Anda di halaman 1dari 11

http://www.detikinet.

com/read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna -internet-indonesiacapai-45-juta

Pengguna internet di Indonesia dalam waktu cukup singkat langsung meledak pertumbuhannya. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), jumlahnya sudah mencapai 45 juta. Demikian disampaikan Plt Dirjen Postel Muhammad Budi Setiawan di sela Rakernas APJII 2010 dan IPv6 Summit yang berlangsung di Padma Resort Bali, 8-9 Juni 2010. "Sudah ada sekitar 45 juta pengguna. Angka itu didapat dari pengakses internet di komputer dan ponsel," tukasnya, kepada detikINET. Padahal menurut Menkominfo Tifatul Sembiring -- di tempat yang sama -- ia menyatakan bahwa pada tahun 1999 jumlah pengguna internet di Tanah Air baru ada di angka 1 juta pengguna. Jad bisa i dibayangkan seberapa cepat lonjakannya. Pertumbuhan pengguna internet di ponsel, kata dirjen postel, dalam beberapa waktu belakangan memang tumbuh sangat cepat bak cendawan di musim hujan. Hal itu bisa dilihat dari jumlah pelanggan telekomunikasi seluruh operator di Tanah Air yang kini sudah mencapai 170 juta. Nah, dari jumlah itu, 85 juta di antaranya diyakini sudah menggunakan ponsel yang mempunyai kemampuan minimal GPRS untuk mengakses internet. Artinya, untuk terjun ke dunia maya saat ini sudah sangat mudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia. "Indonesia sendiri menargetkan separuh penduduknya sudah memiliki akses internet pada 2015 nanti sesuai dengan misi World Summit on the Information Society (WSIS). Jadi kalau ada 240 juta penduduk Indonesia, maka kita menargetkan 120 juta di antaranya sudah mengakses internet," pungkas dirjen postel.

2015 Pengguna Internet Naik100%


Posted on September 1, 2010 by berita terbaru Di tahun 2015 jumlah pengguna internet akan semakin bertambah, Konsumen akan lebih banyak mengakses ke Internet, mereka juga akan menghabiskan lebih banyak waktunya online.

Jumlah pengguna internet di Indonesia dan empat negara lainnya Brazil, Russia, India, China diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2015. Berdasarkan data Boston Consulting Group, jumlah pengguna internet di lima negara tersebut mencapai 1,2 miliar orang. Selain itu, prediksi yang dikeluarkan Boston pada 1 September 2010 menyebutkan bahwa pengakses internet melalui perangkat mobile di lima negara tersebut secara keseluruhan mencapai 920 juta Konsumen akan lebih banyak mengakses ke Internet, mereka juga akan menghabiskan lebih banyak waktunya online, dan tentu saja memberikan kesempatan tersendiri bagi perusahaan telekomunikasi. Gelombang peningkatan jumlah pengguna internet ini akan menguntungkan perusahaan-perusahaan telekomunikasi dan media seperti Tencent Holdings, China dan operator telekomunikasi seperti PT Telekomunikasi Indonesia. Pasar Internet berkembang di negara-negara dengan tingkat penetrasi yang rendah dan ekonomi yang kuat, dan kelima negara ini masuk ke dalam kategori ini, kata Jake Li, analis Internet Guotai Junan Securities di Shenzhen, China seperti dilansir Bloomberg, Rabu (1/9/2010). Peluang untuk iklan online dan e-commerce di pasar ini sangat besar, tambah Li. Senada hal itu, Head of Asian Telecommunications Research HSBC Holdings Plc Tucker Grinnan mengatakan dari tiga pasar, China, India dan Indonesia, HSBC melihat bahwa Indonesia memiliki prospek terbaik untuk pertumbuhan organik pendapatan telekomunikasi. Masih ada peluang di wilayah-wilayah pedesaan yang sangat besar. kata Grinnan Jumlah pengakses internet akan mencapai 100 persen dari jumlah penduduk pada tahun 2015 yang berarti beberapa pengguna akan memiliki beberapa perangkat, kata Grinnan. okezone.com 64 Persen Pengguna Internet Ternyata Remaja Jumat, 27 Agustus 2010 | 16:04:25

