Anda di halaman 1dari 190

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-


UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

BADAN KEAHLIAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
2020
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

SUSUNAN TIM KERJA PENYUSUN NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN


UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Pengarah : Ir. Indra Iskandar, M.Si.


(Plt Kepala Badan Keahlian dan Sekretariat Jenderal
DPR RI)
Penanggung Jawab : Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.
(Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang)
Ketua : Arif Usman, S.H., M.H.
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan Madya)
Wakil Ketua : Laksmi Harundani, S.H., M.Kn.
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan Muda)
Sekretaris : Meirina Fajarwati, S.H., M.H
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Pertama)
Anggota : 1. Drs. Juli Panglima Saragih. M.M.
(Peneliti Madya)
2. Noor Ridha Widiyani, S.H.
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Pertama)
3. Olsen Peranto, S.H.
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Pertama)
4. Aryani Sinduningrum, S.H.
(Perancang Peraturan Perundang-Undangan
Pertama)

5. Ade Nurul Aida, S.E.

i
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

(Analis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Ahli Pertama)
6. Hendro Tri Subiyanto, S.E., M.M
(Tenaga Ahli Badan Legislasi)
7. Dahliana Hasan, S.H., M.Tax., Ph.D.
(Pakar Pendamping dari Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada)
8. Tutik Rachmawati, SIP., MA., PhD
(Pakar Pendamping dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan)

ii
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
tersusunnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD)
dengan baik dan lancar. RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
merupakan salah satu RUU dalam daftar kumulatif terbuka dalam Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020. Salah satu RUU yang tercantum
dalam Daftar Kumulatif Terbuka Program Legislasi Nasional yaitu Tindak
Lanjut Atas Putusan Mahkamah Konstitusi. Pembentukan RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD diperlukan untuk memberikan kepastian
hukum di masyarakat terutama wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
pajak daerah dan retribusi daerah.
Naskah Akademik dan Draf Rancangan Undang-Undang ini disusun
berdasarkan standar operasional yang telah diberlakukan oleh Badan
Keahlian Setjen DPR RI, yang dilakukan oleh Tim yang terdiri dari Perancang
Undang-Undang, Peneliti, Analis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Tenaga Ahli Badan Legislasi, dan Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang
sebagai penanggung jawab. Penyusunan Naskah Akademik dan Draf
Rancangan Undang-Undang ini merupakan usul Badan Legislasi DPR RI, yang
selanjutnya ditugaskan kepada Badan Keahlian Setjen DPR RI untuk disusun
naskah akademik dan draf RUUnya.
Dalam proses penyusunan Naskah Akademik, tim penyusun telah
melakukan diskusi dari pemangku kepentingan yang terkait diantaranya
Henry Darmawan Hutagaol, S.H. LL.M, Robert Na Endi Jaweng, Direktorat
Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Asosiasi Pengusaha
Indonesia (APINDO), Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), Tutik
Rachmawati, SIP., MA., PhD, dan lain-lain. Selain itu tim penyusun juga
melakukan pengumpulan data ke 2 (dua) provinsi untuk mendapatkan

iii
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

masukan langsung dari pemangku kepentingan serta masyarakat yaitu


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Sumatera Utara.
Penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU ini dilakukan untuk
memberikan penyesuaian dan penyempurnaan atas dinamika
penyelenggaraan pajak daerah dan retribusi daerah serta kebutuhan hukum
yang berkembang di masyarakat. Dalam implementasi Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang
PDRD) telah beberapa kali diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan
dari terdapat 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi diantaranya Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK
Nomor 46/PUU-XII/2014, Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan
MK Nomor 80/PUU-XV/2017. Akibat dari putusan mahakamh konstitusi
tersebut maka perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap
beberapa pasal dalam UU tentang PDRD.

Jakarta, November 2020

Plt. Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang


Badan Keahlian DPR RI

Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum.


NIP. 19650710 199003 1 007

iv
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

DAFTAR ISI

SUSUNAN TIM KERJA............................................................................ i


KATA PENGANTAR................................................................................ iii
DAFTAR ISI........................................................................................... v
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR…………………..……………………………... ix
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah.................................................................... 4
C. Tujuan dan Kegunaan................................................................. 5
D. Metode Penyusunan Naskah Akademik....................................... 5

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS………………………. 8


A. Kajian Teoretis............................................................................. 8
1. Pendahuluan…………………………………………………………… 8
2. Kerangka Teori……………………………………………………….. 12
a. Definisi Pajak………………………………………………… 12
b. Urgensi Pajak Untuk Negara……………………………… 13
c. Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Objek………………….. 15
d. Rasio Pajak Terhadap PDB (Tax Ratio)…………………. 15
3. Pajak Daerah…………………………………………………………. 17
a. Definisi Pajak Daerah……………………………………… 17
b. Kriteria Pajak Daerah……………………………………… 18
c. Jenis-jenis Pajak Daerah…………………………………. 20
4. Retribusi Daerah……………………………………………………. 24
a. Definisi Retribusi……………………………………………. 24
b. Perbedaan Pajak dan Retribusi………………………….. 25
c. Jenis-jenis Retribusi Daerah……………………………… 26

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan

v
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Penyusunan Norma.............………………………………………….…. 29
1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan……….. 29
2. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah………………….… 33
3. Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan………………………….. 35
4. Asas Pemungutan Pajak…………………………………………….. 36
5. Prinsip-prinsip Perpajakan……………………………………….... 41
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada
serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat........................... 46
1. Umum…………………………………………………………………... 46
2. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014………………………….. 73
3. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011…………………………… 80
4. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017………………………….. 83
5. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017………………………….. 91
6. Pengaturan Lain-Lain………………………………………………… 97
7. Pajak Daerah di Beberapa Negara ………………………………… 110
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan
Diatur Dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan
Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan
Negara. …………………………………………………………................... 112

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TERKAIT
A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.. 126
B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ….. 128
C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(UU tentang Pemerintahan Daerah)…………………………..…..….. 131

vi
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

D. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha


Mikro, Kecil, dan Menengah ………………………………………….. 136
E. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (UU tentang
Perimbangan Keuangan).……………………………………………….. 137
F. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak
Daerah (PP No. 55 Tahun 2016)………………………………………… 138
G. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 Tentang
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas Dan Retribusi Perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(PP No. 97 Tahun 2012)…………………………………………………… 140
H. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PP No. 69 Tahun 2010) ………………………………………………….. 141
I. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011………………………………… 144
J. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014………………………………. 145
K. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017…………………………..…. 147
L. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017……………………………….. 153

BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS…………… 159


A. Landasan Filosofis.........................................………………………….. 160
B. Landasan Sosiologis........................................................................ 161
C. Landasan Yuridis............................................................................ 163

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009

vii
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ……………. 165


A. Jangkauan dan Arah Pengaturan RUU tentang Perubahan
Atas UU tentang PDRD………………………………………………… 165
B. Ruang Lingkup Materi Muatan……………………….……………… 168

BAB VI PENUTUP ……………………………………………….…………….……. 176


A. Simpulan..................................………………………………….................. 176
B. Saran.......................................................……………………………….…. 182

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 183

LAMPIRAN:
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Elemen Keuangan Daerah…………………………………………… 9

viii
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Gambar 2 Legal Historis Kebijakan Perpajakan Daerah…………………… 11


Gambar 3 Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan UU
tentang PDRD………………………………………………………….. 12
Gambar 4 Asas-asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal………………. 38
Gambar 5 Komposisi Sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) Provinsi,
Kabupaten, Kota Tahun 2009-2018 (Persen) …………………. 112
Gambar 6 Penerimaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi 120
Gambar 7. Penjualan dan Pertumbuhan Penjualan Alat Berat di
Indonesia, 1990-2019 …………………………………………………. 122

DAFTAR TABEL
Table 1 Tax Revenues by Country Category (tax ratio) ………………… 16
Tabel 2 Rasio Pajak Terhadap PDB Indonesia dari Masa ke Masa ….. 17
Tabel 3 Perhitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan
Tarif Variabel ………………………………………………………...... 116
Tabel 4 Penghitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan
Tarif Tunggal ……………………………………………...……...…….118
Tabel 5 Penghitungan Tarif Retribusi Menara
Telekomunikasi …………………………………..…………………….119
Tabel 6 Rangkuman Potensi Manfaat dan Beban atas Pengaturan
dalam Putusan MK terkait Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD) …………………………………………………….……125

ix
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945)
yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman,
tertib, sejahtera dan berkeadilan. Pemberlakuan otonomi daerah melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah) serta Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah) maka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Penyelenggaraan otonomi daerah ditandai dengan pemberian
kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang
merupakan salah satu hubungan keuangan dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah yaitu pemberian
sumber peneriman daerah berupa pajak daerah dan retribusi daerah.
Pajak daerah dan retribusi daerah (yang selanjutnya disingkat PDRD)
merupakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah pusat yang
ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah
(local taxing power) dan kapasitas fiskal (fiscal capacity) daerah untuk
menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena

1
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

itu pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan


pungutan memaksa lainnya (retribusi dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah (yang selanjutnya
disingkat PAD).
Dalam Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945, pajak dan pungutan lain
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-
undang, oleh karena itu sesuai dengan amanah konstitusi penarikan pajak
dan retribusi daerah yang dilakukan oleh daerah harus diatur dan
ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan PDRD tersebut pada saat
ini diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU tentang PDRD) yang
dalam implementasinya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan
kemandirian daerah, pemerintah merasa perlu untuk melakukan
perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi
dalam penetapan tarif, sehingga kewenangan pungutan di daerah semakin
luas dengan adanya penambahan beberapa jenis pajak dan retribusi baru.
Kebijakan ini tentunya sangat strategis dan mendasar di bidang
desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup
fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
UU tentang PDRD mempunyai tujuan untuk memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan
dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan
akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan
pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, serta
memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah
dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan PDRD.
Sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali
permohonan Pengujian UU tentang PDRD terhadap UUD NRI Tahun 1945
kepada Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disingkat MK) dan hanya

2
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim yaitu tercatat


dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-
XII/2014, Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor
80/PUU-XV/2017.
Dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, MK mengabulkan
permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa kata
“golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, MK mengabulkan
seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa
Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD yang menyatakan bahwa
mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan
dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan,
tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek
pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan (yang selanjutnya disingkat PBB) menara telekomunikasi, yang
besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan
pengendalian menara telekomunikasi tersebut, bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, MK mengabulkan
seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa
Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat
besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak
melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU
tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017, MK mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 1
angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3)
UU tentang PDRD adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945

3
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Penggunaan


listrik tetap dikenakan pajak akan tetapi perlu ada perbedaan pengaturan
mengenai penggunaan listrik yang dihasilkan sendiri maupun dihasilkan
dari sumber lain dan penggunaan listrik yang dihasilkan oleh pemerintah
dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara (yang selanjutnya disingkat PT
PLN).
Oleh karena itu maka keempat Putusan MK tersebut akan membawa
implikasi dan akibat hukum terhadap pemungutan PDRD. Sehingga dalam
rangka menindaklanjuti akibat hukum yang menciptakan keadaan hukum
baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal
a quo, maka perlu dilakukan analisis terhadap keempat Putusan MK
tersebut dan evaluasi akibat hukumnya terhadap keberadaan UU tentang
PDRD.
Oleh karena itu akibat dari Putusan MK tersebut maka Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (yang selanjutnya disingkat DPR
RI)perlu menindaklanjutinya dengan menyusun Naskah Akademik (yang
selanjutnya disingkat NA) dan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan Atas Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD) sebagai daftar
kumulatif terbuka dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024

B. Identifikasi Masalah
Dalam rangka memberikan landasan ilmiah dalam menyusun NA dan
RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD, dapat dirumuskan
identifikasi permasalahan yang meliputi:
1. Bagaimana teori dan praktek pelaksanaan pengelolaan PDRD pada saat
ini?
2. Bagaimana pelaksanaan dan pengaturan tentang PDRD dalam UU
tentang PDRD dan undang undang terkait?
3. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis dalam penyusunan RUU tentang Perubahan Atas
UU tentang PDRD?

4
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,


jangkauan dan arah pengaturan dalam penyusunan RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD?

C. Tujuan dan Kegunaan


Adapun tujuan penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD adalah:
1. Merumuskan teori dan praktek pelaksanaan pengelolaan PDRD yang
berkembang saat ini.
2. Merumuskan pelaksanaan dan pengaturan tentang PDRD dalam UU
tentang PDRD dan undang undang terkait.
3. Merumuskan dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan
yuridis dalam penyusunan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang
PDRD.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkaun dan arah pengaturan dalam penyusunan RUU
tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD.
Adapun kegunaan dari penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan
Atas UU tentang PDRD adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan
dan pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD.

D. Metode Penyusunan Naskah Akademik


Penyusunan NA ini dilakukan melalui metode studi yuridis-normatif
(statute approach), kajian kepustakaan/dokumentasi (conceptual and
comparative approach) dan diskusi kelompok/wawancara. Teknik
pengumpulan datanya dilakukan melalui studi yuridis-normatif, kajian
pustaka/dokumentasi, dan diskusi kelompok terfokus (FGD) dan/atau
dengan pengambil keputusan politik, serta wawancara/kunjungan
lapangan. Studi yuridis-normatif dilakukan melalui penelahaan produk
hukum terkait PDRD seperti peraturan perundang-undangan terkait baik
di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaan dan berbagai
dokumen hukum terkait.

5
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan


kebijakan PDRD di Indonesia, di antaranya, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang retribusi
Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah; dan
7. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

Sementara itu, kajian pustaka/dokumentasi dilakukan melalui analisis


terkait dengan konsep-konsep dasar tentang pajak daerah dan retribusi
secara khusus. Selain itu, kajian pustaka/dokumentasi ini juga dilakukan
dengan pendekatan perbandingan (comparative approach) terhadap
praktik-praktik penerapan PDRD di berbagai negara. Untuk melengkapi
studi yuridis/normatif dan kajian literatur/dokumentasi, teknik
pengumpulan data juga dilakukan melalui Focus Group Discussion dengan
pakar dan/atau pengambil keputusan politik di Badan Legislasi DPR RI,
wawancara/kunjungan lapangan. Selain itu, untuk memperkuat hasil
studi kajian NA ini, penyusun juga melakukan kegiatan uji konsep dengan
beberapa pemangku kepentingan (stakeholders) seperti akademisi/pakar
dan lembaga pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah.

6
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORETIS
1. PENDAHULUAN
Di banyak negara di dunia saat ini, pajak (tax) merupakan sejumlah
uang yang wajib dibayarkan oleh warga negara (penduduk) dan badan
usaha atau lembaga nirlaba di suatu negara untuk keperluan negara
yang bersangkutan. Pada umumnya pajak di berbagai negara adalah
bersifat memaksa, “tanpa” terdapat imbalan langsung atas uang pajak
yang dibayarkan penduduk atau badan usaha/perusahaan kepada
negaranya.
Seperti di berbagai negara di dunia, di Indonesia pajak juga sangat
penting bagi negara. Pada umumnya pemungutan pajak dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) berdasarkan level pemerintahan yang berwenang
memungutnya, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah
pajak-pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah pusat.
Sedangkan, pajak daerah adalah pajak-pajak yang dipungut dan
dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Pajak yang
termasuk ke dalam pajak pusat di Indonesia saat ini adalah Pajak
Penghasilan (PPh) individu dan badan usaha, Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Masuk, Cukai,
dan Bea Materai serta Pajak Ekspor (Bea Keluar).
Penyerahan urusan dari pusat ke daerah harus diikuti transfer
pembiayaan (dana perimbangan) yang memadai, serta dukungan sumber
pendapatan dari daerah (PAD). Perlu diperkuat prinsip money follows
function dan mengurangi praktik unfunded-mandate. Keuangan daerah
yang merupakan salah satu elemen dari desentralisasi sebagai
perwujudan dari demokrasi lokal dan pemerintahan yang efektif
akuntabel serta sebagai pelaksanaan atas layanan publik dan daya saing
daerah, semua hal tersebut memiliki tujuan akhir untuk pembangunan

7
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

daerah dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Elemen keuangan


daerah sebagaimana tergambar dalam bagan di bawah ini: 1

Gambar 1 Elemen Keuangan Daerah


Sumber: KPPOD Jakarta

Empat dimensi desentralisasi yaitu:


a. Desentralisasi ekonomi (pasar) yaitu kewenangan untuk mengatur
dan mengurus sektor ekonomi diserahkan kepada Pemerintah
Daerah (Pemda).
b. Desentralisasi administrasi yaitu penyerahan kewenangan dan
tanggung jawab atas sejumlah urusan dari pemerintah pusat kepada
daerah otonom, instansi vertikal, maupun lembaga parastatal.
Terbagi menajadi tipe devolusi, tipe dekonsentrasi, dan tipe delegasi.
c. Desentralisasi fiskal yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung
jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perihal
sumber penerimaan dan pembelanjaan.
d. Desentralisasi politik yaitu terbukanya struktur kesempatan bagi
rakyat (partisipasi dan representasi) dalam pengelolaan kebijakan
publik dan pemilihan pejabat publik. 2

Kebijakan desentralisasi fiskal berbasis pendapatan sendiri (PAD)


umumnya bermaksud mengoptimalkan penerimaan. Namun demikian,

1Robert Na Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, disampaikan dalam diskusi

penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 3 Februari 2020.
2Ibid..

8
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pemerintah wajib memperhatikan paradigm perpajakan daerah dalam


konteks desentralisasi/otonomi daerah:
a. PDRD harus memiliki basis pemungutan atas urusan yang menjadi
domain kewenangan Pemda.
b. Prinsip manfaat (Martinez-Vasquez), benefit tax link:
1) Selain retribusi yang mesti nyata, langsung dan spesifik
imbal/kontra-prestasinya, umumnya pajak daerah dalam konteks
otonomi daerah lebih berorientasi regulatory purpose, regulerend
(pengendalian, pelayanan, dan pengaturan) ketimbang sebagai
instrument budgetair (hakihat pajak pusat).
2) Dalam pembelanjaan, teknik alokasi dari hasil penerimaan pajak
memakai earmarking system seperti Pajak Kendaraan Bermotor
(yang selanjutnya disingkat PKB), Pajak Rokok, Pajak Penerangan
Jalan (yang selanjutnya disingkat PPJ), dalam UU tentang PDRD.
c. Otonomi fiskal: desentralisasi sisi pengeluaran (expenditure
assignment) ketimbang pendapatan asli (tax assignment) atau dengan
opsi memperbesar porsi dana perimbangan (revenue assignment).
d. Daya saing: optimaliasi PAD tidak mencederai upaya reformasi
struktural dalam paket deregulasi termasuk reformasi kerangka
pengaturan bagi kepastian berusaha (proses pembentukan peraturan
daerah, substansi dan manajemen penanganan peraturan daerah) dan
reformasi administrasi pajak/retribusi di daerah.3 Adapun legal
historis kebijakan perpajakan daerah sebagai berikut:

3Ibid,.

9
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Gambar 2 Legal Historis Kebijakan Perpajakan Daerah


Sumber: KPPOD Jakarta

Pengaturan mengenai PDRD terbaru diatur dalam UU tentang PDRD,


isi kebijakan dan pelaksanaan dalam undang-undang secara umum
sebagai berikut:
a. PAD yaitu isu kemandirian (kontribusi PAD terhadap Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (yang selanjutnya disingkat APBD)
dan ruang diskresi), pertumbuhan dan kememadaian (rasio pajak),
pemerataan antar daerah (khususnya Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan {yang selanjutnya disingkat PBB P2})
b. Di daerah PAD tidak semata dilihat sebagai instrument fiskal tetapi
juga secara politik sebagai prestise.
c. Perubahan kerangka kebijakan utama dari UU No 34 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak dan Retribusi Daerah menjadi UU tentang PDRD yang
berlaku perluasan basis pajak, penyerahan jenis pajak baru,
keleluasaan penentuan tarif, closed-list system, telah membawa
perubahan beragam di daerah.4

4Ibid.,

10
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Gambar di bawah ini akan menjelaskan jenis PDRD sesuai dengan UU


tentang PDRD:

Gambar 3 Jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan UU tentang PDRD

2. KERANGKA TEORI
a. Definisi Pajak
Definisi atau pengertian pajak menurut Prof.DR.Mardiasmo,SE
mengatakan, pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”. Sedangkan Abut menyatakan, “pajak merupakan iuran
kepada negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas
negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.5

5Pajak Daerah, Pajak Daerah, dimuat dalam http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-

content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses 23 Januari 2020.

11
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Pajak juga dapat diterjemahkan sebagai instrumen atau alat


melakukan redistribusi kesejahteraan atau transfer kesejahteraan.
Pajak dipungut dari orang pribadi yang mempunyai penghasilan
diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (yang selanjutnya disingkat
PTKP) digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
yang kurang mampu seperti pemberian Kartu Indonesia Sehat (yang
selanjutnya disingkat KIS), Kartu Indonesia Pintar (yang selanjutnya
disingkat KIP), pembangunan infrastruktur jalan, bendungan, irigasi,
sarana kesehatan, dan sarana pendidikan, dan lain-lain yang
semuanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(publik).6
Berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan “pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

b. Urgensi Pajak Untuk Negara


Prinsip di mana pemerintah (negara) harus memungut pajak dari
penduduknya, adalah karena tanggung jawab negara atau pemerintah
dalam menyediakan barang/jasa untuk publik yang tidak dapat
disediakan oleh lembaga atau institusi privat (swasta). 7 Pemerintah
juga menggunakan uang pajak untuk tujuan meningkatkan
(memperbaiki) kesejahteraan warganya, menciptakan lapangan kerja,
menggaji guru, dan lain-lain. Oleh karena itu pajak sangatlah penting
sampai saat ini.

6Filosofi Angpau, Filosofi Angpau, dimuat dalam


https://www.pajak.go.id/id/artikel/filosofi-angpau, diakses 23 Januari 2020.
7Walter Johnson, “Why Do State & Federal Governments Collect Taxes?”, dimuat dalam

https://pocketsense.com/do-federal-governments-collect-taxes-8390486.html, diakses 24
Januari 2020.

12
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

(The government also uses tax they collect to improve the


conditions of a country, they (taxes) are used to create more jobs,
(example: by building a school, they do not only create a job for
the teachers, but they also employ the building company,
creating more jobs in the economy).8

Pemungutan pajak di suatu negara seperti kebijakan pengenaan


bea masuk (pajak impor) barang misalnya, adalah bertujuan untuk
melindungi perekonomian di dalam negeri dengan mendorong industri
domestik di suatu negara memproduksi barang sendiri. Oleh karena
itu, pengenaan pajak impor yang tinggi dapat melindungi produk-
produk industri terutama industri-industri baru (infant industry) di
suatu negara untuk dapat bersaing dengan produk dari luar negeri
yang dipasarkan di pasar dalam negeri negara bersangkutan.9
Abdul Kadir, menjelaskan bahwa terdapat beberapa teori dasar
pemungutan pajak oleh negara antara lain teori kepentingan, teori
kewajiban pajak mutlak, teori daya beli dan teori daya pikul. Teori-
teori di atas secara umum membenarkan pemerintah (negara)
memungut pajak atas rakyatnya karena adanya tanggungjawab
negara untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya,
melindungi rakyatnya atas jaminan keamanan, dan tanggungjawab
dalam melakukan pelayanan-pelayanan publik yang dibutuhkan oleh
masyarakat.10

c. Jenis-Jenis Pajak Berdasarkan Objek


Jenis pajak berdasarkan objeknya yakni: pajak langsung (direct
taxes) dan pajak tidak langsung (indirect taxes). Contoh pajak
langsung adalah pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan
usaha. Sedangkan contoh pajak tidak langsung adalah pajak

8Wiki User, Why Do Government Impose Tax?, dimuat dalam


https://www.answers.com/Q/Why_do_governments_impose_tax, diakses 23 Januari 2020.
5 Nipun S, Objectives of Tax Policy in Developing Countries, dimuat dalam
www.economicsdiscussion.net/taxes/tax-policy/objectives-of-tax-policy-in-developing-
countries/26200, diakses 23 Januari 2020.
10Abdul Kadir, “Kapita Selekta Perpajakan di Indonesia”, Medan: Pustaka Bangsa Press,

2017, hal.22-26.

13
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan barang-barang mewah


(PPnBM), bea masuk, bea meterai, cukai. 11 Kedua jenis pajak di atas
sama pentingnya. Tetapi pajak langsung cenderung sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau kemajuan perekonomian di negara yang
bersangkutan.

d. Rasio Pajak Terhadap Produk Domestik Bruto (Tax Ratio)


Rasio pajak terhadap produk domestik bruto (yang selanjutnya
disingkat PDB) atau tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak
terhadap PDB. Rasio ini merupakan alat ukur untuk menilai kinerja
penerimaan pajak suatu negara. Komponen penerimaan pajak di
Indonesia mencakup penerimaan pajak pusat, Penerimaan Negara
Bukan Pajak ( yang selanjutnya disingkat PNBP) Minyak dan Gas, dan
PNBP Pertambangan Umum. Pajak daerah tidak menjadi komponen
dalam perhitungan rasio pajak.
Jika rasio pajak semakin besar maka mengindikasikan
kemampuan pemerintah dalam menarik pajak sesuai dengan
kemajuan perekonomian di negara bersangkutan. Sebaliknya rasio
pajak yang rendah mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah
suatu negara dalam memungut pajak-pajaknya walaupun kegiatan
perekonomian di suatu negara sudah berkembang atau maju.
Rasio pajak terhadap PDB tidak hanya dipengaruhi oleh
kebijakan ekstensifikasi pajak, tetapi juga intensifikasi pajak
yang dilaksanakan oleh negara bersangkutan.
Biasanya rasio pajak terhadap PDB di negara-negara
maju lebih besar dibandingkan dengan di negara
berkembang dan terbelakang. Lihat tabel 1. di bawah.

11Direct taxes are assessed upon the tax-paying capacities of assesses such as their
income or wealth. Indirect taxes are imposed upon objects or transactions regardless of the
capacities of the taxpayers. Income taxes on individuals and companies are the most important
forms of direct taxation and excise duties, customs duties and sales tax dominate the indirect tax
category.

14
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Type of Countries Tax Ratio (% of GDP)

1 Low income countries (LICs) 13%


2 Low middle income countries 17,7%
(LMICs)
3 Upper middle income countries 20,7%
(UMICs)
4 High income countries (HICs) 35,4%
Tabel 1. Tax Revenues by Country Category (tax ratio)
Sumber: Tax in Developing Countries: Increasing Resources for Development, the
International Development Commitee (IDC), the House of Commons of UK,
201212

Rasio pajak terhadap PDB Indonesia tahun 2018 sebesar 11,5%.


Sedangkan pada 2019 tax ratio mencapai 12%. Indonesia pernah
mencapai tax ratio yang relatif tinggi yakni tahun 2012 sebesar 14%.
(lihat tabel di bawah).

S
u
m
b
e
r

12 International Development Committee, Tax in Developing Countries: Increasing

Resources for Development, dimuat dalam


https://publications.parliament.uk/pa/cm201213/cmselect/cmintdev/130/130.pdf, diakses
tanggal 23 Januari 2020.

15
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

:
Tabel 2.Rasio Pajak Terhadap PDB Indonesia dari Masa ke Masa

3. PAJAK DAERAH
a. Definisi Pajak Daerah
Ahmad Yani menjelaskan, pajak daerah adalah “iuran yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan
daerah.”13
Abdul Kadir berpendapat, “pajak daerah adalah pajak yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda)
yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah
daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran
pemerintah daerah untuk melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan di daerah.14
Berdasarkan UU tentang PDRD, pajak daerah adalah “kontribusi
wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah (UU tentang Perimbangan Keuangan), pajak
daerah merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah. Dalam Pasal
279 ayat (1) dan (2) UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, mengatur mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah dalam hal pelaksanaan otonomi

13Ahmad Yani, “Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di

Indonesia”, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal.52-53.


14Abdul Kadir, “Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Otonomi di

Indonesia”, Medan: FISIP Universitas Sumatera Utara Press, 2008, hal.26-27.

16
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

daerah. Hubungan keuangan tersebut dilaksanakan melalui


pemberian sumber pendapatan daerah, berupa PDRD.
PDRD merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah pusat
memberikan perluasan objek PDRD, serta memberikan diskresi pada
(pemerintah daerah) dalam penetapan tarifnya.15

b. Kriteria Pajak Daerah


Untuk mengetahui apakah suatu pajak merupakan pajak yang
dipungut oleh pemerintah daerah atau tidak, maka perlu diidentifikasi
kriteria-kriteria pajaknya. Adapun beberapa kriteria suatu pajak
digolongkan sebagai pajak daerah, antara lain: (1) kecukupan dan
elastisitasnya; (2) prinsip keadilan; (3) kapasitas atau kemampuan
administrasi; (4) kesepakatan/keputusan politik; (5) efisiensi ekonomi;
(6) kecocokan atau kesesuaian sebagai pungutan daerah. 16 Kriteria-
kriteria diatas dijelaskan di bawah ini. 17
Prinsip keadilan dalam perpajakan adalah bahwa beban untuk
membiayai belanja publik seyogyanya ditanggung oleh masyarakat
secara proporsional dengan kekayaan mereka. Dalam hal pajak
daerah, maka beban pajak haruslah seimbang di antara kelompok
masyarakat yang pendapatannya berbeda-beda. Oleh karena itu,
dengan alasan keadilan maka struktur pajak daerah yang progresif
dapat diterapkan.
Tidak setiap objek pajak daerah memiliki kemampuan administrasi
yang sama terutama dalam hal pemungutannya. Kapasitas
administratif yang berbeda-beda tersebut maka menjadi pertimbangan
bagi suatu daerah untuk menetapkannya sebagai pajak daerah. Jika

15Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Mengenal Pajak Daerah dan Retribusi


Daerah, dimuat dalam https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-pajak-
daerah-dan-retribusi-daerah/, diakses 27 Januari 2020.
16Abdul Kadir, Op.,Cit.,hal.28-31.
17Ibid., hal.28-33.

17
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

suatu daerah memiliki banyak jumlah usaha informal dengan level


usaha yang juga berbeda-beda, maka pemerintah daerah akan
kesulitan mengadministrasikannya sebagai pajak daerah. Contoh lain
adalah pajak hewan yang jika dilakukan pemungutannya maka tidak
sesuai hasil yang diperoleh dengan biaya administrasi yang
dibutuhkan untuk menata-usahakannya.
Setiap pajak yang dipungut dari rakyat harus dalam bentuk
undang-undang yang disepakati oleh parlemen dan pemerintah
(daerah). Oleh karena itu, pada umumnya sebagian besar jenis atau
objek pajak tidak disukai oleh pembayar pajak. Apakah suatu pajak
dapat dipungut oleh daerah, juga harus berdasarkan suatu
kesepakatan bersama antara parlemen dengan pemerintah daerah.
Oleh karena itu, suatu pajak daerah (pajak lokal) sebagai suatu
keputusan politik, haruslah terlebih dahulu mendapat masukan
(aspirasi) dari masyarakat lokal agar tidak terjadi keberatan dan
penolakan untuk membayarnya, termasuk besaran tarif pajaknya.
Apakah suatu pajak daerah telah menerapkan efisiensi ekonomi
atau tidak, merupakan kriteria yang harus dipenuhi agar pajak daerah
bisa dipungut oleh pemerintah daerah. Artinya apakah penerapan
suatu pajak daerah memiliki dampak negatif (buruk) terhadap
perekonomian daerah yang bersangkutan atau tidak, perlu dikaji
dengan teliti.
Kriteria lain, adalah apakah suatu pajak merupakan atau dapat
dikategorikan sebagai pajak daerah atau pajak pusat, bergantung
kepada kesesuaiannya dengan kondisi dan perkembangan
perekonomian atau potensi ekonomi di daerah bersangkutan.
Kesesuaian ini dapat diartikan menjadi “karakteristik” dari ekonomi
masyarakat di daerahnya sehingga dapat disebut sebagai pajak
daerah.
Perbedaan kebijakan perpajakan (fiscal policy or tax policy) antar-
negara mempengaruhi besaran jumlah pendapatan pemerintah daerah
dari pajak. Selama 20 tahun sejak (1996-2015), anggaran pendapatan

18
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pemerintah negara bagian dan pemerintah lokal di Amerika Serikat


misalnya rata-rata mencapai 45% dari pajak lokal; 18% dari
pemerintah federal AS; dan 25% dari pendapatan retribusi (fees or
surcharges). Pajak penghasilan18; pajak penjualan, dan pajak bumi
dan bangunan (property tax), merupakan pajak bagi negara bagian
(state government) dan pemerintah lokal (municipalities).19

c. Jenis-jenis Pajak Daerah


Jenis atau objek pajak daerah juga berbeda-beda di setiap negara
sesuai dengan kebijakan perpajakan yang diterapkan negara yang
bersangkutan. Sebagaimana yang disebutkan di atas, pajak daerah
juga dibedakan berdasarkan tingkatan (sistem) pemerintahannya,
seperti sistem pemerintahan di negara-negara federal di AS, Australia,
Canada, dan lain-lain serta pajak daerah dalam sistem pemerintahan
non-federal. Pajak daerah juga dapat dibedakan atas pajak negara
bagian dan pajak lokal (pajak untuk pemerintahan daerah yang lebih
kecil, misalnya kabupaten di negara-negara federal).
Perbedaan jenis-jenis pajak termasuk pajak daerah di suatu
negara juga disebabkan atau dipengaruhi oleh seberapa besar
tanggung jawab dari masing-masing tingkatan pemerintahan yang ada
dalam menyediakan barang-barang atau jasa publik. Karena dalam
penyediaan barang-barang publik atau infrastruktur publik di daerah
membutuhkan anggaran yang cukup. Oleh karena itu sering disebut
dengan: “money follows function” dalam kontek politik pemerintahan
daerah (lokal) termasuk di Indonesia.
Pada umumnya jenis-jenis pajak daerah di berbagai negara terdiri
dari: (1) pajak bumi dan bangunan (property tax); (2) pajak kendaraan
bermotor (user charges for vehicle, public services fees, dog, etc.), (3)

18Tetapi tidak semua negara bagian di AS mengijinkan pemerintah lokal yang lebih
rendah tingkatannya untuk memungut pajak penghasilan (income tax).
19State and Local Revenue, National Association of State Retirement Administrators,

https://www.nasra.org/revenue, diakses 27 Januari 2020.

19
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

cukai (excise taxes); (4) pajak penghasilan individu; (5) pajak gaji
(payroll tax), (6) pajak konsumsi (general consumption tax).20 Hal ini
bergantung kepada kebijakan perpajakan di masing-masing negara.
Jenis-jenis pajak daerah di Indonesia mengalami perubahan sejak
tahun 1947. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, saat ini pajak
daerah diatur dalam UU tentang PDRD.21
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memutuskan atau
menentukan suatu pajak daerah bagi pemerintah daerah, baik
provinsi maupun tingkatan pemerintahan yang lebih kecil seperti
kabupaten dan kota, antara lain adalah22:
1) Pungutan bersifat pajak dan bukan retribusi;
2) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas
cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah
provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan;
3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama

20Richard M. Bird, Local and Regional Revenues: Realities and Prospects, dimuat dalam

http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/June2003Seminar/bird2003.pdf,
diakses 27 Januari 2020.
21UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mencabut UU

Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah; UU Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah; PP No. 5 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No 10 Tahun 1968 (Lembaran Negara RI Tahun 1968 No 54; Tambahan
Lembaran Negara No 2861) Tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara; Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing Dan Pajak Radio Kepada Daerah; (b)UU No. 10
Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara: Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,
Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah; UU No. 87 Tahun
1958 tentang Pengubahan Undang-Undang Pajak Bangsa Asing (Undang-Undang No. 74
Tahun 1958); UU No. 74 Tahun 1958 tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat No. 16
Tahun 1957 Tentang Pajak Bangsa Asing (Lembaran-Negara Tahun 1957 No. 63)" sebagai UU;
UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-
Daerah, yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri
Mencabut Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h; UU No. 21 Tahun
1948 tentang Menambah dan Mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947; (g)UU No. 20
Tahun 1948 tentang Mengadakan Perubahan dan Tambahan Pajak Dalam Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1947 Dari Hal Pajak Pembangunan I; UU No. 14 Tahun
1947 tentang Pemungutan Pajak Pembangunan di Rumah Makan dan Rumah Penginapan; UU
No. 12 Tahun 1947 tentang Menetapkan "Pajak Radio" atas Semua Pesawat Penerimaan Radio.
22Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Pajak Daerah, dimuat dalam
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses
28 Januari 2020.

