser. Bisa juga berasal dari pesan teks dari aplikasi, foto dan video (termasuk
yang sudah dihapus), tagging foto dan video dari orang lain, lokasi yang kita kunjungi, hingga
persetujuan akses cookies dalam perangkat,” papar Heni.
Pengurus Siberkreasi yang aktif di Mafindo itu juga menjelaskan bahwa ada jejak digital aktif dan
ada jejak digital pasif. Menurutnya jejak digital aktif merupakan data yang sengaja netizen kirimkan
di internet atau di platform digital, contohnya mengirim e-mail, publikasi di media sosial, atau
mengisi formular daring.
“Sedangkan jejak digital pasif merupakan jejak digital yang kita tinggalkan secara daring dengan
tidak sengaja dan tanpa sepengetahuan kita. Biasanya digunakan untuk mencari tahu profil
pelanggan, target iklan, dan sebagainya,” tandasnya.
Heni juga kembali menekankan betapa pentingnya menjaga rekam jejak digital. Penting bagi
warganet untuk memahami implikasi atau dampak, baik positif maupun negatif dari tindakan di dunia
digital.
“Dalam dunia kerja, terdapat beberapa parameter yang bisa dipakai melihat calon karyawan melalui
media sosialnya. Seperti kalimat yang sering diunggah, foto-foto, interaksi yang dilakukan, serta
lingkaran pertemanan calon karyawan,” jelasnya
Selain itu ia juga menyebutkan berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Netsafe bahwa hal
negatif yang paling sering dilaporkan yaitu mempublikasikan informasi pibadi yang mengarah pada
penindasan atau pelecehan daring, serta menerbitkan informasi pribadi yang digunakan untuk
serangan manipulasi psikologis.
Lalu pertanyaannya, apa yang harus warganet lakukan untuk menghindari potensi-potensi negatif
dari rekam jejak digital? Menjawab pertanyaan tersebut, Heni memberikan berbagai tips guna
terhindar dari hal-hal negatif tersebut.
“Kita bisa merancang jejak digital yg baik, seperti meninggalkan catatan karya atau prestasi di
berbagai platform digital. Harapannya ketika seseorang mengetikan nama kita di mesin pencari,
maka seluruh karya berkualitas yang pernah kita buat bisa muncul dan menjadi catatan baik,”
jawabnya.
Selain itu warganet menurutnya harus berhati-hati dalam melakukan aktivitas di internet, harus
dipikirkan terlebih dahulu dampaknya akan merugikan pihak lain atau berakibat pelanggaran hukum.
Ia juga mengingatkan, ada empat motivasi utama pengguna media sosial yakni memperkuat
jaringan sosial, mencari teman yang cocok, mengembangkan usaha, dan mencari koneksi bisnis.
Guna merawat jejak digital, pengurus Siberkreasi itu memberikan beberapa tips, seperti:
“Ingat apa yang sudah kita bagikan di internet akan tetap tinggal disana meskipun sudah kamu
hapus, karena jejak digital tidak akan bisa benar-benar hilang meskipun sudah dihapus,”
pungkasnya.
Pada akhir pemaparan Heni
menampilkan contoh-contoh kasus terkait bahaya jejak digital. (12/8).
Pada kesempatan yang sama, Analis Pra Sarana Kemendikbud Ristek, Wahyu Hariadi, turut
memberikan pemahaman mengenai strategi yang harus dilakukan para pendidik agar peserta didik
bisa aman melakukan aktivitas di dunia digital.
“Ini penting, pengajar harus membuat siswa mampu memahami pentingnya menjaga keamanan dan
privasi ketika berada di dunia digital,” harapnya.
Hal yang sering terjadi menurutnya banyak peserta didik yang tidak sepenuhnya sadar mengenai
konsekuensi mengumbar informasi-informasi pribadi. Ia juga mengingatkan bahwa selain tugas
pengajar, juga ada peran penting orang tua dalam membimbing anaknya agar bijak dalam
penggunaan internet.
Sebagai upaya-upaya Kemendikbud Ristekdikti dalam menjaga agar tenaga pendidik dan peserta
didik meninggalkan rekam jejak yang baik di dunia digital, Wahyu mengenalkan konsep 4K dalam
cerdas digital. “Kritis, Keamanan, Kreativitas, dan Kolaborasi,” ujar Wahyu.
Selanjutnya mengenai literasi digital, ia menekankan bahwa literasi digital tidak sebatas
membicarakan teknologi itu sendiri, tetapi juga cara berliterasi secara benar. Untuk itu dirinya
mencoba membagikan bagaimana strategi literasi digital yang baik, khususnya yang bisa dilakukan
pengajar kepada peserta didik.
