Anda di halaman 1dari 3

Sedikit dari Anak-anak Gerhana (belum disunting):

DI depan Stadion Diponegoro, ada Kolam Renang Stadion peninggalan Belanda. Di kolam
inilah Manik dan kawan-kawannya belajar berenang. Dengan membayar seratus rupiah,
seorang pengunjung boleh berada di kolam renang selama dua jam. Setelah besi bekas pelek
mobil ditabuh penjaga, pengunjung harus keluar dari kolam, antre mandi di pancuran,
berganti pakaian, dan dipersilakan keluar kompleks—pengecualian diberikan kepada mereka
yang makan dan minum di kedai di bagian depan.
Anak-anak Karanggeni Selatan tidak puas dengan hanya dua jam. Tapi, untuk keluar lalu
membeli tiket lagi, mereka tidak sudi. Mereka biasanya bersembunyi di kamar ganti. Tidak
ada petugas kolam renang yang memeriksa karena mungkin dalam anggapannya tidak ada
orang yang mau berada di kolam renang empat jam sampai kulit mereka keriput. Ia tidak
kenal anak-anak Karanggeni Selatan.
Bagi Manik dan kawan-kawannya, Kolam Renang Stadion juga menjadi tempat penting
karena di situlah Totok alias Jembet, si penakut, beroleh penghormatan, berbarengan dengan
redupnya pamor seorang anak bernama Budiman.
Budiman empat tahun lebih tua ketimbang Manik, sepantaran dengan kakak sulungnya, tetapi
masih tinggal di Sekolah Dasar karena tiga kali tidak naik kelas. Mungkin karena masih
sama-sama SD, Budiman memilih berkumpul dengan anak-anak yang lebih muda ketimbang
yang sepantaran dengannya karena tak harus minder dan bisa bertindak sewenang-wenang.
Orang tua Budiman sepertinya terlalu bersangka baik saat memberikan nama pada anaknya
karena tidak ada perilaku anak itu yang menunjukkan sifat namanya.
Urusan makanan, kerakusan Budiman bisa membuat anak macam Tedik dan Dipanan yang
tergolong lahap makan seperti pertapa yang sudah delapan belas bulan hanya hidup dengan
meneguk udara. Budiman sering tanpa malu mendekat kepada orang yang sedang makan agar
ditawari, dan ia akan girang saja menggasak makanan sekalipun tawaran yang akhirnya
datang sebetulnya basa-basi. Bakat rakusnya sudah terlihat sejak kecil. Bertahun-tahun
sebelum hari yang menentukan di kolam renang itu, masih banyak penjual jagung berondong
dan arum manis berkeliling dari kampung-kampung, mereka juga memberi kesempatan anak-
anak menukarkan botol beling bekas sebagai ganti uang pembayaran. Suatu hari, ketika
penjual arum manis datang, Budiman maju dengan membawa botol yang masih menyisakan
kecap yang menetes-netes. Rupanya, saking inginnya makan arum manis sementara ia tidak
memegang uang saat itu, ia nekat membuang kecap di botol yang masih setengah lebih ke
tanah. Air liurnya sudah berkumpul di tepi kanan-kiri bibirnya saat si penjual menuangkan
gula pasir ke dalam lubang tabung yang berputar kencang dan berada di tengah mesin yang
bentuknya mirip baskom. Ketika gula yang di dalam tabung memanas dan kemudian keluar
dalam bentuk benang-benang halus yang selanjutnya menyerupai gumpalan kapas, ludah
Budiman sudah betul-betul jatuh. Ia tak bisa terlalu disalahkan dalam hal ini, pemandangan
gula menjadi arum manis terlalu menakjubkan, bahkan anak-anak yang tidak membeli pun
banyak yang mengerumuni penjual hanya demi bisa melihat perubahan bentuk itu, dan tentu
dengan secuil harapan bahwa ada kawannya yang membeli sudi berbagi—sebuah harapan
yang banyak sia-sianya. Sebetulnya ada dua jenis arum manis lain yang dijajakan berkeliling
saat itu; yang pertama adalah yang seratnya kasar dan dijual bersama sempe, lembaran tipis
bundar berwarna merah jambu yang terbuat dari tepung dan gula, dan penjualnya
menggunakan rebab dengan senar logam untuk menarik pembeli yang satunya lagi yang
dibuat dari gumpalan gulali yang ditarik berkali-kali sehingga menjadi benang tipis, dan
penjualnya biasanya ibu-ibu paruh baya; tetapi dua jenis ini tidak menghadirkan debar-debar
sama sekali saat anak-anak membeli. Begitu pesanannya ia terima, Budiman langsung
mencaplok setengahnya. Setelah itu ia baru sadar dan menikmatinya pelan-pelan. Ketika ia
menelan gumpalan kecil terakhir, ibunya datang marah-marah dan memuntir telinganya
sampai merah. Anak-anak yang melihat tertawa bahagia. Budiman menangis, tetapi itu tidak
menghentikannya menjilat sisa arum manis yang menempel di telapak tangannya.
Urusan kesopanan, daftar pelanggaran Budiman bisa dijejerkan dari Semarang sampai
Samarkhand. Satu yang paling mengesalkan anak-anak adalah masa ketika mereka beramai-
ramai numpang menonton televisi di rumah salah satu warga. Sampai pertengahan 1970-an
hanya ada lima rumah warga Karanggeni Selattan yang sudah memiliki televisi. Anak-anak
menonton dari rumah satu ke rumah lainnya, tergantung yang mana yang membuka diri untuk
ditumpangi. Anak-anak akan duduk bersila takzim di depan televisi. Yang paling anak-anak
senangi adalah film kartun dan serial Rin Tin Tin, terutama adegan pasukan kavaleri Amerika
menghabisi gerombolan liar Indian yang oleh karena ketidaktahuan orang kampung disebut
semena-semena sebagai orang Dayak. Agar semua bisa menikmati dengan tertib, ada aturan
bersama: omong getok dan kentut getok. Jika ada anak yang bicara atau kentut ketika
tayangan berlangsung, anak-anak yang lain berhak menggetok kepalanya. Budiman pernah
datang menonton saat mulutnya bau ikan asin yang menyengat, tetapi karena tidak ada aturan
yang menyebut tentang hal itu, ia lolos sekalipun yang lain sangat terganggu. Bahkan, ketika
si pemilik rumah yang saat itu ikut menghadap televisi berkali-kali mengibaskan tangan di
depan hidungnya, Budiman tak kunjung menangkap isyarat itu dan tetap duduk anteng.
Ketika kemudian anak-anak bertepuk dan berseru kagum karena komandan kavaleri pada
detik-detik yang genting berhasil lolos dari maut dan berbalik menghabisi seorang Indian
yang mengincarnya, Budiman langsung bangkit dan menggetoki kepala anak-anak dengan
ganas. Anak-anak mengira mulut bau ikan asin sudah terlalu, tetapi Budiman membuktikan
mereka keliru. Suatu siang, sepulang dari berak di kali dan belum sempat cebok, ia ikut
menonton di satu rumah karena tak mau ketinggalan Jungle Jim yang dibintangi si Tarzan
tampan Johny Weissmuller. Saat ketahuan oleh si pemilik rumah, ia dimarahi dan diminta
keluar. Alih-alih langsung ke sumur untuk membersihkan diri, ia nekat menonton dari balik
jendela. Akibatnya, si pemilik rumah marah dan mengusir semua anak di situ, lalu menutup
pintu dan jendelanya rapat-rapat.
Urusan permainan, Budiman sama rusuhnya. Saat bermain pistol air, ia akan mengisi
pistolnya dengan air yang sudah ia campuri kesumba sehingga baju anak yang terkena
tembakan jadi ternoda dan si anak berakhir dimarahi ibunya habis-habisan, apalagi jika baju
yang dipakai adalah seragam sekolah berwarna putih—beberapa anak malas mengganti
seragam mereka dengan baju rumah sampai saat mandi sore tiba. Saat bermain umbul, ia
akan memakai gacuk wolak-walik—menempelkan dua lembar dengan gambar yang sama—
sehingga saat diadu dengan cara melempar gambar umbul ke udara, ia akan selalu menang
karena gacuknya dalam posisi terbuka atau terlihat gambarnya. Saat ketahuan, ia hanya
tertawa dan tak merasa bersalah sedikit pun. Dulu, ketika anak-anak sepantaran Manik masih
bermain tung-tung bluk, atau petak umpet, kegembiraan berubah menjadi kemarahan jika
Budiman yang kebagian mencari. Ketika anak-anak sudah sungguh-sungguh bersembunyi di
balik kandang ayam, di bangunan tua yang tidak terpakai, atau tempat gelap lainnya, dan
mereka sudah merasa senang karena persembunyiannya rapi jali dan sudah satu jam lebih
tidak tepergok, ternyata mereka gembira karena alasan yang keliru. Alih-alih menjalankan
kewajibannya mencari anak-anak yang bersembunyi, Budiman malah pulang ke rumahnya
untuk makan malam. Kali pertama ia melakukan perbuatan tercela itu, anak-anak masih
mengampuninya. Ketika ia mengulanginya sepekan kemudian, anak-anak berharap ia segera
diangkut congculi, setan yang secara khusus menculik anak-anak dan selanjutnya menciduk
mata mereka dengan sendok besi untuk dijadikan biji dawet yang khusus disajikan untuk
golongan siluman. Anak-anak sangat takut setan ini, itu sebabnya mereka selalu menghindar
jika ada truk hijau kokoh lewat atau mendekat-- kata orang-orang dewasa, congculi ke mana-
mana selalu menggunakan kendaraan yang mesinnya mesti diputar dulu dengan engkol agar
menyala itu.
Jika sesekali timbul minat Budiman untuk kelihatan pintar, hasilnya malah membikin anak-
anak tambah gusar. Suatu hari, entah setan mana yang menclok di kepalanya yang bentuknya
mirip kacang polong itu, ia mengajukan pertanyaan ini: “Muhammad Ali lawan Rudi Hartono
menang siapa?”
“Muhammad Ali, dong,” jawab Dipanan cepat, waktu itu.
Manik langsung protes karena belum jelas pertandingan apa yang Budiman maksud karena
yang ia sebut pertama adalah orang Indonesia tampan berkulit hitam satu-satunya yang
menjadi juara dunia tinju kelas berat—menurut orang Karanggeni Selatan, Ali adalah orang
asli Indonesia dan bisa menjadi juara setelah tangannya diisi orang sakti di Banten—
sementara yang kedua adalah orang Indonesia tampan berkulit cerah asal Surabaya yang
sepertinya tidak pernah bosan menjadi juara badminton All England.
“Kalau kena swing kan bisa KO,” imbuh Dipanan.
Budiman mengangguk-angguk. Tapi, sejurus kemudian, ia berkata, “Kalau kena smes kan
sakit juga.”
Rupanya, Budiman dan Dipanan pada waktu bisa bersepakat tanpa berunding bahwa yang
mereka bayangkan adalah dua juara besar itu bisa saling menyakiti dalam sebuah
pertandingan yang entah bentuknya apa.
Ketika anak-anak lain memaki-maki, dan Dipanan mulai sadar bahwa ia telah terseret sebuah
kekuclukan, Budiman malah mengajukan pertanyaan baru: “Indonesia sama Jawa jauh
mana?” Anak-anak tak mau menanggapi. Budiman menjawab sendiri teka-tekinya: “Jauh
Amerika.”
Sesungguhnyalah, Manik dan kawan-kawan sepantarannya tidak pernah suka jika Budiman
berada di antara mereka. Tapi, mereka belum tahu caranya bagaimana menjauh darinya.
Maka, mereka pasrah saja setiap kali Budiman bersama mereka. Karena lebih tua dan
badannya lebih besar, Budiman sering menindas dengan banyak cara, mulai merampas
makanan yang dipegang anak-anak, menendang bebokong mereka—ia tak berani memukul
karena beberapa anak punya kakak lelaki yang bisa dengan mudah melipatnya jika ia
melakukan itu, sampai yang paling dibenci anak-anak karena saking kejinya: mengocok
kemaluan seorang anak dengan kakinya. Budiman akan mendorong seorang anak sampai
jatuh, lalu saat anak itu terlentang, ia akan memegang erat kedua kaki anak yang malang itu,
dan melanjutkannya dengan menginjak-injak selangkangan korban seperti seorang pemain
drum grup rock memainkan pedal bas drumnya untuk lagu-lagu cepat. Siapa nyana, urusan
mengocok dengan kaki itulah yang kemudian menumbangkan Budiman.

Anda mungkin juga menyukai