Anda di halaman 1dari 15

PAN INDONESIA E-MOOTCOURT COMPETITION

(PIMC) 2021
MEMO A–CONS-30

MEMORANDUM TERTULIS SEBAGAI


PENUNTUT UMUM TERHADAP DIREKTUR
PT. SAWIT MAKMUR SEKALI (PT. SMS) DAN
ROJAK DKK

PADA PERKARA DI PENGADILAN NEGERI


KABUPATEN HULU LIAR, PROVINSI RIAU

1
I. Daftar Isi
Daftar Isi

I. Daftar Isi..........................................................................................2
II. Daftar Sumber-Sumber Hukum Otoritatif.........................................3
III. Daftar Sumber-Sumber Non Otoritatif...............................................4
IV. Isi Dakwaan ..........................................................................................5
A. Pernyataan Yurisdiksi/ Kompetensi Peradilan...........................
B. Isu Hukum........................................................................................
C. Fakta-Fakta Hukum..........................................................................
D. Ringkasan isi Dakwaan.............................................................
E. Isi Dakwaan..............................................................................
F. Hal-Hal yang diiminta/ tuntut...................................................

2
II. Daftar Sumber-Sumber Hukum Otoritatif
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) Pasal 116 dan 117
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 98 Ayat 1 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang No. 18/2013 “Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan” Pasal


17, (2)
Undang-undang No 41/1999 “Kehutanan”Pasal 50, (3)

3
III. Daftar Sumber-Sumber Non Otoritatif
Yori Demasto, Penerapan Asas Primum Remedium Dalam Tindak Pidana Pembakaran
HutanYang Dilakukan Oleh Korporasi, Jurnal Hukum Adigama Volume 3 Nomor 1,
Juli 2020E-ISSN: 2655-7347, 1356
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2003), hlm. 233-238
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,
2006), hlm. 100
Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011)., hlm. 234
Baginda Parsaulian, Analisis Kebijakan Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan
Hidup di Indonesia, Jurnal Reformasi Administrasi, Vol. 7, No. 1, Maret 2020, pp. 56-
62, 56.
Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011)., hlm 111
Ayu Nurul Alfia, Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional Dalam Kebakaran Hutan
di Riau Dalam Perspektif Hukum Internasional, Diponegoro Law Journal Volume 5,
Nomor 3, Tahun 2016, 6

4
IV. Isi Dakwaan (sebagai applicant)
A. Pernyataan Yurisdiksi/ Kompetensi Peradilan
Terdakwa I :
Nama Korporasi : PT. Sawit Makmur Sekali (PT. SMS)
Tanggal Pendirian : 26 Januari 2018
Tempat Kedudukan : Kabupaten Hulu Liar
Kebangsaan Korporasi : Indonesia
Jenis Korporasi : PT (Perseroan Terbatas)
Bentuk Kegiatan/Usaha: Usaha kelapa sawit mulai dari budidaya hingga pengolahan
secara terintegrasi
Pengurus yang mewakili: Direktur Operasional PT. SMS
Terdakwa II :
13 orang penduduk yakni Rojak dkk merupakan para penduduk desa Nenda dan
desa Rorotan yakni dalam wilayah Kabupaten Hulu Liar.
Terdakwa III :
Pejabat Perkebunan

Bahwa ketiga tersangka tersebut atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih
termasuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Hulu Liar.

B. Isu Hukum
1. Pelanggaran legalisasi usaha, sebagaimana diatur dalam UU No. 18/2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 17, (2) huruf b,
dan UU No 41/1999 Tentang Kehutanan Pasal 50, (3) huruf a. Peraturan di
Indonesia terkait usaha perkebunan kelapa sawit, antara lain ;
a. Undang-undang Nomor 39 Pasal 42 Tahun 2014 Tentang Perkebunan,
Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan
Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat(1) hanya
dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak
atas tanah dan/atau Izin Usaha Perkebunan.
b. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
98/Permentan/OT.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan Pasal 8, Usaha Budi daya Tanaman Perkebunan dengan luas 25
5
(dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki IUP-B.
c. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 26/Permentan/Ot.140/2/2007 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 6 (1) Usaha budi daya tanaman
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang luas
lahannya 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih wajib memiliki izin.
d. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 Tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Pasal 4 (1) Usaha Budi daya
Perkebunan yang luas lahannya 25 ha atau lebih wajib memiliki IUP.
e. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Pasal 28 Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana
tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan.
2. Pembakaran hutan, pengaturan secara tegas dimuat dalam Pasal 69 Ayat (1)
huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi: “Setiap orang dilarang
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”.

C. Fakta-Fakta Hukum
Pada tanggal 17 Februari 2019, PT. SMS mengajukan permohonan izin usaha
perkebunan kepada Gubernur Provinsi Riau untuk membuka perkebunan kelapa
Sawit dengan luas 470 hektar yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Kabupaten
Hulu Liar, Kabupaten Kampas dan Kabupaten Bangkalis. Namun beberapa minggu
sebelum izin usaha perkebunan diajukan, PT. SMS telah mempekerjakan penduduk
setempat untuk melakukan aktivitas pembersihan lahan dan mempersiapkan bibit
kelapa Sawit pada area yang telah disiapkan, yang didapat dari perusahaan induk.
Hal ini dilakukan oleh PT. SMS karena menganggap lahan yang dikuasainya
berdekatan dengan lokasi budi daya kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan
induk. Kegiatan yang dilakukan oleh PT. SMS sebelum pengajuan izin usaha
tersebut dapat dinilai telah melanggar regulasi terkait perizinan usaha, mengigat
Gubernur Provinsi Riau baru mengeluarkan keputusan No. 12/IU/RIAU yang berisi
izin usaha perkebunan kepada PT. SMS pada 29 Mei 2019.
Merujuk pada ketentuan Undang-undang No. 18/2013 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan Pasal 17, (2) huruf b menyatakan; "Setiap
6
orang dilarang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam
kawasan hutan".1 Sebagaimana juga diatur dalam Undang-undang No 41/1999
Tentang Kehutanan Pasal 50, (3) huruf a menyatakan; "Setiap orang dilarang
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah; dimana yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah
mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang
berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha
lainnya".2
Memori penjelasan II/8 UUPA, menyebutkan bahwa tanah untuk persediaan,
peruntukkan, dan penggunaannya harus melalui perencanaan. Peran penting dari
tanah dapat dilihat dalam pengaturan Konstitusi Negara Republik Indonesia pada
Pasal 33 Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Salah satu upaya yang dilaksanakan untuk dapat mewujudkan
tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ini adalah dengan membentuk Undang-
undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Undang-
undang Pokok Agraria, selanjutnya disingkat UUPA).3
Pada tanggal 25 Mei 2019, terjadi kebakaran hutan di wilayah Kabupaten
Hulu Liar dan Kabupaten Kampas, tepatnya pada wilayah yang sedang diajukan
izin untuk perkebunan kelapa Sawit PT. SMS. Hasil penyelidikan kepolisian
disimpulkan bahwa kebakaran hutan karena adanya pembukaan lahan untuk
dijadikan perkebunan kelapa Sawit. Polisi menangkap 13 orang penduduk yakni
Rojak dkk., yang mengklaim sebagai pemilik tanah hutan rakyat yang telah turun
temurun dikuasai. Pembersihan hutan dengan cara pembakaran dilakukan karena
kesepakatan tertulis bermaterai yang ditandatangani warga dan kepala operasional
lapangan PT. SMS yang akan membeli lahan dari mereka membayar harga 2 kali
lipat dari harga pasar, yakni sebesar Rp. 160.000,- per meter bila lahan keadaan
siap tanam. Berdasarkan hasil investigasi LSM diperoleh fakta bahwa :

1. Para tersangka Rojak dkk., telah diberikan uang muka atas lahan yang akan
dijadikan kelapa Sawit, dengan ketentuan bahwa apabila diserahkan dalam
keadaan bersih maka perusahaan akan membayar 2 kali lipat harga tanah.
1
2

3
A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung, Alumni, 1988), hlm. 50

7
2. Para tersangka mengaku bahwa penduduk desa yang memenuhi syarat akan
mendapat jaminan dijadikan pekerja di PT. SMS dalam budi daya di kebun PT.
SMS dan PT MSJ.
Hasil investigasi ini kemudian disampaikan kepada kepolisian disertai
beberapa bukti khususnya pengakuan dari tersangka yang tidak dituangkan dalam
BAP. Dalam perkembanganya pada 25 Agustus 2019 pihak kepolisian kemudian
menetapkan Direktur Operasional PT. SMS sebagai tersangka dalam kasus
kebakaran hutan bersama dengan Rojak dkk. Setelah proses penyidikan selesai,
pada 7 September 2019, Penyidikandinyatakan lengkap dan siap dilimpahkan ke
Pengadilan 7 hari kerja setelahnya.