1. Manajemen waktu
Guna menghindari kecanduan siswa terhadap media digital, guru dapat mengedukasi tentang
pengelolaan waktu ketika pembelajaran sedang berlangsung dan diintegrasikan dengan mata
pelajaran. Hal tersebut bisa dilakukan secara tematik, maupun melalui olahraga dan seni
budaya dan keterampilan.
2. Perundungan dunia maya
Kasus perundungan dunia maya marak terjadi, dalam mengatasi hal tersebut guru perlu
mensosialisasikan kepada peserta didik untuk tidak merespon, tidak balas dendam, dan untuk
menyimpan bukti perundungan tersebut kepada orang tua/guru/bahkan pihak berwajib. Guru
juga bisa memberikan edukasi aturan terkait perundungan tersebut pada materi pembelajaran
tematik.
3. Pengelolaan keamanan siber
Guru dapat memberikan edukasi beberapa tips keamanan siber kepada siswa, seperti selalu
menggunakan nama asli dalam beraktifitas di ruang digital, membuat kata sandi yang kuat
serta tidak memberitahukannya ke pihak lain, mengunci perangkat, melakukan filterisasi
mesin pencarian, tidak membuka sembarang tautan, dan selalu melakukan logout akun.
4. Pengelolaan privasi
Guru juga bisa mengedukasi pentingnya menjaga keamanan data diri agar terhindar dari
penipuan dan pemalsuan identitas. Hal yang bisa diedukasikan seperti tidak memberikan data
diri pada jejaring sosial, tidak menerima pertemanan pada orang tidak dikenal, hingga tidak
memberitahukan lokasi pada jejaring sosial.
5. Berpikir kritis
Guru harus mampu menanamkan pola pikir kritis pada siswa dalam memilih, memilah, dan
menganalisa informasi. Guru bisa emnanamkan paradigma berpikir kritis dengan membangun
pertanyaan 5W+1H. Siapa yang memberikan informasi, apa yang dikatakan, dimana hal itu
terjadi, kapan hal itu dikatakan, mengapa dan bagaimana.
6. Empati digital
Guru juga bisa menumbuhkan rasa empati digital dengan memberikan pengertian kepada
siswa untuk tidak pamer di media sosial, mwngajarkan siswa untuk minta maaf jika berbuat
salah, hingga tidak meneruskan pesan atau video perundungan di media sosial.
Wahyu menambahkan, Kemendikbud Ristekdikti juga membuat lomba terkait konten digital antara
siswa, guru, tenaga pendidik dan semua stakeholder sekolah sebagai bagian dari pendampingan
Kemendikbud Ristekdikti.
“Hal demikian dilakukan untuk membuat jejak digital dan mengarahkan peserta didik dan tenaga
pendidik untuk lebih optimal berkegiatan di dunia digital,” tutupnya.
“Kemkominfo dan Siberkreasi berkomitmen akan terus melakukan upaya peningkatan literasi digital
masyarakat melalui berbagai macam inisiatif kegiatan, yang diharapkan dapat memfasilitasi dan
semakin mendorong terwujudnya masyarakat digital Indonesia,” kata Semuel. (lry)
@@@@@@@
Nasionalisme? ya benar nasionalisme. Satu kata yang memiliki makna luar biasa.
Sering kali kita mengetahui nasionalisme itu dengan arti cinta terhadap tanah air. Tanah
air kita tentunya, Indonesia tercinta. Sebenarnya apa itu nasionalisme? nasionalisme
dapat diartikan sebagai suatu paham yang menganggap kesetiaan tertinggi atas setiap
pribadi harus disertakan kepada Negara kebangsaan (nation state) atau sebagai sikap
mental dan tingkah laku individu maupun masyarakat yang menunjukkan adanya
loyalitas dan pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan negaranya. Rasa cinta tanah
air yang tidak berlebihan tentunya.
Generasi muda Indonesia adalah generasi penerus bangsa ini. Bangsa akan menjadi
maju bila para pemudanya memiliki sikap nasionalisme yang tinggi. Namun dengan
perkembangan zaman yang semakin maju, malah menyebabkan semakin memudarnya
rasa nasionalisme dikarenakan adanya pengaruh barat yang sedang melanda generasi
muda di Indonesia. Nasionalisme sangat penting terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara karena merupakan wujud kecintaan dan kehormatan terhadap bangsa
sendiri. Dengan hal itu, pemuda dapat melakukan sesuatu yang terbaik bagi
bangsanya, menjaga keutuhan persatuan bangsa, dan meningkatkan martabat bangsa
dihadapan dunia.
