Anda di halaman 1dari 15

RESUME EPIDEMIOLOGI

“Studi Cross Sectional”

Nama : Suratmi

NIM : 6411420028

Rombel : 2A Kesehatan Masyarakat

A. Pengertian Cross Sectional

Studi cross-sectional merupakan suatu bentuk studi observasional (non-


eksperimental) yang paling sering dilakukan. Dalam arti yang luas, studi cross-
sectional mencangkup semua jenis penelitian yang pengukuran variabel-variabelnya
dilakukan hanya satu kali, pada saat itu.

Dengan studi cross-sectional diperoleh prevalens penyakit dalam populasi pada suatu
saat; oleh karena itu studi cross-sectional disebut pula sebagai studi
prevalens(prevalence studi). Dari data yang diperoleh, dapat dibandingkan prevalens
penyakit pada kelompok dengan resiko, dengan prevalens penyakit pada kelompok
tanpa resiko. Kunci utama dalam desain potong lintang adalah sampel dalam suatu
survey direkrut tidak berdasarkan status paparan atau suatu penyakit/ kondisi
kesehatan lainnya, tetapi individu yang dipilih menjadi subjek dalam penelitian
adalah mereka yang diasumsikan sesuai dengan studi yang akan kita teliti dan
mewakili populasi yang akan diteliti secara potong lintang sehingga hasil studi bisa
digeneralisasikan ke populasi. Oleh karena itu, faktor paparan dan kejadian
penyakit/kondisi kesehatan diteliti dalam satu waktu.

Survey cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap
subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap
status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti
bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama. Desain ini dapat
mengetahui dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya
hubungan sebab akibatnya (Notoatmodjo, 2002).

Studi cross-sectional hanya merupajan salah satu dari jenis studi observasional untuk
menentukan hubungan antara factor risiko dan penyakit. Studi cross-sectional untuk
mempelajari etiologi suatu penyakit dipergunakan terutama untuk mempeljari factor
risiko penyakit dipergunakan terutama untuk mempelajari factor risiko penyakit yng
mempunyai onset yang lama dan lama sakit yang panjang, sehingga biasanya pasien
tidak mencari pertolongan sampai penyakitnya relative telah lanjut. Penyakit-penyakit
jenis tersebut misalnya osteoarthritis, bronchitis kronik, dan sebagian besar penyakit
kejiwaan. Studi kohort kurang tepat digunakan pada studi tentang penyakit-penyakit
tersebut karena diperlukan sampel yang besar, waktu follow up yang sangat lama, dan
sulit untuk mengetahui saat mulainya penyakut (sulit untuk menentukan insidens).
Sebaliknya jenis penyakit yang mempunyai lama sakit sedikit jumlah kasus yang
akan diperoleh didalam kurun waktu pendek.

Hasil pengamatan cross sectional untuk mengidentifikasi factor risiko ini kemudian
disusun dalam tabel 2 x 2. Untuk desain seperti ini biasanya yang dihitung adalah
rasio prevalens, yakni perbandingan antara prevalens suatu penyakit atau efek pada
subjek dari kelompok yang mempunyai factor risiko yang diteliti, dengan prevalens
penyakit atau efek pada subjek yang tidaj mempunyai factor risiko. Rasio prevalens
menunjukkan peran factor risiko dalam terjadinya efek pada studi cross-sectional.
(Sastroasmoro, 1995)

Gambar. Alur Studi Cross Sectional


B. Tujuan Penelitian Cross Sectional

Tujuan penelitian crossesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai berikut:

1. Mencari prevalensi serta indisensi satu atau beberapa penyakit tertentu yang
terdapat di masyarakat.
2. Memperkirakan adanya hubungan sebab akibat pada penyakit-penyakit
tertentu dengan perubahan yang jelas.
3. Menghitung besarnya resiko tiap kelompok, resiko relatif, dan resiko atribut.