NET

JAKARTA (EKSPOSnews): Niat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam memblokir situs-situs porno bukan tanpa alasan. Dikatakan, nyaris dua per tiga dari total pengguna Internet di Indonesia adalah remaja. Menurut temuan Kemenkominfo dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), total pengguna Internet di Indonesia saat ini menembus 40 juta pengguna. Dari angka itu, 64 persen adalah remaja.

"Dari laporan terakhir yang saya dapat, pengguna Internet di dunia sudah menembus angka 1,7 miliar. Di Indonesia sendiri sudah mencapai 40 juta pengguna," ujar Djoko Agung, Sekretaris Dirjen Aptel (aplikasi telematika), di sela Talkshow Internet Sehat di Ponsel, Jakarta, Kamis 26 Agustus 2010. "Artinya, Internet saat ini memegang peranan penting bagi generasi masa depan Indonesia. Pengaruhnya sangatlah besar," tuturnya. Untuk itu, kata Djoho, perlu ada pemanfaatan teknologi yang tepat mulai dari sekarang. Selain sosialisasi program Internet sehat, sisi pemerintah perlu melakukan beberapa upaya preventif, seperti misalnya pemblokiran akses situs porno. "Seperti yang kami lakukan saat ini. Tak hanya di bulan Ramadhan, tapi akan efektif untuk seterusnya," jelas dia. Selain Internet sehat, lanjutnya, remaja juga perlu diberi arahan penggunaan Internet yang aman. Diketahui, saat ini tingkat kejahatan dunia maya (cyber crime) meningkat sangat tajam, dibandingkan tingkat kejahatan narkotika terus menurun. Menurut Djoko, ada dua karakter kejahatan dunia maya yang mendasar dan kerap terjadi di Indonesia. Pertama, sistem elektronik yang dirusak atau diserang (hack/deface). Kedua, memanfaatkan dunia maya sebagai media baru melakukan kejahatan konvensional seperti, menyebar konten pornografi, pencemaran nama, pembajakan, dan sebagainya. "Untuk mengantisipasi hal tersebut, kami sudah menyiapkan contact center di hotline 02138997800 yang mulai efektif sejak 16 Agustus lalu. Masyarakat juga bisa mengirim aduan via e-mail ke aduankonten@depkominfo.go.id,"ujarnya. (vn)

http://eksposnews.com/view/2/15632/64-Persen-Pengguna-Internet-Ternyata-Remaja.html

Strategi Membudayakan Gemar Membaca Di Daerah


An article by Lina Khoerunnisa No Comments Download PDF Dunia kini dihadapkan pada suatu perubahan era global dan perdagangan bebas yang sangat cepat dan kompetitif. Dan untuk itu peningkatan SDM Indonesia yang tersebar pada 33 provinsi, 394 Kabupaten dan 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113 kelurahan, dan 62.806 desa agar berkualitas adalah sebuah keharusan. Maka untuk merespon realitas kehidupan tersebut perpustakaan memiliki peran strategis sebagai media transfer perubahan. Perpustakaan diharapkan dapat menjadi mediator bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap bersaing diera globalisasi informasi ini. Menyadari akan tanggung jawabnya dengan