Namun, dengan memudarnya rasa nasionalisme dapat mengancam dan
menghancurkan bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena ketahanan nasional akan
menjadi lemah dan dapat dengan mudah ditembus oleh pihak luar. Dengan kata lain,
Bangsa Indonesia telah dijajah oleh generasi mudanya dengan semakin memudarnya
rasa nasionalisme terhadap bangsa Indonesia. Bukan dijajah dalam arti fisik, melainkan
dijajah secara mental dan ideologinya.
@@@@@@
Nasionalisme Generasi Muda (Studi Modal Bangsa Menghadapi Globalisasi) Warsono Deskripsi
Dokumen: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=133651&lokasi=lokal
------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak Globalisasi sebagai hasil
kemajuan teknologi komunikasi dan transfortasi telahmenghilangkan batas-batas kenegaraan, yang
memungkinkan setiap orang dapat berinteraksi dengan siapa saja dalam waktu singkat. Globalisasi
mengandung bahaya, sebab ada kecenderungan mengarah pada pandangan homogenitas dan
hegemoni budaya. Meskipun demikian, globalisasi juga sering dihubungkan dengan sifat-sifat modern
yang dikomunikasikan dengan dunia barat, yang dianggap memiliki budaya lebih baik. Budaya yang
berasal dari Barat selalu dianggap sebagai ciri dari masyarakat modern dan global. Cara pandang yang
seperti ini, melanda sebagian generasi muda kita. Akibatnya, sebagian generasi muda meninggalkan
identitas kulturalnya. Mereka lebih mengagungkan segala yang berasal dari Barat. Pandangan ini akan
mengarah pada homogenitas dan kesamaan budaya, sehingga muncul anggapan bahwa yang besar itu
lebih baik (bigger is better) dan mengabaikan heterogenitas yang bersifat lokal. Di tengah globalisasi,
sesungguhnya tetap membutuhkan identitas nasional sebagai pembeda dari bangsa lain. Ada dua krisis
penting yang di alami generasi muda di eforia globalisasi. Pertama, krisis jati diri atau krisis identitas.
Kedua, krisis nasionalisme. Krisis identitas disinyalir karena bangsa Indonesia telah meninggalkan nilai-
nilai Pancasila, dan terjebak pada nilai-nilai materialis, pragmatis dan hedonis, sehingga generasi muda
mengalami kemerosotan moral. Sementara itu krisis nasionalisme, seperti yang ditunjukkan oleh hasil
survey yang dilakukan oleh salah satu stasiun TV swasta Indonesia, bahwa tidak semua generasi muda
hafal tentang lagu Indonesia Raya dan Pancasila. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki
kepedulian terhadap simbol-simbol bangsa dan negara, yang pada gilirannya diragukan pelaksanaannya
dalam kehidupan bernegara. Globalisasisasi yang ditandai dengan homogenisasi, tetap dibutuhkan
kepribadian yang jelas sebagai identitas diri setiap bangsa. Penelitian ini merupakan penelitian
eksplorasi, yang dimaksudkan untuk mengetahui tingkat nasionalisme generasi muda sebagai modal
bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi dan sekaligus mengetahui respon para pelajar terhadap
pendidikan Pancasila yang selama ini menjadi instrumen pembangunan nasionalisme dan jati diri
bangsa. Populasi dalam penelitian ini adalah pelajar di Jawa Timur, khususnya palajar Sekolah
Menengah Atas (SMA). Pengambilan sampel dilakukan dengan mempertimbangkan wilayah budaya
Jawa Timur, yaitu Surabaya (budaya arek), Sampang (budaya Madura), Banyuwangi (budaya Osing),
Pasuruan (budaya pendalungan), dan budaya Mataraman (Madiun). Hasil penelitian ini menunjukkan
beberapa dimensi penting. Pertama, Tingkat Nasionalisme Generasi Muda Khususnya Para Pelajar di
Jawa Timur. Pada umumnya generasi muda masih menjunjung tinggi kesatuan, kesamaan, kepribadian
yang tinggi. Namun terkait dengan dimensi kemerdekaan, muncul rasa ketidak pedulian atau sikap
apatis generasi muda pada lingkungan yang ada di sekitarnya dan sekaligus mencuatnya rasa
individualisme sehingga tidak mempedulikan kepentingan orang lain. Kondisi ini dipertegas dengan sikap
generasi muda yang tidak memikirkan prestasi dirinya dan berupaya untuk meningkatkan kemajuan
bangsa dan negaranya. iii Kedua, Perbedaan Nasionalisme Pelajar dari Sekolah Agama dan Sekolah
Umum. Antara generasi muda yang memiliki latar belakang sekolah umum dengan latar belakang
sekolah agama memiliki kecenderungan rasa nasionalisme yang hampir sama. Ada sedikit yang
membedakan rasa kesamaan (equality) generasi muda yang memiliki latar belakang agama memiliki
kecenderungan bersikap eklusifisme yaitu adanya anggapan bahwa identitas yang melekat dalam dirinya
baik agama, partai politik, norma dan status sosial ekonomi dianggap sebagai pilihan yang terbaik.