20
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

(publik) yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan


memperhatikan aspek ketentraman, kestabilan politik, ekonomi,
sosial, budaya, serta pertahanan dan keamanan;
4) Potensi pajak memadai untuk dipungut dari masyarakat.
Artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya
pemungutannya;
5) Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat. Jenis pajak yang
bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda
(double tax), yaitu pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan
yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar pengenaan pajak
lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah;
6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif kepada daerah;
7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan ekonomi
masyarakat untuk membayar; dan
8) Menjaga kelestarian lingkungan.
Yang termasuk pajak daerah provinsi berdasarkan UU tentang
PDRD23, terdiri dari:
1) PKB24;
2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (yang selanjutnya
disingkat BBNKB);
3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (yang selanjutnya
disingkat PBBKB);
4) Pajak Air Permukaan (yang selanjutnya disingkat PAP), dan
5) Pajak Rokok.
Sedangkan Pajak daerah kabupaten/kota meliputi:
1) Pajak Hotel;
2) Pajak Restoran atau Rumah Makan;

23UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah
undang-undang yang masih berlaku saat ini yang menggantikan beberapa undang-undang
lama, seperti UU Nomor 34 Tahun 2000; UU Nomor 18 Tahun 1997.
24Pajak kendaraan bermotor tersebut di atas, juga dikenakan terhadap kendaraan

bermotor yang dioperasikan di air dengan ukuran isi kotor GT 5 (lima Gross Tonnage) sampai
dengan GT 7 (tujuh Gross Tonnage), dan kendaraan alat-alat berat.

21
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

3) Pajak Hiburan;
4) Pajak Reklame (iklan);
5) PPJ;
6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7) Pajak Parkir;
8) Pajak Air (bawah) Tanah;
9) Pajak Sarang Burung Walet;
10) PBBP2; dan
11) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (yang selanjutnya
disingkat BPHTB).
Setiap daerah otonom di Indonesia, dalam hal ini daerah provinsi,
kabupaten/kota, memiliki sumber daya alam dan potensi ekonomi
yang bervariasi dan berbeda-beda. Hal ini juga mengakibatkan adanya
perbedaan dalam jumlah nominal pendapatan daerah masing-masing.
Tetapi jika daerah dapat memanfaatkan atau menggali dengan optimal
potensi sumber-sumber pendapatan di daerahnya, maka akan
memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendapatan daerah,
seperti PDRD yang merupakan PAD baik provinsi, kabupaten dan
kota. Hal ini pada gilirannya akan memberikan manfaat bagi
pembangunan daerah.
Melalui berbagai alternatif sumber-sumber penerimaan daerah,
menurut UU tentang Perimbangan Keuangan, telah menetapkan
PDRD adalah sebagai sumber PAD yang dapat dipungut oleh daerah
provinsi dan kabupaten/kota yang bersangkutan.

4. RETRIBUSI DAERAH
a. Definisi Retribusi
Pengertian retribusi berdasarkan UU tentang PDRD, adalah
“pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”. Balas jasa
kepada wajib retribusi dapat dirasakan langsung oleh si pembayar

22
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

retribusi. Contoh adalah retribusi kebersihan (sampah) yang


manfaatnya dapat dirasakan langsung dengan diangkutnya sampah
wajib retribusi oleh petugas.25
Oleh karena itu retribusi dapat “dipaksakan” dengan sifat yang
ekonomis hanya kepada orang atau badan yang menggunakan atau
mendapatkan jasa atau izin atau manfaat yang diberikan oleh
pemerintah pusat atau daerah. Retribusi memiliki tujuan untuk
memberikan jasa atau ijin kepada masyarakat sehingga masyarakat
dapat melaksanakan kegiatan mereka serta mendapatkan pelayanan
dari pemerintah.

b. Perbedaan Pajak dengan Retribusi


Pajak dan retribusi adalah sama-sama berupa pungutan, tetapi
keduanya punya perbedaan. Perbedaan pajak dan retribusi terlihat
dari segi dasar hukum, manfaat, objek, jenis, dan lembaga
pemungutnya. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak
merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang. Orang pribadi atau badan tidak merasakan imbalan secara
langsung. Pajak digunakan untuk keperluan negara agar menciptakan
kemakmuran rakyat sebesar-besarnya.
Sedangkan pengertian retribusi berdasarkan UU tentang PDRD
yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Untuk pajak, dasar hukumnya adalah undang-undang seperti
tercantum pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

25Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, Perbedaan Pajak dan Retribusi,

dimuat dalam https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/02/22/perbedaan-pajak-dan-retribusi/,


diakses 28 Januari 2020.

23
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang


Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan/atau Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Sementara
dasar hukum retribusi adalah UU tentang PDRD; Peraturan
Pemerintah (PP); Peraturan Menteri; Peraturan Daerah (Perda) provinsi
dan/atau Kabupaten/Kota.
Tujuan diberlakukannya pajak, yaitu untuk meningkatkan kondisi
ekonomi suatu negara dan mensejahterakan masyarakat. Sedangkan
tujuan retribusi, yaitu memberikan jasa atau izin kepada masyarakat
sehingga masyarakat bisa melaksanakan kegiatan dan mendapatkan
pelayanan (umum) atau memperoleh manfaat dari pemerintah.
Objek pajak umumnya adalah antara lain: berupa kendaraan
bermotor, barang mewah, penghasilan, dan sebagainya. Sementara,
objek retribusi adalah orang-orang tertentu atau badan yang
memanfaatkan jasa pemerintah, seperti pelayanan kesehatan,
terminal, pelayanan kebersihan, pelayanan pasar, dan lain-lain.

c. Jenis-jenis Retribusi Daerah


Adapun jenis-jenis retribusi daerah berdasarkan UU tentang
PDRD terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
1) Retribusi Jasa Umum
Retribusi jasa umum terdiri dari: Retribusi Pelayanan Tera/Tera
Ulang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi
Penggantian Biaya Cetak Peta, Retribusi Pelayanan Kesehatan,
Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan, Retribusi
Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat, Retribusi Pelayanan
Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pasar,Retribusi
Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi,
Retribusi Pengolahan Limbah Cair, Retribusi Penggantian Biaya
Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil, hingga
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor.

24
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

2) Retribusi Jasa Usaha


Retribusi jasa usaha terdiri dari: Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah, Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan, Retribusi
Tempat Pelelangan, Retribusi Terminal, Retribusi Tempat Rekreasi
dan Olahraga, Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah,
Retribusi Tempat Khusus Parkir, Retribusi Tempat
Penginapan/Pesanggrahan/Vila, Retribusi Rumah Potong Hewan,
Retribusi Penyeberangan di Air, hingga Retribusi Pelayanan
Kepelabuhanan.26
3) Retribusi Perizinan
Retribusi perizinan terdiri dari: Retribusi Izin Trayek, Retribusi
Izin Usaha Perikanan, Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, hingga
Retribusi Izin Gangguan. Saat ini seluruh retribusi harus
didasarkan kepada undang-undang dan peraturan daerah sebagai
dasar hukum untuk memungutnya dari masyarakat.

Oleh karena itu retribusi harus memenuhi beberapa ketentuan


yakni: (a) adanya otoritas (legalitas) yang diberikan kepada institusi
atau lembaga yang memungutnya; (b) efisiensi; (c) akuntabilitas.
Otoritas dimaksud adalah legalitas hukum dari lembaga yang diatur
dalam regulasi misalnya undang-undang atau peraturan di bawahnya.
Sedangkan prinsip efisiensi menjelaskan bahwa, barang atau jasa
publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah mengedepankan
efisiensi kegiatan pelayanan (barang) atau jasa untuk publik. Prinsip
akuntabilitas artinya retribusi yang dipungut dari masyarakat harus
dapat dipertanggungjawabkan secara transparan ke publik dan wajib

26Alternatifpemungutan retribusi alat berat serta perbandingannya dengan pengaturan


di negara lain dapat dilihat di Indiana Government of Revenue, General Tax, dimuat dalam
https://www.in.gov/dor/files/gb211.pdf dan Cumberland County Government, heavey
equipment, http://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-
property/special-sales-tax/heavy-equipment, diakses tanggal 27 Februari 2020.

25
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

untuk meningkatkan kualitas pelayanan (delivering public services)


publiknya.27
Dari beberapa definisi retribusi di atas, dapat disimpulkan bahwa
retribusi yang dibayarkan oleh individu atau badan akan
mendapatkan manfaat langsung atas sejumlah uang yang dibayarkan
kepada institusi atau badan yang menyediakan barang-barang atau
jasa publik tersebut.
(User charges (fees) is a payment to an agency for particular good or
service that benefit the payee directly. Event organizer or promotors
and select member of community-not general community-directly get
benefit from public services supplied). 28
Di banyak negara, retribusi disebut juga dengan user charges atau
fees seperti untuk berbagai jenis perizinan atau lisensi (driving
licenses, business licenses,etc.), serta bentuk-bentuk pungutan
lainnya. Pemerintah Daerah Administratif Khusus Hong Kong,
misalnya menerapkan retribusi (fees) terhadap registrasi kendaraan
pertama dan ijin mengemudi lokal dan internasional (Fees of Vehicle
and Driving Licensing Services). Fees tersebut diperuntukkan dalam
hal:
a. Bantuan korban kecelakaan lalu lintas;
b. Registrasi kendaraan;
c. Sertifikat kendaraan dan perizinan terkait kendaraan.29
Dalam menerapkan suatu retribusi (fees atau user charges), perlu
dipertimbangan dan diperhatikan (efisiensi) biaya yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah (lokal) untuk menyediakan barang dan/atau
jasa publik bagi masyarakatnya. Prinsip ini disebut dengan cost

27Controller and Auditor General, Charging fees for public sector goods and services,

dimuat dalam https://www.oag.govt.nz/2008/charging-fees/docs/charging-fees.pdf, diakses


28 Januari 2020.
28Department of Premier and Cabinet (DPC) NSW Government, User charges policy,

dimuat dalam https://www.dpc.nsw.gov.au/programs-and-services/events/user-charges-


policy/, diakses 28 Januari 2020.
29Transport Department of the Government of the Hong Kong Special Administrative

Region, Fees of Vehicle d Driving Licensing Services, dimuat dalam


https://www.td.gov.hk/filemanager/en/content_104/td341_12_2017.pdf, diakses 29 Januari
2020.

26
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

recovery. Biaya inilah yang menjadi dasar bagi pemerintah daerah


untuk memungut retribusi seperti biaya untuk pemeliharaan dan
peningkatan pelayanan yang lebih baik dan cepat.30

B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip yang Berkaitan dengan Pajak Daerah dan


Retribusi Daerah
1. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Asas hukum adalah aturan dasar dan prinsip hukum yang
abstrak dan pada umumnya melatarbelakangi peraturan konkret
dan pelaksanaan hukum. Asas hukum bukan merupakan hukum
konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan
abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkret yang
terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.
Beberapa pendapat mengenai asas hukum, antara lain: 31
Bellefroid: asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan
dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal

30Cost Recovery is concerned with recouping a portion of or all costs associated with a
particular service provided by the local authority to the public, normally by way of fees or
charges. Fees and charges are a significant source of income for councils. The level of fees or
charges determines the percentage of service costs that is recovered. For local government
services which are generally used by a large cross-section of the community, it is often
impracticable or unacceptable to charge fees for these services. On the other hand, where the
services are used by a sub group of the community, it is more common for these public services to
be provided for a specified fee or charge. Fees and charges are made for the provision of a wide
range of services including: (1)housing rents, (2)planning fees, (3)fire call out charges, (4)burial
ground fees, (5)litter fines, (6)land fill charges, (7)bring centre and civic amenity site fees,
(8)parking fee, (9)motor tax fees, (10)driving license fees, (11)swimming pool fees, (12)museum
fees and library fees. When determining the level of fees or charges to be set, factors to consider
include the need to regulate demand, the desire to subsidise a certain product, administrative
concerns, such as the cost of collection, and the promotion of other economic or social goals,
dalam Richard Boyle, Using fees and charges-cost recovery in local government, Institute of
Public Administration (IPA), Ireland, dimuat dalam
https://www.ipa.ie/_fileUpload/Documents/LocalGov_RS_No3.pdf, diakses 29 Januari 2020.
31Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty 2005,

hal. 34. Lihat juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 2007, hal. 5.

27
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan


pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Van Eikema Hommes: asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu
dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi
hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas
hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan
hukum positif.
The Liang Gie: asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan
dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai
pelaksanaannya, yang diterapkan pada serangkaian perbuatan
untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.
Paul Scholten: asas hukum adalah kecenderungan-
kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita
pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala
keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang
tidak boleh tidak harus ada.
Asas-asas dalam pembentukan peraturan negara yang baik
(beginselen van behoorlijke regelgeving) terbagi atas asas-asas yang
formal dan yang material. 32 Asas-asas yang formal meliputi:
a. asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
b. asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan);
c. asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
d. asas dapatnya dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
e. asas konsensus (het beginsel van consensus).
Ada pun asas-asas yang material meliputi asas tentang
terminologi dan sistematika yang benar; asas tentang dapat dikenali;
asas perlakuan yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum;

32 I.C. van der Vlies, Het wetsbegrip en beginselen van behoorlijke regelgeving, ’s-

Gravenhage: Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi dalam Maria
Farida Indrati, S., Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Jakarta:
Kanisius, 2007, hal. 253-254.

28
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dan asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Di dalam


pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
patut, adalah sebagai berikut33:
a. Cita Hukum Indonesia, yang tidak lain adalah Pancasila yang
berlaku sebagai “bintang pemandu”;
b. Asas negara berdasar atas hukum yang menempatkan undang-
undang sebagai alat pengaturan yang khas berada dalam
keutamaan hukum, dan asas pemerintahan berdasar sistem
konstitusi yang menempatkan undang-undang sebagai dasar dan
batas penyelenggaraan kegiatan-kegiatan Pemerintahan.
c. Asas-asas lainnya, yaitu asas-asas negara berdasar atas hukum
yang menempatkan undang-undang sebagai alat pengaturan
yang khas berada dalam keutamaan hukum dan asas-asas
pemerintahan berdasar sistem konstitusi yang menempatkan
undang-undang sebagai dasar dan batas penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pemerintahan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut meliputi juga asas tujuan yang jelas; asas perlunya
pengaturan; asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
asas dapatnya dilaksanakan; asas dapatnya dikenali; asas perlakuan
yang sama dalam hukum; asas kepastian hukum; dan asas
pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual.
Apabila mengikuti pembagian mengenai adanya asas yang formal
dan asas yang material, A. Hamid S. Attamini membagi asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut
sebagai:34
a. Asas-asas formal, dengan perincian:
1. asas tujuan yang jelas;
2. asas perlunya pengaturan;

33Ibid., hal. 254-256.


34Ibid., hal. 256.

29
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

3. asas organ/lembaga yang tepat;


4. asas materi muatan yang tepat;
5. asas dapatnya dilaksanakan; dan
6. asas dapatnya dikenali;
b. Asas-asas material, dengan perincian:
1. asas sesuai dengan cita hukum indonesia dan norma
fundamental negara;
2. asas sesuai dengan hukum dasar negara;
3. asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum; dan
4. asas sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasar
sistem konstitusi.
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
dirumuskan juga dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomro 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) sebagai
berikut:
1. Pasal 5 menyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas
pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik yang
meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

30
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

2. Pasal 6 menyatakan bahwa materi muatan Peraturan


Perundang-undangan mengandung asas, sebagai berikut:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. Bhinneka Tunggal Ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan; keserasian, dan keselarasan.
Selain asas-asas tersebut, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, peraturan
perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan
bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

2. Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah


Dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah, terdapat
beberapa asas umum yang menjadi norma dan prinsip dasar yang
selalu harus dijadikan acuan dan pedoman agar pengelolaan
keuangan daerah dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Penyelenggara keuangan daerah wajib mengelola keuangan daerah
dengan mengacu pada asas-asas umum dan mencakup
keseluruhan perencanaan, penguasaan, penggunaan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan. Pengelolaan keuangan
daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang
diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan
peraturan daerah.35

35 Ahmad Yani, Op.cit, hal. 359-360.

31
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Beberapa asas umum pengelolaan Keuangan Daerah adalah


daerah dikelola secara36:
a. Tertib
Keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna
yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Taat pada peraturan perundang-undangan
Pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
c. Efektif
Pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan,
yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.
d. Efisien
Pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan
tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai
keluaran tertentu.
e. Ekonomis
Pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu
pada tingkat harga yang terendah.
f. Transparan
Prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya
tentang keuangan daerah.
g. Bertanggung jawab
Perwujudan kewajiban seseorang untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
h. Memperhatikan asas keadilan

36 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka

Otonomi Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 89.

32
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya


dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban
berdasarkan pertimbangan yang objektif.
i. Kepatutan
Tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan
proporsional.
j. Manfaat untuk masyarakat
Keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat.

3. Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan


Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.37 Otonomi daerah dapat
diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara prinsipil
terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak wewenang
untuk memanajemeni daerah, dan tanggung jawab terhadap
kegagalan dalam memanajemeni daerahnya tersebut. Adapun
daerah dalam arti Local State Government adalah pemerintah di
daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah
pusat.38
Azas otonomi daerah di Indonesia sejak tahun 1998
berlandaskan pada semangat mendekatkan pelayanan publik, baik
berupa pembangunan infrastruktur maupun perlindungan sosial
bagi masyarakat. Otonomi daerah, mendekatkan pelayanan publik

37 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 ayat


5-6.
38 Riant Nugroho Dwidjowoto, Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi, Jakarta:

Elex Media Komputindo, 2000, hlm. 46.

33
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

mensyaratkan pemerintah daerah memiliki kemampuan fiskal.


Namun demikian, penerapan pajak harus berlandaskan pada
hukum yang jelas. Hal ini tepat seperti yang disampaikan oleh
James Otis Jr. yang mengusung slogan ‘no taxation without
representation’ and ‘taxation’ without representation is tyranny.’ 39
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat
kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten
/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.40

4. Asas Pemungutan Pajak


Dalam memungut suatu pajak, terdapat asas-asas atau prinsip-
prinsip yang harus diperhatikan dalam sistem pemungutan pajak.
Menurut Adam Smith, pemungutan pajak hendaknya didasarkan
atas empat asas, yaitu equity, certainty, convenience, dan economy;
sedangkan menurut Dora Hancock dalam bukunya Taxation: Policy
and Practice, mengutip pendapat Stiglitz pemenang Nobel Ekonomi,
menyatakan lima karakteristik yang diharapkan ada dalam suatu
sistem perpajakan, yaitu 41:
a. Economically efficient: It should not have an impact on allocation
of resources;
b. Administratively simple: It should be easy and inexpensive to
administer;
c. Flexible: It should be easy for the system to respond to changing
economic circumstances;

39 Tutik Rahmawati, SIP, MA., PhD. (Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

Universitas Parahyangan), disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan RUU tentang


Perubahan atas UU. No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 27
Februari 2020.
40 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (9).
41 Dora Hancock, Taxation: Policy & Practice, 1997/1998 Edition (UK: Thomson

Business Press, 1997), hal. 44 dalam Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori
dan Aplikasi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 117-118.

34
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

d. Politically accountable: taxpayers should be able to determine


what they are actually paying to so that the political system can
more accurately reflect the preferences of individuals;
e. Fair: it should be seen to be fair in its impact on all individuals.
Asas yang perlu diperhatikan dalam memungut pajak yaitu
revenue productivity, equity/equality, dan ease of administration.
Sebagai dasar berpijak, sudah seharusnya ketiga asas perpajakan
itu dipegang teguh dan dijaga keseimbangannya agar tercapai
sistem perpajakan yang baik. The Revenue Adequacy Principle
adalah kepentingan pemerintah, The Equity Principle adalah
kepentingan masyarakat, dan The Certainty Principle adalah untuk
kepentingan pemerintah dan masyarakat.42

Apabila digambarkan secara sederhana, sistem perpajakan


yang baik (ideal) adalah seperti sebuah tiga sama sisi (Gambar 4).
Pada perkembangan tingkat implementasi, tampaknya
keseimbangan tersebut tidak lagi terjaga, sering kali karena alasan
kepentingan (penerimaan) Negara.

Gambar 4. Asas-
asas dalam Sistem Perpajakan yang Ideal

42 R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996, hal. 16 dalam

Ibid, hal. 119.

35
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Berikut penjelasan masing-masing asas dalam sistem perpajakan


yang ideal43:
a. Equity/Equality
Keadilan merupakan salah satu asas yang sering kali menjadi
pertimbangan penting dalam memilih policy option yang ada
dalam membangun sistem perpajakan. Suatu sistem
perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa
yakin bahwa pajak-pajak dipungut pemerintah telah dikenakan
secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan
bagiannya. Asas equity (keadilan) mengatakan bahwa pajak itu
harus adil dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang
pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk membayar
pajak tersebut dan juga sesuai dengan manfaat yang
diterimanya dari negara.
b. Asas Revenue Productivity
Revenue Productivity principle merupakan asas yang lebih
menyangkut kepentingan pemerintah sehingga asas ini oleh
pemerintah yang bersangkutan sering dianggap sebagai asas
yang terpenting. Pajak mempunyai fungsi utama sebagai
penghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai kegiatan
pemerintah, baik pembiayaan rutin maupun pembiayaan
pembangunan (fungsi budgetair). Oleh karena itu dalam
pemungutan pajak, harus selalu dipegang teguh asas
produktivitas penerimaan. Upaya ekstensifikasi maupun
intensifikasi sistem perpajakan nasional serta penegakan
hukum, tidak akan berarti bila hasil yang diperoleh tidak
memadai.
c. Asas Ease of Administration, terdiri dari:
1) Asas Certainty. Asas certainty (kepastian) menyatakan
bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak

43Ibid., hal. 119-141.

36
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Asas


kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-
siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang
dijadikan sebagai objek pajak, serta besarnya jumlah pajak
yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang
terutang itu harus dibayar. Artinya, kepastian bukan hanya
menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan
pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar
pengenaan pajak, tetapi juga mengenai prosedur
pemenuhan kewajibannya, antara lain prosedur
pembayaran dan pelaporan, serta pelaksanaan hak-hak
perpajakannya.
2) Asas Convenience. Asas convenience
(kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa saat
pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat
yang “menyenangkan”/memudahkan wajib pajak, misalnya
pada saat menerima gaji atau penghasilan lain seperti saat
menerima bunga deposito. Asas convenience bisa juga
dilakukan dengan cara membayar terlebih dahulu pajak
yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-
angsur setiap bulan (seperti PPh Pasal 25). Dengan
demikian, pada akhir tahun pajak, wajib pajak tidak terlalu
berat dalam membayar pajaknya dibandingkan dengan jika
pajak yang terutang selama satu tahun pajak tersebut
dibayar sekaligus pada akhir tahun.
3) Asas Efficiency. Asas efficiency dapat dilihat dari dua sisi
yaitu dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien
jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor
pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban
wajib pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil
dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, system pemungutan
pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan

37
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

oleh wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya


bisa seminimal mungkin. Dengan kata lain, pemungutan
pajak dikatakan efisien jika cost of compliance-nya rendah.
4) Asas Simplicity. Pada umumnya peraturan yang sederhana
akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh wajib
pajak. Oleh karena itu dalam menyusun suatu undang-
undang perpajakan, harus diperhatikan juga asas
kesederhanaan, sebagaimana diungkapkan oleh C.V. Brown
dan P.M. Jackson “Taxes should be sufficiently simple so
that those affected can be understand them”. 44
5) Asas Neutrality. Asas neutrality mengatakan bahwa pajak
itu harus bebas dari distorsi, baik distorsi terhadap
konsumsi maupun distorsi terhadap produksi serta faktor-
faktor ekonomi lainnya. Artinya pajak seharusnya tidak
memengaruhi pilihan masyarakat untuk melakukan
konsumsi dan juga tidak memengaruhi pilihan produsen
untuk menghasilkan barang-barang dan jasa, serta tidak
mengurangi semangat orang untuk bekerja. Oleh karena
itu, dalam menentukan tariff, hendaklah jangan dipilih
tariff yang termasuk dalam prohibited area.

5. Prinsip-prinsip Perpajakan
Prinsip-prinsip perpajakan yang berlaku umum juga berlaku
untuk perpajakan daerah dan retribusi. Berikut ini adalah prinsip-
prinsip perpajakan yang dapat digunakan untuk menentukan
sumber penerimaan yang cocok untuk pemerintah pusat dan sumber
yang cocok untuk pemerintah daerah.
a. Kecukupan dan Elastisitas

44 C.V. Brown dan P.M. Jackson, Public Sector Economics, Basil Blackwell, 1982,
hal. 241 dalam Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan: Teori dan Aplikasi, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005, hal.140.

38
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Persyaratan yang pertama dari suatu sumber penerimaan


tentu saja adalah kecukupan dari perolehan sumber tersebut
terutama apabila dikaitkan dengan biaya pelayanan yang mesti
diberikan. Akan tetapi, hal yang tak boleh dilupakan adalah
bahwa berbagai biaya cenderung tidak statis. Mereka meningkat
karena berbagai sebab, seperti misalnya inflasi, pertumbuhan
penduduk (khususnya di daerah perkotaan), naiknya standar
hidup yang menuntut standar pelayanan yang lebih tinggi, dan
karena perencanaan pembangunan nasional memang
menetapkan pelayanan untuk diperbaiki dan dikembangkan.
Karena itu, sumber-sumber penerimaan seyogianya cukup
elastis, yakni kapasitas untuk meningkatkan pendapatan cukup
besar sebagai respons terhadap tekanan meningkatnya
permintaan (belanja publik). Basis pajak juga seyogianya
meningkat (otomatis) seiring dengan meningkatnya harga-harga,
bertambahnya jumlah penduduk, dan ekspansi ekonomi.
b. Keadilan
Persyaratan atau kriteria utama yang kedua adalah keadilan
(atau pemerataan), yakni bahwa beban untuk belanja publik
seyogianya ditanggung oleh masyarakat secara proporsional
dengan kekayaan mereka. Dengan demikian, maka sistem
perpajakan akan baik apabila progresif, yaitu apabila persentase
pendapatan seseorang yang dibayarkan sebagai pajak
meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Sistem
tersebut cukup memadai apabila proporsional, yakni persentase
pendapatan yang dipajaki sama untuk setiap tingkat
pendapatan. Akan tetapi sistem ini buruk apabila regresif, yaitu
jika persentase pendapatan yang dipajaki menurun seiring
dengan meningkatnya pendapatan.
Dalam hal pajak daerah, persoalan keadilan ini mesti dilihat
dari tiga dimensi. Pertama, beban pajak mesti seimbang antara
kelompok masyarakat yang berada di tingkat pendapatan yang

39
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

berbeda (masalah keadilan vertikal). Kedua, beban mesti


seimbang antara kelompok dengan sumber pendapatan yang
berbeda. Orang yang menerima pendapatan tetap (gaji)
seyogianya tidak diberi beban lebih dibandingkan dengan
mereka yang punya pendapatan sama tetapi dari usaha sendiri
atau misalnya, dari sektor pertanian (masalah keadilan
horizontal). Ketiga, beban pajak juga seyogianya tidak boleh
berbeda hanya karena seseorang tinggal di daerah yang berbeda
(keadilan secara geografis). Yang terakhir ini sangat mungkin
terjadi untuk mereka yang tinggal di perbatasan daerah (kota)
satu dengan lain.
Keadilan juga semestinya dinilai dengan melihat kaitan
antara penerimaan dan belanja. Adalah cukup adil apabila
pajak yang lebih tinggi dikenakan kepada mereka yang tinggal di
daerah dengan kualitas pelayanan pemerintah yang sangat baik.
Sementara adalah tidak adil apabila orang secara relatif
dikenakan pajak yang lebih berat sementara mereka hanya
menikmati pelayanan di bawah standar.
Oleh karena itu, dengan alasan keadilan, maka struktur
pajak yang progresif sangat diinginkan. Artinya, masyarakat
yang berada pada kelompok pendapatan terbawah mestinya
menanggung beban pajak yang sangat ringan atau dibebaskan
sama sekali. Namun demikian, pengaturan serupa itu lebih
mudah dilakukan di negara-negara maju/industri. Di negara-
negara sedang berkembang, dimana sebagian besar masyarakat
berada pada kelompok pendapatan bawah, besar kemungkinan
basis pajak yang dari kelompok pendapatan menengah atas
relatif terlalu kecil untuk bisa menanggung semua (atau
sebagian besar) belanja publik.
c. Kapasitas Administratif
Tuntutan kemampuan administrasi dalam hal keahlian,
integritas, dan determinasi sangat bervariasi (berbeda-beda)

40
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

untuk berbagai sumber penerimaan. Variasi yang sangat besar


juga terjadi dalam hal waktu dan uang yang digunakan dalam
rangka pengumpulan hasilnya. Di banyak negara berkembang
mayoritas penduduk bekerja di sektor informal dengan
kecenderungan bekerja sendiri, dimana pendapatan atau
penghasilannya sulit untuk diperkirakan. Biaya administrasi
untuk menilai dan menghimpun pajak langsung (pajak
pendapatan atau pajak kekayaan) dari masyarakat yang punya
karakteristik sedemikian cenderung sangat tinggi, walaupun
perolehan rata-ratanya sangat mungkin rendah.
Di sisi lain, perolehan sangat signifikan bisa diperoleh lewat
pajak atas bahan bakar, misalnya, dengan biaya administrasi
yang relatif rendah. Dalam perekonomian serupa itu ada
kecenderungan kuat (atas dasar kemudahan administrasi)
untuk banyak bergantung pada pajak-pajak tidak langsung,
dimana pembebanan bisa dilakukan secara formal atas
transaksi-transaksi komersial kepada importir, pabrikan,
distributor, pemilik toko, dan lain-lain. Ini tentu saja belum
tentu konsisten dengan pertimbangan pemerataan beban pajak.
d. Kesepakatan Politis
Tidak ada satu pajak pun yang populer. Orang punya
kecenderungan untuk menghindari membayar pajak, apabila
ada peluang untuk itu. Oleh karena itulah membayar pajak
merupakan kewajiban bagi masyarakat dengan konsekuensi
hukum bagi pelanggarnya. Namun demikian, antara satu pajak
dengan lainnya tidak memiliki kadar popularitas yang sama.
Sehingga dengan demikian, terutama sekali untuk pajak-pajak
yang tidak populer, dibutuhkan kemauan politis untuk
menerapkannya.
Kadang-kadang, sensitivitas politik menyebabkan
terbawanya fokus pembahasan kepada isu-isu spesifik seperti
misalnya apakah tanah mesti dipajaki, atau apakah air bersih

41
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

mesti dikenakan pungutan, dan lain-lain. Atau, fokus juga bisa


terbawa kepada kepentingkan kelompok-kelompok tertentu,
seperti pemilik tanah, pegawai negeri, pengusaha, dan lainnya.
Secara umum, pajak-pajak akan kurang sensitif secara politik
apabila dikenakan secara tidak langsung, dan tidak terlalu
melibatkan banyak pihak (seperti DPR/D) dalam penentuan
tarif, misalnya.
Pada akhirnya, keputusan pembebanan pajak sangat
tergantung pada kepekaan masyarakat, pandangan masyarakat
secara umum tentang pajak, dan nilai-nilai yang berlaku pada
masyarakat di suatu daerah. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu
kesepakatan bersama bila dirasakan perlu dalam pengambilan
keputusan perpajakan.
e. Efisiensi Ekonomi
Perpajakan pada dasarnya memiliki dua tujuan: untuk
menyediakan dana bagi kepentingan publik dan mempengaruhi
perilaku ekonomi. Pajak jelas sekali amat memengaruhi
keputusan-keputusan individual. Sebagai misal, pajak tanah
dan bangunan sangat memengaruhi keuntungan dalam
membangun dan menyewakan rumah, pajak penjualan sangat
memengaruhi harga pembelian pakaian, pajak hiburan sangat
mempengaruhi ongkos untuk menonton film di bioskop, dan
seterusnya. Oleh karena itu, penilaian atas suatu pajak juga
mesti dilihat dari pengaruhnya atas keputusan wajib pajak,
keinginannya untuk bekerja, mengkonsumsi produk,
menabung, dan berinvestasi.
Kriteria efisiensi ekonomi ini secara umum lebih
bermanfaat untuk digunakan dalam menilai pajak pusat
ketimbang pajak daerah. Ada dua alasan yang mendasari hal
ini. Pertama, adalah pemerintah pusat yang bertanggung jawab
akan manajemen perekonomian secara keseluruhan (makro),
dan yang bisa menggunakan pajak untuk memengaruhi

42
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

perilaku ekonomi. Kedua, skala dari pajak-pajak daerah pada


umumnya tidak mencukupi untuk mengubah pilihan-pilihan
masyarakat. Namun demikian, apakah pajak daerah akan
mempunyai dampak yang buruk atau tidak terhadap
perekonomian daerah, haruslah menjadi perhatian yang serius.
f. Kesesuaian sebagai Pajak Daerah
Administrasi perpajakan oleh daerah memunculkan berbagai
pertanyaan yang terkait dengan persoalan layak atau tidak.
Beberapa isu yang menyangkut kemampuan administratif telah
disinggung. Beberapa hal lain akan disebut berikut ini.
Pertama, terkait dengan persoalan apakah sudah cukup
jelas kepada pemerintah daerah mana kewajiban pajak mesti
dibayarkan. Kedua, terkait dengan persoalan pertama itu,
apakah tempat pengumpulan pajak yang feasible adalah juga
tempat pembayaran secara efektif dilakukan. Ketiga,
menyangkut kemungkinan variasi dalam penerapan tarif pajak
atau aturan-aturan penilaian pajak. Idealnya, pemerintah
daerah punya kewenangan dalam menentukan tarif, membuat
keputusan akan berbagai tingkatan pajak, serta menentukan
pelayanan yang diberikannya.

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta


Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat.
1. Umum
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam penyelenggaraan
PDRD dilihat dari landasan filosofisnya berkaitan dengan tugas negara
yang ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sehingga upaya untuk mewujudkan hal tersebut sejak dahulu,
sekarang maupun diwaktu mendatang dilakukan melalui pemungutan
pajak, retribusi dan pungutan lain. Landasan Sosiologis penyusunan
Naskah Akademik dan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD

43
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

adalah dalam teori pemungutan pajak ada kalanya wajib pajak tidak
begitu dilibatkan dalam penghitungan jumlak pajak yang harus dibayar
karena penetapan besar kecilnya hutang pajak yang harus dibayar
yang menetapkan jumlahnya adalah aparat pajak (Official Assessment
System). Selain itu terdapat ketentuan juga yang menyatakan bahwa
masyarakat Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menghitung sendiri
besar kecilnya jumlah pajak yang harus dibayar (Self Assessment
System). Bahkan ada juga dalam pemungutan pajak melibatkan pihak
ketiga (With Holding System). Sedangkan landasan yuridis pemungutan
pajak oleh negara sudah diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal 23A
yang berisi bahwa “Pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara di atur dengan undang-undang”.
Pengelolaan pajak baik pajak pusat maupun daerah didasarkan
pada Undang-Undang. Filosofis ini tercermin pada Pasal 23A UUD 1945
bahwa pengelolaan pajak telah mengikutsertakan rakyat melalui wakil-
wakilnya di legislatif.45 Tanpa persetujuan dari rakyat melalui
DPR/DPRD maka pemungutan dan pengalokasian pajak menjadi tidak
sah.46 Pengelolaan pajak dibedakan menjadi dua, yaitu pengelolaan
pajak oleh pemerintah pusat yang disebut sebagai pajak pusat dan
pengelolaan pajak yang dikelola pemerintah daerah yang disebut
sebagai pajak daerah.47 Kegiatan pengelolaan pajak meliputi kegiatan
pengadministrasian pajak dan pendistribusian hasil pajak untuk
kepentingan umum.48 Pembedaan pengelolaan pajak ini didasarkan
pada asas desentralisasi dimana pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk menyelenggarakan sebagian kekuasaan
penyelenggaraan negara yang diserahkan oleh pemerintah pusat. 49

45 Dahliana Hasan, (Dosen FH UGM) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan

RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 12 Februari 2020.
46 Ibid.,
47 Ibid.,
48 Ibid.,
49 Ibid.,

44
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Secara teori dengan dilaksanakannya asas desentralisasi


pemerintahan, memberikan konsekuensi melahirkan otonomi daerah
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan
yang menjadi urusan pada setiap pemerintah daerah (local
governement) yang menjalankannya, adalah menimbulkan pembagian
kewenangan pada sektor keuangan untuk membiayai penyelenggaraan
urusan rumah tangga (otonomi) pada pemerintahan daerah tersebut.
Pada prinsipnya setiap daerah otonom harus dapat membiayai sendiri
semua kebutuhannya terutama yang yang bersifat anggaran rutin
penyelenggaraan pemerintahannya. Jika untuk menutupi kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat rutin ini, daerah
masih mengandalkan bantuan keuangan dari pusat maka
sesungguhnya daerah itu tidaklah otonom lagi. Jika diartikan bahwa
otonomi itu dipandang sebagai hak, wewenang bagi pemerintah daerah
untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah sendiri,
maka pada gilirannya akan menimbulkan kewajiban bagi segenap
aparatur pemerintah daerah untuk mensejahterakan masyarakatnya
dan sekalius juga meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian
daerahnya. Oleh sebab itu, adanya sejumlah dana (anggaran) yang
relatif memadai dan mencukupi merupakan prasyarat penting bagi
pencapaian hasil maksimal di dalam mengembangkan otonomi yang
dimilikinya. Dengan kata lain, bahwa untuk memungkinkan daerah
dapat menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri
dengan baik dibutuhkan sumber-sumber pembiayaan yang cukup
besar pula.
Sehubungan dengan hal-hal seperti disebutkan diatas, dapat
dimengerti jika kondisi keuangan daerah dapat disebutkan sebagai
salah satu indikator tingkat kualitas kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan mekanisme pemerintahan di tingkat daerah,
terutama dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Prasyarat menentukan kualitas kemampuan daerah ini salah satunya
tercermin dari keadaan alokasi tanggungjawab daerah memanfaatkan

45
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dan menggali sumber-sumber pendapatan yang tersedia, meskipun hal


tersebut tidak terlepas dari kehendak politik (political will) serta
kemampuan keuangan pemerintah pusat. Idealnya dalam hal
pembiayaan atas pelaksanaan asas desentralisasi (otonomi), setiap
daerah seharusnya mempunyai kesanggupan untuk membiayai dirinya
sendiri dari sumber-sumber pendapatan daerah (khususnya PAD) yang
dimilikinya.50 Undang-undang pemerintahan daerah terakhir yakni UU
Nomor 23 Tahuun 2014 yang juga mengatur tentang sumber-sumber
pendapatan daerah, pada ketentuan Pasal 285 ayat (1) disebutkan
bahwa PAD diantaranya adalah PDRD, yang selanjutnya sesuai dengan
ketentuan Pasal 286 ayat (1) UU tentang Pemerintahan Daerah akan
diatur lebih lanjut dengan undang-undang dan peraturan daerah. 51

Saat ini Undang-undang yang mengatur tentang PDRD adalah UU


tentang PDRD, meskipun beberapa pasal dalam undang-undang ini
telah dicabut berdasarkan 4 (empat) putusan MK yang mengabulkan
permohonan dari pemohon judicial review oleh pemohon warga negara
Indonesia.52
Secara atribusi berdasarkan ketentuan 286 ayat (1) UU Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka pengutipan PDRD
yang masing-masing telah menjadi kewenangan pemerintahan daerah
sesuai dengan tingkatannya yakni Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten dan Pemerintah Kota selama ini telah melahirkan berbagai
peraturan daerah untuk memungut PDRD sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.53
Untuk pengelolaan pajak daerah dilaksanakan oleh Gubernur atau
Bupati c.q. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah
(DPPKAD) atau nama lain yang memiliki fungsi sejenis.54

50 Faisal Akbar Nasution, (Dosen FH USU) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA


dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 18 Februari 2020.
51 Ibid.,
52 Ibid.,
53 Ibid.,
54 Dahliana Hasan, Loc.cit.

46
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Pengadministrasian pajak daerah berhubungan dengan pelaksanaan


pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah daerah baik
provinsi maupun kota.55 Kewenangan ini didasarkan pada UU tentang
PDRD dan peraturan daerah sebagai peraturan pelaksanaannya.56
Pengutipan pajak atau pungutan lainnya secara filosofis adalah
merupakan manifestasi hak dan kewajiban antara negara dengan
rakyatnya secara timbal balik di dalam rangka mewujudkan tujuan
negara sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD NRI
Thn 1945 dalam prinsip kenegaraan yang bersifat kekeluargaan dan
gotong royong sebagaimana telah dibangun oleh pendiri negara
(founding fathers) ketika melahirkan UUD NRI Tahun 1945 dalam
balutan ideologi Pancasila dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).57
Landasan Filosofis Pengenaan PDRD adalah raison d'être dari
keberadaan negara dan pemerintah. Dimanapun dimuka bumi ini,
tidak ada masyarakat yang akan dapat bertahan tanpa adanya
pemerintah dan negara. Bahkan pun bila terdapat peran yang kuat dari
sektor swasta keberadaan negara dan pemerintah tetap hal yang
esensial. Menurut Fukuyama dalam bukunya yang berjudul ‘The
Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution,
negara dan pemerintah tetap perl u ada dan tidak akan bisa
tergantikan meskipun ada peran swasta yang kuat. Hal tersebut
dikarenakan negara dan pemerintah memiliki tiga fungsi utama yaitu:
a. menyediakan barang dan jasa publik yang memiliki sifat yang non-
rivalry, nonexcludable dan beresiko free riding serta menimbulkan
tragedy of common
b. mengatur dan mengelola konsekuensi dan dampak yang muncul
dari adanya eksternalitas

55 Ibid.,
56 Ibid.,
57 Faisal Akbar Nasution, Loc.cit,.

47
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

c. mengendalikan kelompok masyarakat elite dan melakukan


redistribusi terhadap sumberdaya.
Ketiga fungsi pemerintah atau negara tersebut yang menjadi dasar
filosofis dari pengenaan PDRD. 58

Landasan filosofis dimasukannya beberapa substansi RUU tentang


Perubahan Atas UU tentang PDRD ke dalam RUU tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni
perlunya peningkatan kinerja pengelolaan PDRD sebagai salah satu
sumber utama pendapatan daerah guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan di Daerah. Landasan Sosiologis
dimasukannya beberapa substansi RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD ke dalam RUU tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni penyerahan
kewenangan pengelolaan PDRD kepada pemerintah daerah yang
didasarkan prinsip desentralisasi, agar lebih mendekatkan pelayanan
pemerintahan kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk
memantau dan mengontrol penggunaan APBD, dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat.59
Secara sosiologis, membayar pajak dan pungutan lainnya seperti
retribusi merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul serta
dipenuhi oleh seluruh rakyat yang telah memenehui kewajiban sebagai
wajib pajak atau retribusi, dimana seluruh hasil penerimaan pajak dan
retibusi itu digunakan untuk membiayai penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat berupa pengeluaran pemerintahan
(anggaran rutin) maupun pengeluaran pembangunan. Sehingga oleh
karena itu pengutipan pajak dan retribusi ini akan memberi manfaat
baik secara langsung maupun tidak langsung kepada seluruh rakyat
dalam segala aspek atau bidang kehidupan mereka, apakah itu dalam

58 Tutik Rachmawati, Dosen Universitas Parahyangan disampaikan dalam diskusi


penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 27 Februari 2020.
59 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), disampaikan dalam diskusi

penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 5 Februari 2020

48
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

bidang ekonomi, sosial budaya, keamanan dan pertahanan, serta


dalam bidang pembinaan ideologi dan politik. 60
Landasan sosiologis dari pengenaan pajak adalah pertimbangan
bahwa tugas dari negara atau pemerintah adalah melakukan
redistribusi sumber daya dalam masyarakat yang tidak merata. Secara
sosiologis, masyarakat terdiri dari kelas-kelas masyarakat. Tugas
utama pemerintah atau negara adalah melakukan transfer
kesejahteraan dari kelompok masyarakat elite yang memiliki akses
terhadap sumber daya yang sangat baik, kepada kelompok masyarakat
yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya. Selain itu, tugas
pemerintah untuk menyediakan perlindungan sosial bagi masyarakat
merupakan landasan sosiologis negara atau pemerintah memungut
pajak. Dengan uang yang didapatkan dari pemungutan pajak, maka
negara memiliki kewenangan untuk mengambil sejumlah sumber daya
tertentu (berupa sejumlah uang pajak yang dibayarkan) dari elite dan
membagikannya kepada masyarakat yang lain.61
Adapun yang menjadi landasan yuridis pengutipan pajak ini
adalah seperti diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang”.62Dengan demikian kewajiban
membayar pajak merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul serta
dipenuhi oleh seluruh rakyat yang telah memenehui kewajiban sesuai
dengan syarat-syarat yang akan diatur dengan undang-undang.
Kewajiban membayar pajak adalah dimaksudkan untuk membiayai
penyelenggaraan kehidupan bernegara sehingga jalannya roda
pemerintahan baik yang ada baik ditingkat pusat maupun daerah
dapat berlangsung dengan baik. Ketentuan tentang pengutipan pajak
ini harus diatur dengan undang-undang adalah perwujudan sebuah
negara demokrasi dimana posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan

60 Faisal Akbar Nasution, Loc.cit.


61 Ibid.,
62 Ibid.,

49
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

negara harus dijunjung tinggi dan dihormati, sehingga setiap kewajiban


yang membebankan rakyat maka harus diminta persetujuan terlebih
dahulu dari rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat.63 Secara teori, pengadministrasian dan
pengalokasian hasil pajak yang atur dalam UU tentang PDRD
mengakomodir prinsip equality, certainty, convinience of payment dan
economic of collection.64
RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD ini sebaiknya
tidak overlap dengan UU tentang Pemerintahan Daerah. Asas
harmonisasi perundang-undangan harus benar-benar diperhatikan
dalam penyusunan RUU ini. Untuk menghindari overlap dengan UU
Otonomi daerah maka diperlukan kajian untuk melihat terlebih dahulu
poin poin dalam UU tentang Pemerintahan Daerah yang
kontraproduktif atau menghambat daerah dalam mengumpulkan
PDRD. Poin-poin kelemahan tersebut yang kemudian harus direspon
dalam poin-poin di RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
ini.65
Sistem pemungutan pajak dapat dilakukan menggunakan 4
(empat) teori yaitu Official Assessment System, Semi Self Assessment
System, Self Assessment System, dan With Holding System. Pembagian
jenis pajak dan retribusi daerah berdasarkan UU tentang PDRD
digolongkan menjadi 2 (dua) yakni Pajak Provinsi dan Pajak
Kota/Kabupaten. Pajak Provinsi dilakukan dengan pola pemungutan
yang meliputi66:
a. PKB (Official Assessment System);
b. BBNKB (Official Assessment System);
c. PBBPKB (White Holding System);
d. PAP (Official Assessment System); dan

63Ibid.,
64Dahliana Hasan, Loc.cit.
65Ibid
66 Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si. (Dosen FH UII), disampaikan dalam diskusi penyusunan

NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, 12 Februari 2020.

50
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

e. Pajak Rokok (With Holding System).


Pajak Kota/ Kabupaten dilakukan dengan pola pemungutan yang
meliputi67:
a. Pajak Hotel (White Holding System);
b. Pajak Restoran (White Holding System);
c. PPJ (White Holding System);
d. Pajak Parkir (Self Assessment System);
e. Pajak Reklame (official Assessment System);
f. Pajak Hiburan (With Holding System);
g. Pajak PBB obyek Perkotaan dan Perdesaan (Official Assessment
System);
h. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (Official Assessment
System);
i. Air Tanah (Official Assessment System);
j. Pajak Sarang Burung Walet (Self Assessment System); dan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Self Assessment
System).
Selama ini pelaksanaan pemungutan PDRD sudah menetapkan
dan menerapkan beberapa teori pemungutan pajak dalam UU tentang
PDRD. Namun dalam pemungutan PDRD, adakalanya terjadi sengketa
pajak antara Pemerintah Daerah dengan wajib pajak daerah. Terkait
hal tersebut dalam UU tentang PDRD belum ditemukan norma
penyelesaian sengketa pajak antara Pemerintah daerah dengan wajib
pajak. Penyelesaian sengketa pajak daerah dapat merujuk pada Pasal 2
UU Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan
bahwa ”Pengadilan Pajak, adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa pajak”.68 Selain itu kendala lain
yang dihadapi oleh Pemerintah daerah dalam pemungutan PDRD yaitu
menegakkan Peraturan Daerah terkait PDRD sehingga diperlukan

67Ibid.,
68 Ibid.,

51
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

inovasi sistem dengan teknologi untuk membantu Pemerintah Daerah


dalam pemungutan PDRD.69
Menurut Dosen FH UGM, pelaksanaan pemungutan pajak
ternyata memang belum menunjukkan hasil yang signifikan terkait
kemandirian keuangan daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan dan pelayanan publik. Kapasitas fiskal daerah tahun
2017 menunjukkan dari 508 Kabupaten/Kota di Indonesia, hanya
sekitar 25,2% daerah masuk dalam kategori tinggi dan sangat tinggi. 70
Hal ini berarti, masih banyak daerah-daerah di Indonesia
menggantungkan pemenuhan fiscal resources-nya dari dana
perimbangan (dalam hal ini Dana Alokasi Umum – DAU) daripada
pendapatan asli daerah. 71 Persoalan lain terkait dengan penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari
pemungutan pajak daerah.72 Masih ada celah penafsiran berbeda
antara pemerintah daerah dan wajib pajak sehingga menimbulkan
potensi ketidakpastian dan keraguan pemerintah daerah dalam
pemungutan pajak daerah.73 Berdasarkan Laporan dari BPK RI Tahun
2016, terdapat wajib pajak mineral bukan logam dan batuan yang
melakukan kegiatan usaha penambangan, tetapi tidak mempunyai ijin
sehingga pemerintah daerah tidak melakukan pemungutan pajak atas
kegiatan yang dilakukan.74 Hal ini menunjukkan adanya potensi pajak
yang hilang karena pemerintah daerah hanya bertumpu pada basis
wajib pajak mineral bukan logam dan batuan yang telah mempunyai
ijin kegiatan.75

69Eko Suwardi (Dekan FEB UGM), disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 12 Februari 2020.
70 Lampiran Peta Kapasitas Fiskal Daerah dalam PMK No. 119/PMK.07/2017 tentang

Peta Kapasitas Fiskal Daerah, sebagaimana dikutip oleh Dahliana Hasan, Loc.cit.,
71 Ibid.,
72 Ibid.,
73Ibid.,
74BPK RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016, Hasil
Pemeriksaan Pemerintah Daerah, hlm. 185, sebagaimana dikutip oleh Ibid.,
75Ibid.,.

52
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

PDRD berkaitan erat dengan pengelolaan anggaran daerah.


Pengelolaan anggaran daerah pada umumnya sudah meningkat hal
terbukti dengan predikat laporan keuangan semakin banyak yang
wajar tanpa pengecualian, namun penerimaan keuangan daerah saat
ini masih didominasi transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.76 Pemerintah Daerah wajib mengelola pemungutan pajak
sesuai dengan tata kelola yang baik. Penetapan tarif PDRD harus
memperhatikan fungsi penerimaan sekaligus fungsi mengatur/regulasi
karena dampak penetapan tarif harus dilihat jangka panjang dan
komprehensif jangan hanya demi pendapatan daerah jangka pendek
tetapi menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. UU
tentang PDRD mengatur tarif maksimum dan jarang daerah yang
mengatur tarif di bawah maksimum. Penetapan tarif itu sebaiknya
disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan daerah.77
Menurut Dosen FH UGM, Pengaturan PDRD dalam UU tentang
PDRD memberikan local taxing power yang cukup luas kepada
pemerintah daerah.78 Penambahan jenis pajak, perluasan basis pajak
dan kewenangan penetapan tarif pajak dalam batas maksimum atau
minimum sepanjang diatur dalam undang-undang tersebut,
seharusnya dapat dimaksimalkan oleh pemerintah daerah untuk
mendongkrak PAD.79 Namun, kewenangan yang cukup besar ini belum
dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan dalam penerapan tarif
pajak daerah pun belum sepenuhnya dieksekusi secara baik oleh
pemerintah daerah. Laporan BPK RI 2016 menunjukkan bahwa
terdapat pengenaan tarif pajak restoran, hiburan, reklame dan air
bawah tanah yang masih rendah dan tidak sesuai dengan ketentuan.80
Kewenangan pemerintah daerah dalam penetapan tarif pajak daerah
tersebut dilakukan dalam batas maksimum yang ditetapkan oleh UU

76Eko Suwardi, Loc.cit.,


77 Ibid.,
78Dahliana Hasan, Loc.cit.
79Ibid.,.
80BPK RI, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016, Hasil
Pemeriksaan Pemerintah Daerah, hlm. 185, sebagaimana dikutip oleh Ibid.,

53
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

tentang PDRD untuk menghindari beban yang berlebihan kepada


masyarakat. Ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menetapkan
tarif tersebut kemungkinan dengan alasan yang hampir sama
sebagaimana dalam perluasan basis pajak dimana pemerintah daerah
berusaha untuk menghindari konflik dengan wajib pajak.81 Terhadap
tarif pajak sebaiknya harus tegas diatur dan dirinci dalam undang-
undang agar jangan ditafsirkan secara berbeda ketika diturunkan
dalam level peraturan teknis/ Perda. 82
Menurut Dosen FH UGM, secara sosiologis, perubahan UU tentang
PDRD dipandang sebagai cara untuk menyesuaikan perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat terkait pemungutan pajak
dan retribusi daerah.83 Amandemen UU tentang PDRD diharapkan
memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan PAD sehingga
berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan dan pembiayaan
pembangunan daerah.84 Namun demikian, perubahan UU tentang
PDRD ini diharapkan tidak memberikan beban lebih kepada
masyarakat daerah sehingga menyebabkan kepatuhan menurun dan
tujuan pemungutan tidak tercapai.85 Dari sisi yuridis, perubahan UU
tentang PDRD diperlukan sebagai bentuk evaluasi untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat. 86 Beberapa
persoalan hukum terdapat dalam UU tentang PDRD misalnya
disharmonisasi ketentuan dalam UU tentang PDRD dengan peraturan
perundangan lainnya misal dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik (UU tentang Pelayanan Publik) dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2016 tentang Administrasi
Kependudukan (UU tentang Administrasi Kependudukan).87 Selain itu,

81Ibid.,
82 Ibid.,
83 Ibid.,
84 Ibid.,
85 Ibid.,
86 Ibid.,
87 Ibid.,

54
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

terdapat sebagian materi dalam UU tentang PDRD yang sudah tidak


berlaku dengan adanya Putusan MK.88
Selain itu, menurut Dosen FH UGM, terdapat beberapa ketentuan
dalam UU tentang PDRD yang perlu disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya seperti UU tentang Pelayanan Publik dan
UU tentang Administrasi Kependudukan.89 Diundangkannya kedua UU
tersebut membawa konsekuensi perubahan ketentuan dalam
pemungutan retribusi daerah atas pelayanan tera/tera ulang,
pelayanan pengujian kendaraan bermotor, pelayanan pemeriksaan alat
pemadam kebakaran, retribusi penggantian biaya cetak KTP dan Akta
Catatan Sipil dimana harus dihapuskan dari jenis retribusi. 90 Dasar
pertimbangan terhadap perubahan UU tentang PDRD dari sisi filosofis
terkait dengan konsep negara kesejahteraan yang terdapat dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat. Terwujudnya
kesejahteraan masyarakat juga menjadi tugas dari pemerintah daerah
di Indonesia. Semangat tersebut terejawantahkan dalam pemberian
kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerah
sejalan dengan konsep otonomi yang diatur dalam Pasal 18 UUD NRI
Tahun 1945. Dalam menjalankan konsep tersebut, pemerintah daerah
perlu diberikan kewenangan terhadap pengelolaan sumber-sumber
pendapatannya.91 Salah satunya adalah PDRD.92
Landasan Yuridis dimasukannya beberapa substansi RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD ke dalam RUU tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni
beberapa materi yang diatur dalam UU tentang PDRD tumpang tindih
dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan
perundangundangan terkini, perlunya perluasan basis pajak daerah,

88 Ibid.,
89 Ibid.,
90 Ibid.,
91 Ibid.,
92 Ibid.,

55
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

perlu diberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk meninjau


kembali tarif pajak daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal
untuk mendorong perkembangan investasi di daerah. Sedangkan
jangkauan dan arah Pengaturan PDRD adalah redefinisi beberapa
ketentuan terkait dengan jenis, objek pajak, wajib pajak, dan dasar
pengenaan pajak daerah; Pencabutan dan penyesuaian pengaturan
jenis pajak daerah dan jenis retribusi daerah dengan Peraturan
Perundang-undangan terkait dan Putusan MK; Sinkronisasi
pengaturan pemungutan PDRD sejalan dengan ketentuan umum dan
tata cara perpajakan nasional. Sasaran yang ingin diwujudkan dengan
memasukan materi muatan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang
PDRD ke dalam RUU tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni meningkatkan
kewenangan daerah dalam PDRD dengan memperluas basis Pajak
Daerah, penguatan administrasi pemungutan PDRD, terwujudnya
sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan terkait,
terwujudnya sinkronisasi dengan Putusan MK terkait PDRD,
tercapainya penyempurnaan pengawasan Peraturan Daerah (peraturan
daerah) tentang PDRD, terwujudnya kewenangan pemerintah pusat
dalam pengendalian tarif pajak daerah dalam rangka pemberian
insentif untuk melakukan investasi.93
Adapun pokok-pokok kebijakan PDRD dalam RUU tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah yakni restrukturisasi pajak daerah, rasionalisasi retribusi
daerah, penguatan dasar hukum pengenaan pajak daerah, dan
penguatan administrasi, pengawasan dan pengendalian serta
pengaturan insentif pemungutan PDRD. Restrukturisasi pajak daerah
dilakukan dengan mengklusterisasi penjualan dan/atau penyerahan
BBNKB; makanan dan/atau minuman; tenaga listrik; jasa penginapan

93Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), disampaikan dalam diskusi

penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 5 Februari 2020.

56
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dan penyewaan kamar dan/atau ruangan; jasa parkir; jasa penyediaan


sarana dan prasarana olahraga; jasa kesenian dan hiburan; dan jasa
rekreasi menjadi Pajak Barang Jasa Tertentu. Adanya Opsen terkait
pajak mineral bukan logam dan batuan di provinsi, opsen PKB
kabupaten/kota, opsen BBNKB kabupaten/kota, opsen pajak barang
dan jasa tertentu provinsi atas penjualan dan/atau penyerahan
makanan dan/atau minuman dan jasa penginapan dan penyewaan
kamar dan/atau ruangan.
Rasionalisasi retribusi daerah dilakukan melalui penyederhanaan
retribusi jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu. Retribusi jasa
umum dalam RUU HKPD terdiri dari pengendalian lalu lintas,
pelayanan kesehatan, pelayanan kebersihan, pelayanan pasar, dan
parkir di tepi jalan umum. Retribusi jasa usaha terdiri dari pelayanan
barang dan/atau jasa sedangkan retribusi perizinan tertentu terdiri
dari 2 jenis yaitu izin mendirikan bangunan dan izin menggunakan
tenaga kerja asing untuk tahun kedua dan seterusnya.94
Penguatan dasar hukum pengenaan pajak daerah dilakukan
dengan mengamatkan pedoman penetapan NPA oleh pusat agar tidak
menghambat investasi, hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan atau
tidak dijual dikecualikan dari objek mineral bukan logam dan batuan
(yang selanjutnya disingkat MBLB); penyelenggaraan negara dan
lembaga negara lainnya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dikecualikan dari objek BPHTB; pengecualian
PBB untuk perkantoran semua penyelenggara negara yang dibiayai
sebagian atau seluruhnya dari APBN, pengecualian PBB untuk veteran
dan penerima tanda jasa bintang gerilya, fasilitas circuit breaker
berupa pembebasan PBB untuk pensiunan, fasilitas PBB untuk
masyarakat berpenghasilan rendah dan untuk nilai jual tertentu yang
ditetapkan oleh kepala daerah, dan nilai jual kena pajak (assessment
value) minimal dan maksimal ditetapkan pusat; dan lain-lain.

94Ibid.,

57
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Penguatan Administrasi Perpajakan dilakukan melalui sistem


pemungutan pajak yang diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah,
penetapan official assessment untuk PBB, PKB, Bea BBNKB, PAP, PAT,
Pajak Alat Berat (yang selanjutnya disingkat PAB), dan pajak reklame
sedangkan untuk self assessment dilakukan terhadap Pajak Barang
dan Jasa tertentu (yang selanjutnya disingkat PBJT), BPHTB, MBLB,
dan Opsen. Terkait pengawasan dan pengendalian dilakukan dalam
Perda, muatan perda akan fokus pada pengaturan tarif dan peraturan
pelaksananya diatur dalam peraturan kepada daerah, dan pemerintah
pusat dapat mengintervensi tarif pajak daerah melalui Perpres.
Penguatan Insentif Pemungutan PDRD dilakukan melalui pengaturan
pemberian insentif, kriteria pemberian insentif dilakukan melalui
pencapaian realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan potensi,
penyelesaian piutang pajak, peningkatan kualitas pelayanan
perpajakan, pencapaian target penjaringan wajib pajak baru.95
Sasaran yang akan diwujudkan dalam RUU tentang Perubahan
Atas UU tentang PDRD yaitu peningkatan penerimaan daerah dari
sektor PDRD dan meningkatkan kesadaran masyarakat subyek pajak
yang memiliki obyek pajak membayar PDRD tepat waktu. Ruang
lingkup subyek pajak maupun obyek pajaknya harus diperluas (seperti
dahulu salah objek pajak/retribusi daerah adalah plembir sepeda
namun berdasarkan UU tentang PDRD hal tersebut tidak menjadi objek
pajak/retribusi daerah. Seharusnya objek pajak/retribusi daerah yaitu
plembir sepeda perlu dijadikan objek pajak/retribusi daerah karena
sepeda sekarang harganya ada yang sampai jutaan rupiah). Sedangkan
Arah pengaturan dalam menyusun RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD harus jelas kepastian hukumnya.
Sasaran perubahan UU tentang PDRD yang juga perlu
dipertimbangkan adalah meningkatkan sistem administrasi pajak
dalam pemungutan PDRD melalui penggunaan teknologi informasi
serta perlu adanya harmonisasi dengan peraturan perundang-

95Ibid.,

58
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

undangan terkait.96 Jangkauan dan arah pengaturan deregulasi jenis


pajak daerah dan jenis retribusi daerah dalam perubahan UU tentang
PDRD disesuaikan dengan peraturan perundangan lainnya dan
Putusan MK.97 Selain itu, perlu dipertimbangkan penguatan
administrasi melalui online sistem serta koordinasi data antara
pemerintah pusat dan daerah.98 Beberapa upaya yang perlu
dipertimbangkan:99
a. Perbaikan administrasi perpajakan daerah berbasis online system
termasuk juga peningkatan kapasitas SDM sehingga mampu
bekerja secara professional dan berintegritas tinggi;
b. Memberikan insentif terhadap beberapa jenis pajak daerah untuk
menarik investasi dan promosi pariwisata, misalnya Pajak Hotel;
c. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak daerah serta retribusi daerah;
d. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara intensif dan
berkesinambungan melalui berbagai media untuk meningkatkan
pemahaman atas pemungutan PDRD;
e. Mengevaluasi dan memperbaharui NJOP secara rutin (misal: 2
tahun sekali) sehingga dapat memberikan kontribusi positif
terhadap PAD.
f. Konsep earmarking dalam PDRD, artinya harus juga ada review
terkait peruntukan PDRD.
g. Perlu dikaji pula terkait metode opsen apabila hendak diterapkan
apakah nantinya tidak memberatkan wajib pajak.
Dalam rangka meningkatkan penerimaan PDRD maka perlu
dilakukan sistem monitoring terhadap SP maupun OP Pajak Daerah,
Contoh: Obyek PBB perdesaan dan perkotaan riilnya dihitung per-1
Januari tahun yang bersangkutan dalam tahun pajak 1 Januari s/d 31
Desember. Terhadap obyek PBB tersebut apakah tanah yang tidak

96 Dahliana Hasan, Loc.cit.,


97Ibid.,
98 Ibid.,
99Ibid.,

59
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

memiliki bangunan atau pernah ada bangunan tapi bangunanya sudah


dirobohkan termasuk dalam PBB perdesaan dan perkotaan karena hal
ini akan mempengaruhi kewajiban dalam melunasi pajaknya; dan perlu
dilakukan evaluasi terkait efektivitas ketentuan dalam pembayaran
maupun pemungutan PDRD. Misalnya bagaimana effektifitas
ketentuan Pajak Motor yang menggunakan tarif progresif. Sebagai
contoh dalam rumah tangga terdiri dari Ayah, Ibu, Anak; rumah tangga
tersebut memiliki tiga mobil atas nama ayah, Ibu dan Anaknya. Secara
yuridis kendaraan bermotor itu tidak bisa dikenai tarif progresif.
Pengawasan dalam pemungutan PDRD harus dilakukan secara
rutin yang mana pemungutan tersebut dilakukan dengan mengguna
teori Self Assessment System dan With Holding System karena yang
aktif menghitung pajak adalah Wajib Pajak maupun pihak ketiga
sebagai pemotong pajak. Dalam praktiknya terdapat beberapa putusan
MK yang membatalkan beberapa pasal dalam UU tentang PDRD yakni
Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-
XII/2014, Putusan MK Nomor 15/ PUU-XV/2017, dan Putusan MK
Nomor 80/PUU-XV/2017. Berdarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Tentang MK, tidak mengakomodir adaya upaya hukum terhadap
putusan MK yang telah dijatuhkan. Keputusan MK bersifat final dan
mengikat, yaitu sebagai putusan tingkat pertama sekaligus pula
putusan tingkat terakhir (putusan final). Akibat hukum yang
ditimbulkan dari adanya putusan MK tersebut yaitu pencari keadilan
tidak memiliki alternatif lain dan mau atau tidak mau, suka maupun
tidak suka harus menerima putusan yang dijatuhkan.
Dalam rangka mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi
terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat oleh putusan MK RI jika merujuk pada pendapat
Moh.Mahfud MD yang menyatakan MK merupakan negative legislator
yang mana hal ini dapat memaknai sebagai tindakan MK yang dapat
membatalkan norma dalam yudicial review Undang-Undang terhadap

60
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

UUD NRI Tahun 1945 atau membiarkan norma yang diberlakukan


oleh lembaga legislatief tetap berlaku dengan menggunakan original
intent RI 1945 sebagai tolok ukurnya. Moh. Mahfud menambahkan
bahwa positive legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada
lembaga negara yaitu DPR dan pemerintah yang memiliki norma untuk
membuat norma. Jadi dapat disimpulkan bahwa negative legislator
adalah tindakan MK yang membatalkan norma yang ada dalam suatu
UU bila bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Sedang positive
legislator adalah organ atau lembaga (merujuk pada lembaga Negara
yaitu DPR RI dan Pemerintah) yang memiliki kewenangan membuat
norma. Untuk mengakhiri kekosongan norma sudah selayaknya secara
yuridis konstitusional DPR dan Pemerintah segera melakukan revisi UU
terhadap seluruh norma yang dibatalkan oleh MK.
Sementara itu menurut Dosen FH UGM, rumusan normatif
mengenai putusan MK yang berisikan putusan mengabulkan
permohonan pengujian materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari UU terhadap UUD NRI tahun 1945 dapat ditemukan dalam, Pasal
56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi
(yang selanjutnya disebut “UU MK”). 100 Konsekuensi dari putusan MK
yang mengabulkan permohonan menyebabkan materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dimaksud tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.101 Bunyi putusan demikian
mengandung makna bahwa norma yang diuji tersebut dinyatakan batal
(null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan MK bersifat final.
Artikulasi putusan final adalah tidak dapat dilawan atau tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh seperti banding, kasasi ataupun,
peninjauan kembali. Akibat tidak dapat dilawan maka putusan final

100Ibid.,
101 Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5226), sebagaimana dikutip oleh Ibid.,

61
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

berimplikasi langsung memperoleh kekuatan hukum. Putusan MK


memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum102 sehingga wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan rakyat, maupun
masyarakat atau bersifat erga omnes. Putusan MK yang menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-
undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan
dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Putusan yang demikian memiliki implikasi hukum ibarat
pisau bermata dua yang mana di satu sisi memberi kemanfaatan pada
para pencari keadilan (justiabelen), sedangkan di sisi lain dapat
berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal
vacuum).103
Putusan MK yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum
(legal vacuum) lazimnya muncul karena persoalan sulitnya
implementasi eksekusi putusan tersebut (non-self excecution).104 Patut
dimaknai bahwa sulitnya implementasi merujuk pada kekacauan
hukum (legal disorder). Sebagai contoh Putusan MK Nomor 012/PUU-
I/2003 tanggal 28 Oktober 2004. Dalam putusan tersebut, MK
menganulir Pasal 158 ayat UU Ketenagakerjaan karena dinilai
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
karena memberikan kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan
PHK dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat tanpa melalui
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga
bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of

102 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226), sebagaimana dikutip oleh Ibid.,
103 Topane Gayus Lumbuun, “Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR

RI”, Legislasi Indonesia, Vol.6, No. 3, September 2009, hlm. 498, sebagaimana dikutip oleh
Ibid.,
104 Istilah non-self excecution merupakan lawan kebalikan (a contrario) dari istilah self

excecution. Lihat dalam: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta :
Konstitusi Press, 2010, hlm. 364, sebagaimana dikutip oleh Ibid.,

62
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

innocence). Adanya putusan MK tersebut memunculkan kontroversi


karena pengusaha tidak bisa melakukan PHK kepada pekerja/buruh
berdasarkan kesalahan berat seperti penipuan, pencurian, atau
penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.105
Fakta menunjukkan tidak sedikit pekerja/buruh yang melakukan
penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan.106 Keadaan tersebut akan menyebabkan kekacauan
hukum (legal disorder) yang terjadi karena kekosongan hukum akibat
dibatalkannya ayat, atau pasal dalam undang-undang yang diuji oleh
MK. Menindaklanjuti inkonstitusionalnya Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan, pada tanggal 7 Januari 2005 Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE.
13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang Putusan MK Atas Hak Uji Materiil
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia
yang menyatakan bahwa pengusaha dapat melakukan PHK kepada
pekerja/buruh apabila terdapat "alasan mendesak". Sampai saat ini
keberadaan SE tersebut tidak pernah mendapatkan challenge dari
pihak manapun (diajukan pengujian ke Mahkamah Agung).
Beranjak dari penjelasan paragraf di atas, untuk mengisi
kekosongan hukum (legal vacuum) sebagai implikasi terhadap pasal
atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
oleh MK adalah dengan cara membuat peraturan pelaksana. 107 Sudah
barang tentu dalam peraturan pelaksana tersebut wajib berisikan
norma yang sesuai dengan putusan MK.108
Upaya yang bisa dan perlu dilakukan untuk meningkatkan
sumber-sumber penerimaan dari pendapatan asli daerah (PAD)
terutama dari hasil pajak dan retribusi daerah, adalah melalui

105Ibid.,
106Ibid.,

107Ibid.,
108Ibid.,

63
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan dan retribusi daerah.


Intensifikasi berupa pemetaan sumber-sumber pemajakan daerah yang
belum tersentuh obyek pajaknya, apakah karena ketidakterjangkauan
wajib pajaknya seperti pajak hiburan, pajak hotel atau pajak restoran
yang menjadi wewenang pemerintah kabupaten dan kota, PKB bagi
kenderaan yang telah lewat waktu kewajiban membayar pajaknya
(dilakukan pemutihan) dan juga dengan BBNKB yang menjadi
wewenang pemerintah provinsi.109
Sedangkan ekstensifikasi pemajakan adalah berupa pengusulan
pajak-pajak baru yang sumber dan obyek pajaknya terdapat pada
daerah (terutama daerah kabupaten dan kota dan mempunyai
mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di
wilayah daerah kabupaten/kota), sebagaimana pernah berlaku dimasa
berlakunya UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
seperti misalnya pajak mutiara yang banyak dibudidayakan
masyarakat yang berada di kawasan Indonesia Timur. Begitu pula
pengusulan bagi hasil pajak negara yang dipungut oleh pemerintah
pusat seperti PPh, PPn, pajak ekspor dan impor, bea cukai, dan lain-
lainnya yang dimasa lalu sewaktu berlakunya UU tentang Perimbangan
Keuangan, daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya
sendiri menjadi sumber pajak yang dapat dibagi hasilkan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang memasukkan
unsur bagi hasil beberapa pajak negara berdasarkan persentase
tertentu, seperti yang yang diatur dalam setiap tahun dalam peraturan
pemerintah yang menjadi peraturan pelaksanan undang-undang ini.110
Rasionalitas bagi hasil pajak-pajak negara ini adalah karena ia
juga dipungut dari setiap wajib pajak yang berdiam diseluruh daerah di
Indonesia, dimana kontribusi daerah juga dapat dianggap cukup
signifikant terhadap kelancaran administrasi pengutipan pajak-pajak

109Faisal Akbar Nasution, Loc.cit


110 Ibid.,

64
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

negara tersebut. Misalnya dari segi keamanan dan infra struktur


pelayanan administrasi pemerintahan yang sudah disediakan dan
dirawat oleh pihak pemerintah daerah.111
Akibat Putusan MK atas dikabulkannya permohonan dari setiap
orang warga negara Indonesia atau badan hukum (publik maupun
privat) dan kesatuan masyarakat hukum adat serta lembaga negara
yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan
pengujian undang-undang (judicial review) yang menganggap hak atau
kewenangan konstitusional dirugikan dengan berlakunya sebuah
undang-undang yang diangap bertentangan dengan ketentuan yang
terdapat di dalam UUD NRI Tahun 1945, maka bila permohonan
tersebut dikabulkan oleh para hakim di MK akan berakibat ketentuan
yang terdapat di dalam pasal atau ayat di dalam sebuah undang-
undang yang digugat itu menjadi dicabut dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat lagi, dan keberlakukannya berlaku bagi
semua warga masyarakat (asas erga omnes), sehingga dalam kasus ini
ketentuan UU tentang PDRD yang telah digugat elemen masyarakat
atau badan hukum itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat dan memang membawa implikasi terhadap
berkurangnya hasil pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi
daerah terkait dengan ketentuan yang sudah dicabut tersebut.112
Sebagai warga negara yang baik dan taat atau patuh kepada
hukum, dan begitu juga bagi pihak terkait dengan permohonan ini
yaitu pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan Presiden,
serta terutama bagi setiap pemerintah daerah yang merasakan
langsung akibat putusan itu harus mematuhinya agar prinsip negara
kita menganut negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD NRI Tahun 1945 dapat ditegakkan.113

111 Ibid.,
112Ibid.,
113Ibid.,

65
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Kedudukan sebuah penjelasan dalam sebuah peraturan


perundang-undangan dalam praktek penegakan hukum hanyalah
bersifat menjelaskan atau menerangkan ketentuan norma hukum yang
terdapat dalam batang tubuh sebuah peraturan perundang-undangan
dan bukan merupakan norma hukum, tetapi sekedar hanya memberi
penjelasan atas maksud pembentuk peraturan perundang-undangan
tersebut supaya lebih dapat dipahami dalam penegakan hukumnya
(Memori van Toelichting).114
Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto penjelasan merupakan
suatu kesatuan penjelasan resmi dari pembentuk peraturan
perundang-undangan yang dapat membantu untuk mengetahui
maksud latar belakang peraturan perundang-undangn itu
diadakan, serta untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang
masih memerlukan penjelasan (Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998:
174).115
Menurut UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, bahwa: Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk
Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang
tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap
kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas
norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya
ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Selanjutnya dikatakan
dalam Lampiran undang-undang ini: Penjelasan tidak dapat digunakan
sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak
boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Penjelasan tidak
menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.116
Kondisi pengelolaan Anggaran Daerah Provinsi Sumatera utara

114Ibid.,
115Ibid.,
116Ibid.,

66
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

tahun 2020 mengalami peningkatan kualitas dalam penempatan porsi


sesuai dengan tujuan dari RPJMD/RKP 2020, RJPMD/RKPD 2020
Kab/kota se Suamtera Utara dan RPJMN/RKPN (visi misi Negara)
tahun 2020 yang semakin transparan dan akuntabel yang didukung
dengan teknologi sistem informasi/aplikasi Pengelolaan Keuangan yang
terintegrasi. Target penerimaan TA. 2020 stabil dan cenderung
meningkat seiring dengan hasil evaluai tahun 2019 dan 2018 dimana
sektor perpajakan dari sisi PAD (PKB dan BBNKB) mengalami
peningkatan 5%.117
Permasalahan dan kendala yang utama terdapat pada Pajak Air
Permukaan, dimana sering terjadi selisih antar penghitungan Tim Pajak
dengan Wajib Pajak. Penghitungan tarif pajak saat ini sudah mendekati
ideal dengan adanya system progressive, dibutuhkannya dukungan
teknologi penerapan NIK kepada Wajib Pajak agar proses penetapan,
penagihan dan pembayaran semakin optimal dengan adanya
pembayaran secara online.118
Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali
sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Provinsi dan
Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem
Pemerintahan Daerah, dalam rangka menyelnggarakan Otonomi
Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan
pemerintahan menjadi kewenangan daerah.119
Sangat penting bagi daerah untuk berinovasi dalam hal mencari
atau membuat/menetapkan sumber penerimaan baru agar arah
kemandirian dalam hal pendapatan/penerimaan daerah. Untuk
mewujudkan kemampuan dan kemandirian daerah serta memperkuat

117 Abdul Kadir, (Dosen FE Universitas Medan Area) disampaikan dalam diskusi
penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 19 Februari 2020.
118Ibid.,
119Ibid.,

67
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

struktur penerimaan daerah, maka kontribusi PAD dalam struktur


APBD harus senantiasa ditingkatkan karena merupakan salah satu
tolak ukut kemampuan dan cermin kemandirian Daerah. Minimnya
perolehan PAD masing dianggap sebagai hambatan dan ini harus
segera dievaluasi secara sungguh-sungguh oleh masing-masing
pemerintah Daerah dalam upaya peningkatan pelayanan dan fasilitasi
kepada masyarakat.120
Optimalisasi penerapan sistem Aplikasi Pengelolaan Keuangan
yang dimulai dari:121
a. Perencanaan;
b. Penganggaran;
c. Pelaksanaan APBD;
d. Pertanggungjawaban dari pelaksanaan APBD;
e. Pengadaan barang dan jasa;
f. Pengawasan dari Inspektorat; dan
g. Semua unsur-unsur yang diatas terintegrasi dalam suatu sistem
aplikasi.
Salah satu isu yang perlu dipertahankan di dalam UU tentang
PDRD yang ideal adalah penerapan sistem closed list untuk menjamin
kepastian hukum bagi dunia usaha dan masyarakat sekaligus
kepastian aktivitas berbisnis bagi pengusaha. Sistem Closed List
memberi kepastian penerapan perpajakan yang transparan bagi para
pelaku usaha serta tidak menimbulkan berbagai kekhawatiran. UU
tentang PDRD membatasi jumlah dan jenis pajak serta retribusi yang
boleh dipungut. Sistem ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku
atas jenis pajak dan retribusi yang wajib dibayarkan (sesuai Perda
masing-masing). Pemerintah daerah juga tidak memiliki ruang hukum
untuk melakukan pungutan di luar yang telah ditetapkan UU. Selain
itu, pembentukan UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang

120Ibid.,
121Ibid.,

68
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak


Daerah dan Retribusi Daerah sebelumnya telah mengesampingkan opsi
Opened List, sehingga sudah seharusnya opsi open list tidak lagi
didiskusikan di dalam penyusunan RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD.122

2. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014


Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah berpandangan
bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam pengawasan
dan pengendalian terhadap menara telekomunikasi. Pemerintah daerah
perlu mengatur dan mengendalikan penempatan menara
telekomunikasi agar sesuai dengan tata ruang wilayah serta kebutuhan
pembangunan dibidang telekomunikasi agar masyarakat semakin
mudah mendapatkan informasi melalui teknologi informasi dan
telekomunikasi.123 Rumus pengenaan tarif retribusi dalam
pembangunan menara telekomunikasi dapat memperhatikan aspek
yakni tarif IMB, Luas dan Tinggi bangunan, Area terdampak, dan Nilai
PBB.124
Terkait dengan retribusi menara telekomunikasi, Akademisi FH UII
berpandangan bahwa menara telekomunikasi dapat dimasukan sebagai
objek PBB karena menara telekomunikasi dibangun diatas sebidang
tanah yang merupakan objek PBB. selain itu menara telekomunikasi
juga dapat dikenakan PPh karena merupakan sarana pelayanan
komunikasi yang mendapatkan penghasilan dari pelayanan tersebut.
Selain itu, berliau berpendapat penghitungan tarif retribusi menara

122Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA

dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 11 Februari 2020.

123Gamal (BPKAD Provinsi DI Yogyakarta), disampaikan dalam diskusi penyusunan NA

dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 13 Februari 2020
124Ibid.,

69
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

telekomunikasi dapat dilakukan dengan rumus: biaya pembangunan


Rp……X …% = Rp…………...125
Menurut Akademisi FE UGM, Penghitungan tarif untuk menara
telekomunikasi terkait Putusan MK No.46/PUU-XII/2014 perlu
dipertimbangkan, mengingat bentuk menara telekomunikasi sudah
tidak sebesar dahulu dan bisa ditempelkan pada bangunan gedung.
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan fungsi literasi internet bagi
pendidikan dengan terpasangnya menara telekomunikasi sebagai dasar
pengenaan pajak.126 Pengenaan retribusi menara telekomunikasi ini
harus diperinci cakupannya termasuk semua bentuk menara
telekomunikasi seperti BTS, karena pada dasarnya menara tersebut
banyak membantu pemerintah misalnya saja terkait akses internet dan
di era modern ini akan sangat banyak bermunculan menara
telekomunikasi.127
Menurut Akademisi FH UGM, retribusi pengendalian menara
telekomunikasi termasuk ke dalam kategori jasa umum. 128 Retribusi
jasa umum merupakan pembayaran yang dibayarkan atas layanan
pemerintah yang disediakan yang memberikan keuntungan bagi
individu atau badan tertentu, tetapi menunjukkan karakteristik barang
publik (public goods).129 Artinya di satu sisi retribusi tersebut manfaat
khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar
retribusi, sedangkan di sisi yang lain usaha yang dilakukan harus
untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. Retribusi jasa
umum sendiri termasuk ke dalam user charges and fees, yaitu biaya
yang dibebankan kepada masyarakat/individu yang menikmati fasilitas

125 Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si., Loc.cit.,


126 Eko Suwardi, Loc.cit.,
127Ibid.,
128Pasal 110 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), sebagaimana dikutip oleh
Dahliana Hasan, Loc.cit.,
129C. Kurt Zorn, “User Xharges and Fees”, dalam John F Petersen dan Denise F.

Strachon, Local Government Finance: Concept and Practice, Government Finance Officers
Association of United State of America and Canada, Chichago-USA, 1991, hal. 137,
sebagaimana dikutip oleh Ibid.,

70
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

atau barang/jasa yang disediakan pemerintah yang tidak sepenuhnya


dibebankan kepada pengguna.130 Dengan kata lain, retribusi tersebut
dimaksudkan untuk menutupi seluruh atau sebagian dari biaya
pelayanannya.131 Contohnya adalah biaya yang dikenakan pada saat
berkunjung ke museum untuk penyelenggaraan layanan museum itu
sendiri.132 Retribusi jasa umum memiliki karakteristik sebagai
berikut:133
a) bersifat bukan pajak maksudnya ada pelayanan/jasa dari Pemda
yang langsung diterima oleh pengguna pelayanan/jasa;
b) bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha maksudnya adalah bahwa
dalam pengenaan tarif untuk jenis layanan ini tidak boleh melebihi
biaya yang digunakan untuk penyediaan/ penyelenggaraan layanan
tersebut. Artinya biaya retribusi hanya meliputi biaya yang benar-
benar muncul seperti: gaji/upah/tunjangan pegawai pemungut,
ongkos kantor yang bersangkutan, biaya perjalanan dinas, dan
sebagainya;
c) bersifat bukan Retribusi Perizinan Tertentu maksudnya adalah
bahwa layanan yang disediakan tersebut bukan dalam rangka
pembinaan, pengaturan, pengendalian, atau pengawasan suatu
kegiatan; dan
d) Dapat dipungut secara efektif yang berarti pungutan tersebut dapat
dihitung dan dipungut dengan mudah.
Beranjak dari penjelasan paragraf sebelumnya maka
formulasi/rumus perhitungan tarif biaya retribusi pengendalian
menara telekomunikasi yang tepat dan adil adalah hanya meliputi
biaya yang benar-benar muncul (real) dalam

130 Ibid, hal. 138.


131 K. J. Davey, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, Jakarta: UI Press, 1998, hal. 130. sebagaimana dikutip oleh
Ibid.,
132C. Kurt Zorn, Loc.cit.
133Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia, 2018, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Peningkatan


Pendapatan Asli Daerah, Jakarta: Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, hal. 312-314,

71
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

penyediaan/penyelenggaraan layanan tersebut.134 Hal ini menjadi wajar


mengingat retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang
dibayarkan oleh badan tertentu kepada pemerintah pada akhinya akan
diperhitungkan sebagai biaya produksi.135 Semakin tinggi biaya
produksi akan ekuivalen dengan harga layanan yang dijual ke
masyarakat, padahal penyediaan telekomunikasi dengan harga yang
murah dan terjangkau merupakan salah satu hak dasar warga negara
yang harus dipenuhi oleh negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
28F UUD 1945 yang menyatakan: “setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi [...]”. 136
Mengenai retribusi menara telekomunikasi seharusnya tidak
layak, karena tidak ada jasa timbal balik secara langsung dari
pemerintah, apalagi operator menara telekomunikasi biasanya
menyewa tanah yang oleh pemiliknya sudah dibayarkan PBBnya.
Apabila tetap ada pemungutan dapat diperlakukan sebagai kategori
retribusi atas izin tertentu bukan retribusi jasa umum.137
Mengenai retribusi menara telekomunikasi, operator menyewa
tanah dari pemilik tanah yang sudah membayarkan PBB, sehingga
perlu dipastikan adanya kemungkinan terkena double taxing. Menara
telekomunikasiseharusnya masuk ke dalam retribusi jasa tertentu
berupa perizinan (seperti retribusi IMB) bukan retribusi jasa umum. 138

Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berpendapat bahwa


pungutan atas menara telekomunikasi sebaiknya dimasukkan dalam
kategori pajak, bukan retribusi. Hal ini didasarkan bahwa atas
retribusi yang dipungut tidak ada timbal balik jasa yang diberikan
kepada wajib retribusi. Selain itu besarnya dampak negatif yang
diterima oleh masyarakat juga cukup besar seperti adanya gangguan

134 Dahliana Hasan, Loc.cit.,


135 Ibid.,
136Ibid.,
137 Budiman Ginting, (Dosen FH USU) disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan

RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 20 Februari 2020.
138Faisal Akbar Nasution, Loc.cit.,

72
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

radiasi yang ditimbulkan oleh menara telekomunikasi dan tidak ada


manfaat yang diperoleh masyarakat. Sehingga dengan pengalihan
menjadi kategori pajak, pemerintah provinsi dapat memanfaatkan
pungutan pajak tersebut untuk mengendalikan dampak buruk yang
muncul akibat dari gangguan menara telekomunikasi.139
Terkait soal retribusi menara telekomunikasi, Pemprov Sumut
justru berpendapat agar menara-menara telekomunikasi di Kota Medan
tidak terlalu banyak (ramai), karena akan merusak/mengganggu
keindahan kota dengan banyaknya menara-menara telekomunikasi
yang sangat banyak dibangun di berbagai tempat.140
Menurut akademisi dari Universitas Parahyangan, Memahami
pajak menara telekomunikasi yang telah dibatalkan oleh MK di tahun
2015, yang menjadi keberatan adalah karena dasar perhitungan yang
tidak jelas. Tarif yang dikenakan adalah ‘maksimal 2%’ sehingga
pemerintah daerah hanya menggunakan batas atas 2% sebagai
penetapan tarif. Selain itu dasar penetapan adalah NJOP tanpa
memperhitungkan biaya-biaya yang lain yang harus dikeluarkan oleh
Perusahaan. Yang dibutuhkan adalah formula perhitungan yang lebih
tepat sehingga tidak menyebabkan pemerintah daerah
menyamaratakan pajak menara telekomunikasi. Untuk mendapatkan
formulasi yang tepat maka diperlukan diskusi antara perusahaan
pemilik menara telekomunikasi dengan pihak pemerintah dalam hal ini
lembaga yang memahami mengenai penerapan perpajakan.141
Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014 memberikan akibat hukum
meniadakan hukum terkait dengan dasar perhitungan tariff retribusi
pengendalian menara telekomunikasi, dan oleh karenanya Pemerintah
harus membuat formulasi/rumus perhitungan yang jelas terhadap tarif

139APINDO Perwakilan Sumatera Utara, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA

dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 20 Februari 2020.
140BPPRD Provinsi Sumatera Utara, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan

RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 19 Februari 2020.
141Tutik Rachmawati, Loc.cit.,

73
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Memperhatikan


keluhan dari pemilik menara telekomunikasi yang mereka harapkan
adalah perhitungan pajak menara telekomunikasi tidak didasarkan
pada NJOP namun berdasarkan pada biaya pengawasan dan
pengendalian menara telekomunikasi tersebut.142 Di Oktober 2017,
Pemerintah Kota Balikpapan telah menerapkan retribusi pengendalian
menara telekomunikasi dengan tarif tunggal. 143
Penghitungan tarif retribusi menara telekomunikasi telah
ditindalanjuti dengan diterbitkan Surat S-743/PK/2015 tanggal 18
November 2015 tentang Penghitungan Tarif Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi. Formula penghitungan tarif retribusi menara
telekomunikasi yakni RPMT + TP x TR. RPMT singkatan dari Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi, TP singkatan dari tingkat
penggunaan jasa (jumlah frekeunsi pengendalian dan pengawasan),
dan TR singkatan dari Tarif Retribusi. Komponen dari Tarif Retribusi
adalah honorarium petugas pengawas, transportasi, uang makan, dan
alat tulis kantor. Penetapan tarif tersebut dapat memperhitungkan
zonasi, ketinggian menara, jenis menara, dan jarak tempuh. 144

Penjelasan Pasal 124 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28


UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena memuat norma
baru dan bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik. Pemerintah harus segera membuat
formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi yg sesuai dengan layanan atas
pemafaatan ruang. Dalam menyusun formulasi tersebut, harus
memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,

142Ibid
143Nadya Kurnia, Retribusi Menara Telekomunikasi di Balikpapan, dimuat dalam

https://teknologi.bisnis.com/read/20170921/101/691912/oktob er-retribusi-pengendalian-
menara- telekomunikasi-di-balikp apan-berlaku, diakses tanggal 27 Februari 2020.
144Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), Loc.cit.,

74
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

kemampuan masyarakat, aspek keadilan, efektifitas pengendalian atas


pelayanan tersebut.145
Seharusnya retribusi itu bagian dari public budgeting. Karakter
public budgeting seperti di Amerika ditetapkan dulu berapa jumlahnya
dengan budget law baru ditetapkan melalui tax law. Sedangkan di
Indonesia tax law masih menggunakan Ketentuan Umum Perpajakan
yang lama.146 Penjelasan Pasal 124 sebaiknya tidak perlu mengatur
besaran tarif secara langsung. Dalam Undang-Undang tentang
Telekomunikasi menyebutkan bahwa program pemerintah
mendapatkan prioritas untuk kegiatan yang dilakukan di atas tanah
negara.147
MK mengabulkan sekaligus menghapus Penjelasan Pasal 124 UU
tentang PDRD terkait tarif retribusi pengendalian menara
telekomunikasi maksimal 2% dari nilai jual objek pajak (NJOP).
Pasalnya, selain metode penghitunganya tidak jelas, ketentuan itu
menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi
perusahaan telekomunikasi. MK pun mengakui menghitung besaran
retribusi memang menyulitkan Pemda. Namun, penetapan tarif
maksimal sebagai jalan pintas atas kesulitan menentukan besaran
retribusi merupakan tindakan tidak adil. Imbasnya adalah jika
perhitungan retribusi tidak jelas, beban retribusi bisa jadi akan
dialihkan kepada konsumen. Pemerintah harus membuat formula agar
hitungannya jelas. Selama ini tidak ada hitungan yang jelas, hanya
besaran 2%, lalu kemudian daerah justru menarik retribusi tersebut
sesuai kebutuhannya.148
Sepanjang berotonomi di era reformasi ini, kebijakan pokok yang
melandasi pengaturan soal pemajakan (PDRD) tersebut adalah Undang-

145Henry D. Hutagaol (Dosen FH UI), disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan


RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 31 Januari 2020.
146Ibid.,
147Ibid.,
148Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Loc.cit.,

75
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah yang kemudian diganti oleh UU tentang PDRD. Secara
normatif, keberadaan kedua undang-undang tersebut menandai era
baru pemajakan di daerah di mana desentralisasi dan otonomi
semestinya tidak hanya ditempatkan sebagai konteks atau lingkungan
kebijakan beroperasinya pungutan tetapi jauh lebih penting harus
menjadi penanda karakter khas suatu pajak, bahkan sebagai suatu
paradigma baru. Berdasarkan paradigmatis ini kiranya kita dapat
membaca secara proporsional eksistensi Tarif Retribusi Menara
Telekomunikasi semenjak dari tingkatan teori, konsep, kebijakan
hingga implementasi di lapangan, sehingga dapat dilakukan formulasi
penghitungan tarif secara proporsional. APINDO tidak
mempermasalahkan jika ada penarikan tarif retribusi yang baru
asalkan formulasi prosentase penetapan tarifnya jelas dan tidak
memberatkan. Dunia usaha di sektor menara telekomunikasi berharap
Pemda mentaati putusan MK terkait tarif retribusi menara
telekomunikasi hingga ada aturan atau formula baru yang mengatur
besaran tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. 149

3. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011


Pajak hiburan terhadap golf memang seharusnya ditiadakan,
karena golf merupakan kategori olahraga. Pendapatan untuk daerah
dapat diperoleh melalui Pajak Bumi dan Bangunan yaitu lapangan golf
yang tergolong dalam klasifikasi “taman mewah” maupun pajak atas
bangunannya yaitu “golf club” sehingga tarifnya tidak perlu sampai
75%.150 Dibatalkannya pasal terkait golf sebagai pajak hiburan oleh
MK, menyebabkan pemerintah daerah tidak dapat mengenakan pajak

149Ibid.,
150Eko Suwardi., Loc.cit.,

76
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

hiburan terhadap golf. Golf tetap dapat dikenakan pajak dengan


menggunakan nomenklatur olahraga mewah.151
Hal ini sejalan dengan pendapat BPKAD Kabupaten Gunung Kidul
yang mengemukakan bahwa pemeritah daerah sepakat dengan
penghapusan pungutan pajak hiburan untuk penyelenggaraan
olahraga golf. Namun pemerintah daerah berpandangan agar dilakukan
pengelompokkan kegiatan olahraga sejenis yang melakukan pungutan
tiket/biaya kepada konsumen pengguna fasilitas olahraga tersebut agar
tetap dikenakan pajak. 152

Mengingat pada putusan MK diatas yang memutuskan olahraga


golf di hapus dari daftar pajak hiburan, sebagaimana ketentuan dalam
Pasal 42 ayat 2 UU tentang PDRD, maka penyelenggaraan
pertandingan olahraga dan kegiatan olahraga yang melakukan
pungutan biaya tiket yang sejenis dengan golf harus di keluarkan dari
pajak hiburan, dan menjadi obyek pajak tersendiri dengan mengubah
pengertian obyek pajak olahraga serta mengatur pengenaan besaran
tarif pajaknya.153
Pengelompokan kegiatan olahraga bisa di bagi menjadi Olahraga
Permainan, Olahraga Ketangkasan dan Petandingan Olahraga. Dengan
pengertian tersebut, maka kegiatan yang dikategorikan sebagai
olahraga sebagaimana diatur dalam UU tentang PDRD Pasal 42 ayat 2
point g, h dan j maka harus di keluarkan dari obyek pajak hiburan dan
di masukkan sebagai oyek pajak baru. Jika mengacu pada pengertian
diatas beberapa jenis kegiatan olahraga yang berpotensi untuk
dijadikan sebagai obyek pajak adalah:154
a. Arung Jeram;
b. Selam;
c. Kolam Renang; dan

151Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si, Loc.cit.


152BPKAD kabupaten Gunung Kidul, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 13 Februari 2020.
153Ibid.,
154Ibid.,

77
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

d. Futsal
Mengenai pajak hiburan, putusan MK menyebutkan bahwa golf
masuk ke dalam kategori olahraga yang tidak bisa dijadikan objek
pajak hiburan.155
Terdapat beberapa catatan terkait golf seperti posisi golf sebagai
olahraga. Wacana mengubahnya menjadi retribusi golf harus
dipastikan sesuai dengan pengertian retribusi karena tidak ada prestasi
langsung diperoleh. Adapun perlu dipastikan juga berapa jumlah
setoran yang diterima oleh perusahaan golf dari para pelaku golf. 156
Sejauh ini pajak atas golf masih dalam perdebatan, untuk itu
perlu didefinisikan kembali. Dalam sisi pengusaha penyediaan
lapangan golf tentunya akan menciptakan lapangan kerja. Dan setiap
bisnis yang menghasilkan lapangan kerja (mempekerjakan orang
banyak) perlu diperingan atau diberi insentif pemajakannya.157
Pemprov Sumut juga setuju apabila objek pajak daerah seperti
permainan golf, billiard, bridge, bowling, dan lain-lain yang sejenis yang
benar-benar masuk ke dalam kategori kegiatan olahraga, tidak
dikenakan pajak hiburan dalam revisi UU tentang PDRD.158
Konsekuensi setelah MK mengabulkan semua permohonan uji
materiil pasal 42 ayat 2 UU tentang PDRD tentunya berdampak positif
terhadap pelaku usaha fasilitas olahraga golf. putusan MK meluruskan
kembali ketentuan dalam beleid UU tentang PDRD bahwa golf tidak
termasuk kategori hiburan yang dikenakan pajak daerah. Berdasarkan
Pasal 1 angka 12 dan angka 13 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Sistem Keolahragaan, jelas disebutkan bahwa golf termasuk
olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Bahkan di level internasional,
golf sudah dianggap sebagai olahraga. Dengan demikian tidaklah tepat
bila golf dimasukkan kategori hiburan. Pelaku usaha penyelenggara

155Faisal Akbar Nasution, Loc.cit.,


156Budiman Ginting, (Dosen FH USU), Loc.cit.,
157APINDO Perwakilan Sumatera Utara, Loc.cit.,
158BPPRD Provinsi Sumatera Utara, Loc.cit.,

78
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

golf semestinya diletakkan sebagai olah raga, dan bukan penyedia jasa
hiburan.159

4. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017


Menurut Akademisi FH UII, alat berat dapat dikenakan pajak
dengan merubah nomenklatur terhadap alat berat tersebut yang bukan
merupakan objek PKB dan BBNKB. Untuk alat berat berat dapat
dikenai pajak dengan menggunakan nomenklatur Pajak Kendaraan
Berat Bermesin bukan angkutan umum atau pribadi. Subyek Pajak
Kendaraan berat bermesin adalah pemiliknya (Orang pribadi atau
Badan) sedangkan obyek pajaknya adalah Bulldozer, Traktor, Mesin
Gilas (Stoomwaltz), Forklift, Loader, Exclavator, dan Cren. 160 Hal ini
sejalan dengan pendapat dari BPKAD Provinsi Yogyakarta yang
menyatakan bahwa Implikasi dari putusan MK tersebut menjadikan
Alat Berat bukan lagi bagian dari kendaraan bermotor, sehingga tidak
dikenakan lagi Pajak Kendaraan Bermotor. Meskipun tidak termasuk
kendaraan bermotor, alat berat dapat dikategorikan sebagai alat yang
menggunakan mesin bermotor. Menurut Gamal, Kepala BPKA DIY
menyatakan Alat Berat tetap bisa di kenakan pajak, dengan membuat
pengertian sebagai obyek pajak baru yang berbeda dengan Pajak
Kendaraan Bermotor.161
Alat berat dikategorikan sebagai alat mesin bermotor yang saat
digunakan akan mengakibatkan pencemaran lingkungan. Sehingga ada
biaya sosial yang harus di keluarkan oleh masyarakat untuk bisa
menikmati lingkungan yang sehat, akibat beroperasinya alat berat
tersebut. Alat berat adalah sebagai obyek pajak baru bisa menambah
potensi pendapatan daerah. Sebagai obyek pajak baru, alat berat
sebaiknya di kelola oleh pemerintah daerah langsung, tanpa melalui
mekanisme pemungutan di kantor bersama Sistem Administrasi
Manunggal Satu Atap (SAMSAT), sebagaimana pemungutan PKB yang

159Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Loc.cit.,


160 Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si, Loc.cit.,
161 Gamal, Loc.cit.,

79
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

di kelola oleh Pemerintah Daerah bersama Kepolisian Republik


Indonesia. Mengingat Alat Berat bukan lagi di kategorikan sebagai
Kendaraan Lalu Lintas.162
Pendapat berbeda datang dari Akademisi FE UGM yang
berpendapat bahwa, pengenaan pajak terhadap alat berat yang
merupakan alat produksi dan sepanjang tidak dimanfaatkan di jalan
umum seharusnya tidak dikenakan pajak. Hal ini sesuai dengan
Putusan MK. Nomor: 15/PUU-XV/2017 yang tidak mengkategorikan
alat berat sebagai kendaraan bermotor. Selain itu, jika
dipertimbangkan dari segi tarifmya yang kecil tidak berdampak
signifikan terhadap pendapatan daerah jika tetap dikenakan. 163
Sementara itu, Dosen FH UGM berpendapat bahwa pada
hakikatnya permasalahan mengapa alat berat tidak dapat dikenakan
pajak kendaraan motor adalah terkait dengan tafsir konstitusional dari
definisi alat berat yang dihapuskan dari jenis kendaraan bermotor
dalam Penjelasan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasca putusan MK Nomor
3/PUU-XIII/2015.164 Selanjutnya, MK mengeluarkan putusan Nomor
15/PUU-XV/2017 yang menghapuskan alat berat sebagai objek
pengenaan PKB karena telah kehilangan norma yang menjadi
landasannya pasca putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015.165 Dengan
demikian, alat berat tidak dapat dikenakan pajak Kendaraan Bermotor
untuk saat ini, akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
dikenakan pajak. Meski demikian, terhadap polemik PAB masih saja
sulit diimplementasikan di lapangan misalnya di daerah Temanggung
sudah tidak dikenai pajak karena Pemda juga tidak berani untuk
memungut padahal dalam Putusan MK masih mempersilahkan daerah
untuk memungut PAB selama 3 tahun sejak putusan.166

162 Gamal, Loc.cit.,


163Eko Suwardi, Loc.cit.,
164Dahliana Hasan, Loc.cit.,
165Ibid.,
166Ibid.,

80
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Terdapat beberapa cara agar alat berat tetap dapat dikenakan


pajak, yaitu:167
a. Menjadikan alat-alat berat dan besar sebagai objek tersendiri
artinya membentuk jenis pajak baru yang dapat dipungut oleh
pemerintah provinsi, yaitu Pajak atas Alat-Alat Berat dan Besar.
b. Mengekstensifikasikan salah satu jenis pajak daerah yang saat ini
ada. Sebagai contoh misalnya Pajak Kendaraan Bermotor dirubah
menjadi Pajak Kendaraan. Dengan demikian, pungutan tersebut
tidak terbatas.
c. Mengenai pab, mengapa dipisahkan dari kendaraan bermotor
karena secara operasional alat berat digunakan untuk usaha oleh
badan usaha, dinas pekerjaan umum. Terkadang alat berat
merupakan jenis usaha sendiri dari suatu badan usaha yang
tentu saja merupakan wajib pajak badan sehingga dipungut PPh
atas penghasilan usahanya. Oleh karena itu, apabila alat berat
sebagai bagian dari usaha kenapa dikenakan pajak lagi oleh
pemungut pajak dan menimbulkan double tax terhadap objek
pajak alat berat.168
d. Terkait pab yang sudah dikeluarkan dari objek pajak kendaraan
bermotor perlu diubah terminologinya atau menjadi kategori
tersendiri apabila masih ingin dijadikan sebagai objek pajak.169
e. Pengenaan pkb atas alat berat perlu dievaluasi kembali, selama
alat berat tersebut tidak beroperasi dijalan tentunya tidak
berkewajiban untuk dipungut pajak. Karena sejauh ini alat berat
umumnya tidak beroperasi dijalan umum, melainkan hanya
berada di proyek. Selain itu, pengenaan PAB yang dikenakan pada
industri juga kerap kali bermasalah, nilai yang ditetapkan oleh
pemerintah daerah tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
terjadi di lapangan (pihak pengusaha), hal ini kerap disebabkan

167Ibid.,
168Faisal Akbar Nasution, Loc.cit.,
169Abdul Kadir, Loc.cit.,

81
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

data dasar penagihan atas pengenaan objek PAB tidak pernah


diupdate dengan baik.170
Menurut BPPRD (Badan Pengelolaan Pajak dan Retribusi Daerah)
Walaupun MK sudah memutuskan agar Pajak Pendaraan Bernotor
untuk alat-alat berat dan besar tidak dikenakan pajak setelah Oktober
2020 jika belum diberlakukan UU tentang PDRD baru. Pemprov Sumut
tetap menagih PKB untuk alat-alat berat dan besar. Tetapi Pelaku
usaha menterjemahkannya tidak lagi membayar pajak setelah putusan
MK dimaksud. Menurut Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, jika PKB
untuk alat-alat berat dan besar tetap dikenakan pajak walau
nomenklatur pajaknya berubah dengan tidak lagi digolongkan sebagai
PKB untuk alat-alat berat.171
Menurut Monica Bhandari dalam bukunya yang berjudul
‘Philosophical Foundation of Tax Law’, disebutkan bahwa wealth and
property as a basis for taxation, in its different forms. Hal tersebut
berarti bahwa filosofi awal pengenaan pajak dalam sebuah negara
adalah adanya kepemilikan akan properti. Alat berat dapat dikenakan
pajak dengan logika bahwa alat berat tersebut merupakan properti
yang dimiliki oleh seseorang yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan
produktif seperti dalam pekerjaan konstruksi bangunan.172
Meskipun argumentasi bahwa alat berat tidak dapat dikenakan
pajak kendaraan, namun alat berat tersebut menggunakan jalan yang
dibangun dengan uang pajak juga dan menggunakan bahan bakar
yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan (eksternalitas).
Mengelola eksternalitas adalah tugas dari negara/pemerintah dan
diwujudkan dalam pengenaan pajak.173
Pendapat yang berbeda datang dari Asosiasi Pengusaha
Pertambangan Indonesia (ASPINDO), menurut ASPINDO Mengenai

170APINDO Perwakilan Sumatera Utara, Loc.cit.,


171BPPRD Provinsi Sumatera Utara, Loc.cit.,
172Tutik Rachmawati, Loc.cit.,
173Ibid

82
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Amar Putusan MK No. 15/PUU-XV/2017 terkait perkara alat berat


yang berbunyi: “Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang
untuk dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun melakukan perubahan
terhadap UU tentang PDRD, khususnya berkenaan dengan pengenaan
pajak terhadap alat berat”, maka ini tidak berarti bahwa UU a quo
masih berlaku. Hal ini mengingat dalam amar putusan tidak
menyatakan bahwa ketentuan tersebut dalam UU a quo masih
berlaku sampai 3 tahun sejak Putusan MK keluar. Meskipun dalam
Pertimbangan Hukum Putusan MK 15/2017 menyatakan bahwa:
“Tenggang waktu (3 tahun) tersebut dimaksudkan untuk menghindari
adanya kekosongan hukum tentang pengenaan pajak terhadap alat
berat selama belum diundangkannya perubahan UU tersebut, terhadap
alat berat tetap dapat dikenakan pajak berdasarkan ketentuan UU yang
lama”, akan tetapi pertimbangan hukum tersebut tidak dirumuskan
secara tegas dan jelas ke dalam amar putusan, maka tidak mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan. Pertimbangan Hukum Putusan MK
15/2017 tersebut di atas merupakan jenis pertimbangan hukum ratio
decidendi (pertimbangan yang menentukan diambilnya suatu putusan)
dan dianggap satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan amar
putusan. Oleh karena itu, untuk mempunyai kekuatan mengikat yang
setara dengan amar putusan, pertimbangan hukum ratio decidendi
ini harus dinormakan secara tegas dan jelas ke dalam amar
putusan. Sehingga bagi kami (ASPINDO) terhadap alat berat pasca
putusan MK maka sudah tidak lagi dapat dipungut.174
Terkait implikasi putusan MK itu maka wacana untuk kembali
memasukkan alat berat/alat besar sebagai obyek pajak daerah tidak
tepat, karena alat berat/alat besar merupakan alat produksi. Kalau ini
dianggap layak dipungut, seharusnya alat produksi lain seperti mesin -
mesin pabrik juga harus dipungut, sesuai asas keadilan. Diseluruh

174Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (ASPINDO), disampaikan dalam diskusi

penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, 3 Maret 2020.

83
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dunia tidak ada pungutan pajak yang dikenakan pada pengoperasian


alat berat/alat besar. Yang ada adalah biaya registrasi 1 kali pungutan.
Di Australia, alat berat diatur khusus dalam suatu undang-undang
tersendiri dan dikelola oleh suatu badan khusus. Alat berat hanya
dipungut semacam biaya registrasi setiap tahun dan bukan dengan
pajak. Pungutan tersebut akan dikontrol setiap tahun dengan
memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan
terhadap jalan. Tidak semua alat berat akan dikenai biaya dan hanya
alat berat yang dianggap memiliki kapasitas beban berlebih yang akan
dikenai biaya karena akan berdampak terhadap jalan. Di Filipina, alat
berat juga diatur dalam suatu undang-undang tersendiri. Alat berat
diatur dibawah Departemen Perdagangan dan Perindustrian yang mana
hal tersebut dibuat dengan suatu Keputusan Presiden. Di Amerika
Serikat, registrasi terhadap alat berat dilakukan karena maraknya
pencurian terhadap alat berat dan adanya kepentingan untuk
melakukan kontrol terhadap alat berat yang telah berpindah-pindah
tangan sehingga dianggap perlu untuk diregistrasi. Tidak semua negara
bagian di AS yang melakukan registrasi terhadap alat berat dan tidak
semua alat berat perlu diregistrasi.175
UU tentang PDRD yang ideal seharusnya disatu sisi merupakan
kontribusi pengusaha ke daerah secara langsung, disisi lain penetapan
dan pemanfatannya seharusnya tepat sasaran dan tidak merugikan
pengusaha. Sistem administrasi dalam penagihan PAB selama ini juga
belum terselenggara dengan baik sehingga unsur kepastian hukum
dalam penagihan juga layak dipertanyakan. Kalaupun tetap akan
dipungut dengan nomenklatur yang berbeda maka pemerintah harus
memastikan kepastian hukum terkait kejelasan definisi apa itu alat
berat, kejelasan kelembagaan siapa yang memungut, dan mekanisme
pemungutannya yang selama ini dalam praktek tidak terselenggara
dengan baik dan rapi.176

175 Ibid.
176 Ibid.

84
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Menurut akademisi dari FH UI, Berdasarkan Putusan MK Nomor


3/PUU-VIII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 menyatakan alat berat
bukan merupakan bagian dari kendaraan bermotor (erga omnes:
berlaku umum sebatas objeknya sama) dengan membatalkan norma
hukum pada penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan.
Hal ini yang mendasari Putusan Mahkamah Konstutusi Nomor
15/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa alat berat tidak dapat
dikenai pajak kendaraan bermotor.177
Amar Putusan MK No. 15/PUU-XV/2017 menyebutkan bahwa
alat berat bukan objek kendaraan bermotor, sehingga, para pemilik alat
berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB. Dengan putusan MK,
APINDO berharap pemerintah daerah menghormati dan menjalankan
putusan, dengan tidak melakukan penagihan PKB dan BBNKB
terhadap alat berat. Pertimbangan hukum MK yang menyebutkan
pemerintah dapat melakukan penagihan terhadap pajak kendaraan
bermotor alat berat selama tiga tahun untuk mengisi kekosongan
hukum menimbulkan polemik. APINDO menilai hal tersebut
bertentangan dengan amar putusan MK yang menyatakan pasal 1
angka 13 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu dasar penarikan pajak
kendaraan bermotor untuk alat berat tidak sah, bahkan dasar
hukumnya dibatalkan oleh putusan MK itu sendiri. Jika pemerintah
daerah tetap memungut PKB dan BBNKB atas Alat Berat maka
menimbulkan ketidakpastian hukum yang memberatkan pelaku usaha,
sebagaimana diketahui bahwa Alat Berat tidak digunakan sebagai alat
transportasi namun sebagi bagian dari alat produksi.178
Menurut Apindo, Jika Atas UU tentang PDRD tetap menjadikan
alat berat sebagai objek pajak daerah. Alat berat tidak lepas dari objek
pajak karena mengacu kepada asas-asas perpajakan yang berlaku

177 Henry D. Hutagaol, Loc.cit.,


178Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Loc.cit.,

85
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

secara universal yaitu asas equality, certainty, convenient dan asas


efisiensi. Implikasinya, alat berat menjadi objek pajak baru dalam
daftar PDRD. Terhadap putusan tersebut APINDO berpandangan:179
a. Penetapan tarif pajak patut mempertimbangkan karakter alat
berat sebagai faktor produksi, bukan barang dan jasa yang
dikonsumsi publik.
b. Kategorisasi tarif mutlak dilakukan antara alat berat yang
beroperasi di wilayah perusahaan dan yang bergerak di luar
perusahaan. Pemisahan tarif ini perlu dilakukan mengingat alat
produksi (tidak bergerak) dan alat berat yang disewakan untuk
konstruksi (bergerak) memiliki dampak yang berbeda terhadap
lingkungan dan jalan. tarif atas pajak ini berdampak pada biaya
produksi perusahaan.
Menurut Direktur KPPOD, Terhadap MK No. 15 tahun 2017 tentang
PAB, MK mengabulkan seluruh permohonan dari para pemohon.
Sehingga dapat ditafsirkan bahwa alat berat tidak boleh menjadi objek
pajak.180

5. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017


Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta berpandangan perlu mengubah
pengertian PPJ dengan pengertian baru yang lebih kontekstual.
Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas
penerangan jalan bagi masyarakat. Untuk membiayai kegiatan tersebut
pemerintah daerah memerlukan sumber pendapatan dari pengguna
listrik.181
Meskipun terdapat opini dari masyarakat yang belum menikmati
fasilitas penerangan jalan di lingkungan tempat tinggalnya, yang
merasa keadilannya di abaikan dengan masyarakat lain yang sudah
menikmati fasilitas penerangan jalan. Namun kendala tersebut tidak

179Ibid
180Robert Na Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, Loc.cit.,
181Gamal, Loc.cit.,

86
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

lebih dari kurangnya pemahaman masayarakat terhadap pengertian


pajak dan retribusi. Oleh karena itu, untuk mereduksi kurangnya
pemahaman masyarakat dan mengikuti putusan MK tersebut diatas,
maka pemerintah daerah mengusulkan PPJ di ubah menjadi Pajak
Tenaga Listrik.182
PPJ merupakan pajak penggunaan listrik yang dihasilkan oleh PLN
dan pribadi. Dibatalkannya ketentuan mengenai PPJ menimbulkan
implikasi hukum terhadap pemungutan PPJ. Namun MK menyatakan
dalam pertimbangan hukumnya bahwa terhadap penggunaan listrik
baik yang dihasilkan oleh PLN atau sumber lain tetap dapat dikenakan
pajak namun dengan nomenklatur yang berbeda. PPJ ini bisa
dimasukan dalam pajak limbah yang saat ini belum diatur dalam UU
tentang PDRD. Untuk objek pajaknya dapat dilihat dari pengunaan
tenaga listrik dan sumber tenaga listrik. Objek pajak ini dikecualikan
bagi listrik yang dihasilkan oleh energi baru terbarukan dan listrik
yang dihasilkan oleh sendiri.183 Hal ini sejalan dengan pendapat dari
BPKAD Kabupaten Gunung Kidul yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah sepakat apabila penerapan Pajak Tenaga Listrik dikenakan
kepada seluruh konsumen listrik, tanpa terkecuali. Namun apabila
konsumen dan produsen listrik swasta yang menggunakan sumber
tenaga listrik ramah lingkungan, maka pemerintah bisa memberikan
subsidi atau keringanan pajak tenaga listrik. 184 Pemberian insentif
terhadap pabrik atau pelaku usaha yang menggiatkan listrik untuk
penerangan jalan yang bersumber dari energi terbarukan juga bisa
menjadi aspek yang patut dipertimbangkan.185
BPKAD Provinsi Yogyakarta berpandangan bahwa nomenklatur
yang tepat untuk PPJ yaitu pajak tenaga listrik. Pengertian dari pajak
tenaga listrik yaitu setiap warga negara yang menggunakan tenaga
listrik maka dikenakan Pajak Tenaga Listrik. Tenaga listrik dpat

182Ibid.,
183Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si, Loc.cit.,
184BPKAD Kabupaten Gunung Kidul, Loc.cit.,
185 Dahliana Hasan, Loc.cit.,

87
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

digunakan untuk penerangan (penerangan bangunan dan jalan),


menghidupkan alat-alat rumah tangga, menggerakkan mesin produksi
dan sejenisnya. Oleh karena itu pengenaan Pajak Tenaga Listrik
didasarkan pada beban penggunaan tenaga listriknya oleh, bukan
kepada fungsi pemakaian tenaga listriknya.186
Pendapat berbeda datang dari Akademisi FE UGM yang
berpandangan bahwa terkait Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017,
nomenklatur PPJ kurang tepat dan sebaiknya tidak perlu dikenakan
pajak listrik juga, karena listrik itu merupakan kebutuhan dasar.187
Dalam praktik penyelenggaraan PPJ ini terdapat kendala yang
dihadapi oleh pemerintah daerah seperti pemerintah daerah kesulitan
untuk menetapkan target pendapatan daerah dari PPJ dikarenakan
pemerintah daerah tidak memiliki data yang cukup terkait jumlah
pelanggan dan jumlah beban listrik serta biaya yang keluarkan oleh
pelanggan listrik. Selama ini BPKA hanya menerima setoran
pendapatan PPJ dari PLN dengan system lum sum, tanpa bisa
mengkonfirmasi data base pelanggan listrik dari PLN. Kendala lain yang
dihadapi yakni pemerintah daerah kesulitan untuk mengakses data
yang dimiliki oleh PLN, sehingga diperlukan solusi untuk mengatasi hal
tersebut, agar di kemudian tidak menjadi potensi sengketa
keterbukaan informasi.188
Mengenai PPJ, sudah tepat bahwasanya untuk listrik yang
dihasilkan oleh sendiri dan digunakan untuk kepentingan sendiri tidak
dijadikan objek pajak.189 PPJ masih layak untuk dipungut sepanjang
terhadap yang disediakan oleh negara, tapi untuk yang diproduksi dan
digunakan untuk kepentingan sendiri alangkah baiknya tidak perlu

186 Gamal, Loc.cit.,


187 Eko Suwardi, Loc.cit.,
188 BPKA Kabupaten Kulo Progo, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan RUU

tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
13 Februari 2020.
189 Faisal Akbar Nasution, Loc.cit.,

88
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dipungut pajak lagi. Pihak pemungut PPJ dalam hal ini PLN perlu
dipastikan apakah melakukan bagi hasil terhadap provinsi.190
Terkait PPJ sempat adanya wacana untuk mengubahnya menjadi
pajak konsumsi listrik, akan tetapi wacana ini batal karena secara
praktek lebih sulit untuk dipungut apabila terjadi perubahan
nomenklatur dari PPJ menjadi pajak konsumsi listrik. 191

Pengenaan PPJ khususnya atas penggunaan listrik yang dihasilkan


sendiri saat ini dirasa tidak tepat dan membebani usaha. Hal ini
dikarenakan listrik yang dihasilkan sendiri oleh pengusaha sebagai
konsekuensi dari kurang mampunya PLN dalam menyediakan listrik.
Dan seharusnya pemerintah mengapresiasi hal tersebut karena ikut
serta menghasilkan sumber listrik baru yang tidak dapat dipenuhi oleh
PLN yang notabene sebagai pemasok listrik negara, bahkan atas listrik
yang dihasilkan sendiri juga mampu membantu penerangan jalan bagi
masyarakat sekitar.192
Terkait soal PPJ, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara setuju jika
semua penduduk wajib membayar PPJ, walaupun ada lokasi atau
wilayah di pedesaan atau kampung-kampung yang belum/tidak
difasilitasi dengan penerangan jalan oleh negara (PT PLN). Prinsip pajak
adalah suatu kewajiban setiap warga negara walaupun tidak
mendapatkan manfaat langsung dari uang pajak yang dibayarkan ke
pemerintah ataupun pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara pun setuju apabila pelaku usaha atau industri yang
sudah mampu menghasilkan listrik sendiri untuk kepentingan sendiri
dan tanpa memperjualbelikan kepada publik (masyarakat), maka tidak
dikenakan PPJ selain itu diusulkan pula agar nomenklatur PPJ dapat
diganti sesuai dengan pemanfaatan listrik bagi masyarakat seperti
pajak penggunaan tenaga listrik. 193

190 Budiman Ginting, Loc.cit.,


191 Abdul Kadir, Loc.cit.,
192 APINDO Perwakilan Sumatera Utara, Loc.cit.,
193 BPPRD Provinsi Sumatera Utara, Loc.cit.,

89
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Argumen pemohon dalam uji materi ini menyatakan bahwa


pemohon sebagai pemasok listrik seharusnya diapresiasi pemerintah
bukan malah dibebankan pajak dan terminologi PPJ (Pasal 1 angka 28)
seharusnya terbatas kepada listrik yang dibangkitkan oleh
Negara/PLN, tidak termasuk listrik swadaya. Selanjutnya dalam amar
Putusan dinyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan asas
kedayagunaan, kehasilgunaan, kejelasan rumusan, asas
keseimbangan, keserasian, keselarasan, antara kepentingan individu,
bangsa negara sehingga seharusnya PPJ tidak dikenakan untuk listrik
yang dihasilkan sendiri.194
Selain penyesuaian terhadap Putusan MK, terdapat beberapa tren
yang sedang berkembang di luar negeri yang dapat dijadikan bahan
pertimbangan terhadap penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan
Atas UU tentang PDRD, yaitu:195
a. pengurangan rancangan undang-undang yang bersifat
amandemen atau perubahan (lebih dari satu kali), tetapi
pengaturan regulasi dalam satu kodifikasi undang-undang; dan
b. pengendalian belanja untuk mengendalikan penerimaan (termasuk
pajak). Mengurangi peruntukan belanja daerah untuk private
seperti pendanaan agama sehingga pendanaan fokus di sektor
publik, seperti air.
Implikasi putusan MK adalah Daerah tetap memungut PPJ selama
tiga tahun pasca putusan MK dengan catatan Pemerintah Pusat (dalam
periode waktu yang sama) harus melakukan revisi atas UU tentang
PDRD. APINDO berpandangan bahwa:
a. Penetapan tarif PPJ, khusus untuk listrik yang dihasilkan sendiri,
perlu mempertimbangkan sumber listrik tersebut sebagai faktor
produksi, bukan barang dan jasa. Banyak perusahaan
menyediakan sumber listrik sendiri untuk mengisi keterbatasan

194Henry D. Hutagaol, Loc.cit.,


195Ibid.,

90
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pemerintah yang tidak mampu menyediakan infrastruktur listrik


untuk kebutuhan industri.
b. Penggunaan nomenklatur “Pajak Penggunaan Listrik”, bukan
“PPJ”.196
Berdasarkan kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan
demi terwujudnya kesejahteraan sebagai ultimate goal otonomi, serta
pemenuhan rasa keadilan dan orientasi kemanfaatan dalam setiap
kebijakan pemungutan dan penggunaan pajak (utilitarian) maka
semestinya PPJ didudukkan dalam kerangka pemaknaan demikian.
Keberadaan jenis pajak ini melekat pada fungsi pelayanan dari Negara.
Pajak yang dibayarkan adalah pemungutan atas suplai listrik yang
disiapkan Negara (lewat PLN) bagi keperluan penerangan jalan, utilitas
perkotaan, keamanan-ketertiban-keindahan kota, perbaikan aneka
layanan terkait lainnya (pemasangan jaringan listrik baru,
penambahan daya, pemenuhan pasokan aliran, kestabilan tegangan
listrik, dst).197
Dengan demikian, basis pengenaan PPJ adalah penggunaan tenaga
listrik/TL (baik untuk produksi maupun non-produksi mengingat
rentang pelayanan yang disiapkan Pemda tersebut). Namun, dalam
perspektif layanan dan orientasi kepada fungsi regulerend, pengenaan
tersebut mestinya sebatas pada penggunaan tenaga listrik yang
dihasilkan atau dibangkitkan Negara (PLN). Adapun TL yang dihasilkan
sendiri atau dihasilkan sumber lain non-Negara tidak tepat dikenakan
PPJ, selain karena sudah dikenakan PPh, juga tidak ada fungsi layanan
Negara yang bisa diemban para penghasil tersebut bahkan jika kita
“membungkusnya” dalam nomenklatur “penggunaan” TL . Tidak ada
korelasinya antara membayar PPJ berbasis penggunaan TL kepada
Pemda dengan pasokan listrik yang dihasilkan sendiri atau sumber lain

196Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Loc.cit.,


197Ibid.,

91
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

non-Negara (mengingat tak ada fungsi pelayanan Negara yang


diberikan dalam paradigma pajak daerah tersebut).198
Menurut Direktur Eksekutif KPPOD, Terhadap Putusan MK Nomor
80/PUU-XV/2017 tentang PPJ. Tafsir terhadap putusan MK adanya
adanya pemisahan objek pajak antara listrik yg dihasilkan oleh PLN
ataupun yg dihasilkan sendiri untuk kepentingan sendiri, mungkin
bisa diganti menjadi misalnya pajak penggunaan tenaga listrik. 199

6. Pengaturan Lain-Lain
Hal lain yang perlu dilakukan perubahan dalam RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD yaitu:
1) Pengaturan mengenai pajak hiburan yang merupakan kategori
olahraga seperti bilyar, golf, atau bowling sebaiknya tidak perlu
dikenakan pajak. Demikian juga untuk hotel yg menyediakan
fasilitas seperti live music, sarana olahraga, karaoke, tidak perlu
dikenakan lagi pajak hiburan namun sudah termasuk dalam tarif
pajak hotel. Selain itu, untuk pengenaan tarif pajak bagi kesenian
tradisional sebaiknya diberlakukan 0% seperti yang sudah diatur
berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (3) Peraturan Daerah Kota
Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2011.200
2) Sistem penagihan/pemungutan PDRD harus diperkuat. Perlunya
single identity system untuk tertib administrasi karena persoalan
pajak bukan hanya soal pemungutannya tetapi juga soal
sistemnya.201
3) Dalam Pasal 111 tentang PDRD mengatur mengenai Objek Retribusi
Pelayanan Kesehatan yang meliputi pelayanan kesehatan di
puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai

198Ibid.,
199Robert Na Endi Jaweng Direktur Eksekutif KPPOD, Loc.cit.,
200Eko Suwardi, Loc.cit.,
201Loc.cit.,

92
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan


kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh
Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran. Objek Retribusi
Pelayanan Kesehatan dikecualikan dari objek Retribusi pelayanan
kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. Seharusnya
Puskesmas dan Pukesmas Keliling juga dikecualikan dari Objek
Retribusi Pelayanan Kesehatan karena puskesmas dan puskesmas
keliling merupakan pelayanan kesehatan dari pemerintah. 202
4) Desa seharusnya mendapat bagi hasil dari pungutan pajak dan
retribusi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Bagi hasil pajak
dan retribusi daerah yang di terima oleh desa di sesuaikan dengan
obyek pajak dan retribusi daerah yang berada di wilayah domisili
desanya. Penetapan prosentasi nilai bagi hasil pajak dan retribusi
daerah untuk desa di tetapkan melalui UU ini. 203
5) Ketentuan pengenaan PKB kepada kendaraan bermotor yang
dimiliki oleh TNI/Polri sebagaimana di atur dalam UU tentang
PDRD Pasal 6 Ayat (3) diusulkan oleh Gamal. Kepala BPKA DIY
untuk di hapus. Hal ini didasarkan pada kondisi faktual di
lapangan, dimana pemerintah daerah kesulitan untuk
melaksanakan ketentuan tersebut. Menurut Gamal, baik TNI/Polri
beralasan bahwa fasilitas kendaraan yang dimiliki termasuk
Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk
keperluan pertahanan dan keamanan negara, sebagaimana
ketntuan dalam Pasal 3 ayat (3) point b UU tentang PDRD, sehingga
mereka menolak di kenakan Pajak Kendaraan Bermotor oleh
pemerintah daerah.204
6) Kendaraan Motor Bertenaga Listrik harus tetap dikenakan Pajak,
meskipun tarifnya lebih murah untuk mendorong pemakaian

202Dr. Mustaqiem, S.H., M.Si, Loc.cit.,


203Gamal, Loc.cit.,
204Ibid.,

93
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

kendaraan bermotor yang ramah lingkungan. Akan tetapi sebagai


kendaraan yang digunakan di jalan raya, kedaraan motor bertenaga
listrik tetap wajib di kenakan pajak. Pengaturan mengenai tarif
Pajak Kendaraan Bermotor yang bertenaga listrik di usulkan dalam
perubahan UU tentang PDRD ini.205
7) Pengaturan mengenai ijin dan pajak undian berhadiah. Ketentuan
mengenai Pajak Undian Berhadiah oleh pemerintah daerah
seringkali terjadi tumpeng tindih kewenangan antara Badan/Dinas
Pendapatan dengan Dinas Sosial yang memiliki kewenangan
mengeluarkan ijin undian berhadiah. Perlu di lakukan pengaturan
lebih spesifik mengenai pembagian kewenangan antara ijin dan
pajak hadiah.206
8) Penambahan objek retribusi yaitu Retribusi Pemasangan Pipa dan
Kabel Bawah Tanah. Pemasangan kabel dan pipa bawah tanah
sering menggunakan fasilitas jalan, baik jalan nasional, propinsi
maupun kabupaten/kota. Akibat pemasangan tersebut seringkali
harus merusak fasilitas publik. Awalnya pemanfaatan ruang bawah
tanah di dalam fasilitas publik di lakukan oleh perusahaan milik
negara atau milik daerah. Sehingga untuk mendorong penyediaan
inftrastruktur jaringan pipa dan kabel bawah tanah, pemerintah
membebaskan pajak kepada perusahaan pelaksana tersebut.
Pemerintah hnya mewajibkan untuk melakukan perbaikan atas
kerusakan yang diakibatkan pekerjaan penggalian. Dengan
perkembangan teknologi, perusahaan yang memanfaatkan ruang
bawah tanah tidak hanya milik negara/daerah, namun badan
usaha swasta juga tidak jarang menggunakan fasilitas ruang bawah
tanah untuk pemasangan Pipa dan Kabel. Meskipun pemerintah
mewajibkan perusahaan untuk memperbaiki kerusakan akibat
penggalian dan pemasangan peralatan bawah tanah. Tetap saja
perbaikan atas kerusakan tersebut tidak bisa kembali seperti

205Ibid.,
206Ibid.,

94
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sediakala. Oleh karena itu menjadi beban bagi daerah untuk


mengaokasikan perbaikan fasilitas umum yang rusak akbat
pekerjaan penggalian bawah tanah. Pemerintah DI Yogyakarta
mengusulkan agar pemasangan Kabel dan Pipa Bawah Tanah
dikenakan Retribusi.207
9) Pengenaan Tarif Pajak dan Retribusi Tunggal. Untuk menghindari
diskriminasi dan ketimpangan antar daerah terkait pengenaan tarif
Pajak dan Retribusi Daerah yang diatur dalam UU tentang PDRD,
BPKA DIY Bersama 5 BPKA Kab/Kota di Provinsi DIY mengusulkan
untuk diberlakukan tarif tunggal (close rate).208
10) Pajak Rumah Kos. Usulan perubahan pengertian Rumah Kos
sebagaimana diatur dalam ketentuan umum UU tentang PDRD,
bahwa persyaratan minimal 10 kamar kos baru bisa dikenakan
pajak hotel agar di hapuskan. Usulan perubahannya adalah tanpa
ada syarat minimal, sehingga setiap kamar yang di sewakan untuk
kos, maka di kenakan pajak hotel. Pemikiran tersebut mendasarkan
pada fakta di lapangan, petugas pajak daerah mendapatkan temuan
adanya diskriminasi.209
11) Pajak Apartemen, Kondominium Dan Asrama Yang di Sewakan.
Ketentuan tentang pajak hotel dikecualikan untuk jasa sewa
apartemen, kondominium, dan sejenisnya sebagaimana diatur pada
Pasal 32 ayat (3) poin b UU diusulkan untuk dikeluarkan dari obyek
pajak hotel yang kecualikan. Apartemen, kondominium dan
sejenisnya selain di tinggali untuk tempat tinggal pribadi, fasilitas
tersebut sekarang sering disewakan harian, mingguan dan bulanan
atau tahunan kepada masyarakat umum. Dengan berkembangnya
teknologi daring, banyak aplikasi yang menyediakan akses untuk
bisa menyewa kamar apartemen, kondominium tersebut. Untuk itu

207Ibid.,
208Ibid.,.
209BPKA Kabupaten Sleman, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan RUU

tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
13 Februari 2020.

95
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sangat tepat apabila persewaan apartemen, kondominium dan


sejenisnya di kenakan tarif pajak hotel. 210
12) Menambahkan Jenis Pajak Hiburan yakni Obyek Wisata. Saat ini
Banyak tempat wisata yang dikelola oleh pihak swasta dan
melakukan pungutan untuk bisa menikmati obyek wisata tersebut,
akan tetapi tidak dimasukan dalam kategori pajak hiburan. BPKA
Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta mengusulkan agar
tempat wisata, taman rekreasi dan obyek wisata yang melakukan
pungutan untuk dikenakan pajak hiburan. 211

13) Pajak Hiburan Tradisional. Dalam Peraturan Daerah Kota


Yogyakarta Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, didalamnya
mengatur bahwa Pemerintah Kota Yogyakarta membebaskan
pertunjukan tradisional yang tidak melakukan pungutan untuk
dibebaskan dari beban pajak hiburan. Begitu juga untuk untuk
pertunjukan tradisional yang di peruntukan untuk kepentingan
pendidikan dibebaskan dari tarif pajak hiburan.212
14) Terkait pajak rokok ini perlu adanya sinergi dari berbagai
stakeholders terkait seperti Kementerian Perindustrian,
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.213
15) Terkait ego sektoral daerah yang masih tinggi, dimana peraturan
daerah (legislasi) yang tidak dibuat sebagai mestinya dan tidak
melibatkan pihak terkait dalam proses pembentukannya. Sebagai
contoh retribusi yang dibebankan terhadap pembangunan kilang
atau tangki timbun ukuran retribusi diubah dari meter persegi
menjadi per meter kubik. kewajiban retribusi yang baru tersebut
tentunya sangat menggerus modal pembangunan tangki timbun

210Ibid.,
211BPKA Kabupaten Gunung Kidul, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, 13 Februari 2020.
212BPKA Kota Yogyakarta, disampaikan dalam diskusi penyusunan NA dan RUU

tentang Perubahan atas UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
13 Februari 2020.
213Budiman Ginting, Loc.cit.,

96
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

para pengusaha sawit dan menyebabkan pengusaha enggan untuk


berinvestasi dalam pembangunan tangki penimbunan CPO.214
16) Pajak Air Permukaan Umum (APU) dan Air Bawah Tanah (ABT) juga
senatiasa bermasalah, sebagaimana contoh yang dialami oleh PT
Inalum, dimana pengenaan pajak oleh Pemprov Sumut pada PT
Inalum terdapat ketidakadilan terutama ketika dibandingkan
dengan Pajak Air Permukaan (PAP) yang dikenakan terhadap
Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang juga merupakan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Selain hal tersebut, pengenaan atas
Pajak Air Permukaan juga dirasa memberatkan, karena air
permukaan memang senantiasa mengalir begitu saja baik
dimanfaatkan atau tidak, namun tetap dikenakan pajak atasnya.215
17) Retribusi terhadap Container/ truk pengangkut barang di
Pelabuhan Belawan juga mejadi salah satu permasalahan yang
kerap dihadapi, banyaknya pungutan registrasi yang dikenakan
cukup memberatkan pengusaha serta atas retribusi tersebut juga
tidak sebanding dengan jasa yang diberikan.216
18) Pajak atas fitness/gym sejauh ini dikenakan sebesar 30% harusnya
0% karena merupakan bagian dari kesehatan.217
19) Sejauh ini terkesan pemerintah provinsi mencari celah dalam
meningkatkan PAD-nya melalui pengenaan pajak yang tidak
semestinya. Padahal selama ini yang disulitkan atas hal tersebut
yaitu masyarakat, sebagai akibat peningkatan beban biaya produksi
oleh perusahaan dari pajak yang dibayarkan.218
20) Pajak dan retribusi daerah harusnya dimulai dari proses awal,
yakni: Pertama, semua pihak terkait dilibatkan. Salah satunya
Kumham harus dilibatkan dalam proses darafting. Agar dapat
meng-compare dan memastikan tidak adanya tumpang tindih.

214APINDO Perwakilan Sumatera Utara, Loc.cit.,


215Ibid.,
216Ibid.,
217Ibid.,
218Ibid.,

97
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Kedua, harus dipastikan logika kalkulasinya benar. Ketiga, Subjek


dan objek pajak dilibatkan.219
21) Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah daerah, yaitu
bagaimana menata tingkat terendah khususnya terkait kejujuran
dan kepercayaan, sinkronisasi kebijakan dan peraturan antara
pusat dengan pelaksanaan dilapangan khususnya untuk
memudahkan investasi, berkesinambungannya pengarsipan ditiap
masa pemerintahan, dan perlu dibuat sanksi terhadap pejabat yang
salah.220
22) Secara umum Apindo Sumut sendiri pada dasarnya setuju atas
Pajak dan Retribusi daerah selama Pajak dan Retribusi tersebut
konsisten, jelas, dan bermanfaat. Pajak yang dikenakan sedapat
mungkin juga lebih sederhana dan tidak banyak jenisnya, karena
selama ini khususnya dunia usaha banyak sekali pungutan yang
dilakukan oleh Pemprov baik itu Pajak Pusat, Pajak Daerah,
Pungutan PNBP maupun Retribusi. 221

23) Pemprov Sumut meminta kepada TIM DPR agar Gubernur


berwenang untuk meninjau ulang (membatalkan) perda-perda
tentang PDRD kabupaten/kota yang memberatkan masyarakat di
daerahnya.222
24) Pemprov Sumut juga meminta kepada TIM DPR agar mencermati
soal besaran upah pungut dalam revisi UU tentang PDRD. Pemprov
Sumut berpendapat agar upah pungut (insentif) pajak daerah tetap
diberikan walaupun target penerimaan pajak daerah tidak tercapai
maksimal. Jangan dihilangkan karena akan menjadi insentif bagi
pemungut pajak untuk meningkatkan PAD.223
25) Pemprov Sumut pada prinsipnya tidak keberatan untuk
dilakukannya revisi terhadap UU tentang PDRD, karena memang

219Ibid.,
220Ibid.,
221Ibid.,
222BPPRD Provinsi Sumatera Utara, Loc.cit.,
223Ibid.,

98
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

telah diputuskan oleh MK terkait pasal-pasal yang di-judicial review


oleh publik.224
26) Implementasi Tarif Pajak Tontonan Film yang Berdaya Saing dan
Inklusif.
Jumlah penonton bioskop di Indonesia terus meningkat dari
100,6 juta pada 2016, 108,2 juta pada 2017, dan 129,5 juta pada
2018. Namun jumlah layar yang tersedia belum mampu
mengimbangi pertumbuhan jumlah penonton film. Salah satu
penyebabnya adalah persebaran bioskop yang terpusat di Pulau
Jawa dengan jumlah bioskop sebanyak 335 bioskop atau mencapai
69% total bioskop. Salah satu kendala utama penambahan jumlah
layar di luar Pulau Jawa adalah masih tingginya tarif pajak
tontonan di wilayah tersebut, mulai dari 10% hingga 35%. Kondisi
tersebut menciptakan iklim ketidakpastian bagi pengusaha bioskop,
terlebih lagi tarif pajak tontonan sewaktu-waktu bisa berubah.
Karena itu sejumlah pelaku usaha meminta kepastian dan
penurunan tarif pajak tontonan film ke pemerintah pusat. Namun
permintaan tersebut sulit untuk dipenuhi karena pajak tontonan
film merupakan kewenangan pemerintah daerah. Padahal
penurunan tarif pajak tontonan merupakan salah satu instrumen
untuk memacu perkembangan industri film nasional. Studi ini
menganalisis dan memberi rekomendasi besaran tarif pajak
tontonan film yang lebih berdaya saing dan inklusif. 225
27) Dunia usaha memandang isu administrasi perpajakan daerah
cukup krusial. Intinya adalah bagaimana cara memungut pajak
yang efektif (administrasi dan enforcement). Selama ini sebenarnya
yang perlu dibenahi bukan lah tax policy namun tapi
administrasinya, dikarenakan 70% keberhasilan perpajakan
terletak pada kesuksesan proses proses administrasinya. Saat ini

224Ibid.,

225Tutik Rachmawati, Loc.cit.