mempertimbangkan eksistensi perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional. Salah satu cara penyelenggarakan pendidikan tepat adalah dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Penegasan itu jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional, Bab III Pasal 4 ayat 5. Begitu pentingnya sehingga lelulur bangsa Indonesia menciptakan ungkapan membaca adalah kunci ilmu, sedangkan gudang ilmu adalah buku. Lalu bagaimana kondisi dunia baca di Indonesia? Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003 dapat dijadikan gambaran bagaimana minat baca bangsa Indonesia. Data itu menggambarkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada minggu hanya 55,11%. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22%, buku cerita 16,72%, buku pelajaran sekolah 44.28%, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07%. Selanjutnya data BPS lainnya menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan membaca sebagai informasi. Orang lebih memilih televisi dan mendengarkan radio. Malahan, kecenderungan cara mendapatkan informasi lewat membaca stagnan sejak 1993. Hanya naik sekitar 0,2%. Jauh jika dibandingkan dengan menonton televisi yang kenaikan persentasenya mencapai 211,1%. Selanjutnya data lain menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5% dari total penduduk. Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9% dan mendengarkan radio sebesar 40,3%. Angka-angka tersebut menggambarkan bahwa minat penduduk Indonesia masih rendah. Padahal, untuk meningkatkan minat baca, harus dimulai sejak anak-anak. Namun, saat ini pun kondisi kemampuan membaca (reading literacy) anak Indonesia masih rendah. Tidak perlu membandingkan dengan negara yang sudah maju, dengan sesama negara yang berkembang lainya pun kemampuan membaca anak-anak Indonesia masih rendah. Bahkan data dari catatan International Educatoional Achievement, sejak dua tahun lalu menunjukkan bahwa kemampuan membaca para siswa di Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Implikasinya, UNDP menempatkan kita dalam urutan rendah dalam hal pembangunan SDM. Pada negara maju, membaca merupakan bagian dari hdup sekaligus hiburan. Makanya banyak fasilitas dibangun juga referensi bacaan yang beragam. Di Jepang ada prinsip teman duduk terbaik adalah buku. Di tempat-tempat umum kebiasaan itu terpelihara dan di sekolah mewajibkan para siswa membaca 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar. Sejak Restoraji Meiji lebih seabad lalu, Jepang punya tekad mengejar kemajuan kebudayaan barat. Sampai sekarang ribuan buku asing terutama dari Amerika dan Eropa telah diterjemahkan kedalam bahasa Jepang. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta ekslempar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta majalah dan tiap tahunnya tercetak lebih dari 1 miliar buku. Sementara itu, di negeri Serawak Malaysia, tengah digalakan minat membaca melalui keteladanan orang tua. Pustaka publik di negeri Serawak Malaysia menyiasati dan meminta kerjasama orang tua untuk menanamkan kebiasaan membaca. Orang tualah yang dipinjami buku, dalam beberapa minggu petugas pustaka public dating kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru.

Bagaimana kita mengukur tinggi rendahnya minat baca sebuah masyarakat? Sekedar merujuk hasil laporan pendidikan dari World Bank menunjukan minat baca siswa kelas VI di Indonesia mencapai nilai 57,1%, sementara di Singapura mencapai 74 % dan Hongkong 75,5%. Kita tidak harus membagakan diri dengan rendahnya minat baca atau berdiam diri tanpa upaya meningkatkan minat baca masyarakat.Di negara kita, khususnya pada tingkat masyarakat bawah, ternyata masih banyak buta aksara yang berimbas pada kurangnya kemampuan membaca serta sulit mencari pekerjaan yang memadai. Kondisi ini berbalik ketimpangannya dibanding dengan kalangan terdidik. Praktisi pendidikan asal Yogyakarta, St Kartono menyebut bila faktor penting dalam masyarakat yang mampu mendorong tumbuhnya minat baca adalah guru. Sebab guru memiliki peluang untuk menciptakan pembelajaran yang berbasis buku, juga mendorong siswa untuk aktif mengeksplorasi konteksnya dalam masyarakat. Tidak ketinggalan bekal teori atau masukan dari berbagai sumber pustaka. Untuk itu keberadaan perpusatakaan juga saat mendukung tumbuhnya minat membaca, bukan semata gudang buku. Karena itu sekolah harus mampu memaksimalkan fungsi perpustakaan, bukan sekadar aktivitas pengisi waktu luang. Dinas pendidikan juga hendaknya bertanggung jawab dengan menempatkan pustakawan pada tiap sekolah agar pengelolaanya benar-benar berjalan. Untuk menunjang minat baca, memang tidak cukup dengan imbauan dan seruan. Butuh kebijakan yang dijalin dalam sistem pendidikan formal, di samping adanya fasilitas pendukung. Dengan menbaca, kita akan rela meninggalkan pandang sempit yang tid sesuai zaman, serta memperoleh ak imajinasi yang kuat untuk ikut mengejar kemajuan dalam berbagai bidang yang juga tengah diraih bangsa-bangsa lain. II. Permasalahan Sebenarnya permasalahan yang paling mendesak untuk diselesaikan oleh bangsa ini adalah perbedaan minat membaca antar daerah di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan minat baca, misalnya antara Provinsi Yogyakarta dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), atau antara Kota Medan dengan Kota Sabang, bahkan perbedaan minat membaca juga terjadi antar desa dengan desa lainnya. Disamping perbedaan minat membaca antar daerah di Indonesia, Indonesia juga mengalami perbedaan jumlah dan kelengkapan sarana dan prasarana perpustakaan di daerah masing-masing. Melalui pendahuluan yang telah disampaikan di atas menjadi permasalahan dalam tulisan artikel ini adalah bagaimana strategi membudayakan gemar membaca di daerah? diketahui Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi, 394 Kabupaten dan 91 kota, 5.263 kecamatan, 7.113 kelurahan, dan 62.806 desa, sadar ataupun tanpa kita sadari pada dasarnya memiliki perbedaan minat baca antara satu daerah dengan daerah lain, perbedaan juga terjadi karena didukung adanya perbedaan dari jumlah dan kelengkapan sarana dan prasarana perpustakaan antar daerah. III. Tujuan Adapun tujuan dari artikel ini adalah menawarkan strategi guna membudayakan gemar membaca di daerah dan mengurangi perbedaan jumlah sarana dan prasarana perpustakaan antar daerah. IV. Landasan Teori

1. Seluk Beluk Perpustakan Versi UU RI No.43 Tahun 2007 Perpustakaan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak dan/atau karya rekam secara professional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka. Perpustakaan memiliki standar nasional terdiri dari standar koleksi, perpustakaan, standar sarana dan prasarana, standar pelayanan perpustakaan, standar tenaga perpustakaan, standar penyelenggara dan standar pengelolaan. Dan dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 menerangkan bahwa perpustakaan memiliki bermacam jenis, yaitu : Pertama, perpustakaan nasional merupakan lembaga pemerintah non-departemen yang melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang perpustakaan dan berkedudukan di ibukota. Berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan depositi, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian, dan pusat jejaring perpustakaan. Kedua, perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama dan status sosial ekonomi. Ketiga, perpustakaan sekolah/madrasah wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satu pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidikan. Keempat, perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Kelima, perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah ibadah atau organisasi lain. Selanjutnya penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan kepemilikan terdiri dari atas: perpustakaan pemerintah, perpustakaan provinsi, perpustakaan kabupaten/kota, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, perpustakaan masyarakat, perpustakaan keluarga dan perpustakaan pribadi. 2. Prilaku dan Pengaruhnya terhadap Minat Baca Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban manusia bisa dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Perpustakaan memang sudah ada sejak zaman purba dengan dibuktikan adanya tulisan atau goresan pada dinding gua, batu ayu dan daun di sekitar mereka tinggal. Masyarakat tersebut telah mulai merekam pengetahuan untuk disimpan dan disebarluaskan kepada sesama kelompoknya. Kemudian adanya tanda gambar, goresan atau tanda-tanda lainnya merupakan buah pikiran mereka dalam kehi, dupannya. Dengan cara sederhana menggunakan media daun, batu, tanah, daun dan sebagainya suatu bukti zaman dahulu juga ada perpustakaan walau medianya tidak seperti sekarang ini. Minat membaca pada dasarnya dipengaruhi juga dari prilaku. Menurut Martin (1992:3) hakikat prilaku pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dikatakan atau dikerakan j seseorang. Sedangkan menurut pendapat Pervin (1997:322) prilaku adalah penampilan yang ditetapkan dalam suatu kejadian yang secara kebetulan dapat berfungsi untuk penguatan (reinforcement). Prilaku ini dapat dipelihara/dipertahankan dalam periode yang cukup lama. Reinforcement artinya sesuatu yang diperkuat atau dipergunakan atau yang selalu diingat kembali. Dali Gulo seperti yang dikutip Sukardi (1983:23) mengatakan bahwa reinforcement ialah tindakan memperkuat dengan menambah sesuatu; setiap keadaan yang memperbesar kemungkinan suatu respons tertentu akan muncul kembali dalam situasi yang sama; dalam