C. Jenis Penelitian Cross Sectional


Cross-Sectional Study atau juga disebut Studi Potong Lintang mempunyai 2 jenis
studi, yaitu:
1. Studi potong lintang Deskriptif : meneliti prevalensi penyakit , paparan atau
keduanya, pada suatu populasi tertentu.
Contoh : penelitian persentase bayi yang mendapat ASI eksklusif disuau
komunitas, penelitian prevalens asma pada anak sekolah di Jakarta.
2. Studi potong lintang analitik : mengumpulkan data prevalensi paparan dan
penyakit untuk tujuan perbandingan perbedaan-perbedaan penyakit antara
kelompok terpapar dan kelompok tak terpapar, dalam rangka meneliti
hubungan antara paparan dan penyakit.
Contoh : beda proporsi pemberian ASI eksklusif berdasar pada pelbagai
tingkat pendidikan ibu, Beda kadar kolestrol siswa SMP daerah kota dan desa,
beda prevalens penyakit jantung reumatik siswa lelaki dan perempuan.
Deskriptif cross sectional hanya sekedar mendesripsikan distribusi penyakit
dihubungkan dengan variabel penelitian, sedangkan analitik crossectional: diketahui
dengan jelas mana yang jadi pemajan dan outcome, serta jelas kaitannya hubungan
sebab akibatnya.
D. Ciri-Ciri Penelitian Cross Sectional
Ciri-ciri penelitian cross sesctional menurut Budiarto (2004) yaitu sebagai
berikut:
1. Pengumpulan data dilakukan pada satu saat atau satu periode tertentu dan
pengamatan subjek studi hanya dilakukan satu kali selama satu penelitian.
2. Perhitungan perkiraan besarnya sampel tanpa memperhatikan kelompok yang
terpajan atau tidak.
3. Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai dengan kriteria subjek studi.
Misalnya hubungan antara Cerebral Blood Flow pada perokok, bekas perokok
dan bukan perokok.
4. Tidak terdapat kelompok kontrol dan tidak terdapat hipotesis spesifik.
5. Hubungan sebab akibat hanya berupa perkiraan yang dapat digunakan sebagai
hipotesis dalam penelitian analitik atau eksperimental.

E. Kelebihan dan Kekurangan Penelitian Cross Sectional

 Kelebihan penelitian cross sectional (Sayogo (2009)) adalah sebagai berikut:


a. Studi cross sectional memungkinkan penggunaan populasi dari
masyarakat umum, tidak hanya para pasien yang mencari pengobatan,
hingga generalisasinya cukup memadai
b. Relatif murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh
c. Dapat dipakai untuk meneliti banyak variabel sekaligus
d. Jarang terancam loss to follow-up (drop out)
e. Dapat dimasukkan ke dalam tahapan pertama suatu penelitian kohort atau
eksperimen, tanpa atau dengan sedikit sekali menambah biaya
f. Dapat dipakai sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya yang bersifat
lebih konklusif
g. Membangun hipotesis dari hasil analisis
 Kekurangan penelitian cross sectiona (Sayogo (2009)) adalah sebagai berikut:
a. Sulit untuk menentukan sebab akibat karena pengambilan data risiko dan
efek dilakukan pada saat yang bersamaan (temporal relationship tidak
jelas)
b. Studi prevalens lebih banyak menjaring subyek yang mempunyai masa
sakit yang panjang daripada yang mempunyai masa sakit yang pendek,
karena inidividu yang cepat sembuh atau cepat meninggal mempunyai
kesempatan yang lebih kecil untuk terjaring dalam studi
c. Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup banyak, terutama bila variabel
yang dipelajari banyak
d. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit, insidensi maupun prognosis
e. Tidak praktis untuk meneliti kasus yang jarang
f. Tidak menggambarkan perjalanan penyakit