Ketiga, Pendidikan Pancasila sebagai Instrumen Pembangunan Jati Diri dan Nasionalisme. Ada tiga hal
penting yang dapat dicermati disini. Pertama, Pendidikan PPKn (Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan) dapat difungsikan sebagai pembentuk jati diri dan jiwa nasionalisme. Oleh karena itu
perlu adanya guru PPKn yang cerdas dan mampu difungsikan sebagai suri tauladan. Kedua, Pendidikan
Pancasila difungsikan sebagai instrumen rasa nasionalisme. Ketiga, Pendidikan Pancasila mampu
membentuk jati diri seseorang. Hasil penelitian ini memberikan saran beberapa hal: (1) Perlu adanya
peningkatan rasa nasionalisme generasi muda. Oleh karena itu berbagai pihak yang terkait perlu
melakukan penatataan baik melalui muatan kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai event yang
ditengarai mampu memberikan latihan-latihan untuk memupuk rasa nasionalisme yang tinggi; (2)
Peningkatan rasa nasionalisme ini harus dilakukan pada setiap generasi muda tanpa mempertimbangkan
ideologi yang melatarbelakangi sekolahnya; dan (3) Mengingat Pendidikan Pancasila mampu sebagai
Instrumen Pembangunan Jati Diri dan Nasionalisme maka perlu dilakukan konstruksi ulang terhadap
materi yang menjadi muatan Pendidikan Pancasila
@@@@@@@
Abstract
ABSTRAK
Bangsa Indonesia sebagai negara tidak bisa menghindari tantangan globalisasi, tetapi dengan berpegang
pada Pancasila sebagai panduannya prinsip, Indonesia akan dapat mempertahankan identitas dan
eksistensinya. Makalah ini berisi bahwa memelihara semangat nasionalisme dalam pikiran generasi muda
sejak masa kanak-kanak akan membuat mereka lebih tangguh terhadap pengaruh negatif dan perubahan
moral merajalela di era globalisasi. Jadi, dengan memperkuat moralitas dan etika melalui pendidikan
Pancasila, generasi muda Indonesia Indonesia akan lebih siap menghadapi globalisasi dan mempertahankan
identitas Indonesia pada saat yang bersamaan.
Nilai kebudayaan yang menjadi karakteristik bangsa Indonesia, seperti gotong royong, silahturahmi, ramah
tamah dalam masyarakat menjadi keistimewaan dasar yang dapat menjadikan individu-individu masyarakat
Indonesia untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan bangsa sendiri. Tapi karakteristik masyarakat
Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan sopan santun kini mulai pudar sejak masuknya
budaya asing ke Indonesia yang tidakbisa diseleksi dengan baik oleh masyarakat Indonesia. Maka, dalam
hal inipemerintah memiliki peranan penting untuk mempertahankan nilai-nilaikebudayaan Indonesia dalam
kehidupan masyarakatnya.
Berikut ini adalah beberapa cara untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia agar tidak terpengaruh oleh
kebudayaan asing yang bersifat negatif, 1) Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal
semangat mencintai produk dan kebudayaan dalam negeri. 2) Menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai
Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3) Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik-
baiknya. 4) Selektif terhadap kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia. 5) Memperkuat dan
mempertahankan jatidiri bangsa agar tidak luntur. Dengan begitu masayarakat dapat bertindak bijaksana
dalam menentukan sikap agar jatidiri serta kepribadian bangsa tidak luntur karena adanya budaya asing
yang masuk ke Indonesia khususnya.
@@@@@@@
Daftar Pustaka
Umra, Sri Indriyani. Penerapan Konsep Bela Negara, Nasionalisme
Atau Militerisasi Warga Negara. Juenal No. 1 Vol. 4 Januari 2019.
@@@@@@@@@
Jika sebelumnya, kegiatan untuk memperingati Harkitnas yang paling sering dilakukan adalah
dengan melaksanakan upacara di sekolah atau kantor. Akan tetapi, berhubung saat ini sedang
pandemi Covid-19, sekolah dan kantor tidak menyelenggarakan kegiatan upacara guna pemutus
rantai penyebaran virus corona.