operant conditioning, merupakan prosedur eksperimental untuk segera menyertai sebuah respons dengan sebuah reinforcement dengan tujuan untuk memperkuat respons tersebut. Dalam kaitan ini maka perubahan prilaku dapat dilakukan melalui reinforcement kepada si subyek belajar yang dalam kesempatan kali ini adalah para pemakai perpustakaan di kalangan siswa madrasah yang mencari buku sumber belajar atau informasi sesuai dengan kebutuhan pelajaran. Makmun menyatakan (2001:27) dengan menggunakan konsep dasar psikologis, khususnya dalam konteks pandangan behaviorisme, kita dapat menyatakan bahwa praktik pendidikan itu pada hakikatnya merupakan usaha conditioning ( penciptaan seperangkat stimulus) yang diharapkan pula menghasilkan pola-pola prilaku (seperangkat response) tertentu. Sehingga keberadaan pendidikan pemakai bagi para siswa dan masyarakat (pengguna perpustakaan) diharapkan dapat menghasilkan pola-pola prilaku prestasi belajar (achievment) dalam termterm pengetahuan (penalaran), sikap (penghayatan) dan keterampilan (pengamalan) dalam menggunakan sarana perpustakaan secara efektif. Indikator-indikator atau manifestasi dari perubahan dan perkembangan prilaku tersebut bisa berupa: Pengetahuan (Kognitif), misalnya: dari yang tadinya tidak mengetahui penggunaan susunan klasifikasi untuk pengelolaan buku-buku di rak menjadi tahu makna dan manfaatnya, sehingga dapat menggunakan katalog untuk penemuan kembali buku-buku yang dibutuhkan. Sikap (Affektif), misalnya; dari yang tadinya bersikap bahwa perpustakaan hanya sebagai tempat penyimpanan buku menjadi perpustakaan sebagai tempat untuk mencari informasi (sumber belajar), sehingga selalu datang ke perpustakaan untuk memenuhi segala kebutuhan informasinya baik itu yang berhubungan langsung dengan pelajarannnya maupun untuk keperluan informasi lainnya. Keterampilan (Psycomotoric), misalnya: dari yang tadinya sering mengabaikan atau membuat susunan koleksi buku atau koleksi lainnya berantakan, menjadi perhatian untuk memelihara keberadaannya dengan cara menjaga kerapihan dan menempatkan kembali sesuai dengan susunan klasifikasi atau call number buku di rak atau sarana perpustakaan lainnya. Ragam prilaku yang ingin diperoleh sebagai hasil belajar tersebut meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini sejalan dengan Bloom (1981:7) seperti yang dikutip Makmun (2001:28) yang mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni: kognitif, afektif dan psikomotor. (Makmun, Abin Syasudin, 2001:28) Apakah arah ( positif, negatif, atau meragukan ) dari perubahan dan perkembangan itu serta kualifikasinya ( tinggi, sedang, rendah atau gagal/berhasil, memadai, tidak memadai, lulus atau tidak lulus, memuaskan atau tidak memuaskan, dapat diterima atau tidak, berdasarkan perangkat kriteria yang telah ditetapkan) jelas akan bergantung pada faktor (conditioning, pendidikan) di samping faktor (siswanya, pelajar). Konstribusi pengaruh pendidikan pemakai secara teoritis dapat dilihat dari segi atau aspek apa yang diharapkan oleh pendidikan pemakai perpustakaan terseb ut untuk setiap jenjangnya. Pendidikan pemakai atau seringkali disebut user education adalah suatu proses di mana pemakai perpustakaan pertama-tama disadarkan oleh luasnya dan jumlah sumber-sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi yang terse bagi pemakai, dan kedua dia diajarkan bagaimana menggunakan sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi tersebut yang tujuannya untuk mengenalkan keberadaan perpustakaan, menjelaskan mekanisme penelusuran informasi serta mengajarkan pemakai ba gaimana mengeksploitasi sumber daya yang tersedia (Ian malley dalam Akhmad Maskuri, 1995: 10). Dengan pandangan bahwa perpustakaan merupakan jantungnya sebuah institusi pembelajaran dan