F. Langkah-Langkah Studi Cross Sectional

Skema pada struktur dasar desain cross sectional melukiskan desain sederhana
rancangan studi cross-sectional. Sejalan dengan skema diatas dapat disusun langkah-
langkah yang terpenting didalam rancangan studi cross sectional, yaitu:

 Merumuskan pertanyaan penelitian beserta hipotesis yang sesuai


 Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung
 Menetapkan subyek penelitian
 Melaksanakan pengukuran
 Melakukan analisis

1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis


Pertanyaan penelitian yang akan dijawab harus dikemukakan dengan jelas.
Dalam studi cross sectional analitik hendaklah dikemukakan hubungan antar
variabel yang diteliti. Misalnya, pertanyaan penelitian yang akan dijawab
adalah apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orangtua anak
dengan kejadian enuresis pada anaknya.

2. Mengidentifikasi variabel penelitian


Semua variabel yang dihadapi dalam studi prevalens harus diidentifikasi
dengan cermat. Untuk ini perlu ditetapkan definisi operasional yang jelas
mana yang termasuk dalam faktor resiko yang ingin diteliti, faktor resiko yang
tidak akan diteliti, serta efek. Faktor yang merupakan resiko namun tidak
diteliti perlu diidentifikasi, agar dapat disingkirkan atau paling tidak dikurangi
pada waktu pemilihan subyek penelitian.

3. Menetapkan subyek penelitian


Dalam menetapkan subyek penelitian, harus diupayakan agar variabilitas
faktor reaiko cukup besar sehingga generalisasi hasilnya lebih mudah, namun
variabilitas variabel luar (variabel yang tidak diteliti) dibuat minimum.
Menetapkan populasi penelitian bergantung kepada tujuan penelitian, maka
ditentukan dari populasi-terjangkau mana subyek penelitian yang akan dipilih,
apakah dari rumah sakit / fasilitas kesehatan, atau dari masyarakat umum.
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam penentuan populasi terjangkau
penelitian adalah besarnya kemungkinan untuk memperoleh faktor resiko
yang diteliti. Misalnya pada suatu studi cross sectional mengenai infeksi
HIV/AIDS, populasi yang dipilih hendaklah kelompok subjek yang sering
terpajan oleh virus jenis ini, misalnya kaum homoseks atau penyalahguna
narkotik. Bila subyek dipilih dari populasi umum, maka kemungkinan untuk
memperoleh subyek dengan HIV semakin kecil, sehingga diperlukan jumlah
subyek yang sangat besar.
Menentukan sampel dan memperkirakan besar sampel, besar sampel harus
diperkirakan dengan formula yang sesuai. Berdasarkan perkiraan besar sampel
serta perkiraan prevalens kelainan, dapat ditentukan apakah seluruh populasi-
terjangkau akan diteliti atau dipilih sampel yang representatif untuk populasi-
terjangkau tersebut. Pemilihan sampel harus dilakukan dengan cara yang
benar, agar dapat mewakili populasi terjangkau. Penetapan besar sampel
untuk penelitian cross sectional yang mencari rasio prevalens sama dengan
penetapan besar sampel untuk studi kohort yang mencari resiko relatif.

4. Melaksanakan pengukuran
Pengukuran variabel bebas (faktor resiko) dan variabel tergantung (efek, atau
penyakit) harus dilakuukan sesuai dengan prinsip-prinsip pengukuran.
Pengukuran faktor resiko, penetapan faktor resiko dapat dilaksanakan dengan
berbagai cara, bergantung pada sifat faktor resiko; dapat digunakan kuesioner,
catatan medik, uji laboratorium, pemeriksaan fisis, atau prosedur pemeriksaan
khusus. Bila faktor resiko diperoleh dengan wawancara, maka mungkin
diperoleh informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap, yang merupakan
keterbatasan studi ini. Oleh karena itu maka jenis studi ini lebih tepat untuk
mengukur faktor resiko yang tidak berubah, misalnya golongan darah, jenis
kelamin, atau HLA.
Pengukuran efek (penyakit). Terdapatnya efek atau penyakit tertentu dapat
ditentukan dengan kuesioner, pemeriksaan fisis ataupun pemeriksaan khusus,
bergantung pada karakteristik penyakit yang dipelajari. Cara apapun yang
dipakai, harus ditetapkan kriteria diagnosisnya dengan batasan operasional
yang jelas. Harus selalu diingat hal-hal yang akan mengurangi validitas
penelitian, seperti subyek yng tidak ingat akan timbulnya suatu penyakit,
terutama pada penyakit yang timbul secara perlahan-lahan. Untuk penyakit
yang mempunyai eksaserbasi atau remisi, penting untuk menanyai subyek,
apakah pernah mengalami gejala tersebut sebelumnya.
5. Menganalisis data
Analisis hubungan atau perbedaan prevalens antar kelompok yang diteliti
dilakukan setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data. Analisis ini
dapat berupa suatu uji hipotesis ataupun analisis untuk memperoleh risiko
relatif. Hal yang terakhir inilah yang lebih sering dihitung dalam studi cross
sectional untuk mengidentifikasi faktor resiko.

Yang dimaksudkan dengan risiko relatif pada studi cross sectional


adalah perbandingan antara prevalens penyakit (efek) pada kelompok dengan
risiko dengan prevalens efek pada kelompok tanpa resiko. Pada studi cross
sectional ini, risiko relatif yang diperoleh buka risiko relatif yang murni.
Risiko reatif yang murni hanya dapat diperoleh dengan penelitian kohort,
dengan membandingkan insiden penyakit pada kelompok dengan resiko
dengan insiden penyakit pada risiko dalam periode waktu tertentu.
Pada studi cross sectional, estimasi risiko relatif dinyatakan dengan
Rasio Prevalens (RP). Yang dimaksud dengan prevalens adalah perbandingan
antara jumlah subyek dengan penyakit (lama dan baru) pada satu saat dengan
seluruh subyek yang ada. Rasio prevalens dihitung dengan cara sederhana,
yakni dengan menggunakan tabel 2 x 2.

Efek

Ya Tidak Jumlah

Faktor resiko Ya a b a+b

Tidak c d c+d

jumlah a+c b +d a+b+c+d

Gambar. Tabel 2 x 2 menunjukkan hasil pengamatan studi cross sectional.


Keterangan :

a = subjek dengan factor resiko yang mengalami efek

b = subjek dengan factor resiko yang tidak mengalami efek

c = subjek tanpa factor resiko yang mengalami efek

d = subjek tanpa faltor resiko yang tidak mengalami efek

Rasio prevalens dapat dihitung dengan formula berikut :

RP = a/(a+b) : c/(c+d)

a/(a+b) = proporsi (prevalens) subyek yang mempunyai faktor risiko yang


mengalami efek
c/(c+d) = proporsi (prevalens) subyek tanpa faktor risiko yang mengalami
efek

