Adalah Kyai Maliu, seorang tokoh agama kharismatik yang sangat dihormati. Sudah
berhari-hari Kyai Maliu menyusuri hutan, gunung, dan lembah. Namun, tempat yang dicari
belum ditemui. Rasa lelah dan haus tidak dihiraukan. Hanya satu yang dicari, yaitu suatu
tempat yang cocok untuk mendirikan sebuah pondok.
Kehidupan beragama juga tumbuh dengan subur dan menjiwai segenap aspek
kehidupan rakyatnya. Masjid-masjid selain digunakan sebagai tempat ibadah salat juga
digunakan untuk bermusyawarah dalam memecahkan segala urusan desa. Mulai dari
menentukan kapan waktu yang cocok untuk menanam padi, perawatan, dan memanen.
Semuanya dikerjakan dengan gotong royong dan penuh rasa kekeluargaan. Tidak heran
kalau pada waktu itu desa Banjar terkenal hingga luar daerah dan mengundang perhatian
para ulama besar yang sedang melaksanakan dakwah Islam.
Suatu hari, datanglah tiga orang tamu ke pondok Kyai Ageng Maliu. “Wa’alaikum
salam….” Kyai Ageng Maliu menjawab salam tamunya seraya menuju ke pintu. Dilihatnya
tiga orang tamu yang dipastikan bukan berasal dari daerah Banjar. Cara berpakaian dan
tutur katanya setidaknya bisa dijadikan alasan. “Mari Kisanak, silakan masuk….!” ucap Kyai
Ageng Maliu sambil menjabat tangan ketiga tamunya satu per satu. “Terima kasih Kisanak
telah menerima kami dengan baik. Oh ya, perkenalkan, saya adalah Giri Wasiyat dari
Gresik. Sedangkan kedua ini adalah saudaraku, Kangmas Prapen dan Dimas Giri Pit. Kami
bertiga adalah putra Rama Sunan Giri dari Gresik.” “Allahuakbar…. saya kedatangan tamu
agung rupanya….” “Jangan berlebihan Kisanak. Saya sudah tahu bahwa Kisanak petinggi
desa ini. Santri-santri yang belajar di pondok sangat banyak. Untuk itu kami bertiga
menyempatkan datang kemari untuk saling bertukar pengalaman.” “Jangan berkata begitu
Pangeran. Kalau saya berani berdakwa itu hanya berbekal niat. Namun, saya yakin kalau
Pangeran bertiga selain bekal niat juga telah memiliki ilmu agama yang mumpuni.” “Di mata
Allah kita itu sama. Segala ilmu adalah milik Allah. Kita hanya dipinjami, itupun sangat
terbatas. Namun demikian, jika ilmu yang sedikit ini diamalkan untuk orang lain, maka
jadilah ilmu yang bermanfaat, demikian Rama Sunan Giri pernah berwasiat menirukan
sabda Nabi Muhammad.”
Semenjak kedatangan tamu dari Gresik, hampir setiap malam diadakan pengajian
umum. Rakyat desa Banjar benar-benar merasa beruntung dapat menimba ilmu keagamaan
secara luas dari seorang ulama besar secara langsung. Kyai Ageng Maliu banyak berguru
kepada Kyai Ageng Giri Wasiyat. Kyai Ageng Maliu sendiri adalah orang yang cerdas, jujur,
disiplin, dan taat beribadah. Tidak heran kalau Kyai Ageng Giri Wasiyat sangat tertarik akan
sikap terpuji Kyai Ageng Maliu, tuan rumah sekaligus santrinya itu.
Desa Banjar berkembang sangat pesat. Selain sebagai pusat penyebaran agama,
juga tempat bertemunya para pedagang. Karena sebagai tempat perniagaan maka desa itu
semakin ramai dan berpenduduk banyak. Akhirnya desa itu berkembang menjadi sebuah
kota atau tepatnya disebut kadipaten.
Semula Kadipaten Banjar berlokasi di sebelah timur kali Merawu, kemudian pindah
ke sebelah barat kali Merawu dan kemudian dikenal dengan nama Banjar Watu Lembu.
Selanjutnya pusat pemerintahan dipindahkan dari Banjar Watu Lembu ke sebelah selatan
kali Merawu yang sekarang menjadi Kota Banjarnegara. Lokasi pusat pemerintahan di
daerah pesawahan yang cukup lebar (Banjar), dan dinamakan Banjarnegara. Banjarnegara
berasal dari dua kata yaitu Banjar yang artinya sawah atau lebar dan negara yang artinya
kota. Jadi dahulu kala kota Banjarnegara didirikan di daerah pesawahan yang cukup lebar
dan datar.
Legenda ini menceritakan asal mula kota Banjarnegara yang berasal dari kata
banjar yang berarti sawah/tempat yang luas dan Negara yang berarti kota.
“Iya aku juga mencintaimu. Tapi kamu harus tau, kondisi kita
memang tidak lagi memungkinkan,” Kata sang gadis.
Gadis itu pun sadar dia adalah orang yang miskin, akhirnya ia
melarikan diri dari rumah, si pemuda mengetahui bahwa si gadis ingin
melarikan diri, ia pun berusaha mengejar kekasihnya. Ternyata orang
tua pemuda itu mengetahui bahwa anaknya mengejar gadis yang di
anggapnya miskin itu, dia pun sangat marah melihat kelakuan anaknya
dan sepasang kekasih itu dikutuk menjadi batu.
“Saya bersumpah, jika takdir saya menjadi batu maka jadikan batu yang
berguna”. dengan suara yang lantang gadis itu berteriak.
“Adinda, sebelum kutukan itu benar akan terjadi, apakah kita bisa
menikah agar kita bisa hidup berdua selamanya?” tanya sang pemuda
“Kakanda, aku setuju. Tetapi bolehkan aku meminta satu
persyaratan?” jawab sang gadis