Kaitannya dalam hukum pidana, hubungan antara Rojak dkk dengan PT SMS
telah jelas merupakan penganjuran dan penyertaan perbuatan pidana. Sebagaimana
tercantum dalam pasal 55 KUHP yaitu:4

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:


a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut serta
melakukan perbuatan;
b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya
Jika pasal tersebut diuraikan, maka penyertaan dapat dibagi:
a. Pelaku
b. Yang menyuruh melakukan
c. Yang turut serta
d. Penganjur
Berdasarkan pasal tersebut, PT SMS dapat disebut sebagai pelaku yang
menyuruh melakukan sekaligus penganjur. Peran “menyuruh melakukan”
ditunjukan di mana direktur operasional membuat kesepakatan tertulis dengan 13
orang untuk melakukan pembersihan lahan. Sebagai “penganjur” yang memberi
tawaran berupa pembelian lahan dua kali lipat dari harga pasar dan menjamin
4
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

8
pekerjaan di PT SMS dan PT MSJ. Upaya itu bisa menimbulkan hubungan
kausal dengan tindak pidana.

Dengan demikian, Rozak dkk. secara jelas hubungannya yakni “turut serta”
dalam perbuatan pidana. Dengan disetujuinya kesepakatan tertulis dengan PT
SMS, mereka turut serta dengan membagi peran masing-masing dalam
tewujudnya suatu tindak pidana. Hal tersebut juga menunjukan bahwa niat dan
bobot pidana “turut serta” secara materil sama dengan yang menyuruh
melakukan, karena diterimanya tawaran.

Berpegang pada pendapat Roeslan Saleh, bahwa turut serta melakukan


berarti bersama-sama melakukan sehingga perlu ditinjau adanya kerja sama yang
erat dapat menentukan bahwa hakikatnya perbuatan itu memang merupakan
turut serta. Dengan Rozak dkk yang telah membagi peran dalam pelaksanaan
pembakaran hutan, maka mereka juga sudah memiliki kesadaran bahwa
perbuatannya itu adalah penyertaan pidana.5

Doktrin Identification Theory Identification theory atau direct corporate


criminal liability merupakan salah satu doktrin pertanggungjawaban pidana
korporasi yang berasal dari negara-negara Anglo Saxon, seperti Inggris dan
Amerika. Doktrin ini bertumpu pada asumsi bahwa semua tindakan legal
maupun ilegal yang dilakukan oleh high level manager atau direktur
diidentifikasikan sebagai tindakan korporasi. Oleh karenanya, doktrin ini
digunakan untuk memberikan pembenaran atas pembebanan
pertanggungjawaban pidanakepada korporasi, meskipun pada kenyataannya
korporasi bukanlah sesuatu yang dapat berbuat sendiri dan tidak mungkin
memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu.6

Pendapat mengenai identification theory serupa juga dikemukakan oleh


Muladi dalam bukunya. Muladi mengemukakan bahwa melalui doktrin
identifikasi, sebuah perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung
melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan
dipandang sebagai perusahaan sendiri. Dalam hal ini maka perbuatan atau
kesalahan dari “pejabat senior” (senior officer) diidentifikasi sebagai perbuatan
5
Fathurrozi & Samsul Bahri M Gare, Sistem Pemidanaan Dalam Penyertaan Tindak Pidana Menurut KUHP,
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10 No. 1 April 2019
6
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hlm. 100
9
atau kesalahan dari korporasi. Definisi dari “pejabat senior” (senior officer)
melahirkan beberapa pendapat. Secara umum, yang dimaksud “pejabat senior”
adalah orang yang mengendalikan perusahaan, baik sendiri, maupun bersama-
sama, yang pada umumnya adalah direktur dan manajer.7