Rasio prevalens harus selalu disertai dnegan nilai interval kepercayaan


(confidence interval) yang dikehendaki, yang akan menentukan apakah rasio
prevalens tersebut bermakna atau tidak. Interval kepercayaan menunjukkan
rentang nilai rasio prevalens yang diperoleh pada populasi terjangkau apabila
sampling dilakukan berulang-ulang. Cara perhitungan interval kepercayaan
untuk rasio prevalens dapat dilihat dalam buku-buku statistika, atau dapat
langsung dihitung dengan berbagai jenis program statistik untuk komputer.
Bagi kita yang terpenting adalah pemahaman bahwa interval kepercayaan
tersebut harus dihitung, dan bila telah ada hasil, mengetahui bagaimana
interprestasinya.
Interprestasi hasil
1. Bila nilai risiko prevalens = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor
risiko tersebut tidak ada pengaruhnya dalam terjadinya efek, atau dengan
kata lain ia bersifat netral. Misalnya semula diduga pemakaian kontrasepsi
oral pada awal kehamilan merupakan faktor risiko untuk terjadinya
penyakit jantung bawaan. Bila dalam penghitungan ternyata rasio
prevalens nya = 1, maka dari data yang ada berartipemakaian kontrasepsi
oral oleh ibu bukan merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit
jantung bawaan pada bayi yang baru dilahirkan.
2. Bila rasio prevalensnya > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko
timbulnya penyakit. Misalnya rasio prevalens pemakaian KB suntik pada
ibu menyusui terhadap kejadian kurang gizi pada anak = 2. Ini berarti
bahwa KB suntik merupakan risiko untuk terjadinya defisiensi gizi pada
bayi, yakni bayi yang ibunya akseptor KB suntik mempunyai risiko
menderita defisiensi gizi 2x lebih besar ketimbang bayi yang ibunya
bukan pemakai KB suntik.
3. Apabila nilai rasio prevalensnya <1 dan rentang nilai interval kepercayaan
tidak mencakup angka 1, maka berarti faktor yang diteliti justru akan
mengurangi kejadian penyakit; bahkan variabel yang diteliti merupakan
faktor protektif. Misalnya rasio prevalens pemakai ASI untuk terjadinya
diare pada bayi adalah 0.3, berarti bahwa ASI justru merupakan faktor
pencegah diare pada bayi, yakni bayi yang minum ASI mempunyai risiko
untuk menderita diare 0.3x apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak
minum ASI.
4. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka
berarti pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut mungkin nilai
prevalensnya=1, sehingga belum dapat disimpulkan bahwa faktor yang
dikaji tersebut merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Contoh:
Rasio prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% 1.4 sampai
6.8 menunjukkan bahwa dalam populasi yang diwakili oleh sampel yang
diteliti, kita mempunyai kepercayaan sebesar 95% bahwa rasio
prevalensnya terletak antara 1.4-6.8 (selalu lebih dari 1). Dengan demikian
maka rasio prevalens tersebut disebut bermakna. Namun suatu rasio
prevalens sebesar 3, dengan interval kepercayaan 95% antara 0.8-7,
menunjukkan bahwa variabel bebas tersebut belum tentu merupakan
faktor risiko, sebab didalam populasi yang diwakili oleh sampel, 95% nilai
rasio prevalens tersebut terletak diantara 0.8-7, mencakup nilai 1. (Rasio
prevalens=1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tersebut bersifat
netral). Hal yang sama juga berlaku untuk faktor protektif (rasio prevalens
kurang dari 1); apabila nilai interval kepercayaan selalu kurang dari satu
berarti memang benar bahwa dalam populasi variabel independen tersebut
merupakan faktor protektif, akan tetapi bila rentang interval kepercayaan
mencakup angka 1, faktor yang diteliti tersebut belum tentu merupakan
faktor protektif.

G. Contoh Studi Cross-sectional

Studi Cross-sectional dengan satu factor resiko

Misalnya peneliti ongin mencari hubungan antara kebiasaan menggunakan obat


nyamuk smprot dengan batuk kronik berulang (BKB) pada anak balita dengan desain
cross sectional. Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah :

1. Penetapan pertanyaan penelitian dan hipotesis


Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan memakai obat nyamuk semprot
dengan kejadian BKB pada anak balita ? hipotesis yang sesuai adalah :
Pemakaian obat nyamuk semprot berhungan dengan kejadian BKB pada
balita.
2. Identifikasi variabel
 Factor resiko yang diteliti : penggunaan obat nyamuk semprot
 Efek : BKB pada balita
 Factor resiko yang tidak diteliti : riwayat asma dalam keluarga, tingkat
social ekonomi, jumlah anak, dll.
Semua istilah tersebut harus dibuat definisi operasionalnya dengan
jelas, sehingga tidak bermakna ganda.
3. Penetapan subjek penelitian
 Populasi terjangkau : Balita pengunjung poliklinik yang tidak
memiliki riwayat asma dalam keluarga, tingkat social ekonomi
tertentu, jumlah anak dalam keluarga tertentu.
 Sampel : dipilih jumlah anak balita sesuai dengan perkiraan besar
sampel ( misalnya telah dihitung sejumlah 250 anak). cara pemilihan :
random sampling dengan mempergunakan tabel random.
4. Pengukuran
 Faktor resiko : ditanyakan apakah dirumah subjek biasa dipergunakan
obat nyamuk semprot.
 Efek : dengan criteria tertentu ditetapkan apakah subjek menderita
BKB.
5. Analisis
Hasil pengamatan tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2 x 2.

