Anda di halaman 1dari 119

A. Jawa post 1.

Seorang Perempuan Buku Piutang


Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 23 Desember 2012) 1. RUKMINI mati jumat siang. Mayatnya baru ketemu jumat sore, nyangkut di kawat berduri yang membelit batang pipa perusahaan air minum. Puluhan warga yang susah payah mencari jasadnya, terkejut setengah matiRukmini tak mati sendirian. Pada selempang sarung gendongannya, juga ada tubuh mati bayi lelakinya. Celakalah Rukmini itu. Iblis apa yang singgah di benaknya, hingga lakunya serupa durjana tak berakal dan berhati? Perempuan sesat tak tahu diri, dikaruniai anak, tapi malah dibuatnya ikut mati bersamanya. Begitulah ragam omelan, bercampur hujatan, keluar lancar dari mulut ibu-ibu yang menyaksikan jasad Rukmini dan anaknya diangkat dari sungai. Hujatan masih tak berhenti keluar dari mulut mereka, serupa air bendungan Katulampa yang diluap bah. Sukarsih, tetangga Rukmini, tak ikut-ikutan menghujat. Perempuan itu justru sedih luar biasa. Di kepalanya, berkeliaran wajah Rukmini yang memelas padanya tadi pagi. Siang tadi, orang-orang tegak curiganya saat melihat Supendi meraung-raung di trotoar jembatan. Disuruh pulang, anak itu tak menurut. Sesekali bocah itu menengok ke bawah jembatan,

di

ke sungai berair kotor dan busuk itu. Mengucapkan sesuatu bercampur raungan membuat orang-orang sukar memahami kata-katanya. Saat Mang Jali datang membujuknya baik-baik, barulah Supendi bisa tenang bicara: ibunya jatuh ke sungai. Maka bergegaslah orang-orang menuju jembatan, bikin macet lalu-lintas dua arah yang lewat di situ. Mang Jali segera nyebur ke sungai mencari tubuh tetangganya itu. Lumpur tebal di dasar sungai bikin pencarian itu jadi sukar. Ketua RT pun sibuk menelepon polisi. Dua jam mereka menyelam-nyelam di sungai kotor berair hitam dan busuk itu, tubuh Rukmini justru mereka temukan dua ratus meter dari jembatan, nyangkut di kawat berduri yang membelit pipa air. Rukmini sudah mati, bayi di gendongannya pun begitu. 2. Saat Rukmini bersimbah kutukan dan hujatan dari para tetangganya sendiri, Sukarsih diam-diam menangis di kamar kontrakannya. Orang-orang yang menghujat itu sekaligus juga orang-orang yang tak peduli pada kesusahan Rukmini. Supendi baru saja tertidur setelah dia beri makan. Bocah itu kelelahan akibat banyak menangis dan kepanasan di trotoar jembatan. Sukarsih menyeka air matanya, memandang bocah yang lelap di depannya. Di benaknya masih lekat wajah Rukmini saat datang menemuinya tadi pagi. Karsih, bukan aku hendak merepotkanmu, tapi aku butuh uang dua puluh ribu rupiah saat ini juga. Rukmini duduk di ambang pintu membujuk Sukarsih.

Buat apa kamu uang sebanyak itu? Suamimu belum pulang ya? Air muka Sukarsih berubah saat mendengar jumlah uang yang disebut Rukmini. Bang Imin barangkali sudah di Merak sekarang, dia mau nyebrang ke Sumatra bawa barang. Aku ganti uangmu begitu Bang Imin pulang tiga hari lagi. Sarimin, suami Rukmini, menjadi kenek truk ekspedisi antar pulau. Sukarsih mengumpulkan ujung dasternya, mengepitnya di sela paha, lalu duduk di dekat Rukmini. Bagaimana ya, Ruk. Eng bukannya aku tak mau meminjami, tapi aku tak boleh mengeluarkan uang jika tak bilang dulu pada Bang Tigor. Kau ngerti sendiri bagaimana Bang Tigor itu orangnya. Bisa habis mukaku ditamparnya kalau dia tak senang dengan tindakanku. Bu Lia tadi datang marah-marah, menagih uangnya yang kupinjam minggu lalu untuk berobat si Asrul. Katanya, aku harus membayarnya siang ini juga. Ayolah, Karsih, cuma dua puluh ribu saja. Uangku tinggal tiga puluh ribu. Jika kuberikan padamu dua puluh, apa yang harus kukatakan pada Bang Tigor jika dia bertanya nanti. Rukmini terdiam. Pelipisnya berkeringat. Kasihan Sukarsih. Matanya memandang Asrul, bayi dua tahun di gendongannya. Supendi, anak pertamanya, tenang bermain kotak sabun di dekatnya.

Sukarsih jatuh iba juga. Disentuhnya lengan Rukmini. Ruk, pergilah ke Tante Jaenab. Jika hanya uang segitu, tak akan berat dia meminjamkanmu. Tante Jaenab itu janda kaya baik hati di belakang gang ini. Rukmini harus mempertimbangkan saran Sukarsih itu. Boleh jadi dia akan ke sana, tapi ragu buru-buru datang ke hatinya. Sudah sering dia menemui Tante Jaenab, tak enak hati Rukmini kerap merepotkan perempuan baik itu. Hari beranjak siang. Ya, sudah, tak apa-apa, Karsih. Aku mungkin ke Tante Jaenab saja, dalih Rukmini. Sukarsih tersenyum, memandangi punggung Rukmini yang bangkit berdiri. Selepas Rukmini hilang di ujung gang, perasaan Sukarsih mendadak cemas. 3. Rukmini sama sekali tak niat ke rumah Tante Jaenab. Dia hendak pulang setelah dari kontrakan Sukarsih, tapi buru-buru menghindar ke dekat warung mie ayam milik Mang Jali, demi melihat Bu Lia sedang berdiri dan mengetuk pintu kontrakannya. Rukmini batal pulang. Malu hatinya ditagih kasar begitu oleh Bu Lia. Pernah sekali Rukmini berhutang ke orang, tapi dia tak diperlakukan sekasar itu. Asrul harus dia bawa ke puskesmas enam hari lalu. Jika saja Kartu Sehat program pemerintah tak ditolak Puskesmas, Asrul pasti dapat obat generik, dan tentu Rukmini tak butuh pinjaman uang dari Bu Lia.

Perawat jengkel padanya dan mengembalikan kartu itu. Kartu begituan sudah batal, katanya. Jadilah Rukmini harus menebus obat ke apotek swasta. Uang pinjaman dari Bu Lia itu benarbenar habis untuk menebus separuh resep dokter. Kini pun obatnya habis, tapi batuk Asrul tak pernah benar-benar berhenti. Matahari memanggang ubun-ubun Rukmini. Asrul di gendongannya juga menggeliat kepanasan, dan mulai merengek karena lehernya gatal. Supendi lekat mengekor di belakangnya. Pilihan Rukmini tinggal satu: ke rumah Tante Jaenab, perempuan dermawan di belakang gang. Bergegas Rukmini menuju ke sana. Sarung gendongan Asrul dirapatkan agar bayinya itu tak banyak terpapar panas matahari, juga debu. Kendaraan mengangkat debu tinggitinggi, membuat Rukmini kian khawatir pada kondisi bayinya. Cemas menghantui Rukmini di hadapan suaminya kemarin malam. Sarimin lemas saat mendengar Rukmini butuh uang 20 ribu itu. Sopir truk, di mana Sarimin ngenek, belum membayarkan upahnya minggu ini, hingga tak ada uang yang bisa diberikannya pada Rukmini. Dua batang rokok di meja itu juga ketengan pemberian kawannya, hasil beli di kios dekat pul truk. Aku mau nyebrang ke Sumatra besok. Kami jalan subuh dari pul. Kalau Bu Lia tak mau lagi memberi waktu, cobalah ke bininya Tigor, minta pinjam padanya sejumlah uang yang kau butuhkan. Nanti kita kembalikan, begitu aku pulang tiga hari lagi, saran Imin.

Bukan itu masalahnya, Rukmini membatin. Sudah berulang kali dia merepotkan Sukarsih, itu pun tanpa sepengetahuan suaminya. Rukmini tak kuasa membayangkan jika Tigor menempeleng wajah Sukarsih lagibakal habis gigi depannya yang tersisa tiga itu. Iba hatinya pada nasib Sukarsih. Rukmini bukan jenis orang yang suka berhutang uang. Malu dia jika tak bisa melunasi. Rasa malu sudah harus ditahannya ketika meminjam, terlebih di saat mengembalikan. Jika dua anak lelakinya itu bisa makan dan tak sakit, tak akan sudi dia menadahkan tangan ke orang-orang. Rukmini dua kali harus melanggar prinsipnya karena terpaksa. Cukup sudah, dia tak mau berhutang lagi. Malunya bukan main. Pernah sekali dia menangis karena mengharap pembagian Kartu Jaminan Sosial dari kecamatan, yang tak pernah sampai ke tangannya. Petugas kecamatan datang menanyainya macammacam, sekaligus minta tanda tangannya di berkas pendataan. Berbilang bulan setelahnya, tak pernah kartu itu sampai ke tangannya. Padahal, jika kartu itu ada, keluarga kecilnya bisa bersyukur untuk jaminan uang 250 ribu rupiah per bulan dari pemerintah. 4. Lamunan Rukmini buyar saat melihat kerumunan orang di depan rumah Tante Jaenab. Rukmini memutuskan kembali ke arah warung mie ayam Mang Jali. Dia bisa sedikit tenang di sana sebelum pulang sore nanti, minimal sampai Bu Lia tak lagi dia lihat berdiri di depan kontrakannya.

Namun, betapa paniknya Rukmini, demi dilihatnya Bu Lia sedang berjalan ke luar gang. Duduk di depan warung Mang Jali akan membuatnya terlihat. Sungguh, dia tak akan kuat lagi menerima omelan Bu Lia di tengah orang banyak begini. Cemas dan panik berbaur memenuhi dada Rukmini. Dia harus menghindar, menyebrang ke sisi jalan, lurus ke arah pasar. Saat melintas di jembatan, Rukmini berhenti, tertegun dalam bimbang yang berkelahi di kepalanya. Kalau mati bisa menghapus rasa malu akibat dikejar hutang, akankah diambilnya putusan ini? Bagaimana nasib dua anak dan suaminya? Berat nian tanggungan Sarimin kelak, mengasuh dua anak dengan kerja serabutan begitu rupa. Toh, malaikat itu suka anak-anak. Rukmini yakin, malaikat bakal tersenyum dan menyogsong anak-anaknya saat dia datang menghadapkan wajah pada kematian. Diraihnya tangan Supendi, lalu ditariknya bocah itu ke bagian jembatan yang tak berpembatas. Cukup bulat tekadnya atas keputusannya itu. Kakinya mengayun ke arah sungai, meluncurkan tubuhnya masuk air. Badan Supendi tertahan besi jembatan, membuat anak itu lepas dari pegangan ibunya. Kaki Rukmini tertancap dalam lumpur sungai yang tebal, membuat tubuhnya sukar tertolak ke atas lagi. Dirasakannya rontaan Asrul dalam gendongan saat air sungai yang kotor dan bau memenuhi mulut dan hidung mereka, membuat perih luar biasa pada paru-paru. 5.

Benarlah cerita orang terhadap laku orang kotatak perduli pada kesusahan orang lain. Dulu, pertama kali Rukmini datang ke kota ini, dia cuma manggut-manggut mendengar cerita itu. Mana mungkin semua orang tak peduli? Pasti ada satu-dua orang yang bakal membantu saat kita kesukaran. Tapi memang tak banyak lagi orang yang seperti itu. Kegaduhan yang dibuat Supendi dengan raungannya, ternyata benar tak membuat orang-orang cepat menyadari ada sesuatu yang sedang terjadi. Malam ini, orang-orang yang mau disebut peduli itu, berdatangan ke kontrakan Rukmini, memperlihatkan wajahwajah iba mereka pada Supendi yang sedang dijagai Sukarsih. Tigor juga ada di situ, bertahlil dengan tetangga lainnya. Orang-orang yang katanya peduli itu, ramai berkerumun di pintu masuk, membuat udara menjadi gerah. Di antara orang-orang yang mungkin peduli itu, tampak pula Bu Lia, yang tetap tenang melayani bisik-bisik para ibu lain di sekelilingnya. Di ketiak kirinyayang basah dan busuk itu buku catatan piutang terkepit. Ada nama Rukmini ditera beserta pinjaman 20 ribu rupiah. Nama Rukmini belum sempat dia coret karena dianggap penghutang gagal bayar. (*) Bende, Desember 2012. Catatan: Cerpen ini terinspirasi berita ibu yang terjun ke sungai karena malu berhutang 20 ribu rupiah di Bogor.

2. Kota-kota Kecil Sepak Bola


Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 16 Desember 2012) PERCAYALAH, jika ada yang serempak mendatangimu dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, itu hanya ada dalam perjumpaan emosional dengan kota-kota sepak bolasatu di antaranya mungkin kota kelahiranmu. Jangan cari di dalam peta. Cari ia di daftar liga dan medan laga. Di sanalah kotamu mungkin ada, tegak berjaga dengan klub kecintaan seluruh warga kota kelahiran. Atau kota di mana engkau pernah tinggal, tempat kakek-buyutmu berasal, lalu merasa memilikinya dalam ikatan batin tak terkatakan, sebagaimana kota itu dengan ikatan kasih mengasuh klubnya, dan klub itu pun membela kota yang mengasuhnya. Lengkap dengan umbul-umbul, tentu, semboyan, mars, coretan di dinding, grafiti liar; lihat, fans fanatik berbaris di jalan-jalan, raung knalpot berkumandang! Lupakan para petinggi PSSI yang dengan nafsunya sendiri tak tahu cara mencintai. Lupakan FIFA yang sedari dulu mabuk kata sanksi tapi tak pernah benar-benar sangsi. Lupakan pula gelanggang-gelanggang besar tempat berpacu: dunia lima benua, Asia Raya bahkan Asia Tenggara yang terbuka di depan mata. Cukup lihatlah ke dalam, ke kota-kota kecil tanah airmu yang tenteram, maka akan terlihat bahwa gairah sepak bolanya tak pernah padam. Dalam musim-musim yang tak pasti memberi janji, kota-kota itu tetap hidup dalam tempaan keringat, semangat dan kaki-kaki yang berlari. Ya, dalam musim kompetisi yang serba sulit dan menyedihkan ini, kota-kota itu tetap datang bertandang. Dengan segala pilihan yang kita punyai, ia bisa datang lewat siaran langsung

televisi, radio atau terbaca di pojok arena surat kabar esok hari. Atau sesekali, bertandanglah ke stadion kotamu, simak gemuruh suara-suara. Terompet dengan nada terseret-seret, lagu-lagu kebangsaan sebuah kota, yel-yel kemenangan dan kekalahan, sama saja; akan selalu ada kubu yang bernyanyi dan kubu lain meradang dalam caci-maki. Biarkan, itu atraksi yang membebaskan di tengah tekanan politik yang memuakkan. Sebuah kota butuh kanal. Cukuplah kali dan selokanselokannya yang mampet dalam kepungan musim hujan. Dan posisi nanti bisa berganti jika papan skor berbalik arah. Yang bernyanyi akan ganti meradang dan yang meradang akan mengacungkan kepal tangan ke langit tinggi. Begitu seterusnya. Tapi sebentar akan tenang kembali. Semua hanya butuh ruang, dan itulah yang mereka dapatkan. Jadi, sebuah kota dengan klub sepak bola, adakah mimpi kelewat mahal? Adakah itu hasrat kegenitan semata dari pengelola kota yang mencari jalan pintas memunculkan kotanya ke tengah percaturan? Aku tak bisa memberi jawaban soal ini, karena dalam banyak kasus memang sering dijumpai hal-hal tak semestinya. Kocek APBD yang terkuras untuk membiayai tim, gaji pelatih, transfer pemain. Sponsor mendadak kabur atau tak ada sama sekali. Prestasi selalu berhenti di tepi-tepi. Fans fanatik mengamuk, merusak rambu dan pertokoan, saling lempar dari kereta api. Tapi tak pula kita hendak menutup mata betapa kota-kota sepak bola memiliki semacam ruang publik, tempat bermain bersama setiap orang dalam ikatan yang tak akan terjelaskan dengan apa pun. Tanpa harus sampai pada titik fanatik, tiap kali nama klub sebuah kota disebut, seseorang yang punya ikatandalam bentuk apa punajaib, akan merasa dicubit. Mungkin ia akan segera ambil posisi di depan tivi yang menayangkan siaran langsung pertarungan klub itu, atau sejak sejauh hari menandai agenda

bahwa ia akan bergabung ke stadion kota tercinta. Sebagian lain, setidaknya sekali seumur hidup akan berdoa buat kemenangan salah satu klub yang diam-diam dibelanya. Begitulah aku rasakan tiap kali menonton televisi yang menayangkan pertandingan bola dalam negeri. Selalu ada perasaan ajaib datang menghampiri. Berbeda jika menonton liga-liga benua seberang yang hanya menyeretku pada aktoraktor lapangan, menonton liga tanah air (yang kini bercabang dua) aku lebih banyak mengalir bersama kota-kota yang mengusungnya. Bahkan tak jarang jika aku menyempatkan diri datang ke stadion kota kecilku yang baru selesai dibangun di tengah sawah, dalam kepungan kebun tebu, aku pun tak sepenuhnya larut dalam gocekan bola semata, namun terseret, dekat atau jauh, dari kota ke kota. Dan benar, apa yang serempak mendatangiku dengan gemuruh degup di dada, koor nada, tempik-sorak dan harapan kemenangan, adalah kotakota sepak bola! *** KUPICINGKAN mata, maka kota-kota kecil sepak bola muncul seperti sedang mengambil absen dalam kepala. Ketika beberapa klub kutandai dengan penekanan yang khusus semacam upaya mencari ikatan batin atau apamaka aku akan terdampar ke sebuah kota yang tak terduga. Suatu sore, pluit wasit melengking membuka pertandingan Persibo vs Persiba di Stadion Sultan Agung. Sebagaimana tadi kusebutkan, stadion itu berada di tengah sawah arah ke reruntuhan Kraton Mataram Kuno di Plered, Bantul. Selain dikepung kebun tebu, jalan ke stadion diteduhi barisan pohon jati. Aneh, ketika Samsul Arif berkejaran dengan Ugik Sugiyanto dan kawan-kawan, diiringi

yel-yel Boromania dan Paserbumi, ingatanku justru melayang ke timur seolah menumpang selembar daun jati. Ya, bersama ingatan yang tak lekang aku masuki kota Bojonegoro, setelah perjalanan panjang menyusuri hamparan pohon jati dari Ngawi, ke punggung Pegunungan Kendeng, sampai di Padangan dan Kalitidu. Kumasuki jalannya yang lebar, bersisian dengan rel kereta api jalur Pantura yang sesekali menderu sampai jauh. Tak jauh dari gerbang kota terdapat sebuah terminal yang gampang tergenang dimusim hujan. Di sana aku pernah turun, lalu menyambung perjalanan ke salah satu sudut kota, ke tempat paman istriku tinggal. Paman itu mantan seorang pamong, pindahan dari Kudus bertahun-tahun lalu, namun merana di masa tua. Semua harta bendanya, termasuk entah berapa tumpak kebun jati, dijual oleh anak angkatnya. Tinggallah sang paman di sebuah rumah sederhana di sudut kota, namun ia tetap pribadi yang hangat sehingga ajaib aku merasa punya ikatan batin dengan kota yang ditinggalinya. Sejak itu, jika kudengar atau kubaca Persibo berlaga, pikiranku dengan sendirinya akan berpihak, disadari atau tidak. Bahkan ketika kini klub itu bertandang ke kotaku sendiri, aku merasa tak tahu hendak mendukung siapa. Begitu pula ketika aku menonton Arema vs Semen Padang di layar kaca, yang pertama-tama muncul bukan persoalan kalahmenang, tapi ingatan akan kedua kota yang lama kutinggalkan. Entah kenapa, Arema mengingatkanku pada Patung Chairil Anwar di sebuah perempatan. Surprise melihat patung itu pada suatu hari menjelang senja, aku nyaris berteriak, Malang satusatunya kota yang punya patung si Binatang Jalang! Tapi kenapa wajahnya bopeng-bopeng, Pa? tanya anakku yang duduk di bangku SD, spontan, setelah ia merasa sia-sia

mendapat sesuatu yang menarik dari patung itu. Ragil, teman yang memilin-milin rambut kritingnya mengejapkan sebelah mata lalu bercerita tentang kenapa patung itu kurang proporsional. Itu tak lain lantaran ia jadi rebutan beberapa partai di Kota Malang, di antaranya PSI dan PNIketerangan yang tentu juga tak menarik bagi bocah SD. Tapi, bagiku tak ubahnya PSSI yang bopeng jadi rebutan! Tak jauh dari patung, terdapat kedai es krim Oen dengan bangunan tua bercat putih susu dan coklat tua. Ke sana kami menuju, bertemu kawan lain, Didin dan Anan yang baru datang dari Kepanjen. Sambil menikmati es krim yang dihidangkan dalam wadah antik, aku tanyakan pada Didin apakah ia warga Arema atau Persema. Yang jelas warga Nahdliyin, katanya kalem. O, berarti pendukung MU, kataku. Kami tertawa. Barulah ketika aku diajak ke Kepanjen dan mampir di Kanjuruhan, aku paham betapa tak mudah menjawab pertanyaanku di kedai es krim tadi. Sebuah klub di sebuah kota, kau tahu, tak hanya milik warga setempat, melainkan semua orang di sekitarnya. Organisasi Aremania membuktikan itu. Berapa banyak para pecinta Arema yang menemukan ruang tamasya di klub Singa Biru? Berapa banyak yang menggantungkan hidup dari penjualan marcandhiase, kaos dan bendera? Ketika Kabupaten Malang membangun klub sendiri yang bermarkas di Stadion Kanjuruhan, dan pengurus pun menempuh jalan berbeda dengan bergabung ke satu liga, bagaimanakah publik menyikapi? Adakah keterpecahan dukungan atau bahkan psikologis atas kota kesayangan? Aku tak tahu.

Atau mungkin satu hal yang biasa, sebagaimana para pemain datang dan pergi? Bukankah di tiap penghujung musim, ada banyak pemain yang bertukar tempat, berpindah klub? Mereka berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lain, seperti Kenji Adachihara dari Bontang FC ke Persiba Balikpapan, Made Wirawan dari Persela Lamongan ke Persiba, atau Zulham Zamrun dari Persela ke Mitra Kukar. Ada dari kota besar ke kota kecil sebagaimana Okto Maniani dari Sriwijaya FC ke Persiram Raja Empat. Ada dari kota kecil ke kota besar seperti Egi Melgiyasah dari Persijap Jepara ke Pelita Jaya atau Zabriano R. Deltrame dari Persela ke Persija. Tidak jarang pemain luar pulang ke negaranya dan boomber lain datang, sebagian dikontrak klub dari negara lain. Bagaimanakah para pemain itu menukar pembelaan, dari klub yang dulu ia bela mati-matian, kemudian ditinggalkan, seolah sekadar berbalik badan? Ah, semua hanya permainan semusim, barangkali itulah jawabannya. Tapi entah kenapa hati kecilku menganggap tak sesederhana itu. Bagiku selalu ada terasa yang hilang tiap kali seorang pemain pergi, dan tidak cepat merasa tergantikan tiap kali pemain lain datang. Aku seumpama anak laki-laki kecilku yang hatinya rawan untuk soal-soal semacam ini. Dia pernah sangat sedih memikirkan ketika Fortune Udo harus hengkang dari Persiba, menyeberang ke Vietnam. Dia pernah memikirkan bagaimana Markus Horizon bisa menghadapi pertemuan Persib dengan PSMS, antara klub lama dan klub barunya? Bagaimana pula Gonzales dan Eka Rhamdani mengisi hari-harinya dari Bandung yang hiruk ke Samarinda yang relatif sepi? Lama kemudian kamiaku dan anakku yang sudah akan meninggalkan bangku SD-nyamenyadari bahwa sepak bola

tak ubahnya pabrik yang didirikan di suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli pribumi, asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji. Kita baru saja merasakan sedih mendalam atas kematian Diego Mendieta, pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Persis Solo. Tentu itu hanya satu contoh yang menyedihkan. Masih banyak kesedihan lain yang disurukkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil. Itu sebuah resiko. Maksudku, sepak bola adalah industri, dan sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga tangan panjang kekuasaan? Sekali lagi tak bisa kujawab. *** APA PUN, ada banyak cara bagi sebuah kota untuk membangun eksistensinya. Membangun gedung, jalan dan jembatan, meresmikan mall, merebut Adipura, itu sudah biasa. Di antara yang tak biasa adalah membangun dan merawat klub sepak bola. Sepak bola cukup pas membuat sebuah kota tinggal dalam rekam jejak kepala anak-anak yang berangkat remaja atau siapa pun yang bersentuhan dengannya. Lewat klub sepak bola, kota-kota kecil bersanding jika bukan bertanding dengan kota-kota besar lainnya, bersileweran di layar kaca dan beritaberita arena. Bukan hanya Divisi Utama, dalam daftar Liga

Primer pun klub-klub kota kecil muncul percaya diri, tak ciut nyali bersanding dengan klub-klub kota besar. Persik Kediri, Arema Malang, Deltras Sidoarjo, adalah klub yang sudah lama malang-melintang, bersanding dengan Persebaya Surabaya, Persib Bandung, Semen Padang, Persija Jakarta, Persipura atau Sriwijaya Palembang. Belakangan muncul dengan meyakinkan Laskar Kalinyamat Persijap Jepara, Persela Lamongan, Persiwa Wamena, Persibo Bojonegoro, Persiba Bantul. Dua yang terakhir muncul menjuarai Divisi Utama dan memborong tropi pemain terbaik dan top scorer. Muncul pula Mitra Kukar, Persiba Balikpapan, Persiram Raja Empat, Bontang FC, Gresik United, Persema Malang. Tak kalah banyak adalah klub Devisi Utama, yang sebagian mungkin sudah naik peringkat ke Liga Primer atau tutup buku. Mestinya mereka bisa lebih pasti jika dua organisasi yang merasa berhakLSI dan LPIbisa duduk semeja dan tidak semena-mena bermain dadu. Sebab ada banyak bendera klub berkibar di kota-kota kecil itu, mulai dari PSAP Sigli, PSLS Lokhsumawe, PSBI Blitar, PSCS Cilacap, PPSM Magelang, PSPM Mojokerto, Persiku Kudus, PSIR Rembang, Persibangga Purbalingga, Persepam Pamekasan, atau yang sudah lama eksis seperti Persis Solo dan PSS Sleman. Di klub-klub itu bertebaran tak hanya pemain-pemain masa depan, juga para pendukung yang tak kenal lelah, dan setia, dengan organisasinya. Boromania, Deltamania, LA Mania, Slemania, Pasopati, dan jangan lupakan Aremaniaboleh jadi salah satu yang terbesar. Persiba Bantul bahkan punya lebih banyak komunitas: Paserbumi, Kere Hore, Bad Boys dan CNF. Dan Bonek, tentu juga mesti dicatat sebagai fenomena heroik dalam sepak bola kita.

Mau dibawa ke mana mereka semua? Jauh dari pusat kota kecil tempatku tinggal, di stadion tengah sawah dalam kepungan kebun tebu, aku duduk mengenang kota-kota kecil yang membangun impian dan eksistensinya lewat sebuah benda bulat. Benda bulat yang, sebagaimana kusaksikan, mulai bergulir dari kaki ke kaki, dari dada ke dada, dan sesekali jatuh dalam tangkapan kiper. Lalu ditendang lagi, dikocok, dioper ke sana kemari, makin kencang dan liar seiring arena yang membahana dengan koor-nada, tempik sorak, yelyel dan teriakan tiada habis. Tak pernah habis. Perpaduan industri dan hasrat menegakkan jatidiri membuat kota-kota kecil sepak bola seakan abadi dalam musim-musim berkabut yang tak pasti memberi janji! (*) /Rumahlebah Yogyakarta, Desember 2012 (Terima kasih Tsabit atas diskusi dan bantuannya)

3. Huruf Terakhir
Cerpen Benny Arnas (Jawa Pos, 9 Desember 2012)

NAMAKU Lili, ujarmu di perkenalan kalian dua tahun yang lalu, perkenalan yang akhirnya mengantarkan kalian ke pelaminan, pernikahan yang melempar kalian ke kesemuan yang lucu, kenyataan yang menyeret kalian ke dalam lakon berdarah siang itu! *** SEJAK dipromosikan menjadi sekretaris direktur, sebagian besar waktumu kauhabiskan untuk urusan pekerjaan. Kau tak pernah tahu, sedari kauputar kunci Avanza lalu meluncur ke kantor di utara kota, Illy selalu berhasil membawamu kembali. Dari pagi hingga malam meninggi, kalian membincangkan banyak hal. Dari pekerjaan, kesetaraan gender, kurs rupiah yang makin anjlok, anggota-anggota DPR yang beradu mulut dan saling tonjok, isu naiknya harga BBM, hingga perkara asmara. Untuk yang terakhir, kalian tidak hanya terlibat dalam perbincangan yang hangat, tapi juga kerap bercumbu bagai tak menenggang keberadaan tetangga. Kadang Illy tertawa keraskeras, kadang memekik penuh gairah, dan tak jarang melenguh seolah tengah menuntaskan pertarungan-ranjang. Kalian selalu melakukannya sepanjang hari. Bila kau pulang cepat, di waktu yang sama, kauburu-buru menyelinap keluar dari pintu belakang.

Illy juga selalu pandai berakting seolah sepanjang hari sibuk menulis artikel budaya untuk koran lokal, beberapa puisi picisan untuk majalah remaja, menghitung untung-rugi beberapa usaha alternatif yang hingga kini belum direalisasikan, atau membereskan pekerjaan rumah sebagaimana dilakukan oleh para ibu rumahtanggaatau bahkan para pembantu rumahtangga. (Bukan, bukan kau yang meminta Illy melakukannya. Dia sendirilah yang mengajukan diri seolah menenggang kesibukan yang membelitmu, seolah tahu diri dengan status penganggurannya). Selayang pandang, Illy memang tampil sebagai suami yang sayang istri. Ya, walau menjadi penopang keuangan keluarga, kau tak pernah berpikir untuk membabukan suami. Kau hanya sering heran, mengapa Illy selalu lupa merapikan seprei ranjang atau sofa panjang ruang tengah. Kau selalu mendapati dua perabotan itu dalam keadaan kusut atau berantakan. Kau tak pernah menaruh curiga kepadanya. Kau seolah lupa, sepengangguran apa pun, Illy adalah seorang sarjana, Illy adalah laki-laki normal yang haus kehangatan, Illy bukanlah seorang dungu yang setia-buta menantikan kaupulang larut malam dalam keadaan lelah yang sangat (dan Illy menyiapkan air hangat yang akan membilas lelahmu agar kau dapat menyongsong malam dengan mimpi yang menerbangkan kepenatan). Lagipula takkah kau merindukan kehadiran seorang anak, Lili? Ah, yang terang, kau tak pernah tahu, Illy hanya memandangimu yang pulas di sampingnya (Oh Lili, takkah kau iba kepadanya?); kau tak pernah sadar bahwa kau tak pernah punya waktu untuk bertarung dengannya di dalam kelambu brokat tembus pandang; kau juga tak pernah tahu, akhirnya Illy melampiaskan gairah kepada kesepiannya, kepada yang tiba-

tiba meluangkan waktu untuk mendengar curhatnya, kepada yang tiba-tiba mendengarkan setiap keluh-kesahnya, kepada yang selalu memberi pertimbangan perihal usaha yang akan ia buka, kepada yang selalu memberi kenikmatan tak tertanggungkan tanpa harus berlaku sepertimu dulu: menerapkan kamasutra yang aneh-aneh lalu menganggurkannya sekian lama hingga saat ini! Kau sangat kejam, Lili! *** PAGI itu, kau tergesa-gesa mengunyah nasi goreng masakan Illy ketika ponselmu berdering nyaring. Direktur memintamu ke kantor lebih awal. Ada rapat mendadak dengan klien di perusahaan. Tanpa banyak ba-bi-bu, kau-oke-kan saja. Kautinggalkan sarapan yang baru kaulahap dua sendok. Terburu-buru kauambil segelas sirup-sunkis dan meminumnya seperempat isi. Setengah berteriak kaupamit. Kaututup pintu serampangan. Menuju Avanza yang baru selesai dicuci Illy pagi tadi. Tak sampai dua menit, mobil metalik itu sudah membawamu menyusur jalanan yang bingar oleh perang klakson. Di kantor, kau akan mendampingi laki-laki flamboyan yang kaupanggil Pak Direktur untuk mengikuti rapat yang akan dimulai satu jam lagi. Kau tahu kalau laki-laki itu sudah lama menaruh hati kepadamu. Namun kau mengabaikannya saja. Tentu saja kau tidak menunjukkanya. Kau masih cukup cerdas memilih; kapan melengkungkan senyum, kapan mengejek ketakberdayaan pimpinan. Kau selalu pandai berkilah bila rekan-rekan kantor (khususnya yang wanita) kerap mengolokolokmu. Kepada mereka kaunyatakan bahwa kau memang tak

membantah perihal Pak Direktur yang sangat perhatian, namun kau menolak dikatakan mendapatkannya dalam porsi lebih, apalagi dengan cara yang tak semestinya. Pak Direktur hanya ingin menunjukkan bahwa karyawan yang baik akan mendapat tempat yang lebih layak, ujarmu sok bijak. Kau terenyak mendapati berkas-berkas di dalam mapmu. Ada yang kurang. Kaulirik arloji mungil yang melilit pergelangan tangan kirimu. Tiga puluh menit lagi rapat akan dimulai. Kauminta izin keluar sebentar. Pak Direktur menunjukkan air muka keberatan. Namun senyum manis yang kausunggingkan, seolah-olah meyakinkan pimpinan perusahaan itu bahwa kau akan kembali sebelum rapat dibuka. Ya, tentu saja tak kaukatakan bahwa kaupulang mengambil beberapa nota kesepakatan yang akan ditandatangani klien perusahaan di akhir rapat. Kaunyalakan mobil. Kautarik napas agak panjang sebelum menginjak pedal gas. Kau akan mengemudi dalam kecepatan tinggi. Mobil melaju. Cepat. Kaupasang konsentrasi tinggi. Mobilmu meliuk dengan mulus di beberapa simpang dan jalan yang tak rata. Baru kali ini kaudapati bukti bahwa keadaan genting dapat melecutkan keberanian hingga beberapa kali lipat. Kaubunyikan klakson beberapa kali namun Illy tak kunjung membukakan pagar. Kau pun kesal. Kauturun dari mobil. Kau menggeret pagar dengan muka kusut. Kauparkir mobil sekenanya di halaman (sebenarnya bisa saja kau memarkirkan mobil di depan pagar tapi kaukhawatir ada mobil lain yang akan melintas di jalan kompleks yang sempit itu). Kau menarik gerendel pintu depan dengan gerakan malas. Kaubanting pintu.

Kaugegas ke ruang kerja. Kau membuka lemari yang biasa kaugunakan untuk menyimpan berkas-berkas kantor. Sembari memeriksa berkas-berkas yang belum juga ditemukan, kau memanggil-manggil suamimu. Tentu saja kau bukan hendak meminta bantuannya untuk mencarikan beberapa map penting karena ia memang tak tahu apa-apa tentang pekerjaanmu. Kau hanya ingin memastikan bahwa suamimu ada di rumah. Kau hanya ingin tahu mengapa ia tidak mengunci sekaligus membukakan pagar dan pintu untukmu mengapa ia mengabaikanmu! Praaanggggg!! Kau menoleh. Vas bunga kristal yang dihadiahkan Pak Direktur di hari ulangtahunmu beberapa bulan yang lalu, tersenggol siku tanganmu. Pecah. Beling-beling berserakan di lantai. Kau makin kesal. Mulutmu mulai merunyam. Beberapa kali kaupanggil suamimu dengan berteriak. Tak juga ada tanggapan. Ponselmu berdering. Nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya. Irama degup jantungmu mulai timpang. Butir-butir keringat berebutan menerobos pori-pori kulitmu. Kau menarik napas panjang sebelum memutuskan menjawab panggilan. Klek! Perasaan lega dan khawatir bertabrakan dalam dadamu ketika mendapati panggilan terputus sebelum sempat kaujawab. Kaugegas menekuri lemari berkasmu. Ups! Matamu berbinar cerlang. Kau akhirnya menemukan apa yang kaucari. Kau melirik arloji di tangan. O, rapat pasti baru saja dimulai, gumammu. Kau tahu, Pak Direktur pasti marah. Tapi memilih

mendampinginya tanpa berkas yang harus ditandatangani, tentu dapat membuatmu terdepak dari posisi nyaman. Baru saja hendak menuju pintu, kau mendengar suara dari arah kamarmu. O, suara itu memang berasal dari sana. Dan suara itu. O, benarkah suara itu benar-benar dari kamar? Itu suara suamiku, batinmu bergetar. Suara itu, suara itu, desahan itu, desahan yang menggambarkan kenikmatan yang tengah didaki. Benarkah desahan itu memanggil-manggil namaku, batinmu menggigil. Bahumu turun-naik. Perasaanmu benar-benar tak tentu. O, tidakkah kausadar, sudah lama nian kau tidak membuat suamimu mengeluarkan suara-suara yang meremangkan gairah? Dan kini. O kini, kepalamu bergasing demi menerka siapa yang telah membuat suamimu sebergelora saat ini! Kau bersijingkat mendekati pintu kamar. Pelan-pelan kaubuka pintunya yang tidak terkunci. Kau mengintip. Awalnya kausipitkan sebelah mata sebelum akhirnya tanpa kendali kaubelalakkan kedua indera penglihatanmu itu. Kau berteriak sembari berlari menuju suamimu yang bergeliat di atas seprei ranjang yang kusut. Paaakkkk! Sebelah tanganmu terasa berdenyar sehabis menampar sebelah pipi laki-laki yang sedari tadi sibuk memegangi kelaminnya sendiri! Illy pun terkesiap tak alang kepalang. Refleks ia bangun, mengeret tubuhnya ke pojok ranjang, lalu meraih selimut untuk

menutupi kemaluannya. Ia benar-benar malu dengan apa yang baru saja terjadi. Kau pun memandanginya dengan tatapan iba. Sekujur tubuh suamimu simbah oleh keringat. Tampaknya kau benar-benar merinduiku, Sayang ujarmu seperti bergumam. Suaramu seperti merasa sangat berdosa. Illy masih menggigil. Ia seperti remaja yang habis digagahi tiga orang sekaligus. Tatapannya kosong. Ia terus memanggilmanggil namamu. Kau tak kuasa meneteskan airmata. Kau seolah baru sadar telah mengabaikan suamimu lebih dari setahun belakangan. Kaulepaskan stiletto-mu. Kaunaik ke atas ranjang. Kaupeluk suamimu seolah menenangkan seorang anak kecil yang habis dihajar ayah tiri. Kaurapat-rapatkan dadamu ke wajahnya dan ia terus saja memanggil-manggil namamu. Aku di sini, Sayang, ujarmu lagi dengan nada menenangkan seraya melepaskan syal yang melilit lehermu. Aku juga sangat merinduimu, lanjutmu dengan wajah penuh rona. Kini, kaulepaskan semua yang menutupi tubuhmu. Kaupikir, bercinta dengan suamimu siang itu adalah salah satu cara untuk mengakui kealpaanmu selama ini. Kau seperti mendadak tak peduli pada rapat di kantor yang akan segera berakhir. Kau tak tahu kalau suamimu benar-benar bingung apa yang tengah dihadapi. Sungguh, ia ingin melanjutkan percintaan denganmu, perempuan yang menggiring jemarinya mencumbui selangkangan sendiri. Gubrraaakkk!!

Tendangan kaki kanan Illy membuatmu terjerengkang dari atas ranjang. Tubuhmu berguling-guling di lantai. Kaurasakan banyak kunang-kunang mengitari kepala. Pelipismu meneteskan cairan marun kental. Samar-samar kaulihat Illy meraih tembikar seukuran tubuh bayi dan o o o, ia mengarahkannya ke arahmu, ke kepalamu! Kau tak sempat berteriak, seolah membiarkan deringan ponsel dalam tas kerjamu (nama Pak Direktur mengedap-kedipkan layarnya) membisingkan siang itu, seolah membiarkan kematian datang bersama ketaktahuan yang mengenaskan: Yang Illy inginkan bukan Lili, tapi Lily! (*) Tabarenah, April-Juni 2012 Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Buku cerita pendeknya adalah Bulan Celurit Api (2010) dan Jatuh dari Cinta (2011). Bersama sang istri, mengelola BENNY INSTITTUTE

Itu jambretnya! Tangkap! Gelombang orang-orang merangsek ke arahku. Tanpa kuinginkan, tangan kananku yang memegang golok terangkat ke atas. Darah makin melumuri tanganku, sesaat rombongan orang yang tadinya merangsek maju terhenti, namun seseorang berteriak: Jangan takut! Ayo maju bersama. Ambil tongkat besi, ambil! Mereka mulai mencari-cari di tong sampah, di got, di halaman toko, apa saja yang bisa mereka pakai sebagai senjata. Tapi lelaki yang tadi berteriak malah sudah memegang pedang panjang. Dari mana dia mendapatkannya? Aku tak sempat berpikir panjang sebab mereka mulai merangsek maju dan mulai mencapai tubuhku, dan memukuliku dengan tongkat, dengan apa saja yang bisa dipakai memukul, dan tangan kiriku meraba kepalaku yang bersimbah darah, dan kemudian aku tidak tahu apa aku pingsan atau mati. Kulihat tubuhku terjatuh di tanah, mereka tetap memukuliku bertubi-tubi, walau aku tidak melawan. Kemudian, kukira aku berbisik: Apa salahku? Aku tidak berbuat apa-apa. Jangankan bisik, andaikata aku mampu berteriak pun pasti mereka tidak mampu dan tidak mau mendengarku. Yang penting mungkin bagi mereka melampiaskan rasa kesal mereka pada tubuhku, pada diriku yang memegang golok berdarah. Tapi, bukankah aku tidak tahu dari mana golok berdarah itu berada di tanganku? Tiba-tiba dan begitu saja. Pasti mereka jengkel, hampir setiap hari terjadi penodongan, penusukan, pemerkosaan, dan semuanya menjadikan masyarakat resah

4. Golok Berdarah di Tanganku


Cerpen Sunaryono Basuki Ks (Jawa Pos, 2 Desember 2012) TIBA-TIBA golok berdarah itu sudah berada di tanganku. Aku tidak tahu dari mana datangnya, namun orang-orang menunjuk ke arahku dan mulai bergerak setelah terdengar teriakan:

kehilangan rasa aman. Polisi tidak mampu mengatasi hal ini, selalu kecolongan aksi-aksi para penjahat itu. Tetapi, aku bukan penjahat. Hanya saja, aku memang tidak punya pekerjaan tetap. Kalau ada kesempatan, aku memulung sampah-sampah kardus yang dapat kujual pada pengepul. Namun aku tak pernah punya niat atau keberanian buat membunuh orang dengan golok berdarah yang tiba-tiba berada di tanganku. Sekarang entah tubuhku terbaring di jalan atau mengambang di awang-awang. Aku tidak yakin. Apakah aku berada di rumah sakit, tetapi siapa yang peduli membawa tubuhku ke rumah sakit? Atau aku berada di kamar je nazah dan mati sebagai Mr X sebab aku memang tidak punya KTP. *** Aku lihat seorang lelaki yang baru melakukan penusukan dengan cepat mengalihkan golok berdarah itu ke tangan seorang lelaki berpakaian kumuh yang sedang mengorek-korek tong sampah mencari sisa-sisa yang masih dia bisa kais. Peristiwa itu berlangsung cepat, aku hampir tak mampu mengawasinya andaikata aku tidak berada di depan jendela lantai dua bangunan itu. Dengan jelas aku lihat lelaki yang menusuk seorang perempuan tua dengan golok, entah apa yang dikehendakinya. Ya, baru jelas, dia menjambret kalung perempuan yang berteriak itu yang segera dibungkam dengan sabetan golok yang membuatnya berlumuran darah. Kulihat perempuan itu rebah ke tanah, namun lelaki yang mengais tong sampah itu tiba-tiba memegang golok berdarah di tangannya, dan menjadi sasaran amuk massa.

Aku ingin meneriakkan dari atas sini bahwa dia tidak bersalah, dan bahwa lelaki yang berteriak rampok itulah pelaku sesungguhnya. Namun, andaikata aku berteriak pun akan siasia dan takkan mampu menahan gelombang amarah massa. Apalagi kalau pelaku sesungguhnya marah dan menuduhku sebagai komplotan pembunuh. Oh, tidak. Aku tidak mau membahayakan diriku sendiri dengan menerima ancaman golok sewaktu-waktu. Siapa yang bisa memastikan bahwa pelaku penjambretan itu hanya seorang diri saja? Aku yakin mereka tidak pernah beroperasi sendirian. Pasti, paling tidak bertiga atau berempat. Kalau kelihatannya pelaku hanya seorang, maka yang lain berjaga-jaga, dan sewaktu-waktu bisa menghunjamkan golok atau pisaunya ke perut orang yang membayakan nasib mereka sebagai kelompok. Bahkan polisi pun bisa menjadi korban penusukan. Mungkin itu sebabnya petugas polisi tidak sembarangan bertindak. Dia selalu awas dan mengawasi situasi, siapa tahu di antara kerumunan massa ada yang membawa sajam, dan kemudian menerkamnya dari belakang. Aku terpaku bagai patung kayu di depan jendela, tak bisa menggerakkan lidahku untuk meneriakkan ketidakbenaran dan ketidakadilan itu. Aku hanya bisa menyaksikan ketidakbenaran dan ketidakadilan dari jendela rumah bertingkat dua itu tanpa berbuat apa, bagaikan saksi situasi yang menimpa negeriku. Berbagai peristiwa hanya bisa disaksikan tanpa bisa terlibat untuk meluruskannya. Yah, sekarang ini siapa yang mampu meluruskan jalannya sejarah, atau apakah memang sejarah punya jalan yang harus diluruskan? Aku benar-benar tidak tahu dan tidak mampu. ***

Aku berada di keramaian kota yang sudah biasa kujalani, dan aku juga sudah biasa waspada, memperhatikan orang-orang di sekelilingku yang gelagatnya mencurigakan. Sebagaimana biasa aku pergi ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari buat keluargaku. Aku bukanlah orang kaya. Suamiku hanyalah seorang PNS kecil dari departemen yang mustahil melakukan korupsi, apalagi sampai menggelapkan pajak. Namun aku bersyukur telah diberi kehidupan walaupun secara sederhana. Karena suami dan anak-anakku belajar dan diajari hidup jujur, maka sering pula aku beranggapan bahwa semua orang seperti kami, yang hidup dengan bersyukur dan berjalan pada jalur yang benar. Namun, hari ini mungkin hari sialku, atau mungkin sudah merupa kan buah dari perbuatanku, atau perbuatan orang tua ku, atau perbuatan leluhurku yang harus kupetik. Orang Bali percaya pada hukum karma pala, hukum buah perbuat an. Dan, walaupun aku bukan orang Bali, aku juga percaya pada hukum ini. Bukanlah esensi agama mengajari manusia untuk berbuat baik? Benih yang ditebar tidak akan tumbuh sebagai tanaman yang berbeda. Menebar benih padi akan menuai padi. Biji salak akan menumbuhkan tanaman salak yang kulitnya bersisik namun buahnya masam manis. Entah dari mana, tiba-tiba sebuah tangan terjulur dan menjambret kalungku. Kudengar bisik keras: Jangan berteriak! Namun mulutku terbuka, dan sebelum sepatah kata keluar, sebilah golok menyambar leherku. Darah muncrat, namun aku masih mengenali lelaki yang menyambarkan golok itu. Lalu, orang-orang memburu seorang lelaki yang tangannya memegang golok berdarah dan menghajarnya. Aku ingin meneriakkan bahwa bukan dia yang menjambret kalungku, namun aku tak berdaya, dan kemudian aku mungkin jatuh pingsan. Kasihan lelaki malang itu, yang mungkin juga sedang menanggung buah perbuatannya. Aku tak berdaya.

*** Aku sedang berpatroli dengan sepeda motor HD sebagai petugas polisi lalu lintas. Kulihat orang bergerombol menghajar seseorang, dan aku segera menelepon petugas lain untuk datang membantu. Walaupun aku bukan polisi antihuruhara, sebagai polisi pelindung rakyat aku turun dari sepeda motorku dan meniup peluit untuk menarik perhatian massa yang mengamuk. Namun, nampaknya mereka tak peduli. Kulihat seorang lelaki sudah terkapar di atas jalan aspal. Tangannya memegang golok berdarah. Jalanan macet. Kemudian juga, seorang perempuan tergeletak di jalanan. Mungkin dialah korban dari golok berdarah itu. Aku segera mengatur lalu lintas agar tidak macet. Ambulans yang kupanggil segera datang, bunyi sirenenya meraung-raung dan dua orang korban itu segera diangkat pergi, dikawal petugas polisi yang datang. Entah bagaimana nasib mereka. Mudah-mudahan mereka baik-baik saja dan persoalannya dapat diurus secara hukum. Beberapa orang sudah ditanyai sebagai saksi oleh rekan-rekan polisi yang datang. Setelah melapor melalui telepon, aku memacu motorku menuju rumah sakit, memburu ambulans yang meraung lebih dahulu. (*) Singaraja, 17 Maret 2012

5. Rindang Sedayu
Cerpen Isbedy Stiawan ZS (Jawa Pos, 25 November 2012) CINTA Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angkaangka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam. Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan jugatentu pulabenci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa. Hawa dicipta bukan dari tulang rusuk lelakiyaitu Adam seperti kerap kalian dicekoki selama ini. Tuhan tak perlu harus mencopot satu tulang rusuk Adam hanya untuk mencipta Hawa. Apa guna kun fayakun-Nya? Setelah kedua manusia pertama itu dicipta, mulailah benihbenih cinta tumbuh di dalam tubuh mereka. Mengalir bagai air, berkecambah layaknya biji. Lalu mengakar dan menjadi pohon. Pohon cinta. Karena cinta, Tuhan memerintahkan kedua makhluk manusia itu menempati surga. Alangkah indahnya taman eden itu. Betapa kalian tak perlu bekerja banting badan, memutar tubuh, mengubah letak kaki menjadi tangan dan sebaliknya. Di taman surga, segala sudah tersedia.

Buah-buah anggur nan manis, apel dan lezat. Bahkan pula, sungai yang di dalamnya sebagaimana dikatakan Chairil Anwar: mengalir susu. Bayangkan, kalian tak perlu ke luar surga jika hendak meminum susu. Apatah lagi menginginkan daging, tentulah sudah tersedia. Bahkan, tak kalian lihat perempuan dan lelaki menjadi tuakeriput. Para wanita adalah bidadari, sedangkan lelakinya ialah pangeran nan tampan. Para ustad akan menggambarkan kira-kira seperti itu di hadapan umatnya. Itulah cinta Tuhan kepada Adam dan Hawa. Dia tempatkan kedua manusia pertama hasil perdebatan-Nya dengan malaikat dan iblis saat-saat berencana mencitpa manusia untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi. Untuk sementara kedua pasang manusia itu digodok di dalam surga, sebelum menjalani kehidupan yang sesungguhnya di bumi. Sudah suratan, Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis. Setan memang mendapat lisensi untuk bisa mendengar yang paling rahasia sekalipun di langit. Maka karena Adam dan Hawa boleh hidup sesukanya di surga, hanya satu catatan usah dekati (bayangkan, hanya mendekati!) salah satu pohon yang tumbuh di dalam surga, apatah lagi memetik buahnya yang bernama khuldi. Lalu iblis merayu Adam. Dia tak tergoda, sebab Adam mencintai Tuhan yang telah menciptakannya. Maka iblis tak habis rayu. Didekati Hawa. Dia bisikkan ke telinga perempuan, yang konon ditakdirkan memiliki perasaan lebih besar ketimbang perhitungan akal, bahwa pohon itu tak masalah kalau hanya didekati.

Lalu Hawa mendekati. Adam melarang tersebab cinta. Dibujuknya sang kekasih itu agar jangan mendekat apa yang telah dilarang Tuhan. Pohon ini indah sekali, aku takjub. Buahnya amat memesona, ujar Hawa makin mendekati pohon itu. Dan iblis makin melancarkan tipudayanya. Dibisikkan lagi ke telinga kiri Hawa: sekiranya buah itu dipetik lalu segera makan, abadilah kalian berdua di surga ini. Untuk apa menetap di bumi, jika apa yang kamiiblis, malaikatnuzumkan akan terjadi pertumpahan darah? Apakah tidak ingin kalian tinggal di sini hingga kiamat, tanpa bekerja keras untuk menghidupi diri dan keturunan sebagaimana jika berada di bumi? Hawa kian mabuk oleh rayu-bujuk. Dia dekati teman hidupnya, dia katakan kalau yang diuapkan makhluk asing itu benar adanya. Siapa pun mau hidup abadi, tak mengalami kematian, menetap bahagia berlimpah buah, makanan, serta minuman. Adam mulai mengerjap-ngerjakan matanya. Lidahnya keluar masuk, jakunnya naik turun, ludahnya mengences. Ingin sekali rasanya mencicipi buah dari satu pohon yang Tuhan larang itu. Kisah Adam dan Hawa adalah karena cinta. Mereka dikeluarkan dari surga lalu diturunkan ke bumi secara berpisah, juga agar keduanya menemui cintanya. Di Bukit Rahma, setelah beratus-ratus tahun sejak keduanya diturunkan bisa bertemu. Bukit Rahma atawa bukit cinta yang kemdian menjadi simbol bagi pertemuan seluruh jamaah haji (juga umroh) untuk

bermalam. Di Padang Arafah untuk berwukuf, sebelum melempar jumroh. *** KECANTIKAN Beruntunglah aku dilahirkan menjadi perempuan cantik. Bersyukurlah aku dititahkan untuk memimpin sekumpulan orang di wilayah ini. Tetapi, berwajah cantik tanpa memiliki cinta, adakah hidup menjadi gempita? Namaku Rindang Sedayu. Rambutku memanglah rindang layaknya tubuh cemara. Aku ayu atau dayu, maka kedua orang tuaku menyebutnya Sedayu. Di kelompok semendo ini akulah ratu. Aku memimpin rakyatku penuh bijaksana dan lemah lembut. Namun aku tegas dan keras di hadapan kerajaan lain ataupun lawan. Aku sakti. Itu sebabnya, aku berani menetap di Canguk [1] bukan di tanah orang semendo, yakni Sumatera Selatan. Tetapi, benarkah kami tak punya tanah kelahiran sehingga berpindah ke dekat arus Way Abung [2]? Lalu menetap, mungkin, hingga turun-temurun. Orang Semendo juga mendapat tanah untuk berkebun, terutama kopi, cengkih, dan lada. Kami diterima di daerah ini dan memiliki kampung. Cuma bukan sebagaimana kaum Yahudi yang mencaplok tanah Palestina setelah berpindah-pindah dari berbagai negara!

Kalau ditanya apakah kami orang Lampung? Kami akan mengangguk, sebab kami meminum dan mencari makan dari tanah Lampung. Namun, darah yang mengalir di tubuh kami tetaplah darah Semendo. Dan! Asimiliasi juga berlangsung. Orang Semendo bisa menikah dengan orang Lampung. Begitu sebaliknya, orang Lampung mengambil perempuan Semendo. Walaupun kadang perkawinan ini diawali dengan ketidaksetujuan di dua pihak keluarga. Aku Rindang Sedayu. Seluruh pria di daerah ini terpesona pada kecantikanku. Negeri tetangga baik yang jauh ataupun dekat, juga memuji paras dan ingin menjadikan aku sebagai isteri. Tidak kecuali, Minak Trio Diso. Pengiran dari lereng Canguk. Dia amat tergila-gila, ingin menyuntingku menjadi permaisurinya. O tidak! Aku adalah ratu bagi orang-orang Semendo di Canguk ini. Kedudukanku setingkat dengan Minak Trio Diso. Apa kata warga Semendo jika aku menjadi permaisuri Trio Diso? Keratuan Semendo di sini akan hilang. Titah keratuan tidak bisa diturunkan kepada anak-anak cucuku. Putus tali titah. Sebagai perempuan nan cantik sekaligus ratu bagi orang Semendo di Canguk ini, tak heranlah banyak pria ingin menyuntingku. Mereka hendak kepercik anugerah. Ingin dipandang tak sebelah mata oleh masyarakat lantaran bersuami seorang Ratu. Kehadiran kami di Canguk dianggap membawa permusuhan, terutama dari orang-orang Minak Trio Diso. Itulah muasal

permusuhan di antara kami. Pertikaian kerap berlangsung, baik siang maupun malam. Perang di lereng, di bukit, atau di dekat aliran Sungai Abung. Darah mengaliri way. Mayat bergelimpangan di hutan, di ladang, di tepi sungai, ataupun di lereng dan bebukitan. Kita datang jauh-jauh dari Selatan. Hutan sudah kita masuki dan keluar, sungai kita susuri bersampan, binatang buas ditundukkan, serta alam yang mengancam kita tekuk di kaki. Apakah harus menyerah di Canguk ini di tangan mereka? kataku pada hulubalang. Hulubalang berseru: Tidak! Kita datang dan menempati lahan ini untuk berhuma. Kita ditakdirkan oleh alam mesti hidup dan beranak-cucu di daerah ini, lalu bolehlah menyebar menuju lahan kosong yang baru. Kenapa pula kita harus kalah? lanjutku. Segala jiwa dan tenaga kami, untuk puan Rindang Sedayu. balas hulubalang dan masyarakat. Maka kami tetap bertahan di Canguk. Tak seinci tanah pun kami mau mundur. Jika Minak Trio Diso datang menyerang, parang-parang kami akan menghadang. Apabila Minak Trio Diso menyerbu wilayah kami, kaki-kaki kokoh bagai kaki kuda dan siap memuantahkan debu. Memang Minak Trio Diso tak bisa dipandang remeh. Dia sakti mandradiguna. Tuturkatanya mampu menidurkan orang. Sekali erang, badiknya [3] bagai kilat mendarat di badan musuh.

Hentakkan bagaikan tendangan kuda jantan yang lapar: sekali tendang musuh bisa terbang ke seberang way. Perawakan Minak Trio Diso tinggi besar. Urat badannya menonjol seperti sebentang kawat. Dan ototnya keras, kulitnya putih sebersih sutera. Tiada berminyak. Selain itu, Minak Trio Diso tampan wajahnya. Perempuan mana tak akan jatuh dalam pelukannya karena pesonanya? Aku mengakui itu. Aku terpesona. Ah, tidak! Tak sudi aku besuami dia, meski akan jadi permaisurinya. Apalagi seluruh keluargaku tak merestui jika aku disuntingnya. Terutama kakak-kakaku menolak. Mereka siap berkubur tanah untuk mempertahankan diriku. Aku siap bertarung dengan Minak Trio Diso. Kalah atau menang, kamu tetap tak boleh menjadi isterinya. Apa kata rakyat Semendo, Rindang Sedayu mau dipersunting orang Canguk? Ini memalukan, jauh-jauh dari seberang hutan namun kalah di sini dengan orang sini? kata kakak tertuaku yang diaminkan kakak kedua. Kecantikanmu, Ananda, bisa mendatangkan raja dari Malaya sekalipun. bisik ayahanda. Ibunda ikut berujar: Kau putriku satu-satunya, cantik pula. Rindang Sedayu ditakdirkan menjadi pemimpin bagi orang Semendo. Tak baik mengelak dari takdir. ***

MUSYAWARAH Dan perang tak juga henti. Kedua belah pihak tak ikhlas melucuti senjata masing-masing. Canguk cekam. Way Abung mencatat setiap mayat hanyut dan darah mengalir. Warna daun bercampur merah. Tanah basah. Udara gerah. Badik dan parang menari dan bergemirincing. Kedua belah pihak sudah sangat lelah. Tetapi keduanya tak ada yang mau mengalah. Badik telanjur diacungkan, pantang masuk sarung sebelum ada yang bergulung di tanah. Begitu pula parang sudah disiapkan, tak boleh disimpan kalau tak ada yang bersimbah di bumi. Akhirnya aku tak bisa menolak, ketika Minak Trio Diso mengutus orang untuk menemuiku. Utusan Minak Trio Diso yang berjumlah lima orang menyerahkan badik dan sarungnya, dan bawaan tangan lainnya: buah, sayur, padi, dan lain-lain. Kami datang ke mari atas perintah Minak Trio Diso, tak lain untuk menyampaikan harapan untuk sebuah pertemuan. Jikalah puan Rindang Sedayu berkenan, esok bertemu di tepi Way Abung. Apa gerangan yang diinginkan Minak Trio Diso, wahai tuantuan utusan Minak? Menyelesaikan pertikaian, menyudahi permusuhan. Apakah patut pertemuan itu? Adakah muslihat di baliknya? tanyaku curiga.

Tiada puan Rindang Sedayu. Hamba tak mampu menyelam dalamnya hati Minak Trio Diso. Baiklah, besok aku datang. Ini semua aku terima, kataku sambil memerintah orang membawa masuk bawaan tangan utusan Minak Trio Diso. *** BERSAMPAN Tidak jauh dari Way Abung pertemuan digelar. Sungguh, hatiku bergetar manakala menatap mata Minak Trio Diso. Aku tertunduk-sipu. Minak Trio Diso semakin menghunjam pandangnya. Menyapu dari rambut, kening, mata, hidung, pipi, bibir, dagu, dada, hingga ke ujung jemari kakiku. Wow, aku nyaris jatuh tak sadar. Betapa benar banyak cerita, bahwa Minak Trio Diso memang tampan rupawan. Rambutnya hitam dan tidak panjang tak juga pendek. Perawakannya kekartegap dan besar. Dadaku berdegup kencang. Aku lawan tatapannya. Minak Trio Diso menunduk. Aku menunggu ia berkata, namun bibirnya semakin mengatup. Suasana mulai terasa gaduh. Mungkin mengira aku dan Minak Trio Diso akan beradu tanding. Dia mendekat. Aku diam. Semakin dekat. Aku tak bergerak. Aku mengundangmu ke sini, karena aku ingin mengutarakan isi hatiku.

Apakah itu? Aku menginginkan kau jadi isteriku. Jadi ibu dari anakanakku yang akan melahirkan anak-anak keturunan Abung. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kakak-kakakku berang. Mereka ingin menarik tubuhku ke belakang. Orang tuaku juga maju ke depan, namun tak mampu menyentuh badanku. Entah aku menyukai Minak Trio Diso ataukah menolak keinginannya. Tak mampu kuceritakan kepada siapa pun. Aku sadar ketika kami bersampan mengikuti aliran air Way Abung hingga ke suatu tempat [4] lalu menetap cukup lama di daerah baru ini. Minak Trio Diso membawa lari aku untuk kemudian menjadikan aku isterinya. Lalu lahirlah anak-anak dari rahimku. Anak-anak yang terlahir dari sebuah pertikaian, dan berakhir tanpa bermusuhan. Bayangkan, Saudara, orang Semendo dinikahi oleh orang Abung. Dari dendam, bermusuhan, saling tikam. Akhirnya menyatu dalam rumah tangga yang besar: masyarakat Abung [5] yang terbuka bagi setiap pendatang. Adalah keluargaku, terutama kakakku, tetap menaruh dendam pada Minak Trio Diso. Hanya kukatakan padanya: Untuk apa dendam, bila Minak Trio Diso sudah menjadi bagian keluarga kita. Pernikahanku dengannya untuk menyudahi permusuhan dan dendam yang akan merugikan seluruh orang di sini.

Di Canguk kami kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Membuka lahan menjadi hunian. Menurunkan anak keterunan dari percampuran dua suku: Lampung dan Semendo. Suamiku meninggal dan makamnya berada di lurah, sedangkan jasadku dimakamkan di atas bukit. Sebenarnya kedua makam kami tak berjauhan, namun terasa amat berjarak karena ketinggian dan tertutup oleh belantara. [6] Way Abung airnya jernih. Banyak bujang gadis berbasuh di airnya, setiap pagi ataupun petang. Canguk pun menjadi ramai. [7] *** CINTA Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angkaangka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam. Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan jugatentu pulabenci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa. Aku Rindang Sedayu keturunan Semendo, dinikahi Minak Trio Diso puyangnya orang Lampung Abung. Kami berladang sekaligus membangun kampung di Canguk, beberapa tahun setelah aku dilarikan Minak Trio Diso.

Sudah lama aku menaruh hati padamu, Dinda, namun pertikaian antara kita selalu menggagalkan niatku memperisterimu. kata suamiku suatu malam. Aku pun sudah tahu lama bahwa kakanda adalah lelaki tampan rupawan. Tetapi akan hina jika perempuan lebih dulu menyatakan cinta. balasku. Malam terus menjelma runcing. Begitu hening. (*) Lampung, 29 Agustu 2012 Keterangan: [1] Nama daerah di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara. [2] Way dalam bahasa Lampung berarti sungai. Sungai Abung berada di Kecamatan Abung Tinggi, tak jauh dari Simpang Asam Kecamatan Bukitkemuning, Lampung Utara. [3] Senjata orang Lampung, sejenis pisau namun lebih besar. [4] Tidak dijelaskan apa nama daerah yang dituju Minak Trio Diso saat membawa lari Rindang Sedayu ini, namun diperkirakan Kotabumi. Adat membawa lari gadis ini masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat Lampung Abung (Pepadun). [5] Menurut catatan, orang Lampung Abung bermula dari Canguk dengan nenek moyangnya Minak Trio Diso-Rindang Sedayu kini menjadi orang Lampung asli di Kotabumi, Lampung Utara.

[6] Makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Minak Trio Diso dan Rindang Sedayu masih bisa disaksikan di Canguk, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara. Dari Kotabumi ke daerah ini memerlukan waktu dua jam lebih. [7] Masyarakat, khususnya orang Simpang Asam, mengenal canguk dengan sebutan Puyang Canguk. Dan untuk referensi bagi cerpen ini saya peroleh dari Saman Ce, warga Canguk bersuku Semendo, yang pernah merenovasi kedua makam tersebut. Dia banyak mendapat cerita dari juru kunci Makam Minak Trio Diso, juri kunci ini kini sudah meninggal dunia.

6. Gumading Peksi Kundur


Cerpen Sanie B. Kuncoro (Jawa Pos, 18 November 2012) LAKI-LAKI itu datang padamu di suatu sore yang bercahaya. Musim kemarau ketika itu, terik kulminasi matahari masih tersisa di sekitarmu. Debu tipis melekat pada reranting dan dedaunan. Saat angin menghampiri, akan kau dengar gemerisik dedaunan yang seolah membisikkan dahaganya kepadamu. Tak hendak kau abaikan bisikan itu, namun kunjungan seorang tamu di beranda rumah tentulah harus dipedulikan terlebih dahulu. Siraman air untuk mereka haruslah menunggu. Kau letakkan canting dan meredupkan nyala api pada wajan berisi malam cair. Tanpa meneliti ulang, gerak tanganmu telah mengatur nyala sumbu kompor itu pada ukuran yang tepat. Redup yang pas untuk menghangatkan malam dengan titik api yang aman, sekadar untuk menjaganya tetap berupa lelehan tanpa akan membakar apalagi menghanguskan. Berkepul samar malam cair warna jelaga itu saat kau beranjak. Aromanya melekatimu, menguar kentara serupa jejak pada setiap gerakmu. Kau seka peluh di dahi dengan punggung tangan sesaat sebelum langkahmu menjejak ambang pintu terbuka, menyambut sang tamu. Bergerak lembut tanganmu mempersilahkannya duduk. Monggo pinarak. [1] Mengangguk laki-laki paruh baya itu membalas salammu. Jalinan rotan pada kursi tua peninggalan orangtuamu, berderak lirih saat menerima beban tubuh sang tamu.

Kudengar kau pembatik yang mumpuni, begitu tamu itu mengawali niat kedatangannya. Pujian awal yang tidak membuatmu tersanjung apalagi tersipu. Perjalanan waktu telah membawamu melewati hal-hal semacam itu, tidak membuatmu terbiasa melainkan justru memberimu kemampuan mendeteksi sebagai basa-basi atau umpan tekak. Kabar tentang mumpuninya menyesatkan, katamu santun. pembatik, acapkali

Bukan hal mudah mewujudkan keinginan. Tidak selalu tepat melakukan penafsiran dari hasrat tersirat. Perbedaan rasa keindahan selalu bisa terjadi. Ada yang bersimpang jalan untuk kemudian saling menghindar tanpa beban satu sama lain. Beberapa di antaranya memilih untuk menjadikan rasa keindahan pribadi sebagai sesuatu yang sama mutlaknya bagi orang lain. Kini, akankah karya wastramu sanggup menafsir dan memenuhi hasrat keindahan laki-laki itu dengan jitu? Wastra apakah yang dikehendaki? pelan kau bertanya, melangkah awal pada penelusuran sebuah keinginan. Diperlukan kehati-hatian mengungkap pertanyaan demi menjadikannya tidak sebagai penyelidikan yang nyinyir. Kukasihi seorang perempuan, baginya ingin kuberikan tanda mata yang akan mengikat hatinya kepadaku. Nuwun sewu, apakah berupa batik sarimbit [3] yang akan dipakai berdua? Tidak, menjawab laki-laki itu tanpa menggeleng. Busana sarimbitku dengan yang lain. Datar suaranya, bernada sangat biasa. Menandakan makna tersirat yang gamblang. Siapa pun mampu menafsirkan dengan persis isyarat itu. Kuinginkan sutera terbaik berkualitas utama, dengan serat terlembut yang pernah ada. Harga tidak masalah, berapa pun itu akan kubayar tunai, lunas kapan pun kehendakmu. Maka wujudkanlah dengan sempurna wastra tanda mata itu. Temukanlah corak batik nan elok serta bermakna rohani terindah, yang niscaya sanggup mengikat hati kekasih kepadaku, tanpa hendak berpaling.

Memahami batik sebagai karya, tidak serupa mengenakannya. Apa yang tampak hanyalah tampilan, yang justru kerap menjadi ukuran keindahan, sementara makna rohani yang tersirat pada coraknya justru terabaikan. Kuinginkan keduanya. Elok tampilan dan indah rohaninya. Karena itulah aku datang padamu. Wujudkanlah dua keutamaan itu bagiku, maka akan kutahu apakah pilihanku padamu ini karena tersesat atau kaweruh ing panuju. [2] Lurus mata laki-laki itu padamu. Tidak demi menelusurimu, melainkan itulah gerak sebuah niat yang tak tergoyahkan. Seketika kau tahu bahwa kau telah terpilih untuk mewujudkan sesuatu. Seringkali langkah awal tetamu baru adalah langkah yang gamang. Beberapa di antaranya berbalik langkah membawa niat yang urung. Sebagian yang lain teryakinkan oleh wastra yang tersimpan di almarimu. Kali ini kau dapati pilihan yang tak goyah kepadamu. Namun bukan rasa kemenangan yang mengendap di dalammu, melainkan beban yang samar. Akankah ternyatakan nanti bahwa reputasi mumpunimu bukan kabar angin belaka?

Demikianlah laki-laki itu menitipkan hasrat pemujaannya kepadamu. Diakhirinya kunjungan sembari menaruh harapan seutuh bulan purbani kepadamu untuk mewujudkannya. Kau bergeming dalam duduk. Tampak tenang serupa permukaan dataran air. Sementara di dalammu ada yang melepuh diam-diam. Itulah hatimu. Sebentuk hati lembut, yang seharusnya terjaga justru diguyur air mendidih pada suatu ketika. Didih air itu menggenangimu, melepuhkan hingga serabut saraf tersembunyi di benakmu. Terjaga utuh dalam ingatanmu yang satu itu.

bahwa dirimu telah ditinggalkan. Bahwa janji yang seharusnya teguh telah diingkari. Kini, kau menerima amanah untuk membuat wastra yang akan menjadi perayu perempuan lain. Tanda mata yang akan menandai gerak awal terbaginya sebuah kesetiaan.. Lama kau merenung di beranda. Mengabaikan reranting dan dedaunan yang bergemerisik mengabarkan dahaganya. Tak kau pedulikan pula semburat matahari sore yang telah meredup dan membuat rumahmu remang tanpa cahaya. ***

Tak kupunya lagi kesetiaan yang utuh kepadamu, kata suamimu pada suatu hari, ada padaku seorang perempuan lain, yang kepadanyalah hendaknya kau berbagi hati dan keberadaanku. Mendidih darahmu seketika. Meluap didihan itu mengguyur hatimu lengkap dengan uap panas yang melepuhkan. Tak hendak aku berbagi, begitu katamu dengan nada lurus seturut keteguhan hatimu. Kalau begitu, aku akan menceraikanmu, gumam suamimu serupa ancaman. Kuterima talakmu, kau mengangguk tanpa rasa gentar. Benar kau tak gentar. Serupa burung-burung yang tak pernah kawatir pada hari esok, demikian kau jalani perceraianmu tanpa rasa gamang. Tapi luka itu tak bisa kau ingkari. Bukan karena rapuh hatimu melepuh, melainkan oleh kenyataan

Entah berapa hari kemudianyang kau lalui dengan perasaan gamang yang menggelisahkankau temukan sebuah pilihan pola batik yang sekiranya tepat untuk tanda mata yang diinginkan laki-laki itu. Pagi masih muda ketika itu, embun belum mengering dari dedaunan di kebun saat sebuah sarang burung tergeletak di pelataran. Kau letakkan sapu lidi, demi memungut sarang itu dan menduga-duga asal mulanya. Barangkali berasal dari pohon belimbing yang ada di dekatmu. Sarang dari jalinan reranting dan daun kering itu kosong, tak ada telur sebutir pun tertinggal. Sarang yang telah ditinggalkan. Kau tak hendak membuang sarang itu. Kau membersihkannya dari debu dan sampah yang tak perlu, meletakkannya pada sebuah dahan dengan beberapa tangkai bulir padi. Kau berpikir barangkali burung-burung itu akan memerlukan kembali sarang darimana mereka berasal dan gabah itu akan menjadi santapan

yang melegakan, sepulang mereka dari perjalanan yang melelahkan. Demikianlah sarang itu mengilhami sebuah corak batik. Teguh pilihanmu, tanpa gamang meski setitik cecek [4]. Adalah pola buketan untuk mewujudkan rancanganmu. Setiap buketan terdiri dari seekor burung dengan sayap berlapis. Sebagai klowongan, yaitu ragam hias utama, kau tampakkan detil setiap helai sayap burung-burung itu. Seolah gerak melayang ujung sayap itu berkepak terbang. Sebagai ragam hias latar pola, terpilihlah ceplok bunga seruni yang kau posisikan serupa taman. Sengaja tak kau pilih jenis unggas, entah kupu-kupu atau capung sebagai latar hias, karena kau ingin sosok burung itu menjadi yang utama. Kau tata pola buketan itu dalam satu jajaran, seolah burung-burung itu berbaris menuju pada satu arah. Gabah sinawur [5] untuk isen-isen [6], pengisi bidang kosong latar pola utama. Tangkai-tangkai padi itu seolah menjadi rangkaian gabah yang saling menyambung. Setiap tangkainya menampakkan bulir-bulir padi perlambang kemakmuran. Ada ketelatenan yang tidak biasa saat kau mengerjakan wastra pesanan itu. Ketekunanmu menggoreskan canting melukis corak batik itu, tidak demi mengejar tenggat waktu sematamata. Melainkan lebih karena kesungguhan hatimu yang menjadi penggeraknya. Lincah gerakmu, sesungguhnya karena jemari itu hanyalah perantara dari ungkapan rasa yang mengendap di benak. Sekian lapis endapan tak terungkap, yang nyaris tak tertanggungkan. Ada gelisah yang mereda, ada risau yang menjauh seiring wastra itu menuju pada tahap akhir penyelesaiannya.

*** Laki-laki itu datang menjemput tanda mata pesanannya pada sebuah pagi menjelang siang yang teduh. Pagar bambu yang membatasi kebunmu dengan jalan kampung, berderak pelan saat bergerak terbuka menandakan kedatangannya. Kau bentangkan wastra kuning lembut sewarna gading. Melayang sesaat sutera itu tanpa suara, sebelum kemudian rebah pada sandaran kursi panjang. Kau temukan sepasang mata yang berpendar takjub. Menampakkan hasrat yang seolah meletup demi menelusuri wastra panjang itu dari ujung ke ujung. Lebih indah dari bayanganku semula, ternyatalah reputasi mumpunimu tidak menyesatkan. Kau diam, membiarkan udara tak bergerak di sekitarmu. Sama sekali tidak tergesa untuk tersanjung. Sejatinya kau menunggu laki-laki itu menyelesaikan kekagumannya. Alangkah tepat corak pilihanmu. Kuingat kekasihku pernah menginginkan batik bercorak burung hong. Burung-burung itu sedang terbang menuju pulang, katamu pelan dengan nada yang sangat terjaga. Laki-laki itu menoleh padamu. Gumading Peksi Kundur [7], demikianlah kunamakan wastra ini. Apa maknanya?

Burung-burung yang terbang menuju pulang pada sarangnya, itulah Peksi Kundur. Akan melambangkan makna yang berbeda andai diserahkan pada dua orang yang tak sama. Maksudmu? Kau berhenti sejenak. Seolah jeda sebelum melanjutkan sesuatu. Dia akan menjadi tanda mata pamit untuk mengakhiri sesuatu. Telah selesai persinggahan sang burung, dan inilah tanda mata untuk melepaskan kepulangannya menuju sarang bermulanya. Pada pihak lain, ia adalah perlambang yang menandai sebuah kepulangan dari perjalanan panjang. Entah sejauh apa perjalanan itu, namun inilah saatnya untuk menemukan kembali sarang yang ditinggalkan. Adalah gabah sinawur yang menjadi isen-isen, itulah tebaran biji padi di masa awal musim tanam, menandakan bermulanya sebuah musim baru. Demikianlah sebuah musim dimulai, dengan taburan benih untuk menumbuhkan kehidupan baru menggantikan apa yang telah terlalui. Lurus mata laki-laki itu padamu. Pendar takjubnya telah berubah menjadi kilauan tajam serupa kelewang terasah. Kau tak gentar, apalagi terhenti. Mengapa kuning? Gumading, itulah warna kuning selembut gading. Dengan teknik pewarnaan batik wonogiren, warna dasarnya seolah retak, terkena rembesan warna soga. Karena serupa itulah gading, senantiasa retak. Demikian juga kehidupan, terutama

kasih sayang, selalu tak sempurna. Namun selama tak patah, yang retak itu tetaplah berharga. Kau berhenti kemudian. Lalu menunggu. Tak ada debaran tak normal di dalammu, melainkan ketenangan yang teguh. Seteguh pilihan-pilihanmu sejauh ini. Di hadapanmu, laki-laki itu bergeming dalam hening yang panjang. Entah sedang menjalani masa suwung, demi menelusuri ulang jejak terlalui untuk menemukan jalan kembali. Ataukah tak hendak beralih dari lorong-lorong labirin, yang setiap lekuk kelokannya menjanjikan adrenalin nan menggairahkan? Kau tak hendak bertanya. (*) Keterangan [1] Monggo pinarak : silahkan duduk [2] Kaweruh ing panuju : memahami tujuan [3] Sarimbit : berpasangan, busana bercorak sama yang dipakai suami istri. [4] Cecek : ragam hias berupa titik-titik pada pola batik [5] Gabah sinawur : taburan gabah [7] Isen-isen : ragam hias yang terletak di dalam latar pola batik Gumading : kuning gading Peksi : burung Kundur : pulang

7. Perempuan Padi
Cerpen Azizah Hefni (Jawa Pos, 11 November 2012) ARA, di hamparan sawah itu, aku selalu ada; ikut bersemai bersama padi-padi dan lenguh sapi. *** Sepanjang hari, aku selalu menantimu duduk di pinggir selokan itu. Tubuhmu yang mungil berlari keluar dari rumah berbata merah, sembari menebar senyum ke arah padi-padi. Pada mulanya kau hanya akan memandang jauh pada hamparan sawah yang hijau, kemudian matamu yang bening akan menatap ke awan. Awan-awan yang selalu bergumpal. Awanawan yang membentuk hewan-hewan atau wajah-wajah khayalan. Kau akan berteriak, Tuu waaannn!! Tuu waann! (Itu awan! Itu awan!). Kau seperti burung kenari yang berdendang menyambut pagi. Bau badanmu pasti sangat kecut dan kau belum sikat gigi. Betismu yang kering tampak semakin pecah-pecah karena kau selalu bercelana pendekkulitmu memang langganan alergi. Pada selokan itu, kau memasukkan dua kakimu. Kakimu lantas berkecipak memainkan air selokan. Aih, jorok betul. Di sana banyak bakteri. Mereka akan bisa dengan mudah masuk ke selsel kulitmu dan menari-nari di dalam tubuhmu. Jika sudah terlalu girang, kau pasti merasakan sesuatu yang aneh dalam perut dan duburmu. Dengan lincah, kau jongkok, lantas bertopang dagu. Kau mengejan, dengan sepasang mata berkaca-kaca dan mulut tertarik ke bawah. Wajahmu yang

tomat rebus itu membuat aku, padi-padi dan awan-awan, selalu terbahak bersamaan. Kau berlari begitu saja, membiarkan berak itu jatuh dari celanamu. Ara, segeralah mandi, hari sudah terlalu siang. Jangan berteriak seperti orang kesakitan saat nenekmu mengguyur badanmu dengan air dingin. Sesungguhnya, air itulah yang akan menyelamatkanmu dari gerah dan lelah. Nikmatilah setiap tetes air dari gayung seperti kau menikmati hujan, genangan becek, dan air selokan. Sejatinya, semua air menggembirakan. Termasuk air di rahimku dulu, yang juga menjadi pelindung keberadaanmu. Dan, waw betapa tampannya kau dengan rambut basah dan bulir-bulir air menetes bergantian di sekujur kulitmu! Apalagi jika kau kenakan pakaian merah dan celana hitam. Sandalmu berdecit-decit, dan bedak di sekujur badanmu loreng-loreng menyegarkan. Kau tertawa memperlihatkan gigi-gigimu yang gigis. Bau kayu putih dan minyak rambut bayi terasa awet. Kau terlihat seperti boneka salju. Tapi wajahmu yang polos itu, yang selalu membuatku ingin menggigit hidungmu itu, tidak pernah berhenti memanggilmanggil perihku. Bagaimana bisa kau terlahir begitu serupa dengan laki-laki itu? *** Bagaimana bisa? Suaranya parau. Tangannya mencengkeram bahuku dengan sangat kuat. Apa kau sengaja tidak minum pil?

Ini sudah kehendak Tuhan, tukasku cepat. Halah, persetan! ia mendorong tubuhku hingga jatuh dan membentur meja rias. Enyahkan dia! Tidak! Cuh ! ludahnya mengenai mempertahankan kerutan alisku. lututku. Aku terus

persawahan, serta duduk berjam-jam di gudang belakang sebuah pabrik krupuk guna menunggu laki-laki keriting itu menjemputku. Sambil menunggu, aku terus saja menggelenggelengkan kepala, menepis bayangan ibu yang tadi tampak pulas di ranjang. Aku terus menepuk dada sambil berbisik, Inilah yang paling benar! Hatiku yang sekam itu terus menguntai bayangan kisah bahagia. Tentang sebuah pernikahan yang sakral dan menjanjikan. Tentang seorang laki-laki yang tangguh dan bertanggung jawab. Yang ditunggu memang datang pada akhirnya. Ia membawa sebuah mobil sedan hitam. Segera aku melompat, seperti seekor kutu yang melihat rambut kotor dan lebat. Kami lalu pergi menembus jalan-jalan yang kuharap bisa membuatku lupa jalan pulang. Segalanya ternyata serba-rahasia. Pengucapan janji pernikahan yang rahasia, pelepasan keperawanan yang rahasia. Bukan hanya itu, laki-laki yang menikahiku itu pun ternyata sangat rahasia. Perihal muasalnya saja, aku tidak begitu tahu. Perihal kepergiannya dari rumah, aku pun tak banyak tahu. Ia hanya berkata ia bekerja, dan ia akan pulang untuk segera tidur denganku. Ia hanya meletakkan uang sepuluh ribu tiap pagi di meja rias, lalu pergi. Kemudian ia datang tengah malam, dan menindihku dengan kejam. Laki-laki itu memang selalu memberiku uang. Laki-laki itu juga selalu menyebutuhiku. Tapi laki-laki itu tidak pernah bertanya kenapa begitu lama aku tidak menstruasi.

Kemudian ia pergi begitu saja, sesukanya saja. Tanpa kembali menoleh, sekalipun sekadar memantapkan amarah. Tapi, aku sama sekali tidak menangis. Hanya saja, napasku memburu dan peluh terus luruh. Dalam kamar yang sempit namun terang itu, aku mematung. Di kepalaku banyak bayangan masa depan digantung. Perihal pekerjaan, kesebatangkaraan, perut yang terus membesar, dan kepulangan. Pulang? Tidak, tidak, aku tidak akan pulang. Pulang hanya akan membuatku bodoh dan dibincangkan banyak orang. Pulang hanya akan membuatku menelan belati sendiri di depan muasalku. Yang menurutku benar adalah, aku harus bekerja. Lebih keras dan lekas. Sedang diriku yang sebatangkara tidak perlu menjadi persoalan yang mengerikan. Sebab dalam rahimku, jabang itu terus melihat dan merasa. Ia harus melihat dan merasakan hal-hal yang tidak mengerikan dan meragukan. Ia harus merasa tenang dan tidak menyesal. Terkutuk benar pernikahan ini, batinku. Susah payah aku lari dari rumah yang sudah membesarkanku, menembus gelap jalan

Aku menangis dalam gamang. Aku terus membaca masa lalu; selalu senang duduk menenggelamkan kaki di selokan sawah. Aku selalu senang bercerita pada udara, tentang kisah perempuan miskin yang pada akhirnya menjadi putri kerajaan yang cantik. Aku juga selalu membayangkan gumpalan awan seperti kepala-kepala kurcaci atau hewan-hewan ajaib. Aku selalu bergoyang mengikuti goyangan padi dan orang-orangan sawah. Aku selalu menirukan suara sapi dan menyapa petani yang berkulit kasar. Aku, juga selalu berak di tepi selokan. *** Dan malam ini, hujan rintik membasahi pelataran rumah yang masih bambu. Aku melihat rumah itu masih begitu bersahaja dan hangat. Dulu, di sana aku membunuh usia, menghabiskan waktu dengan bermain dan berkahayal, juga mempelajari hidup yang sejatinya masih sepotong. Di pelataran yang kesepian itu, aku melihat Ara ditimang ibu yang pesakitan. Air matanya mengental, seperti begitu lama terendap di kantung matanya yang hitam. Bertahun-tahun ia memanggil namaku yang tak kunjung pulang, bertahun-tahun ia mencurahkan doa cinta di atas namaku yang tak kunjung datang. Ibu, anggap saja aku ini benalu dalam dahan hidupmu. Anggap saja aku ini tumbuhan yang gagal, layak tebang, dan pantas dibakar. Aku selalu menutup mataku ketika kau datang di hadapanku dan menggandeng tangan Ara dengan tulus. Aku selalu gemetar setiap kali melihat kau membersihkan berak Ara yang bercecer di dekat selokan. Aku selalu mengutuk

penciptaanku setiap kali kau menyanyikan lagu-lagu untuk Ara agar ia tak takut pada air saat mandi. Rasanya, aku terlalu malu menjadi benih muasalmu. Tapi Ara hidup sejak dalam rahimku, Bu. Tanpa duka dan tanpa ratap. Aku mengayominya dengan kerja keras dan kemandirianku. Aku merasa begitu tangguh saat bekerja mencari uang di kota, sebatangkara. Aku nilai diriku sangat perkasa tatkala aku merelakan pilihan yang salah. Aku jadi batu yang menopang tumbuh kembangnya sampai ia menjadi pohon yang sangat kuat dengan akar-akarnya yang menjalar ke tanah. Aku rela meremukkan diriku di atas kekuatannya. Kelak, bila ia lahir, ia akan jadi pribadi yang kokoh, seperti pohon Ara. Ia tidak akan mudah percaya pada hal yang masih rahasia. Ia juga tidak akan mengambil keputusan yang salah, apalagi untuk masa depan yang rahasia. Sekalipun ia tidak tahu jika muasalnya itu adalah sebentuk kegagalan hidup dan kematian. Anggaplah ia adalah pengulangan kecintaanmu yang tak putus-putus padaku. Kerinduanku mengurai, bergerai bersama hujan menderai; mencari muaranya. Seketika, aku melihat Ara keluar, memandang ke arah hamparan sawah yang gelap lagi muram. Matanya yang bening tertuju padaku. Aku melihatnya dalam-dalam, lalu melambai, melambai, terus melambai. Ia tersenyum, kemudian berlari mendekat, menembus hujan. Araaa!!

Suara itu melesat sangat cepat seperti kilat yang menyayat. Bocah kecil itu menghentikan kakinya dan menatap ke belakang. Jangan pergi!! Jangan pergiiii!!! Ibu berteriak lantang di tengah rinai hujan. Air mukanya gemetar dan pucat. Ia seperti orang yang kembali tertawan luka lama. Ibu berlari menembus hujan, meraih tangan mungil Ara dan menariknya dalam pelukannya yang lama hampa. Ara bergeming. Ia menatap ke arah goyangan padi-padi. Aku tidak lagi ingin menyakiti perempuan itu. Setelah ini, tak akan ada lagi yang bisa ia lihat di sana. Seterusnya, sampai musim panen benar-benar binasa. (*) Jogjakarta, 20 Juni 2012 Azizah Hefni, lahir di Surabaya, 03 April 1987. Cerpen dan puisinya dimuat di media massa lokal dan nasional. Pernah memenangkan sejumlah kompetisi menulis sastra lokal dan nasional. Kini tinggal di Jogjakarta sambil menulis buku-buku anak, sastra, maupun populer.

8. Ziarah
Cerpen Dewi Kharisma Michellia (Jawa Pos, 21 Oktober 2012) 21 APRIL 1978. BEGITU tertera pada dua kayu nisan yang tertancap di puncak bukit pagi itu. Dengan cuaca yang sama, dua puluh tahun lalu, aku ingat betul, aku hampir tak mengenali separuh orang yang berdiri mengelilingiku di bawah payung-payung gelap mereka. Melintasi sepanjang jalan setapak kembali ke rumah, aku ingat bagaimana aku dibawa pergi oleh mobil-mobil panjang besar, oleh orang-orang yang belum genap sehari kukenal. Tengah malam di waktu sebelumnya, keluarga bibi yang tinggal di sebelah rumahsatu-satunya tetangga yang ketika itu dekat dengan keluargakumengantarkan mereka kepadaku. Masih separuh terjaga di sebelah peti mati kedua orang tuaku, aku mendengar percakapan mereka, namun tidak kuteruskan. Mereka menghampiriku dan memperkenalkan diri sebagai kerabat dari pihak ayah, tempatku berlindung setelah segala prosesi pemakaman orangtuaku berakhir. Saat itu aku sungguh takut. Masih kuingat betul apa yang menyebabkan kedua orangtuaku berpulang. Saat mendapat kabar, sepulang dari berburu kelinci bersama teman-teman sebaya, aku berlari menyusuri jalan setapak berkilo-kilometer jauhnya, hanya untuk memastikan aku masih bisa menyelamatkan kedua orangtuaku.

Saat aku datang, api telah melahap gudang tempat ayahku biasa bekerja. Aku berkeliling ke dalam rumah, mencari ibu. Kudapati, para tetanggaku berusaha memadamkan api dengan baskom-baskom kayu berisi air. Beberapa dari mereka bilang ibuku juga terperangkap di dalam rumah. Segala upayaku untuk dapat mencapai gudang digagalkan. Mereka berbondong-bondong memelukku dan menghentikan niatku menerobos api. Mereka menghentikan segala teriakanku dan mendekapku seerat mungkin. Api akhirnya padam berjam-jam kemudian, dan yang kudapati sesudahnya hanyalah tengkorak ayah dan ibuku dengan sedikit sisa daging dan kulit yang terbakar, mereka terikat saling memunggungi pada tiang besi yang sebelumnya tak pernah kulihat. Satu yang kutahu. Pastilah Tuhan tidak dengan sengaja meletakkan besi di sana dan memanggang kedua orang tuaku di gudang itu. Pasti ada orang lain yang melakukannya. Kurasa pekerjaan ayahkulah yang menyebabkan hal itu terjadi. Hingga kini, aku tak mengerti apa yang dilakukan ayah di ruang kerjanya, padahal dulu ibu pernah bilang suatu saat aku akan tahu. Hari ini, memasuki ruang tengah, sepenjuru rumah kayu itu telah dipenuhi tumbuhan merambat. Padahal dulu di sana aku pernah duduk, menantang dengan dada membusung, berhadapan dengan orang-orang yang tak kukenali siapa. Kami akan mengajakmu kembali. Masih kuingat seorang pria jangkung berkulit bersih dengan kacamata bergagang bulat duduk di tengah-tengah, berhadap-hadapan denganku. Di sana

kakek dan nenekmu menunggu. Keluarga besar akan menghidupimu. Aku tak pernah tahu kakek-nenekku masih hidup. Ayah dan ibu tidak pernah menceritakan apa pun tentang masa lalu mereka, selama belasan tahun di awal hidupku, aku menerima kenyataan itu begitu saja; seolah orangtuaku benar terlahir dari batu. Saya adik ayahmu. Saya tidak percaya. Kami tahu kamu perlu bukti. Ayahmu dan istrinya mengasingkan diri mereka kemari segera setelah ayahmu menamatkan kuliah di Belanda. Dalam dokumen ini kamu bisa menemukan segala hal tentangnya. Saat itu ia menjetikkan jari dan beberapa orang pesuruh masuk ke dalam ruangan dengan mengangkat peti-peti besi di pundak mereka. Semuanya kemudian diletakkan di hadapanku. Pria itu sedikit memundurkan badannya dan membukakan gembok yang mengunci peti dengan kunci kecil dari dalam sakunya, menunjukkan semua dokumen tentang kehidupan ayahku. Aku terkesima. Ayahku bukan orang biasa. Aku membaca beberapa potongan kliping koran yang bercampur dengan dokumen pribadi ayahku, aku membaca pemberitaan mengenai orang tuaku. Tentang hilangnya dua tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan. Mereka. Mereka

mengasingkan diri ke tengah hutan segera setelah peristiwa gestapo terjadi. Dua tahun setelahnya, aku lahir. Bahkan ketika itu aku bisa mengerti, mulai bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya dikerjakan ayah? Ibu seperti apa yang melahirkanku dari rahimnya? Mereka melakukan. Hal-hal yang, aku tak tahu apa dasarnya. Segalanya seolah benar-benar menjadi mimpi ketika pria itu berkata, Kami rasa kamu tidak akan punya pilihan lain, selain ikut bersama kami. *** MULAILAH aku didandani selayaknya perempuan pada umumnya. Gaun berpita, sepatu balet warna hitam, dan kalung mutiara. Rambutku yang biasanya kugelung lantas disisir dan diikat pita. Aku dibedaki dan bibirku diberi gincu, pipiku merona merah akibat sapuan pewarna pipi, dan alisku dibentuk. Setiap hari aku mendapatkan materi tambahan di rumah. Diajari cara memanah, bertata krama, dan ekonomi serta politik negara. Terkadang, aku juga bermain-main dengan tabung dan botol-botol berisi zat kimia. Sesuatu yang orang-orang pikir pastilah dapat saja menurun dari kedua orang tuaku. Baru kutahu, kedua orang tuaku adalah Kimiawan. Senyatanya, hingga berminggu-minggu setelah mereka memberikan pendidikan itu padaku, aku tetap tak menunjukkan bakat apa pun. Selain pendidikan yang diberikan di rumah, aku tidak lagi bersekolah di HIS, di mana para bumiputera biasa duduk belajar bersama keturunan Belanda, kali ini aku pergi ke ELS, tempat di mana peranakan Cina sepertiku, menurut

keluargakuaku tak lagi asing terhadap mereka, patut pergi menapasi ilmu. Di depan cermin kuamini pernyataan mereka, kulitku memang kuning langsat dan mataku sipit, baru kusadari setelah aku tinggal bersama mereka. *** 21 APRIL 1981. TAHUN demi tahun berlalu. Melewati tiga tahun masa bersekolah di MULO, di AMS kini, Apalah yang dapat kita lakukan atas negara ini adalah retorika yang selalu kudengar dari anak-anak seusiaku. Banyak hal kami bicarakan di kelaskelas. Tentang tulisan-tulisan perjuangan, revolusi yang terjadi di negara-negara barat, hingga aufklarung, hingga okultisme, hingga semesta alam. Bagaimanapun bentuknya, kawankawanku itu selalu memperjuangkan sesuatu. Selama tiga tahun selanjutnya, kami belajar begitu keras untuk tes masuk universitas. Aku bercita-cita pergi sekolah ke Belanda, mengikuti jejak ayah. Tetapi sekian waktu berlalu, semuanya jauh berubah. Aku tak lagi mengenali siapa diriku. Aku melebur bersama orang-orang baru yang kukenali. Kalaupun aku bertujuan pergi sekolah ke tempat dulu ayah bersekolah, tujuanku bukanlah apa pun yang berkaitan dengan masa laluku, tetapi sesuatu yang lebih kucitacitakan; negara ideal. Tetapi, apa yang kami harapkan dari negara kami? Ketika itu aku masih belum mengerti, namun aku mengikuti arus. ***

SETELAH memaksa keluarga agar aku diperbolehkan membakar sebagian tulang tengkorak kedua orang tuaku dan membawa abunya ke Belanda bersamaku, akhirnya dengan berbekal itu aku pergi ke negeri kincir angin itu. Aku meletakkan guci abu orangtuaku di apartemen. Di Belanda aku seringkali mengunjungi rumah bibiku, yang adalah adik ayah, di wilayah Groningen, dari merekalah aku selalu mendapatkan bekal yang cukup untuk hidup. Keseharianku sangat biasa, setiap pulang kuliah aku selalu duduk di Sneltrein membawa serangkai tulip, aku melakukannya sepanjang bulan April selama lima tahun aku menetap di sana. Dan meski segalanya terjamin, aku tetap mendaftar ke kedutaan untuk bekerja paruh waktu, di sana aku bertemu seseorang yang kelak menghancurkan hatiku. Sekalipun kau patah hati karenaku, tolong jangan pulang ke Indonesia. Jadilah warga Belanda. Setelah meniduriku bermalam-malam, setelah mencekokiku dengan segala pengetahuannya tentang kepalsuan dunia, laki-laki itu mengatakan itu. Sekian minggu selanjutnya, aku hancur di apartemen sewaanku; mendengar kabar pria itu telah menikah dengan wanita yang dihamilinya. Kekasihku selanjutnya adalah seorang seniman. Karena itu, di kota yang sama, setelah aku menamatkan kuliahku di Utrecht, aku menetap dan berkarir sebagai pelukis; terkadang aku menulis. Aku sama sekali tidak meneruskan praktik sains yang kupelajari selama empat tahun di sana. Aku lebih terbiasa bertualang di kanal-kanal, berdiskusi tentang teologi ataupun tokoh-tokoh filsafat, ketimbang berdiam diri di laboratorium dan menganalisa molekul.

Tapi takdir berlalu tanpa kendaliku, seorang profesor yang melihat bakatku dan membimbing tesisku selama paruh akhir masa kuliah memaksaku ikut bekerja di laboratoriumnya. Sambil melukis, sambil mempelajari kebudayaan Eropa, sambil menikmati hidup di usia 20-an, aku menyetujui menjadi asistennya dalam beberapa penelitian rumit yang bekerja sama dengan beberapa negara lain di wilayah Indo-European. Beberapa orang yang kutemui selama penelitian itu, yang memaksaku berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, yang juga membuatku berpisah dari kekasihku yang seniman, ternyata mengenal ayah dan ibuku. Tetapi ketika kutanyai lebih jauh, mereka hanya bilang mereka tahu sebatas nama. Dan segera setelah kejadian itu, aku diberhentikan bekerja mendampingi profesorku. Seminggu kemudian, aku kembali ke Utrecht, mendapati kekasihku telah menikah dengan laki-laki lain. Aku dibuat terkaget-kaget oleh orientasi seksualnya yang berganti hanya dalam waktu beberapa bulan. Setelah memaki-maki sekian jam dan melemparkan barang pecah-belah ke segala sudut ruangan, aku mengemasi barangku, dan memutuskan pergi untuk selamanya dari negara itu. Aku pindah ke negara tujuan lain, yang bahasanya selama sekian tahun kupelajari secara otodidak. *** ZURICH memanglah kota beraura magis. Bahasa Prancis dan Jerman yang kupelajari mulai kupraktikkan di hari pertama, dan sempurna, kurasa aku memang memiliki bakat menjadi poliglot.

Segalanya berangsur membaik, termasuk kondisi batinku. Beberapa minggu kemudian, kudapati kabar tentang kematian keluarga paman-bibiku di Groningen, pembunuhan berantai. Selama seminggu aku kembali ke sana untuk melayat dan mengemasi barang-barang bibi yang diwasiatkan padaku. Cukup mengerikan melihat sepupu-sepupuku yang masih balita menjadi yatim-piatu seketika itu juga. Tetapi apa daya, tak ada yang bisa kulakukan ketika kemudian mereka justru diajak ke Indonesia oleh paman-bibiku. Aku pun turut dipaksa pulang, tetapi aku menolak dan justru memutuskan untuk kembali ke Zurich. Berniat mengasingkan diri sepenuhnya akibat guncangan yang berasal dari dalam diriku, setelah kembali ke apartemenku di Zurich, aku mulai mendonasikan semua barangku ke beberapa yayasan, dengan tabunganku dan sedikit bekal lainnya, aku memutuskan untuk bertualang mengelilingi dunia. Dulu di bangku kuliah, aku cukup menggemari paham transendental dan, meskipun tidak begitu menarik, aku juga menamatkan jurnal Thoreau. *** 21 APRIL 1998. USIAKU 31 tahun, telah mengelilingi seluruh dunia, namun setelah kembali ke tanah kelahiran, aku terpaksa ikut menjadi otak penggagas reformasi. Aku melakukannya bersama temantemanku dulu yang selalu mencita-citakan negara ideal yang sama.

Sementara itu, paman-bibiku pindah ke Belanda, mengajak juga sepupu-sepupu Belandaku kembali ke tanah kelahiran mereka. Ketika itu, aku merasa dikhianati. Aku masih belum tahu mengapa ayah dan ibuku terlalap api dua puluh tahun lalu. Apakah hal yang sama, yang memaksa mereka mengasingkan diri ke tengah hutan? Namun mengapa hanya mereka berdua? Orang-orang di sekitarku merasa hebat dengan diri mereka. Sementara aku terus mengikuti gerakan mereka, aku masih merasa aku telah mengacaukan hidupku. Pada Mei di tahun itu, aku melihat hasil dari apa yang kami cita-citakan sebelumnya di tahun 70an. Hanya saja, orangorang itu kini bukanlah teman-teman sekolah yang dua puluh tahun lalu kupuja pemikirannya. Manusia berubah. *** TUNTAS berpesta dan berbahagia atas kejatuhan musuh, selama sekian bulan berikutnya aku seorang diri menempati rumah kosong keluargaku di bilangan Jakarta. Semua anggota keluargaku, entah dengan cara apa, telah mengganti kewarganegaraan dan sepakat tidak akan kembali ke Indonesia, apa pun yang terjadi. Aku merasa dikhianati oleh takdir, oleh waktu, oleh orangorang yang pernah kukenal. Dengan demikian, mungkin hanya orang-orang yang punya waktu untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, yang sama merasa sepertiku bahwa kami telah menghidupi mimpi yang demikian panjang. Tempat di mana

aku berada sekarang, bukanlah tempat yang puluhan tahun lalu aku harapkan. Meneguk habis segelas kecil tequila yang tersisa, sambil masih sedikit-sedikit mengingat bagaimana tanganku mengarsir tipis lukisanku tentang seorang gadis dengan topi sombrero ketika di Meksiko, aku memutuskan untuk kembali ke tempat di mana semuanya berawal. Kurasa sebaiknya, sebelum mati, aku harus mengetahui sebab kematian orang tuaku. Bisa saja, dulu, bukan mereka yang mati. Bisa saja akulah yang mati, dan pergi ke tempat berbeda, dan bertemu dengan orang-orang yang sepenuhnya berlainan, dan menghidupi kematianku selama dua puluh tahun. (*) Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.

Di usia lima belas tahun, Kunnaila sudah bisa mengatakan bahwa hidup ini penuh liku-liku seperti dalam sebuah lagu. Pada suatu pagi, ketika sedang bermain di stasiun Kertasemaya, seorang masinis kereta api jatuh cinta kepadanya di pandangan pertama. Masinis itu masih cukup muda, belum tiga puluh tiga tahun, baru saja naik pangkat setelah lama jadi asisten. Ia melihat Kunnaila seperti melihat bidadari versi 0.6 beta, diunduh dari langit dan dilepaskan di platform bumi yang fana. Saat itu Kunnaila sedang duduk menunggui barang dagangan milik ibunya, yang memang sudah cukup lama menjadi asongan di kereta api Kutojaya, sebuah kereta murah dari Tanah Abang tujuan akhir Kutoarjo dan sekitarnya. Pandangan pertama itu pun mengirimkan pengikutnya. Beberapa bulan kemudian, masinis itu mencari-cari alamat Kunnaila untuk melamarnya, tanya sana-sini, mencoba dan mencoba lagi, akhirnya ketemulah sebuah rumah susun yang miring seperti menara Pisa di kota Roma. Singkat cerita, lamaran diterima, ayah Kunnaila sangat senang karena anaknya dipinang masinis, sebuah pekerjaan yang gagal diwujudkannya. Kunnaila akhirnya menikah di jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan abad yang sebenarnya tak cukup baik menurut perhitungan weton Jawa, tetapi Kunnaila tak menisbahkan nasib pada kalender dan catatan orang kuno, maka rumah tangga tetap diresmikan. Oleh suaminya, Kunnaila dibawa ke daerah terpencil di Banyumas, di tepi sungai Serayu. Masa romantisme itu berlalu cepat, berganti hari-hari yang keras perangainya. Kunnaila tinggal di rumah kecil yang asri, ada pekarangan, ayam-ayam tetangga berkeliaran, juga bau kandang sapi. Kalau suaminya sedang bertugas mengemudikan kereta, Kunnaila suka main ke rumah tetangga, berkenalan akrab dengan lingkungan, ikut

9. Biografi Kunnaila
Cerpen Sungging Raga (Jawa Pos, 4 November 2012) GADIS itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, tumbuh sepanjang ilalang. Orangtuanya hidup bergelantungan tepat di garis kemiskinan, ibunya sering bersedih kalau sedang memandangi senja, ayahnya lebih suka duduk melamun dan membayangkan dirinya sebagai masinis kereta yang pergi mengunjungi kota demi kota. Mereka tinggal di rumah susun, yang tali jemurannya melintang sampai ke tetangga, yang suara televisinya tembus sampai ke dapur tetangga, yang semua seluk-beluk rumah tangga berhubungan erat dengan tetangga.

membicarakan gosip kelas kampung, tetapi kalau tidak, ia duduk melamun di depan tanaman kesayangannya, bernyanyi lagu yang sedang tenar di radio. Sebenarnya Kunnaila ingin juga main ke stasiun Kroya, duduk menunggu senja seperti gadis-gadis belia dalam cerita pendek, atau makan pecel kecombrang, atau sekadar melambai pada suaminya yang memberangkatkan kereta sambil menarik tuas klakson semboyan 35, nguoooongngng, Selamat jalan, sayang, jangan lupa oleh-oleh bawang merah asli Brebes. Namun semua itu tak mungkin dilakukannya. Kunnaila jarang ke stasiun, ia harus betah mendekam di rumah, tak ada memori perjalanan, bahkan Kunnaila lupa kalau mereka sebenarnya belum berbulan madu. Hanya pernah sekali suaminya mengajaknya ke Kafe Mercusi, di tepi sungai Serayu, menelusuri jalan setapak di persawahan, menyeberangi jembatan kereta dan jalan raya. Kunnaila berharap bahwa itulah saat paling indah untuk ditulis di buku harian Biografi Kunnaila halaman pertama. Meski tanpa bulan madu, hidup Kunnaila bahagia dan berkecukupan. Oleh sang suami, ia dibelikan handphone, majalah wanita, dan parfum beraroma musim semi. Kebahagiaan itu bertambah lengkap satu setengah tahun kemudian, Kunnaila hamil dan melahirkan anak lelaki. Anaknya lahir dengan sangat sehat berkat bantuan dukun yang tinggal di seberang Serayu, tetapi dukun itu tidak mau dibayar dengan uang, dia hanya minta dibelikan satu tiket kereta eksekutif Purwojaya jurusan Cilacap-Jakarta, katanya mau jenguk anaknya yang sudah jadi pengusaha. Bayi Kunnaila lucu sekali wajahnya, selalu nampak tersenyum, selalu terbayang bagi Kunnaila bahwa butiran senja bisa terpeleset di pipi bayinya. Kunnaila berangsur bahagia, hidupnya menuju sempurna. Apalagi beberapa tetangga bilang, anak itu kelak

akan membawa keberuntungan, sebab anak itu jarang menangis. Namun ternyata, ucapan itu tak berdasarkan ramalan yang valid. Rotasi hidup tiba-tiba memutar Kunnaila seperti jarum jam yang bertabrakan. Suatu malam, pukul dua, Kunnaila menerima telepon, katanya, kereta suaminya mengalami kecelakaan, tabrakan. Menabrak apa? Pohon asam? Gardu listrik? Warung makan Tegal? Oh, ternyata menabrak kereta. Apa? Kereta suaminya sedang berhenti, lalu datang ditabrak kereta lain dari arah depan? Astaga. Kunnaila bersyukur, suaminya ternyata tak apa-apa, justru masinis kereta yang menabrak lebih tragis, dipanggil Yang Kuasa. Tetapi sepertinya tak semudah itu koreografi musibah melepaskan tengkuk Kunnaila. Setelah malam itu, suaminya belum pulang, ia bingung, ingin datang ke lokasi kejadian tapi tak tahu bagaimana. Akhirnya, sang suami pulang tiga hari kemudian, hanya untuk memberi kabar bahwa suaminya terancam jadi tersangka. Setengah tahun kemudian, Kunnaila mulai hidup terlunta, anaknya memang tumbuh sehat, tetapi suaminya tak hebat. Pekerjaannya sebagai masinis akhirnya berhenti karena ia dituduh bersalah di kasus tabrakan itu. Apakah orang yang diam dan ditabrak bisa dianggap bersalah? Tanya Kunnaila pada keadilan yang sebenarnya tak pernah ada. Tetangga bilang, itu karena yang menabrak sudah tiada, jadi, segala kesalahan ditimpakan pada yang masih hidup. Kunnaila ingin menjerit saja rasanya. Suaminya dipecat tanpa pesangon dari perusahaan, dan dihukum penjara tujuh tahun.

Bayangkan, tujuh tahun! Kunnaila memang sudah biasa ditinggal bekerja oleh suaminya selama beberapa hari, tapi kalau tahun? Nanti dulu. Kunnaila tak punya kemampuan bekerja, anaknya semakin besar saja, sudah hampir berhenti menyusu. Kunnaila mencoba untuk menjadi buruh cuci, cuciannya tak bersih, Kunnaila menyapu di kompleks kelurahan, selalu saja ada sampah yang tertinggal. Kunnaila menjahit, semua kain bolong tak ada bentuknya. Kunnaila diam, ia lapar. Akhirnya ia ikut menjadi penambang pasir di tepi sungai Serayu, kadang juga pencari batu, pokoknya pekerjaan yang tak terlalu menuntut kualitas, tetapi mengedepankan tenaga dan kuantitas. Kunnaila jadi lebih sering bekerja, ia sudah bosan mengunjungi suaminya di penjara, sebab setiap kunjungan pasti dimintai biaya oleh petugas Lapas. Dasar buaya, begitu Kunnaila mengumpat dalam hatinya. Maka jadilah ia hidup seolah tanpa siapa-siapa, kecuali anaknya yang selalu menangis kalau lapar tiba. Walhasil, bukannya menemukan jalan keluar, Kunnaila semakin menjerit dalam hati. Ia jadi suka sakit-sakitan, kena darah tinggi, kadang terjatuh ketika mengangkut pasir, atau merasa pusing ketika sedang menyiapkan masakan. Untung ada tetangga yang baik hati, Watono namanya, lelaki yang sudah lama duda, ditinggal pergi istrinya yang kena guna-guna. Watono sering memberi perhatian pada Kunnaila, kadang membantu menyapu pekarangan, menimba air di sumur, menggendong bayi Kunnaila, bahkan sebenarnya ingin menggendong Kunnaila juga. Namun Watono telah berjanji bahwa dalam cerita pendek ini dia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, dia tak mau memaksakan konflik dan jalan cerita sesuai kehendaknya, dia

hanya ingin dirinya muncul dalam cerita pendek ini meski cuma satu paragraf. Katanya, agar bisa diceritakan kembali kelak pada anak dan cucunya. Hidup memang selalu menawarkan perpindahan tokoh yang kadang tak diduga. Namun meski ada Watono, Kunnaila tetap merasa sia-sia. Orangtuanya di Kertasemaya nyaris tak pernah menjenguk. Sementara dalam benak Kunnaila, sosok suaminya hanya tinggal foto 34 pada buku nikah, tak ada figura terpajang di ruang depan, tak ada aroma di atas bantal, hanya kasur yang senyap, dengan bekas kotoran tikus dan liur entah milik siapa. Barang-barang mulai dijual, Kunnaila juga sering kali berhutang di warung Engkong Sarap, sementara pendapatan dari kuli batu dan pasir tak juga menunjukkan grafik perubahan signifikan. Kunnaila stres, tetapi anaknya tidak, hanya menangis kalau lapar kembali tiba. Menangislah sepuasmu anakku, toh aku tak akan mengutukmu jadi batu. *** Wanita itu bernama Kunnaila. Hidupnya meliuk seperti ilalang, penderitaannya setebal hujan. Malam ini, Kunnaila seolah menemukan jalan pintas untuk mengakhiri semuanya. Ia diberi dua bungkus racun tikus gratis dari warung Engkong Sarap. Satu untuk anaknya, satu untuk dirinya. Ia siapkan gelas dan air. Hampir tak ada lagi yang bisa menghalangi Kunnaila dari rencananya ini, bahkan malaikat maut sudah memarkir kudanya di pekarangan, istirahat sebentar memandangi rembulan. Namun di saat-saat terakhir Kunnaila tersadar, ini tak menyelesaikan masalah, justru akan membuat matinya tidak tenang, gentayangan seperti kenangan. Maka Kunnaila

segera membuang benda beracun itu jauh-jauh, lalu ia gendong anaknya masuk kamar, ia timang-timang penuh kasih sayang, ia tidurkan dengan sabar. Di kamar tak gemerlap itu, Kunnaila meletakkan anaknya di kasur, ia usap kening anaknya yang berangsur terlelap dalam pakaian bayi bermotif bunga, Besok kau jadi orang hebat, anakku. Begitu ia berharap. Dan setelah mengusir malam dari jendela, Kunnaila pun ikut merebahkan diri di samping anaknya, ia menghela napas, merasa lelah dengan semuanya, hingga tak terasa airmatanya terbit begitu saja. (*) Sungging Raga. Tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Banyak menulis fiksi.

10. Tak Ada Eve di ChampsElysees


Cerpen Triyanto Triwikromo (Kompas, 16 Desember 2012) GERIMIS mengguyur Paris pada akhir musim gugur yang agak menggigilkan tubuh rapuh Nicole. Meskipun tak ada badai yang menerbangkan tenda-tenda kafe, mencerabut tiangtiang listrik, atau sekadar menumbangkan pepohonan rapuh berdaun kuning kemerahan, dia tak hendak menerabas jalanan yang dipenuhi para gadis berpayung hitam. Setelah membisikkan keinginan untuk mati lebih cepat jika aku tak segera mengadopsi Edgard, bayi mungil itu, Nicole justru menyeretku ke keriuhan Galeries Lafayette dan mendesiskan hasrat menyebalkan. Sebelum mati, aku akan membeli aneka parfum di sini. Aku ingin mengguyurkan seluruh wewangian itu ke tubuhku. Aku ingin pada saat kau menemukanku di bathtub dengan urat nadi yang putus, tubuh indahku hanya akan menguarkan keharuman bebauan. Tentu saja kuabaikan perkataan konyol Nicole pada Sabtu yang penuh penjaja bunga di jalanan. Aku menduga dia sedang melucu dan humor murahan memang tak perlu kupedulikan. Kau tahu aku tidak pernah main-main, Gabriel. segera penuhi keiginanku. Kau tinggal mendatangi Edgard dan bayi tampan itu akan kuasuh dengan hati, kata Nicole sambil terus menggandengku kosmetik di mal yang riuh itu. Ayolah, keluarga sepenuh ke gerai

Hmm, aku selalu tak ingin terlibat dalam percakapan konyol tentang satwa kecil atau monster menjijikkan bernama Edgard itu. Melihat orok siapa pun, aku selalu merasa berhadapan dengan hantu mungil. Karena itu, meskipun aku sangat mencintai Nicole, sama sekali tidak kuharapkan dari rahim kekasih kencanaku itu muncul setan-setan kecil jorok yang memuakkan. Aku sudah memberimu apa pun yang kau inginkan, Gabriel. Kini giliranmu memberiku bayi mungil itu. Ini bukan permintaan sulit. Kau bisa dengan gampang melakukannya, Nicole mencerocos lagi sambil mencoba-coba mengoleskan aneka lipstik ke punggung tangan. Aku masih malas merespons permintaan Nicole. Dia lalu mengoleskan bedak dan memintaku menatap wajahnya di cermin. Kau tidak takut kehilangan aku, Gabriel? Lihatlah aku begitu cantik dan wangi. Kau tidak ingin tubuhku membusuk pelanpelan bukan? Hmm, tubuhku akan selalu wangi jika kau segera memberiku momongan. Saat itu, di tengah lalu lalang para perempuan yang memborong tas, parfum, aneka kosmetik, kuperhatikan wajah Nicole di cermin dengan cermat. Dia memang cantik. Tetapi saat kubayangkan dia menimang bayi, di wajahnya seperti tumbuh moncong berliur. Nicole jadi mirip babi merah menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan lendir kental. Tentu saja aku tersiksa melihat pemandangan seperti itu. Tak ada cara lain, aku harus meninggalkan Nicole. Aku harus

berjingkat pelan-pelan menghindar dari gerai lipstik, bedak, atau apa pun yang bisa membuat wajah Nicole bercahaya. Aku lalu menuju ke gerai parfum yang malam itu begitu dipenuhi oleh perempuan-perempuan yang begitu berhasrat memiliki tubuh wangi. Aku dikepung Bvlgari, Dior, dan Este Lauder. Aku terjebak dalam labirin Chanel, Nina Ricci, Yves Saint Laurent, Kenzo, dan Gucci. Aku terjebak dalam wewangian yang tidak kuinginkan karena para penjaga gerai mengibas-ngibaskan potongan kertas penguji parfum pada saat bersamaan. Aku memang karib dengan Chanel Nicole yang lembut. Tetapi aku tak bisa mencium Bvlgari, Dior, Chanel, dan Coco dalam waktu bersamaan. Dalam kepungan aneka wewangian, aku justru pusing dan mual. Jadi, bagaimana mungkin Nicole tahan membaui aneka parfum yang telah diguyurkan ke tubuh menjelang dia bunuh diri, menjelang dia memotong urat nadi dengan pisau paling tajam? Parfum yang kubelikan seminggu yang lalu sudah habis, Gabriel? Nicole ternyata menguntit dan mengagetkanku. Aku menggeleng. Jadi mengapa kau meninggalkanku? Kau ingin menghindar dariku, Sayang? Tak kujawab pertanyaan Nicole. Aku masih terjebak dalam kepungan wewangian yang setiap kuhirup membuat kepalaku pusing. Mengapa semua wewangian tidak dibuat dalam satu bau saja?

Kau jangan diam saja, Gabriel. Kau tidak ingin aku cepat mati bukan? Tentu saja aku tak ingin Nicole mengiris urat nadi di bathtub. Akan tetapi tak kularang dia memborong aneka parfum. Dan agar suasana romantis tidak hilang, kukecup kening Nicole dengan lembut, kupagut dan sedikit kugigit bibirnya di tengah keriuhan Galeries Lafayette yang kian memusingkan kepala dan memualkan perut. Kita bicarakan apa pun yang kau inginkan di Cafe du Rendezvous ya, aku berbisik kepada Nicole. Kusangka dia akan segera menyepakati ajakanku. Kusangka sebagaimana biasa meniru Sartre, Albert Camus, dan filsuf lain, di kafe itu kami akan mempercakapkan ide-ide indah untuk kehidupan. Atau kalaupun kami bergeming duduk sambil menyeruput cappuccino atau expresso coffee, Nicole akan asyik dengan pensil dan rancangan-rancangan terbaru pakaian panggung seksi untuk para penari Lido di Champs-Elyses, sedangkan aku hanyut dalam pikiran-pikiran kosong mengembangkan apartemen dan hotel kecil keluargaku di Rue Didot. Akan tetapi, Nicole punya pilihan lain. Dia memang tidak berminat ke kafe atau menonton film Skyfall. Tidak, Gabriel. Kita pulang saja. Aku ingin segera mandi. Aku ingin. Ingin segera kupeluk, Sayang. Ingin segera bercumbu semalaman? ***

MALAM itu Nicole langsung ke bathtub. Karena tidak ingin ditodong untuk segera mengadopsi Edgard, aku tidak memandikan Nicole. Padahal, kau tahu, itulah kebiasaan yang selalu sangat kami inginkan sebelum bercumbu, sebelum saling sedikit mencakar punggung. Andai tidak ada persoalan, mungkin malam itu aku akan memberi kejutan Nicole dengan memenuhi bathtub dengan Salade Alexandre Dumas yang kupesan dari Ladure di Rue Royale. Nicole pasti kaget karena pada saat mandi tubuhnya akan berlumur salmon, bayam, stroberi, rasberi, red currant, minyak zaitun, dan jus jeruk. Tidak! Tidak! Karena dia suka Salade Concorde, kupastikan Nicole akan menyelam di antara minyak zaitun, chicken fillet, timun, bayam muda, tomat, kecut cuka, dan kekentalan saus meaux mustard vinaigrette. Jadi, sedikit pun tidak kubayangkan Nicole akan bunuh diri malam itu. Karena itu, kupastikan setelah tidur semalaman, kami akan bangun pagi dan seperti biasa berlari-lari kecil ke Boulevard Brune. Di tempat itulah aku dan Nicole seperti menyusup dalam kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada wangi parfumyang mengingatkanku pada surga palsu yang diburu oleh pelacur kelas tinggi, courtesant Violetta Valery dalam opera La Traviatayang menyengat. Saat melebur di marche du dimanche, pasar yang buka khusus pada hari Minggu itu, semua parfum yang melekat di tubuhku sebelumnya akan terserap ke dalam amis daging, prengus keringat para penjaja dan pembeli, sengat tiram atau udang, dan pada saat sama bisa kami hirup kesegaran sayuran dan buah-buahan. Hmm, mengapa dunia tidak dicipta dalam baubauan yang menyegarkan jiwa? ***

AKU menduga persoalan Edgard akan selesai malam itu. Rupa-rupanya Nicole masih terus menjeratku dengan persoalan pengadopsian Edgard saat kami menonton peluncuran rancangan kostum terbaru Nicole dalam pertunjukan kabaret erotis di Lido yang menjemukan itu. Apakah rancanganku masih indah, Gabriel? Sambil menenggak champagne, aku mengangguk. Tapi akan lebih indah jika kau segera menandatangani pengadopsian Edgard, Sayang. Aku hampir tak bisa menahan kemarahan ketika Nicole membicarakan Edgard pada saat dan tempat yang salah. Aku tahu sebagai transvestive, dia memang tidak mungkin hamil. Dan karena tidak bisa hamil, seharusnya dia tidak perlu ngotot punya orok. Tidak perlu dia menghadirkan setan busuk dalam kehidupan kami. Toh meskipun Nicole menyembunyikan rahasia tubuh dan jiwanya, aku toh tidak pernah mempersoalkannya. Tidak penting bagiku Nicole perempuan atau laki-laki. Tidak penting Nicole iblis atau malaikat. Aku sangat mencintainya dan bagiku identitas apa pun yang dia kenakan, tidak akan mengurangi kecintaanku kepada kekasih kencanaku itu. Bagiku Nicole saja sudah cukup. Tidak perlu ada manusia lain di rumah kami. Kau tahu, Gabriel, semua busana dan aneka sayap yang dikenakan para penari yang kau lihat malam ini lahir karena aku membayangkan kita akan jadi malaikat indah jika di rumah kita ada bayi mungil yang senantiasa kita timang bersama. Tapi kau tampaknya selalu tak menginginkan Edgard, Sayang. Kau.

Tak kuberi kesempatan Nicole meneruskan kalimat yang masih menggantung itu. Kali ini kemarahanku benar-benar memuncak. Kutinggalkan cahaya Lido dan Nicole yang takjub menatap ledakan kemarahanku. Saat itu, kau tahu, aku tak peduli apakah rancangan-rancangan busana Nicole kali ini menggetarkan Lido atau tidak. Tanpa kostum yang dia buat toh aneka tubuh telanjang dan kabaret di Lido tetap ditonton orang. *** MENINGGALKAN keriuhan Champs-Elyses, aku ingin menancap gas menuju Rue Didot. Aku ingin segera sampai di apartemen, mandi di bathtub dengan air hangat, menenggak Vodka, dan melupakan Nicole dan Edgard sialan. Tetapi tak semua hasrat terwujud dengan mudah. Gerimis akhir musim gugur kian mengguyur dan kabut menghambat laju mobilku. Ah, mengapa tak sekalian saja badai tornado dari belahan dunia mana pun bertiup ke Paris, mengacak-acak rumah sakit penuh orok, menerbangkan Edgard dan hantu-hantu mungil itu ke langit berkabut, dan melesatkan mereka ke kegelapan? Tak ada yang menjawab pertanyaan konyolku. Aku justru merasa mobilku kian sarat beban. Aku merasa puluhan orok dari masa depan menembus kaca, memenuhi mobil, dan menangis bersama-sama dalam nada yang merusak pendengaran. Dalam keriuhan semacam itu, kau tahu, aku justru merasa menjadi Adam yang menggigil, kesepian, dan diabaikan. Tak ada Eve. Tak ada sesuatu yang dulu kusapa dengan sangat mesra: mon Dieu! Tak ada. (*) Paris, Oktober 2012

B. Kompas 1. Juru Gambar


Cerpen G Budi Subanar (Kompas, 23 Desember 2012) AKU bukan seorang pelukis terkenal. Hanya, setiap kali aku harus melakukannya untuk menyambung hidup. Ajaib, ada saja orang yang berminat memiliki goresan tanganku. Memajangnya di dinding-dinding rumahnya. Kamu itu, setiap kali membuat gambar selalu saja dimulai dengan membuat bulatan. Lingkaran macam apa itu? Ada yang bulat, ada dua sejajar seperti buah kenari. Kali ini apa lagi? Aneh-aneh saja kamu ini, komentar istriku yang melongok dari balik punggungku. Aku menoleh ke arahnya, dan menyerianginya pasrah. Aku tidak sadar bahwa dia sedang mengamatiku. Jadi, aku diam tak menyahut. Tak mau berbantah dengannya. Memang, selalu saja aku memulai gambarku dengan mata. Itu yang dimaksudkan istriku dengan bulatan itu. Entah mata kayu, untuk mulai menggambar pohon. Dua bola mata, kalau mau menggambar wajah orang. Atau, bulatan matahari untuk mulai menggambar alam. Dari situ semua yang lain ditempatkan. Macam-macam benda, makhluk, atau manusia, semua kutempatkan seturut imajinasiku. Entah dari mana aku mempelajarinya. Aku tak ingat. Mungkin dari kedudukanku sebagai juru gambar waktu bekerja sebagai awak kapal. Setiap kali, aku bertugas menggoreskan titik-titik dan garis sesuai dengan arah-arah yang diperoleh dari petunjuk bintang. Setelah menjadi pelukis, bulatan itu selalu yang mengawalinya.

Bukannya titik, atau garis. Menggambar mata, selalu saja dorongannya demikian. Dari mata itu, tanganku bergerak mengikuti imajinasi yang menuntun untuk melengkapinya di atas kanvas. Melengkapi dengan bermacam-macam figur dan benda. Banyak tempat yang pernah kusinggahi saat menjadi awak kapal, hadir sebagai imajinasi yang kutuang pada kanvas berbagai ukuran. Orangorang dari Benggala, sampai Ceylon, dan pantai Malabar di India. Atau suasana pelabuhan di Bantam, pemandangan di Andanam. Semua pernah kutuang pada kanvas, dan kuulangi berkali-kali. Kulakukan itu dengan menggunakan pena dari bulu elang laut yang ujungnya dilengkapi dengan buluh bambu. Kanvas itu kuwarnai dengan pewarna yang dipakai mencelup benang-benang kain tenun. Merah, coklat tua, hitam, hijau, kuning, biru dan kesumba. Itu warna-warna dari berbagai daun, akar, atau umbi kunyit. Dikentalkan dengan campuran getah, menjadi warna-warna yang terhampar di kanvasku. Kuoleskan pakai kuas yang dibuat secara khusus, atau dari sabut-sabut kelapa sederhana. Dari sana aku menggantungkan hidupku sebagai juru gambar. Sudah tiga hari ini, dua mata itu tidak mendapat kelengkapan apa pun. Berlama-lama aku di sana. Hari pertama, berlalu. Tak ada tambahan benda atau figur apa pun. Bahkan, satu garis pun tidak. Pada akhir hari, kanvas itu kusembunyikan dan kututupi menggunakan kain bekas. Hari kedua, kembali lagi seharian di depan kanvas itu. Tangan ini tidak juga menambahkan hal apa pun. Hari ketiga pun sama. Sampai istriku memergokinya, dan mengomentariku. Aku berhenti dengan dua lingkaran buah kenari. Dua kenari oval arahnya horizontal. Kuarahkan ke kanan dan ke kiri. Ini

memang tidak seperti biasanya. Dua benda oval yang tidak mengarah vertikal. Biasanya, aku selalu menempatkan bentuk kenari dengan kedua ujungnya ke atas bawah. Layaknya buah kenari di pohon-pohon tinggi menjulang. Kali ini, tidak. Barangkali itu yang membuat berhentinya dua mata itu. Aneh, rasanya. Aku sendiri tak mengerti. Padahal, sudah sejak sebelum aku menyediakan kanvas, mata jiwaku sudah menata lengkap semua imajinasi yang akan kugelar di atas kanvas. Dua lingkaran kenari di kiri bawah, akan menjadi mata seseorang. Dan semua benda yang lain berjajar menutupi seluruh permukaan kanvas. Setelah garis pantai, mendatar ke arah kanan, perahu layar besar yang siap menuju samudera. Di atasnya, ada gugusan bintang yang akan menuntunnya ke utara. Gugusan bintang beruang besar. Komposisi tiga bagian itu sudah terbayang rapi dalam imajinasiku. Dan untuk memulainya, kutempatkan dua mata itu ke arah mukaku. Bukan sejalan kearah kapal yang akan berlayar, atau searah gugusan bintang yang akan menuntunnya. Tidak, aku tak akan mengarahkan dua mata itu mengikuti ke mana kapal berlayar, dan ke mana bintang beruang besar berjajar-jajar menunjuk arah utara. Mata itu tetap kuarahkan padaku. Ujung penaku sudah menggoreskannya demikian. Aku tak mau mengganti dengan kanvas lain, dan mengarahkan dua mata mengikuti arah kapal yang akan berlayar dan arah gugusan bintang yang berjajar-jajar. Aku bertahan sampai seminggu. Istriku tak bertanya lagi sampai di mana gambarku. Memang adat kebiasaannya tidak pernah berbuat demikian. Aku sendiri yang jadi menunduk tiap kali berdua makan berhadapan di atas

tikar, atau berjajar di bangku. Ada keengganan untuk bicara. Beruntung, dia memahami keadaanku. Pada hari ketujuh, aku mencelupkan ibu jariku pada cairan hitam, dan membubuhkan secara perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian lima sidik jari berjajar-jajar ke kanan. Imajinasi kapal layar dan bintang-bintang tak jadi kugoreskan di kanvas. *** Aku pernah menemuinya di wilayah Madras sana, sebuah gambar berwarna keemasan, dengan figur seorang perempuan dan seorang anak kecil dalam gendongannya. Ikon, aku pernah mendengar sebutan itu. Tertempel di tempat ibadat yang menjadi tempatku berteduh di pelabuhan wilayah Madras. Waktu itu uangku ludes karena lengah. Tak kukira seorang pencopet telah berhasil menggaet kantong uangku. Entah di mana. Seperti biasa, sebagai awak kapal, kami turun berombongan. Mencari tempat minum-minum, entah aku lupa namanya di kota pelabuhan itu. Tatkala beranjak pindah ke panti pijat, kantong uangku tak ada lagi. Aku tak mau merepotkan temanteman pelautku. Terpaksa, aku diam-diam menyelinap memisahkan diri dari tengah-tengah mereka. Sampai akhirnya, aku menemukan tempat ibadat yang bisa untuk membaringkan tubuh sampai seminggu lamanya. Sampai saatnya, kapal bertolak kembali. Di tempat itu, aku mengalami hidup tidak seperti biasanya. Makan dan minum dari pemberian orang yang datang ke tempat ibadat itu. Dan, waktu-waktu berikutnya, aku

mendengarkan penjaga tempat ibadat itu berkisah tentang ikon yang kukagumi itu. Lihat, gambar itu. Mandylion, bukan yang digambar oleh tangan manusia. Terpapar pada sebuah kain wajah penuh kelembutan pada orang yang berhadapan denganNya. Kata penjaga tempat ibadat itu menjelaskan. Di sebelahnya, hoditigria, Ibu dan Anak, yang ilahi sekaligus manusiawi sekaligus menyatu, katanya lagi. Menurut kisahnya, beberapa benda itu hadiah dari mereka yang datang dari pedalaman belahan lain di seberang benua besar. Entah dari Konstantinopel atau dari pelabuhan-pelabuhan di jazirah seberang yang aku belum pernah ke sana. Ikon itu ditempatkan di beberapa sudut. Ada yang di dekat mimbarmimbar, ada yang di samping kanan kiri. Menjadi semacam tembok tempat ibadat itu. Tempat ibadat itu selalu beraroma. Dengan kemenyan, gaharu, dan damar semacam mur yang datang bersama kapal yang kuawaki. Kuceritakan kepada penjaga tempat ibadat, tempat asal dari wewangian yang mereka gunakan itu. Penjaga tempat ibadat mengangguk-angguk paham. Jadi aku diberinya tempat untuk bisa meminta sedekah. Dan, malamnya aku bisa membaringkan badan, sambil mengagumi bermacam gambar itu di tengah keremangan cahaya yang ada. *** Saat tubuhku tak lagi mampu ikut berlayar, aku turun kapal untuk selamanya. Tidak lagi menjadi pelaut yang berpetualang ke sana ke mari. Jadi, kualihkan keahlianku sebagai juru

gambar di kapal, menjadi pelukis berbagai macam obyek dan pemandangan. Sepekan setelah kuletakkan kanvas yang kububuhi sidik ibu jariku, aku mulai menggunakan kanvas kayu. Aku memajang bilah-bilah kayu yang disambung-sambung sebagai kanvas baru. Aku sudah mengusahakan dan mempersiapkannya dengan seksama. Papan itu kuperoleh dari tukang kayu kenalanku. Permukaannya digosok sangat halus, pori-porinya rapat. Layak untuk menjadi sebuah kanvas. Bahan pewarnanya sebagian dengan bahan baru yang kuperoleh dari orang-orang yang pulang berdagang dari India. Aku mulai menggoreskan gambar seorang perempuan dengan anak laki-laki di gendongannya itu. Lagi-lagi, aku memulainya dengan menggambarkan mata. Kali ini, dua pasang mata. Mata perempuan itu, dan mata anak lelaki yang ada di gendongannya. Sejak saat itu, aku menjadi pelukis ikon di pinggiran kota Fansur, wilayah pelabuhan Barus, tanah kelahiranku. (*) Yogyakarta, 2012

Catatan: ikon: lukisan dari tradisi Gereja Katolik Ortodoks Ritus Timur di Byzantium dengan pusatnya di Konstantinopel mandylion: wajah Kristus pada selembar kain hoditigria: gambar Maria dan Kanak-kanak Yesus

Fansur: nama lain dari Barus, kota kuno di wilayah Pantai Barat Sumatera, Sumatera Utara.

yang tak sanggup merelakan harta tertinggal pada kehancuran Sodom dan Gomora. Kaulah perempuan yang terhukum itu, yang melanggar perintah dengan menoleh ke belakang dan memilih menjadi tiang garam di Lembah Yordan. Seolah tak ada yang berpihak padamu. Maka kau simpan sendiri keyakinan itu, bahwa sungguhlah Tuhan adalah Allahmu yang cemburu. Di saat terakhir itulah kau alpa. Kau mengira bahwa Tuhan tidak akan berbeda jauh dengan berhalamu dahulu, yang selalu menerima canang-canang persembahanmu dan membiarkanmu berpikir bahwa segala yang terjadi padamu adalah buah-buah doamu kepadanya. Ada masa kau berpikir tidak beruntung terlahir pada zaman perjanjian lama. Andai saja kau terlahir pada zaman yang perjanjiannya telah diperbarui, niscaya akan tersedia bagimu juru selamat itu. Sang mesias yang darahnya membuat Tuhan menjadi Allah yang Mahapengampun. Ah sudahlah, tak ada seorang manusia pun yang berhak memilih kelahiran ataupun masa lahirnya. ***

C. Suara Merdeka 1. Tiang Garam


Cerpen Sanie B Kuncoro (Suara Merdeka, 23 Desember 2012) KAULAH perempuan tak bernama itu. Pada kitab suci Perjanjian Lama sepanjang lebih dari seribu halaman yang terbangun dari 39 kitab, bermula dari kitab Kejadian hingga kitab terakhir Nabi Maleakhi, tak tersedia tempat bagi sebaris huruf namamu. Kau hanya dikenal sebagai istri Lot, yatimpiatu yang cucu Terah dan keponakan Abraham itu. Kisahmu hanya tercatat satu pasal pada kitab Kejadian. Pada pasal ke-19 yang terdiri dari 38 ayat itu, kau bahkan hanya tercantum dalam 3 ayat. Ayat pertama saat malaikat utusan menyuruh Lot untuk bangun dan berangkat membawamu beserta anak-anakmu. Ayat kedua saat malaikat itu memegang tanganmu dengan bergegas, tak sabar dengan gerak lambatmu yang tak bersegera. Dan ayat ketiga, itulah saat kau menoleh ke belakang dan menjadi tiang garam. Kemudian selesailah kisahmu. Dalam kenangan abadi, kaulah tiang garam yang satu itu. Tak ada yang mengenang namamu, apalagi menyimpan sejarah awal bermulamu. Kau lebih diingat sebagai teladan buruk saat kisahmu dibagikan kepada umat. Bahwa kaulah perempuan

KAU terlahir sebagai perempuan sederhana. Tak banyak rancangan hidup ataupun angan dalam benakmu. Bersenandung sembari menyiangi kebun sudah cukup membahagiakanmu. Tumbuhnya tunas baru pada ranting mawar adalah pemantik sukacita di dalam dirimu yang tak akan padam hingga kuntum itu merekah di kemudian hari. Kelopak mawar itulah pengisi canang persembahan untuk berhalamu. Kau yakini, aroma bunga yang lembut magis itu pastilah sanggup melunakkan hati para berhala untuk berbelaskasih padamu dan mengabulkan segala doa terucap.

Tekun kau panjatkan doa tentang sebuah pinangan. Siapakah yang kau kehendaki sebagai peminang itu? Bimbang kau memilih, di antara bayang melintas tidak satu pun yang kau kehendaki singgah di beranda hatimu. Hingga suatu ketika kau bersimpang jalan dengan penggembala di perbatasan desa. Duduk gembala itu di tepi sumur, seekor domba kecil nyenyak di pangkuannya. Lembah Yordan yang subur adalah padang permai bagi setiap domba. Ke sana pula kau kerap menuju demi mencari sayur segar atau rumpun bunga. Acap kau jumpai para gembala. Sejauh ini tak ada yang menarik perhatianmu, bahkan siul godaan mereka membuatmu bergegas menjauh. Tapi gembala pemangku domba itu seketika menggapai hatimu. Sudikah menolong? bertanya gembala itu padamu sebelum sempat kau alihkan tatap mata. Segera kau mengangguk tanpa sempat berpikir. Dombaku patah kaki dan tak mau kutinggalkan, sementara kawanan dombaku masih di padang timur. Maukah menjaga domba kecil ini sebentar? Lagi kau mengangguk. Entah domba terluka itu atau gembalanya yang menumbuhkan belas kasihmu. Menjelang petang gembala itu kembali padamu. Sumringah wajah lelahnya mendapati kaki dombanya terbalut rapi. Adalah sobekan ujung rokmu sebagai pembalutnya. Kau tersipu menerima tatap mata berterima kasih. Lagi kau tersipu beberapa hari kemudian. Kali ini beserta debaran yang nyaris gemuruh di dada. Gembala itu di pelataran

rumahmu, batang-batang mawar dengan akar bergumpal tanah ada di genggaman. Untuk kebunmu, katanya. Mawar padang Yordan. Siapa yang tak menginginkannya? Tapi sesungguhnya pemberinyalah yang lebih mengikat hatimu. Kau berharap, dialah peminang yang dikirim berhalamu. Benar, dia peminangmu. Tapi dia datang atas nama Allahnya sendiri dan memintamu meninggalkan berhalamu. Kau tak hendak menolak apalagi membantah. Bukankah demikian hukum berlaku, bahwa lelaki adalah penuntun perempuan? Tanpa pamit kau abaikan berhala demi berdoa pada Tuhan yang tak berwujud itu. Dua anak perempuanmu lahir sesudah itu. Demikian juga domba-domba dan mawar di kebunmu yang beranak pinak. Ah, domba kecil yang patah kaki dahulu itu, entah berapa domba terlahir dari anak cucunya kini. Tak lagi kau kenali keturunannya satu per satu. Sama seperti tak kau akrabi turun temurun anak kerabat dan tetangga. Kawan lama yang tak lagi saling beranjangsana. Generasi baru itu telah menjadikan kalian asing satu sama lain. Kota yang melahirkan dan menumbuhkanmu itu tak lagi mententramkan. Namun apakah lalu mudah untuk meninggalkannya? Sungguh kau tak ingin pergi. Gentar hatimu saat malaikat bertutur tentang rencana kehancuran itu. Itulah tanahmu, yang memendam ari-ari dan menerima jejak langkah pertamamu. Setiap tikungan menyimpan kenanganmu. Dinding-dindingnya memahat kisah hidup orang yang kau kenal. Kerelaan macam apa yang kau punya untuk

melepaskannya pada kehancuran? Meski tak kau ingkari bahwa maksiat telah menumbuhinya serupa ilalang dan kepulan dosa bergumpal-gumpal di cerobong asap setiap rumah. Tidak lagi aroma matang roti yang menjalar dari atap dapur itu, melainkan asap dosa yang anyir. Kau tak hendak pergi, tak pula ingin tertinggal. Tidak hanya karena suami dan anak-anakmu siap berangkat, melainkan karena inilah perintah Allahmu yang sejauh ini kau patuhi dengan ikhlas. Maka saat malaikat itu meraih tanganmu untuk bergegas, kau melangkah dengan sigap. Kau yakini keberangkatanmu dan kau tinggalkan ingatan tentang berhalamu. Sungguh kau percaya bahwa itulah jalan keselamatan bagimu sekeluarga. Tak hendak kau berpaling pada berhala lama atau allah yang lain. Kau ingat dengan teguh pesan untuk tidak menoleh itu. Bahkan kau larang anakanakmu berhenti demi menunggu saat kau terjatuh. Jangan berhenti, terus melangkah, jangan berpaling ke belakang! serumu berulang. Lalu kau dengar gemuruh itu. Ada yang tercurah deras dan menumpahi sesuatu. Jauh suara itu di belakangmu. Sayup jeritan tangis dan ratapan. Aroma belerang menyergapmu bersama angin yang panas bergerak memburu di belakang langkahmu. Makin kau bergegas, berupaya menambah kecepatan kaki tanpa hirau pada rasa sakit yang tersisa sesudah jatuh. Samar kau dengar ada yang berderak sesudah itu. Rumah siapakah yang rubuh paling awal? Adakah itu rumahmu? Ataukah itu tumbangnya pagar kebun dan tiang-tiang kandang ternakmu?

Kau tercekat seketika. Bayang rumpun mawar menggapaimu. Samar embik domba memanggilmu. Astaga, baru kau ingat, anak domba yang terlahir pekan lalu itu, yang induknya mati saat melahirkannya, sudahkah kau buka pintu kandang baginya untuk lari mencari perlindungan? Langkahmu terhenti seketika. Dadamu gemuruh. Bayang domba itu mencabik hatimu. Bagaimana si kecil itu akan menyelamatkan diri? Bahkan langkah kakinya pun belum tegak. Akankah ditemukannya jalan menuju Padang Yordan? Adakah induk lain yang berbelas kasihan sudi membimbingnya mencari jalan selamat? Teguhmu goyah seketika. Matamu berkabut. Tipis namun kuat menghadang langkahmu. Tak lagi sanggup kau lanjutkan lari menjauhmu. Suara embik anak domba tak berinduk itu menggapai-gapai belas kasihmu. Kau berpaling mencarinya. Seketika sirna ingatanmu bahwa Allahmu adalah Allah yang pencemburu. Tak pula kau duga bahwa kutukan itu sedemikian sigap. Kau mengira akan tersisa waktu untuk berdoa dan menjelaskan tentang anak domba tertinggal itu. Namun hukum bergerak lebih cepat dari embusan napas. Bahkan kau belum berkedip saat napas meninggalkanmu dan sesuatu yang lembut merayapi tubuhmu yang berangsur mengeras sebagai tiang garam. Tak ada belas kasih padamu sesudah itu. Tak ada yang hirau tentang namamu. Menjadikanmu sebagai perempuan tak bernama yang tegak sendirian sebagai tiang garam abadi di Padang Yordan hingga berabad-abad kemudian. Begitu banyak pendatang mengunjungimu, namun tak satu pun menziarahimu apalagi berkenan menaburkan kelopak mawar bagimu.

Hanya anak domba itu yang tak pernah jauh darimu. Kaki kecilnya yang melepuh oleh belerang pemusnah Sodom Gomora terbalut rapi dengan selendang garam milikmu. (*)

Hari berikutnya dan berikutnya, banjir jamaah laki-laki perempuan tak susut meluapi makam dan mesjid pesantren kami. Alunan tahlil dan doa seolah tak pernah putus dari pagi hingga malam hari. Mereka meratapi kepergian almarhum yang selama ini mereka anggap guru dan bapak. Sandaran mereka. *** Kiai Sobir atau yang popular dipanggil Mbah Sobir adalah sesepuh dalam arti yang sebenarnya di wilayah kabupaten kami dan sekitarnya. Di samping mengasuh pesantren dengan ratusan santri laki-laki perempuan, beliau secara de facto juga mengasuh dan melayani ribuan santri kalong. Mereka yang tidak tinggal menetap di pesantren, tapi selalu datang untuk mengikuti pengajian rutin beliau atau yang sekadar sowan dengan berbagai keperluan. Belum lagi mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh. Bahkan banyak sekali pejabat dari tingkat provinsi dan pusat yang menyempatkan diri sowan kiai sepuh yang sederhana ini. Dalam hal menerima tamu, pastilah tak ada yang dapat menandingi Kiai Sobir. Hampir setiap hari dari pagi hingga malam, ndalem [1] beliau tak pernah sepi dari tamu, baik yang datang perorangan ataukebanyakanberombongan. Bahkan tidak jarang rombongan tamu datang tengah malam. Dan peraturannya, setiap tamu yang datang harus makan. Ruang tamu ndalem beliau yang sederhana, didominasi oleh dua bale-bale besar dari bambu dialasi tikar pandan. Ada bangku memanjang tempat Mbah Sobir duduk danbiasanya dengankiai atau tamu sepuh yang diajak duduk bersama beliau. Di depannya ada meja kuno yang selalu penuh dengan makanan, dikelilingi beberapa kursi yang tidak seragam. Di

Sanie B Kuncoro, cerpenis, tinggal di Solo.

D. Gus Mus 1. Nyai Sobir


Cerpen A Mustofa Bisri (Kompas, 15 April 2012) RIBUAN bahkan puluhan ribu pelayat dari berbagai kota yang menangis itu, tampaknya tak seorang pun yang datang berniat menghiburku. Mereka semua melayat diri mereka sendiri. Hanya orangtuaku dan beberapa orang famili yang terus menjagaku agar aku tidak pingsan seperti banyak santri yang sama sekali tidak siap ditinggal almarhum. Almarhum sejak selesai dimandikan dan dikafani, sudah sepenuhnya milik mereka para pelayat diri sendiri itu. Mereka bawa almarhum ke mesjid yang sudah penuh sesak untuk mereka sembahyangi. Aku setengah sadar mengikuti upacara pelepasan jenazah. Kiai Salman, sahabat almarhum, yang memberi sambutan atas nama keluarga. Lalu beberapa kiai dari berbagai daerah memanjatkan doa; tapi aku tak tahu persis siapa-siapa mereka. Aku hanya asal mengamini.

atas dua bale-bale besar itulah biasanya santri-santri ndalem dengan sigap mengatur hidangan untuk makan para tamu. Kiai Sobir tidak membedakan siapa-siapa yang datang kepada beliau. Siapa pun tamunya, pejabat tinggi atau rakyat jelata; laki-laki atau perempuan; dari kalangan santri atau tidak; beliau terima dengan gembira dan penuh penghormatan. Telinga beliau dengan sabar menampung segala keluhan, curahan hati, bahkan bualan tamu-tamunya yang beragam. Di hadapan beliau, semua orang merasa benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Manusia yang dimanusiakan. Maka mereka pun tak segan-segan mengutarakan keperluankeperluan mereka. Mulai dari mengundang ceramah, hingga mengundang untuk peletakan batu pertama pembangunan mesjid atau madrasah. Mulai dari minta doa restu, hingga minta utangan. Dari minta air suwuk [2] untuk anak yang rewel, hingga minta nasihat perkawinan. Dari minta dicarikan jodoh, hingga minta dicarikan mantu. Dari minta arahan menggarap sawah, hingga minta dukungan untuk pilkada. Dari minta fatwa keagamaan, hingga minta bantuan kenaikan pangkat . Maka tak heran bila kepergian Kiai Sobir mendapat perhatian yang begitu luas. *** Semua perhatian hanya tertuju kepada almarhum bahkan sampai peringatan wafat beliau yang ke-40. Empati hanya tertuju kepada mereka sendiri yang merasa kehilangan Kiai Sobir. Aku terlupakan sama sekali. Aku adalah istri almarhum yang selama ini mereka panggil Nyai Sobir. Perempuan yang

kemarin-kemarin juga mereka perhatikan dan hormati bersama almarhum. Perempuan yang mendampingi beliau sejak nyai sepuh wafat hingga akhir hayat beliau. Akulah yang selama ini mengatur keperluan-keperluan pribadi abah (begitu aku selalu memanggil beliau) sehari-hari; mulai potong rambut hingga pakaian yang abah kenakan. Akulah yang mengatur jadwal abah; kapan mendatangi undanganundangan dan kapan mesti istirahat. Akulah juga yang mengatur agar mereka yang sowan tidak ada yang terlantar. Semua harus disuguh makan seperti yang dikehendaki abah. Peringatan 40 hari wafat almarhum abah, banjir manusia kembali meluapi kawasan pesantren kami. Setelah itu barulah pengunjung yang berziarah agak menyusut. Aku tidak tahu apakah orang-orang mulai mengingatku sebagai Nyai Sobir pendamping kiai mereka atau tidak; yang jelas aku sendiri teringat saat nyai sepuh, istri abah yang pertama wafat. Teringat beberapa bulan kemudian aku yang kala itu nyantri di pesantren abah dan baru berumur 20 tahun, dipinang abah melalui seorang tokoh masyarakat di desaku. Ketika kemudian orangtuakuyang juga termasuk santri kiai abahmenyampaikan pinangan itu, aku tak bisa berkata apaapa. Perasaanku campur aduk tidak karuan. Kaget, tidak percaya, bangga, dan entah apa lagi. Tapi karena kedua orangtuaku sepertinya mendukung, aku pun akhirnya ikut saja seperti kerbau dicocok hidung. Walhasil jadilah aku Nyai Sobir. Istri seorang kiai besar yang dihormati tidak hanya di wilayah kota kami saja. Kiai yang bila ada pembesar datang dari ibu kota, tidak pernah terlewatkan dikunjungi dengan segala penghormatan.

Sebagai pendamping kiai sekaliber abah, aku mempunyai sedikit modal. Di samping berwajah lumayan, aku hafal AlQuran dan di pesantren bagian puteri, aku menjabat sebagai pengurus inti. Ditambah lagi, berkat latihan setiap malam Selasa di pesantren, aku sedikit bisa berpidato. Maka tidak lama, aku sudah benar-benar bisa menyesuaikan diri. Masyarakat pun tampaknya sudah benar-benar memandangku sebagai nyai yang pantas mendampingi Kiai Sobir. Bahkan sesekali aku diminta panitia mewakili abah mengisi pengajian. Dari sisi lain; perasaanku terhadap abah yang semula lebih kepada menghormati, berangsur menjadi menyintai beliau. Apalagi abah begitu baik dan bijaksana sikapnya terhadap diriku yang dari segi umur terpaut sangat jauh. Abah tahu bahwa aku masih muda dengan pikiran dan keinginankeinginan anak muda. Abah tidak pernah melarangku misalnya melihat televisi atau mendengar lagu-lagu dari radio. Palingpaling beliau hanya mengingatkan supaya aku tidak melupakan tugas-tugas. Peringatan 100 hari wafat abah, kemudian 1 tahun, kemudian peringatan haul beliau setiap tahun (sekarang sudah haul yang ke-7), terus ramai dibanjiri ribuan orang dari berbagai penjuru. Aku terlupakan atau tidak oleh mereka. Tapi aku benar-benar terus merasa sendirian. *** Abah, apakah di sana abah masih memperhatikanku seperti dulu? Aku kini benar-benar sendirian, abah. Sendirian. Alangkah cepatnya waktu. Alangkah singkatnya kebersamaan kita. Kini tak ada laki-laki yang kuurus sehari-hari. Tidak ada orang yang selalu memperhatikanku, yang menasihati dan

memarahiku. Dan persis seperti kata Titik Puspa dalam salah satu tembangnya. Tidak ada lagi tempat bermanja. Aku mencoba sebisaku ikut mengurus pesantren tinggalan abah. Alhamdulillah ustadz-ustadz yang gede-gede masih setia mengajar di madrasah dan pesantren kita. Pengurus pesantren juga masih menganggap aku Nyai mereka dan mereka taati seperti saat abah masih hidup. Ah, semuanya seperti berjalan biasa-biasa saja, abah. Hanya setiap malam ketika aku sendirian, aku selalu teringat abah. Pedih rasanya tak mempunyai kawan berbincang yang seperti abah; yang setia mendengarkan celotehku meski sepele, yang siap membantu memecahkan masalah yang aku lontarkan. Oh, abah. Kini aku mempunyai masalah besar dan abah tak ada di sampingku. Orang mulai memperhatikanku. Tapi tidak seperti perhatian mereka saat abah masih ada. Kini mereka memperhatikanku sebagai janda muda. Baru setahun abah meninggalkan kami, sudah ada saja godaan yang harus aku hadapi. Seorang ustadz yang sudah mempunyai dua orang istri, terang-terangan melamar aku. Lalu seorang duda kaya mengirimkan proposal lamaran, lengkap dengan CV-nya. Belakangan seorang perwira polisi bujangan juga menyampaikan keinginannya yang serius mempersunting aku. Semuanya aku tolak dengan halus. Kemudian kedua orangtuaku sendiri dengan hati-hati menanyakan kepadaku apakah aku memang sudah ingin menyudahi status jandaku. Ingin didampingi oleh seorang suami. Namun ketika aku tanya Kawin dengan siapa? kedua orangtuaku tidak bisa menjawab. Dan sejak itu mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah itu lagi.

Sungguh, abah, bukan kebutuhan biologi benar yang membuat aku terpicu pertanyaan kedua orangtuaku dan berpikir tentang laki-laki lain untuk menjadi suami setelah abah. Meski tidak aku pungkiri faktor biologi itu ada. Tapi dengan memikul tanggung jawab memelihara pesantren tinggalan abah, aku sungguh memerlukan penopang. Belum banyak ilmu yang sempat aku serap dari abah. Aku perlu pengayom seperti abah dulu. Aku perlu orang dengan siapa aku dapat bertukar pikiran. Syukur dapat memberikan nasihat dan arahan bagi kelangsungan dan perkembangan pesantren kita. Dalam pada itu, abah, telingaku yang tersebar di mana-mana, terus mendengar pembicaraan masyarakat. Beberapa tokoh masyarakat diam-diam membicarakan diriku dan pesantren kita. Mereka iba terhadap nasibku dan sekaligus memprihatinkan pesantren. Mereka sadar bahwa aku masih muda dan di sisi lain, pesantren kita butuh kiai laki-laki seperti umumnya pesantren-pesantren yang lain. Mereka, seperti juga aku, terbentur kepada pertanyaan: siapakah kiai laki-laki itu? Kemudian kudengar mereka menyepakati kriteria dan syaratsyarat siapa yang boleh mengawiniku. Mereka tidak rela kalau aku dipersunting orang biasa yang tidak selevel abah. Mana ada orang yang selevel abah mau mendampingiku? Masya Allah, abah. Apakah karena menjadi jandanya kiai seperti abah, lalu aku hanya dianggap obyek yang tidak berhak menentukan nasib sendiri? Setiap malam aku menangis, abah. Menangis sebagai Nyai yang mendapat warisan tanggung jawab. Menangis sebagai perempuan dan janda muda yang kehilangan hak. Tapi aku tetap nyaimu, abah; aku tidak akan menyerah. Aku percaya kepada-Nya. (*).

17 Desember 2011 .Catatan: [1] ndalem = sebutan untuk rumah kediaman kiai pesantren [2] air suwuk = air yang didoa-i

2. Kang Maksum
Cerpen A.Mustofa Bisri (Jawa Pos, 15 Januari 2012) Masya Allah! Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun! Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah. BERITA itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-manadi pasar, di warungwarung, di perkantoran, di sekolah-sekolahberita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik menduga-duga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastlah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang. Untunglah, waktu tiu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum.

Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu. Kang Maksum meninggal. Itu saja sudah mengejutkan. Selama di pondok pesantren, saya belum pernah mendengar Kang Maksum sakit meskipun sekadar pilek. Dia tipe orang yang begitu perhatian menjaga kesegaran badannya. Setiap pagi dan sore, pada saat mandi, Kang Maksum tidak hanya menimba dengan timba model senggot yang beratnya masya Allah untuk dirinya sendiri. Dia sengaja juga mengisi kulah-kulah untuk kawan-kawan lain, terutama santri-santri kecil yang tak kuat menimba seperti saya. Dia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak untuk kepentingannya sendiri. Ini membuat badanku sehat, katanya. Ah, Kang Maksum! Terbayang olehku wajah Kang Maksum yang ganteng, yang selalu bersih seperti baru saja mandi. Masih terngiang-ngiang bicaranya yang lembut dan suaranya yang merdu bila membaca ayat-ayat Alquran atau membaca kasidah Al Barzanji. Tidak mungkin, tidak mungkin! Kang Maksum? Ah. Kang Maksumlah yang mengajariku qiraah; mengenalkanku kepada nada-nada bayati, sika, dan hijazi di pesantren. Kang Maksum juga yang sering memberiku ijazah doa-doa dan berbagai wirid; mulai doa dan wirid agar mudah menghafal,

agar tenang menghadapi setiap orang, agar hati tenteram, hingga doa aneh agar dapat melihat jin. Di pesantren kami, Kang Maksum memang dikenal sebagai santri senior yang memiliki suara merdu setiap malam Jumat saat berjanjenan, acara bersama-sama ber-shalawat nabi dengan membaca karya madah Syekh Jakfar Al Barzanji, santri-santri selalu menunggu-nunggu giliran Kang Maksum membaca kasidah-kasidahnya. Terutama, saat melantunkan kasidah yang dimulai dengan Ya Rabbi shalli alaa Muhammad, ya Rabbi shalli alaihi wa sallim atau Ya Rasulullah salaamun alaik, ya Rafiasyaani wad-darajati. Santri-santri lain yang kemudian bersemangat menyahuti lantunan itu berusaha ngepas-ngepaskan suara mereka dengan irama lantunan Kang Maksum. Tapi mana mungkin. Di samping merdu, cengkok lagu Kang Maksum memang sulit ditiru. Di samping seni suara, Kang Maksum juga dikenal sebagai pendekar silat yang lihai dan digdaya. Konon, dia punya aji lembu sekilan yang membuatnya terbentengi dari pukulan dan aji welut putih yang membuatnya sulit ditangkap. Setiap pesantren mengadakan perayaan, seperti mauludan dan khataman, dan ada atraksi pencak silat, Kang Maksum yang mandegani, yang mengatur siapa-siapa yang tampil. Siapasiapa yang tampil dan untuk silat keseimbangan; siapa yang tampil melawan siapa. Biasanya, di akhir pertunjukan, Kang Maksum sendiri yang tampil mendemonstrasikan kepiawaiannya. Itulah yang paling ditunggu-tunggu penonton. Dengan gerakan tubuhnya yang ringan, Kang Maksum meloncat ke arena panggung. Pertamatama, diperagakan kejadukannya dengan menghantamkan batu

kali sebesar gentong atau pedang tajam ke punggungnya yang sedikit pun tidak membuat goyah kuda-kudanya. Kemudian, dengan gagah dan lincah, Kang Maksum tidak hanya memamerkan jurus-jurus istimewanya, tapi juga memainkan berbagai senjata tajam, seperti pedang, tombak, dan trisula. Sebenarnya banyak santri yang ingin belajar silat dan kejadukan Kang Maksum. Tapi, kebanyakan tidak kuat melakukan tirakatnya. Kalau, misalnya, hanya puasa seperti biasa, pasti banyak yang mampu. Ini tidak. Ada puasa mutih, puasa dengan berbuka nasi saja, tidak pakai lauk apa pun, selama 7 hari atau 40 hari. Ada puasa ngebleng, puasa sehari semalam tanpa buka. Ada puasa pati geni, tidak hanya puasa sehari semalam tanpa buka, tapi juga tanpa tidur. Bayangkan! Kang Maksum sendiri memang ahli tirakat. Sejak entah umur berapa, konon sejak kecil dia ngrowod. Bukan hanya puasa ndaud, sehari puasa sehari buka, tapi ndaud dengan berbuka hanya umbi-umbian atau bulgur. Sudah ngrowod begitu, setiap bukakadang-kadang juga setiap sahurKang Maksum makannya tidak lebih dari selapik cangkir. *** Kelihatan sekali Kang Sofwanseniorku dan kawan akrab Kang Maksum di pondok pesantrenterburu-buru. Dengan singkat dia menyampaikan berita itu. Cepat sampean berpakaian, katannya memerintah. Kita ke sana sekarang. Aku masih terguncang. Laa hawla walaa quwwata illa billah. Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Kang Maksum? Ah, rasanya tidak masuk akal.

Cepat! hardik Kang Sofwan tidak sabar. Sampai di rumah Kang Maksum, kami lihat sudah banyak orang yang datang. Beberapa di antaranya duduk-duduk di halaman dan sebagian lain, yang kebanyakan kaum perempuan, berada di dalam rumah. Semuanya diam atau berbisik-bisik. Sesekali isak tangis terdengar meningkahi bagai irama gaib. Mbah Ghazali, modin paling tua di tempat kami, baru selesai melakukan tugasnya. *** Siapa yang pernah membayangkan? Kang Maksum meninggal terlindas kereta api! Tubuhnya menjadi tiga bagian! La hawla wala quwwata illa billah! Hanya karena kelihaian Mbah Modin Ghazalli, jenazah itu dapat dipertautrapikan. Tapi, kebuncahan hati ini? Ah. Berita itu cepat beredar. Berita yang benar-benar mengguncang kotaku. Di mana-manadi pasar, di warung-warung, di perkantoran, di sekolah-sekolahberita itu mendominasi pembicaraan. Seperti biasa, orang-orang pun asyik mendugaduga dan menganalisis. Waktu itu media massa cetak dan elektronik belum seperti sekarang. Seandainya itu terjadi sekarang, pastilah beritanya akan menjadi santapan gurih pers. Akan menjadi perbincangan berhari-hari di media massa. Tinjauan dari berbagai sudut dan aspek pun akan ramai dilontarkan para pakar dan narasumber yang sengaja diundang. Untunglah, waktu itu pers belum seperti sekarang. Jadi, aku masih bisa menghindar dari pembicaraan tentang berita itu. Berhari-hari aku sengaja tidak keluar rumah agar tidak

mendengar orang membicarakan berita itu. Rasanya, aku belum bisa menerima hal itu terjadi pada diri Kang Maksum. Tapi, bagaimana menghindar dari pembicaraan tentang peristiwa yang begitu dahsyat? Tidak keluar rumah pun, pembicaraan peristiwa itu terus seperti menguntit dan menerorku. Seisi rumah seperti tidak pernah bosan dengan topik itu. Akhirnya, aku menyerah. Menerima kenyataan dan, meski sangat pahit, berusaha wajar menyikapi peristiwa yang mengguncang itu. Melihat tubuh Kang Maksum yang demikian, orang sulit mengatakan bahwa peristiwa tragis yang menimpanya itu merupakan kecelakaan. Lalu? Pasti bunuh diri. Begitu kesimpulan orang-orang yang tidak mengenal Kang Maksum memastikan. Namun, bagi yang mengenalnya, seperti aku dan Kang Sofwan, bunuh diri adalah hal yang paling mustahil dilakukan oleh Kang Maksum. Di samping cukup memiliki pengetahuan agama, Kang Maksum orang yang mencintai kehidupan. Kah Zuhdi, alumnus pesantren kami yang lebih senior daripada Kang Maksum dan Kang Sofwan, mencoba meyakinkan bahwa almarhum Kang Maksum memang sengaja membiarkan dirinya dilindas kereta api untuk menjajal ilmu. Aku dengar, sebelumnya Kang Maksum pernah membiarkan dirinya ditabrak sepeda, motor, dokar, dan truk. Dan, sejauh itu, dia selamat-selamat saja, tak kurang suatu apa.

Jadi, lanjut Kang Zuhdi, kemungkinan besar itu merupakan kelanjutan dari uji coba tataran ilmu kekebalan Kang Maksum. Sayang, rupanya kali ini tidak berhasil. Mungkin banyak yang menerima kesimpulan Kang Zuhdi itu. Tapi, aku dan Kang Sofwan, yang sedaerah dan kenal baik dengan Kang Maksum serta keluarganya, tetap tak bisa menerima. Tak ingin menerima. Tapi. (*)

E. Mashdar Zainal 1. Dongeng Pendek tentang KotaKota dalam Kepala


Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 13 Maret 2011) Kota Tungku Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dahaga yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya. Di kota itu matahari memang tampak lebih besar dari yang seharusnya. Di kota itu, sungai-sungai dan perigi menganga bagai mangkuk tanpa isi. Satu per satu pepohonan mati, terberangus pelan-pelan tanpa seorangpun menyadarinya. Mereka hanya tahu, tiba-tiba pohon itu kering. Dan tak ada lagi tempat berteduh. Trotoar-trotoar berselimut debu dan asap yang warnanya kelabu. Di kota itu, matahari hampir tak tidur. Siang hari terasa lebih lama, lima kali lipat dari seharusnya. Di kota itu, di mana-mana akan terdengar orang mengeluhkan cuaca dan air. Bahkan AC pun tak bisa berfungsi di kota itu.

Air minum, mandi, dan mencuci, semuanya menghangat oleh cuaca. Setiap hendak mandi, orang-orang harus mencari es batu untuk mendinginkan air. Orang-orang di kota itu selalu berkeringat dan lengket. Setiap jam mereka mandi dan meneguk air es. Namun tetap saja, mereka berkeringat dan lengket. Kok panas begini, ya? Bukannya dari dulu memang begini? Kata nenekku, sewaktu ia kecil, kota ini adem. Itu kan dulu, sekarang mana ada kota adem. Menurutmu, kira-kira apa yang membuat bumi ini begini panas. Klasik sekali pertanyaanmu. Lihat saja, pohon besar di kota ini bisa dihitung jari. Barangkali itu, ya, yang bikin kota kita seperti tungku.

Kota Sampah Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami rasa jijik yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya Satu hal yang sangat jelas. Di kota itu, sampah menggunduk di mana-mana seperti bukit-bukit kecil. Di dalam rumah, di jalanjalan, di pasar-pasar, di mall-mall, bahkan di tempat peribadatan. Lalat berpesta di mana-mana, berebut sisa makanan dengan manusia. Konon, sampah itu didatangkan oleh segerombolan makhluk asing dari planet yang berbeda. Planet yang penuh dengan rumah-rumah mengkilap, dindingdinding kaca, dan kulkas-kulkas besar yang berisi makanan dan minuman segala rupa. Planet yang penuh dengan mainan dan barang-barang aneh yang setia melayani tuannya. Konon, dari sanalah sampah-sampah itu datang dan dituangkan. Penduduk kota sampah tak pernah sabar menunggu sampah baru datang. Mereka menunggu dengan sabar bersama lalatlalat yang terus melagu. Kok lama, ya, truk sampahnya gak datang-datang?

Cerobong-cerobong asap itu juga, kentut-kentut mobil itu juga, mesin-mesin itu juga. Kau pernah dengar yang namanya global warming? Ya sekarang ini global warming, Goblok!

Sudah. Tunggu saja. Sebentar lagi juga datang. Ngomong-ngomong, apa kamu tidak jijik dengan sampahsampah itu? Busyiiit! Jijik katamu. Itu kan yang kita makan setiap hari.

Kayaknya dunia mau kiamat. Makin hari makin panas. Tidak Cuma cuacanya, tapi juga manusianya.

Hihihi, makan sampah.

Di kota ini memang cuma ada sampah yang bisa dimakan. Apa kota ini memang begini sejak dulu? Kok tanya padaku? Kau kan yang lebih tua. Tanya saja nenekmu. Nenekku kan sudah mati tertimpa gundukan sampah waktu dia berebut makanan di sini, sebulan lalu. Sudah! Jangan banyak tanya. Itu, Truk sampahnya datang. Cihuuuiiii!!! Kau mau mati seperti nenekmu? Tunggu sebentar. Sabar. Jangan buru-buru. Biarkan sampahnya ditumpahkan dulu. Setelah truk sampah pergi, mereka berlari beramai-ramai, mereka berlomba-lomba mengais. Ada yang membawa tongkat kecil seperti celurit, ada yang hanya menggunakan ranting, ada juga yang mengais-ngais dengan tangan telanjang. Hei, aku menemukan kepala. Kepala? Ayam atau bebek? Manusia! Kota Lumpur

Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami kotor yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya Semua penduduk di kota itu berbaju lumpur. Lumpur yang masih meleleh dan akan terus meleleh. Bukan hanya itu, rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan atap langit, semua utuh berbalur lumpur. Pekat dan terus meleleh seperti es krim cokelat yang mencair. Hanya bayi-bayi yang baru lahir saja yang mulus tak berbalur lumpur. Tak seorangpun tahu dari mana lumpur itu bermula. Tapi, kata orang-orang tua, lumpur itu menyembur dan meleleh dari dosa. Setiap seseorang melakukan dosa dengan kadar tertentu, lumpur itu akan menyembur dan meleleh dengan kadar tertentu pula. Semakin besar dosa yang dilakukan, semakin besar pula semburan yang muncul. Lumpur itu bisa menyembul dari mana saja. Dari mulut, telinga, kelopak mata, dari lubang pusar, bahkan dari lubang kemaluan. Berarti penduduk kota ini, semuanya berdosa, dong!? Cuma nabi dan bayi, manusia yang tak punya dosa. Rumah-rumah, jalan-jalan, masjid, gereja mereka tak punya dosa. Tapi kenapa mereka penuh lumpur? Kau tak tahu, ya? Dosa itu menjulur bagai lidah, menjilati apa saja. Rumah-rumah, jalan-jalan, bahkan tempat ibadah. Pokoknya tempat-tempat di mana kita melakukan dosa, di situ lumpur juga akan ikut meleleh.

Lumpur ini benar-benar menghalangi kenikmatan. Kita tak bisa bicara dengan jelas, setiap kali bicara lumpur dari mulut kita akan ikut menyembur. Kita juga tak bisa makan dan minum dengan nikmat, semuanya becek oleh lumpur. Kita juga tak bisa tidur dengan pulas. Semua lembab dan gatal. Bahkan kita tak bisa bercinta dengan nyaman. Huft.!

pinggir jalan. Kebanyakan dari perempuan-perempuan itu adalah perempuan yang tidak pernah memiliki cukup uang untuk membeli lelaki, sehingga mereka lebih suka mencari mangsa di jalan-jalan. Perempuan-perempuan itu tak pernah mengenakan pakaian. Mereka selalu berdiri gelisah di pinggirpinggir jalan dengan birahi yang sangat dahaga. Kita takkan pernah menjadi ibu. Memang kenapa? Kita tak mampu beli sperma.

Lalu, menurutmu, bagaimana cara menghentikannya? Beli lelaki maksudmu? Menghentikan apa? Sama saja! Ya lumpur ini! Memangnya harus beli? Hahaha, kau seperti bertanya bagaimana menghentikan dosa. Kau jawab sendirilah! Kota Perempuan Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami dilema yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya Benar adanya, di kota itu, lelaki menjadi makhluk yang sangat mahal. Mereka di pajang di kamar-kamar mengkilap, dengan harga bervariasi. Semakin lelaki, semakin mahal. Di kota itu, lelaki takkan berani keluar sembarangan. Karena, ia bisa diperkosa beramai-ramai oleh perempuan-perempuan liar di Kau bodoh atau lupa? Di kota ini kan lelaki sudah bosan bercinta dengan perempuan. Sekarang mereka lebih suka bercinta dengan sesamanya, kecuali kalau kita membelinya. Jadi? Jadi, kalau kita mau hamil kita harus kaya! Susah, mau hamil saja harus kaya dulu. Di kota ini memang begitu aturannya. Lelaki bercinta dengan lelaki, apakah termasuk aturan di kota ini?

Sepertinya begitu, lelaki di kota ini sudah bosan dengan jumlah perempuan yang over populated. Kalau mereka bisa bercinta dengan sesamanya, kenapa kita tidak? Aku hanya menyayangkan sperma mereka yang terbuang sia-sia.

Hari ini kau dapat apa? Maksudmu, yang sudah aku telan? Ya. Serongsok rangka kursi, semangkuk bulu ayam, dan seekor buaya rawa. Kalau kamu? Setumpuk koran bekas dan kasur bekas. Tapi jujur, aku masih sangat lapar.

Kota Lapar Sama. Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami lapar yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya Penduduk kota itu selalu merasa lapar. Setiap hari mereka memakan apa saja. Mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang, besi, tanah, dan bahkan bangkai. Di kota itu, rasa lapar terus melata dan mendatangi siapa saja, mereka menyebarkan virusvirus lapar ke dalam ceruk lambung melewati angin yang dihirup manusia. Setiap hari, kota itu selalu ramai oleh musik perut. Ada suara keroncongan, ada suara kokok ayam, ada pula siut seperti kentut. Perut-perut itu akan terus berbunyi hingga sesuatu mengisinya. Semakin lama garing, gaung perut itu akan semakin nyaring. Setiap jam, penduduk kota lapar selalu berlomba-lomba mengais apa saja yang bisa mereka masukkan ke dalam perut mereka. Hal apapun yang mereka lakukan, tujuannya hanya untuk satu: perut. Kenapa, ya, kita kok selalu kelaparan. Padahal perut kita sudah begini buncit oleh apa-apa yang kita telan. Manusia kan memang diciptakan untuk lapar. Kau pernah menahan lapar? Lebih baik mati daripada menahan lapar. Kok begitu? Kalo kita kelaparan gara-gara menahan lapar, kan ujungnya mati juga. Puasa maksudku. Jadi kita bukan tidak makan sama sekali, tapi kita kurangi porsinya, kita tahan. Ah, sudah lama sekali di kota ini tak ada puasa-puasa bapak-ibu kita juga tak pernah mengajarkan kita puasa. Yang

mereka ajarkan adalah bagaimana caranya mencari makan, mengisi perut. Sudah! Kebanyakan ngobrol tambah bikin lapar. Ayo kita cari makan lagi! Di kota ini sudah tidak ada apa-apa lagi, kita mau cari makan di mana lagi? Ya pokoknya kita cari. Kalau begitu kau makan aku saja.

memestakan apa saja yang bisa dipestakan. Seolah mereka lupa, bahwa kematian massal bisa saja mendatangi mereka. Anehnya pula, dalam pesta itu mereka sempat membicarakan dan menduga-duga agenda miris apa yang akan menyongsong mereka. Disiram air baskom sudah. Bahkan sampai rumah-rumah rata dengan tanah. Dan yang mati ratusan ribu itu.

Kau gila! Apa isi otakmu? Aku hanya berpikir, barangkali, setelah mati rasa lapar ini akan reda. Kota Katastrofa Belasan ribu atau berapa gitu aku lupa. Entah sejak kapan kota itu tumbuh dalam kepalaku. Tepatnya di ceruk mata. Aku pernah terdampar di kota itu, mengalami ketakutan yang sangat. Hingga kota itu, bagai wajib kukisahkannya Di kota itu, kejadian-kejadian miris telah diagendakan. Setiap hari, di kota itu akan terjadi kematian massal. Penyebabnya bisa apa saja dan tak pernah terduga. Penduduk kota itu, setiap hari selalu berpikir, memutar otak, bagaimana supaya agendaagenda miris itu dapat dihentikan. Namun mereka tak pernah berhasil. Mereka tak pernah bisa menemukan di mana list-list kejadian itu disimpan. Anehnya, penduduk kota itu setiap hari berpesta pora. Mereka Baru-baru ini gunung kentut. Oh, yang korbannya pada gosong itu, ya? Heem. Bahkan kampung itu sekarang jadi kuburan. Kira-kira, apalagi, ya, agenda ke depan? Menurut dugaanku, matahari akan tergelincir, menggelundung menimpa kota kita. Atau kalau tidak, barangkali atap langit bakal rubuh. Ih, sereeem! Tanah gulung tikar juga sudah, bahkan sampai menganga setengah meter tanahnya. Berapa kemarin korbannya?

Makannya, tobat! Iya, deh! Tapi, kita selesaikan dulu, ya, pestanya!? (*)

Malang, 2011

2. Penggali Pasir
Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 11 Maret 2012) DARI atas tanggul, ia memandang lepas deras arus bengawan yang kelam dan bergelombang bagai rambut ibunya. Matanya memicing, memperhatikan luapan air yang perlahan surut. Seperti biasanya, bila luapan air mulai surut, tepian bengawan itu akan dipenuhi kerikil dan endapan-endapan pasir basah, yang bila mengering akan tampak menggunduk seperti bukitbukit kecil di padang gurun. Ia hapal betul, kapan air akan meluap dan kapan akan surut. Dari rumahnya ia dapat mendengar gemuruh air pasang. Sesekian waktu, bila suara gemuruh itu merendah, artinya air telah surut dan ia akan menaiki tanggul di tepian bengawan itu sambil membawa serok dan ciduk pasir yang dibuatnya sendiri dari bekas kaleng kotak biskuit. Selain karena paling getol, rumahnya juga paling dekat dari bengawan. Jadi ia selalu dapat mengumpulkan pasir lebih banyak daripada teman-temanya. Ia tinggal di tepian bengawan itu bersama ibu dan kedua adiknya. Bapaknya hilang ditelan bah besar lima tahun lalu,

jasadnya juga tak pernah ditemukan. Tak ada yang tahu, apakah ia masih hidup atau sudah mati. Rumah bambu itulah satu-satunya warisan nenek moyangnya yang turun temurun hidup sebagai penggali pasir. Bengawan dan rumah rapuh itu hanya terpisah oleh sebuah tanggul tinggi yang tampak kokoh, yang mungkin telah ada sebelum kakek buyutnya lahir. Tanggul itulah yang saban hari akrab ia naik-turuni. Dari seberang tanggul itulah ia membantu ibunya yang pincang untuk menghidupi kedua adik perempuannya. Orang-orang memanggilnya Thekhel. Badanya kecil tapi tegap dan berisi. Kulitnya hitam kusam oleh sengatan matahari dan debu-debu pasir. Rambutnya cepak, merah dan kering. Usianya belum genap enam belas tahun. Setamat SMP ia sengaja tidak melanjutkan sekolah. Ia tahu, ibunya tidak mungkin bekerja lebih untuk membiayai sekolahnya. Maka ia putuskan untuk terjun berjibaku dengan pasir dan kerikil, meneruskan pekerjaan warisan nenek moyangnya. Satu adiknya, Menik, berumur sepuluh tahun, dan satunya lagi, Yanti, baru masuk SD. Dengan kakinya yang pincang sebelah, ibunya hanya bisa bekerja sebagai buruh cuci dan kadangkadang sebagai tukang ikat bawang di rumah juragan ladang. Bila tak ada pekerjaan, sementara dua adiknya masih sekolah, ibunya selalu menyusulnya turun ke bengawan untuk sekadar membawakan air putih atau makanan kecil yang bisa ia santap saat beristirahat dari galian pasirnya. Berapa pun hasil yang ia dapat dari menggali pasir, selalu ia serahkan pada ibunya. Ibunya pun tak pernah banyak bicara, kecuali mengucapkan terima kasih. Di antara teman-temannya, sesama penggali pasir, hanya ia yang tidak berani macammacam. Sebenarnya bisa saja ia menyimpan sendiri uang hasil

jerih payahnya untuk ditukarkannya dengan rokok atau minuman berbotol yang baunya menyengat itu. Namun, setiap kali teman-temanya mengajaknya pesta kecil-kecilan ia selalu memiliki alasan yang tepat untuk menolak. Lamat-lamat ia masih bisa mengingat kata-kata bapaknya lima tahun lalu. Kini ia baru bisa mencerna kata-kata itu betul-betul, Fakir itu dekat sekali dengan kafir, Le, hanya ada dua pilihan bagi orang miskin seperti kita, syukur atau kufur. Kalau kita bersyukur maka derajat kita akan lebih tinggi dibanding orangorang kaya yang pandai bersyukur. Tapi kalau kita kufur, derajat kita akan lebih rendah daripada orang kaya yang kufur. *** Di usianya yang masih hijau ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman biru. Hidup serba sederhana sebagai penggali pasir tak pernah membuatnya mengeluh. Hari melaju dari minggu ke bulan dan tahun. Hari-harinya tak ada yang baru. Pagi-pagi buta sebelum dunia terbangun ia sudah bangun. Usai ke surau ia akan cepat-cepat mengganti pakaiannya dengan dengan kaos oblong panjang yang warnanya sudah tak jelas. Pagi-pagi ia akan menaiki tanggul dan turun ke tepian bengawan untuk menepuk-nepuk endapan pasir dengan kakinya. Ia bisa mengira-ngira, mana pasir yang bagus dan mana pasir yang kurang bagus. Bila terdengar suara bug maka bisa ia pastikan, pasir itu bagus dan tidak banyak bercampur kerikil. Setelah itu ia akan mulai membuat tanda galian di situ. Para tengkulak dan juragan truk pasir selalu tepat waktu mengangkut pasir-pasirnya. Bila pasir yang ia kumpulkan

bagus, maka satu baknya bisa dihargai 75 sampai 80 ribu. Namun bila pasir yang ia dapat bercampur lumpur dan kerikil, biasanya para tengkulak hanya akan menghargainya 40 ribu atau terkadang 50 ribu. Selepas musim penghujan, menjelang kemarau. Ia akan mengumpulkan banyak uang. Sebab, setelah air bengawan susut, sepanjang tepian bengawan itu akan dipenuhi endapan pasir. Para penduduk akan berbondong-bondong menuruni tanggul, seperti menyambut musim panen. Mereka akan berlomba dan berebut menandai galian. Sebab bila telah ada satu galian, pantang bagi orang lain untuk meneruskan galian di tempat yang sama. Bila musim hujan kembali, ia akan banyak menganggur. Sebab luapan bengawan yang deras tak memungkinkannya untuk membuat galian. Bila musim hujan tiba, ia akan banyak menghabiskan waktunya di rumah. Menjagai kedua adiknya, ketika ibunya pergi ke desa seberang untuk mengambil atau mengantar cucian. *** Menganggur sering membuatnya tidak betah. Meski hujan masih mericis, acap kali ia menaiki tanggul dengan gelisah. Matanya memicing, memperhatikan arus bah bengawan yang bergulung-gulung bercampur lumpur dan sampah. Ia selalu berharap supaya air bah tidak terlalu besar. Sehingga dua atau tiga hari ke depan ia sudah bisa memulai galian. Namun, di musim hujan begitu, sebulan sekali saja ia bisa menandai galian, ia sudah beruntung.

Musim hujan, baginya tak ubahnya sebuah cobaan. Seperti kemarau panjang bagi para petani. Pada musim penghujan, ia harus banyak bersabar dan berdoa. Ketika bengawan surut pun, ia akan mengalami sedikit kesulitan dalam pekerjaanya. Karena biasanya pasir di tepian bengawan masih dipenuhi air. Sehingga ia harus bekerja ekstra. Terkadang ia berpikir, barangkali musim penghujan memang sengaja diturunkan untuk para penggali pasir, supaya mereka rehat barang sejenak. Seperti ketika Tuhan menciptakan malam untuk istirahat dan siang untuk bekerja. Toh, selepas musim penghujan, mereka akan memanen pasir lebih banyak dari biasanya. Pasir-pasir itu memang seperti diciptakan untuk mereka. Meski bertahun-tahun dikeruk, tapi tak pernah habis, selalu datang yang baru. Terkadang ia berpikir, entah dari mana datangnya pasir-pasir itu. Barangkali dari langit yang turun bersama hujan. *** Sebenarnya kalau dipikir-pikir, musim penghujan tidaklah sekejam itu. Tapi, yang ia keluhkan, musim penghujan kali ini memang sedikit lebih panjang. Buruknya lagi, musim penghujan kali ini datang tepat bersamaan dengan tahun ajaran baru. Ketika kedua adiknya butuh biaya lebih untuk bayar ujian, daftar ulang, buku baru, dan tetek bengeknya. Sekilas ia menangkap raut cemas pada wajah ibunya. Uang hasil buruh cuci saja tentu tidak cukup, toh setiap hari mereka juga butuh makan. Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagimana melunasi biaya-biaya sekolah adiknya yang melambung seperti hantu itu. Matanya masih nyalang, menelanjangi langit-langit rumahnya

yang begitu kelam seperti ceruk gua. Sayup-sayup telinganya masih menyimak kemrosak air bah dari balik tanggul, kemerosak yang sedari pagi tak henti-henti. Di antara kemericik hujan yang seperti tak kenal lelah, suara-suara itu bagai mencibirnya. Ia menoleh, di sebelahnya ibunya sudah terlelap memeluk adiknya yang paling kecil. Tampak terkembang layar kepayahan pada wajah-wajah itu. Adiknya yang satu lagi sudah mendengkur memeluk bantal dengan liur berleleran di pipi. Ia tersenyum simpul. Namun, jauh sekali di dalam hatinya, ada yang menyala-nyala. Sulutan antara kecemasan, kasihan, marah, tak terima, semua melebur dan berkobar dalam dadanya. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia ingin rehat sejenak, tanpa memikirkan apa pun. Ia ingin segera tidur. *** Seperti biasa, pagi-pagi kencur ia sudah terbangun. Sisa hujan semalam membuat udara sangat lembab. Tanah-tanah masih becek dan berkubang air. Ibunya pun sudah mulai membakar karet sandal untuk menyalakan tungku. Ia duduk di depan tungku, di sebelah ibunya yang sibuk meniupi api. Asap berhamburan. Ibunya terbatuk-batuk. Sini, Mak! ia mengambil alih, dengan segenap tenaga ia menyemburkan tiupan, api pun berkobar membakar kayu dan kertas-kertas bekas. Ia dan ibunya sama-sama diam, wajah mereka tampak terang dan berkilat-kilat oleh pantulan api yang berkobar dari tungku. Terakhir kapan, Mak? sambil merapikan kayu di perapian bibirnya berkeciap lirih, seperti menggumam.

Yang terakhir kapan, apanya? Bayar uang sekolahnya Menik sama Yanti. Di suratnya sih Sabtu depan, karena Senin sudah ujian. Jawab ibunya datar, tanpa ekspresi. Ia terdiam, matanya terpaku pada ranting-ranting yang kemeletak terbakar api dalam tungku. Sepertinya, saya harus memulai galian hari ini, bisiknya lagi. Hush! Setelah bapakmu, sudah lama bengawan itu tidak menelan korban. Apa kamu tidak dengar, suara kemerosak begitu. Air bengawan masih meluap-luap. Tunggu dulu, setidaknya sampai minggu depan. Tapi, kan, uang sekolahnya Menik terakhir Sabtu, Mak. Halah, itu Mak bisa cari utangan nanti. Cari utangan ke mana lagi, Mak? ia menekankan suaranya, tak terima. Namun ibunya malah memelototinya. Akhirnya ia memilih diam. *** Matahari megapung naik. Sesekali meredup terhalang mendung yang masih menggumpal di rongga langit. Ibunya sudah berangkat ke desa sebelah. Kedua adiknya juga sudah lesat ke sekolah. Tinggal ia seorang diri. Beberapa kali ia menaiki tanggul, untuk memastikan luapan air sudah mulai surut atau belum.

Semakin siang, suara gemuruh dari balik tanggul kian lirih, kian reda. Untuk ke sekian kali ia menaiki tanggul. Ia tersenyum menang. Air mulai surut. Ia memicingkan mata ke sepanjang tepian bengawan. Tampak gundukan pasir basah yang masih bercampur endapan lumpur, berkilat-kilat oleh kedipan matahari. Arakkan mendung pun tampak memudar. Ia yakin sekali, langit sudah mulai lelah menangis. Air akan semakin surut. Ia tersenyum yakin. Sudah terbayang ancangancang cerlang dalam kepalanya. Ia bergegas. Kembali ke rumah untuk ganti kaus, mengambil serok dan ciduk pasir. Ia akan segera memulai galian. Saat itu juga. Ia akan menandai dua atau tiga galian sekaligus. Ia orang pertama yang menuruni tanggul. Artinya, ia bebas memilih perut pasir yang paling bagus untuk ia tandai. Bergelimanglah alamat-alamat baik dalam kepalanya. Ia akan mengumpulkan pasir-pasir terbaik. Para juragan pasir akan membayarnya lebih. Biaya sekolah Menik dan Yanti akan lunas. Ibunya akan tersenyum lepas. Benar-benar sangkaan yang cerlang. Namun, adakah Pemilik Hujan megiyakan? Tentu ia tidak tahu, bahwa nun jauh di sana, di hulu bengawan, bah besar mulai melata. Di sana, hujan turun deras sekali, sudah berhari-hari. Seharusnya ia camkan kata-kata ibunya, bahwa setelah bapaknya, sudah lama sekali bengawan itu tidak menelan korban. (*) Madiun 2009- 2011

3. Kabut Ibu
Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 8 Juli 2012) DARI kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu mereka kian bosan membicarakannya. Karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka hanya akan saling berbisik, Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah dikutuk. *** Peristiwa itu terjadi berpuluh-puluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang mereka perbincangkan, namun sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah Abah (bapak dari Ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh. Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam. Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin, hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah. Ibu mengetuk pintu terburu-buru, dan melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya. Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh oleh teriakkan-teriakkan, suara kentongan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera memejamkan mata. Subuh paginya, ketika suara adzan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya. Selepas dhuha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang duluan, begitu kata abah. Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti darah yang

mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku. Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda. Mengapa kita tak jadi pulang, Bah? tanyaku. Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu, abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya. Kotor kenapa, Bah? Abah terdiam beberapa jenak, Ya kotor, mungkin semalam banjir. Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa? Ya banjir. Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah. Hus! *** Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang. Jangan ke mana-mana, Abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan. Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang. Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas lega. Menyogsong abah. Abah tertatih merangkul ibu. Ibu yang hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam. Ketika kutanya abah, ada apa dengan ibu? Abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit. Lalu aku bertanya lagi pada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematianlantaran mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri. *** Semenjak hari yang merah itulah, ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaanya hanya diam, sesekali

menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi. Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum, harus kami yang mengantarkan ke kamarnya. Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut. Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut yang selalu mengepul. Setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu. Sejauh ingatanku ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah. *** Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan, beberapa kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di tanah. Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benarbenar lenyap. Namun kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis dan hilang. Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan. Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan, namun ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan, bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya. Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya. ***

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapatrapat kamar ibu. Membiarkan kabut itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami, sebagaimana ia menelan ibu. (*)

Ketika Kabut, Malang, 11-11-11

4. Pohon Hayat
Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 29 Januari 2012) SEBELUM daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu. Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek. *** Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelanpelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak

terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek mengadah ke atas. Aku pun menirukannya. Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana, gumam nenek. Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakkan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku. Nek, aku menjawil lengan nenek. Ya? Apakah daun-daun kering yang berserakkan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati? Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan. Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu? Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah. Nek,

Ya? Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja. Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah. Kepalaku kembali menengadah, Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa? Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan. Apakah mereka akan segera gugur. Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka. Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu? Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu. Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu. Nek, Ya?

Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan? Ya. Benar, memang kenapa? Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana? Ya. Tentu saja. Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek? Nenek mengernyitkan dahi, Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur. Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek. *** Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan penyakit orang tua. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan, bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.

Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorangpun berhak tahu atas rahasia itu. Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala. Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakkan lirih, Nenekmu sudah pergi. Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu. *** Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon

kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya. Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia. *** Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alunalun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya. Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak

di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah. *** Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mall dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis, kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil diluar nikah menjadi kabar biasa. Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela. Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan. Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa. Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri, begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu persatu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari

akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana. Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apaapa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjagajaga, jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya, ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih. Terbayang dalam kepalaku, bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar, bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah. Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara. Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.

Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana, kata-kata ibu kembali mengiang di telinga. (*)

5. Seekor Unta pada Hari Jumat


Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 22 Juli 2012) PERKARA mengapa Mahisa selalu tertidur ketika mendengarkan khutbah di hari Jumat, semua bermula dari sebuah cerita di masa kecil. Cerita dari Wak Jamal. Cerita tentang seekor unta, di hari Jumat. Mahisa ingat betul, bagaimana Wak Jamal bercerita tentang keistimewaan unta dan hari Jumat, di surau redup di sudut kampungnya. Wak Jamal memang guru ngaji yang sangat pandai, khususnya dalam hal bercerita. Kata Wak Jamal sendiri, semua cerita yang ia ceritakan bukanlah busa mulut semata, semuanya ia kutip dari kitab kuning dengan huruf arab tanpa harakat yang ia pelajari di pesantren, semasa ia remaja. Terlampau lekatnya cerita itu, Mahisa sampai terkenangkenang akan logat mendongeng Wak Jamal (yang memiringmiringkan leher ke kanan sambil berkedip-kedip). Kalaupun disuruh mempraktikkan cara Wak Jamal bercerita, Mahisa sangat yakin bisa melakukannya dengan sempurna. Apalagi menceritakan kembali cerita tentang unta. Seekor unta di hari Jumat. *** BEGINILAH Wak Jamal memulai ceritanya, tentang seekor unta di hari Jumat. Sebelum ke inti cerita, Wak Jamal memancing anak ngajinya dengan pertanyaan-pertanyaan runtun serupa pantun.

Malang, 5 Juli 2011

Nah, Nak, tahukah kau, bahwa di antara tujuh hari yang ada terdapat satu hari yang sangat istimewa, seistimewa lebaran yang hanya setahun sekali itu. Dan hari itu adalah hari Jumat. Perihal mengapa, karena Tuhan mengampuni banyak dosa dari hamba-Nya yang mau beramal baik pada hari itu. Pada hari itu pula Tuhan meciptakan manusia pertama, memasukkannya dalam surga dan kemudian mengeluarkannya. Masih banyak lagi sebenarnya keistimewaan hari Jumat yang tak cukup saya paparkan satu persatu. Nah, Nak, selepas membicarakan hari yang paling istimewa, sekarang kita akan main tebak-tebakan mengenai binatang yang paling istimewa. Nah, Nak, tahukah kau binatang apa yang sanggup bertahan hidup berhari-hari tanpa makan dan minum. Tahukah kau tentang seekor mamalia yang memiliki bulu mata sangat sempurna, yang memiliki bibir bangir tapi tak nyinyir, yang memiliki dengkul sekeras batang cangkul. Oh, tentu saja kalian belum tahu, mendengarnya mungkin, tapi tahu, pasti belum. Kemudian Wak Jamal akan tersenyum simpul (sambil memiring-miringkan kepalanya ke kanan) dan mulai memaparkan keistimewaan sang unta serupa pujian. Wak Jamal tampak bersemangat sekali menjelentrehkan kelebihankelebihan binatang itu, seolah ia tengah terlibat asmara dengan binatang itu.

Nah, Nak, jikalau ada binatang yang sanggup bertahan hidup hingga delapan hari pada suhu lima puluh derajat tanpa makan atau minum, untalah beliaunya (sangking terpesonanya pada unta ia menggunakan kata beliau). Jikalau ada binatang yang lentik bulu matanya melebihi Cleopatra, dan memiliki dua lapisan yang saling berkait seperti perangkap yang melindungi dari badai pasir sehingga butir pasir tak mungkin mampir, binatang istimewa itu adalah si unta. Jikalau ada binatang yang memiliki bibir yang sangat kuat dan mirip karet, yang memungkinkan mengunyah kaktus ataupun duri yang cukup tajam, unta pulalah binatang satu-satunya. Jikalau ada binatang yang lututnya tertutup kepalan yang terbentuk dari kulit sekeras tanduk, sehingga hewan ini betah berlutut di pasir yang panas tanpa khawatir melepuh, si untalah binatangnya. Setelah tunai menyampaikan mukadimahnya, Wak Jamal memulai cerita yang sesungguhnya. Cerita tentang seekor unta di hari Jumat. Dari sebuah kitab yang pernah ia kaji, Wak Jamal mengisahkan. Bahwa Tuhan punya alasan mengapa Ia memilih unta sebagai binatang utama, untuk dianugerahkan kepada hamba-Nya yang datang paling pertama di hari Jumat, pada shalat Jumat. Jadi, setiap hari Jumat, beberapa manusia akan berternak unta, dan kemudian memanen hasilnya di surga kelak. Mengapa unta? Mengapa bukan macan atau singa? Atau gajah yang besar? Hatta, Wak Jamal bertanya sendiri, dan kemudian pula menjawabnya sendiri, karena unta adalah binatang paling

mahal di antara yang mahal, binatang paling istimewa di antara yang istimewa. Seolah-olah, Tuhan menciptakan unta dengan istimewa karena memang diperuntukkan khusus untuk orangorang yang istimewa. Tuhan memang Maha Pemurah. Terlampau pemurahnya Ia, setelah memberikan unta, Ia akan memberikan lembu untuk yang datang setelah unta, ia juga masih menyimpan kambing untuk yang datang berikutnya, setelah lembu. Setelah kambing pun, Ia masih bermurah hati memberikan ayam untuk yang datang setelah kambing. Di bawah ayam pun, ia masih menyisakan telur untuk yang datang berikutnya. Jadi, urutannya yang pertama unta, kemudian lembu, kemudian kambing, kemudian ayam, dan yang paling buntut telur ayam. Dan setelah telur, tidak disebutkan lagi. Jadi, kesimpulannya, kalian sendiri yang akan memutuskan, memilih mana, unta, lembu, kambing, ayam, telur ayam, atau mungkin yang keluar dari tempatnya telur ayam tapi bukan telur ayam. Wak Jamal memang selalu seperti itu, menyuruh anak ngajinya untuk beramal shalih dengan sindiran-sindiran yang cukup sulit dipahami anak kecil. *** SEMENJAK mendengar cerita itu, Mahisa benar-benar ketularan Wak Jamal, terobsesi dengan binatang bernama unta. Mahisa tak pernah melihat unta secara langsung, tapi dari cara Wak Jamal bercerita, unta memang binatang yang luar biasa. Kini Mahisa tahu, mengapa Wak Jamal sudi bersusah-susah membersihkan surau pada Jumat pagi dan kemudian menjadi

bilal dan muadzin pada Jumat siang. Ya, tak lain dan tak bukan, pasti karena binatang istimewa itu. Dalam kepalanya, Mahisa membayangkan, Wak Jamal sudah menernakkan unta yang jumlahnya ratusan, bahkan mungkin sudah beranak pinak. Mengingat rambut Wak Jamal yang kian rata ditunasi uban, Mahisa mulai berpikir, bahwa kini, tiba saatnya ia mewarisi peternakkan unta Wak Jamal, guru ngajinya. Wak, untuk mendapatkan unta, apakah seseorang mesti membersihkan surau dan menjadi muazin pada shalat Jumat? Suatu ketika Mahisa bertanya. Tidak, tidak harus, yang penting kau datang paling awal. Lalu duduklah dengan tenang di shaf paling depan, di belakang khatib, sambil berzikir, itu saja. Mudah sekali, pikir Mahisa. Berarti, Wak Jamal capek-capek membersihkan surau dan menjadi muazin bukan karena unta, tapi karena sesuatu yang lain, sesuatu yang tampaknya lebih besar dan lebih istimewa dari pada unta. Tapi, apakah itu? Mengapa Wak Jamal tidak menceritakannya. Atau janganjangan, sesuatu yang mungkin lebih besar daripada unta itu adalah sebuah rahasia yang ia simpan sendiri. Supaya ia bisa memilikinya sendiri. Mahisa menepiskan pikiran itu jauh-jauh. Wak Jamal pernah mewanti-wanti, berburuk sangka bukanlah alamat bagus. Sudahlah, yang penting, mulai pekan depan, Mahisa bertekad hendak berangkat pagi-pagi ke surau pada hari Jumat. Selepas pulang dari sekolah, ia akan bersegera mandi dan berangkat. Kalau perlu ia akan menyelidiki terlebih dahulu, jam berapa biasanya Wak Jamal datang, supaya ia bisa mendapatkan unta dan Wak Jamal mendapatkan lembu.

Pada Jumat pertama, Mahisa kalah cepat dari Wak Jamal. Ketika sampai di surau, Mahisa telah mendapati Wak Jamal tengah membaca mushaf di saf paling depan. Wak Jamal tersenyum penuh kemenangan, aku dapat unta dan kau dapat lembu, begitu arti senyumnya. Dalam hati, Mahisa berjanji, Jumat pekan depan, ia akan datang lebih awal lagi. Jumat itu, Mahisa rela menerima nasib jika ia harus mendapatkan lembu. Lembu tidak terlalu buruk, buktinya, untuk berangkat haji dua tahun silam, bapak dan emak cukup menjual tiga lembu piaraannya. Artinya, lembu adalah binatang istimewa kedua setelah unta. *** PADA Jumat berikutnya, Mahisa tersenyum bangga ketika sampai di surau, ia tak mendapati siapa pun. Serta merta ia duduk di saf paling depan, tepat posisi belakang imam. Beberapa menit berikutnya, Wak Jamal datang dengan senyum sumeringah. Wak Jamal menepuk pundaknya, Wah, luar biasa, serunya. Mahisa terduduk tegap. Bersenyum penuh kemenangan. Saksama ia memerhatikan Wak jamal yang mulai menyalakan speaker, mengecek micropon, dan menggelar sajadah untuk imam. Satu persatu Mahisa melirik setiap orang yang datang. Aku dapat unta, batinnya. Wak Jamal dapat lembu. Bang Ajrul dapat kambing. Ki Hanan dapat ayam. Wak Sayid dapat telur ayam. Mas Toha dapat entah. Sambil terus menghitung setiap jamaah yang datang sesuai dengan urutannya, tiba-tiba kepala Mahisa terasa sangat berat. Matanya juga sangat berat. Bahkan, ketika Wak Jamal mengumandangkan azan dan khatib mulai naik ke mimbar, Mahisa masih berjibaku dengan matanya yang berat. Mahisa terantuk dan hampir ambruk

ketika Wak Jamal menepuk pundaknya selepas iqomah, menyadarkannya dari kantuk. Celaka, ada yang tertidur ketika khatib menyampaikan khotbah. *** PADA Jumat-Jumat berikutnya, Mahisa rutin datang paling awal. Ia duduk di saf paling depan, belakang khatib. Namun, selalu saja, Mahisa tak kuasa menahan kantuk ketika khatib mulai naik ke mimbar. Kejadian itu berlangsung terus menerus, selama bertahun-tahun, sampai sekarang. Ketika ia mengikuti shalat Jumat dan khatib mulai naik ke mimbar, seolah ada hal gaib yang menyirepnya, membuatnya terkantuk-kantuk hingga tertidur. Cerita itu sudah berlalu puluhan tahun silam. Wak Jamal pun sudah lama sekali almarhum. Surau kecil tempat ia mengaji dulu, kini sudah diperlebar dan dibangun masjid. Sudah bertahun-tahun Mahisa merantau ke luar kota, meninggalkan kampung halaman. Tapi tetap saja, di mana pun ia mengikuti shalat Jumat, ketika khatib mulai menyampaikan khotbahnya, kepalanya pun mulai tertunduk, terkantuk-kantuk. Satu hal pula yang masih lekat dalam ingatannya dari cerita Wak Jamal. Bahwasannya, mendapatkan unta di hari Jumat bukanlah perkara mudah. Karena, selepas shalat Jumat, akan selalu ada orang-orang (yang datang paling awal) yang kemudian mengutuki dirinya sendiri, menyesalkan unta mereka yang selalu lepas ketika mereka tertidur mendengarkan khotbah. (*)

Malang, 2012 Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Kini tinggal di Malang, Jatim.

6. Rumah yang Menggigil


Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 21 Agustus 2011) RUMAH itu menggigil. Perempuan tua itu tinggal dan tersesat di dalamnya. Jika malam tiba, rumah itu tampak seperti gadis kecil yang terkurung dalam kamar mandi, dengan keran air yang terus menyala, mengguyur kepala. Konon, dalam rumah itu, musim hujan memang tak pernah berhenti. Siutan angin menyambar-nyambar. Petir dan kilat bersahut-sahutan. Jika tengah malam tiba, suara-suara gemuruh dari dalam rumah itu kian menjadi. Konon lagi, hujan itu bermula pada sebuah malam celaka. Malam selepas pemakaman suaminya. *** DIA hartaku satu-satunya, bagaimana aku tidak gila kehilangannya. Selepas anak semata wayang kami pergi ke luar negeri, mencari kerja katanya, dan puluhan tahun tidak kembali, aku tak punya apa-apa lagi kecuali dia. Barangkali dia tampak menyusahkan dan tidak istimewa sama sekali. Namun, dialah bejana emas yang selama ini menampung curah hujan yang terus menderas dalam kepalaku, mengguyur mataku, menguyupkan hatiku.

Semenjak divonis stroke, dia telah menjelma bayi. Setiap hari hanya terbaring di ranjang tidur yang kasurnya kian hari kian lepek dan menggumpal. Makan harus aku yang menyuapinya. Mandi harus aku yang memandikannya. Bahkan, buang air pun harus aku yang menimpal dan mencebokinya. Barangkali memang di situ mukimnya cinta. Tak ada keluh. Tak ada kesah. Semua kujalani dengan debaran yang masih sama. Debaran ketika pertama kali bertemu dengannya. Debaran ketika ia mendatangi abak-emakku untuk memintaku. Debaran ketika dia mulai mengenakanku menjadi pakaiannya. Semua masih sama. Hingga detik ini. Detik ketika dia terlihat sangat bodoh dan tidak berdaya. *** SUAMINYA meninggal tepat ketika azan subuh berhenti. Pagi hari rumahnya ramai oleh handai tolan yang melawat dan mengikrarkan bela sungkawa. Menjelang siang, jenazah dimandikan dan dikafani, menjelang sore pemakaman baru usai. Petang merembang. Satu per satu tetangga dan handai tolan berpamitan dan pulang ke rumah masing-masing. Petang itu mereka sempat menyaksikan mendung hitam yang sangat tebal, bergulung-gulung di pelupuk mata perempuan itu. Mendung hitam yang mereka yakini akan menjadi pertanda musim hujan yang panjang. Tepat selepas isya para tetangga dikagetkan oleh raungan panjang dari dalam rumah itu. Raungan panjang yang sesekali diikuti geletar seperti suara petir. Juga desah napas yang terdengar seperti angin yang marah. Dari celah-celah pintu para tetangga juga sempat menilik lampu neon yang nyala-mati, yang mereka yakini sebagai kilat yang berkedip-kedip. Beberapa saat kemudian, orang-orang mulai mendengar titik

gerimis yang bergemeletak menikam lantai, meja, dan kursi. Semakin lama titik gerimis itu bergemericik dan menderas. Beberapa orang yang penasaran, berjingkat mendekati rumah itu. Dan dari balik pintu yang terkunci, mereka bersumpah, bahwa mereka mendengar gemericik air yang sangat nyata. Seperti ricik hujan yang sangat deras. Sejak saat itu, rumah limas itu tampak muram. Pintunya tak pernah lagi terbuka. *** AKU percaya, bahwa kehilangan adalah ibu dari semua duka. Bahkan aku tak bisa melukiskan bagaimana perasaanku ketika dia benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali. Sungguh, ditinggalkan selalu lebih miris daripada meninggalkan. Malam itu, dia mengeluhkan udara yang sangat dingin. Dia mengatakan bahwa tulang-tulangnya seperti membeku dan diremukkan. Jahe hangat kuseduhkan, berlapis-lapis selimut kubalutkan. Dia masih saja menggigil. Matanya mendelik. Tubuhnya gemetar. Bibirnya yang kering mengelupas lapis demi lapis. Semalam suntuk aku mencari sesuatu yang bisa menghangatkannya. Di sebelahnya, kubuatkan perapian kecil dari kayu-kayu yang kucabut satu persatu dari papan dinding. Dia masih saja menggigil. Kutanyakan padanya, apa yang sekarang dia rasakan? Dia tak menjawab. Tubuhnya masih gemetaran. Tiba-tiba aku sangat takut. Sangat khawatir. Maka, aku tak perlu melakukan yang lain. Kehangatan yang masih tersisa di tubuhku pun kuberikan. Aku memeluknya erat-erat. Seolah dia akan hilang. Malam terus merangkak. Sangat pelan. Sangat pekat. Sangat dingin.

Di akhir sepertiga malam, suara tartil memenuhi udara di luar sana. Dia masih menggigil. Diikuti suara tarhim yang melengking seperti tangisan yang sangat syahdu. Ia masih gemetar. Azan subuh pun memulai kalimat pertamanya. Ketika itu gemetar badanya sedikit sudah berkurang. Namun dari matanya, air terus mengucur seperti hujan. Tepat ketika azan subuh berhenti. Dia tidak menggigil lagi. Tidak gemetar. Tidak bergerak. Tubuhnya sangat dingin. Sedingin besi terendam hujan. Aku turut kaku. Menatap lelehan yang masih tampak hangat di matanya. Menatap kedua matanya yang mendelik dan penuh kabut. Menatap mulutnya yang menganga, seperti ingin mengatakan sesuatu namun tak pernah sampai. Kurasakan, mendung hitam mulai berarak menutupi penglihatanku. Dari subuh hingga magrib. Menjelang isya mendung hitam itu kian merajalela, membutakan mataku. Aku tak bisa melihat kecuali dunia yang remang, dingin, dan sangat tidak ramah. Detik itu desah napasku gusar. Aku meraung panjang. Sekeras-kerasnya. Setelah itu, hujan mulai turun berdebam dalam kepalaku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku. *** SETIAP kali menatap rumah itu, kami selalu merasa iba. Membayangkan perempuan tua itu duduk sendiri di sudut kamar. Memeluk lutut. Menggigil kedinginan. Perempuan tua itu memang terlampau larut dalam kesedihan. Tak pelak sesuatu dalam kepalanya rusak, terendam kesedihan yang sangat hitam dan kental. Kami tak pernah bisa menyelami kesedihan yang berkedung dalam kepalanya itu. Bagaimana mungkin kami bisa. Ia sendiri tak mau membagi kesedihan itu

pada kami. Ia tak pernah mengizinkan kami masuk ke dalam rumahnya, ke dalam dunianya, lubuk kesedihannya. Semenjak malam itu malam ketika hujan pertama turun dalam rumah itu pada malam selepas pemakaman suaminya. Perempuan tua itu memang tak pernah lagi keluar rumah, kecuali membuang sampah. Kami tak pernah tahu apa yang kemudian ia makan. Tubuhnya kian susut. Ia telah menyerahkan dirinya dalam kesedihan yang paripurna, hingga ia bagai tak punya waktu untuk memikirkan dirinya. Musabab itulah, sebagai tetangga, kami merasa perlu untuk pura-pura bertamu ke rumahnya, entah untuk mengantarkan sedikit makanan, entah bertanya keadaan. Kami rasa, sebagai tetangga, kami pantas melakukan itu. Ketika itu, kami berharap, ia mau membuka diri dan membagikan sedikit kesedihannya pada kami. Namun sungguh di luar dugaan, perempuan tua itu malah melempar kami dengan sandal sambil berteriak-teriak mengusir kami pergi. Perempuan tua itu telah sempurna menjadi hantu. Rambutnya yang pecah memutih tak lagi ia gelung ia urai seperti rambut nenek Lampir. Pakaian yang melekat di tubuhnya adalah pakaian terakhir yang ia kenakan, yang kami lihat ketika jenazah suaminya dikebumikan. Sangat kumal dan bau. Kami tahu, kami sudah tak bisa berbuat banyak. Perempuan tua itu telah menyerahkan dirinya pada kesedihan yang tak beranah tepi. Hingga ia tersesat di sana dan tak pernah bisa kembali. *** HUJAN terus mengamuk dalam kepalaku. Tak kenal jeda. Tak kenal reda. Berkali-kali airnya merembes melalui sudut mataku. Terkadang meleleh dari lubang hidungku. Aku

menggigil karena hujan itu. Hujan kelam yang terus menerus mengguyurku. Mengguyur hatiku. Mengguyur mataku. Mengguyur rumahku. Aku sendiri tak tahu bagaimana cara menghentikan hujan itu. Hujan itu hanya akan sejenak reda bilamana aku tertidur. Bilamana dunia kasat mata lenyap dari pandanganku. Dan digantikan mimpi-mimpi yang hangat dan beraneka rasa. Tubuhku gemetar. Aku menggigil. Aku takkan mampu bertahan jika hujan ini terus mengamukku, mengguyurku sedemikian rupa. Tanpa jeda. Tanpa reda. Aku harus segera tidur. Tidur. Supaya hujan ini berhenti. Tidak membasahi hatiku. Tidak membecekkan mataku. Tidak menguyupkan rumahku. Ya, aku harus segera tidur. Tidur yang panjang. Meski dengan cara paling mengerikan. *** PADA sebuah malam, kami terheran-heran ketika mendapati rumah itu tiba-tiba sunyi. Tidak ada raungan panjang seperti geletar suara petir. Tidak ada kilat yang berkedip-kedip. Tidak ada pula suara gemericik yang menikam lantai, meja, dan kursi. Kata para tukang ronda, suara gemuruh itu telah reda sejak malam lalu. Maka, seperti kali pertama kami mengintip bagaimana hujan itu bermula, kami pun ingin tahu bagimana hujan itu reda. Kami berjingkat mendekati rumah itu. Rumah yang tidak lagi menggigil namun tampak lebih muram dan menyedihkan. Rumah itu hening. Sangat hening. Seperti penyusup, kami mengintai dari luar pintu yang bergeming dan kusam. Kami mencari celah lubang pintu untuk mengetahui rahasia rumah itu.

Kami mulai mengintip satu persatu. Dan kami tak mendapati apa-apa selain keheningan. Keheningan yang menyelimuti seonggok tubuh kaku yang berayun-ayun di balik pintu. Di antara mata yang mendelik dan lidah yang menjulur, kami masih melihat sisa-sisa hujan itu. Dan ketika kami menatap mata itu, tiba-tiba mendung hitam bergulung-gulung mendatangi kepala kami. (*) . Malang, Mei 2011 Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Saat ini bergiat Komunitas Sastra Budaya Lembah Ibarat.

7. Di Sini, Deras Sekali

Hujan

Turun

Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 20 Maret 2011) HUJAN turun deras sekali. Namun, seperti apa pun cuacanya, kau selalu datang tepat waktu. Kini, kubayangkan, kau sedang duduk gelisah di kafe itu, seorang diri. Menatap layar HP yang sinyalnya nyala-mati, sambil menyeruput jus alpokat susu kesukaanmu. Dan kini, mungkin jus alpokatmu sudah tandas. Sudah satu jam lebih dari waktu yang kita sepakati. Dan aku masih meringkuk di kamarku. Sudah tiga kali kau menelepon, tapi selalu putus. Sinyalnya pasti sedang buruk oleh cuaca. Dari balik jendela kamarku, aku hanya membeku, menatap ruahan air langit yang seperti ditumpahkan dari bejana raksasa. Jalan-jalan tertutup genangan. Rumput-rumput terendam. Daun-daun kering mengambang terbawa arus. Bunga-bunga di halaman, dahannya bergoyang-goyang, seolah tak kuasa menahan tikaman air yang begitu runcing. Jendela kaca di mukaku sedikit buram, berembun. Beberapa kali aku menyekanya. Dan wajahmu yang gelisah seperti terbayang di sana. Karena itu harus kukatakan: maaf, petang ini aku tak bisa menepati janjiuntuk bertemu denganmu. Aku yakin kau maklum. Di sini, hujan turun deras sekali. Aku tak mungkin menerobosnya. Demamku baru enyah beberapa hari lalu. Tak mungkin aku mengundangnya lagi. Tubuhku masih terlalu rapuh untuk melawan dingin. Jadi maaf, aku tak bisa memetik seikat pertemuan yang telah kujanjikan untukmu. Sekali lagi, maaf.

*** KAFE sepi. Beberapa meja paling tepi tampak basah oleh embun hujan. Aku duduk menggigil di meja paling tengah. Ada empat kursi, dua kosong, satu kuisi dengan tas dan kado yang ingin kuberikan untukmu. Tapi kau belum datang. Apa pun cuacanya, kau memang jarang tepat waktu. Tapi itu yang aku suka darimu. Kau selalu membuatku gelisah, gelisah yang sangat mengasyikkan. Karena meskipun kau terlambat, kau tak pernah lupa pada janji. Hujan terus mericis. Satu gelas jus alpokat susu tanpa es sudah karam di lambungku. Dua potong pisang keju, tinggal separuh. Aku memang sedikit gelisah. Gelisah yang mengasyikkan. Sudah satu jam lebih aku menunggumu. Dan kau belum muncul. Di sini, hujan turun deras sekali. Barangkali di tempatmu juga. Mungkin sebab itu kau tak bisa (atau belum) datang. Beberapa kali kukirim sms, tapi tidak terkirim. Kutelpon juga putusputus terus. Hujan begini sinyalnya pasti buruk. Tapi tak apa. Aku akan menunggumu hingga hujan reda. Pun jika hari ini kau tak bisa datang juga tidak apa-apa. Beberapa hari lalu kau baru diizinkan pulang dari rumah sakit. Dan tentu fisikmu belum pulih sempurna. Salahku juga, memintamu bertemu pada musim hujan begini. Ini benar-benar bukan masalah. Tak apa. Aku hanya merindukanmu. Sudah sekitar tiga minggu kita tidak bertemu. Dan tenggang waktu itu cukup membuatku berdebar-debar menahan rindu. Apa kau juga merasakan? ***

MEMANG (rasanya) cukup lama kita tidak bertemu. Terakhir kali kita bertatap muka ialah saat aku terbaring di rumah sakit tiga minggu lalu. Selepas menjengukku dengan separcel buah, kita sempat ngobrol-ngobrol sebentar, setelah saling terdiam agak lama. Sudah berapa hari kau opname? tanyamu lembut. Tiga hari. Kata dokter, apa sakitmu? Katanya gejala tipus. Itulah. Pasti makanmu sembarangan dan tidak teratur. Sudah kubilang, jaga kesehatan. Jaga makan. Aku hanya terdiam mendengar petuahmu yang lebih terdengar sebagai petuah ibu-ibu. Maaf, aku tak bisa berlama-lama. Aku harus kembali ke kantor. Kalau keadaanmu membaik. Tolong SMS aku. Aku tersenyum dan berterima kasih, sebelum kau pergi dan mengusap tanganku. Entahlah! Hubungan kita memang aneh. Barangkali itu karena perbedaan usia di antara kita. Kau perempuan, dan kau tujuh tahun lebih tua dariku. Dan mungkin karena itu pula, terkadang aku merasa, bahwa hubungan kita bukan seperti hubungan sepasang kekasih, melainkan hubungan antara ibu dan anak.

Dalam dirimu selalu terselip jiwa-jiwa keibuan: selalu perhatian, ingin melindungi, mengalah. Dan aku sebaliknya: ceroboh, sesuka hati, manja, dan sifat-sifat kekakanak-kanakan lain. Kau selalu pandai bersikap dewasa, sehingga aku merasa nyaman untuk terus bersikap kekanak-kanakan. Tapi masalahnya, aku seorang lelaki dan kau seorang perempuan. Terasa janggal jika seorang lelaki merengek di bahu kekasihnya, berceloteh manja, meminta ini-itu. Tapi ini sudah seperti diatur. Aku tak bisa berbuat apa-apa, selain satu: mencintaimu dengan carakuyang mungkin membuatmu nyaman. *** HUJAN belum juga reda. Dari gelapnya, sepertinya langit telah menyiapkan debit air yang cukup banyak untuk memenggal pertemuan kita. Ini benar-benar seperti tangisan gadis patah hati, terus merinai, tak usai-usai. Suasana beginilah yang acap membuatku melamunkanmu. Melamunkan hubungan kita yang terus mengalir, lancar, tapi bagai tak bermuara. Kata cinta telah tunai kau ucapkan, namun, tampaknya tanganmu masih gemetar untuk memasangkan selingkar cincin di jariku. Kau masih tampak kanak-kanak untuk melantunkan ikrar sakral itu. Sedangkan usiaku terus merangkak bagai sesosok hantu yang terus menerorkan ancaman. Hubungan kita pun masih rahasia. Setahu orang tuamu, aku hanya seorang kakak bagimu. Kakak perempuan yang penuh perhatian. Tak lebih. Jadi mereka tak pernah berpikir yang aneh-aneh tentang kita. Entahlah, bagaimana cerita ini nanti akan berakhir. Seolah-olah, sebuah alamat buruk jika seorang

perawan tua jatuh hati pada pemuda kencur. Ah, tidak juga. Sebenarnya kau pun bisa bersikap dewasa. Kau sudah hampir 25. Banyak juga pemuda seusiamu yang sudah menimang momongan. Dan mereka baik-baik saja. Barangkali masalahnya, hanya, aku jauh lebih tua. *** HUJAN masih berdebaman. Apa kau masih di sana? Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah padamu. Aku tahu, selama ini, diam-diam kau tersiksa. Selalu kau yang mengalah. Selalu kau yang berkata iya. Lambat laun kusadari juga. Ini tidak sepantasnya. Umurku sudah hampir 25. Aku sudahsangat bukan anak-anak. Aku tertawa sendiri menahan malu mengingat sikapku selama ini padamu. Dan satu hal lagi. Hal yang sebenarnya juga mengganggu pikiranku. Ya, tentang muara hubungan kita. Kau tak akan mungkin bertanya, Kapan kita menikah? atau Kapan kau nikahi aku? Tapi aku benar-benar tahu, selama ini kau menunggu. Menunggu kata manis itu menyembul dari bibirku. Aku benar-benar tahu itu. Dan lagi-lagi, apa boleh buat, aku pun tak bisa membayangkan bagaimana reaksi bapak-ibuku jika aku berkabar pada mereka, Pak, Bu, aku ingin menikah. Meski usiaku sudah mendekati 25, tapi aku masih pemuda yang belum layak untuk disebut dewasa. Pemuda yang belum bisa memakai kakinya sendiri untuk berdiri, pemuda yang masih meminta gendhong orang tua. Semua kebutuhanku mulai dari biaya kuliah, kebutuhan sehari-hari, makan, hiburan semua masih murni, dari orang tua. Tak sedikit pun ada pautnya dengan keringatku. Maka bagaimana mungkin aku

mengucapkan ikrar itu padamu. Begini-begini, aku juga tahu apa kewajiban suami terhadap istri. Karena itulah alasan mengapa aku menunda. Sekali lagi maaf. *** LAMBAT laun, hujan ini terasa seperti tangisan. Ngilu dan panjang. Apa mungkin kau akan datang, sedangkan hujan sederas ini? Ah, kau. Selalu aku bertanya begini: bagaimana bisa aku jatuh hati padamu? Jujur, terkadang aku merasa sangat bersalah padamu. Aku bagai belati yang sesuka hati memenggal masa mudamu. Kau lelaki, masih muda. Belum habis waktumu menikmati kebebasan sebagai seorang lelaki, pemuda. Tapi tiba-tiba aku menuntutmu untuk turut memperhitungkan kebahagiaanku. Meski tidak secara langsung, aku tahu, itu mengganggu pikiranmu. Apa boleh buat. Ini masalah perasaan. Apa iya, aku harus melepasmu. Sedangkan hatiku sudah benar-benar matang dalam genggamanmu. Tak apa, sungguh tak apa. Kenapa pula aku harus takut pada usia. Kau menikahiku pada usiamu yang ke tiga puluh pun aku tak apa-apa. Aku terima, asal kau sanggup mempertahankanku. Bagaimana pun aku perempuanmeski kini usiaku lebih matang. Jadi, aku juga punya perasaan ingin dilindungi, didekap, dimanja, seperti layaknya perempuan. Dan rasanya, hanya kau seorang dari sekian banyak lelaki, yang mampu memberikan itu, meski mungkin dalam bentuk berbeda. *** HUJAN ini seolah tak akan berhenti. Entah sampai kapan. Barangkali, sericis inilah perasaanku padamu, hanya saja, aku

tak pandai melukiskannya. Apa pun yang akan terjadi, sepertinya perasaan yang kupikul ini takkan mungkin goyah. Jadi mana mungkin aku melepaskanmu hanya karena masalah usia. Dalam kamus percintaan, tak pernah mencantumkan usia sebagai syaratnya. Jadi semua sah-sah saja. Jikalau pun kau benar-benar memaksaku untuk menikahimu sekarang juga, aku akan melakukannya. Tapi aku senang, kau tidak menuntut itu. Kau memang perempuan paling pengertian setelah ibuku. Tapi apa imbalku? Selama perjalanan kita, rasanya semua berjalan lancar. Kita tak pernah ada masalah dengan keputusan. Setiap kali aku memutuskan sesuatu kau selalu berkata iya, entah bagaimana hatimu, apa berkata iya juga, aku tak tahu. Lagi-lagi, itu sebuah bukti nyata bahwa aku belum pantas untuk disebut sebagai lelaki. Mengapa begitu? Tentu saja. Lelaki yang selalu ingin menang sendiri dan segala arahnya dituruti, ia bukan lelaki. Karena ia lemah. Dan yang kurasakan selama ini, itulah aku. Karena itu, sesungguhnya aku perlu sesuatu yang baru untuk menyegarkan hubungan kita yang selama ini baik-baik saja (sebenarnya lebih layak untuk disebut datar-datar saja). Bagaimana jika tiba-tiba aku memberikan kejutan untukmu? *** HUJAN ini sebuah kejutan bagi kemarau panjang. Hei, aku berpikir tentang kejutan. Selama ini, kau tak pernah menciptakan sebuah kejutan pun untukku. Kado ulang tahun? Itu bukan kejutan yang kumaksud. Entahlah, tiba-tiba aku membayangkan jika dirimu menjadi lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang sebenar-benarnya lelaki. Meski selama ini aku cukup nyaman dengan perangaimu yang kekanak-kanakan itu, tapi jujur, sebenarnya, sesekali, aku juga ingin merengek

padamu. Bersandar di bahumu dan merajuk ini-itu. Seperti yang kukatakkan, aku masih seperti kebanyakan perempuan, yang sebenarnya lebih suka dicumbu-manja, daripada memanjakan. Kau tahu, kenapa selama ini aku selalu menjadi ekormu? Karena aku tak mau kehilanganmu. Usiamu adalah usia labil, dan aku harus mengimbangi itu, meski diam-diam terkadang aku harus berkorban perasaan. Karena itu, sekali lagi, jujur, aku benar-benar tak mau kehilanganmu. Apa kau juga begitu? *** SEDERAS apa pun, nanti, hujan ini pasti akan berhenti. Meski seolah tak bisa berhenti. Bicara soal henti-berhenti, aku yakin, aku pun bisa berhenti dari citra lelaki cemeng, yang selama ini kubangun sendiri. Ya, kenapa tidak? Aku lelaki murni, yang seharusnya memiliki sikap-sikap sebagai lelaki murni: tegas, melindungi, perhatian, mengalah dan sifat-sifat lelaki lain. Benarkah, hanya karena berhadapan dengan perempuan dewasa lantas aku menjelma menjadi anak-anak? Tidak. Akan kubuktikan itu padamu. Ahai, hujan deras begini membuat darah lelakiku mengalir lancar. Hujan deras ini menjadikan pikiran-pikiran yang selama ini tersumbat menjadi plong, menjadi lebih jernih. Baik, baik, setelah hujan yang deras ini. Aku harus menemuimu dalam keadaan yang sudah berbeda. Tunggu, tunggu, mengapa harus menunggu hujan berhenti? Ah, ini hanya hujan! gumamku, seperti baru tersadar dari sebuah percakapan. Aku berdiri, mengambil jaket kulit yang

tergantung di belakang pintu. Semoga kau masih menungguku di sana. *** LANGIT sudah gelap dan hujan masih mendendam. Menambah langit semakin gelap. Aku menjadi bingung, sebenarnya aku menunggumu datang atau menunggu hujan berhenti. Rasanya tak mungkin kau datang. Jadi? Aku menunggu hujan berhenti? Aih, ini hanya hujan. Mengapa aku tidak pulang saja. Ya, sebaiknya aku pulang saja. Tapi, bagaimana kalau nanti kau datang. Karena, selama ini kau tak pernah melupakan janji, seberapa pun kau terlambat, kau selalu datang. Aduh, kenapa aku jadi gamang begini? Di sini, hujan turun deras sekali. Kau pun baru pulih dari perawatan. Jadi tak mungkin kau datang. Aku pun tak mengizinkanmu datang kalau tahu hujan begini. Ya, ya, sebaiknya aku pulang saja. Huft! aku berdiri, menghela napas panjang, seperti baru saja usai dari perbincangan panjang. Aku bergegas menuju kasir. Membayar bon. Hujannya masih deras lho, Mbak. Nggak nunggu reda dulu. Perempuan yang berdiri di depan mesin kasir mengingatkanku. Aku hanya tersenyum, lalu melenggang. *** HUJAN sedikit lebih jinak. Kukenakan jas hujan ala kadarnya, aku jalan berjingkat menuju teras rumah supaya tidak ketahuan ibu. Dengan degup memburu aku mulai melajukan sepeda

motorku. Hujan ini tak seburuk yang kukira, meski hawa dingin mulai menjalar ke kuduk dan pori-pori. Sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga kau masih di sana. Hujan kembali menjadi gerimis ketika aku sampai di depan kafe itu. Bahkan nyaris reda. Namun, kini, detak jantungku yang menderas. Aku menggigil. Gemetar. Apa karena dingin? Bukan. Tapi lihatlah, kafe tampak sepi. Sepi sekali. Tak seorang pun tampak di sana kecuali para pelayandengan seragamnyayang sibuk mengelap meja. Aku lumat dalam sekelumit kekecewaan. Apa kau sudah pulang? Aku tahu kau akan datang. Jadi, aku masih menunggumu di sini. Tiba-tiba suaramu mendekam di telingaku. Kau sudah berdiri di belakangku. Tersenyum. Kau benar-benar seperti sebuah kejutan. Aku tak bisa berkata lagi. Aku hanya ingin melafaskan sepatah maaf. Tapi bress, tiba-tiba hujan kembali mendendam. Kita berlarian. Kembali ke kafe itu. Kita duduk dan sama-sama terdiam. Agak lama. Seperti tengah sibuk, memilah kata-kata yang ingin kita ucapkan. Di sini, hujan turun deras sekali, celetuk kita hampir bersamaan. Kita saling tatap sebelum akhirnya tertawa panjang. (*)

8. Pelajaran Hujan
Cerpen Mashdar Zainal (Republika, 9 Desember 2012) LELAKI itu kembali membuka gorden, mengintip bingar hujan di luar jendela. Langit hampir gelap, dan hujan masih saja berdebaman menikam apa saja. Lelaki itu menghela napas, ia benar-benar cemas. Cemas pada istrinya yang sudah hampir empat jam belum juga sampai di rumah. Mungkin ia takkan secemas itu jika isterinya tidak dalam keadaan hamil tua. Ia menyesal sudah menyuruh istrinya naik taksi seorang diri. Ia memang tak punya pilihan lain, hujan turun deras sekali dan ia lupa membawa jas hujanyang biasanya ia siapkan di jok motor. Lelaki itu membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi jika ia nekat membonceng istrinya pulang dalam keadaan hujan sederas itu, dengan motor telanjang. Jalan menuju rumahnya begitu berkelok dan sangat licin bila hujan turun. Beberapa hari lalu seorang pengendara motor terjungkal dan terluka parah di tikungan jalan itu. Sebab itulah ia menyuruh istrinya untuk naik taksi. Sedangkan ia sendiri memilih nekat untuk menembus guyuran hujan yang begitu parah. Tolong kau bawakan tasku, handphone-ku ada di dalam, tuturnya sebelum melesat pergi meninggalkan istrinya seorang diri di teras swalayan, tempat ia berbelanja kebutuhan persiapan lahiran. Iya, hati-hati, Mas, jalannya licin lho, sambut istrinya singkat. Dan lelaki itu segera meluncur tanpa menoleh ke belakang lagi. Hujan turun deras sekali.

Malang, 23 Oktober 2010

*** Lelaki itu sampai di rumah dalam keadaan kuyup sekuyupkuyupnya. Selepas berganti pakaian dan mandi ia duduk di teras rumah dengan sebuah payung yang ia siapkan untuk menyongsong istrinya supaya tidak kehujanan ketika turun dari taksi. Menunggu taksi bukanlah pekerjaan yang memakan waktu, lagi pula, tempat itu tidak terlalu jauh dari sini, beberapa menit lagi pasti istriku datang, pikirnya. Ia mulai panik ketika satu jam istrinya belum juga datang. Ia ingin menghubungi istrinyasudah sampai di mana sekarang, namun ia baru ingat bahwa handphone miliknya ada di dalam tas yang sekarang di bawa istrinya. Lelaki itu memilih untuk masuk ke dalam rumah. Pasti sebentar lagi taksinya datang. Tak masalah ia berada di dalam rumah, toh kalau ada suara mobil berhenti di depan rumah pasti kedengaran. Tapi, hujan kali itu benar-benar berisik hingga kepanikannya bertambah-tambah. Untuk menenangkan diri, lelaki itu beranjak ke dapur dan menyeduh dua cangkir teh hangat, satu untuknya, dan satu lagi untuk istrinya. Sebentar lagi pasti istriku sampai. Dingin-dingin begini pasti akan sangat nyaman menyeruput teh hangat berdua-duan. *** Lelaki itu kembali meyingkap gorden jendela. Hujan mereda sejenak dan kembali menderas. Dua cangkir teh mendingin, menguap di atas meja, yang satu masih utuh, yang satu tinggal separuh. Lelaki itu masih berdiri di balik jendela. Menatap ruahan hujan yang seperti ditumpahkan begitu saja dari bejana raksasa. Ia menatap nanar dua pohon kelengkeng yang berayun-ayun di depan rumah karena kibasan angin. Ia

bertanya-tanya, sedang apakah istrinya sekarang. Apa ia baikbaik saja? Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan, ketika istrinya tengah menunggu taksi, tiba-tiba istrinya merasakan kontraksi pada janinnya. Lantas, sebelum taksi datang, beberapa orang membawa istrinya ke rumah sakit. Ia membayangkan, di sebuah ruang, di sebuah rumah sakit, istrinya sedang berjuang mati-matian untuk melahirkan bayi pertamanya. Ia membayangkan istrinya mengejan, bersimbah peluh, ketubannya pecah, bergumul darah, dan ia tidak ada di sana, di samping istrinya. Pasti itu sangat sulit, melahirkan tanpa seorang suami di sebelahnya, tanpa seorang suami yang menghibur payahnya, menyemangatinya. Ia tersadar dari lamunan jauh itu ketika sebuah mobil menderum, melintasi depan rumahnya, hanya melintas, tidak berhenti. Ia baru sadar kalau ia terlampau khawatir, matanya sedikit berair. Tidak, itu tidak akan terjadi. Kata dokter, HPL istriku masih awal bulan depan, sekitar dua pekan lagi. Ia menghela napas berat dan kembali ke sofa. Merebahkan tubuh dan pikiran yang cemas. *** Sekali lagi, lelaki itu menengok jam yang membeku di pusat dinding. Sudah hampir tiga jam lebih dan istrinya belum juga kembali. Langit sudah sempurna didekap gelap. Ia semakin khawatir. Sebenarnya ia sudah menyiapkan jas hujan dan bersiap untuk menyusul istrinya kembali. Namun hujan di luar semakin parah, deras sekali, lebih deras dari sebelumnya. Ia juga khawatir, jika istrinya sudah terlanjur naik taksi, perjalananya yang susah payah itu hanya akan berbuntut sia-

sia. Saya akan menunggu sampai setengah jam lagi, jika setengah jam ke depan istriku belum datang, aku akan benarbenar menyusulnya. Tak peduli gelap, tak peduli hujan, aku akan menyusulnya, pikirnya berapi-api. Sekilas ia mendengar deruman mobil melintas di jalan depan rumah. Itu dia, pikirnya. Maka, segeralah ia berlari menyosong deruman itu. Namun sayang, itu hanya deruman mobil tetangga yang lewat sepulang kerja. Ia kembali mengempaskan napas berat dan terduduk di sofa dengan tubuh lemas. Teh di atas meja sudah tandas. Ia berjanji tidak akan menyeruput teh milik istrinya yang ia buat sendiri. Ia ingin istrinya tahu, bahwa ia sangat peduli, bahwa ia sangat khawatir. Sekali lagi, sayup-sayup ia mendengar suara deruman mobil. Entahlah, ia tidak yakin, apakah itu suara deruman mobil atau hanya suara hujan yang tak henti-henti. Dengan langkah terhuyung ia berjalan mendekati jendela. Membuka gorden yang bergoyang-goyang. Dan lihatlah! Di luar tidak apa pun kecuali hujan yang menambah kepanikannya. Mengapa hujan ini tidak juga berhenti, ia mulai menyalahkan hujan. Harusnya aku membawa sendiri handphone-ku, ia mulai menyalahkan handphone. Seharusnya aku membawa jas hujan, ia menyalahkan jas hujan. Ah, suami macam apa aku ini, ia menyalahkan dirinya sendiri. *** Lelaki itu masih berdiri di muka jendela. Ia menyaksikan dua pohon kelengkeng di depan rumah menjadi buram seperti bayang-bayang. Hujan kali ini benar-benar parah. Serupa kabut-kabut air yang menyusun sebuah rencana tak terduga.

Entah mengapa, tiba-tiba ia membayangkan istrinya memanggil taksi yang salah. Ia membayangkan istrinya duduk kedinginan di jok belakang, sementara sopir taksi itu sesekali meliriknya dari kaca spion. Ia membayangkan, sopir taksi itu tidak membawa istrinya pulang, tapi membawa istrinya ke tempat sepi dan kemudian meminta uang dan perhiasan yang ada. Lantas istrinya diturunkan di sebuah tempat yang sepi pula. Istrinya menangis tak karuan karena takut. Terlebih-lebih ia membobot janin yang beratnya hampir tiga kilogram di perut. Pasti itu akan sangat sulit sekali. Ah, suami macam apa aku ini. Ia terbuyar dari lamunan yang tidak-tidak itu ketika kilat di luar jendela menyambar tiba-tiba. Hatinya sesak. Ia ingin menangis. Ia benar-benar menyesal tidak membawa handphone-nya sendiri. Jika ia membawa handphone itu, ia takkan secemas ini. Ia bisa menghubungi istrinya kapan saja ia mau. Ia mengusap wajah tergesa-gesa dan kembali menyeruput teh yang tandas di atas meja. Ia ingin menghilangkan pikiran-pikiran buruk itu tentang istrinya, semua itu hanya ada di sinetron. Ia juga menyesal sudah terlalu banyak menonton sinetron. Ah. *** Ini sudah terlalu lama. Aku tak akan menunggu lagi. Lelaki itu menyahut jas hujan yang sudah terlipat rapi di atas meja. Hampir empat jam sudah. Menunggu taksi tak mungkin selama itu. Ia harus segera menyusul istrinya kembali. Ia bergegas, mengenakan jas hujan, megeluarkan motor yang masih kuyup. Ia mengunci pintu dan melesat menembus hujan. Hujan yang sangat deras, sederas rasa khawatir yang meluap-luap di dadanya. Hujan bukanlah apa-apa. Sederas apa pun, ia akan tetap menembusnya.

Secepat kilat lelaki itu meluncur dengan motornya, berseliut dari tikungan ke tikungan, melesat dari jalan ke jalan, menembus hujan yang seperti tak peduli pada apa-apa. Dalam perjalanan yang kuyup dan gigil itu, lelaki itu terus menggumam doa, ia terus memikirkan nasib istrinya yang juga belum kembali. Beberapa menit, ia telah sampai di swalayan tempat semula istrinya menunggu. Dan di sana, ia tidak melihat siapa-siapa. Ia bertanya pada beberapa orang yang melintas, kepada satpam yang berdiri di depan gerbang, dan tak seorang pun memberikan jawaban yang bisa membuatnya lega. Tanpa banyak kata, bergegaslah lelaki itu ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di rumah sakit, ia segera menemui resepsionis dan menanyakan apakah ada wanita hamil yang mungkin datang beberapa jam lalu, dan resepsionis itu menjawab tidak ada. Lelaki itu lemas. Ia meraih motornya dan segera kembali rumah. Hujan yang deras mendedas sudah liris menjadi gerimis-gerimis tipis. Ketika lelaki itu sampai di depan rumah, hujan sudah hampir reda. Di teras rumah ia melihat sesosok perempuan tengah berdiri mematung, mengelus perutnya yang buncit. Tanpa sepatah kata, lelaki itu segera menghambur, memeluk perempuan itu erat-erat, seolah mereka telah terpisah begitu lama. Dan hujan pun kembali turun dengan derasnya. (*) Ketika hujan turun berlarat-larat, Malang, akhir November 2012 *Cerita untuk istriku tercinta yang telah bersusah payah menanak cinta dalam berbagai bentuk.

Mashdar Zainal lahir di Madiun pada 5 Juni 1984, suka menulis puisi dan prosa. Novel terbarunya Iktiraf Sekuntum Melati (2012). Tulisanya terpercik di beberapa media lokal dan nasional. Saat ini aktif bergiat di Komunitas Sastra Budaya Lembah Ibarat Malang.

9. Menjemput Maut di Mogadishu


Cerpen Mashdar Zainal (Republika, 1 Juli 2012) KETIKA Leyla memutuskan untuk mengungsi, meninggalkan kampung halamannya, perih yang melilit perutnya kian menjadi-jadi. Terlampau perihnya, hingga seluruh pandanganya terasa buram. Leyla seperti melihat ribuan kunang-kunang berlesatan mengitari kepalanya. Selanjutnya, ia menyebut kunang-kunang itu sebagai sang maut. Sang maut yang selalu menguntitnya, dan sewaktu-waktu siap mengantarnya, menyusul almarhum suaminya. Di kampungnnya, Baydhabo, hujan terakhir turun sekitar tiga tahun lalu. Tanah-tanah menguning menyisakan debu. Pepohonan meranggas dan mati. Ternak-ternak kekurangan air dan akhirnya membangkai menjadi santapan burung nasar. Pada akhirnya para penduduk lebih memilih untuk mengungsi ke kamp, di Mogadishu, daripada mati kelaparan. Leyla terus melangkah, menggendong anaknya yang kering seperti boneka kayu. Dari perkampungannya ia harus menempuh perjalanan sejauh 150 kolimeter dengan berjalan kaki untuk sampai di Mogadishu. Tapi itu tak masalah. Ia takkan putus harapan. Bahkan, ia tak peduli pada sang maut yang sudah sangat dekat mengintai, di atas kepalanya. Lapar memang. Dahaga memang. Terik memang. Tersengal memang. Tapi, setidaknya, jika ia harus mati, ia tidak akan mati sia-sia. Ia mati dalam jihad, jihad mempertahankan dua nyawa, nyawa anaknya yang masih lima tahun, dan nyawanya sendiri.

Bagi Leyla, Mogadishu adalah satu-satunya muara untuk mempertahankan arus hidupnya yang kerontang. Konon, di Mogadishu ada kamp yang menampung orang-orang kelaparan. Di sana panitia menyediakan air, makanan, kemah, dan juga toilet. Bersama puluhan penduduk lainnya, Leyla berjalan terseok seperti pendaki gunung yang kehabisan tenaga sebelum sampai puncaknya. Sementara itu, matahari terus membara, rasanya seperti di atas kepala. Dari tubuh-tubuh pekat itu bercucuran keringat. Leyla masih berjalan tersengal. Dalam gendongannya, si kecil terus menangis menahan lapar. Di antara cucuran keringat, Leyla pun mencucurkan air mata. Asin. Sebentar lagi sampai, Nak, bisiknya hampir tak terdengar. Di belakang punggungnya, si kecil masih terus menangis. Sudah lima kali ia menyaksikan orang-orang ambruk di tengah jalan. Seorang anak kecil menempel dalam gendongan ibunya yang meringkuk di tanah. Perempuan renta yang menggelosor di tanah membara, matanya melebar menahan lapar. Seorang lelaki tua yang memilih diam dan mati, karena sudah tidak memiliki sisa tanaga. Leyla menyaksikan semua itu, miris, tapi ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Mengingat kunang-kunang masih mengitari pengelihatannya, beberapa menit berikutnya, bisa saja ia yang ambruk, dan segeralah anaknya yang menjadi yatim piatu. *** Leyla paham, maut bisa sangat dekat dan menjelma menjadi apa saja, termasuk lapar. Di perkampungan tempat ia tinggal, lapar telah membunuh puluhan orang, tak pandang bulu dan usia. Semenjak perang saudara tercetus, dan mesiu bisa meledak kapan saja dan di mana saja tanpa terduga, di tambah

bencana kekeringan yang tak ada sudahnya, perkampungan tempat ia tinggal tak ubahnya neraka. Tak ada lagi harapan hidup di sana. Sang maut telah membaluri perkampungan itu dengan rasa kekhawatiran dan rasa lapar yang begitu mengerikan. Satu-satunya harapan hidup adalah Mogadishu. Dengan harapan-harapan cerlang, Leyla terus menapakkan telapak kakinya yang sudah mati rasa. Tiba-tiba Leyla membayangkan, barangkali di padang mahsyar, keadaanya tidak jauh berbeda. Panas. Lapar. Dahaga. Membayangkan itu, perut Leyla kian panas melilit. Ia tak heran, jika anaknya menangis tak henti-henti. Di atas kepalanya, kunang-kunang yang ia sebut sebagai jelmaan sang maut itu masih menari-nari. Ketika mengerjapkan mata, Leyla seperti berada di sebuah tempat yang gerah dengan lampu disko yang benderang dan berkilat-kilat. Hampir saja ia ambruk oleh silaunya. Mogadishu, Mogadishu, kita sampai, selintas teriakkan itu membuyarkan pikirannya. Layla seperti terbangun dari igauan. Di sela kilauan bara matahari, sambil mengerjap-kerjapkan mata, Leyla bisa melihat, puluhan atau mungkin ratusan kemah berjajar di hadapannya. Tak seperti yang ia bayangkan. Kemah itu tak lebih bagus dari gubug tempat tinggalnya. Kemahkemah itu menggunduk serupa rumah keong. Ranting-ranting kayu, kain dan plastik-plastik bekas tersampir sembarangan di atasnya. Leyla membayangkan, betapa panasnya berada dalam kemah keong itu. Pasti rasanya seperti dalam tungku. Tapi tak apa, di sini masih ada harapan hidup, pikirnya. Leyla berlari kecil, menyongsong perkemahan itu. Ia menyaksikan puluhan orang tengah meringkuk tak berdaya dalam kemah-kemah lusuh itu. Beberapa anak memainkan

panci kosong di depan pintu, beberapa yang lain, mengisi panci-panci itu dengan butiran debu. Di tempat lain, Leyla menyaksikan seorang lelaki kurus tengah menggali tanah. Di sebelahnya, jasad seorang bocah terbujur, matanya mendelik, tulang dan rangka menyembul di antara kulit yang menghitam, mirip janin yang hangus. Bau tak sedap menyeruak. Lalat beterbangan. Leyla merinding, lapar benar-benar bisa lebih kejam dari yang ia bayangkan. Ia melirik anaknya yang sedang tertidur di punggungnya. Ia lega, meski hatinya sesak tak terkata. *** Karena persediaan makanan tak lebih banyak dari warga yang kelaparan, maka orang-orang harus mengantri untuk mendapatkan jatahnya. Mereka akan mengantri tiga hari sekali. Oh, untuk sepanci bubur, penantian tiga hari akan terasa sangat lama. Bahkan, untuk mengantri makanan itu, beberapa orang harus bertaruh nyawa. Kepala Laeyla berdenyut membayangkan itu semua. Kunang-kunang yang mengitari kepalanya kian beringas berlesatan membaluri tubuhnya. Apa aku akan segera mati, tanyanya dalam hati. Sekilas, ia melirik anaknya yang teronggok lemas dalam pangkuannya. Leyla tahu, kenapa anak itu sudah tidak menangis lagi. Lapar membuatnya kehabisan daya, bahkan untuk menangis. Jatahnya mengantri masih dua hari lagi, ia tak yakin anaknya bisa bertahan dari maut. Kunang-kunang yang semula berlesatan di antara kepalanya, kini berhamburan membaluri tubuh kering anaknya. Leyla paham itu alamat apa. Sambil menangis, Leyla bangkit dari duduknya. Di dekapnya bocah kecil yang kerontang itu erat-erat. Ia berlari, menyerundul antrean orang-orang yang membawa panci.

Hei, Nyona, kau harus mengantri, kata seorang pria kurus yang mengenakan jubah lusuh. Tolong, anak saya kelaparan, tolong! Leyla memelas. Kita semua di sini kelaparan. Tapi tetap saja, kita harus mengindahkan peraturan. Kita semua di sini mengantri. Kau pun harus mengantri. Tapi, jatah antrian saya masih dua hari lagi, saya takut. Anda bukan orang pertama yang mengatakan itu, tandas lelaki itu. Antrian terus berjalan ke depan. Leyla merengek ke sana ke mari untuk mendapat belas kasihan. Namun, sungguh, Leyla tak menyalahkan siapa pun jika pada akhirnya ia harus pasrah menyerahkan anaknya pada sang maut. Ia bukan satu-satunya orang yang mengalami itu. Leyla terhuyung meninggalkan deret antrian. Ia menatap anaknya sekali lagi. Napas anak itu terdengar ngik-ngik. Matanya membelalak dan berair. Ia menatap anaknya dengan tatapan sesal. Leyla tertunduk, terduduk dalam kemah yang membara. Ia menyaksikan kunang-kunang itu berputar-putar di kepala anaknya, di tubuh anaknya. Ia menatap mata lebar itu tanpa henti. Keringatnya bercucuran. Air matanya bercucuran. Jika kau harus pergi, pergilah, Nak. Mungkin di sana lebih baik. Konon, di sana ada banyak pepohonan dan sungai. Di sana tak ada matahari yang membakar. Di sana akan banyak sekali makanan. Pergilah, jika kau harus pergi, Nak.

Perlahan, Leyla menyaksikan tubuh anaknya mengejang. Perlahan, mata yang terbelalak itu mengatup. Seperti bayi yang mengantuk usai tertawa panjang. Leyla merengkuh tubuh anaknya lebih erat. Aroma kematian begitu lekat. Leyla mengguncang-guncangkan tubuh anaknya. Di dengarnya sendisendi kecil itu beradu, bergemeletak, seperti boneka kayu. Leyla tak percaya anaknya pernah hidup. Pernah tertawa bersamanya. Pernah memanggilnya Ma. Leyla tak bisa menahan air matanya. Ia juga heran, mengapa air matanya tak juga habis. Barangkali suatu saat, ia bisa meminumnya ketika dahaga. *** Leyla melangkah keluar dari dalam kemah. Matahari begitu jalang. Leyla teringat pada lelaki yang beberapa waktu lalu menggali tanah untuk mengubur jasad anaknya. Tampaknya ia harus melakukan hal yang sama. Leyla mengamati tanah lapang di sekitar kemah. Ada beberapa gundukan yang ia yakini sebagai makam. Dengan sebuah sekrup yang tergeletak di dinding kemah, Leyla mulai menandai galian. Jasad anaknya yang sudah beku ia letakkan di sebelahnya. Lalat mulai menguing berdatangan. Leyla mulai menggali perlahan. Rasa lapar yang menyengat perutnya tiba-tiba hilang. Atau barangkali, ia sudah tidak memikirkannya lagi. Leyla baru tahu, bahwa ternyata, kesedihan bisa menghilangkan rasa lapar. Leyla terus menggali, meski sendi-sendinya terasa hampir lumpuh. Dibopongnya sendiri jasad anaknya yang meranggas. Diletakkannya jasad itu di lubang galian yang tak terlalu dalam. Tanpa kafan. Tanpa apa pun. Ketika Leyla menimbun jasad kering itu dengan tanah, perasaanya teraduk-aduk. Rasanya seperti tak ada lagi sesuatu yang harus ia pertahankan.

Beberapa orang hanya termangu menyaksikan Leyla berjibaku dengan debu, keringat dan air mata. Tentu ini bukan pemandangan baru. Di Baydhabo ataupun di Mogadishu sama saja, setiap orang bisa saja mati karena kelaparan. Leyla hanya harus menunggu, kapan sang maut benar-benar merengkuhnya. Siang berjalan sangat lamban, seperti sebuah adegan kehidupan yang dilambatkan. Di depan kemahnya, Leyla terduduk lemas menggenggam sebuah panci yang tak pernah terisi. Dari selasela kemah yang butut itu, dari kejauhan Leyla melihat puluhan, atau mungkin ratusan orang tengah berjajar memanjang membentuk antrian. Leyla membayangkan sesuatu, bahwa sesungguhnya orang-orang itu tengah mengantri maut. Dengan mata terpicing, Leyla terus menyaksikan antrian itu bergerak maju. Entah mengapa, Leyla tak tertarik untuk ikut mengantri, meski hari ini ia mendapat jatah antrian. Rasa lapar yang semula membakar perutnya berangsur-angsur reda. Leyla tersenyum. Ia benar-benar merasa bahwa tak ada lagi yang perlu ia pertahankan. Leyla terus memperhatikan antrean itu dari kejauhan. Ia membayangkan, mungkin kini anak dan suaminya tengah berteduh di sebuah tempat sambari menyantap nasi samin dan kurma muda. Leyla kembali tersenyum, ketika kunang-kunang itu kembali berkelebat dan berputar-putar di atas kepalanya. (*)

10. Gelar
Cerpen Mashdar Zainal (Republika, 24 April 2011) MENURUTKU, gelar dan nama adalah dua hal yang tak boleh dipisah-pisahkan. Seperti tubuh dan pakaian, sebuah nama akan telanjang tanpa gelar. Itulah mengapa aku sangat mengutuk orang-orangterutama mahasiswakuyang luput mencantumkan gelar pada namaku. Sebagai seorang dosen senior, aku telah menerapkan beberapa pantangan bagi seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahanku. Salah satu di antaranya adalah mengenai gelar itu sendiri. Merekapara mahasiswakuyang berulang kali salah menyebutkan nama berikut gelarku, kujamin akan bernasib buruk. Seperti yang sudah kukatakan, gelar dan nama adalah sesuatu yang sakral bagiku, jadi tak boleh diotak-atik oleh siapa pun. Sebenarnya, untuk mengantisipasi hal itu, aku selalu berbaik hati. Pada setiap awal semester, di perkuliahan, aku selalu berpanjang lebar memperkenalkan diri. Para mahasiswa yang belum pernah mengikuti perkuliahanku, mereka akan mendengarkan semua ceritaku dengan khidmat dan sesekali manggut-manggut. Jabatanku di kampus adalah pembantu rektor satu, sekaligus guru besar. Sudah berapa dosen di kampus ini yang dulunya bekas mahasiswaku? Toh, mereka semua menghormatiku. Tak perlu ditebak, pastinya gelarku cukup mentereng. Setiap awal semester, pada acara perkenalan dengan mahasiswa baru, aku selalu menuliskan nama lengkapku besar-besar di jantung

Malang, Mei, 2012 Penulis lahir di Madiun, 5 Juni 1984. Saat ini tinggal di Malang, Jawa Timur.

papan tulis. Aku selalu menuliskannya begini: Prof Dr H M Kibari MA. Bila para mahasiswa yang kuajak bicara mengernyitkan dahi, dengan semangat aku akan menjelaskan pada mereka, bahwa kata prof, dari namaku itu berarti profesor, yakni seorang ahli dalam suatu bidang, bidangku tentu kebahasaan. Untuk meyakinkan mereka, aku selalu menyebutkan prestasi-prestasi akademik dan non-akademik yang telah kukantongi. Sudah bertebaran pula buku-buku barat yang aku terjemahkan ke dalam bahasa ibu. Rasanya tak ada yang kurang dengan prestasiku. Adapun mengenai huruf Dr, dari namaku ialah singkatan dari kata doktor yang aku peroleh dari S3-ku yang kedua, di Jakarta. Tak pernah ketinggalan pula aku menjelaskan tentang huruf H, yang bertengger pada namaku. Huruf H di sana tentu saja singkatan dari kata haji, itu karena memang sudah berkalikali aku ke Makkah. Dan untuk huruf M, aku takkan menjelaskan panjang lebar karena M di sana ialah singkatan dari nama depanku, Muhammad. Dan yang terakhir, huruf MA, master of art, merupakan oleholeh dari S2-ku dari negeri yang punya ibu Menara Eifel, Prancis. Hebat bukan? Tak ada yang perlu diragukan, rasanya gelar itu cukup sepadan dengan kemampuan akademik yang kumiliki. Mungkin bisa dibilang aku ini seorang multitalent. Mulai dari kecerdasan matematis, bahasa, kinestetik, sampai musikal, aku menguasainya. Tak banyak orang tahu bahwa diam-diam aku ini berbakat menggesek biola, itulah yang kukatakan sebagai kecerdasan musikal. Bukannya aku sombong, karena sombong

itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Aku tidak begitu, justru aku mengagungkan kebenaran, semua tentangku memang benar adanya, bukan mengada-ada. Aku juga tak pernah memandang rendah orang lain, mungkin orang lain saja yang harus mengakui bahwa aku memang ada di atas mereka, dalam banyak hal. *** Pada akhir semester seperti ini biasanya aku akan lebih sibuk dari biasanya. Banyak sekali agenda-agenda kampus yang harus rampung sebelum rapat wisuda digelar nanti. Belum lagi urusan konsultasi para mahasiswa yang bebal itu. Beberapa kali mereka datang ke rumah, mengemis-ngemis agar aku dapat menerima konsultasinya lalu mengasese skripsinya yang amburadul itu. Seminggu terakhir ini, sudah terhitung tiga mahasiswa yang terpaksa aku depak untuk mengulang semester depan. Aku sudah terbiasa dengan wajah-wajah kecewa mereka. Awal pekan lalu, seorang wanita berkunjung ke rumah. Setelah kuhitung-hitung, aku yakin, itu kedatangannya yang ketujuh. Sepertinya dia lebih pandai mengobral alasan daripada menekuni tugas akhirnya. Kali ini dia datang malam-malam dengan segepok kertas di tanganya. Aku menyesal sekali, istriku mempersilakannya masuk. Terpaksa aku meladeninya. Apa kita sudah buat janji sebelumnya? ujarku tanpa basabasi.

Maaf Pak, saya tadi tidak sempat, tadi seharian penuh saya menyelesaikan bab terakhir ini. Dan, waktu saya ke kampus bapak tidak ada. Dalihnya enteng. Walah itu alasan kamu saja, wong sedari pagi saya di kampus kok! Urusan kampus ya selesaikan di kampus. Lha, mengapa kamu berani menemui saya tanpa membuat janji terlebih dahulu. Sudah, sebaiknya kamu pulang saja, saya mau istirahat. Tukasku santai. Tapi Pak, minggu depan sudah ujian. Izinkan saya bicara sebentar dengan bapak. Saya mau minta pertimbanganpertimabangan lagi dari bapak supaya semuanya clear dan lusa saya sudah bisa daftar ujian skripsi. Ia merajuk, membuatku semakin muak. Entah besok ujian, entah minggu depan ujian, itu urusan kamu. Pertanyaannya, selama satu semester ini kamu ngapain aja? Bukannya dead line yang kuberikan sudah kedaluwarsa? Sungguh, Pak! Ada urusan penting yang harus saya utamakan. Lebih penting dari skripsimu? tandasku. Wanita itu tak bergeming, tapi matanya mengilat seperti kaca. Sudah, terserah draf itu mau kamu apakan. Yang jelas malam ini saya mau istirahat. Badan saya rasanya remuk semua. Maaf. Ucapku singkat, lalu beringsut meninggalkannya yang tergugu di ruang tamu. Entah dengan cara apa dia enyah, lagilagi aku takkan peduli. Aku benar-benar muak dengan mahasiswa model begitu.

Mahasiswa kedua yang tidak kugubris kedatangannya juga seorang wanita. Ia mengaku tak punya banyak waktu untuk menyentuh skripsinya karena ia repot mengurus balitanya. Bagiku, itu risiko yang harus ia tanggung. Maka, baginya tak ada lagi toleransi. Aku hanya menyarankan padanya supaya ia pandai-pandai membagi waktu. Yang ketiga ialah seorang pemuda kumal. Dia seorang aktivis organisasi ekstra kampus. Bertubi-tubi ia mengemukakan alasan dengan bahasa yang diplomatis dan dibuat-buat. Dipikirnya itu akan mengubah nasibnya, sama sekali tidak. Bahkan, terang-terangan aku memberinya dua pilihan, skripsi atau organisasi. Aku menyuruhnya pulang dan datang kembali semester depan dengan pilihan yang tepat. Setelah para mahasiswa error itu, malam ini datang lagi seorang pemuda dengan potongan alim. Kalau tidak salah dia adalah seorang anggota takmir masjid kampus. Entah, aku lupa namanya siapa. Sebenarnya dia itu rajin, tapi untuk soal skripsi dia tak beda jauh dengan mahasiswa kebanyakan. Dari matanya aku masih menangkap kemuakkannya terhadapku. Mungkin dia teringat kejadian beberapa bulan lalu saat aku menegurnya karena kesalahan fatal menyebut namaku tanpa memakaikan bajunya, gelarnya. Pada khutbah Jumat waktu itu aku mendapat jadwal khatib dan dia sebagai bilal. Sebelum aku naik ke mimbar, dia menyebutkan namaku begini: Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Bapak Muhammad Kibari. Bukankah seharusnya dia menyebut namaku begini: Dan pada Jumat kali ini, khutbah Jumat akan diisi oleh Prof Dr HM Kibari, MA.

Iya kan? Seharusnya begitu, kan? Untung saja posisiku waktu itu sebagai khatib, kalau tidak pasti aku sudah melabraknya. Tapi sudahlah, aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya. Dan, malam ini aku menerima konsultasinya yang terakhir, tentu setelah dia membuat janji denganku. Maaf Pak, ini hasil revisi saya yang terakhir, ucapnya sambil menyerahkan bendel skripsinya yang tebal. Dengan malas aku meraihnya, lalu membolak-balik halaman itu dengan saksama. Apa ini? Sudah mau diwisuda ngetik saja belum becus. Lihat itu! Apa pantes itu dibaca orang. Pekikku setelah mencoret beberapa kata yang salah redaksi. Maaf Pak, mungkin saya memang kurang teliti. Iya, akan segera saya perbaiki. balasnya. Belum selesai ia bicara aku sudah menemukan lagi kesalahannya yang lebih fatal. Ini apa lagi. Rupanya kamu benar-benar tak tahu siapa nama dosen pembimbingmu sendiri. Ini lihat! Tanganku mengacung pada tulisan: Dosen Pembimbing: Prof H Kibari, MA. Ini doktornya mana, terus M, Muhammadnya mana? Sudah, sudah, ini bawa lagi skripsimu. Besok saya tunggu di kampus, jam sepuluh. Ingat! Itu yang terakhir kali. Kalau kamu masih salah-salah lagi, saya sarankan kamu ujian semester depan saja! Kamu belajar ngetik dulu sambil menghafalkan gelargelar saya. Emosiku meledak. Setelah sepatah dua patah kata yang terbata, ia memohon diri dengan wajah seperti terbakar. Esoknya pemuda itu menemuiku di kantor, ia kembali dengan print out yang baru, tapi dasar penyakit, dia membuat kesalahan lagi dengan menghilangkan tanda baca titik pada

ujung kata Prof dan Dr. Tanpa berpikir panjang aku menyuruhkannya menuliskan tanda titik itu secara manual, dengan pena yang digenggamnya. Setelah kurasa beres aku segera mengasesenya, aku tak ingin lama-lama berhadapan dengannya, bisa-bisa darah tinggiku kumat. *** Usai sidang skripsi, aku bisa bernapas lega. Hal yang paling sulit bagiku selama berpuluh-puluh tahun jadi dosen ialah saat menjadi penguji skripsi. Aku selalu dihadapkan pada dua pilihan yang menyebalkan: yakni memelihara kebodohan para mahasiswa itu atau mempermalukan mereka. Namun, aku lebih sering mengambil pilihan yang pertama: memelihara kebodohan mereka dengan dua kata: kamu lulus. Biasanya, setelah nilai keluar, para mahasiswa bimbinganku yang puas dengan nilainya akan mendatangiku dengan ucapan terima kasih berikut tandanya. Minggu ini sudah terhitung lima tanda mata yang aku terima, mulai dari karangan bunga, kemeja, arloji, hiasan dinding, bahkan sampai sepatu made in Italy. Dan, malam ini aku menerima lagi sebuah kiriman paket dalam kardus besar tanpa nama pengirim. Aku tersenyum-senyum saja menerimanya. Dari beratnya, aku yakin isinya bukan barang biasa. Dapat lagi, Bu! kataku sambil memamerkan paket kotak itu pada istriku. Wah, sepertinya berat sekali. Kira-kira isinya apa ya, Pak? tanya istriku.

Yah, pastinya benda berharga, Bu. Mahasiswaku kalau memberi hadiah memang tak tanggung-tanggung. Balasku girang. Istriku tersenyum, Cepet buka, Pak! Saya jadi ndak sabar pingin ngeliat isinya apa. Iya, iya, saya buka. Sabar. Tapi tolong, ibu bikinin teh dulu buat bapak. Iya, ibu bikinin. Tenang saja. Tunggu sebentar ya, Pak, ujarnya sambil beranjak ke dapur. Istriku pasti akan terkagum-kagum melihat kado istimewa dari mahasiswaku kali ini. Bagaimana tidak istimewa, bungkusnya saja dari kertas emas berkilauan dengan pita cokelat muda, masih dihiasi bunga-bunga rumput kering pula, artistik sekali. Dan untuk lebih memberi sensasi kejutan, pengirim kado ini pasti sengaja membuat saya penasaran dengan tidak mencantumkan siapa nama pengirimnya. Maka, dengan tidak sabar aku membuka kardus itu. Satu per satu kulucuti pita dan plester yang rapat membalut kardus itu. Kubuka kertas emas mengilat itu pelan-pelan agar tidak sampai sobek. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk melihat isinya. Mulai kusingkap kardus itu dengan hati dag-dig-dug penasaran. Setelah kubuka kardus itu aku tercekat, kaget bukan main. Dua papan batu nisan dari marmer terbujur di sana. Pada salah satu batu nisan itu terukir tulisan yang sangat indah, berseni. Tulisan itu begini: Alm Prof Dr H M Kibari, MA.

Jidatku terasa dihantan pendulum satu ton saat kusadari apa yang baru saja kubaca. Kepalaku mulai terasa pening. Bersama dengan batu nisan itu, terselip pula selembar kertas dengan tulisan tangan yang cukup rapi, kubaca tulisan itu perlahan: . Bapak Prof Dr H M Kibari, MA. yang ter(gila) hormat. Mohon maaf sebelumnya. Ini saya kirimkan kenang-kenangan berharga buat Anda. Batu mahal berukir gelar kebanggaan Anda. Jadi, kelak Anda tidak usah repot-repot membayar orang untuk mengukir gelar Anda pada batu itu. Oh ya, saya juga telah menuliskan satu lagi Gelar bagi Anda: Almarhum. Tentu Anda senang, gelar Anda bertambah satu lagi. Gelar itu akan benar-benar Anda dapatkan, jadi Anda tak usah khawatir. Mohon disimpan baik-baik hadiah dari saya ini. Anda boleh memajangnya di ruang tamu atau di kamar tidur Anda, supaya Anda selalu bisa melihatnya. Semoga bermanfaat. Salam Mahasiswamu. . Usai membacanya kepalaku berdenyut-denyut tak keruan. Wajah-wajah kecewa itu berkelebat satu per satu menggelayuti dinding kepalaku. Aku seperti menemukan maksud indah yang enggan kuterima kebenarannya. Tanganku masih gemetar

menimang batu kuburan itu. Aku tak mau siapa pun tahu akan hal ini. Sebelum istriku melihatnya, secepat kilat kumasukkan kembali batu itu ke dalam kardus lalu membungkusnya kembali rapat-rapat. Wah, isinya apa, Pak? Ibu mau ngeliat? tutur istriku dengan secangkir teh yang masih bergoyang di tangannya. Ah, tak perlu, Bu. Ini cuma hiasan batu berukir biasa. Balasku kecut. Sesuatu yang tidak enak mulai menggeliat di kepalaku lalu meletup-letup di palung dadaku. (*) . Malang, 2009-2010

11. Tempo 12. Di Taman


Cerpen Gao Xingjian (Koran Tempo, 27 Mei 2012) AKU sudah lama tidak jalan-jalan di taman. Aku tak pernah punya waktu senggang. Atau tak hendak lagi. Semua orang juga sama. Setelah bekerja, orang cepat-cepat pulang. Hidup selalu terburu-buru. Kuingat saat kecil, aku sangat suka menyambangi taman ini. Berguling-guling di atas rerumputan. Biasanya aku datang bersama ayah dan ibu.

Mashdar Zainal adalah nama pena dari Darwanto. Penulis sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur. Sejumlah karyanya beberapa kali dimuat di sejumlah surat kabar dan majalah.

Aku sangat suka taman saat ada anak-anak lain. Ya. Khususnya saat kau juga ada. Aku ingat. Dulu rambutmu dikepang dua. Dulu kau selalu memakai celana jengki, dan kau sangat sombong. Kau tidak ramah, selalu angkuh. Benarkah?

Ya, tak ada yang berani melawanmu. Tak ingat. Tapi aku suka main denganmu, bahkan pernah menyepak-nyepak bola karet bersamamu. Omong kosong. Kau tak pernah menyepak bola karet! Kau pernah memakai sepatu putih mungil dan selalu takut mengotorinya. Itu benar, ketika kecil aku suka memakai sepatu karet putih. Kau dulu mirip seorang putri. Tentu. Seorang putri yang memakai sepatu karet. Lalu keluargamu pindah. Betul. Mulanya kau sering berkunjung hari Minggu, tapi kemudian jarang. Aku sudah dewasa.

Jangan lupa kita seusia. Aku lebih tua dua bulan. Tapi aku nampak lebih tua darimu. Aku selalu lebih tinggi selebar sejengkal, seakan kakakmu. Biasanya, gadis-gadis lebih cepat tinggi. Cukuplah itu, ayo kita bicara yang lain. Lalu, apa yang akan kita bicarakan? Jalan kecil di bawah pepohonan itu terapit cemara-cemara Jepang di kedua sisinya. Di lereng di belakang cemara-cemara itu, perempuan muda yang memakai rok dan membawa tas tangan merah itu duduk di bangku batu. Duduk dulu sebentar, ya. Baiklah. Matahari akan terbenam. Ya, indah. Aku tak suka keindahan palsu seperti ini.

Ibuku sangat suka padamu. Bukankah kau bilang suka berkunjung ke taman-taman? Tahu. Tidak ada anak perempuan di keluarga kami. Setiap orang mengatakan kita mirip. Seperti kakak perempuan dan adik laki-laki. Itu saat kecil. Aku tinggal di daerah pegunungan. Selama tujuh tahun aku menjadi penebang kayu di hutan-hutan tua. Kau dapat bertahan hidup. Hutan sungguh mengagumkan.

Perempuan muda yang mengenakan rok itu bangkit dari bangku batu dan melihat ke ujung jalan yang rindang melewati cemara-cemara yang rapi. Beberapa orang muncul dari arah itu, di antara mereka ada pemuda jangkung yang rambutnya jatuh ke pelipis. Melalui pucuk-pucuk pohonan dan tembok, langit berwarna merah dan merah muda matahari terbenam, dan awan beriak mulai menyebar persis ke atas kepala. Sudah lama aku tak melihat matahari terbenam yang indah seperti ini. Langit seperti terbakar. Mirip lautan api. Seperti apa? Seperti hutan yang terbakar. Baik, teruslah bicara. Ketika ada kebakaran di hutan, langit persis seperti ini. Api menyebar cepat dan kuat, dan tak ada waktu membabat hutan. Sungguh mengerikan. Semua pohon roboh berterbangan ke udara, dan dari kejauhan kayu-kayu itu kelihatan seperti serpihan jerami mengapung di dalam api, dan macan-macan tutul yang gila keluar dari hutan dan menjatuhkan diri ke sungai, berenang tepat ke arahmu. Tidakkah macan-macan tutul itu menyerang manusia? Mereka telah memikirkannya. Kau tidak menembak macan tutul itu?

Manusia juga terkejut. Dari tepi sungai mereka hanya menatap kosong ke arah api. Tidak berbuat apa-apa? Sungai di gunung tak bisa menghentikannya. Pepohonan di sisi lainnya hangus, mulai meretih, dan tiba-tiba pepohonan itu berjela-jela kebakaran. Karena jaraknya lebih dari beberapa lidi sekitarnya sehingga penuh asap dan sangat panas, kau tak dapat bernafas. Kau hanya bisa menunggu angin berubah, meniup api ke arah sungai, menghabiskannya sampai padam. Perempuan muda yang memakai rok itu duduk lagi di bangku, dengan tas tangan merah di sampingnya. Ceritakan lagi pengalamanmu masa itu. Tidak banyak yang dapat diceritakan. Mengapa tidak ada lagi yang bisa diceritakan? Semuanya sangat menarik. Tapi tak banyak manfaatnya menceritakan itu semua sekarang. Ceritakanlah apa yang kau kerjakan selama ini. Aku? Ya, kau. Aku punya seorang anak perempuan. Berapa tahun?

Enam. Mirip seperti kau? Semua orang bilang dia mirip aku. Apakah dia mirip seperti saat kau kecil? Apa dia memakai sepatu karet berwarna putih? Tidak, dia suka memakai sepatu kulit. Ayahnya terus membelikannya sepasang demi sepasang. Kau beruntung. Nampaknya suamimu orang baik.

Ya, tapi itu semua berkat usahaku. Warna-warni matahari terbenam itu lenyap. Langit kini merah padam, namun di cakrawala, di atas pucuk-pucuk pohon, ada pijar kuning jeruk di ujung awan hitam. Di lereng, belukar itu menjadi gelap dan perempuan muda di bangku itu duduk. Kepalanya menunduk. Dia nampak melihat jam tangan lalu berdiri. Dia memegang tas tangan namun menurunkannya lagi ke bangku saat dia melihat jalan setapak yang ada sisi agak jauh dari pohon-pohon cemara. Rupanya sambil melihat bulan dekat awan-awan, dia beranjak dan mulai berjalan bolak-balik, matanya menatap tanah. Dia sedang menunggu seseorang.

Dia cukup baik padaku, tapi tak tahu apakah aku beruntung atau tidak. Dan apa pekerjaanmu juga cukup baik? Ya, bila dibandingkan orang seusiaku, pekerjaanku semuanya berjalan baik. Aku tinggal duduk di kantor, menjawab telepon, dan membawa berkas-berkas kepada atasan. Kau sekretaris?

Menunggu seseorang itu mengerikan. Sekarang para pemuda yang tidak datang untuk berkencan. Apakah itu karena terlalu banyak perempuan muda di kota ini? Para pemuda tidak kurang, namun terlalu sedikit pemuda baik. Namun gadis ini sangat cantik parasnya.

Aku menjaga arsip. Bila perempuan jatuh cinta duluan, pasti ia selalu sial. Pekerjaan macam itu sangat rahasia. Artinya, mereka mempercayaimu. Itu agaknya lebih baik dari buruh. Kau juga dapat melalui masa-masa sulit? Karena kau kuliah, kukira kau punya pekerjaan profesional sekarang? Apakah pemudanya akan muncul? Siapa tahu? Menunggu sungguh menyebabkan orang jadi gila.

Untungnya kita sudah melalui masa itu. Pernahkah kau menunggu seseorang? Suamiku yang duluan mencari-cariku. Pernahkah kau menyebabkan seseorang menunggu? Aku tak pernah lalai mengencani.

redup di cakrawala hampir tak terlihat. Dia duduk lagi, tapi seolah merasa ada orang yang mengawasinya, dia menundukkan kepalanya dan nampak menggesek-gesek rok di lututnya. Apakah pemuda itu akan muncul? Tak tahu.

Kau punya pacar? Ini seharusnya tak terjadi. Begitulah. Terlalu banyak hal yang tidak semestinya terjadi. Lalu mengapa kau tidak menikah? Apa pacarmu cantik? Mungkin nanti. Dia menyedihkan. Nampaknya kau tak terlalu mencintainya. Aku merasa kasihan padanya. Merasa kasihan bukanlah cinta. Bila kau tidak mencintainya, jangan terus membohonginya! Aku hanya membohongi diriku. Itu juga membohongi orang lain. Ayo kita bicara yang lain. Baiklah. Perempuan muda itu duduk. Lalu dia tiba-tiba berdiri lagi, melihat ke arah jalan setapak. Pulasan akhir warna merah yang Jangan bicara seperti itu! Bila kau tak mencintainya, jangan bohongi dia. Cobalah temukan perempuan muda yang benarbenar kau cintai, gadis yang cantik. Gadis cantik tak akan menyukaiku. Mengapa? Karena aku tak punya ayah yang baik. Jangan bicara seperti itu, aku tak mau mendengarnya. Jadi jangan dengar. Kukira kita harus pergi. Maukah kau berkunjung ke rumahku?

Aku seharusnya membawa hadiah untuk putrimu. Itu juga akan berarti ucapan selamat padamu. Jangan bicara seperti itu. Apanya yang salah? Kau selalu menyakitiku. Aku tidak pernah berniat begitu. Semoga kau bahagia. Aku tak mau mendengar kata-kata itu. Lalu, kau tak bahagia? Aku tak mau membahasnya. Sangat sulit untuk bertemu seperti ini setelah bertahun-tahun lalu, jadi tidak usah kita membahas hal-hal menyedihkan seperti itu. Baik, baik, mari kita mengobrol yang lain. Perempuan muda itu tiba-tiba berdiri. Seseorang berjalan di jalan setapak, nampak bergegas. Akhirnya dia muncul. Itulah pemuda yang membawa tas kanvas. Dia tidak melambatkan langkahnya dan terus saja berjalan. Perempuan muda itu melengos.

Itu bukan pemuda yang dia tunggu. Hidup memang seperti itu. Agak aneh. Dia menangis. Siapa? Perempuan muda itu duduk, tangan di muka, tangannya diangkat dan nampak menutupi wajahnya, tapi tidak terlihat jelas. Burungburung berkicau. Masih ada burung-burung di sini ya. Tidak hanya hutan yang mempunyai burung-burung. Nah, masih ada burung-burung gereja di sini. Kau sungguh jadi angkuh. Itulah caraku bertahan hidup. Bila tidak menunjukkan sedikitpun keangkuhan itu, aku mungkin tak ada di sini sekarang. Jangan mencibir begitu. Kau bukanlah satu-satunya orang yang menderita. Semua orang di negeri ini disuruh bekerja. Kau seharusnya menyadari bahwa sangat buruk keadaannya untuk perempuan muda yang disuruh bekerja di negeri yang tak punya sanak keluarga atau kawan. Aku menikah dengan suamiku karena aku tak punya pilihan yang lebih baik. Orang tuanya mengatur agar aku dikembalikan ke kota. Aku tak menyalahkanmu.

Tidak ada orang yang berhak menyalahkan orang lain. Lampu-lampu jalan menyala dan menimbulkan cahaya kuning pucat di antara dedaunan hijau pohon. Langit malam kelabu dan kabur, bahkan bintang-bintang tak terlihat jelas di langit kota, menyebabkan cahaya dari lampu jalan yang ada di antara pepohonan terlalu terang. Kukira kita harus pergi. Ya, kita seharusnya tak datang ke sini. Orang mungkin mengira kita sepasang kekasih. Jika suamimu memergoki, dia tidak akan salah paham kan? Dia bukan orang seperti itu. Jadi, dia orang baik. Kau dapat berkunjung dan tinggal di rumah kami. Hanya bila ia mengundangku.

Tidak ada perlunya bagi kita untuk menyerang satu sama lain seperti itu. Kau orang yang mengatakan satu hal namun bermaksud lain. Ayo kita bicara yang lain saja. Baiklah. Belukar itu menjadi gelap dan perempuan muda itu tak terlihat lagi. Namun, dengan sinar lampu, kilauan hijau dedaunan poplar putih nampak berpijar. Ada hembusan angin sepoisepoi, dan getaran dedaunan poplar putih berkilauan seperti kain satin. Apa dia telah pergi? Tidak, dia sedang bersandar ke pohon. Sebuah pohon besar berdiri beberapa langkah dari bangku batu kosong, dan seseorang sedang bersandar di situ. Sedang apa dia?

Tidakkah sama bila aku yang mengundangmu? Menangis. Sialnya aku tak tahu alamatmu. Itulah alasanku mengunjungi tempat kerjamu. Kalau tidak, aku akan langsung mengunjungi rumahmu. Kau tak perlu memaksakan dirimu ke dalam semua omong kosong itu. Tak ada gunanya begitu! Mengapa tidak? Tak ada gunanya menangisi pacarnya. Dia seharusnya tak punya masalah dalam upayanya menemukan lelaki baik yang

mencintainya, orang yang layak untuk cintanya. Seharusnya dia segera pergi. Tapi dia masih berharap. Jalan hidup itu lebar dan dia akan menemukan jalannya sendiri. Apakah kau tahu segalanya? Kau tak mengerti bagaimana perasaan perempuan. Begitu mudah bagi lelaki melukai seorang perempuan. Perempuan selalu lebih lemah. Jika dia tahu dirinya lebih lemah, mengapa dia tidak mencoba belajar menjadi lebih kuat? Kata-kata manis. Tak usah mencari-cari yang menyusahkan. Cukup banyak kekhawatiran dalam hidup ini. Orang harus mampu menerimanya. Begitu banyak hal yang seharusnya begitu. Kukatakan bahwa orang harus hanya melakukan yang seharusnya mereka lakukan. Itu sama saja omong kosong. Betul. Aku tak seharusnya menemuimu. Itu juga omong kosong. Baiklah, kita mesti pergi. Akan kubelikan kau makan malam.

Aku tak mau makan. Tidakkah kita bisa berbicara hal lainnya? Tentang apa? Bicaralah tentang dirimu. Mari kita mengobrol tentang generasi selanjutnya. Apa nama putrimu? Aku ingin punya anak laki-laki. Punya anak perempuan juga sama. Tidak. Ketika anak laki-laki tumbuh dia tak akan terlalu menderita. Orang di masa depan tak akan menderita banyak, karena kita sudah menderita untuk mereka. Dia menangis. Suara dedaunan berdesir dihembus angin sepoi-sepoi dari atas, tapi suara tangis jelas terdengar, dan berasal dari arah bangku batu dan pohon itu. Kita harus mendekatinya dan menghiburnya. Aku tak sanggup. Tapi kita mesti mecoba. Kau saja yang pergi.

Dalam keadaan seperti itu yang tepat bagi seorang perempuan hanyalah pergi. Dia tak memerlukan pelipur semacam itu.

Di dalam gelap, suara tangis kian jelas terdengar. Sebentarsebentar, isak tertahan bercampur dengan suara getar dedaunan dihembus sepoi-sepoi angin malam. Ketika menikah aku akan menulis sepucuk surat untukmu.

Aku tak mengerti. Lebih baik kau jangan menulis apa pun. Kau tak mengerti apa pun. Lebih baik tidak. Sekali kau mengerti, itu menjadi beban. Nah, mengapa kau ingin menghibur orang lain? Mengapa tak kau hibur saja dirimu? Apa maksudmu? Kesalahan apa yang kau bicarakan? Kau tak mengerti perasaan orang lain. Jika perasaan itu sebuah beban, tidak mengerti tentu yang paling baik bagimu. Ayo pergi. Maukah kau berkunjung ke rumahku? Tidak ada gunanya. Apakah kita akan berpamitan seperti itu? Aku telah mengundangmu untuk makan malam besok. Suamiku juga bakal ada. Kupikir lebih baik aku tak datang. Bagaimana menurutmu? Itu sepenuhnya terserah kau. Aku tak semestinya datang menjumpaimu lagi. Tidak, bila kau datang itu tidak keliru! Kita berdua tidak usah dipersalahkan. Kesalahan masa itulah yang harus dipersalahkan. Tapi semua itu masa lalu dan kita harus belajar melupakannya. Namun sukar melupakan semuanya. Mungkin dengan berlalunya waktu. Kau harus pergi. Maukah kuantarkan ke bis? Bila nanti lewat untuk pergi bekerja, mungkin aku mengunjungimu lagi. Lebih baik jangan. Ya, itu sebuah kesalahan.

Mereka berdua berdiri. Dari belakang batang pohon kelabu dekat bangku batu yang kosong dan hampir tidak terlihat, ada isak tak tertahankan. Namun, orangnya tidak terlihat. Menurutmu mungkin kita lebih baik mendesaknya pulang? Dedaunan yang menyutra, lembut dan muda di pohon poplar putih itu berkilauan tertimpa cahaya lampu jalan. (*) . . Gao Xingjian, penulis dan pelukis Cina yang sejak 1997 menetap di Prancis. Ia meraih Nobel bidang sastra pada tahun 2000. Cerita di atas dialihbahasakan oleh Atep Kurnia dari terjemahan Inggris Mabel Lee.

13. Republika 14. Ibu, Aku Pulang


Cerpen Skylashtar Maryam (Republika, 23 Desember 2012) LENGKUNG punggungnya tenggelam dalam barisan kemuning padi, bergerak dari satu pematang ke pematang. Tangannya yang kelam dengan jemari kapalan karena tak pernah menyentuh pelembab macam manapun itu menggurita, mencabuti satu per satu alang-alang yang menggemukkan diri, alang-alang yang membunuh padi kami. Capingnya berayun digigiti angin, menaungi kerut wajah legam, meski legam tapi dari wajah itu senyum tak pernah berhenti terbit. Senyum itulah yang menggigiti kemiskinan hingga tinggal sepah. *** Kereta yang ia tumpangi mulai merayap, membelah debar kerinduan pada sosok yang selama lima tahun ini ia tinggalkan demi sebuah impian akan hidup mapan. Seharusnya ia memilih kereta ekonomi dengan berbagai macam orang yang bisa diamati daripada kereta eksekutif dengan AC melengking dan tempat duduk luas tapi terasa sepi dan asing. Jadi budak lalaki mah kudu loba kahayang tur cita-cita nu luhung, Jang, [1] begitu selalu kata Ibu. Anak laki-laki. Ah, betapa kata itu mampu mengiris dadanya hingga jadi serpihan kecil. Di kampungnya yang terpencil dan terkucil, menjadi anak laki-laki berarti bukan hanya harus siap menjadi tulang punggung keluarga, melainkan juga jadi kebanggan warga desa. Semua anak laki-laki di kampungnya

pergi merantau, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun. Tapi mereka semua selalu tahu jalan pulang dan datang sebagai orang. Bukan para perantau yang bernasib malang. Betul saja, perjalanan empat jam dari Jakarta ke Bandung lalu ke Cicalengka bukan waktu yang sebentar untuk dihabiskan sendirian. Ia merindukan asap rokok, merindukan buih-buih dalam gelas bir, merindukan dentum musik dan segala macam hingar bingar. Perjalanan yang sepi seperti perjalanan menuju mati, pikirnya. Ia masih ingat, lima tahun yang lalu, tepat di Stasiun Cicalengka, tangannya masih memagut tangan Ibu. Orangorang berlalu lalang tapi yang ingin ia lihat hanyalah raut sederhana Ibu; wajah penuh kegigihan, wajah yang penuh aura kehidupan. Baik-baik di Batam ya, Jang. Tong kabawa ku sakaba-kaba, [2] kata Ibu. Insya Allah, Bu. Ujang pasti jaga diri baik-baik. Nanti, kalau Ujang sudah punya uang banyak, Ujang pasti pulang. Nanti Ibu Ujang beliin tanah dan sawah supaya Ibu tidak harus jadi buruh tani terus, biar punya sawah sendiri, ia menerawang, menatap langit-langit stasiun yang penuh sarang laba-laba. Sok didoakeun ku Ibu, Jang, [3] kata Ibu lagi. Senja itu, tangan Ujang tetap memagut tangan Ibu. Ia bahkan tidak peduli meski orang-orang memandanginya, bahkan terkikik geli. Laki-laki berusia dua puluh tahun yang begitu dekat dengan ibunya adalah tontonan menggelikan, mungkin.

Ujang tidak peduli. Bagi Ujang, Ibu adalah pahlawan. Ibu adalah satu-satunya orang yang tidak pernah tertawa meski ia lebih senang bermain boneka daun ketela daripada bermain bola. Ibu satu-satunya orang yang tidak mencibir walau ia lebih senang belajar memasak daripada belajar silat kepada Wak Soma seperti teman-teman lelakinya. Ibu adalah satu-satunya orang yang akan menghibur, memeluk, membela dia dari ejekan banci yang dilontarkan teman-teman bermainnya. Senja itu, Ujang melepas tangan Ibu dengan derai air mata. Ada kereta yang akan membawanya pergi meninggalkan Cicalengka, meninggalkan Pulau Jawa. Kereta yang akan menghantarkan ia meraih mimpi-mimpi dan harapan akan hidup mapan. Sebab ia laki-laki, maka ia harus pergi. *** Kereta tiba di Stasiun Bandung, selewat tengah hari yang terik. Ia turun, keluar dari stasiun menuju sebuah restoran yang menyediakan masakan Sunda lengkap dengan ornamen dan musik ranah Priangan. Ujang serasa berada di rumah. Cicalengka masih jauh, masih ada kereta yang harus ia tumpangi. Sebetulnya, ia bisa saja naik angkutan kota. Tapi, kereta tetap menjadi pilihan utama sebab mendatangkan rasa dan kenangan yang tak bisa digantikan oleh kendaraan jenis apa pun. Sesuai surat yang ia kirimkan dua minggu yang lalu, Ibu sudah diberi tahu bahwa ia akan datang hari ini, menumpang kereta ekonomi. Ia tak mengharapkan Ibu akan menjemputnya di stasiun sebab jarak antara kampung Sindangwangi ke stasiun begitu jauh. Namun, ia tahu Ibu pasti datang.

Pukul tiga sore, kereta jurusan Bandung-Cicalengka mulai melaju. Ujang duduk di bangku dekat jendela, hatinya berdebar-debar. Apakah Ibu akan gembira menyambutnya datang seperti ia yang gembira karena telah pulang? Apakah Ibu akan tetap menjadi pahlawan baginya, tameng bagi cibiran orang-orang, bahkan setelah segala sesuatu sudah sedemikian berubah? Mata Ujang menelusuri bangunan-bangunan yang berkelebat di luar, tanpa sadar air di matanya menguar. Ia tak membawa oleh-oleh banyak kecuali tiga stel gamis, satu buah mukena, dua buah selop berwarna senada, dan sebuah ponsel untuk Ibu. Tidak afdol rasanya jika para perantau dari Batam kembali ke kampung halaman tanpa membawa satu pun alat elektronik atau gadget. Ujang tak membawa oleh-oleh untuk orang lain sebab ia tak memiliki sanak saudara lain kecuali Ibu yang janda dan hanya memiliki ia sebagai anak tunggal. Ransel dengan model dan merk terkenal tercangklong di pundak Ujang. Di dalamnya berisi uang, tiga buah kartu debit berisi cukup untuk membeli sepetak sawah dan seekor kerbau. Ia tersenyum, membayangkan membawa Ibu ke pasar, membeli beras, minyak, ikan, lauk-pauk, dan semua kebutuhan dapur yang selama ini tak pernah ia dan Ibu punya. Bertahuntahun, Ibu memberinya makan dengan lauk seadanya. Ia tak pernah mengeluh, sebab Ibu juga tak pernah mengeluh. Tangan Ujang mengusap rambut pendek cepaknya, rambut yang beberapa minggu lalau masih panjang berwarna cokelat. Kereta berderak-derak di atas rel, sore semakin menanjak, beranjak. Senja mendekat bersamaan dengan terlipatnya jarak.

Ujang merapikan kaus dan jaketnya. Sesekali ia mencuri pandang pada pantulan dirinya yang baru di kaca jendela kereta. Rahang persegi, rambut pendek, kulit cokelat bersih. Tubuh tegap dibalut kaus, jaket, dan celana jeans merk terkenal. Ia terlihat tampan seperti pemuda kebanyakan. Bahkan dua orang gadis di seberang kursinya kerap melayangkan pandangan pada Ujang. Namun mata Ujang gelisah, duduknya juga semakin gundah. Gue mau pulang ke kampung, pamit Ujang kepada temantemannya sesama pegawai salon terkenal di Batam. Yakin lu? Dengan keadaan lu yang kayak gini? tanya Asri. Ujang diselimuti ketidakyakinan. Kasian Ibu kalau ditinggal sendirian. Udah tua, seharusnya gue yang kerja dan dia tinggal di rumah. Lagian, gue enggak punya keluarga lain selain beliau. Ck ck ck udah mulai mellow lu? Lu pikir ibu lu bakalan menerima lu yang sekarang sudah kayak gini? Lu itu salah satu penata rambut kawakan, kelas internasional. Ngapain balik kampung? Mending lu di sini, buka salon sendiri. Gue yakin, lu bisa sukses tanpa harus balik ke kampung, kata Asri lagi. Tapi gue pengen pulang , gumam Ujang. Di sini, enggak ada yang peduli ama status gender lu. Di sini, elu enggak akan diteriaki banci seperti teriakan orang-orang di kampung lu, Ina angkat bicara. Ujang diam.

Lu akan pulang dengan penampilan kayak gini? Asri menunjuk sosok Ujang yang sedang berpenampilan sebagai Dewi. Mungkin gue harus kembali menjadi Ujang yang dulu, gumam Ujang. Ya, selama lima tahun di Batam, Ujang telah berubah menjadi Dewi, seorang penata rambut kawakan di salon terkenal. Dengan isi laki-laki namun berpenampilan perempuan, Ujang kerap merasa nyaman. Baginya, ia jadi seperti Ibu, perempuan yang sangat ia kagumi. Di Batam, tak ada yang meneriakinya sebagai banci, ia justru dipuja dan dipuji. Namun, ketika keinginan untuk pulang sudah sedemikian menyesakkan, Ujang tahu bahwa sebagai seorang Dewi, ia tak akan mengubah apaapa kecuali membenarkan apa yang selama ini diteriakkan orang-orang kampung kepadanya; banci. Ia lelaki, ia tahu itu. Ia pergi dari kampung sebagai lelaki, maka akan pulang sebagai lelaki. Kereta memasuki Stasiun Cicalengka, Ujang terhenyak. Ia berderap turun. Tangannya gemetar, dadanya bergeletar. Peron penuh dengan orang-orang, mata Ujang mencari-cari satu sosok di antara kerumunan. Sosok perempuan sederhana yang begitu ia rindukan. Itu dia! Ujang bersorak. Perempuan setengah baya itu berdiri, memakai gamis berwarna lembayung dan kerudung. Ujang bergegas, tangannya mulai kebas, ia ingin sekali tersuruk di pangkuan Ibu; menangis dan meminta maaf hingga air matanya tandas.

Bu! panggilnya. Perempuan yang ia panggil Ibu mengerutkan kening, menatap Ujang dari ujung rambut ke ujung kaki. Matanya berkaca-kaca. Ini Ujang, Bu, tangan Ujang melayang, menggamit tangan perempuan di depannya. Mata Ibu kembali menyelidiki sosok pemuda di depannya. Ini Ujang, Bu, ulangnya, masih dengan degup kerinduan di dada. Subhanallah! Ibu menutup mulut, terhenyak, matanya membelalak. Ujang? Meuni kasep tur gagah kieu. Siga pisan orang kota ayeuna mah.[4] Mata Ujang berkaca dan pecah. Ia terjatuh, berlutut, tangannya merangkul kaki Ibu. Hampura [5] Ujang, Bu. Ujang baru bisa pulang sekarang. Ujang kangen banget sama Ibu, tangis deras. Ibu mengatupkan mata, dadanya naik turun. Air mata meleleh di mata Ibu. Anak lelakinya telah kembali. Mereka berdua berpelukan erat seperti dua orang yang sempat terpisah selama jutaan tahun. Mata Ujang masih berkaca demi melihat binar bangga dari mata ibunya. Dewi telah mati, bisiknya dalam hati. Kereta meninggalkan stasiun, meninggalkan apa-apa yang di belakang. (*)

Catatan: [1] Jadi anak laki-laki itu harus banyak keinginan dan cita-cita yangtinggi (Sunda) [2] Jangan terbawa yang tidak-tidak. (Sunda) [3] Silakan, didoakan oleh Ibu. (Sunda) [4] Tampan dan gagah sekali. Sangat persis orang kota sekarang mah. (Sunda) [5] Maaf. (Sunda)

JAM mendekati tujuh pagi, ketika ia berhenti di akhir antrean, dan mengamati dengan seksama barisan panjang orang-orang antre yang berkelok-kelok seperti ular. Segera ia tahu bahwa ia datang sangat terlambat. Wajah orang-orang yang antre tampak sendu, seolah mereka telah tua sebelum masanya. Sebagian mereka saling bertukar pembicaraan sehingga menggariskan guratan-guratan tertentu pada wajah mereka. Semua memandang ke arah pintu yang dikunci dengan kawat berduri dari segala sisinya. Mereka menumpahkan kemarahan lewat sorot mata ke arah pintu laknat itu. Mereka berharap pintu itu cepat dibuka sehingga antrean yang terus bertambah panjang seiring bergeraknya jarum jam itu terkurangi. Pada jam delapan, datang dua tentara berhenti di depan pintu. Wajah-wajah putus asa itu sedikit cerah, merasa jalan keluar itu mendekat. Dengan gerakan tanpa sadar, ia mengeluarkan sigaret dari sakunya. Ia menyalakan rokok kemudian mengembuskan asapnya, seolah ia berpesta dengan datangnya dua tentara Israel itu. Suara-suara orang yang antre meninggi, setelah pintu dibuka dan mulai menelan antrean itu secara berurutan. Ia menata posisinya dari satu posisi ke posisi lain untuk merilekskan bagian tubuhnya yang pegal. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjuk angka 10, satu truk tentara datang dari jalan yang tegak lurus dengan pintu itu. Truk itu berhenti kira-kira di tengah-tengah barisan orang-orang antre tersebut. Komandan tentara mengitarkan pandangannya pada mereka dengan penuh kebencian dan kecurigaan. Barisan itu segera merapikan diri, yang lepas dari barisan segera masuk kembali. Pemandangan ini menekan otaknya yang penat, dalam layar otaknya tergambar nomor 67.

15. Jalan Lain


Cerpen Hisham Yusuf El Filistiny (Republika, 8 April 2012)

Saat itu, Abdurrahman sedang berumur 10 tahun. Ia berlari telanjang kaki, berpindah-pindah dari satu antrean ke antrean yang lain. Ia bermain-main. Ia menganggap hal itu sekadar permainan yang diberikan takdir kepadanya, supaya ia beristirahat dan melepaskan kebosanan dari berbagai jenis permainan yang telah dilakukannya berkali-kali. Ia juga berkeyakinan bahwa peluru-peluru yang berhamburan di atas kepala orang-orang Palestina tidak berbeda dengan peluru yang diberondong dalam pesta perkawinan. Ia membayangkan, ia menghela punggung seekor keledai yang membawa kakek-kakek dan nenek yang berusia lanjut. Keledai yang mendengus-dengus karena kepayahan dan kehausan melebihi orang yang di punggungnya. Jika ada kakek-kakek atau nenek-nenek terjatuh dari punggung keledainya. Ia tertawa terbahak-bahak ala anak-anak kecil yang polos. Ia akan semakin terpingkal-pingkal ketika melihat keledainya lari meloloskan diri dari beban yang berat itu dan menerobos tanah pasir dengan ringkikan suara yang tiada bandingnya. Kemudian, Abdurahman ingat bahwa hal itu mungkin saja masih terjadi seandainya kampung halamannya tidak dihapus dari peta, sebagian dijadikan tempat hiburan dan sebagian lagi dijadikan kandang sapi orang-orang Yahudi yang baru datang. Abdurrahman tersadar dari kepekatan hatinya setelah ia membuang kilatan keputusasaannya yang menekan di belakang punggungnya. Tiba-tiba, ia melihat ada tempat kosong antara dirinya dan orang yang berdiri di depannya. Ia segera bergerak mengisinya demi menjaga hak dan undang-undang. Kembali ia memandang ke barisan orang-orang antre, ia melihat puluhan orang berdesak-desakan di depan pintu.

Perhatiannya tertuju pada sosok yang rapi, pakaian baru membalut tubuhnya yang gemuk subur, memegangi salah satu tangannya, dan bibirnya ndomble agak memanjang. Sosok itu berdiri di samping barisan orang antre dan memperlihatkan pandangan memelas. Tak perlu lama menunggu, sosok rapi itu segera dipilih tentara Israel untuk memasuki pintu. Abdurrahman memperolok suara-suara protes orang yang minta menjaga dan menghormati urutan. Kemudian ia mengulurkan telapak tangannya secara spontan pada mukanya tatkala ia merasakan ada tonjokan yang mendadak mendarat di pahanya. Seketika ia ingat tentara penjaga perbatasan yang menamparnya tiga kali, ia ingat dalam ingatan kilas balik ketiga. Oh ya! Akhirnya, Abdurrahman ingat. Ia telah memetik buah zaitun yang ditanam oleh kakeknya di kampungnya yang telah diduduki Israel. Ia dituduh mencuri harta milik tanah Israel. Kemudian tentara-tentara itu menggelandang dirinya yang saat itu baru berusia 13 tahun ke penjara di garis hijau. Ia dijadikan bulan-bulanan oleh pukulan dan tendangan mereka. Ia mendekam di penjara itu selama satu minggu, lantas dikeluarkan setelah membayar denda karena didakwa mengambil harta milik negara. Otaknya kembali lagi untuk ikut serta dalam antrean sebagaimana sosok-sosok yang lain. Kembali lagi untuk melihat bagaimana para tentara itu merusak barisan untuk kedua kalinya dan memasukkan teman-teman pejabat kota yang baru saja datang. Abdurrahman seketika merasakan musim panas yang tiba-tiba merusak sistem antrean dan membuyarkan harapan orang-orang yang berada pada posisi siap memasuki pintu.

Detik-detik yang berat dan lambat berlalu, berganti jam-jam yang sirna. Tetapi, ia belum juga sampai di tengah barisan. Ia mengajak bicara orang yang berada di depannya supaya tetap bisa melihat keadaan pintu. Apa kau kira hari ini kita bisa melewati pintu itu? Aku khawatir hari ini berakhir seperti hari-hari kemarin dan kita pulang tanpa hasil dan kecewa. Apakah kamu menghabiskan waktumu berhari-hari di depan pintu ini? Tentu, apa kau kira urusannya mudah? Di sini tidak ada waktu yang berharga, Sobat! Tengah hari, barisan maju ke depan sedikit. Abdurrahman mandi keringat, kedua keningnya memerah karena sengatan matahari. Meskipun barisan orang-orang antre itu menyaksikan kembali adanya penyerobotan-penyerobotan lain, Abdurrahman berhasil mendekati pintu dengan posisi yang sulit ia percayai. Antara dirinya dan pintu hanya terpaut satu orang saja. Ketika waktu mendekati pukul dua siang, barisan itu terdorong ke depan. Orang-orang yang berdiri di depan seakan tergencet di pintu dan menyebabkan salah satu tentara Yahudi itu marah dan menyerang orang-orang yang di depan barisan seperti banteng gila. Tentara itu memukuli orang-orang yang di depan bertubi-tubi. Abdurrahman tidak bisa menghitung berapa kali pukulan itu karena cepatnya.

Sebelum tentara itu menyelesaikan tugas nya, Abdurrahman berpikir tentang pesawat terbang yang meninggalkan Bandara Ben Goryon dalam waktu bersamaan saat ia bergabung dalam antrean itu. Ia berkhayal, mungkin saja pesawat itu telah mendarat di kota Beijing atau mungkin saat itu pramugarinya sedang berjalan di antara penumpang membagi-bagikan kue selamat datang dan berharap para penumpang menikmati saatsaat yang paling indah di negeri Tembok Raksasa itu. Abdurrahman heran dengan kenyataan aneh dan pahit ini. Bagaimana mungkin jalan dari Ramallah ke al-Quds harus melewati pintu berduri ini. Bagaimana ia menghabiskan bagian penting dari hidupnya dengan masuk pintu dan melewati kawat-kawat berduri dan berdiri lama sekali dalam antrean panjang di depan pintu penghalang. Lalu, ia memutuskan untuk meninggalkan barisan itu setelah meyakinkan dirinya bahwa semestinya harus ada jalan lain. Harus ada jalan lain! (*) .Judul asli cerpen ini: Thaariq Aakhar karya Hisham Yusuf El Filistiny, seorang cerpenis berdarah Palestina asli. Lahir di Umawas, Palestina tahun 1956. Ia dan keluarganya digusur dari desanya tahun 1967, lalu tinggal di kota kecil Al Birah. Meraih gelar BA dalam sastra Inggris dari Universitas Aleppo, Suriah tahun 1979, dan master pendidikan dari Universitas Beirut tahun 1998. Selain mengajar di Universitas Al Quds, di kota Ramallah, ia aktif menulis cerpen dan makalah di berbagai koran dan majalah Palestina. Diterjemahkan oleh Habiburrahman El Shirazy, sastrawan Indonesia peraih Penghargaan Sastra Nusantara 2009. Ia adalah penulis novel fenomenal Ayat Ayat Cinta, Bumi Cinta, dll. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya MUI Pusat. Ketua Liga Sastra Islam Dunia, Maktab Indonesia.

sempat diikutinya. Aku yang mengantar surat keterangan sakitnya ke Ketua Jurusan.

16. Lombok Post


Deru suara barita kematian bersahutan dari masjid ke

1. Berita Kematian
Innalillahi wa innailaihi rojiun sayup-sayup suara khas tukang adzan, menyapa saat jamaah sholat subuh turun dari masjid. ....Berita kematian lagi! gumamku. Belakangan ini hampir tiap hari ada saja yang meninggal dunia. Tetangga sebelah rumah meninggal 6 hari yang lalu, kemarin lusa anak pak kepala lingkungan meninggal karena tabrakan. Baru saja kemarin, Pak Made meninggal karena serangan DBD. Betul-

masjid. Sebagai komando yang sudah biasa dilakukan di tempatku tinggal, di Ampenan-Lombok. *** Kepulan asap telah lalu. Sisa aroma menyengat masih bercokol kuat memenuhi indera penciuman. Bangkai-bangkai nyamuk bertebaran di lantai rumah. Rin, tidak ke kampus? Katanya masih ada ujian? tanya Ibu membuyarkan

betul panen malaikat maut pikirku. Astagfirullah! Di tengah kepulan asap dan deru mesin foging, sayup-sayup terdengar suara itu. Kumandang berita kematian. Suara bising mesin foging yang sengaja didatangkan oleh pemprov ke daerah Taman Sari Ampenan, pasca kematin Pak Made tak membuat suara

lamunanku tentang kengerian yang dihadapi oleh orang-orang mati. Bayangan itu terus menerus dirilis oleh memori di otakku. Tak biasa terjadi. Karena berita kematian itu sudah biasa kudengar. Suara pengumuman itu terus diputar, dan membuat mood hidup hilang. Ran! ibu memegang pundakku.

sayup itu hilang. Sri teman SD adikku yang satu fakultas denganku meninggal setelah terkena demam hebat. Gadis berjilbab dan peramah itu meninggal dalam kondisi sedang sholat telentang. Sudah!, mandi sana nanti telat lagi! Ibu kan juga mau Hampir dua pekan dia tidak masuk kuliah, Ujian semesterpun tak mandi sayang ucap ibu berujung lembut. I Iya Bu! Ninjotan doang Ibu niki![1].

Segera handuk kuletakan di pundak dan masuk kamar mandi. Byar!, byur! segar sekali air menyentuh kulit, menyegarkan

Alah sombong amat bo! Ember!.

pikiran. Tet..! Tet! Suara bel berbunyi dua kali tanda masuk kelas. Wah Buuuuuq! [2] teriakku agak kencang. Iya Rin! Ndah usah teriak-teriak, Ibu dengar kok Tukas ibu. Ya Ibu sayang, silahkan menikmati hidangan kamar Mandi Candaku bergaya layaknya pelayan-pelayan istana yang tasnya di luar. Hanya Bolpoint, penggaris, tipe-x, dan badan yang boleh masuk kelas! Celetuknya pedas. Wajah sangar dan judes sudah Oh iya Rin, Ibu mau ngelayat ke rumahnya Pak Mus!. Iya Bu, Rina sebenarnya ingin sekali ikut, tapi ujiannya mulai jam setengah delapan Ucapku manja. Kertas ujian dibagikan. Ujian Analisa Abstrak, Bu Heny Sepulang dari ujian, Rina mau mampir ke sana, Ok Bu ! Aku berlalu langsung masuk kamar dan ganti pakaian. *** Tepat pukul 07.25 aku tiba di kampus, teman-teman terlihat serius mematut buku pelajaran. Alhamdulillah, tadi malam sudah sempat belajar, jadi tidak harus belajar lagi Gumamku. Ternyata teman-teman cowok mendengar. Hemsi. Panggilan sayang dan roman..tic! -meniru gaya centil Putri Tropika- ucapnya centil. Saat ditanya kenapa suka dengan panggilan Praningtyas, M.Si itulah nama dosen yang mendampingi kami ujian, dosen tingting kelamaan lakunya. Dosen itu kalau dipanggil tak diembeli gelar tidak bakalan menyahut atau sekedar menoleh. Maka kami biasa memanggilnya singkat Bu Hemsi, dia senangnya bukan kepalang dengan panggilan itu, menjadi tampang standar dosen Matematika yang masih betah melajang ini. Berbondong-bondong Mahasiswa kampus putih UNRAM masuk kelas. Seorang guru telah menunggu di depan pintu menatap ulah siswa semester 5 Program Studi Matematika untuk mengikuti ujian hari terakhir. Satu persatu Mahasiswa diminta untuk melepaskan

mempersilahkan tetamu masuk.

Ujian baru berlangsung 20 menit. Suasana kelas berubah gaduh, membuat jantungku copot dan kaki serasa tak berpijak di bumi. Seorang teman cowok di kelas jatuh pingsan. Eh Mati! ucapku latah, walau hati kagetnya setengah mati. Teman-teman sengaja ribut, sembari barter jawaban. Thanks Ron! celetuk teman-teman pelan. Gara-gara Roni kondisi ini menjadi begitu berarti bagi teman-teman yang mentok jawaban. Kesempatan dalam kesempitan. Tapi bukanlah hal yang berarti bagi psikologiku. Kata MATI adalah yang terngiang terus.

Aku semakin takut. Keringat dingin merembesi jilbab putihku. Kaki serasa tak bisa digerakkan, sunyi menggelayut dan dunia serasa gelap. *** Rin! Rani! Bangun Nak! Panggil seseorang pelan. Samar kulihat wajah ibu, meneteskan air mata. Kerudung hitamnya masih menempel di kepalanya. Tidak sempat pulang ke rumah dari ngelayat ke rumah Pak Mus. Rani Bangun sayang! ucapnya dengan nada sedih.

Roni digotong ke lantai bawah, kulihat wajahnya pias tak bertema. Pandangan kuedarkan ke sekitar, yang kulihat wajah-wajah Rani! panggilnya. Eh mati, eh Roni! latahku tiba-tiba sedih dan tembok putih melingkupi, ternyata Rumah sakit. Sejumlah kumat. selang sebagai belalai ada di lengan dan di kepala. Kucoba bangkit, Duh Rani ...! kawatir banget sama Roni.. Ledek temanteman. Bu Hemsi tiba-tiba sudah kembali bersama Roni. Sudah, sudah!, kembali ke tempat duduk masing-masing!. Terus-terang kondisi hatiku tak menentu, bukan karena diledekin teman kelas atau karena ucapan sang Hemsi. Tapi kata itu : kematian, serasa begitu dekat dengan hidupku. Apalagi tadi si Rin! Rani istirahat dulu, mungkin terlalu capek! Roni, dalam kondisi pingsan kok bisa-bisanya memanggil namaku, lembut. Kini giliran beberapa teman mendekat. beberapa lengan mencegahku. Kepala pening, dan dingin terasa menjalar di kaki dan tengkuk. Bapak mendekat, matanya berkaca. Pak!, Bapak tidak usah menangis, Rani baik-baik saja!. Beliau mengangguk pelan, sembari dibelainya rambutku

Ting! Capek, ya capek pikirku. Aku terlalu capek dan memporsir belajar untuk persiapan UAS (Ujian Akhir Semester). Kemarin, saat minggu tenang, hampir jarang melihat dunia luar. Aku sangat takut, tidak bisa mempertahankan IPK tiga koma ke atas. Ditambah lagi sepekan terakhir, dengan pikiran-pikiran tentang kematian. Malaikat maut, dosa menggelayuti pikiran. Astagfirullahaladziem, sepekan lebih hampir tidak pernah terapalkan bacaan quran. Aku hanya sibuk dengan rumus, rumus dan rumus. Ya Allah, inilah yang kudapat, aku telah lupa, aku.... Aku merutuk sendiri. *** Hampir dua hari aku di rawat. Sesosok berpakaian putih berwajah lembut memasuki ruangan tempat aku terbaring, ditemani dua orang yang juga berpakaian sama dengan sosok tadi. Dok, bagaimana anak saya dok? Ibu bertanya dengan nada khawatir. Rani, baik-baik saja bu! Aku yang menjawab. Iya Bu, Mbak Rani boleh kok di bawa pulang hari ini! ucap dokter yang kuketahui bernama dr Ute, dari papan namanya.

Ada senyum yang memancar di wajah kedua orang tuaku. Teman-teman juga senangnya bukan main, demi diketahui bahwa aku tidak apa-apa. Hanya capek!. Menggunakan mobil tua milik Bapak, aku dibawa pulang ke rumah. Sesampai di depan rumah, suara itu bergema. Itu bukan suara adzan, tapi suara berita kematian. Sekali lagi, tetangga dekat kami yang tak lain adalah sahabat Bapak sejak sekolah meninggal dunia. Innalillahiwainnailaihi rojiun!, Bapak terlihat sedih. Padahal tadi pagi Pak Inggang samaan dengan Bapak sholat jenazah anaknya Pak Mus! pelan Bapak berucap, disertai matanya yang masih berkaca. Entah karena saya masuk rumah sakit atau memang beliau sedih karena kepergian sahabatnya. Aku mengeja peristiwa itu : KEMATIAN!. Ya Allah akankah, semakin dekat waktuku? Tanyaku pelan di lubuk hati. Aku menangis pelan, Ibu yang dari tadi hanya mematung merangkulku. Sudahlah Rin, kematian akan datang kapanpun! tukas ibu mengingatkan.

Kan Rani yang sering nyeramahin Ibu! Bahwa kematian itu bisa datang kapan saja! Nggeh[3]? Aku mengangguk. Degup kencang menyelimuti hatiku, seolah baru pertama kali kata-kata itu

tentang Menikmati Kehidupan, kalau masalah Keluarga Sakinah sudah sering kudengar. Ada ungkapan yang begitu menggetarkan di hati, yaitu

kudengar. Padahal seperti kata Mama, kalimat itu sering tentang cita-cita kita sesungguhnya dalam hidup. Bagaimana kuperdengarkan saat Mama lupa dan terlalu asyik dengan urusan sebenarnya keinginan kita dalam mempersiapkan hidup. Apa dunia. tanggapan kita tentang diri kita, apa sebenarnya yang sudah Mama melepaskan pelukannya, dan meminta Aku istirahat di kamar. Kurebahkan tubuhku ringan. Mushaf Al Quran, yang sempat menjadi asing selama sepekan kuambil, dan kuletakan kembali. Sambil bangkit untuk mengambil air wudhu. Tubuhku bergetar saat putaran keran mengucurkan air putih bening menyentuh kedua tanganku, Dingin dan menyejukan. Pelan kurapalkan ayat-ayat Allah, tak peduli dengan kesibukan kedua orang tuaku. Mungkin mereka pergi ke rumah Almarhum atau Aku termenung sendiri, masih dengan mukenah yang menyiapkan bekal untuk melayat. Aku telah lena dalam rapalan bacaan quranku, mencoba mereguk kerinduan dan menghapus kegalauan di hati. *** Malam tiba. Bayangan tentang kematian kembali dirilis. Kubuka laptop, memutar ceramah Ustadz Annis Matta, Lc. Pilihan tema ceramanya hanya dua. Pertama, tentang Keluarga Sakinah, yang kedua, tentang Menikmati kehidupan. Tentu yang kupilih kupakai sholat maghrib dan isya. Kudengar ramai, riuh rendah orang menangis di ruang tamu. Paling jelas terdengar adalah suara Bapak dan Ibu. Betapa dekatnya pak Inggang dengan keluarga kami, wajar orang tuaku begitu merasa kehilangan. Pak Inggang adalah tetangga yang baik, suka membantu. Aku diperlakukannya seperti anaknya sendiri. Pelan kubuka pintu kamar. Ruang tamu penuh sesak dengan orangorang, Mungkin orang yang datang melayat ke Pak Inggang terlalu dilakukan untuk hidup ini, untuk memberikan inspirasikah atau hanya menjadi penyakit bagi orang lain. Beliau meminta kita untuk membayangkan ketika kita telah berada di peti mati. Lalu setiap kerabat, sahabat, teman dekat diminta untuk menyampaikan sambutan. Lalu dengarkan apa yang akan mereka katakan. Sekiranya mereka memberikan apresiasi baik atas jenak hidup kita artinya kita telah bercita-cita menjadi baik, dan sebaliknya.

banyak, harus dialihkan ke rumah kami! pikirku. Aku melangkah, mendekati Ibu. Ada yang aneh. Mayat Pak Inggang dibawa ke

Ibu, maaf kan Rani, maaf bu! aku terisak sejadi-jadinya. Mimpi buruk ya? Aku hanya mengangguk pelan, sembari

rumah?. Kusentuh punggung Ibu Bu, kok jenazah Pak Inggang kueratkan pelukan membenamkan wajah di dada Ibu. dibawa ke rumah!. Tangis ibu semakin menjadi-jadi. Kematian itu pasti datang! Jangan lupakan berita yang Bu, Ibu! Aku memukul-mukul pundak Ibu, namun tak jua pernah Rani ucapkan berkali-kali ke Ibu. membuatnya menoleh. Ada yang aneh! pikirku. Tangganku seolah tak menjangkau pundak Ibu, ringan, tak berbentuk. Kudekati ayah, namun dia juga sama cueknya. Wajah-wajah tetangga tak ada yang peduli denganku, khusyuk melihat onggokan mayat yang ditutup kain putih, yang diletakan persis di tengah ruang tamu . Innalillahi wa inna ilaihi rojiun! bagaikan petir menyambar suara itu menggema memenuhi kolong langit. Telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang ananda NuRani Fajriyanti...! Kagetnya bukan kepalang, kali ini dadaku bergemuruh hebat. Bukan karena suara itu, tapi karena nama yang disebut oleh tukang adzan itu adalah namaku, ya namaku. kulihat teman-teman kuliahku datang, berurai air mata. Bu Hemsi juga ada di tengah mereka. Aku?.....tidaaaaaaaaaaaaaaaak! Ran!, Rani Sayang kembe[4] Nak! Seseorang memegang pundakku.
[1] Ngagetin aja ibu ini (Bahasa Sasak/Lombok) [2] Sudah Bu! [3] Iya Kan? [4] Kenapa

Untuk Pak Inggang, semoga tenang jiwamu di alam sana... Ampenan April 2010

Diposkan oleh aal.dipo di 05:39

PERUBAHAN
06/08/2012 0 Comments

"Tak ada..." Oleh Putu Sugih Arta "Kalau gagal ...." Sebagai seorang pegawai , Rinto sanagat merindukan perubahan. Bayangkan saja, sejak ia mulai melamar, gagal lalu melamar lagi untuk kesekian kalinya baru diterima. Itu pun sangat menyakitkan harus berurusan dengan calo. Sekian lama masa kerjanya, perubahan tak kunjung datang. Angin reformasi pun berhembus, maka zaman pun berubah. Ia pun gembira sekali, ia sambut reformasi dengan dada membusung, kini saatnya aku berubah, katanya membatin. Keran demokrasi mulai terbuka, partai-partai atas nama rakyat pun bertumbuhan bagai ilalang. Begitu pula, pilkada pun dipilih oleh rayat secara langsung. Rinto pun mulai lega. Harapan adanya perubahan atas nasibnya pun mulai terbuka. Matanya menatap ke depan. namun, apa hasil ? Oh, perubahan nasibnya tak pernah terjadi. Akhirnya, ia pun frustasi.Ia putuskan dirinya menjadi tim sukses dalam sebuah ajang Pilkada. Ia pun mulai aktif menggalang masa, melalui sebuah OKP "Kamu sudah pikirkan matang-matang apa konskwensinya ?"tanya istrinya. "Sudah, selain ini apa yang harus ku perbuat ?" "Tak ada jalan lain ?!" "Ya, ditanam...." "Yakin kalau berhasil, nasib kita berubah ?" "Mungkin ?" "Kamu ragu ?" "Aku yakin karena Bupati yang kita pilih ini seorang Kyai, masak dia bohong..." "Tapi aku ragu..." "Ya, kamu tahu apa, kamu hanya tahu memasak..." Rinto pun tetap berkeras hati, ia yakin perubahan akan terjadi pada nasibnya. Ia pun berbicara pada media bagaimana jagonya. Atas nama OKP ia yakinkan masanya untuk setia memilih sang calon bupati dukungannya. Ia orasi kemanamana. Pilkada pun dihelat, jagonya menang telak. Rinto pun bersorak gembira, saat sebuah televisi swasta menayangkan hasil akhir Pilkada Bupati. Persis seperti gol Barca ke gawang MU tempo hari. Sorakan sendiri karena mendukung sendiri.

Dua tahun telah lewat, nasib Rinto tak kunjung berubah. "Bagaimana ? Kenapa nasib kita tetap begini ?"tanya istrinya. "Aku tak tahu...."jawab Rinto lesu "Katamu duku, kamu yakin akan berubah."

"Yang dulu tak pernah menyakitkan seperti saat ini." "Maksudmu, ingkar janji yang menyakitkan ?" Rinto mengangguk pelahan. Lalu, keluar rumah dan tak pernah kembali lagi. Minggu, 22 April 2012

"Ya, tapi kenapa kita tak berubah ?" "Padahal kamu yakin, seorang Kyai tak akan lupa pada janji...' "Lantas, apa yang harus kuperbuat..." "Jangankan fasilitas, perubahan gajimu saja tak ada..." "Apa salahku ?" "Sepertinya kamu terlalu yakin, padahal aku ragu..." "Ya, kamu benar..." "Sebenarnya dulu, saat keran demokrasi belum berubah tak ada bedanya dengan kini..." "Betul, malah lebih baik dulu..." "Kenapa begitu ?!!" Istrinya terbelalak heran.

Anda mungkin juga menyukai