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) diatur pula tentang tanggung jawab
korporasi (corporate liability), yaitu Pasal 116 dan 117. Pasal 116 menyatakan :

1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas
nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut.
2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117 menyatakan Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah
atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda
diperberat dengan sepertiga.8
Kebakaran hutan yang diperkirakan seluas 87 hektar berlangsung mulai 25
Mei 2019 tak kunjung padam hingga 10 hari menyebabkan polusi udara tidak
hanya disekitar hutan, tetapi juga ke Kabupaten lain di Propinsi Riau. Peraturan
perundangan telah mengatur mengenai larangan untuk melakukan pembakaran
yang menyebabkan kabut asap yang signifikan yang mungkin menimbulkan efek
lokal yang tidak diinginkan dari asap, misalnya, terhadap kesehatan atau
transportasi.9 Sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H Ayat 1 Undang-Undang
7
Muladi, Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011)., hlm. 234
8
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
Pasal 116 dan 117.
9
Baginda Parsaulian, Analisis Kebijakan Dalam Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia, Jurnal
10
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”.10 Oleh karena itu perlindungan lingkungan hidup merupakan hal
yang harus diberikan perhatian lebih serius, mengingat hutan merupakan salah
satu paru-paru dunia.
Pemberian sanksi kepada pelaku usaha sesuai dengan akibat yang telah
ditimbulkan olehnya kepada lingkungan maupun kepada masyarakat sekitar.
Doktrin strict liability merupakan doktrin yang mengesampingkan unsur
kesalahan atau unsur mens rea dalam petanggungjawaban pidana. Penyimpangan
terhadap asas kesalahan atau asasmens rea dalam doktrin ini dikarenakan,
doktrin strict liability memandang dalam pertanggungjawaban pidana cukup
dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan atau actus
reus yang merupakan perbuatan yang memang dilarang. Sedangkan untuk mens
rea dipandang sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah
pada kenyataan ada atau tidak. Hal ini didasarkan pada fakta yang bersifat
menderitakan si korban cukup untuk menjadi dasar untuk menuntut
pertanggungjawaban pada pelaku sesuai maxim “res ipsa loquitur” atau fakta
sudah berbicara sendiri. Dalam penerapannya, doktrin ini tetap harus dibatasi
berdasarkan peraturan yang menyatakan keberlakuan doktrin ini. Hal ini
bertujuan untuk melindungi masyarakat atas hak-hak fundamental. Terhadap
korporasi, doktrin ini dapat diterapkan untuk tindak pidana yang berkaitan
dengan perlindungan kepentingan umum atau masyarakat seperti kesehatan
lingkungan hidup.
Pencemaran udara akibat kebakaran hutan di Riau sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Diantaranya prinsip
“Sic utere tuo ut alienum non laedes” yang menegaskan bahwa suatu Negara
dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat
merugikan Negara lain, serta prinsip good neighbourliness mengatakan bahwa
kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain.
Kaitannya terhadap pencemaran udara yang terjadi di Riau, pada pelaku dapat
juga berlaku polluter pays principle yang mengharuskan para pelaku pencemaran

Reformasi Administrasi, Vol. 7, No. 1, Maret 2020, pp. 56-62, 56.


10
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
11
tersebut untuk membayar dan bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan
lingkungan yang terjadi akibat aktivitasnya, tidak peduli apakah telah mengikuti
standar lingkungan atau tidak. Dengan kata lain, Negara sebagai host country
dapat menerapkan prinsip ini kepada para pelaku yang mengakibatkan
pencemaran udara tersebut.11