BKB
Obat Ya Tidak Jumlah
Ya 30 70 100
Nyamuk Tidak 15 135 150
jumlah 45 205 250
Gambar. Hasil pengamatan cross sectional untuk mengetagui hubungan
antara pemakaian obat nyamuk semprot dengan kejadian BKB pada balita.

Pada gambar terdapat 100 anak yang terpajan obat nyamuk semprot, 30 anak
diantaranya menderita BKB (prevalens BKB pada kelompok yang terpajan obat
nyamuk semprot = 30/100 = 0,3). Terdapat 150 anak tidak terpajan obat nyamuk
semprot, 15 dianataranya menderita BKB )prevalens BKB bila tidak terpajan obat
nyamuk semprot = 15/150 = 0,1). Maka rasio prevalens = 0,3 / 0,1 = 3.
Selanjutnya perlu dihitung interval kepercayaan rasio prevalens (RP) tersebut.
Bila nilai interval kepercayaan 95% RP tersebut selalu diatas nilai 1 (misalnya antara
1,6 sampai 5,6 dan dapat disimpulkan bahwa penggunaan obat nyamuk semprot
memang merupakan factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak. Namun,
meskipun rasio prevalensinya 3, bila interval kepercayaan mencakup angka 1
(mislanya 0,6 sampai 6,7), maka penggunaan obat nyamuk semprot belum dapat
dikatakan bermakna sebagai factor resiko untuk terjadinya BKB pada anak balita,
atau (2) junlah subjek yang diteliti kurang banyak.
Dari contoh tersebut tampaklah ahwa pada rancangan penelitian cross
sectional factor prevalens adalah penting. Prevalens ialah proporsi subjek yang sakit
pada suatu wajtu tertentu (kasus lama dan baru), yang harus dibedakan dengan
insidens pada rancangan penelitian kohort yang berarti proporsi subjek yang semula
sehat kemudian menjadi sakit (kasus baru) dalam periode tertentu.
Walaupun istilah prevalens seringkali dihubungkan dengan penyakit, tetapi
dapat juga diartikan sebagai bukan penyakit, misalnya prevalens dari factor resiko,
atau factor lain yang akan diteliti. Prevalens sering digunakan oleh perencana
kesehatan untuk mengetahui berapa banyak penduduk yang terkena penyakit tertentu
dan juga penting diklinik untuk mengetahui penyakit yang banyak terdapat dalam
suatu piusat kesehatan. (Sastroasmoro, 1995)
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto E, Anggraeni D. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

Notoatmodjo. 202. Metodologi Penelitian Kesehatan. P Rineka Citra : Jakarta

Nurdini, Allis. 2006. “Cross-Sectional vs Longitudinal: Pilihan Rancangan Waktu


dalam Penelitian Perumahan Pemukiman”. DIMENSI TEKNIK
ARSITEKTUR Vo. 34, No. 1, Juli 2006: 52-58.
Puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/ars/article/ download/…/16449.
Diakses tanggal 23 Mei 2016.

Sastroasmoro, S., Ismael, S. ,1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,cetakan


pertama, Jakarta : Binarupa Aksara.

Sayogo, Savitri. 2009. Studi Cross-sectional Atau Potong Lintang. Jakarta:


Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai