Anda di halaman 1dari 4

Chairil Anwar dan Wujud Nasionalisme dalam Puisi Perjuangan “Diponegoro,

Krawang-Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno”

Karya: Muhammad Qusayri

Universitas Nasional

Sastra Indonesia

Chairil Anwar merupakan sosok sastrawan penyair yang melegenda namanya hingga
saat ini, walau terbilang memiliki hidup yang singkat namun semangat perjuangan dan
nasionalisme yang Chairil tuangkan dalam puisi-puisinya tetap membekas pada penikmat
karya puisi. Chairil Anwar dikenal dalam dunia kesusastraan saat umurnya beranjak 20 tahun
ketika karya tulisannya termuat dalam Majalah Nisan di tahun 1942. Sajak-sajak hasil
pemikiran Chairil dipengaruhi pula oleh seniman dan sastrawan luar dari Belanda yakni Du
Perron, Marsman, Ter Braak. Chairil Anwar termasuk juga tokoh yang tidak kurang
kekhilafannya dari segi ukuran manusia, namun juga memiliki keistimewaan lebih dari
sebagian penyair dan pengarang puisi asing ke dalam Indonesia.

Hingga kini Chairil terkenal atas sajaknya yang bersifat individualistis dan berat
dalam eksistensialisme, meskipun begitu Chairil selalu dikutip atas nilai perjuangan pada
sajak-sajaknya yang dipandang monumental dan sering menjadi bahan apresiasi di dunia
pembelajaran. Beberapa karya puisi Chairil yang bertemakan perjuangan dan nasionalisme
antara lain adalah Puisi Dipenegoro, Krawang-Bekasi dan Persetujuan dengan Bung Karno,
ketiga puisi ini memiliki aspek kobaran semangat perjuangan dan juga nasionalisme cinta
negara, seperti yang dapat dilihat pada puisi berikut:

[Chairil Anwar – Diponegoro]

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak genta. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu

1
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
inasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Puisi ini sangatlah menggambarkan semangat cinta negara, terlihat pada setiap
baitnya bahwa puisi ini merupakan arahan untuk maju dan berjuang demi negara, atas sajak-
sajak perjuangannya yang menggoreskan pengaruhnya dalam persajakan modern pada saat
itu membuat H.B. Jassin kritikus ternama dalam dunia sastra memberi gelar dan
menasbihkkan Chairil Anwar laksana pelopor angkatan 45.

[Chairil Anwar – Krawang-Bekasi]

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi


tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

2
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan


atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata


Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi


Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami


Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat


Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami


yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Dalam puisi Krawang-Bekasi pilihan kata yang digunakan memang terkesan


sederhana namun menyiratkan banyak makna. Chairil lebih menekankan pilihan kata yang
biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Namun Pencitraan yang dikaji secara imaji dengan
membaca puisi Karawang-Bekasi adalah kesedihan dan ratapan. Penyair seolah mengajak
pembaca untuk terus mengenang dan merasakan perjuangan dari mereka pahlawan yang tak
dikenal yang telah berjuang antara krawang-bekasi namun tidak bisa berjuang lagi karena
gugur.

[Chairil Anwar - Persetujuan dengan Bung Karno]

Ayo!  Bung Karno kasih tangan, mari kita bikin janji


Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

3
Dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu


Aku sekarang api, Aku sekarang laut

Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat


Di zatmu, di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu, di uratku kapal-kapal kita betolak dan berlabuh.

Dalam Puisi persetujuan dengan Bung Karno, Chairil menuangkan makna perjuangan yang
tidak bisa dilakukan sendiri melainkan harus dijalankan bersama-sama. Puisi ini juga
menyiratkan kekaguman kepada Bung Karno dan juga adannya elemen penghormatan. Dapat
ditelaah bahwa pesan yang disampaikan Chairil dalam puisi Persetujuan Dengan Bung Karno
diatas adalah mengenai semangat mendampingi pemimpin negeri.

Demikian penjelasan bagaimana Chairil Anwar menuangkan semangat perjuangan dan


nasionalisme cinta negara kepada tiga puisinya yaitu Diponegoro, Karawang-Bekasi dan
Persetujuan dengan Bung Karno. Semoga semangat perjuangan yang dituangkan dapat
menjadi pengingat pada generasi saat ini bahwa di balik tanah Indonesia yang merdeka dan
berkembang terdapat perjuangan serta tumpah darah dari masyarakat, pemimpin, dan pelopor
untuk mencapai kemerdekaan, maka dari itu menanamkan nilai nasionalisme dalam diri
merupakan suatu bentuk penghormatan dan kecintaan atas perjuangan leluhur kita bangsa
Indonesia sampai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai