Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TENTANG

ADAT SUKU BIAK

NAMA: Muhammad Arif Nugroho

NIM: B011221028

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah yang telah diberikan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk yang sederhana. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya, sehingga dapat memahami makna dari
suku biak beserta kategorisasinya.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah yang kami buat. Itu semata-mata karena keterbatasan
kemampuan kami dalam menyusun makalah ini dan kita tahu bahwa kesempurnaan
hanya milik Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, kami akan senantiasa menerima
kritik dan saran yang membangun dari para pembacanya mengenai makalah ini.

Penulis dan penyusun makalah ini berharap agar setiap orang yang membantu
dalam proses penyelesaian makalah ini agar dapat diberikan balasan dan imbalan
yang terbaik dari Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian dari amal ibadah. Aamiin Yaa
Rabbal 'Alamin.

2
DAFTAR ISI

SAMPUL 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I : PENDAHULUAN 4
A. LATAR BELAKANG 4
B. RUMUSAN MASALAH 6
C. TUJUAN PENULISAN 6
D. MANFAAT PENULISAN6

BAB II : PEMBAHASAN 7
A. ASAL USUL 8
B. TRADISI SUKU BIAK 9
C. MAKANAN TRADISIONAL SUKU BIAK 10
D. PAKAIAN 10
E. ADAT NIKAH SUKU BIAK 12
BAB III : PENUTUP 14

KESIMPULAN 14

DAFTAR PUSAKA 15

3
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Suku Biak atau orang Biak merupakan salah kelompok suku besar dari 254 suku bangsa
yang tersebar di tanah Papua. Orang Biak memiliki latar belakang sejarah  kontak
budaya yang luas dengan suku bangsa lain baik di Papua maupun di luar Papua dan
sampai sekarang tradisi budaya mereka masih bertahan walaupun dalam aspek budaya
tertentu mengalami pergeseran salah satunya adalah tradisi wor. Wor dalam budaya
Biak mempunyai arti yang luas dan tidak lepas dari kehidupan religi orang Biak baik
menyangkut pembayaran mas kawin (ararem) transaksi makan (fanfan dan munsasu),
tarian adat dan nyanyian adat. Dalam pengertian yang lain dapat dikemukakan wor
sebagai upacara dan sebagai nyanyian adat atau folklor dalam budaya orang Biak.
Tradisi Wor sebagai upacara adat/pesta adat dan wor sebagai nyanyian adat. Wor
sebagai upacara adat mengandung makna yang simbolis yang di dalamnya terkandung
nilai-nilai budaya yang punya fungsi mengatur hubungan mereka dengan sang pencipta,
antar sesama dan dengan lingkungan alam tempat di mana mereka berada. Wor
dianggap upacara sakral karena wor, berfungsi melindungi seseorang dalam peran
peralihan sosialnya dalam rangkaian upacara tradisi  seputar lingkaran hidup atau siklus
hidup dalam budaya orang Biak. Menurut Van Gennep, upacara siklus hidup (life cicle
rites) yaitu upacara yang mengikuti tahap perkembangan atau pertumbuhan manusia
sejak lahir,kemudian masa kanak kanak melalui proses menjadi dewasa dan menikah
menjadi orang tua hingga saatnya meninggal. Berikut dikemukakan beberapa wor yang
berkaitan dengan  siklus hidup.

 Wor Fasfesmandwampur, (fasfes = ikatan), (mandwam= nama kulit kayu yang


ditumbuk hingga halus) wor ini disebut juga fasfesepen (ikatan untuk menahan)
atau babyos (membalaut). Jadi yang dimaksud dengan istilah-istilah ini adalah
suatu ikatan untuk menahan bagian bawah perut seorang ibu yang sedang hamil.
Wor ini dilaksanakan sejak anak masih dalam kandungan ibunya.
 Wor Fasasnai, artinya memperlihatkan adalah wor yang dimaksud
memperlihatkan bayi/anak kepada alam agar penguasa alam dan segala isinya
mengenal bayi/anak yang baru lahir.Wor ini disebut juga anunbesop (membawa
atau mengantar anak turun ke bawah) atau wor mengantar anak keluar dari
kamar ( anun berurido). Ke tiga wor ini pada prinsipnya sama yaitu

4
memperkenalkan bayi/anak kepada kerabat, alam dan pemiliknya baik yang
nyata dan tidak nyata.
 Wor Anmam, terdiri dari kata an (makan)dan mam (gumpalan makanan yang
dikunyah ) maksudnya penyuapan bayi dengan makanan yang bukan ASI ibunya
untuk pertama kalinya bagi bayi/anak yang baru tumbuh giginya.
 Wor famarmar dan Sraikir Kneram, Famarmar (mengenakan cawat atau
pakaian) adalah upacara yang dilakukan pertama kali mengenakan pakaian atau
cawat bagi anak laki-laki. Sedangkan Sraikir Kneram adalah upacara melobangi
telinga bagi seorang anak perempuan.
 Wor Papaf (Penyapihan) adalah upacara melepaskan ASI seorang ibu dengan
bayinya karena menurut mereka bay/anak sudah dapat makan sendiri. Bayi/anak
pada saat itu menghadapi suasana baru di mana anak tersebut mulai belajar
mengambil hidangan/makanan sendiri yang disuguhkan ibunya dan perhatian
ibunya pun mulai berkurang.
 Wor Kapanaknik, adalah wor atau upacara cukur rambut yang dilaksanakan
sesudah anak berumur sekitar 6-8 tahun sebelum anak memasuki masa romawa
dibes atau masa remaja.
 Wor Kabor, setelah wor kapanaknik dilakukan wor kabor. Ada beberapa
pendapat berkaitan dengan ritus K’bor seperti Koentjaraningrat dan Jozh
Mansoben memberi pengertian k’bor berasal dari dua suku
kata kuk atau kak yang berarti menusuk dan bori yang berarti di atas sesuatu jadi
mengiris atau menusuk bagian atas penis alat kelamin laki-laki. Wor Kabor
merupakan wor terakhir di masa kanak-kanak menginjak masa remaja.
 Wor Beba, wor ini disebut juga munara beba (upacara besar), fararur
beba (pekerjaan besar). Disebut besar karena melibatkan banyak orang, biaya
yang cukup besar dan tenaga yang cukup banyak. Selain wor kabor bagi anak laki-
laki setelah mengikuti pendidikan tradisional di rum-sram, wor beba sangat
menentukan status sosial seseorang dalam keret (klan) dalam komunitasnya.
 Wor Farbakbuk, yaitu wor berkaitan dengan upacara perkawinan di mana dalam
prosesnya ada beberapa tahapan seperti wor ramrem,wor
yakyer dan wafwofer,wor anenfasus.
 Farbabei (upacara berkabung) farbabei artinya menguntungkan sesuatu pada
tubuh sebagai tanda mata atau kenangan dari saudara yang meninggal. Farbabei
dimaksudkan upacara menggantungkan sesuatu barang/benda milik saudara
yang meninggal pada tubuh saudara yang hidup sebagai tanda masa berkabung.
Dalam upacara farbabei ada beberapa tahapan upacara yang dimulai dari saat
meninggal sampai penyimpanan tulang pada tempat penyimpanan (prosesi
pemakaman secara tradisional).
 Wor Rasrus adalah upacara yang dilakukan oleh keluarga untuk memindahkan
tulang-tulang saudara mereka yang meninggal dengan cara mencuci tulang dan

5
memasukkannya ke dalam peti yang dibuat dari pohon Pada saat itulah
dibuat amfianir (patung) yang pada bagian kepala diberikan tengkorak dari
saudara mereka yang meninggal dan ada juga patung yang dibuat tanpa
tengkorak. (ar.macap)

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah terkait dengan latar belakang diatas yaitu:

1. Bagaimana asal usul dan tradisi Suku Biak di papua

2. Apa saja makanan tradisional suku biak

3. serta cara nikah adat suku biak.

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu:

1. Untuk mengetahui dan bertambahnya pengetahuan tentang asal usul dan tradisi
suku biak di papua

2. Untuk mengetahui dan bertambahnya wawasan tentang pakaian dan makanan


suku biak karena pakaian dan makanan salah satu kebutuhan pokok ialah sandang
dan pangan

3. Untuk mengetahui adat istiadat nikah suku biak karena tiap-tiap suku caranya
berbeda-beda

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat yang dapat diperolej melalui penulisan makalah ini yaitu:

1. Dapat menambah serta memperluas wawasan tentang adanya suku biak, karena
Suku di Indonesia memiliki jumlah 1340 suku.

2. Dapat menambah serta memperluas wawasan tentang makanan apa saja yang
mereka makan dan pakaian apa saja yang mereka pakai

3. Dapat menambah serta memperluas wawasan tentang adat istiadat berbagai suku
contohnya suku biak

6
BAB II : PEMBAHASAN

Suku biak adalah suku yang ada di Kabupaten Biak Numfor yang berada pada
posisi 134° 47’ - 136° 45’ BT dan 0° 55’ - 1° 27’ LS, dengan luas wilayah 21.672 km² (luas
daratan 3.130 km² dan luas lautan 18.442 km²). Batas wilayah di sebelah utara dengan
Kabupaten Supiori, di selatan dengan Selat Yapen, di barat dengan
Kabupaten Manokwari dan di timur dengan Samudra Pasifik.[1]
Penamaan Biak sendiri diawali zaman pemerintahan Belanda yaitu pada abad ke-
17, orang Belanda memberi nama kepulauan Biak-Numfor dengan sebutan Schouten
Eilanden. Adapula yang menyebutnya dengan Numfor atau Wiak. Fonem w pada kata
wiak sebenarnya berasal dari fonem v yang kemudian berubah menjadi b sehingga
muncul kata Biak, sedangkan kata Biak-Numfor, dengan tanda garis mendatar di antara
dua kata itu sebagai tanda penghubung antara dua kata tersebut, yang dipakai secara
resmi untuk menamakan daerah dan penduduk yang mendiami pulau-pulau yang
terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih itu. Keterangan cerita lisan rakyat berupa
mite, yang menceritakan bahwa nama Biak berasal dari warga klen Burdam yang
meninggalkan Pulau Biak akibat pertengkaran mereka dengan warga klen Mandowen.
Menurut mite itu, warga klen Burdam memutuskan berangkat meninggalkan pulau
Warmambo (nama asli pulau Biak) untuk menetap di suatu tempat yang letaknya jauh
sehingga pulau Warmambo hilang dari pandangan mata. Ketika mereka berangkat
meninggalkan pulau sesekali menoleh ke belakang mereka melihat pulau Warmambo
masih tampak di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan mereka berkata, v`iak
wer`, atau `v`iak`, artinya ia muncul lagi. Kata v`iak inilah yang kemudian dipakai oleh
mereka yang pergi untuk menamakan pulau Warmambo. Nama Numfor berasal dari
nama pulau dan golongan penduduk asli pulau Numfor. Penggabungan nama Biak dan
Numfor menjadi satu nama dan pemakaiannya secara resmi terjadi pada saat
terbentuknya lembaga dewan daerah di kepulauan Schouten yang diberi nama Dewan
daerah Biak-Numfor pada tahun 1959.
Dalam berbagai catatan sejarah Indonesia timur, selama ini hanya orang bugis
yang diakui sebagai pelaut-pelaut tangguh. Selain pernah ke Madagaskar, mereka pun
dikisahkan kerap bolak-balik Makassar – Australia untuk menjalin hubungan dagan
dengan Suku Aborigin. Namun tak banyak orang tahu jika suku Biak (yang mendiami
Pulau Biak dan Numfor) dari papua, juga telah dikenal lama sebagai para penjelajah
lautan yang tangguh. Demikian pernyataan sejarawan A.B. Lapian dalam buku Orang
laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. “ Suku Biak
menjelajah lautan hingga Maluku, Sulawesi, Jawa bahkan konon antara 1400 – 1800,
mereka pernah sampai di semenanjung Malaka “ tulis A.B. Lapian.

7
A. ASAL USUL

Suku Biak termasuk Suku Vikingnya Papua. Suku Biak yang mendiami pulau Biak
dan Numfor di kenal sebagai para penjelajah lautan yang tangguh, sama dengan
kemampuan suku Bugis. Menjelajah lautan dari Maluku, Sulawesi, Jawa hingga
ke Semenanjung Malaka. Penjelajahan suku Biak ini dilakukan karena motif
letak geografis yang kurang menghasilkan secara ekonomi, lahan yang kurang subur
sehingga terjadinya kekurangan sumber pangan, selain itu ada juga alasan persaingan
atau korfandi, yaitu adanya perselisihan antar suku, serta adanya perselisihan tata adat
dalam suku Biak. Namun hal yang paling mendorong suku Biak menjelajah adalah
karena dorongan kebutuhan bahan pangan yang pada saat itu terjadi kemarau
berkepanjangan di Biak, berawal berlayar di sekitar teluk Cendrawasih hingga
ke kepulauan Raja Ampat, karena ketanggguhan suku Biak, mereka menguasai aspek
perdagangan dan politik di wilayah Papua. Bukti-bukti kekuasaan suku Biak bisa dilihat
dari penamaan beberapa kota di Papua yang menggunakan bahasa suku Biak, antara
lain Manokwari dari kata mnuk yang artinya kampung tua, serta kota Sorong yang
berasal dari kata soren.

Replika kapal Suku Biak yang disebut Wai roon atau waiwor

Aktivitas berdagang suku Biak menggunakan sistem kongsi dagang antar sahabat yang
disebut manibobi, yaitu dengan cara berlayar dan berdagang keliling.  Komoditas yang
mereka dagangkan antara lain sagu, kulit kayu mesoyi,burung cendrawasih dan para
budak. Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen
Weropen Teluk Wondema dan Teluk derori Manokwari, Amberbaken, hingga meluas
hingga ke berbagai perairan nusantara hingga ke benua Eropa hubungan dagang suku
Biak terjalin dengan para pelaut di Ternate, Tidore Halmahera, Flores, Gebe, Sulawesi,
Buton, hingga ke negeri Tiongkok dan benua Eropa.  Sebagai hasil kongsi dagang
tersebut para pelaut suku Biak mendapatkan barang-barang berupa Persolin
dari Tiongkok, Manik-Manik parang tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta

8
berbagai jenis kain dari daerah dan beberapa negara yang disinggahi. Bahkan para
pelaut suku Biak pada zaman Belanda dikenal dengan sebuta Papoeschen Zeerovers
yang artinya para bajak laut Papua. Mereka berlayar menggunakan perahu layar
tradisional; Wai roon biasanya digunakan untuk perang suku dengan suku-suku lain dan
menangkap budak-budak. Wai mansusu dan Wai papan digunakan untuk berdagang .
Suku Biak sudah menguasai ilmu navigasi yang baik dengan mengandalkan bintang,
biasanya bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio (Romanggwandi).

B. TRADISI SUKU BIAK

Masyarakat Biak masih memiliki kebudayaan kuno yang mengacu pada


kepercayaan animisme sebelum masuknya injil ke Papua. Aliran kepercayaan tersebut
lebih ditonjolkan melalui rangkaian upacara ritual yang lebih dikenal dengan Wor. Wor
dalam bahasa biak berarti lagu dan tari tradisional. Seorang anak yang terkena wabah
penyakit dianggap bernasib malang, kegagalan berladang, bahkan kecelakaan dianggap
sebuah malapetaka sehingga harus diadakan upacara adat untuk menangkal penyakit
ataupun mara bahaya. Wor adalah ekspresi aktivitas semua aspek kehidupan suku Biak.
Beberapa upacara adat yang masih sering dilakukan oleh suku Biak disebut sebagai
tradisi wor.
Tradisi Yaykayer suku Biak, yaitu tradisi pemberian maskawin antara lain berupa,
hewan babi, manik-manik, guci, piring antik , hasil perkebunan, hasil laut, hewan hasil
buruan, serta beragam harta benda lainnya yang dimiliki. Piring antik (ben bepon), dan
guci masih sering di jumpai dalam ritual adat suku Biak. Pemberian maskawin atau
disebut dengan istilah Ararem. Ararem ini dapat terkumpul melewati prosesi adat suku
Biak sejak kecil hingga menjelang dewasa. Antara lain mengeluarkan anak dari kamar,
menggendong anak, menggunting rambut, membawa anak ke gereja semua ini harus
dilakukan dengan pembayaran maskawin dari pihak marga atau ipar-ipar dalam tatanan
adat suku Biak. Ararem ini nantinya akan disimpan ditempat khusus yang disebut arem.
Setelah menentukan calon anak mantu maka orang tua akan mengundang om dan tante
dari pihak ibu untuk melakukan peminangan. Apabila pihak perempuan menerima
lamaran pihak laki-laki maka pihak perempuan akan mengajukan besaran maskawin
kepada pihak laki-laki. Adapun besarnya jumlah maskawin (mahar) biasanya ditentukan
oleh status perempuan bisa dilihat dari latar belakang keluarga, keperawanan, maupun
kecantikan dan saat sekarang ini faktor pendidikan juga ikut menentukan besaran
jumlah maskawin. Keunikan lain saat mengantar maskawin berupa piring antik dan guci
adalah adanya bendera Merah Putih sebagai simbol lambang negara ikut mengantarkan
prosesi maskawin, tradisi ini baru berkembang sejak masuknya Papua menjadi salah
satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebaliknya pihak
perempuan yang sudah menerima pihak keluarga laki-laki juga menyiapkan sesuatu

9
berupa barang-barang rumah tangga sehingga dalam menjalan kehidupan kelak tidak
mengalami kesulitan. Selain itu juga menjadi sikap dasar pihak perempuan yang
nantinya kedepannya tidak jadi penilaian yang kurang baik dari pihak laki-laki.

C. MAKANAN TRADISIONAL SUKU BIAK

Makanan tradisional suku Biak adalah Pokem atau otong lebih populer dengan
nama gandum Papua adalah terigu dari tumbuhan (tanaman) Kelas Monocontiledonae,
Familia Gramineae, Genus Sorghum, Species Sorghum rumbrawer (L) mirip dengan oats
(Avena sativa). Tanaman ini merupakan asli dan dibudidayakan oleh suku bangsa
numfor sebagai makanan pokok di Pulau Numfor kabupaten Biak Numfor, Papua.
Bentuknya seperti padi namun batangnya lebih kecil. Umur tanaman 90 hari, pokem
bisa dipanen setiap tiga bulan. Jadi dalam satu tahun bisa menghasilkan empat kali
panen. Bagi masyarakat suku Biak, ada lima jenis tanaman pokem yang terdiri dari
pertama pokem resyek atau pokem coklat, kedua pokem verik atau pokem merah,
ketiga pokem vepyoper atau pokem putih dan ke empat pokem vepaisem atau pokem
hitam dan  kelima pokem venanyar atau pokem kuning.
Proses pengolahan pokem dengan cara melepaskan bulir pokem dari tangkai,
bulirannya ditumbuk agar lepas dari kulitnya, mirip dengan proses padi menjadi beras,
kemudian diayak agar terpisah buliran dan kulit pokem.  Pokem kemudian ditumbuk lagi
hingga halus, dan siap untuk dimasak. Proses memasaknya sendiri dengan merebus
tepung pokem dengan air kemudian ditambahkan santan kental agar gurih, diaduk
hingga kental kemudian ditambahkan gula pasir dan susu apabila suka, diaduk hingga
warna kekuningan dan siap disajikan.

D. PAKAIAN ADAT SUKU BIAK


Pakaian asli orang Biak dulu terbuat dari kulit kayu yang dihaluskan hingga
menyerupai sehelai kain yang cukup untuk bisa dibuat cawat baik untuk laki-laki
maupun perempuan. Pohon yang kulitnya diambil untuk diproses menjadi bahan
pakaian adalah mandwam. Itu sebabnya pakaiannya juga disebut mandwam. Dalam
perkembangannya madwan sebagai pakaian asli tidak dipakai lagi dan bahkan hampir
tidak ada orang yang mengingat secara tepat cara pembuatannya. Sekarang pakaian
tradisional suku bangsa Biak diganti dengan sehelai kain yang disebut Kruben dan Srei.
Punahnya kain madwan disebabkan adanya kontak orang Biak dengan dunia luar, baik
menurut cerita lisan tentang tokoh-tokoh legendaris Fakoki dan Pasrefi maupun sumber
keterangan dari Tidore diketahui bahwa kontak itu telah terjadi jauh sebelum
kedatangan orang Eropa pertama di daerah Papua pada awal abad ke-16 (Kamma
1953:151). Hubungan tersebut terjadi dengan penduduk di daerah pesisir utara Kepala

10
Burung, Kepulauan Raja Ampat dan dengan penduduk di Kepulauan Maluku. Kontak
orang Biak dengan orang luar itu terjadi terutama melalui hubungan perdagangan dan
ekspedisi-ekspedisi perang. Bukti terlihat pada adanya pemukiman-pemukiman orang
Biak yang sampai sekarang dapat dijumpai di berbagai tempat seperti tersebut di atas.
Rupanya pada masa sebelum kedatangan orang Eropa di Kepulauan Maluku dan
daerah Papua awal abad ke-16, orang Biak telah menjelajah ke berbagai wilayah
Indonesia lainnya baik melalui ekspedisi-ekspedisi perdagangan dan perang yang
dilakukan oleh orang-orang Biak sendiri maupun bersama dengan sekutu-sekutunya,
misalnya dengan Kesultanan Tidore atau dengan Kesultanan Ternate. Kejayaan orang
Biak untuk melakukan berbagai ekspedisi itu menghilang pada akhir abad ke-15
(Kamma 1952:151). Tidak lama sebelum kedatangan orang Eropa pertama di kawasan
Maluku dan Kepulauan Raja Ampat pada awal abad ke-16. Kain Kruben dan Srei
adalah konotatif sebagai bahan pakaian yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.
Kruben artinya sehelai kain seperti srei, tetapi dengan srei kata itu menimbulkan makna
kain yang dililit ketubuh sedangkan kruben adalah makna genetik untuk kain dalam hal
ini bisa dipakai oleh kaum laki-laki sebagai bahan pakaian dengan cara melilitkan pada
bagian pinggul dengan ujung yang satu kedepan untuk menutup alat kelamin dan ujung
yang satunya ke belakang untuk menutup bagian celah pantat. Cara berbusana laki-laki
disebut eruk atau dalam bahasa popular disebut cidaku. Bagi masyarakat adat suku
Biak fungsi dari Kruben dan Srei sangatlah penting dalam upacara-upacara adat,
terutama dalam tarian Wor yang merupakan tarian asli masyarakat suku bangsa Biak
Numfor. Aksesoris yang penting untuk orang Biak pada waktu dulu adalah sarak
(gelang dari logam perak) dan samfar (gelang dari bahan kulit kerang). Selain sarak
dan samfar untuk kaum wanita dipakai juga kasyap, yaitu sejenis anting-anting terbuat
dari bahan kuningan. Pada masa kini asesoris-asesoris itu hanya disimpan sebagai
benda berharga yang bisa dipakai sebagai alat pembayaran mas kawin.

Gambar diatas ialah pakaian adat Suku Biak.

11
E. ADAT NIKAH SUKU BIAK

Perkawinan merupakan hal yang menjadi idaman bagi setiap pasangan dalam
membina kehidupan rumah tangga yang bahagia. Perkawinan bagi umat manusia adalah
suatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan yang sakral pula dan tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan agama. Perkawinan bukan semata-mata untuk
memuaskan nafsu, melainkan meraih ketenangan, ketentraman dan sikap saling
mengayomi di antara suami-istri dengan dilandasi cinta dan kasih sayang yang
mendalam. Memang tak dapat dipungkiri antara pria dan wanita sudah kodratnya untuk
saling mempunyai ketertarikan dan dari ketertarikan tersebut kemudian beranjak
kepada niat suci pernikahan, proses ini mengandung dua aspek yaitu aspek biologis agar
manusia itu berketurunan, dan aspek afeksional agar manusia merasa tenang dan
tentram berdasarkan kasih sayang. Dengan cinta dan kasih sayang tidak hanya
memungkinkan pasangan tersebut membentuk kehidupan keluarga yang damai dan
bahagia, tetapi juga memberi kekuatan yang dibutuhkan untuk mengutamakan nilai-
nilai kebudayaan yang lebih tinggi. Proses perkawinan ini adalah suatu tatacara yang
berproses secara teratur dan terorganisir (Fesren.) untuk menyatakan suatu perkawinan
adat sah dan mendapat legitimasi publik. Dengan demikian maka, system perkawinan
orang biak pada dasarnya berproses dalam suatu sistem yang saling terkait. Suku Biak
merupakan salah satu kelompok masyarakat Papua yang hidup dan tinggal di kabupaten
Biak Numfor. Turun temurun, setiap kegiatan yang terkait dengan alur kehidupan
mereka berjalan berdasarkan aturan adat. Aturan adat itu berasal dari para leluhur suku
Biak yang diyakini sebagai tetua adat. Salah satu aturan adat yang harus dijalani yakni
prosesi adat sebelum warga Biak melangsungkan pernikahan. Sebelum melangsungkan
pernikahan, pihak keluarga dari lelaki Biak yang ingin menikah itu diwajibkan untuk
melamar wanita calon pendamping. Di Biak, terdapat dua cara untuk melamar calon
pengantin wanita. Pertama, pinangan dilakukan oleh pihak orang tua lelaki sewaktu
anak lelaki mereka ataupun anak gadis yang akan dilamar masih berusia anakanak.
Dalam bahasa Biak, tradisi ini disebut Sanepen. Cara yang kedua yakni Fakfuken, orang
tua lelaki melamar gadis yang akan menjadi pengantin setelah kedua anak mereka
berumur minimal 15 tahun. Pada saat melamar itu, pihak lelaki membawa Kaken atau
tanda perkenalan seperti gelang ataupun kalung dari manik-manik. Tidak ada ketentuan
adat, berapa banyak kaken yang harus diserahkan, jumlah dan jenisnya berdasarkan
pada kemampuan materi dari pihak keluarga lelaki. Jika orang tua dari pihak perempuan
menerima lamaran itu, mereka juga memberikan kaken kepada pihak lelaki. Sama
halnya dengan tanda perkenalan yang diberikan oleh pihak lelaki, pihak perempuan
12
memberikan kaken sesuai dengan kemampuannya. Jika kedua belah pihak telah setuju
untuk menyelenggarakan pernikahan, mereka menentukan mas kawin yang nantinya
diberikan pihak lelaki kepada pihak wanita. Dulu, mas kawin itu umumnya berupa
Kamfar yakni gelang dari kulit kerang. Jika lelaki yang akan menikah itu berasal dari
keluarga terpandang, ia memberikan sebuah perahu layar sebagai mas kawin Namun
seiring dengan perkembangan jaman, suku Biak mengganti jenis mas kawin itu dengan
gelang yang terbuat dari perak. Setelah penentuan mas kawin, kedua orang tua dari
kedua belah pihak pergi menuju rumah tetua adat suku Biak. Bagi suku Biak, tetua adat
memiliki peran yang sangat penting. Begitu pentingnya peran tetua adat itu, pihak
keluarga akan menyelenggarakan pernikahan pada hari yang oleh tetua adat dianggap
sebagai hari baik. Sementara itu, segala macam kebutuhan pernikahan mulai
dipersiapkan satu minggu menjelang hari pernikahan dilaksanakan. Pernikahan adat
suku Biak mulai dilaksanakan satu hari sebelum hari pernikahan tiba. Kedua calon
mempelai yang akan menikah mengawali tradisi ini dengan acara makan bersama
dengan semua saudara lelaki dari pihak ibu kedua mempelai. Keesokan harinya,
keluarga wanita mulai menghias sang gadis sesuai adat. Setelah dianggap tampil
sempurna, barulah calon pengantin wanita dibawa menuju rumah pengantin lelaki. Di
rumah pihak lelaki itulah, puncak acara dalam pernikahan adat suku Biak dilaksanakan.
Ketika menikah, lelaki ataupun wanita Biak mengenakan pakaian adat Papua yang
bentuknya hampir sama. Mereka juga memakai gelang, kalung, serta ikat pinggang dari
manik-manik. Acara puncak pernikahan adat suku Biak diawali dengan penyerahan
seperangkat senjata berupa tombak, panah, serta parang. Penyerahan itu diawali dari
pihak keluarga wanita kepada pihak lelaki. Bagi suku Biak, penyerahan dari pihak wanita
itu menjadi simbol bahwa keluarga wanita telah sepenuhnya menyerahkan anak gadis
mereka kepada keluarga lelaki. Setelah diterima oleh wakil dari pihak lelaki, pihak
keluarga lelaki menyerahkan pemberian yang bentuknya sama kepada pihak
perempuan. Kali ini, pemberian ini menjadi simbol, keluarga lelaki telah menerima anak
gadis itu dan menjaganya seperti anak mereka sendiri. Setelah itu, barulah kepala adat
mulai mengawali inti acara pernikahan. Inti acara pernikahan adat diawali dengan
pemberian sebatang rokok yang tampak seperti cerutu. Rokok itu wajib dihisap oleh
pengantin lelaki kemudian diisap oleh pengantin wanita. Tak lama kemudian, tetua adat
memberikan dua buah ubi yang telah dibakar di atas bara api kepada kedua mempelai.
Ketika itu, setiap pengantin memperoleh sebuah ubi. Doa dan mantera yang dibacakan
oleh sang tetua adat mengiringi prosesi pemberian ubi itu kepada kedua mempelai. Ini
adalah sekilas tata cara adat perkawinan di masyarakat Biak, berbagai tanggapan dan

13
masyarakat terkait adat perkawinan ini bermunculan karena proses adat perkawinan ini
juga tentunya membutuhkan biaya yang cukuplah dan kalau itu belum terpenuhi oleh
pihak lakilaki berarti mereka tidak dapat melangsungkan pernikahan tersebut. Ada
sebagian masyarakat yang sudah memiliki keturunan tetapi belum bisa melangsungkan
pernikahan karena mas kawin yang belum bisa dipenuhi. Dari tanggapan inilah maka
penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjuta tentang “Persepsi Masyarakat Terhadap
Adat Perkawinan Suku Biak Di Kampung Yendidori Distrik Yendidori Kabupaten Biak
Numfort”.

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN:

Menanggapi semua hal yang sudah di bahas pada bab-bab sebelumnya, saya
menyimpulkan bahwa suku biak termasuk suku vikingnya papua. Karena suku biak
mendiami pulau biak dan numfor dikenal sebagai para penjelajah lautan yang tangguh,
sama dengan kemampuan suku bugis. Pakaian dan Makanan suku biak memiliki ciri khas
yang berbeda dari suku lain dan Suku Biak merupakan suku yang mendiami Kabupaten
Biak Numfor merupakan salah satu daerah di Provinsi Papua dan terletak di Kawasan
Teluk Cenderawasih. Suku ini memiliki tradisi pernikahan yang unik dan berbagai
macam. Namun, kelemahan dari tradisi suku Biak ini adalah tidak adanya pencatatan
data pernikahan ke pemerintah sehingga memberikan kesulitan bagi pihak suami-istri
maupun anak. Kerugian yang paling banyak diterima adalah kepada anak yang dimana
banyak hak anak yang tidak dapat dilindungi negara dikarenakan tidak adanya
pencatatan data perkawinan orang tuanya. Dengan begitu, maka banyak sekali kerugian
seperti tidak dapat mendaftar sekolah hingga tidak mendapatkan jaminan perlindungan
hukum sehingga terjadinya pelanggaran hak asasi pada anak mereka.

14
DAFTAR PUSAKA

Ayatrohaedi. 1986. Dalam Jakobus Ranjabar. S.h.,M.Si. 2013. Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Suatu Pengantar. Alfabeta-Bandung.

Beni, I Wayan, 1984, Hukum Adat Di Dalam Yurisprudensi Indonesia, Penerbit Setia Kawan.

Boellars, Jems, 1985, Pengantar Suku-suku Irian Jaya, Penerbit Yayasan Kanisius, Semarang.

Boellars. Jems, 1986, Manusia Irian Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Geriya, S. Swarsi “ Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun,
http://www.balipos.co.id, di Unggah 17-11-2016.

Giddens, A. Dkk 1989, Sociology. Cambridge, Politic Press, UK.

Gillin, J dan Gillin, P. 1954, Cultural Sociology. The Macmillan Company, New York.

Agustiani, N. (2019). IMPLEMENTASI NILAI-NILAI ISLAM DALAM PERNIKAHAN


ADAT PAPUA. PROCEEDING BOOK.
Nurrokhmah, L. E. (2016). Perbandingan hukum perkawinan berdasarkan hukum adat Biak dan
undang-undang nomor 1 tahun 1974. Gema Kampus IISIP YAPIS Biak, 11(2), 71-80.
Padur, N. N., Goni, S. Y., & Pongoh, H. W. (2017). Kearifan Lokal Budaya Farkawawin Suku
Biak di Desa Syabes Kecamatan Yendidori Kabupaten Biak Numfor. ACTA DIURNA
KOMUNIKASI, 6(2).
Santoso, S. (2016). Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam
dan Hukum Adat. YUDISIA: Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam, 7(2), 412-434.

15

Anda mungkin juga menyukai