pendidikan, maka para pemakai perpustakaan dituntut agar menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat menggunakan atau memanfaatkan berbagai fasilitas perpustakaan dengan efektif, terlebih dengan adanya ledakan informasi pada era globalisasi ini. Dalam hal ini Davies (1973:39) mengatakan, learning how to use library is a basic component of (any) instructional programs. Belajar bagaimana menggunakan perpustakaan merupakan salah saatu komponen dari program -program pebelajaran. Lebih jauh lagi Rice (1981:3) berpendapat bahwa: Education has always included a commitment to strong library collection and some instruction in its use. Morever, in recent years more and more educators and librarians at all levels have decided that every citizen should have basic skill in library research. The need for quick and current information is becoming perpasive in every human endevor. Students who dont acquire essential library use competencies are now more likely to consider it major shortcoming in thier education. Dalam hal ini Rice menjelaskan bahwa pendidikan biasanya selalu mempunyai komitmen untuk memperkuat koleksi perpustakaan dan pengajaran mengenai penggunaannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Tan Ngee Tiang (1996) bahwa the ability to acquire these information skills, however are not innate. It must be conciously acquired V. Pembahasan Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah adalah sarana dan prasarana k hususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan buku-buku yang memadai dan bermutu serta ditunjang eksistensi perpustakaan. Perpustakaan merupakan sarana sumber belajar yang efektif untuk menambah pengetahuan melalui beraneka bacaan. Berbeda dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari secara klasikal di sekolah, perpustakaan menyediakan berbagai bahan pustaka yang secara individual dapat digumuli peminatnya masing-masing. Ketersediaan beraneka bahan pustaka memungkinkan tiap orang di daerah baik dari level desa, kecamatan, kabupaten sampai provinsi masyarakatnya mampu memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Kalau warga masyarakat menambah pengetahuannya melalui pustaka pilihan nya, akhirnya merata pula peningkatan taraf kecerdasan mereka. Kalau kita sepakat bahwa perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh meningkatnya taraf kecerdasan warganya. Oleh karena itu, kehadiran perpustakaan dalam suatu lingkungan kemasyarakatan dapat turut berpengaruh terhadap teratasinya kondisi ketertinggalan masyarakat yang bersangkutan. Perpustakaan juga harus bisa diandalkan untuk menyediakan buku-buku bermutu. Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, tata letak, atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat merangsang birahi membaca orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat serta harganya terjangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya, akan tercipta sebuah kondisi masyarakat konsumen membaca yang akan mengonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian. Namun, jumlah perpustakaan di Indonesia masih amat kurang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang lebih dari 220 juta jiwa. Alfons Taryadi dalam bukunya, Buku dalam Indonesia Baru, terbitan Yayasan Obor Indonesia terdapat satu perpustakaan nasional,