D. Ringkasan isi Dakwaan (sebagai applicant)


1. PT. SMS didakwa telah terbukti terlibat turut serta dalam tindak pidana
pembakaran hutan. Pasal 118 UUPPLH menegaskan tentang teknis sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi yang apabila dijatuhkan kepada suatu
badan usaha maka sanksi pidana bagi korporasi tersebut akan diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili korporasi tersebut. Oleh sebab itu jelaslah
untuk korporasi yang melakukan tindak pidana pembakaran hutan dapat dipidana
dengan melalui pengurus-pengurusnya.12 Dalam penjatuhan sanksi terhadap
korporasi dapat dipidana disebutkan jelas pada Pasal 118 UUPPLH yang
menyatakan bahwa: “terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
oleh penngurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional”.
2. Rojak dkk didakwa telah terbukti memenuhi unsur delik melakukan tindak
pidana pembakaran hutan
E. Isi Dakwaan (sebagai applicant)
1. PT. SMS didakwa telah terbukti telah melanggar perizinan yang dilakukan
PT.SMS yang membuka lahan sebelum perizinan turun, dibantu sekelompok
warga dengan Kesepakatanbahwa PT. SMSakan membayar harga 2 kali lipat
dari harga pasar, yakni sebesar Rp. 160.000,-per meter bila lahan dalam keadaan
siap tanam. Terdapat beberapa sanksi hukum pidana yaitu:Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan danPengolaan
Lingkungan Hidup dijelaskan Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.Persyaratan Umum
AMDAL: (a) Identitas pemohon dan/atau badan usaha, alamat, bidang usaha,

11
Ayu Nurul Alfia, Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional Dalam Kebakaran Hutan di Riau Dalam
Perspektif Hukum Internasional, Diponegoro Law Journal Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016, 6
12
Yori Demasto, Penerapan Asas Primum Remedium Dalam Tindak Pidana Pembakaran HutanYang Dilakukan
Oleh Korporasi, Jurnal Hukum Adigama Volume 3 Nomor 1, Juli 2020E-ISSN: 2655-7347, 1356
12
nama penanggung jawab kegiatan, (b) Akta Pendirian Badan Usaha, (c)
Dokumen yang menjelaskan tentang rencana usaha dan/ataukegiatan,(d)
Dampak lingkungan yang akan terjadi danprogram pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup,(e) Telaah kesesuaian tata ruang dari Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang dan,(f) Dokumen lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2. Rojak dkk didakwa telah terbukti memenuhi unsur delik melakukan tindak
pidana pembakaran hutan.
F. Hal-Hal yang diiminta/ tuntut (Petitum)
 Penegakan hukum tindak pidana pembakaran hutan diatur pada Pasal 108
UUPPLH, yang menyatakan bahwa:“Setiap orang yang melakukan pembakaran
lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidan dengan
pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-(tiga miliar rupiah) dan palung banyak
Rp. 10.000.000.000,-(sepuluh miliar rupiah).
 UU No 41 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat 3, pembakaran hutan
dikenakan hukuman kurungan maksimal 15 tahun penjara dan/atau denda
maksimal Rp 15 miliar. Pasal 78 ayat 4 dikenakan denda maksimal penjara 5
tahun dan/atau denda maksimal Rp 1,5 miliar
 Undang-undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan kewajiban untuk
melestarikan fungsi hingkungan hidup. Dengan sanksi penjara maksimal 3 tahun
dan denda maksimal Rp 3 miliar atau keduanya. Undang-undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang Kehutanan. Menjelaskan prisnip pembakaran hutan
dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan
khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian
kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat
tumbuhan dan satwa. Sanksi berupa ancaman paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp 5 miliar dan kelalaian di ancam kurungan maksimal 5 tahun
dan denda Rp 1,5 miliar atau sanksi kumulatif.
 UUPPLH : Pasal 98 ayat 1 : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku
mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara 3(tiga) tahun dan paling lama 10(sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
13
Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
 Pasal 108 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, ditegaskan bahwa: “Setiap orang yang
melakukan pembakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 Ayat (1) huruf h
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,- (tiga miliar rupiah)
dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah)”.
 Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pencemaran udara dapat dikenakan
sanksi hukum sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2009 Pasal 98 Ayat 1 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.13
 Dan dapat dikenai beberapa sanksi dalam penyalahgunaan lahan belum berizin
sah dalam UU PPLH antaranya :-Pasal 69(1)Setiap orang dilarang:H. melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar;-Pasal 108Setiap orang yang
melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
hurufh, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).-
Pasal 36(1)Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau
UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.(2)Izin lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3)Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL.-Pasal 109Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau
kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

13
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 98 Ayat 1 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
14
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).-Pasal 40Izin
lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
 Pasal 111 Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin
usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).14

14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm.64-65
15

Anda mungkin juga menyukai