Anda di halaman 1dari 13

Nama : Azzura Sakha Sabilla

NIM : 25000120120026

Kelas : A FKM 2020

TUGAS RESUME TM 6

TYPES OF STUDIES

OBSERVASIONAL & EKSPERIMENTAL

A. OBSERVASIONAL
Studi observasional merupakan studi dimana peneliti tidak melakukan intervensi dan
hanya mengamati fenomena yang terjadi pada sampel penelitian. Studi observasional terbagi lagi
menjadi 2, yaitu:
Studi Deskriptif yang hanya terbatas pada mendeskripsikan suatu penyakit yang terjadi pada
suatu populasi dan sering menjadi Langkah pertama dalam penyelidikan epidemiologi.
Studi Analitik dengan arah yang lebih jauh kepada menganalisis suatu hubungan misalnya
status kesehatan dengan variabel lainnya.
Hampir semua studi epidemiolgi bersifat analitis, tetapi data deskriptif dalam laporan
statistik kesehatan menjadi sumber ide yang berguna untuk studi epidemiologi. Adanya
keterbatasan informasi secara deskriptif dimana karakteristik beberapa pasien dengan penyakit
tertentu sudah dijelaskan, tetapi tidak dibandingkan dengan populasi referensi.

1. STUDI DESKRIPTIF
Gambaran sederhana dari status kesehatan suatu kelompok berdasarkan data yang
ada secara rutin atau diperoleh dari survei khusus sering menjadi langkah pertama dalam
penyelidikan epidemiologi. Studi deksriptif secara murni menjadikan tidak adanya upaya
dalam menganalisis hubungan antara eksposur dan efek dimana biasanya akan didasarkan
dari statistic kematian melihat usia, jenis kelamin, dan etnis pada periode waktu tertentu
di berbagai negara.
Contohnya pada gambar 3.1 yang memperlihatkan pola kematian ibu di Swedia
sejak pertengahan abad kedelapan belas dan menunjukkan tingkat kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup. Data seperti itu sangat bagus untuk mengidentifikasi faktor-
faktor yang menyebabkan tren penurunan sehingga akan terlihat dengan jelas.
2. STUDI EKOLOGI
Studi ekologi (atau korelasional) berguna untuk menghasilkan hipotesis dimana
unit analisisnya adalah lebih banyak pada sekelompok orang daripada individu. Studi
ekologi juga dapat dilakukan dengan membandingkan populasi di tempat yang berbeda
pada waktu yang sama atau dengan membandingkan populasi yang sama di satu tempat
pada waktu yang berbeda.
Walaupun terlihat sederhana dan menarik, seringkali studi ekologi sulit untuk
dilakukan karena jarang bisa mengkaji secara langsung berbagai potensi yang ada.
Biasanya studi ekologi akan mengandalkan data yang dikumpulkan untuk tujuan dan data
tentang paparan yang berbeda, serta faktor sosial ekonomi mungkin tidak tersedia. Selain
itu, karena yang dianalisis adalah kelompok, maka hubungan antara eksposur dan efek
pada tingkat individu tidak dapat dibuat. Hal menariknya adalah data dapat digunakan
dari populasi dengan karakteristik yang sangat berbeda atau diambil dari sumber data
yang berbeda.
3. KESALAHAN EKOLOGIS
Kesalahan ekologis atau adanya bias hasil dapat terjadi jika kesimpulan yang
tidak tepat diambil pada dasar data ekologi. Bias terjadi karena asosiasi yang diamati
antara variabel di tingkat kelompok belum tentu mewakili asosiasi yang ada pada tingkat
individu.
4. STUDI CROSS SECTIONAL
Studi ini sering disebut dengan studi prevalensi karena digunakan untuk
mengukur prevalensi penyakit. Dalam studi cross-sectional, pengukuran paparan dan
efek dibuat pada waktu yang sama. Jika data eksposur diketahui mewakili paparan
sebelum efek apapun terjadi, data dari studi cross-sectional dapat diperlakukan seperti
data yang dihasilkan dari studi kohort. Studi cross-sectional relatif mudah dan murah
serta berguna untuk menyelidiki eksposur yang merupakan karakteristik tetap individu,
seperti: etnis atau golongan darah. Dalam wabah penyakit yang tiba-tiba, studi cross-
sectional digunakan untuk mengukur eksposur yang dapat menjadi langkah pertama
dalam menyelidiki penyebab.
Banyak negara yang melakukan survei studi ini secara teratur melalui sampel
representative dari populasi mereka. Mereka akan memfokuskan pada karakteristik
pribadi dan juga kebiasaan yang ada kaitannya dengan kesehatan. Frekuensi dari penyakit
dan faktor risiko pun selanjutnya akan diperiksa kaitannya dengan usia, jenis kelamin,
dan etnis.
5. STUDI CASE-CONTROL
Studi kasus-kontrol ini memiliki cara sederhana untuk mencari tahu penyebab
penyakit terutama penyakit langka. Studi ini akan membandingkan kejadian yang
berkemungkinan menjadi penyebab dari kasus dan dalam kontrol. Peneliti akan
mengumpulkan data tentang penyakit yang terjadi pada satu titik waktu dan eksposur
pada titik waktu sebelumnya. Studi kasus-kontrol ini bersifat longitudinal dan berbeda
dengan cross sectional. Studi ini biasa juga disebut dengan studi retrospektif karena
peneliti akan melihat ke belakang untuk mencari penyebab dari suatu penyakit. Studi
kasus-kontrol disebut retrospektif ketika semua data yang ada berhubungan dengan masa
lalu, dan prospektif jika pengumpulan data tetap berlanjut ketika waktu berlalu.
a. Pemilihan Kasus dan Kontrol
Studi kasus-kontrol dimulai dengan pemilihan kasus yang mewakili semua kasus
pada populasi tertentu dan dipilih berdasarkan penyakit, bukan paparan. Untuk kontrol
sendiri adalah orang yang tidak memiliki penyakit dan dapat mewakili orang yang akan
ditunjuk sebagai studi kasus apabila mereka mengembangkan penyakit. Pilihan kontrol
dan kasus tidak boleh dipengaruhi oleh paparan status yang harus ditentukan dengan cara
yang sama untuk keduanya. agar kasus dan kontrol bersifat menyeluruh. Studi kasus-
kontrol menggunakan kasus (insiden) baru untuk menghindari kesulitan memisahkan
faktor-faktor yang berhubungan dengan sebab akibat dan kelangsungan hidup (atau
pemulihan) sehingga dapat memperkirakan riisko relative penyakit, tetapi tidak bisa
menentukan kejadian penyakitnya.
b. Paparan
Aspek penting lainnya adalah menentukan awal dan durasi paparan dimana
eksposur status kasus biasanya ditentukan setelah penyakit berkembang.
c. Odds Ratio
Asosiasi paparan dan penyakit pada studi kasus-kontrol diukur menggunakan
odds ratio yaitu rasio peluang eksposur di antara kasus dengan peluang paparan di antara
kontrol. Odds ratio ini bisa dibilang mirip dengan risk ratio terutama jika suatu penyakit
jarang terjadi. Agar odds ratio bagus, kasus dan kontrol harus mewakili populasi umum
yang berkaitan dengan paparan. Namun, karena kejadian penyakit tidak diketahui, risiko
absolut tidak dapat dihitung dan rasio odds harus disertai dengan interval kepercayaan
yang diamati di sekitar estimasi titik.
6. STUDI COHORT
Studi kohort disebut juga dengan studi tindak lanjut atau insiden dimana akan
dimulai dengan kelompok yang bebas dari penyakit dan pengklasifikasian subkelompok
berdasarkan paparan potensi penyebab penyakit atau hasil. Variabel akan diukur dan
ditentukan dengan menindaklanjuti untuk melihat perkembangan dari penyakit antara
kelompok yang terpapar dan tidak. Studi kohort bersifat longitudinal dan prospektif serta
akan memberikan informasi mengenai penyebab penyakit dan pengukuran langsung dari
penyakit yang berkembang. Studi ini akan membutuhkan waktu tindak lanjut yang lama
karena penyakit bisa saja lama terjadi setelah terpapar. Pada situasi dengan pajanan yang
tiba-tiba, hubungan sebab-akibat bisa jelas, tetapi studi kohort juga bisa digunakan untuk
hal yang terlambat. Ketika studi kohort dimulai pada orang yang terpapar dan tidak,
kesulitan dalam menemukan data pada eksposur individu akan menentukan kelayakan
untuk melakukan studi ini. Biaya studi kohort bisa dikurangi jika menggunakan sumber
informasi dari register penyakit atau register nasional tentang data mortalitas dan
morbiditas.
a. Sejarah Studi Kohort
Biaya juga dapat dikurangi dengan menggunakan kelompok historis dimana jenis
investigasi ini disebut sejarah penelitian kohort. Hal ini dikarenakan data-data paparan
dan efek penyakit dikumpulkan sebelum studi yang sebenarnya dimulai.

B. EKSPERIMENTAL
Studi eksperimental atau adanya intervensi akan melibatkan upaya aktif dalam mengubah
penyakit tertentu seperti paparan atau perilaku dan perkembangan penyakit melalui pengobatan
yang serupa dengan desain dalam eksperimen di ilmu lainnya. Akan tetapi, tetap terdapat
Batasan karena kesehatan orang dalam kelompok studi ikut dipertaruhkan. Desain studi
eksperimental utama meliputi:

- Uji coba terkontrol secara acak menggunakan pasien sebagai subjek (uji klinis),
- Uji coba lapangan di mana peserta adalah orang sehat, dan
- Uji coba komunitas di mana pesertanya adalah komunitas itu sendiri
Dalam studi epidemiologi, penting untuk mengetahui definisi yang jelas tentang kasus
penyakit yang sedang diselidiki dengan menggambarkan gejala, tanda atau karakteristik lainnya
menunjukkan bahwa seseorang mengidap penyakit tersebut. Definisi yang jelas dari orang yang
terpapar juga diperlukan dengan mencakup semua karakteristik yang mengidentifikasi seseorang
terpapar faktor yang bersangkutan. Dengan tidak adanya definisi yang jelas tentang penyakit dan
paparan, sangat sulit untuk menginterpretasikan data dari studi epidemiologi.
Intervensi dan eksperimen akan melibatkan upaya untuk mengubah variabel dalam satu
atau lebih kelompok orang. Efek intervensi dapat diukur dengan membandingkan hasil pada
kelompok eksperimen dan kelompok control.
1. PERCOBAAN ACAK TERKONTROL (RANDOMIZED CONTROLLED
TRIALS)
Uji coba terkontrol secara acak merupakan eksperimen epidemiologi yang
dirancang untuk mempelajari efek dari intervensi tertentu biasanya bisa berupa
pengobatan untuk penyakit tertentu. Subjek penelitiannya akan dialokasikan untuk
intervensi dan kelompok kontrol serta hasil akan dinilai dengan perbandingan. Untuk
memastikan bahwa kelompok pasien yang dibandingkan setara, pengalokasian dilakukan
secara acak. Jika seleksi awal dan pengacakan dilakukan benar, kelompok kontrol dan
perlakuan akan sebanding pada awal penyelidikan. Perbedaan antara kelompok adalah
kejadian kebetulan yang tidak terpengaruh oleh bias sadar atau tidak dari para peneliti.
2. UJI COBA LAPANGAN (FIELD TRIALS)
Uji coba lapangan akan melibatkan orang sehat yang dianggap berisiko dimana
pengumpulan data dilakukan di lapangan. Uji coba lapangan dapat digunakan untuk
mengevaluasi intervensi yang ditujukan untuk mengurangi paparan tanpa harus
mengukur terjadinya efek kesehatan
3. UJI COBA KOMUNITAS (COMMUNITY TRIALS)
Pada eksperimen ini, kelompok perlakuan lebih merujuk kepada komunitas
daripada individu. Hal ini akan sesuai pada penyakit yang dipengaruhi oleh kondisi sosial
dengan upaya pencegahan perilaku kelompok sasaran.
Batasan Uji Coba Komunitas
Keterbatasan uji coba ini adalah hanya sejumlah kecil komunitas saja yang dapat
dimasukkan dan alokasi acak dari komunitas seringkali tidak praktis. Metode lain
diperlukan untuk untuk memastikan jika perbedaan di akhir penelitian dapat dikaitkan
dengan intervensi daripada perbedaan yang melekat di antara komunitas. Adanya
keterbatasan desain dalam menghadapi perubahan faktor risiko yang besar dan tidak
terduga membuat hal ini sulit diatasi sehingga efektivitas dari semua upaya masyarakat
tidak selalu memungkinkan.

C. POTENSI KESALAHAN DALAM STUDI EPIDEMIOLOGI


Adanya investigasi epidemiologi bertujuan untuk memberikan ukuran yang akurat dari
kejadian penyakit (atau hasil lainnya), tetapi memang masih ada banyak kemungkinan kesalahan.
1. KESALAHAN ACAK (RANDOM ERROR)
Kesalahan acak terjadi ketika nilai pengukuran sampel menyimpang dari nilai
populasi yang sebenarnya sehingga menyebabkan ukuran asosiasi menjadi tidak akurat.
Terdapat 3 sumber utama kesalahan acak yaitu:
- Variasi biologis individu
- Kesalahan pengambilan sampel
- Kesalahan pengukuran
Kesalahan acak tidak dapat dihilangkan sepenuhnya karena kita hanya bisa
mempelajari sampel dari populasi. Kesalahan biasanya disebabkan karena adanya fakta
bahwa sampel kecil tidak mewakili semua variabel populasi sehingga perlu adanya
peningkatan ukuran penelitian untuk mengurangi kesalahan dalam pengambilan sampel.
Peneliti perlu memahami metode pengukuran yang digunakan dalam penelitian, dan
kesalahan yang dapat disebabkan oleh metode ini.
2. UKURAN SAMPEL (SAMPLE SIZE)
Ukuran sampel harus cukup besar agar penelitian memiliki kekuatan statistik
untuk mendeteksi perbedaan yang dianggap penting. Berikut informasi yang diperlukan
sebelum melakukan perhitungan:
- Tingkat signifikansi statistik yang diperlukan dari kemampuan untuk mendeteksi
perbedaan
- Kesalahan yang dapat diterima, atau kemungkinan kehilangan efek nyata
- Besarnya efek yang sedang diselidiki
- Jumlah penyakit dalam populasi
- Ukuran relatif dari kelompok yang dibandingkan.
Kenyataannya, ukuran sampel seringkali ditentukan oleh pertimbangan dari
logistik dan keuangan. Ketepatan studi dapat ditingkatkan dengan selalu memastikan
bahwa kelompok memiliki ukuran relative yang sesuai. jika kasus langka dan control
berlimpah, hal ini tepat untuk meningkatkan rasio control terhadap kasus.
3. KESALAHAN SISTEMATIS (SYSTEMATIC ERROR)
Kesalahan atau bias ini terjadi ketika ada hasil yang berbeda dalam sistematika
cara dengan nilai yang sebenarnya. Suatu studi dengan kesalahan sistematis yang kecil
akan memiliki akurasi yang tinggi dimana akurasi tidak dipengaruhi oleh ukuran sampel.
Kemungkinan sumber kesalahan sistematis dalam epidemiologi sangat beragam dimana
terdapat lebih dari 30 jenis bias tertentu telah diidentifikasi dengan bias utamanya adalah:
- Bias seleksi
- Pengukuran (atau klasifikasi) bias
4. BIAS SELEKSI (SELECTION BIAS)
Bias seleksi terjadi ketika terdapat perbedaan yang sistematis antara karakteristik
dari orang yang dipilih untuk studi dengan yang tidak. Sumber bias seleksi yang jelas
contohnya pada seseorang yang memilih diri mereka untuk belajar baik karena mereka
tidak sehat atau karena khawatir dengan suatu eksposur. Bias seleksi perlu dikenalkan
ketika penyakit atau faktor di bawah investigasi membuat orang tidak tersedia untuk
belajar.
5. BIAS PENGUKURAN (MEASUREMENT BIAS)
Bias pengukuran terjadi ketika pengukuran secara individua tau pengklasifikasian
penyakit atau paparan tidak akurat dimana apa yang diukur tidak benar dan tidak sesuai
dengan yang seharusnya diukur. Terdapat beberapa sumber bias pengukuran dengan efek
yang berbeda seperti pengukuran biokimia dan fisiologis yang tidak pernah sepenuhnya
akurat begitu juga dengan laboratorium yang berbeda akan menghasilkan hasil yang
berbeda pula pada spesimen yang sama. Jika spesimen dari control kelompok dianalisis
secara acak oleh laboratorium yang berbeda, akan ada kemungkinan yang lebih kecil
untuk bias pengukuran yang sistematis daripada situasi dimana semua spesimen dari
paparan kelompok dianalisis pada satu laboratorium.
Bias pengukuran yang penting dalam studi kasus-kontrol retrospektif disebut
dengan bias ingatan. Hal ini terjadi saat ada penarikan informasi yang diferensial
berdasarkan kasus dan control. Misalnya adalah kasus lebih mungkin diingat pada
paparan masa lalu terutama apabila diketahui secara luas terkait dengan penyakitnya. Jika
bias pengukuran terjadi secara merata pada kelompok yang dibandingkan, maka nantinya
akan hampir selalu meremehkan kekuatan sebenarnya dari suatu hubungan. Bias non-
diferensial dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan yang nyata pada hasil yang
beda pada studi epidemiologi. Jika penyidik, teknisi laboratorium, atau peserta
mengetahui paparan
status, hal ini dapat mempengaruhi pengukuran dan menyebabkan bias pengamat
sehingga untuk menghindarinya, dapat dilakukan pengukuran secara buta atau double-
blind yaitu peneliti ataupun peserta tidak tahu bagaimana hal terakhir diklasifikasikan.