117.000 perpustakaan sekolah dengan total koleksi 106 juta buku, 798 perpustakaan khusus. Sedangkan, perpustakaan yang disediakan untuk masyarakat umum hanya 2.583 perpustakaan. Bila dirasionalkan, perpustakaan umum yang ada harus sanggup untuk melayani 85 ribu penduduk. Kondisi perpustakaan di hampir daerah masih belum memenuhi standar. Perpustakaan belum sepenuhnya belum berfungsi disana. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan belajar sangat vital bagi muridnya. Perluasan jangkauan layanan perpustakaan, baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulus membaca sesama warga masyarakat. Perpustakaan sekarang ini telah maju dengan dikelola secara profesional dengan berbagai teknologi dalam system pengelolaan rekaman, gagasan, pemikiran, pengalaman dan pengetahuan umat manusia dalam rangka melestarikan hasil budaya umat manusia berbentuk dokumen karya cetak dan karya rekam lainnya, serta menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian lahirlah manusia yang mempunyai budaya baca dan belajar sepanjang hayat. Perpustakaan bagi manusia bertujuan untuk menciptakan manusia yang cerdas dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup. Dengan demikian perpustakaan menjalankan fungsi utamanya menjadi wahana pembelajaran masyarakat demi mempercepat tercapainya tujuan manusia cerdas. Diharapkan di masa kini dan yang akan datang perpustakaan di Indonesia menjadi bagian hidup keseharian masyarakat Indonesia dan merupakan kebutuhan hidup sehari-hari. Peranan perpustakaan dalam menumbuh kembangkan minat baca dan cinta buku merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab menciptakan manusia cerdas, terampil, dan berkualitas ditentukan oleh membaca. Tanpa membaca tiada berarti apa-apa bagi manusia. Karena itu perpustakaan bagian dari sarana untuk mencerdaskan anak bangsa, baik itu perpustakaan negara, provinsi, kota/ kabupaten, perpustakaan remaja masjid, perpustakaan lembaga swadaya masyarakat individu dan lain-lainnya. Dengan membaca buku manusia bisa belajar dari buku tersebut. Manusia bisa mencari dan menemukan apa yang belum diketahuinya. Karena itu peran perpustakaan untuk menciptakan manusia cerdas bagian terpenting untuk membentuk sumber daya manusia yang berstandar kompetensi di era global ini. Strategi yang dapat digunakan untuk membudayakan gemar membaca di daerah adalah dengan memperluas jangkauan layanan perpustakaan sampai ke desa-desa. Dengan membangun keseimbangan sarana dan prasarana perpustakaan antar wilayah atau daerah . Selanjutnya strategi untuk dapat menumbuhkan budaya gemar membaca di daerah adalah dengan proses pendidikan pemakai (pengguna perpustakaan) dengan pendekatan prilaku sebagaimana yang telah disampaikan oleh Martin (1992:3), Pervin (1997:322), dan Makmun (2001:27) dengan konsep dasar psikologisnya. Dengan sentuhan perubahan prilaku para pemakai perpustakaan (pengguna) baik secara pengetahuan (kognitif), sikap (affektif), keterampilan (psycomotoric). Pada dasarnya pemakai perpustakaan pertama-tama disadarkan oleh luasnya dan jumlah sumber-sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi yang tersedia bagi