Meski begitu, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan rasa
nasionalisme dalam diri generasi muda, seperti pada ulasan berikut ini!
Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki aneka ragam budaya. Setiap daerah dari
Sabang sampai Marauke memiliki budaya yang berbeda-beda. Sebut saja, mulai dari suku, adat
istiadat, rumah, pakaian, Bahasa, alat musik, tari-tarian dan masih banyak lainnya.
Dengan mengenal keragaman budaya setiap daerah di Indonesia, tentunya Anda sudah
menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri. Tak perlu berkunjung ke setiap daerah, Anda bisa
mengenal keragaman budaya Indonesia melalui Youtube.
2. Napak Tilas Sejarah ke Museum
Memperingati hari kebangkitan nasional, Anda juga bisa dengan melakukan napak tilas
sejarah dengan berkunjung ke setiap museum. Di setiap museum tentunya memberikan cerita
sejarah yang berbeda-beda dan patut Anda ketahui.
Misalnya saja, Museum Nasional (Monas) yang menceritakan tentang perlawanan dan
perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari pemerintah colonial Hindi
Belanda. Kemudian museum Fatahillah untuk mengenang jasa Sang Panglima asal Demak,
pendiri kota Jayakarta yang juga berjasa mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan masih banyak
museum lainnya.
Jika Anda dan saudara atau kerabat ingin berkunjung ke museum dalam rangka memperingati
Harkitanas, sebaiknya cari informasi terlebih dahulu mengenai jam operasional setiap museum.
Sebab, di masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan
pengunjung di tempat-tempat rekreasi termasuk museum.
Selain itu, tetaplah menerapkan protokol kesehatan selama di museum dengan memakai masker,
menjaga jarak antar pengunjung dan cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir atau pakai
handsanitizer.
3. Menonton Film Tema Sejarah atau
Nasionalisme
Bagi Anda yang suka film, menonton film yang bertemakan sejarah atau nasionalisme tentunya
menjadi solusi yang tepat dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional ini. Sekarang ini,
industri film Indonesia banyak memproduksi film-film bersejarah yang patut diacungi jempol.
Berikut beberapa film tema Nasionalisme yang bisa Anda tonton bersama keluarga, antara lain:
· Soegija
Baca Juga: 10 Festival Budaya RI yang Sudah Mendunia dan Selalu Bikin Kangen
Liburan
4. Berprestasi dan Mengharumkan Negara
Menumbuhkan rasa semangat perjuangan dan nasionalisme juga bisa didapatkan dari perolehan
prestasi di segala bidang yang Anda dapatkan dari duduk di bangku sekolah, universitas hingga
saat ini. Dengan prestasi tersebut, Anda sudah turut mengharumkan nama negara Indonesia.
Misalnya sering memenangkan perlombaan akademik dan non-akademik antar sekolah, tingkat
nasional atau internasional. Selain itu juga, sukses menjalankan bisnis yang penjualannya hingga
ke luar negeri juga termasuk prestasi dalam berkarir.
5. Menggunakan dan Mencintai Produk dalam
Negeri
Hingga saat ini, masih banyak orang yang suka membeli produk brand luar negeri. Padahal,
banyak produk lokal yang kualitasnya tak kalah bagus dengan brand luar. Apalagi sekarang ini
juga banyak produk buatan tangan orang Indonesia mulai dari kerajinan tangan, tas, baju, dan
sebagainya yang dijual ke pasar luar negeri.
Dengan membeli, menggunakan dan mencintai produk dalam negeri, bukan hanya mendukung
bisnis lokal menjadi lebih maju dan berkembang saja, tapi Anda juga turut menumbuhkan rasa
nasionalisme yang tinggi dalam diri untuk bangsa Indonesia.
Baca Juga: 10 Brand Indonesia yang Mendunia ini Dikira Milik Luar Negeri
Tanamkan Rasa Nasionalisme dalam Diri Sejak
Dini
Untuk menumbuhkan rasa nasionalisme bukan hanya disaat sedang memperingati hari bersejarah
saja, tapi bisa dilakukan setiap saat dan kapan saja. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk
menumbuhkan nasionalisme dalam diri sejak dini. Selain cara yang telah disebutkan di atas, ada
cara sederhana lainnya, mulai dari bermain game, mendengarkan lagu-lagu sejarah dan
sebagainya. Bagi Anda yang sudah memiliki anak, adik atau saudara yang masih kecil, tak ada
salahnya berikan pengertian dan tanamkan sikap nasionalis dalam diri mereka.