D. CONFOUNDING (PEMBAUR/PERANCU)
Pembaur/perancu ini merupakan masalah utama lainnya pada studi epidemiologi
dimana dalam hubungan antara paparan penyebab dengan terjadinya suatu penyakit,
perancu bisa terjadi ketika terdapat paparan lain dalam populasi penelitian yang dikaitkan
dengan penyakit dan paparan yang sedang diteliti. Masalah mulai muncul jika faktor
asing ini nantinya menjadi penentu atau faktor risiko dalam hasilnya sehingga
menyebabkan ketidakmerataan subkelompok sasaran. Pembaur ini akan muncul jika efek
dari dua eksposur belum dipisahkan dan analisis menyimpulkan bahwa efeknya
disebabkan oleh satu variabel daripada hal yang lain.
Pembaur akan muncul jika terdapat distribusi faktor yang tidak teracak di sumber
populasi sehingga akan memberikan perkiraan yang menyesatkan efeknya. Usia dan
kelas seringkali menjadi menjadi pembaur pada studi epidemiologi. Hubungan antara
darah tinggi dan penyakit jantung koroner sebenarnya mewakili perubahan dalam dua
variabel. Efek perancu potensial dari usia menjadi pertimbangan dan terlihat bahwa
tekanan darah memang meningkatkan risiko jantung coroner penyakit.

1. KONTROL PERANCU (THE CONTROL OF CONFOUNDING)


Metode yang tersedia untuk mengontrol perancu baik melalui desain studi
ataupun selama hasil analisis yaitu:
- Pengacakan
- Pembatasan
- Pencocokan
Pada tahap analisis, perancu dikendalikan dengan metode berikut:
- Stratifikasi
- Model statistic
a. Pengacakan (Randomization)
Pada studi eksperimental, pengacakan merupakan metode yang ideal dalam
memastikan potensi variabel pengganggu akan didistribusikan secara merata di antara
kelompok yang dibandingkan. Untuk itu, ukuran sampel harus cukup besar untuk
menghindari kesalahan distribusi acak. Pengacakan ini akan menghindari hubungan
antara potensi pembaur variabel dan eksposur yang sedang dipertimbangkan.
b. Larangan (Restriction)
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan perancu adalah
dengan membatasi penelitian pada orang-orang yang memiliki masalah tertentu.
Misalnya, dalam sebuah penelitian tentang efek kopi pada jantung koroner penyakit,
partisipasi dalam penelitian ini dapat dibatasi untuk bukan perokok, sehingga
menghilangkan efek potensial dari perancu yaitu perokok.
c. Pencocokan (Matching)
Pencocokan dapat digunakan untuk mengontrol perancu dengan cara memilih
peserta studi untuk memastikan variabel pengganggu sudah didistribusikan secara
merata pada kelompok yang dibandingkan. Pencocokan ini secara luas telah banyak
digunakan dalam studi kasus-kontrol, tetapi dapat menimbulkan masalah jika
pencocokan terlalu ketat atau terlalu banyak. Pencocokan juga menjadi mahal dan
memakan banyak waktu, tetapi di sisi lain berguna karena tidak ada kasus dan kontrol
yang tumpang tindih seperti pada kasus dimana akan cenderung lebih tua dari control.

d. Stratifikasi dan Pemodelan Statistik


Dalam penelitian yang bersifat besar, penting untuk mengontrol perancu dalam
analisis fase daripada dalam fase desain. Kemudian, pembaur atau perancu tersebut
dapat dokendalikan oleh stratifikasi yang melibatkan pengukuran kekuatan asosiasi.
Contohnya jika umur adalah pembaur, maka asosiasi dapat diukur pada kelompok usia
10 tahun dan jka seks atau etnis adalah perancu, asosiasi dapat diukur secara terpisah
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok etnis yang berbeda. Metode tersedia untuk
meringkas asosiasi yang akan menghasilkan rata-rata dari perkiraan yang dihitung pada
strata yang terpisah. Walaupun secara konseptual stratifikasi terlihat sederhana dan
mudah, ia sering dibatasi oleh ukuran penelitian dan tidak dapat digunakan untuk
mengendalikan banyak faktor secara bersamaan. Untuk itu, model statistic multivariat
diperlukan dalam memperkirakan kekuatan asosiasi sambal mengendalikan variabel
pengganggu secara bersamaan.

2. VALIDITAS
Validitas merupakan hal untuk melihat sejauh mana suatu tes bisa mengukur apa
yang ingin dilihat atau diukur. Dalam suatu penelitian akan dikatakan valid apabila
hasilnya sesuai dengan kebenaran yang ada di lapangan. Terdapat dua jenis validitas
yaitu internal dan eksternal.
a. Validitas Internal
Validitas ini untuk melihat sejauh mana hasil suatu pengamata dikatakan benar
pada sekelompok orang tertentu yang sedang diamati atau dipelajari. Contohnya pada
pengukuran hemoglobin, kita harus dapat membedakan secara akurat peserta mana yang
mengalami anemia seperti yang sudah dipelajari. Analisis yang dilakukan di laboratorium
yang berbeda berkemungkinan menghasilkan hasil yang berbeda pula, tetapi hubungan
dengan anemia yang telah diukur di laboratorium masih dapat dikatakan valid secara
internal. Validitas internal dapat terancam oleh semua sumber kesalahan sistematis tetapi
dapat diperbaiki dengan desain yang baik dan memperhatikan setiap detail.
b. Validitas eksternal
Validitas ini disebut juga dengan generalisasi untuk melihat sejauh mana hasil
penelitian dapat berlaku kepada orang yang tidak terlibat di dalamnya (atau laboratorium
yang tidak terlibat). Validitas internal lebih tidak menjamin, sedangkan validitas eksternal
lebih mudah untuk dicapai dimana validitas ini memerlukan control kualitas secara
eksternal dari pengukuran dan penilaian sejauh mana hasil studi dapat diekstrapolasi.
Validitas eksternal dibantu oleh desain studi yang menguji hipotesis secara jelas dan baik
pada populasi yang ditentukan dan dapat didukung jika terdapat hasil yang serupa pada
penelitian di populasi lain.

3. MASALAH ETIKA (ETHICAL ISSUES)


Masalah etika ini akan melibatkan tindakan ataupun kebijakan yang benar atau
salah dan adil atau tidak. Dilema tentang etika sering muncul ketika prinsip etika
mengatur perilaku epidemiologi seperti kegiatan manusia. Penelitian dan pemantauan
sangat penting untuk memastikan bahwa intervensi kesehatan masyarakat tidak memiliki
konsekuensi serius yang berbahaya. Berikut adalah prinsip etika yang berlaku pada
praktek dan penelitian epidemiologi:
- Persetujuan
- Kerahasiaan
- Menghormati hak asasi manusia
- Integritas ilmiah
a. Penjelasan dan Persetujuan (Informed Consent)
Peserta harus memperoleh persetujuan atas dasar informasi yang bebas dan
sukarela untuk mempertahankan hak dan juga mengundurkan diri jika ingin. Dalam hal
seperti itu, ahli epidemiologi harus menghormati privasi dan kerahasiaan pribadi juga
wajib memberitahu kepada masyarakat apa yang akan mereka lakukan, mengapa, dan
mengirimkan hasilnya kepada masyarakat yang terlibat. Semua proposal harus diajukan
ke etika institusional dan dibentuk dengan benar sebelum penelitian dimulai
b. Kerahasiaan (Confidentiality)
Ahli epidemiologi juga wajib untuk menjaga kerahasiaan informasi yang mereka
dapat dari studi mereka. Untuk mendapatkan informasi berupa rekam medis, register
kasus, dan file atau database lainnya, ahli epidemiologi perlu mendapat izin sebelum
diberikan akses ke data tersebut.

c. Menghormati Hak Individu (Respect for Individual Rights)


Dalam studi epidemiolog sering terjadi ketegangan antara kepentingan kelompok
dan individu. Contohnya pada upaya membatasi dampak dari HIV/AIDS dimana
penyebaran berhasil ditahan dengan menguji individu yang berisiko dan memisahkan
orang yang terinfeksi dari populasi umum. Pendapat lainnya mengatakan bahwa hak asasi
individu menjadi kunci dalam pencegahan infeksi karena penyebaran penyakit difasilitasi
dai banyaknya penolakan seperti banyak wanita di berbagai negara yang tidak menolak
melakukan seks tanpa alat kontrasepsi sehingga banyak pula individu yang berisiko
terkena HIV/AIDS. Upaya kesehatan masyarakat untuk mengubah perilaku orang-orang
yang rentan tidak mungkin berhasil tanpa jaminan bahwa kepentingan mereka akan
dilindungi.
d. Integritas Ilmiah (Scientific Integrity)
Semua ilmuwan mempunyai potensi untuk berperlaku secara tidak etis dan bisa
saja terjadi karena adanya banyak tekanan. Untuk meminimalkan perilaku tidak etis,
diperlukan kewaspadaan dari komite peninjau etik dan perhatian yang cermat terhadap
peer review publikasi. Diperlukan pula pelatihan dan pendampingan pada ahli
epidemiologi yang memuat diskusi secara serius serta berulang dari permasalahan ini(1).

Referensi:
1. Bonita R, Beaglehole R. Basic Epidemiology. Vol. 308, Bmj World Health Organization.
2006..

Anda mungkin juga menyukai