pemakai, dan kedua diajarkan bagaimana menggunakan sumber perpustakaan, jasa layanan, dan sumber informasi tersebut yang tujuannya untuk mengenalkan keberadaan perpustakaan, menjelaskan mekanisme penelusuran informasi serta mengajarkan pemakai bagaimana mengeksploitasi sumber daya yang tersedia (Ian malley dalam Akhmad Maskuri, 1995: 10). Dengan pandangan bahwa perpustakaan merupakan jantungnya sebuah institusi pembelajaran dan pendidikan, maka para pemakai perpustakaan dituntut agar menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk dapat menggunakan atau memanfaatkan berbagai fasilitas perpustakaan dengan efektif, terlebih dengan adanya ledakan informasi pada era globalisasi ini. Guna menarik masyarakat daerah agar lebih dekat dengan perpustakaan dapat digunakan cara menjadikan wisata perpustakaan dengan beberapa teknik yang bisa dilakukan dalam memandu wisata perpustakaan, antara lain: Menciptakan suasana yang bersahabat dan informal serta terbuka untuk beberapa pertanyaan. Usahakan berbicara tidak terlalu cepat dan sensitif terhadap kebingungan yang dialami pemakai. Gunakan sarana pembantu untuk memperjelas sesuatu yang didiskusikan, misal: penggunaan katalog. Buatlah para peserta berperan aktif untuk mencoba menggunakan fasilitas yang ada. Waktu yang digunakan tidak terlalu lama, maksimal 45 menit. Sediakan buku panduan yang dapat membantu mereka selama mengikuti wisata perpustakaan tersebut. Alhasil, dengan meningkatkan budaya gemar membaca di daerah yang didukung ketersediaan sarana dan prasarana perpustakaan merata antar daerah, maka akan dapat mewujudkan kecintaan masyarakat terhadap perpustakaan itu sendiri. VI. Kesimpulan dan Saran Untuk membudayakan gemar membaca di daerah maka diperlukan usaha-usaha sebagai berikut: Perluasan jaringan perpustakaan sampai ke desa-desa dengan tetap memperhatikan kelengkapan sarana dan prasarana perpustakaan antar wilayah atau daerah yang menjadi tanggung jawab pempinan daerah. Dan untuk mengikat hal tersebut bisa ditetapkan melalui Perda/Qanun dan komitmen bersama untuk tetap memperhatikan perpustakaan yang ada. Selanjutnya usaha lain untuk menumbuhkan/membudayakan gemar membaca di daerah adalah dengan usaha menerapkan pendidikan pemakai perpustakaan di daera mulai dari h provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa sebagai usaha untuk memberikan atau menggali potensi-potensi masyarakat dalam mencari dan mendayagunakan sumber sumber informasi yang ada di perpustakaan khususnya, atau pusat-pusat informasi lainnya. Hal ini dilakukan tidak lain agar masyarakat di daerah mendapatkan keterampilan dan potensi diri untuk bekal belajar seumur hidup di manapun mereka berada dan sekaligus guna menumbuhkan masyarakat daerah yang cinta perpustakaan. Daftar pustaka Bloom, Benjamin S., (1981). Taxonomu of Educational Objective, Handbook I Cognitive Domain. New York: Longman. Budimansyah, Dasim, (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: PT. Ganeshindo.

Davies. R.H. and Stimberling, (1973). Lifelong Educat ion and the School. Hamburg: UNESCO Institute for education. Fjallbrant, Nancy, (1978). User education libraries. London: Clive Bingley. Kosterman, Wayne. (1978). A Guide to library environment graphics. Library Technology Reports. 14 (May-June 1978): 269-95 Makmun, Abin Syamsudin, (2001). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya. Martin, Garry and Joseph Pear, (1992). Behavior Modification. New Jersey: Prentice Hall. Maskuri, Akhmad, (1994). Perpustakaan, Warta Pustaka, Vol. 1, (4), p.10 Pervin, Lawrence A. and Oliver F. John, (1997). Personality Theory and Research. USA: John Wiley & Son inc. Rice, James, (1981).Teaching Library Use: A Guide for library Instruction. London: Greenwood Press. Rosyada, Dede, (2004). Perpustakaan Sebagai Pusat Pembelajaran: Analisis Arah Perubahan Pendidikan dan Signifikansi Peran Perpustakaan. Makalah disampaikan pada acara Lokarkarya Teacher Librarianship Fakultas Adab dan Humaniora-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sukardi, Dewa Ketut, (1983). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. Tan Ngee Tiang, (1996). Promotion Information Skill in Primary School. Article in Proceeding Paper in CONSAL. Kuala Lumpur: CONSAL Authority Board and Authors. Penulis: Harjoni Desky, S.SosI., M.Si Kecamatan Banda Sakti Lhokseumawe
http://www.pemustaka.com/strategi-membudayakan-gemar-membaca-di-daerah.html

Anda mungkin juga menyukai