99
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sejumlah Pemda masih menerapkan pembayaran pajak dan


retribusi secara manual. Sistem ini tidak efektif dari sisi biaya dan
waktu. Sistem pembayaran online agar dapat diterapkan secara
konsisten di waktu mendatang, yang didukung safety serta friendly
system yang dapat melindungi kerahasiaan identitas pembayar
pajak serta mudah digunakan oleh para wajib pajak. 226
28) Salah satu isu dalam kualitas dan kuantitas SDM Perpajakan yang
dialami Daerah adalah Pemda kesulitan menemukan tenaga ahli
yang sesuai dengan kebutuhan perpajakan daerah seperti
pemeriksa, juru sita, dan penilai. Keterbatasan ini berimbas pada
pembayar pajak dan retribusi terutama para pelaku usaha. Para
pelaku usaha mesti menyesuaikan diri dengan kondisi Pemda.
Dunia usaha berkeinginan agar Pemda memperbaiki kualitas dan
kuantitas SDM Perpajakan Daerah. Keterbatasan (kuantitas /
kualitas) SDM perpajakan daerah menghambat proses pembayaran
pajak dan retribusi. Dunia usaha juga merekomendasikan agar
Pemerintah Pusat dapat membuat diklat-diklat peningkatan
kapasitas pegawai pajak daerah. Para pelaku usaha membutuhkan
petugas-petugas yang berkualitas sehingga pelayanan pajak dan
retribusi berjalan efektif dan efisien. 227
29) Saat ini sejumlah Pemda masih menerapkan pembayaran pajak dan
retribusi secara manual. Sistem pembayaran pajak secara manual
yang selama ini diterapkan mengakibatkan inefisiensi dari sisi biaya
dan waktu. Kondisi ini – seperti pertemuan langsung antara
petugas pemda dan pembayar pajak dan retribusi – dinilai
mengganggu aktivitas berusaha serta berpotensi menciptakan
praktek korupsi. Oleh karena itu keterbatasan kualitas dan
kuantitas SDM Perpajakan di Daerah tentu berimbas pada
pembayar pajak dan retribusi terutama terhadap para pelaku

226Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Loc.cit.,


227Ibid.,

100
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

usaha. Kondisi yang terjadi adalah para pelaku usaha lah yang
justru harus menyesuaikan diri dengan kondisi inefisiensi dan
inefektivitas yang dialami Pemda. 228
30) Pajak Hiburan Keseluruhan (Pagelaran busana, kontes kecantikan,
diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat,
mandi uap / spa, dll)
Penetapan jumlah pajak/retribusi daerah sebenarnya
menyesuaikan dengan kondisi dan daya saing daerah. Namun yang
sering terjadi adalah Pemerintah Daerah selalu menjadikan besaran
pungutan retribusi dan pajak daerah sebagai potensi peningkatan
pemasukan PAD tanpa mempertimbangkan daya saing dan
kemampuan pelaku usaha di daerah.229
31) Nomenklatur Penamaan “Pajak Hotel” sebagaimana tercantum
dalam Pasal 2 Ayat 2a sebaiknya diubah menjadi “Pajak
Akomodasi”, karena Hotel saat ini bukan satu-satunya sarana
akomodasi pariwisata yang menjual secara harian. Penjelasan
akomodasi dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pariwisata No.10
tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik Sektor Pariwisata. 230
32) Pada Pasal 32 Ayat 3b “jasa sewa apartemen, kondominium, dan
sejenisnya”, perlu ditambahkan dan menjadi “jasa sewa apartemen,
kondominium, dan sejenisnya, kecuali menjual secara harian, maka
tetap dikenakan pajak akomodasi”. Hal tersebut didasarkan bahwa
Apartement, Kondominium, Rumah, Kos-kosan, Residential dan
sejenisnya banyak yang menjual unitnya secara harian seperti hotel
dan berfungsi sebagai sarana akomodasi untuk pariwisata.231
Sementara pada Ayat 3c “jasa tempat tinggal di pusat pendidikan
atau kegiatan keagamaan”, perlu ditambahkan menjadi “jasa
tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;

228Ibid.,
229Ibid.,
230Ibid.,
231Ibid.,

101
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sejauh tidak menjual kamarnya secara komersil dan harian”. Hal ini
didasarkan atas Lembaga Pendidikan saat ini banyak yan memiliki
Educational Hotel yang seharusnya berfungsi sebagai tempat
pelatihan siswa, namun digunakan secara komersil dan harian.
33) Pada Pasal 34 yang berbunyi “Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah
jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel”,
perlu diubah menjadi “Dasar pengenaan Pajak Akomodasi adalah
jumlah pembayaran yang dibayarkan tamu kepada Akomodasi”. Hal
ini didasarkan bahwa Pajak Hotel adalah merupakan pajak yang
dipungut kepada tamu/customer dari setiap penjualan (sales
revenue). Sehingga jika tidak terjadi pembayaran terhadap
penjualan, maka pajaknya adalah zero (nol). Hotel memiliki Rate
yang dinamis bukan flate rate (tetap). Macam macam rate yang
diterapkan disetiap bisnis akomodasi ditetapkan berdasarkan
kebijakan masing-masing perusahaan, ada publish rate, corporate
rate, agent rate dan lain sebagainya. Penggunaan kata-kata “yang
seharusnya dibayar oleh Hotel” berdampak adanya pajak
complimentary pada Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2016
tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PP No. 55 Tahun 2016).
Complimentary pada usaha hotel memiliki banyak fungsi bermacam
macam yang antara lain adalah:
a) In House GM, Owner dan Management lainnya (tergantung
kebijakan perusahaan).
b) Mitra kerja dalam rangka maintenance, promosi/pemasaran dan
lain-lain.
c) Memberikan bonus kepada Travel Agent yang bukan merupakan
partner dan membawa tamu dalam jumlah yang banyak, Tamu
dengan jumlah yang banyak dan lain sebagainya.
34) Pasal 39 yang berbunyi Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah
jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima
Restoran. Perlu menjadi “Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah
jumlah pembayaran yang dibayarkan tamu kepada Restoran. Hal

102
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

ini didasarkan atas Pajak Restoran adalah merupakan pajak yang


dipungut kepada tamu/customer dari setiap penjualan (sales
revenue). Sehingga jika tidak terjadi pembayaran terhadap
penjualan, maka pajaknya adalah zero (nol). Penggunaan kata-kata
“yang seharusnya dibayar oleh Hotel” berdampak adanya pajak
complimentary pada PP 55 tahun 2016. Complimentary pada usaha
Restoran memiliki banyak fungsi bermacam macam, yang antara
lain adalah:
a) Management dan karyawan (tergantung kebijakan perusahaan).
b) Mitra kerja dalam rangka maintenance, promosi/pemasaran dan
lain-lain.
c) Memberikan bonus kepada Travel Agent yang bukan merupakan
partner dan membawa tamu dalam jumlah yang banyak, Tamu
dengan jumlah yang banyak dan lain sebagainya.232
35) Pasal 35 yang berbunyi “Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen). Perlu diubah menjadi “Tarif Pajak
Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (sepuluh persen)”. Serta
Pasal 40 yang berbunyi “Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen), perlu diubah menjadi Tarif
Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh
persen). Hal ini didasarkan untuk Memicu daya saing pariwisata
Indonesia dengan negara lain. Dan meningkatkan kunjungan
wisman dan wisnus dengan harga yang terjangkau.233
36) Pada pasal 45 Ayat 1 dan 2 atas penetapan tarif Pajak Hiburan yang
semula ditetapkan paling tinggi sebesar 35% perlu diubah menjdai
paling tinggi sebesar 10 % dan khusus untuk hiburan berupa
pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab
malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa,
tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(Sepuluh lima persen) dari yang semula ditetapkan paling besar

232Ibid.,
233Ibid.,

103
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

75%. Hal ini disebabkan Penetapan jumlah pajak/retribusi daerah


sebenarnya menyesuaikan dengan kondisi dan daya saing daerah.
Namun yang sering terjadi adalah Pemerintah Daerah selalu
menjadikan besaran pungutan retribusi dan pajak daerah sebagai
potensi peningkatan pemasukan PAD tanpa mempertimbangkan
daya saing dan kemampuan pelaku usaha didaerah.234
37) Tarif Pajak reklame dari yang sebelumnya ditetapkan paling tinggi
sebesar 25% perlu diubah menjadi paling tinggi 10%. Hal ini
dikarenakan Penetapan jumlah pajak/retribusi daerah sebenarnya
menyesuaikan dengan kondisi daerah. Namun yang terjadi adalah
Pemerintah Daerah selalu menjadikan besaran pungutan retribusi
dan pajak daerah sebagai potensi peningkatan pemasukan PAD
tanpa mempertimbangkan daya saing dan kemampuan pelaku
usaha didaerah.235
38) Pengaturan besarnya NJOP yang ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun
kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun
sesuai dengan perkembangan wilayahnya perlu diubah dan diganti
menjadi tiap 5 (lima) tahun. Hal ini dikarenakan Pemerintah Daerah
pada umumnya menaikkan besaran pajak PBB sangat drastis,
tanpa memperhitungkan kondisi bisnis/ekonomi yang ada
didaerahnya. Sejak PBB menjadi kewenangan pemerintah daerah
dalam menetapkannya, maka kenaikannya tidak terkendali, karena
pemerintah daerah memanfaatkannya sebagai instrument pendapat
asli daerahuntuk itu. Untuk itu Penetapan NJOP PBB perlu diatur
prosedurnya agar tidak terjadi kenaikan NJOP demi mengejar
PAD.236

7. PAJAK DAERAH DI BEBERAPA NEGARA

234Ibid.,

235Ibid.,
236Ibid.,

104
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Di berbagai negara di dunia, pemerintah daerah (local government)


atau pemeirntah negara bagian juga diberikan kuasa oleh peraturan
perundang-undangan untuk memungut pajak daerah. Di beberapa
negara di Afrika Sub-Sahara seperti Benin, Côte d'Ivoire, Mali, dan
Senegal, umumnya memungut empat jenis pajak lokal yakni 1)pajak
bangunan; 2)pajak bumi (tanah); 3)pajak perijinan usaha; dan 4)pajak
penjualan minuman (tax on buildings, land tax, business licence and
liquor licence).237 Tapi sebagian besar negara-negara di Afrika
mengadopsi sistem perpajakan yang berlaku di negara Perancis,
termasuk pajak daerah.
Di samping 4 negara Afrika di atas, beberapa negara di Afrika
lainnya memiliki kewenangan dalam memungut pajak daerah seperti:
1) pajak property (property taxes essentially based on urban residential
and commercial buildings and (rarely) on agricultural land; 2) Pajak atas
sewa bangunan/property yang dipungut dari pemilik bangunan; 3) Per
capita tax (poll tax) or residence tax; 4)Pajak usaha dari berbagai ijin
usaha dan para profesional (taxes on activities cover various forms of
business licences and taxes based on professional activities); 5)Pajak air
minum dan tenaga listrik (local taxes or fees on utilities, including local
service charges on water and electricity); 6)Pajak penggunaan fasilitas
umum (fees for the use of public facilities, for instance, markets,
abattoirs, equipment intended to facilitate economic activities); 7)Pajak
hewan atau ternak (livestock or grazing fees imposed on pastoralists
moving through the locality); 8)Royalti atas SDA mineral, perikanan dan
hasil-hasil hutan); 9) pajak lainnya seperti: taxes on tourism, road tolls,
dll).238
Sementara pajak daerah yang berlaku di Philipina berbeda antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah di bawahnya. Pemeirntah
provinsi memiliki kewenangan lebih banyak dibandingkan pemerintah

237Odd-Helge Fjeldstad,et.al., (2014), “Local Government Taxation in Sub-Saharan

Africa: A review and an agenda for research”, Working Paper, p.1-38, Chr. Michelsen Institute,
Norway.
238Ibid.

105
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

lokal lain. Adapun pajak-pajak provinsi di Philippina adalah: 1)Pajak


kepemilikan bangunan (tax on transfer of real property ownership);
2)Pajak percetakan atau publikasi media cetakk (tax on business of
printing and publication); 3)Franchise tax; 4)Pajak atas galian bukan
mineral (pasir dan batuan); 5)Pajak para profesional (professional tax);
6)Pajak hiburan, film, pertunjukan,dll; 6)Pajak penggunaan kendaraan
niaga (trucking tax).
Sedangkan pajak lokal yang dipungut oleh pemerintah daerah di bawah
provinsi (municipalities) adalah: 1)Tax on business on manufacturers,
assemblers, repackers, processors, brewers, distillers, rectifiers, and
compounders of liquors, distilled spirits, and wines or manufacturers;
wholesalers, distributors, dealers in any article of commerce of whatever
kind or nature; exporters, millers, producers, wholesalers, distributors,
dealers or retailers of essential commodities; retailers; (e)contractors and
other independent contractors; (f)banks and other financial institutions;
(g)peddlers engaged in the sale of any merchandise or article of
commerce. 2)Fees and charges on business and occupation; 3)Fishery
rental fees or charges; privileges in the municipal waters and impose
rentals, fees or charges Fees for sealing and licensing of weights and
measures; and 4)Community tax.239

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur


Dalam Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap
Aspek Beban Keuangan Negara
Implikasi atas keempat pengaturan dalam Putusan MK, tentunya
akan berdampak terhadap pemerintah khususnya pemerintah daerah
dalam hal pembiayaan keuangan, mengingat salah satu kontribusi
terbesar dari pendapatan asli daerah masih didominasi oleh pajak dan

239JOHNY S. NATAD, “A Report Paper On Local Government Taxation in the Philippines”,

p.1-11, https://johnysnatad.files.wordpress.com/2008/09/the-local-government-taxation-in-
the-philippinesdoc.pdf, diakses 3 Mei 2020.

106
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

retribusi daerah (gambar 5), serta dampak yang akan berakibat pula
terhadap perekonomian masyarakat.

Gambar 5. Komposisi Sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) Provinsi, Kabupaten, Kota
Tahun 2009-2018 (Persen)
Sumber: DJPK, diolah

Berikut lebih lanjut potensi dampak dari masing-masing pengaturan


atas putusan MK, antara lain:
1. Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011 menyatakan kata “golf” pada
Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD bertentangan dengan Pasal
28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan
putusan tersebut, MK membatalkan golf menjadi bagian dari pajak
hiburan. Dengan demikian pemungutan pajak hiburan terhadap objek
pajak penyelenggara golf dihapuskan. Sehingga pemerintah daerah pun
tidak boleh memungut pajak hiburan atas golf. 240
Meskipun dengan tidak lagi dipungutnya pajak hiburan atas golf,
dapat mengurangi beban pengelolaan dan pemungutan pajak hiburan
atas golf oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah
kabupaten/kota, namun hal tersebut akan berpengaruh negatif

240Pengaturan mengenai pajak alat berat di beberapa negara dapat di lihat laman

https://www.in.gov/dor/files/gb211.pdf dan
http://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-property/special-
sales-tax/heavy-equipment

107
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

terhadap pendapatan daerah, mengingat bahwa pajak hiburan


merupakan salah satu unsur dalam penerimaan pajak daerah
Kabupaten/Kota. Dampak tersebut berupa potensi penurunan dari
penerimaan pajak hiburan.
Di lain sisi, tidak lagi dipungutnya pajak hiburan atas golf tidak
hanya memberikan dampak kepada pemerintah daerah itu sendiri
berupa pengurangan beban pengelolaan dan tax loss pada penerimaan
pajak hiburan, tetapi berdampak pula kepada pengusaha golf selaku
wajib pajak dalam pihak penyelenggara kegiatan golf yang tidak lagi
dipungut pajak tersebut. Dampak yang akan timbul berupa manfaat
pengurangan beban operasional yang harus dikeluarkan atas pajak
yang harus dibayar mengingat beban pajak hiburan tersebut tidak
dapat dikreditkan.241 Sehingga kekhawatiran pada ketidakefisienan
dalam pengelolaan industri golf dan mendemotivasi tumbuh
kembangnya industri golf berpotensi tidak akan terjadi.

2. Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa Pasal 124


UU tentang PDRD membuat ketentuan penetapan tarif retribusi
pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya
pengawasan dan pengendalian. Penetapan tarif retribusi pengendalian
menara telekomunikasi ditentukan maksimal 2% dari NJOP, sehingga
menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2%
dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas berapa sesungguhnya tarif
retribusi yang layak dikenakan mengingat setiap daerah dengan
karakteristik yang sesungguhnya berbeda. Berdasarkan putusan
tersebut penetapan tarif maksimal retribusi pengendalian menara
telekomunikasi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
bersesuaian dengan pembentukan perundang-undangan yang baik,
maka Pemerintah harus segera membuat formulasi/rumus
penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara

241 Drs. Chairil Anwar Pohan, M, Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak &

Bisnis (Edisi Revisi), Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2013, hal.382

108
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan ruang


untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi,
juga dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan,
kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian
atas pelayanan tersebut.
Atas putusan diatas, tentunya akan berimplikasi terhadap
penerimaan daerah. Dimana penerimaan retribusi pengendalian
menara dapat berpotensi menimbulkan penurunan sebagai akibat
reformulasi/ merumuskan ulang penghitungan dimana basis dan nilai
dasar pengenaan retribusi baru yang ditetapkan lebih rendah
dibandingkan yang sudah ditetapkan sebelumnya (existing). Dari
pengaturan reformulasi penghitungan tersebut juga akan berdampak
pada penambahan biaya dalam APBD untuk melakukan perubahan
berbagai aturan serta sosialisasi dari aturan tersebut. Meskipun
bermanfaat dalam meningkatkan investasi daerah itu sendiri.
Sementara disisi pengusaha, akan dapat memberikan manfaaat
bagi pengusaha dalam hal berkurangnya beban yang harus dibayarkan
sehinga dapat menyediakan dan mewujudkan telekomunikasi yang
murah dan dapat dijangkau masyarakat. Serta membuka peluang
investasi telekomunikasi di daerah.
Dilain pihak, masyarakat juga turut mendapatkan potensi
manfaat dengan terjangkaunya telekomunikasi yang murah. Namun
dampak buruk pun bisa saja terjadi bagi masyarakat sebagai akibat
dari jumlah menara telekomunikasi yang semakin banyak sehingga
menyebabkan radiasi bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan.
a) Berikut perbandingan perhitungan pajak yang menjadi bagian
pokok permohonan oleh perusahaan (pemohon) dalam putusan MK
dan perhitungan yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan
atas tindak lanjut hasil putusan MK, sebagai berikut: Ilustrasi
perhitungan yang menjadi bagian dari pokok permohonan dalam
putusan MK Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 Perhitungan

109
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

1) Akibat timbulknya penjelasan Pasal 124 UU PDRD, maka


menimbulkan biaya ekonomi tinggi atas penjelasan tersebut,
yang disimulasikan sebagai berikut:
2) Jika diasumsikan bahwa NJOP Menara adalah
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), maka nilai Retribusi
Pengendalian Menara yang harus dibayarkan adalah 2% dari
NJOP= Rp20.000.000/menara/tahun.
3) Sementara jika menggunakan ketentuan Pasal 151, 152, dan
Pasal 161 yang didasarkan pada biaya pengawasan, tarif
retribusi pengendalian menara telekomunikasi untuk 1 (satu)
menara tidak lebih dari Rp2.000.000 (dua juta rupiah). Yakni
sebesar Rp2.072.728/menara/tahun. Perhitungan penetapan
tarif tersebut sebagai berikut:

Deskripsi Biaya Satuan Banyak Jumlah Keterang


(Rp) Bulan (Rp) an
Honorarium 3.000.000 Bulanan/ 2 orang 6.000.000 1
Petugas orang bulan=22
Pengawas hari kerja
1 tim
terdiri
dari 2
orang
Transportasi 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000
Uang makan 100.000 Harian/tim 22 hari 2.200.000
Alat tulis 1.000.000 Bulan/tim 1 1000.000
kantor
Total biaya 11.400.000
pengeluaran
per tim per
bulan
Deskripsi Kapasitas Jumlah Kapasitas Retribusi pengendalian
Pengawas hari kerja Pengawas menara
an per per bulan an per
Tim/hari tim/bulan
Kegiatan 3 menara 22 66 =11.400.000
Pengawasan menara =Rp172.728/menara/
dan bulan
Pengendalian Atau
Menara Rp2.072.728/menara/
tahun
Tabel 3 Perhitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi

110
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Dari table diatas dapat diketahui bahwa biaya pengawasan dan


pengendalian menara telekomunikasi, item atau komponennya
tetap dapat diperhitungkan, item tersebut yaitu biaya honorarium
petugas pengawas (didasarkan pada Upah Minimum Regional
(UMP)), transportasi dan uang makan (disasarkan angka
kewajaran) serta alat tulis kantor (didasarkan pada kebutuhan
yang wajar) bahwa akibat timbulnya penjelasan Pasal 124 UU
PDDRD, maka menimbulkan biaya ekonomi tinggi atas penjelasan
tersebu. Dari poin a dan b, didapat potensi kerugian per menara
adalah Rp20.000.000 - Rp2.072.728 = Rp17.927.272
/menara/tahun
b) Perhitungan yang disampaikan oleh Kemenkeu atas tindak lanjut
hasil putusan MK
Sebagai tindak lanjut atas hasil putusan MK tersebut diatas,
DJPK telah menerbitkan formulasi perhitungan Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi sebagaimana tercantum
dalam surat DJPK yang ditujukan kepada seluruh Gubernur dan
Bupati/Walikota No. S-439/PK/2015 tanggal 9 Juni 2015 dan S-
743/PK/2015 tanggal 18 November 2015 (penghitungan, prinsip,
dan sasaran penetapan tarif dilaksanakan sesuai Pasal 151 dan
152 UU tentang PDRD, sebagai berikut:
1) Besarnya Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
dihitung dengan formula:
RPMT = Tingkat Penggunaan Jasa x Tarif Retribusi
2) Tingkat penggunaan jasa dihitung berdasarkan frekuensi
pengendalian dan pengawasan
3) Perhitungan tarif retribusi didasarkan pada biaya operasioal
pengendalian dan pengawasan, dengan komponen biaya:
honorarium petugas ke lapangan, transportasi, uang makan,
dan alat tulis kantor (ATK)

111
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

4) Satuan biaya masing-masing komponen biaya tersebut


disesuaikan dengan standar biaya yang ditetapkan oleh Kepala
Daerah
5) Besaran Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi dapat
memperhitungkan variable/ factor zonasi, ketinggian menara,
jenis menara, dan jarak tempuh
Penerapan tarif dapat dilakukan berupa tarif tunggal
ataupun tarif variable (bervariasi). Berikut merupakan contoh
studi kasus perhitungan tarif Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi: Dalam Kabupaten XYZ berdiri 270 menara
Telkom, dengan frekuensi pengawasan sebanyak 2 kali dalam 1
(satu) tahun untuk tiap menara. Jumlah petugas yang melakukan
pengawasan ke setiap menara 3 orang dan melakukan
penhgawasan terhadap 3 menara per hari. Letak menara tersebar
di ibukota kabupaten maupun diluar ibukota kabupaten maupaun
di luar ibukota kabupaten yang membutuhkan biaya trensportasi
cukup besar. Pemda XYZ menetapkan belanja barang dan jasa
dengan ketentuan sebagai berikut:
• Belanja perjalanan dinas:
- Biaya transportasi @Rp2.000.000/tim/hari (merupakan
biaya transportasi rata-rata untuk mengunjungi menara-
menara yang terletak di ibukota kabupaten mauapun di luar
ibukota kabupaten dan dapat diterapkan per orang.
- Uang harian perjalanan dinas @550.000/orang/hari (sudah
termasuk uang makan).
• Belanja bahan habis pakai berupa ATK @Rp6.000.000/tahun
1) Menggunakan tarif tunggal
Jumlah kunjungan ke menara per tahun= 270x2 kali = 540
kunjungan
Jika dalam 1 hari = 3 kunjungan, maka untuk 540 kunjungan
dibutuhkan 180 hari kerja. Maka biaya operasional per tahun
adalah sebagai berikut:

112
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

180
1 Transportasi 1 tim Rp 2,000,000 Rp 360,000,000
hari
180
2 Uang Harian 3 orang Rp 550,000 Rp 297,000,000
hari
3 ATK 1 tahun Rp 6,000,000 Rp 6,000,000
Total Biaya Operasional per tahun Rp 663,000,000
Biaya rata-rata atau tariff per menara per tahun (270 menara) Rp 2,455,555
Pembulatan Rp 2,456,000
Tabel 4 Penghitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan Tarif
Tunggal
2) Menggunakan Tarif Variabel
Diasumsikan variable yang digunakan adalah sebagai berikut:
- Variable jarak tempuh: Dalam kota (indeks 0,9) dan luar
kota (indeks 1,1)
- Variable jenis menara: menara pole (indeks 0,9), menara 3
kaki (indeks 1), dan menara 4 kaki (indeks 1,1)
o Pendekatan 1: mendistribusikan biaya rata-rata sebesar
Rp2.456.000 ke masing-masing variable sesuai indeks

Biaya yang
Variabel Indeks Indeks Distribusi Biaya
Didistribusikan

1 2 3 4 5 (2 x 4 atau 3 x 4)
Dalam Kota 0.9 Rp 2,456,000.00 Rp 2,210,400.00
- Menara Pole 0.9 Rp 2,210,400.00 Rp 1,989,360.00
- Menara 3 Kaki 1 Rp 2,210,400.00 Rp 2,210,400.00
- Menara 4 Kaki 1.1 Rp 2,210,400.00 Rp 2,431,440.00
Luar Kota 1.1 Rp 2,456,000.00 Rp 2,701,600.00
- Menara Pole 0.9 Rp 2,701,600.00 Rp 2,431,440.00
- Menara 3 Kaki 1 Rp 2,701,600.00 Rp 2,701,600.00
- Menara 4 Kaki 1.1 Rp 2,701,600.00 Rp 2,971,760.00
Tabel 5: Penghitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi dengan Tarif
variabel

Berdasarkan pendekatan 1, maka formulasi perhitungan


dijabarkan sebagai berikut:

RPMT= Hasil perkalian indeks x Tarif retribusi

113
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Untuk Menara pole yang berada di dalam kota:


RPMT = Indeks variable jarak tempuh x indeks variable menara x
tarif

= 0,9 x 0,9 x Rp2.456.000 = Rp 1.989.360/tahun

Untuk menara 4 kaki yang berada di luar kota:


= 1,1 x 1,1 x Rp2.456.000 = Rp2.971.760/tahun

o Pendekatan 2 : menggunakan rata-rata indeks

RPMT = Nilai rata-rata indeks variable x tariff retribusi

Untuk Menara pole yang berada di dalam kota


RPMT=
= = Rp2.210.400/tahun

Untuk Menara 4 kaki yang berada di luar kota


RPMT=
= = Rp2.701.600/tahun

Dan atas penetapan terkait perubahan skema tarif yang


ditetapkan oleh DJPK (Kementerian Keuangan) tersebut
mengakibatkan penyesuaian penerimaan, dimana penerimaan atas
retribusi pengendalian menara telekomunikasi mengalami
penurunan yakni dari Rp106,74 miliar pada tahun 2013 menjadi
Rp77,66 miliar atau sebesar 27,24 persen.

114
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Gambar 6. Penerimaan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi


Sumber: DJPK, 2020

3. Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 menyatakan ketentuan Pasal


1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU
tentang PDRD bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1),
dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dimana atas putusan
tersebut, dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor
terhadap alat berat ditiadakan. Namun, Mahkamah juga menegaskan
bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar
hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat
berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu,
berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-
undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat.
Dampak dari putusan tesebut, pemerintah selaku pemungut pajak
akan tetap dapat menerima pendapatan dari pajak atas alat berat dan
tentunya tidak akan mengurangi kontribusi pajak tersebut terhadap
PAD mengingat kontribusi pajak atas alat berat (Pajak kendaraan
bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB))
saat ini dirasa cukup menjanjikan, khususnya dibeberapa provinsi
seperti Kalimantan, Sulawesi ataupun Papua. Dikarenakan pada
provinsi tersebut banyak industri pertambangan dimana penggunaan
alat berat sangat dibutuhkan dalam kegiatan produksinya. Sebagai
contoh kontribusi PKB dan BBNKB terhadap PAD di Pemprov Kaltim

115
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

rata-rata Rp33 miliar per tahun242. Disamping itu, kebutuhan akan


alat berat terus tumbuh jika berkaca dari penjualan alat berat yang
kian meningkat.243 Dan pemerintah pun juga telah menetapkan 41
proyek prioritas strategis nasional yang rencananya akan dibangun
pada 2021, dalam rangka mencapai sasaran prioritas pembangunan
sesuai dengan sasaran rencana pembangunan jangka menengah
nasional (RPJMN) 2020-2024. Hal ini tentu saja akan berpengaruh
terhadap peningkatan kebutuhan alat-alat berat dan tumbuhnya
potensi penerimaan pajak yang akan diperoleh oleh pemerintah
provinsi

242Ddtcnews, Putusan MK Soal Pajak Alat Berat Dinilai Surutkan PAD, dimuat dalam

https://news.ddtc.co.id/provinsi-kalimantan-timur-putusan-mk-soal-pajak-alat-berat-dinilai-
surutkan-pad-11218?page_y=992, diakses tanggal 23 Januari 2020
243Pada tahun 2012, penjualan alat berat kembali turun, seperti terjadi pada tahun

1998 dan 2009. Tren penurunan penjualan terus terjadi sampai akhir 2015. Penyebabnya
adalah melemahnya sektor pertambangan. Namun, penjualan alat berat mulai membaik pada
tahun 2016, 2017, dan 2018. Sepanjang 2018, penjualan alat berat berhasil mencapai 13.553
unit. Sampai kuartal 3 2019 mencapai 7.781 unit, dan pertumbuhan terhadap penjualan alat
berat periode yang sama tahun 2018 yang sebesar 10.517 unit

116
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Gambar 7. Penjualan dan Pertumbuhan Penjualan Alat Berat di Indonesia, 1990-


2019
Sumber: IndoAnalisis Research dalam Laporan Industri 2019: Industri Alat Berat di
Indonesia

Selain itu, pengenaan pajak yang dilakukan tentunya juga


berpotensi dapat dimanfaatkan untuk membiayai perbaikan
kerusakan lingkungan sebagai akibat dari beroperasinya alat berat.
Namun, konsekuensi dari pengaturan tersebut akan berpotensi pada
penambahan biaya untuk melakukan perubahan aturan perundang-
undangan, peraturan daerah dan aturan lainnya serta sosialisasi
perubahan aturan sebagai akibat dari perubahan nomenklatur.
Selain dampak yang ditimbukan kepada pemerintah daerah
provinsi, dampak tersebut juga dapat dirasakan oleh para pemilik alat
berat, berupa beban atas pungutan pajak terhadap alat berat tetap
dikenakan. Sementara konsumen sebagai penikmat hasil produksi
pun bisa jadi tetap ikut menanggung beban yang biasanya dilekatkan
pada harga hasil produksi (alat berat umumnya digunakan sebagai
alat produksi)

4. Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 menyatakan Ketentuan Pasal


1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan
ayat (3) UU tentang PDRD adalah bertentangan dengan UUD 1945.
Dimana PPJ tidak seharusnya menjadikan sumber listrik yang
dihasilkan sendiri dan sumber lain (selain yang dihasilkan oleh
pemerintah (PT PLN)) sebagai objek pajak. Namun Mahkamah
berpendapat bahwa penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain, tetap dapat dikenai
pajak atau dengan kata lain tetap dapat dijadikan sebagai objek pajak,
namun pengenaan pajaknya harus diatur dalam undang-undang
dengan nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak

117
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

menimbulkan kerancuan maupun kebingungan bagi masyarakat


terutama subjek pajak dan wajib pajak.
Dari putusan tersebut atas perlakuan terhadap pengenaan PPJ
yang dihasilkan sendiri dan sumber lain (selain yang dihasilkan oleh
pemerintah (PT PLN)) tetap dapat dilakukan dengan syarat harus
diatur dalam undang-undang dengan nomenklatur atau istilah yang
lebih tepat.
Dampak dari putusan tesebut, pemerintah selaku pemungut pajak
akan tetap dapat menerima pendapatan dari PPJ dan tidak akan
mengurangi kontribusi terhadap PAD, mengingat sebelum
pendaerahan PBB P2 serta BPHTB penerimaan PPJ memiliki nilai
tertinggi diantara jenis pajak daerah kabupaten/kota lainnya.
Kontribusi PPJ juga dinilai cukup besar yakni sebesar
Rp14.118.805.111.266 atau 24,36 persen terhadap pajak daerah
kabupaten kota di Indonesia244. Namun konsekuensi dari hal
tersebut, akan dapat berdampak pada penambahan biaya untuk
melakukan perubahan aturan perundang-undangan, peraturan
daerah dan aturan lainnya serta sosialisasi perubahan aturan sebagai
akibat dari perubahan nomenklatur. Selain itu pengenaan pajak yang
dilakukan juga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan dampak
buruk yang muncul bagi lingkungan dan masyarakat, sebagai akibat
maraknya kehadiran perusahaan yang menghasilkan tenaga listrik
sendiri karena penggunaan fosil untuk bahan bakar dalam
menyediakan tenaga listrik.
Sementara pengguna yang dalam hal ini memanfaatkan sumber
listrik tentunya berpotensi menambah beban operasional yang harus
dikeluarkan atas pengenaan pajak yang ditetapkan.

244Dalam data DJPK Kementerian Keuangan dijelaskan bahwa dasar dan asumsi

perhitungannya adalah realisasi penerimaan PPJ pada tahun 2018 dan total Pajak daerah
keseluruhan dalam APBD seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

118
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

119
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020
No Pengaturan Stakeholder Manfaat Beban
1 Putusan MK Nomor 52/PUU- Pemerintah Daerah • Mengurangi beban Mengurangi penerimaan
IX/2011 (Penghapusan Pajak (Kabupaten/Kota) pengelolaan dan pajak hiburan
Hiburan atas Golf) pemungutan pajak
• Meningkatkan investasi
industri golf di daerah
Wajib Pajak (Pengusaha) Mengurangi beban
operasional
2 Putusan MK Nomor 46/PUU- Pemerintah Daerah Meningkatkan investasi Mengurangi penerimaan
XII/2014 (Restrukturisasi daerah retribusi
formulasi/rumus penghitungan) Wajib Pajak (Pengusaha) Mengurangi beban
operasional
Masyarakat dan Harga telekomunikasi Radiasi dan kerusakan
lingkungan murah dan terjangkau lingkungan
3 Putusan MK Nomor 15/PUU- Pemerintah Provinsi • Tetap memperoleh Menambah beban/biaya
XV/2017 (Alat berat tetap dikenakan pendapatan pajak atas pengaturan
pajak dengan adanya dasar hukum • Mengurangi beban nomenklatur baru
baru dalam peraturan perundang- dalam membiayai
undangan (nomenklatur baru) perbaikan kerusakan
lingkungan
Wajib Pajak (Pengusaha) Beban operasional tetap
dikenakan
4 Putusan MK Nomor 15/PUU- Pemerintah • Tetap memperoleh Menambah beban/biaya
XV/2017 (Pengaturan nomenklatur Kabupaten/Kota pendapatan pajak atas pengaturan
baru) • Mengurangi beban/biaya nomenklatur baru
dalam membiayai
pengendalian dampak
buruk dari tenaga listrik
bersumber fosil
Pengguna/ Wajib Pajak Menambah beban
operasional

Tabel 6. Rangkuman Potensi Manfaat dan Beban atas Pengaturan dalam Putusan MK terkait
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)

120
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Bab ini akan membahas berbagai peraturan perundang-undangan


terkait PDRD, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
berpengaruh terhadap kedudukan dan materi muatan RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD ini. Evaluasi dan analisis ini
dimaksudkan untuk melihat keterkaitan rancangan undang-undang ini
dengan peraturan perundang-undangan lain, sehingga diketahui kondisi
hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
PDRD. Uraian ini berusaha untuk menggambarkan tingkat sinkronisasi,
harmonisasi peraturan PDRD perundang-undangan yang ada serta posisi
RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD ini, untuk menghindari
terjadinya tumpang tindih pengaturan.

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
UUD NRI Tahun 1945. Tujuan Negara Indonesia sebagaimana tercantum
dalam Alinea Keempat UUD NRI Tahun 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota yang tiap-tiap daerah
tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI
tahun 1945. Penyelenggaraan otonomi oleh pemerintah daerah dilakukan
seluas-luasnya kecuali yang berkaitan dengan urusan pemerintahan yang
ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

121
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah harus disertai


dengan kebijakan desentralisasi fiskal dalam rangka mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Dengan adanya otonomi
daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing
dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk dapat menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup
agar mampu mewujudkan tujuan dari otonomi daerah. Sumber keuangan
daerah dapat berasal dari PDRD yang pengaturannya telah diatur dalam
Pasal 23A UUD NRI tahun 1945 yang berbunyi pajak dan pungutan
lainnya yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam
undang-undang. Berdasarkan berdasarkan uraian diatas maka pajak
daerah dan pungutan lainnnya seperti retribusi daerah merupakan salah
satu sumber pendapatan daerah yang digunakan untuk membiayai
pelaksanaan pemerintahan daerah. Pengaturan mengenai pajak daerah
dan retribusi daerah harus diatur dalam undang-undang sebagaimana
amanat dari Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945. Dalam pelaksanannya
pengaturan PDRD diatur dalam UU tentang PDRD.
Berdasarkan berdasarkan uraian diatas maka pajak daerah dan
pungutan lainnnya seperti retribusi daerah merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat
sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
yang berbunyi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dalam RUU tentang Perubahan Atas UU tentang
PDRD harus merujuk pada putusan MK terkait pengujian UU tentang
PDRD.

122
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta


Kerja)
Keterkaitan UU Cipta Kerja dengan UU PDRD terletak pada beberapa
hal. Pasal 114 angka 1 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 141 UU
PDRD. Pasal 141 UU PDRD diubah sehingga jenis retribusi perizinan
tertentu terdiri dari Retribusi Perizinan Berusaha terkait persetujuan
bangunan gedung yang disebut Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung;
Retribusi Perizinan Berusaha terkait tempat penjualan minuman
beralkohol yang disebut Retribusi lzin Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol; Retribusi Perizinan Berusaha terkait trayek yang selanjutnya
disebut Retribusi Izin Trayek; dan Retribusi Perizinan Berusaha terkait
perikanan yang selanjutnya disebut Retribusi Izin Usaha Perikanan.
Kemudian Pasal 144 UU PDRD terkait retribusi izin gangguan dihapus
sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja Pasal 114 angka 2.
Pasal 114 angka 3 dan angka 4 UU Cipta Kerja menambahkan Bab
VIIA mengenai kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan
retribusi (Pasal 156A dan pasal 156B) ke dalam UU PDRD yang pada
intinya mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal
nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta
untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya
saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang
berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat
melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah (Pasal 156A ayat (1). Kebijakan fiskal
nasional tersebut berupa: dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi
dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara
nasional; dan pengawasan dan evaluasi terhadap Peraturan Daerah
mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan
kemudahan dalam berusaha (Pasal 156A ayat (2)). Penetapan tarif Pajak
yang berlaku secara nasional mencakup tarif atas jenis Pajak Provinsi dan
jenis Pajak Kabupaten/Kota yang diatur dalam Pasal 2 UU PDRD (Pasal
156A ayat (3)). Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional

123
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

mencakup objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 UU


PDRD (Pasal 156A ayat (4)). Ketentuan mengenai tata cara penetapan tarif
Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 156A ayat (5)).
Kemudian dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi,
gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada
pelaku usaha di daerahnya (Pasal 156B ayat (1)). Insentif fiskal berupa
pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok
pajak dan/atau sanksinya (Pasal 156B ayat (2)). Insentif fiskal dapat
diberikan atas permohonan wajib pajak atau diberikan secara jabatan oleh
kepala daerah berdasarkan pertimbangan yang rasional (Pasal 156B ayat
(3)). Pemberian insentif fiskal diberitahukan kepada DPRD dengan
melampirkan pertimbangan kepala daerah dalam memberikan insentif
fiskal tersebut (Pasal 156B ayat (4)). Pemberian insentif fiskal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Pasal
156B ayat (5)). Pasal 114 angka 4 UU Cipker lalu menyisipkan ayat (5a) di
antara ayat (5) dan ayat (6) yang ada dalam Pasal 157 UU PDRD. Ayat (5a)
tersebut intinya mengatur bahwa Menteri Dalam Negeri dan gubernur
berkoordinasi dengan Menteri Keuangan dalam melakukan evaluasi
terhadap Raperda Provinsi (yang telah disetujui bersama oleh Gubernur
dan DPRD) dan Raperda Kabupaten/Kota (yang telah disetujui bersama
oleh Bupati/Walikota dan DPRD Kabupaten/Kota) yang mengatur tentang
Pajak dan Retribusi.
Pasal 114 angka 6 UU Cipta kerja kemudian mengubah Pasal 158
UU PDRD. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh
gubernur/bupati/wali kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan
untuk dilakukan evaluasi (Pasal 158 ayat (1)). Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan melakukan evaluasi Peraturan Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku
untuk menguji kesesuaian antara Peraturan Daerah dimaksud dan
kepentingan umum serta antara ketentuan peraturan perundangundangan

124
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

yang lebih tinggi dan kebijakan fiskal Nasional (Pasal 158 ayat (2)). Dalam
hal berdasarkan evaluasi kemudian Peraturan Daerah tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri Keuangan
merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Peraturan Daerah
dimaksud kepada Menteri Dalam Negeri (Pasal 158 ayat (3)). Penyampaian
rekomendasi perubahan Peraturan Daerah oleh Menteri Keuangan kepada
Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 158 ayat
(4)). Berdasarkan rekomendasi perubahan Peraturan Daerah yang
disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri
memerintahkan gubernur/bupati/wali kota untuk melakukan perubahan
Peraturan Daerah dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja (Pasal 158 ayat
(5)). Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali
kota tidak melakukan perubahan atas Peraturan Daerah tersebut, Menteri
Dalam Negeri menyampaikan rekomendasi pemberian sanksi kepada
Menteri Keuangan (Pasal 158 ayat (6)).
Pasal 114 angka 7 UU Cipta Kerja kemudian juga mengubah ketentuan
Pasal 159 UU PDRD. Perubahannya adalah bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 158 ayat (5) oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan
atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil (Pasal
159 ayat (1)). Kemudian pemberian sanksi oleh Menteri Keuangan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(Pasal 159 ayat (2)).
Pasal 114 angka 8 UU Cipta Kerja lalu menyisipkan ketentuan Pasal
159A di antara Pasal 159 dan Pasal 160 UU PDRD. Pasal 159A mengatur
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Rancangan
Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 UU PDRD (Pasal 159A huruf a);
pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan

125
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Retribusi Daerah dan aturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 158 UU PDRD (Pasal 159A huruf b); dan pemberian sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 UU PDRD (Pasal 159A huruf c)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka RUU perubahan terhadap UU
PDRD harus memperhatikan ketentuan-ketentuan UU PDRD yang telah
diubah dalam UU Cipta Kerja yaitu yang menyangkut tentang jenis
retribusi perizinan tertentu; dihapusnya retribusi izin gangguan; kebijakan
fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi; insentif fiskal
yang dapat diberikan oleh gubernur/bupati/wali kota kepada pelaku
usaha di daerah dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi;
evaluasi Raperda Provinsi/ Kabupaten/Kota tentang Pajak dan Retribusi;
evaluasi Perda Provinsi/ Kabupaten/Kota tentang Pajak dan Retribusi; dan
pemberian sanksi terhadap pelanggaran oleh Daerah.
C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU tentang Pemerintahan Daerah)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disingkat UU tentang
Pemerintahan Daerah) membagi urusan pemerintahan menjadi 3 (tiga)
yaitu urusan pemerintahan absolut yang sepenuhnya merupakan
kewenangan dari Pemerintah Pusat, urusan pemerintahan konkuren yang
dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota, dan urusan pemerintahan umum yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Pasal 11 UU tentang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai
urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan dari daerah

126
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dibagi menjadi 2 (dua) yaitu urusan pemerintahan wajib dan urusan


pemerintahan pilihan. Urusan pemerintahan wajib terdiri atas urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Keterkaitan antara UU tentang Pemerintahan Daerah dengan RUU
tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD yaitu:
Pertama, pendanaan dalam pembentukan daerah dan penyesuaian
daerah untuk kepentingan strategis nasional sebagaimana diatur dalam
Pasal 49 sampai dengan Pasal 51 UU tentang Pemerintahan Daerah.
Pendanaan untuk penyelenggaraan persiapan dan kewajiban daerah
persiapan dibebankan pada APBN, pajak daerah, dan retribusi daerah yang
dipungut di daerah persiapan.
Kedua, evaluasi terhadap rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, tata ruang daerah, pajak daerah, dan retribusi daerah
yang dilakukan oleh gubernur sebagai wakil dari pemerintah pusat
sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (2) huruf d UU tentang
Pemerintahan Daerah. Evaluasi ini merupakan bentuk pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan dan tugas pembantuan dari kabupaten/kota.
Rancangan perda kabupaten/kota harus mendapat evaluasi gubernur
sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota.
Gubernur dalam melakukan evaluasi rancangan perda kabupaten/kota
tentang PDRD berkonsultasi dengan Menteri dan selanjutnya Menteri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang keuangan. Prosedur dan tata cara evaluasi
Rancangan Perda Kabupaten/Kota Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah diatur dalam Pasal 325 UU tentang Pemerintahan Daerah.
Ketiga, evaluasi rancangan perda provinsi yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 245 ayat (1) dan ayat (2) UU tentang

127
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Pemerintahan Daerah. Evalusi terhadap rancangan perda provinsi ini


harus mendapat evaluasi Menteri sebelum ditetapkan oleh gubernur.
Dalam melakukan evaluasi peraturan daerah provinsi tentang rencana
pembangunan jangka Panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan
jangka menengah daerah (RPJMD), APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban dalam pelaksanaan APBD, pajak daerah, dan
retribusi daerah, menteri harus berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan. Prosedur dan
tata cara evaluasi Rancangan Perda Provinsi Tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah diatur dalam Pasal 324 UU tentang Pemerintahan
Daerah.
Terkait dengan pembatalan perda provinsi yang semula dilakukan
oleh Menteri Dalam Negeri dan untuk perda kabupaten/kota dilakukan
oleh gubernur, maka berdasarkan Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015
pembatalan Perda dilakukan melalui uji materiil ke Mahkamah Agung.
Selain itu berdasarkan Pasal 249 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
DPD memiliki wewenang untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas
rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah.
Keempat, pengenaan sanksi bagi pemerintah daerah provinsi atau
kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda mengenai pajak daerah
dan/atau retribusi daerah yang dibatalkan oleh Menteri atau dibatalkan
oleh gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal 252 ayat (5) UU tentang
Pemerintahan Daerah. Sanksi ini berupa penundaan atau pemotongan
dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil bagi daerah bersangkutan.
Kelima, hubungan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan daerah
untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan
dan/atau ditugaskan kepada daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 279
UU tentang Pemerintahan Daerah. Hubungan keuangan dalam

128
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah


meliputi:
1. pemberian sumber penerimaan daerah berupa PDRD;
2. pemberian dana bersumber dari perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah;
3. pemberian dana penyelenggaraan otonomi khusus untuk
Pemerintahan daerah tertentu yang ditetapkan dalam undang-
undang; dan
4. pemberian pinjaman dan/atau hibah, dana darurat, dan insentif
(fiskal).
Hubungan keuangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada daerah disertai dengan pendanaan sesuai dengan
urusan pemerintahan yang ditugaskan sebagai pelaksanaan dari tugas
pembantuan. Pasal 280 UU tentang Pemerintahan Daerah mengatur
bahwa pemerintah daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan
keuangan daerah yang meliputi mengelola dana secara efektif, efisien,
transparan dan akuntabel; melakukan sinkronisasi pencapaian sasaran
program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat; dan
melaporkan realisasi pendanaan urusan pemerintahan yang ditugaskan
sebagai pelaksanaan dari tugas pembantuan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah, daerah juga memiliki hubungan keuangan dengan daerah
lain sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU tentang Pemerintahan
Daerah. Adapun hubungan keuangan tersebut meliputi bagi hasil pajak
dan nonpajak antar-Daerah; pendanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah yang menjadi tanggung jawab bersama
sebagai konsekuensi dari kerja sama antardaerah; pinjaman dan/atau
hibah antar-daerah; bantuan keuangan antar-daerah; dan pelaksanaan
dana otonomi khusus yang ditetapkan dalam undang-undang.
Keenam, Pasal 285 UU tentang Pemerintahan Daerah diatur mengenai
sumber pendapatan daerah yang terdiri atas:

129
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

1. pendapatan asli daerah yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah,


hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan daerah yang sah.
2. pendapatan transfer yang meliputi transfer pemerintah pusat yang
terdiri dari dana perimbangan, dana otonomi khusus, dana
keistimewaan, dan dana desa serta transfer antar-daerah yang terdiri
atas pendapatan bagi hasil dan bantuan keuangan.
3. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Pengaturan mengenai PDRD ditetapkan dengan undang-undang yang
pelaksanaan di daerah diatur lebih lanjut dengan perda. Meskipun dalam
pelaksanaannya daerah diberikan kewenangan mengatur mengenai PDRD,
namun berdasarkan pasal 286 ayat (2) UU tentang Pemerintahan Daerah
pemerintah daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan
lain di luar yang diatur dalam undang-undang. Jika kepala daerah
melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di luar yang diatur dalam
undang-undang dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak
keuangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan selama 6 (enam) bulan. Pasal 287 UU tentang Pemerintahan
Daerah mengatur bahwa hasil pungutan atau dengan sebutan lain yang
dipungut oleh kepala daerah di luar yang diatur dalam undang-undang
wajib disetorkan seluruhnya ke kas negara.
Ketujuh, belanja daerah diatur dalam Pasal 298 UU tentang
Pemerintahan Daerah yang mencakup belanja hibah, bantuan sosial,
belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja untuk desa. Belanja
bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja untuk desa dianggarkan dalam
APBD. Belanja untuk Desa mencakup alokasi APBN untuk desa, alokasi
dana desa, dan bagian dari hasil pajak dan retribusi kabupaten/kota ke
desa untuk penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas maka dalam membentuk Naskah
Akademik dan RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD perlu
memperhatikan pengaturan yang diatur dalam UU tentang Pemerintahan

130
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Daerah seperti pendanaan dalam pembentukan daerah dan penyesuaian


daerah untuk kepentingan strategis nasional, pembagian urusan
pemerintahan, evaluasi raperda provinsi dan kabupaten/kota PDRD dan
pembatalan perda provinsi dan kabupaten/kota PDRD, hubungan
keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pendapatan daerah,
dan belanja daerah harus memperhatikan pengaturan di UU tentang
Pemerintahan Daerah ini.

D. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil,


dan Menengah (UU tentang UMKM)
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mempunyai kedudukan, peran,
dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional
yang makin seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usahanya
dalam rangka membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi yang berkeadilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3. Dalam
rangka menumbuhkan dan mengembangkan usahanya maka perlu
dilakukan pemberdayaan terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ditujukan untuk
mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang,
berkembang, dan berkeadilan; menumbuhkan dan mengembangkan
kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang
tangguh dan mandiri; dan meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja,
pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat
dari kemiskinan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5. Dalam UU tentang
UMKM tidak menyinggung secara langsung mengenai PDRD namun salah
satu kendala yang dihadapi oleh UMKM dalam menumbuhkan dan
mengembangkan usahanya terkait tarif pemungutan pajak daerah dan
retribusi daerah. Pemungutan PDRD dalam UU tentang PDRD belum
memberikan keringanan pengenaan tarif bagi usaha mikro, kecil,
menengah, dan besar. Hal ini menyebabkan pelaku UMKM sulit untuk

131
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

berkembang karena banyaknya jenis PDRD yang dipungut oleh pemerintah


daerah terhadap UMKM tidak berbanding lurus dengan pendapatan yang
diperoleh pelaku UMKM. Oleh karena itu dalam RUU tentang Perubahan
Atas UU tentang PDRD perlu dibuat pengaturan khusus terkait keringanan
pemungutan PDRD bagi pelaku UMKM.

E. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU tentang
Perimbangan Keuangan)
UU tentang Perimbangan Keuangan dimaksudkan untuk mendukung
pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan
tersebut menganut prinsip money follows function, yang mengandung
makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.
Sumber pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana
perimbangan, dan pendapatan lain. Berdasarkan Pasal 6 UU tentang
Perimbangan Keuangan pendapatan asli daerah bersumber dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan pendapatan asli daerah lain yang sah.
Pasal 8 UU tentang Perimbangan Keuangan menyebutkan bahwa
“ketentuan mengenai PDRD dilaksanakan sesuai dengan undang-undang”.
Ketentuan mengenai PDRD diarahkan untuk memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi daerah
melalui perluasan basis pajak dan retribusi dan pemberian diskresi dalam
penetapan tarif pajak dan retribusi tersebut. Perluasan basis pajak
tersebut antara lain dengan menambah jenis pajak dan retribusi baru dan
diskresi penetapan tarif dilakukan dengan memberikan kewenangan

132
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

sepenuhnya kepada daerah dalam menetapkan tarif sesuai tarif maksimal


yang ditetapkan dalam undang-undang.
Dengan demikian keterkaitan antara UU tentang Perimbangan
Keuangan dengan pengaturan dalam RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD mengenai jenis pajak dan retribusi daerah serta penetapan
tarifnya sebagai sumber pendapatan asli daerah.

F. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan


Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah (PP No. 55 Tahun
2016)
PP No. 55 Tahun 2016 merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal
98 UU tentang PDRD mengenai jenis pajak daerah yang dipungut
berdasarkan penetapan kepala daerah atau dibayar sendiri oleh wajib
pajak. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman teknis
pelaksanaan pemungutan pajak dan memperjelas pemaknaan berbagai
ketentuan dalam UU tentang PDRD sebagai pengganti Peraturan
Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang
Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh
Wajib pajak.
Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 55 Tahun 2016, pembagian
jenis pajak terdiri atas:
a. Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan kepala daerah,
yaitu pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor,
dan pajak air permukaan.
b. Pajak provinsi yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh
wajib pajak, yaitu pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak
rokok.
c. Jenis pajak kabupaten/kota yang dipungut berdasarkan penetapan
kepala daerah, yaitu pajak reklame, Pajak air tanah dan PBB-P2.
d. Pajak kabupaten/kota yang dibayar sendiri berdasarkan
penghitungan oleh wajib pajak, yaitu pajak hotel, pajak restoran,
pajak hiburan, PPJ, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak

133
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

parkir, Pajak sarang burung wallet, dan BPHTB.


Ketentuan Pasal 4 PP No. 55 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Pajak
ditetapkan dengan peraturan daerah yang sedikitnya mengatur ketentuan
mengenai:
a. nama, objek pajak, dan subjek pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
d. masa pajak;
e. penetapan;
f. tata cara pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa;
h. sanksi administratif; dan
i. tanggal mulai berlakunya.
Selain itu peraturan daerah tersebut dapat juga mengatur ketentuan
mengenai:
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal
tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
b. tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan;
c. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
d. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan
pernbebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan
negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Selain pengaturan di atas, PP No. 55 Tahun 2016 ini dimaksudkan
untuk dapat memberikan pengaturan yang lebih jelas terkait pemungutan
pajak yang bersifat khusus, antara lain jenis pajak yang pembayaran pajak
terutangnya dibebankan kepada pemerintah yaitu untuk wajib pajak yang
menandatangani perjanjian dengan pemerintah di bidang kegiatan usaha
hulu minyak dan gas bumi yang menetapkan bahwa pajak terutangnya
dibayarkan oleh Pemerintah. Selain itu, untuk mendukung pelaksanaan
Pemungutan Pajak, PP No. 55 Tahun 2016 memperkuat law enforcement
perpajakan daerah, dan menjamin terlaksananya hak dan kewajiban wajib
pajak, PP No. 55 Tahun 2016 ini juga mengatur ketentuan mengenai

134
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pedoman pemeriksaan pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa


diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dengan demikian, RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
akan berimplikasi terhadap ketentuan umum dan tata cara pemungutan
pajak daerah sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 55 Tahun 2016,
sehingga PP No. 55 Tahun 2016 perlu dilakukan penyesuaian.

G. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 Tentang Retribusi


Pengendalian Lalu Lintas Dan Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (PP No. 97 Tahun 2012)
PP No. 97 Tahun 2012 merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 150
UU tentang PDRD, untuk menambah jenis retribusi dalam mengantisipasi
penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan kepada daerah. Selain itu, PP
No. 97 Tahun 2012 juga bertujuan untuk menambah sumber pendapatan
bagi pemerintah daerah dalam rangka mendanai fungsi pelayanan dan
perizinan yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Dalam peraturan pemerintah ini, ditetapkan 2 (dua) jenis retribusi
baru, yaitu retribusi pengendalian lalu lintas dan retribusi perpanjangan
Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA). Retribusi pengendalian lalu
lintas merupakan salah satu cara pembatasan lalu lintas kendaraan
bermotor pada ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu
pada waktu tertentu dengan tingkat kepadatan tertentu. Retribusi
perpanjangan IMTA merupakan pemberian perpanjangan IMTA oleh
gubernur atau bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk kepada pemberi
kerja tenaga kerja asing yang telah memiliki IMTA dari menteri yang
bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
Pungutan perpanjangan IMTA sebelumnya merupakan PNBP yang dengan
peraturan pemerintah ini ditetapkan sebagai Retribusi.
PP No. 97 Tahun 2012 ini mengatur mengenai objek dan subjek dari
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan IMTA dan
pendelegasian pengaturan terkait penetapan ruas jalan tertentu, koridor
tertentu, atau kawasan tertentu, pada waktu tertentu, besarnya tarif, dan

135
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pemanfaatan penerimaan Retribusi dalam Peraturan Daerah.


Dengan demikian, RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
akan berimplikasi terhadap retribusi pengendalian lalu lintas dan retribusi
perpanjangan IMTA sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 97 Tahun
2012, sehingga PP No. 97 Tahun 2012 perlu dilakukan penyesuaian.

H. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara


Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PP No. 69 Tahun 2010)
PP No. 69 Tahun 2010 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU
tentang PDRD. PP No. 69 Tahun 2010 dibentuk untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 171 ayat (3) UU tentang PDRD. PP No. 69 Tahun 2010
memuat ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan
insentif pemungutan PDRD antara lain insentif pemungutan PDRD serta
penganggaran pelaksanan, dan pertanggungjawabannya.
Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 69 Tahun 2010, insentif
pemungutan PDRD diberikan kepada instansi pelaksana pemungut PDRD.
Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (2) PP No. 69 Tahun 2010, insentif
tersebut secara proporsional dibayarkan kepada pejabat dan pegawai
Instansi pelaksana pemungut pajak dan retribusi sesuai dengan tanggung
jawab masing-masing. Pejabat dan pegawai instansi Pelaksana Pemungut
Pajak dalam hal ini adalah kepala dearah dan wakil kepada daerah sebagai
penanggung jawab pengelolaan keuangan daerah, sekretaris daerah selaku
koordinator pengelolaan keuangan daerah, pemungut pajak bumi dan
bangunan pada tingkat desa/kelurahan dan kecamatan, kepada
desa/lurah atau sebutan lain dan camat, dan tenaga lainnya yang
ditugaskan oleh Instansi Pelaksana Pemungut Pajak; dan pihak lain yang
membantu Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi. Menurut
ketentuan Pasal 3 ayat (3) PP No. 69 Tahun 2010, pemberian insentif
kepada kepala daerah, wakil kepala daerah, dan sekretaris daerah
sebagaiman dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dapat diberikan

136
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dalam hal belum diberlakukan ketentuan mengenai remunerasi di daerah


yang bersangkutan.
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP No. 69 Tahun 2010, instansi
pelaksana pemungut pajak dan retribusi dapat diberi Insentif apabila
mencapai kinerja tertentu. Pemberian insentif dimaksudkan menurut
ketentuan Pasal 4 ayat (2) PP No. 69 Tahun 2010 adalah untuk
meningkatkan kinerja instansi, semangat kerja bagi pejabat atau pegawai
Instansi, pendapatan daerah, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pemberian Insentif menurut ketentuan Pasal 4 ayat (3) PP No. 69 Tahun
2010, dibayarkan setiap triwulan pada awal triwulan berikutnya. Menurut
Pasal 4 ayat (4) PP No. 69 Tahun 2010, dalam hal target kinerja suatu
triwulan tidak tercapai, Insentif untuk triwulan tersebut dibayarkan pada
awal triwulan berikutnya yang telah mencapai target kinerja triwulan yang
ditentukan. Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (5) PP No. 69 Tahun 2010,
dalam hal target kinerja pada akhir tahun anggaran penerimaan tidak
tercapai, tidak membatalkan Insentif yang sudah dibayarkan untuk
triwulan sebelumnya.
Menurut ketentuan Pasal 5 PP No. 69 Tahun 2010, insentif bersumber
dari pendapatan pajak dan retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Besarnya insentif tersebut diatur pada Pasal 6 ayat
(1) PP No. 69 Tahun 2010, paling tinggi 3% (tiga perseratus) untuk
provinsi, dan 5% (lima perseratus) untuk kabupaten/kota, dari rencana
penerimaan pajak dan retribusi dalam tahun anggaran berkenaan untuk
tiap jenis pajak dan retribusi, selanjutnya pada Pasal 6 ayat (2) PP No. 69
Tahun 2010, besaran insentif ditetapkan melalui anggaran pendapatan
dan belanja daerah tahun anggaran berkenaan.
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) PP No. 69 Tahun 2010, Kepala
Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan Retribusi menyusun
penganggaran Insentif pemungutan pajak daerah dan/atau retribusi
daerah. Penganggaran insentif pemungutan pajak daerah menurut
ketentuan Pasal 9 ayat (2) PP No. 69 Tahun 2010 dikelompokkan ke dalam
belanja tidak langsung yang diuraikan berdasarkan jenis belanja pegawai,

137
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

objek belanja insentif pemungutan pajak daerah serta rincian objek belanja
pajak daerah. Adapun, penganggaran insentif pemungutan retribusi
daerah menurut ketentuan Pasal 9 ayat (3) PP No. 69 Tahun 2010
dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung yang diuraikan
berdasarkan jenis belanja pegawai, objek belanja insentif pemungutan
retribusi daerah serta rincian objek belanja retribusi daerah.
Jika target penerimaan PDRD pada akhir tahun anggaran telah
tercapai atau terlampaui, pembayaran insentif belum dapat dilakukan
pada tahun anggaran berkenaan menurut ketentuan Pasal 10 PP No. 69
Tahun 2010, pemberian insentif diberikan pada tahun anggaran
berikutnya yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan. Pertanggungjawaban pemberian insentif menurut
ketentuan Pasal 11 PP No. 69 Tahun 2010 dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keterkaitan PP No. 69 Tahun 2010 dalam kedudukannya sebagai
peraturan pelaksana dari UU tentang PDRD adalah semakin
proporsionalnya pemberian dan pemaanfaatan insentif PDRD daerah
kepada pelaksana pemungut pajak dan retribusi daerah, maka akan
mendukung terhadap peningkatan potensi PDRD yang akan diterima bagi
daerah tersebut. Hal-hal tersebut di atas penting untuk diperhatikan serta
dijadikan pertimbangan dalam melakukan penyusunan RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD. Dengan demikian, RUU tentang
Perubahan Atas UU tentang PDRD akan berimplikasi terhadap pemberian
insentif sebagaimana yang telah diatur dalam PP No. 69 Tahun 2010,
sehingga PP No. 69 Tahun 2010 perlu dilakukan penyesuaian.

I. Putusan Mahkamah Konstitusi No 52/PUU-IX/2011 tentang Pajak


Hiburan
Putusan MK Nomor 52/PUU-XII/2011 ini memiliki implikasi yang
sangat erat dan berkaitan langsung dengan pengaturan dalam UU tentang
PDRD khususnya Pasal 42 ayat (2) huruf g. Putusan MK tersebut berawal
dari adanya perkara yang pada intinya berkenaan dengan Pasal 42 ayat (2)

138
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

huruf g UU tentang PDRD yang menyangkut frasa “golf”. Golf adalah salah
satu obyek yang dapat dikenai pajak hiburan dalam konteks Pasal 42 ayat
(2) huruf g. Pemohon adalah badan hukum yang bergerak di bidang
penyediaan jasa lapangan golf, yang merasa dirugikan dengan
dijadikannya golf sebagai obyek pajak hiburan dengan argumentasi bahwa
PDRD hanya dikenakan kepada pemohon saja, sementara pihak lain yang
memiliki kegiatan dan/atau aktifitas dan/atau kegiatan usaha yang serupa
justru tidak dikenakan beban pajak tambahan, sehingga pemohon
meyakini bahwa mereka telah mendapatkan perlakuan diskriminatif
termasuk pengenaan pajak yang berganda. Menurut pemohon, golf adalah
kegiatan yang telah diakui seluruh dunia sebagai olahraga dan bukan
sebagai hiburan. Terlebih lagi, pajak hiburan yang dikenakan kepada
pemohon ini jelas-jelas melanggar asas-asas perpajakan karena terhadap
penyedia jasa lainnya yang juga bergerak di bidang penyediaan jasa
lapangan olahraga ternyata tidak dibebankan pajak hiburan. Pemohon
menginginkan Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD yang
mengandung frasa “golf” itu dinyatakan tidak mengikat dengan segala
akibat hukumnya karena bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan
Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
MK kemudian memutuskan bahwa frasa “golf” tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat dengan argumen bahwa pengenaan pajak
hiburan terhadap cabang olahraga golf bertentangan dengan prinsip
perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945. Selain itu MK setuju bahwa golf adalah suatu cabang
olahraga yang juga harus diperlakukan sama dengan cabang olahraga
lainnya yang tidak dikenai pajak hiburan dan ditambah pula pengenaan
pajak terhadap golf tentunya mengakibatkan pajak berganda.
Putusan MK tersebut sangat jelas berimplikasi terhadap
pemberlakuan Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD yang telah
dinyatakan tidak mengikat secara hukum terkait frasa “golf”. Kepastian
hukum mengenai tidak berlakunya lagi Pasal 42 ayat (2) huruf g terkait

139
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

frasa “golf” itu jelas harus ditindaklanjuti dengan menghapus frasa “golf”
dalam rumusan pasal terkait. Pengaturan UU tentang PDRD ke depannya
tentu haruslah mengakomodir hal tersebut, artinya ke depannya substansi
Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD seharusnya tidak lagi
mencantumkan atau menjadikan golf sebagai obyek pajak hiburan. Hal
tersebut sangat penting selain untuk mengakomodir amanah MK juga
sekaligus mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat guna menjamin
bahwa UU tentang PDRD khususnya Pasal 42 ayat (2) huruf g dapat
berjalan dan diterapkan sebagaimana mestinya.

J. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XII/2014 tentang


Retribusi Menara Telekonumikasi
Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 ini memiliki implikasi yang
sangat erat dan berkaitan langsung dengan pengaturan dalam UU tentang
PDRD khususnya terhadap Penjelasan Pasal 124. Putusan MK tersebut
berawal dari adanya perkara yang pada intinya terkait dengan Penjelasan
Pasal 124 UU tentang PDRD yang dianggap oleh pemohon tidak memiliki
ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara untuk
melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka
menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat
atas komunikasi yang dijamin oleh konstitusi. Pasal 124 UU tentang PDRD
menyatakan bahwa objek retribusi pengendalian menara telekomunikasi
adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan
memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum
yang mana penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya
akan digunakan untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian
yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Tetapi dalam praktiknya
penetapan tarif retribusi pengendalian menara justru langsung ditetapkan
paling tinggi 2 persen dari NJOP karena tingkat penggunaan jasa
pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan
sebagaimana bunyi penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD. Hal tersebut

140
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

tentu dianggap saling bertentangan antara substansi penjelasan Pasal 124


UU tentang PDRD terhadap substansi Pasal 124 itu sendiri yang dalam
praktik ternyata mengakibatkan beban ekonomi tinggi. Pemohon berharap
agar Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD memberikan kejelasan norma
agar benar-benar penetapan tarif retribusi pengendalian menara
menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya
dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam
Pasal 152 dan Pasal 161 UU tentang PDRD.
MK kemudian mengabulkan gugatan pemohon dan menyatakan
penjelasan Pasal 124 itu bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. MK
pada intinya berargumen bahwa retribusi haruslah dapat diperhitungkan
dan memiliki ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan sehingga
nantinya tidak memberatkan pihak-pihak yang terkait. MK juga
berpendapat bahwa pengenaan tarif maksimal 2 persen dari NJOP adalah
suatu ketidakadilan apalagi tiap daerah memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. MK berpandangan bahwa Pemerintah seharusnya dapat
menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi tersebut
yang berkaitan dengan prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan,
dan efisiensi. MK dengan tajam berpendapat bahwa suatu penjelasan tidak
boleh mengandung norma dan tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan
dari norma yang dimaksud.
Dengan dibatalkannya penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD
tentunya berimplikasi terhadap keberlakuan penjelasan pasal tersebut
yang harus disikapi dalam suatu langkah perubahan atau revisi terhadap
UU tentang PDRD khususnya terhadap penjelasan Pasal 124 maupun
pasal 124 itu sendiri demi terciptanya keadilan dan kepastian hukum.
Dibatalkannya penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD tentu
mengakibatkan perlunya rumusan penjelasan yang baru dan tepat
sehingga norma Pasal 124 UU tentang PDRD dapat berjalan sebagaimana
mestinya yang didukung dengan suatu penjelasan pasal yang benar-benar
jelas dan tidak membingungkan dalam penerapannya. Formulasi
pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang tepat dan

141
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

adil bagi seluruh pihak terkait dan dengan tetap pula memperhatikan
karakteristik serta kemampuan daerah masing-masing tentunya menjadi
aspek penting yang patut dipertimbangkan.

K. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017


Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 miliki implikasi yang
berkaitan langsung dengan pengaturan dalam UU tentang PDRD
khususnya dalam aturan mengenai alat berat. Putusan MK atas pengujian
norma UU tentang PDRD terhadap Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2), Pasal
6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) yang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Adapun norma
yang dimohonkan pengujian adalah sebagai berikut:
1. Norma dalam UU tentang PDRD yang diuji:
a. Pasal 1 angka 13: “Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan
beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis
jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor
atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu
sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan
motor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alatalat
besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan
tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang
dioperasikan di air.”
b. Pasal 5 ayat (2): “Khusus untuk Kendaraan Bermotor yang
digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-
alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor adakah Nilai Jual Kendaraan Bermotor.”
c. Pasal 6 ayat (4): “Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat
dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol
koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua
persen).”
d. Pasal 12 ayat (2): “Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat
berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum

142
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai


berikut: a. penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh
puluh lima persen); dan b. penyerahan kedua dan seterusnya
sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen).”
2. Norma UUD NRI Tahun 1945:
a. Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
b. Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.”
c. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
d. Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.”
Para pemohon menganggap hak-hak konstitusionalnya yang diberikan
oleh UUD NRI Tahun 1945 dirugikan dengan berlakunya norma dalam
RUU tentang PDRD, yaitu norma yang menempatkan alat berat sebagai
kendaraan bermotor dan menjadikan alat berat sebagai objek Pajak
Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB) sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (2) UU tentang PDRD. Dengan
berlakunya norma UU tentang PDRD tersebut di atas, maka hak-hak
konstitusional para Pemohon telah dirugikan karena Para Pemohon selaku
pihak yang memiliki dan/atau menguasai alat berat harus membayar
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB), sebagaimana kendaraan bermotor pada umumnya, padahal alat
berat bukan kendaraan bermotor. Adanya norma pengelompokan alat berat
sebagai bagian dari kendaraan bermotor dalam pengertian kendaraan
bermotor pada UU tentang PDRD dan adanya norma penarikan pajak

143
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor


(BBNKB) terhadap alat-alat berat dalam UU tentang PDRD telah melanggar
hak konstitusional para pemohon yaitu hak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum, karena telah mempersamakan alat berat dengan
kendaraan bermotor sehingga terhadap alat berat dikenakan PKB dan
BBNKB, padahal setelah adanya Putusan MK pada Nomor 3/PUU-
XIII/2015 tertanggal 31 Maret 2016 alat berat sudah bukan menjadi
bagian dari kendaraan bermotor.
Berdasarkan Putusan MK pada Nomor 3/PUU-XIII/2015 tertanggal 31
Maret 2016 alat berat telah ditetapkan bukan bagian dari kendaraan
bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan
Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c UU tentang LLAJ sehingga demi adanya
kepastian hukum, keadilan, persamaan di muka hukum termasuk
menghindari adanya dualisme hukum karena penafsiran yang berbeda
maka tidak boleh ada ketentuan lain yang menempatkan alat berat sebagai
kendaraan bermotor. Adanya ketentuan dalam Pasal 1 angka 13 UU
tentang PDRD yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor
telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena seakan-akan ada dua
norma hukum yang saling bertolak belakang yang berlaku terhadap alat
berat yaitu alat berat sebagai kendaraan bermotor dan alat berat bukan
kendaraan bermotor, padahal alat berat dimaksud meliputi jenis yang
sama misalnya excavator atau buldoser sebagai alat berat yang sudah
diputuskan oleh MK bukan kendaraan bermotor berdasarkan UU tentang
LLAJ akan tetapi berdasarkan UU tentang PDRD masih menjadi bagian
dari kendaraan bermotor.
Terhadap permohonan tersebut, pendapat hukum MK menyatakan
bahwa dalil para pemohon pada dasarnya bertolak dari proposisi bahwa
alat berat bukan kendaraan bermotor. Hal itu didasarkan pada
argumentasi bahwa Putusan MK Nomor 3/PUU-XIII/2015 telah
menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor dengan membatalkan
norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU

144
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

tentang LLAJ. Oleh karena itu demi kepastian hukum, keadilan,


persamaan di muka hukum dan untuk menghindari adanya dualisme
hukum karena adanya penafsiran yang berbeda maka tidak boleh ada
ketentuan lain yang menempatkan alat berat sebagai kendaraan bermotor.
Bahwa adanya Pasal 1 angka 13 UU tentang PDRD yang menempatkan
alat berat sebagai kendaraan bermotor telah menimbulkan ketidakpastian
hukum sebab seakan-akan ada dua norma yang saling berlawanan, dalam
hal ini Pasal 1 angka 13 UU tentang PDRD yang menempatkan alat berat
sebagai kendaraan bermotor dan Putusan MK yang telah menyatakan alat
berat bukan kendaraan bermotor. Ketidakpastian hukum demikian bukan
hanya berlaku bagi para pemohon tetapi juga bagi Pemerintah, seperti
Kementerian Perhubungan atau kementerian teknis lainnya yang telah
menerima bahwa alat berat bukan kendaraan bermotor sebagaimana
putusan MK tetapi instansi lainnya, seperti Kementerian Keuangan dan
Kementerian Dalam Negeri, masih menempatkan alat berat sebagai bagian
dari kendaraan bermotor. Hal ini bertentangan dengan prinsip negara
hukum yang seharusnya memberlakukan satu norma yang sama terhadap
alat berat sehingga menjadi bertentangan dengan prinsip perlakuan yang
sama di hadapan hukum. Terhadap definisi alat berat bukan merupakan
kendaraan bermotor sudah diputuskan sebelumnya melalui Putusan MK
Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang menyatakan alat berat bukan kendaraan
bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan
Pasal 47 ayat (2) huruf e UU tentang LLAJ. Putusan MK ini bersifat erga
omnes yang menyebabkan putusan MK memiliki derajat setara dengan
Undang-Undang, maka norma hukum baru yang lahir dari putusan itu
adalah berlaku umum sehingga norma undang-undang lain yang
mengandung materi muatan yang sama dengan norma Undang-Undang
yang oleh MK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
harus mengacu pada putusan MK dimaksud. Oleh karena itu maka
pengenaan pajak terhadap alat berat sebagai kendaraan bermotor
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat

145
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

(4), dan Pasal 12 ayat (2) UU tentang PDRD menjadi kehilangan


landasannya.
MK menambahkan guna menghindari terjadinya perbedaan
penafsiran dalam putusan ini, Mahkamah menegaskan bahwa meskipun
Mahkamah berpendapat Pasal 1 angka 13 sepanjang menyangkut frasa
“termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya
menggunakan roda dan motor tidak melekat secara permanen”, Pasal 5
ayat (2) sepanjang menyangkut frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-
alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU tentang PDRD
beralasan menurut hukum, hal itu bukan berarti (dan karenanya tidak
boleh ditafsirkan) bahwa terhadap alat berat tidak boleh dikenakan pajak.
Apalagi para pemohon baik dalam permohonannya maupun di persidangan
juga berkali-kali menyatakan bahwa pengujian pasal-pasal a quo sama
sekali tidak bermaksud menghindar dari kewajiban membayar pajak.
Dengan demikian, alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar
hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat
merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, berarti
dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan
untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat
dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD
sepanjang berkenaan dengan pengaturan pengenaan pajak terhadap alat
berat.
MK dalam amar putusannya mengabulkan permohonan para
pemohon untuk seluruhnya yaitu menyatakan Pasal 1 angka 13 sepanjang
frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya
menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal
5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”,
Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU tentang PDRD bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam rangka melaksanakan putusan tersebut serta untuk
memberikan kepastian hukum, maka MK memerintahkan kepada
pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun

146
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD, khususnya berkenaan


dengan pengenaan pajak terhadap alat berat.
Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 memberikan akibat hukum
meniadakan dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap
alat berat, oleh karena telah diputuskan bahwa alat berat bukan objek
kendaraan bermotor dan oleh karenanya juga bukan merupakan objek
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB), sehingga para pemilik alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan
BBNKB. Implikasi hukum yang terjadi atas akibat hukum ini adalah
legalitas Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan pajak kendaraan
bermotor terhadap alat berat menjadi hilang dan oleh karenanya perlu
dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. Hal ini menjadi penting
untuk segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya. Selain itu, dalam pandangannya Mahkamah juga
menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak
namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan
karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh
karena itu, berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan
perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang
antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU
tentang PDRD sepanjang berkenaan dengan pengaturan pengenaan pajak
terhadap alat berat.

L. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XV/2017


Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 memiliki implikasi terhadap
pengaturan dalam UU tentang PDRD mengenai PPJ. Putusan MK atas
pengujian norma UU tentang PDRD terhadap Pasal 1 angka 28, Pasal 52
ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 55 ayat (3) yang
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Adapun
norma yang dimohonkan pengujian adalah sebagai berikut:
1. Norma dalam UU tentang PDRD yang diuji:

147
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

a. Pasal 1 angka 28: “PPJ adalah pajak atas penggunaan tenaga


listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber
lain.”
b. Pasal 52 ayat (1): “Objek PPJ adalah penggunaan tenaga listrik,
baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber
lain.”
c. Pasal 55 ayat (2): “Penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh
industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, tarif PPJ
ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen).
d. Pasal 55 ayat (3): “Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan
sendiri, tarif PPJ ditetapkan paling tinggi sebesar 1.5% (satu koma
lima persen)”
2. Norma UUD NRI Tahun 1945:
Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”
Pemohon menganggap hak konstitusionalnya yang diberikan oleh
UUD NRI Tahun 1945 dirugikan dengan berlakunya norma dalam RUU
tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD karena tidak ada jaminan
kepastian hukum yang adil dalam penerapan Pasal 1 angka 28, Pasal 52
ayat (1), dan Pasal 52 ayat (2) dikarenakan pemohon dalam menyediakan
pasokan listrik seharusnya diapresiasi oleh pemerintah, bukan malah
dibebankan PPJ. Pengertian PPJ sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka
28 tidak sejalan dengan maksud diadakannya PPJ yang seharusnya
terbatas hanya untuk penggunaan listrik yang dihasilkan oleh negara dan
tidak dalam cakupan listrik yang dihasilkan oleh perusahaan untuk
kepentingan proses produksinya. Bahwa secara faktual negara melalui PT
PLN belum mampu mengusahakan terpenuhinya kebutuhan tenaga
listrik untuk kepentingan industri. Oleh karena itu langkah Pemohon
untuk membangkit listrik secara mandiri seharusnya mendapatkan
apresiasi atau insentif oleh pemerintah dengan cara meniadakan

148
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

pengenaan PPJ, bukan dibebankan PPJ. Tenaga listrik yang dihasilkan


sendiri oleh perusahaan tidak untuk diperjualbelikan melainkan untuk
kepentingan produksi perusahaan (kepentingan sendiri) dan telah
mendapat kontrol negara melalui pemberian izin usaha penyedia listrik
untuk kepentingan sendiri (izin operasi dan izin laik operasi) sehingga
tidak bertentangan dengan Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 yang
pada pokoknya mengatur tentang larangan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum tanpa kontrol negara. Tenaga listrik
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari rangkaian proses produksi
sehingga pengenaan PPJ terhadap tenaga listrik yang dihasilkan sendiri
oleh perusahaan dapat berakibat pada naiknya harga jual produksi
perusahaan di pasaran. Implikasinya produktivitas perusahaan menjadi
terhambat dan bahkan dalam kondisi yang paling buruk perusahaan
dihadapkan pada pilihan untuk memberhentikan tetap atau sementara
pegawai guna mengurangi beban biaya produksi. Berdasarkan
argumentasi tersebut maka pengenaan PPJ untuk tenaga listrik yang
dihasilkan sendiri oleh perusahaan seharusnya dikecualikan dalam UU
tentang PDRD. Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 52
ayat (1) dan pasal 52 ayat (2) UU tentang PDRD secara nyata
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Pemohon menyatakan bahwa terkait ketentuan Pasal 52 ayat (1) dan
Pasal 55 ayat (2) yang memuat frasa “sumber lain” menurut pemohon
ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI
Tahun 1945 karena mengandung ketidakpastian hukum. Untuk
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pengenaan PPJ, sudah
seharusnya frasa “sumber lain” sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 52 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (2) UU tentang PDRD dimaknai
terbatas pada sumber listrik yang dihasilkan oleh negara melalui PT PLN.
Bahwa Pasal 55 ayat (3) UU tentang PDRD bertentangan dengan pasal
28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena menyebabkan ketidakadilan
hukum. PPJ seharusnya hanya dikenakan pada penggunaan listrik yang
bersumber dari negara PT PLN.

149
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Terhadap permohonan tersebut, pendapatan hukum MK menyatakan


bahwa Mahkamah mencermati Pasal 1 angka 28 UU tentang PDRD dapat
diuraikan menjadi dua unsur dasar, pertama bahwa hakikat PPJ adalah
pajak atas penggunaan tenaga listrik. Kedua, tenaga listrik yang dikenai
PPJ adalah tenaga listrik yang diperoleh/dihasilkan sendiri oleh
pengguna maupun tenaga listrik yang diperoleh dari sumber lain.
Dengan merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 28 jo Pasal 52 ayat
(1) UU tentang PDRD, Mahkamah menemukan penegasan bahwa makna
yang dikehendaki pembentuk undang-undang adalah semua penggunaan
tenaga listrik tanpa kecuali merupakan objek dari PPJ, tidak terbatas
hanya pada penggunaan tenaga listrik untuk keperluan penerangan jalan.
Mahkamah menemukan adanya ketidaktepatan penempatan objek pajak
dengan jenis pajak yang berkaitan dengan Pasal 1 angka 28, Pasal 52
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PDRD.
Oleh karena itu menurut Mahkamah terdapat persoalan konstusionalitas
norma terhadap pasal tersebut. Namun demikian tidak serta merta
berarti bahwa sumber listrik selain yang dihasilkan sendiri dan sumber
lainnya sebagai objek sasarannya, namun objek tersebut tetap dapat
dikenakan pajak akan tetapi materi muatan peraturan perundang-
undangan harus menyebutkan jenis pajak yang tepat.
Istilah atau nomenklatur objek PPJ terlihat bahwa penggunaan
tenaga listtik yang dijadikan objek PPJ adalah yang peruntukannya untuk
penerangan jalan. Namun dalam rumusan anak kalimat Pasal 52 ayat (1)
yaitu “baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber
lain” tidak menjelaskan mengenai cakupan atau ruang lingkup
penggunaan tenaga listik yang dapat disebut/dikategorikan sebagai
penerangan jalan, melainkan justru mengatur sumber tenaga listik. Hal
demikian mengakibatkan kerancuan atau kebingungan memahami
maksud dalam pengertian yang terkandung dalam rumusan tersebut.
Dalam hal ini apakah mengatur mengenai objek PPJ dari sisi
peruntukan/penggunaan tenaga listrik atau dari sisi sumber yang
menghasilkan tenaga listrik.

150
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Mahkamah berpendapat bahwa istilah “penerangan jalan” sudah


jelas maknanya secara harafiah maupun dalam penggunaan sehari-hari
yaitu kegiatan membuat terang jalan dengan bantuan pencahayaan
buatan. Ketika “penerangan jalan” dimaknai meluas meliputi juga semua
penggunaan listrik untuk keperluan selain penerangan jalan, maka hal
demikian membingungkan bagi pengguna tenaga listrik karena dikenai
pajak untuk suatu tindakan penggunaan tenaga listrik yang secara
faktual tidak mereka lakukan.
Mahkamah menyatakan bahwa inkonsitusionalitas Pasal 1 angka 28
dan Pasal 52 ayat (1) UU tentang PDRD tidak lantas mengakibatkan
penggunaan tenaga listrik tidak dapat dikenai pajak. Mahkamah
menegaskan bahwa penggunaan tenaga listrik baik yang dihasilkan
sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain tetap dapat dikenai
pajak atau dengan kata lain dapat dijadikan sebagai objek pajak. Namun
pengenaan pajaknya harus diatur alam undang-undang dengan
nomenklatur atau istilah yang lebih tepat agar tidak menimbulkan
kerancuan maupun kebingungan bagi sumber pajak dan wajib pajak.
Pengenaan pajak terhadap penggunaan listrik bukanlah hal yang
melanggar UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan hukum, MK dalam amar putusannya
menyatakan bahwa Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PDRD masih tetap berlaku
sampai dengan dilakukannya perubahan sesuai dengan tenggang waktu
sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. MK
memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu
paling lama 3 tahun melakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD
khususnya berkenaan dengan pengenaan pajak terhadap penggunaan
listrik baik yang dihasilkan sendiri maupun yang dihasilkan dari sumber
lain selain yang dihasilkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu analisa terhadap Putusan MK tersebut bahwa
terhadap Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 55
ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PDRD masih tetap berlaku sampai

151
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dengan dilakukannya perubahan. Akan tetapi Mahkamah memerintahkan


adanya perubahan agar tercipta kepastian hukum mengenai objek PPJ.
Mahkamah menilai bahwa penggunaan listrik tetap dikenakan pajak akan
tetapi perlu ada perbedaan pengaturan mengenai penggunaan listrik yang
dihasilkan sendiri maupun dihasilkan dari sumber lain dan pennggunaan
listrik yang dihasilan oleh pemerintah dalam hal ini PT PLN. Perlu segera
dilakukan perubahan agar memberikan kepastian hukum dan
mengurangi potensi hilangnya pendapatan asli daerah karena
kekosongan pengaturan mengenai objek PPJ.

152
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Pembuatan Undang-Undang harus didasarkan pada tiga landasan


penting, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan filosofis
adalah menyangkut pemikiran-pemikiran mendasar (filosofi dasar) yang
berkaitan dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat dan tujuan bernegara, kewajiban negara melindungi masyarakat,
bangsa, hak-hak dasar warga negara sebagaimana tertuang dalam UUD NRI
Tahun 1945 (Pembukaan dan Batang Tubuh).
Landasan sosiologis menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
atau kemajuan di bidang yang akan diatur di satu sisi serta permasalahaan
dan kebutuhan masyarakat pada sisi lain. Sedangkan landasan yuridis
menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur. Beberapa persoalan hukum itu antara lain belum ada norma yang
mengatur suatu bidang tertentu, normanya ada tetapi sudah ketinggalan
dibandingkan dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat, norma yang
tidak harmonis atau tumpang tindih dengan jenis peraturannya lebih rendah
dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah
Dengan demikian, pertimbangan filosofis berbicara mengenai
bagaimana seharusnya (das sollen) yang bersumber pada konstitusi.
Pertimbangan sosiologis menyangkut fakta empiris (das sein) yang merupakan
abstraksi dari kajian teoritis, kepustakaan, dan konstataring fakta sedangkan
pertimbangan yuridis didasarkan pada abstraksi dari kajian pada analisa dan
evaluasi peraturan perundang-undangan yang ada. Landasan filosofis,
sosiologis, dan yuridis ini kemudian dituangkan dan tercermin dalam
ketentuan mengingat dari suatu Undang-Undang. Itu berarti, rumusan dan
sistematika ketentuan mengingat secara berurutan memuat substansi
landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagai dasar dari pembentukan
Undang-Undang tersebut.

A. Landasan Filosofis

153
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Falsafah suatu Negara berisi tentang moral dan etika yang berlaku
secara umum dalam suatu Negara. Karenanya, para founding fathers yang
menempatkan Pancasila sebagai dasar negara dengaan tegas menyatakan
landasan moral bangsa khususnya dibidang ekonomi dalam sila kelima,
yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini merupakan
pernyataan eksplisit dari filosofi bangsa Indonesia dalam mengelola
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap tindakan dalam penyelenggaraan Negara harus didasarkan
pada falsafah dan kebijakan Negara dalam pembangunan nasional.
Sumber falsafah dan kebijakan Negara Indonesia adalah sebagaimana
tercantum dalam Preambule Undang Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan
bahwa tujuan Negara untuk melindungi, memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan berdasarkan
kepada Pancasila serta cita-cita untuk membangun demokrasi ekonomi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945.
Dalam pembangunan suatu bangsa, pembangunan daerah
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang
pelaksanaannya harus memberikan kesempatan dan ruang gerak bagi
upaya pengembangan demokratisasi dan kinerja pemerintah daerah
untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mendanai
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik di
daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, daerah
berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat yang diatur
berdasarkan Undang-Undang. Sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 yang
menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang
sebagaimana Politik hukum nasional di bidang perpajakan dalam UUD
NRI Tahun 1945 Amandemen ke-tiga Bab VII B Pasal 23A, yang
menyatakan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

154
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

B. Landasan Sosiologis
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan
sumber pendapatan daerah yang mendukung pelaksanaan dari otonomi
daerah itu sendiri. Sumber pendapatan Daerah terdiri atas pendapatan asli
daerah meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah
yang sah, pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebut pada saat ini diatur
dan ditetapkan dengan UU tentang PDRD yang disahkan pada tanggal 15
September 2009 yang dalam implementasinya ketentuan tentang PDRD
diatur dengan Peraturan Daerah.
Daerah masih menghadapi berbagai masalah dalam pelaksanaan UU
tentang PDRD. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut:245
a. Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu antara lain: pemahaman
yang berbeda terhadap undang-undang sehingga khawatir salah
dalam melaksanakannya dan adanya kesulitan secara teknis untuk
menerapkan perluasan basis pajak.
b. Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain: kurangnya
SDM yang kompoten dalam bidang keuangan daerah, memahami
karakteristik daerah dan mampu melakukan simulasi untuk
menghitung dampak penetapan tarif pajak terhadap kondisi ekonomi
dan penerimaan daerah, adanya anggapan bahwa tarif dalam UU
tentang PDRD merupakan batasan terbaik untuk daerahnya, tanpa
perlu lagi melihat kondisi riil masyarakat di daerahnya, kurangnya
kesadaran bahwa daerah telah memiliki kewenangan penuh dalam
penetapan tarif sepanjang masih dalam batas maksimum atau
minimum sebagaimana diatur dalam UU tentang PDRD, tingginya
NPOP-TKP (Rp60 juta) dalam pemungutan BPHTB bagi pemerintah
kabupaten, dan proses penetapan tarif yang seringkali belum
melibatkan stakeholders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan

245 Eddy Suratman, Op.cit, hal 93.

155
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

lain-lain) sehingga kurang mendapat dukungan dan komitmen dalam


pelaksanaannya.
c. Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara lain:
minimnya kesiapan Pemerintan daerah dalam mengelola BPHTB dan
PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses validasi atau verifikasi
yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5 tahun 2013 yang seolah
menya takan tidak perlunya verifikasi, rendahnya NJOP dibanding
harga pasar, masih minimnya kompetensi SDM (pendataan,
penilaian, administrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat, dan ketidakakuratan data piutang PBB.
d. Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan diluar
jenis PDRD yang diatur dalam UU tentang PDRD, tidak adanya
insentif pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan, belum
efektifnya proses evaluasi rancangan peraturan daerah di provinsi,
adanya monopoli bank dalam pembayaran pajak daerah, masih
rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak daerah, belum
siapnya regulasi beserta hardware/ software untuk menerima
pelimpahan data SISMIOP dari kantor pelayanan pajak pratama,
belum memadainya jumlah tenaga administrasi untuk pendataan
dan pendaftaran, belum dijalankannya mekanisme one stop service
untuk pajak daerah, dan kekurangakuratan data wajib pajak.
Selain permasalahan diatas, sepanjang berlakunya UU tentang PDRD
terdapat beberapa kali permohonan Pengujian UU tentang PDRD terhadap
UUD NRI Tahun 1945 kepada MK dan hanya 4 (empat) permohonan yang
dikabulkan oleh majelis hakim.

C. Landasan Yuridis
Seperti yang sudah disebutkan dalam landasan sosiologis, bahwa
sepanjang berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali
permohonan Pengujian UU tentang PDRD terhadap UUD NRI Tahun 1945
kepada MK dan hanya 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis

156
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

hakim yaitu tercatat dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan


MK Nomor 46/PUU-XII/2014, Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan
Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017.
Dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, MK mengabulkan
seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa
kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU tentang PDRD bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, MK mengabulkan
seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa
Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD yang menyatakan bahwa
mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan
dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan,
tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek
pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan
dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi
tersebut, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, MK mengabulkan
seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan bahwa
Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat
besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak
melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU
tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017, MK Mengabulkan
permohonan Pemohon untuk sebagian dan menyatakan bahwa Pasal 1
angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3)
UU tentang PDRD adalah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

157
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Keempat Putusan MK tersebut merupakan putusan yang tidak hanya


mengikat para pihak tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes).
Oleh karena itu, maka keempat Putusan MK tersebut akan membawa
implikasi dan akibat hukum sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap
UU tentang PDRD ini.

158
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK
DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan RUU tentang Perubahan Atas UU


tentang PDRD
Jangkauan dari penyusunan NA dan RUU tentang Perubahan Atas
UU tentang PDRD adalah dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pembangunan pada suatu daerah bertujuan untuk
membangun masyarakat yang ada di dalamnya, oleh sebab itu
diharapkan pembangunan tersebut tidak hanya mengejar kemajuan
daerah saja, akan tetapi mencakup keseluruhan aspek kehidupan
masyarakat yang dapat berjalan seimbang di segala bidang dalam rangka
menciptakan masyarakat adil dan makmur yang merata. Pembangunan
Nasional dan Pembangunan Daerah sesungguhnya menjadi
tanggungjawab warga negara dan masyarakatnya. Kaitannya dengan
pembangunan daerah dalam rangka otonomi daerah, pendapatan daerah
menjadi sangat penting karena dapat meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat. Dengan pembangunan daerah yang serasi dan
terpadu disertai perencanaan pembangunan yang baik, efisien, dan efektif
maka akan tercipta kemandirian daerah dan kemajuan yang merata
diseluruh wilayah Indonesia.
Dasar pemikiran dan latar belakang penyempurnaan undang-
undang ini antara lain:
1. Meningkatkan kemandirian daerah melalui penguatan local taxing
power;
2. Undang-undang dalam implementasinya belum mampu
mengakomodir dinamika dalam pelaksanaan pemungutan PDRD;

159
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

3. Masih terdapat perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dan Wajib


Retribusi dengan Pemerintah Daerah terhadap beberapa ketentuan
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009;
4. Terdapat beberapa gugatan masyarakat (Wajib Pajak dan Wajib
Retribusi) terhadap UU tentang PDRD ke MK; dan
5. Perlunya sinkronisasi dengan UU lainnya, antara lain Undang-Undang
tentang Pemda, Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Arah dan jangkauan pengaturan RUU tentang Perubahan Atas UU
tentang PDRD meliputi:
1. Perubahan pasal-pasal UU tentang PDRD sebagai amanat Putusan
MK dan konsekuensi/implikasi dari perubahan pasal-pasalnya.
2. Penambahan materi dan substansi baru dalam rangka penataan
peraturan perundang-undangan tentang PDRD.
3. Pengaturan dalam RUU tentang Perubahan Atas UU tentang PDRD
merupakan pengaturan yang mencakup:
a. hapusnya dasar hukum pemungutan pajak hiburan terhadap
objek pajak penyelenggara olahraga golf. Mengingat bahwa pajak
hiburan merupakan pajak daerah yang kewenangan
memungutnya diberikan kepada daerah kabupaten/kota dan
mekanisme pemungutan diatur melalui peraturan daerah maka
terdapat implikasi hukum terhadap peraturan daerah yang
menyatakan golf sebagai objek pajak hiburan haruslah direvisi
atau dibatalkan.
b. meniadakan hukum terkait dengan dasar perhitungan tarif
retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Dalam Perubahan
UU tentang PDRD ini juga diformulasikan/dirumuskan
perhitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian
menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan dan
pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah
diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya

160
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

penyedia jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek


keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut,
sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk
minimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai.
c. Mengatur mengenai PAB, akibat dari konsekuensi putusan MK.
Putusan MK mengenai PAB memberikan akibat hukum
meniadakan dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor
terhadap alat berat, oleh karena telah diputuskan bahwa alat
berat bukan objek kendaraan bermotor dan oleh karenanya juga
bukan merupakan objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga para pemilik
alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB. Implikasi hukum
yang terjadi atas akibat hukum ini adalah legalitas Peraturan
Daerah yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor
terhadap alat berat menjadi hilang dan oleh karenanya perlu
dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. Selain itu, dalam
pandangannya Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat
berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum
pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat
merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu,
berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan
perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat
berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan
perubahan terhadap UU tentang PDRD sepanjang berkenaan
dengan pengaturan pengenaan pajak terhadap alat berat.
d. Merumuskan perubahan mengenai PPJ khususnya berkenaan
dengan pengenaan pajak terhadap penggunaan tenaga listrik baik
yang dihasilkan sendiri maupun yang dihasilkan dari sumber lain
selain yang dihasilkan oleh pemerintah (PT PLN). Perubahannya
mencakup bahwa pengenaan pajak terhadap penggunaan tenaga
listrik hanya dibebankan terhadap penggunaan tenaga listrik yang
bersumber dari negara.

161
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

B. Ruang Lingkup Materi Muatan


1. Ketentuan Umum
Ketentuan umum RUU Perubahan UU PDRD berisi batasan,
pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan.
Terdapat beberapa ketentuan umum dalam UU PDRD yang perlu
disempurnakan atau ditambahkan antara lain:
2. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
8. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang
disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda
Kabupaten/Kota.
9. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah
peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
13. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta
gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan
lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang
bersangkutan, yang dalam operasinya menggunakan roda dan
motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan
bermotor yang dioperasikan di air.

162
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

13a. Pajak Alat Berat, yang selanjutnya disingkat PAB adalah pajak atas
penyerahan kepemilikan, kepemilikan dan/atau penguasaan serta
pemanfaatan alat berat.
13b. Alat Berat adalah alat yang digunakan pada proyek berskala besar
untuk menggali, memecah, dan memindahkan tanah dan/atau
batuan serta material lain.
28. Pajak Penggunaan Tenaga Listrik adalah pajak atas penggunaan
tenaga listrik yang disediakan oleh negara.
28a. Tenaga Listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala
macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik yang dipakai untuk
komunikasi, elektronika, atau isyarat.

2. Pembagian Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota


Jenis Pajak provinsi terdiri atas PKB; BBNKB; PBBKB; PAB; PAP;
dan Pajak Rokok. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas Pajak Hotel;
Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; PPJ; Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang
Burung Walet; PBB P2; dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana
disebutkan di atas. Jenis Pajak tersebut dapat tidak dipungut apabila
potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan
Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Khusus untuk
Daerah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi
dalam daerah kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, jenis Pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari
Pajak untuk daerah provinsi dan Pajak untuk daerah kabupaten/kota.

3. Penambahan Pajak Provinsi yakni Pajak Alat Berat

163
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Objek PAB meliputi penyerahan kepemilikan Alat Berat baru; dan


kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. Objek PAB sebagaimana
dikecualikan bagi:
a. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan TNI/POLRI; dan
b. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat,
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga
internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan Pajak dari
Pemerintah Pusat.
Subjek PAB ditetapkan untuk penyerahan kepemilikan Alat Berat
baru adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Alat
Berat baru; dan untuk kepemilikan dan atau penguasaan Alat Berat
adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Alat Berat. Wajib PAB
ditetapkan:
a. untuk penyerahan kepemilikan Alat Berat baru adalah orang
pribadi atau Badan yang menerima penyerahan kepemilikan Alat
Berat baru; dan
b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat adalah orang
pribadi atau Badan yang memiliki Alat Berat.
Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat, nilai jual
tersebut ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat
Berat yang bersangkutan. Harga rata-rata pasaran umum ditetapkan
berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data
yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak
sebelumnya. Dalam hal harga pasaran umum suatu Alat Berat tidak
diketahui, nilai jual Alat Berat dapat ditentukan berdasarkan sebagian
atau seluruh faktor-faktor:
a. harga Alat Berat dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang
sama;
b. penggunaan Alat Berat untuk umum atau pribadi;
c. harga Alat Berat dengan merek Alat Berat yang sama;
d. harga Alat Berat dengan tahun pembuatan Alat Berat yang sama;

164
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

e. harga Alat Berat dengan pembuat Alat Berat;


f. harga Alat Berat dengan Alat Berat sejenis; dan
g. harga Alat Berat berdasarkan dokumen pemberitahuan impor
barang.
Pedoman penetapan nilai jual Alat Berat diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri setelah berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Dasar pengenaan PAB dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Dasar pengenaan PAB sebagaimana berlaku
untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun untuk selanjutnya dapat diperbarui
kembali.
Tarif PAB untuk penyerahan kepemilikan Alat Berat baru
ditetapkan paling tinggi 5% (lima persen); dan untuk kepemilikan
dan/atau penguasaan Alat Berat ditetapkan paling tinggi 2% (dua
persen) dan tarif PAB ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besaran
pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar
pengenaan PAB dengan tarif PAB. PAB yang terutang dipungut di
wilayah daerah tempat domisili pemilik dan/atau yang menguasai Alat
Berat. Dalam hal Alat Berat digunakan di luar provinsi tempat pemilik
dan/atau yang menguasai berdomisili untuk jangka waktu 6 (enam)
bulan atau lebih, Pajak dipungut di wilayah provinsi tempat Alat Berat
digunakan.
PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat
terutang sejak tanggal, bulan, dan tahun Wajib Pajak diakui secara sah
memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. PAB untuk kepemilikan
dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu
12 (dua belas) bulan berturut-turut. PAB untuk kepemilikan dan/atau
penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka. Dalam hal Alat Berat
digunakan di luar provinsi tempat pemilik dan/atau yang menguasai
berdomisili untuk jangka waktu 6 (enam) bulan atau lebih, pemilik
dan/atau penguasa Alat Berat dapat mengajukan restitusi kepada
provinsi asal. PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat

165
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

yang karena keadaan kahar jangka waktunya belum sampai 12 (dua


belas) bulan, dapat dilakukan restitusi atas Pajak yang sudah dibayar
untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara pelaksanaan restitusi diatur dengan Peraturan
Daerah.

4. Perubahan Objek Pajak Hiburan dan Penambahan Pengecualian Dari


Objek Pajak Hiburan
Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan
dengan dipungut bayaran. Objek pajak Hiburan adalah tontonan film;
pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan,
binaraga, dan sejenisnya; pameran; diskotik, karaoke, klab malam, dan
sejenisnya; sirkus, akrobat, dan sulap; pacuan kuda, kendaraan
bermotor, dan permainan ketangkasan; panti pijat, refleksi, mandi
uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center); dan pertandingan
olahraga. Objek pajak hiburan tersebut dikecualikan bagi:
a. penyelenggaraan hiburan kesenian, musik, tari, dan/atau busana
rakyat/tradisional yang bersifat sosial seperti kegiatan amal.
b. penyelenggaraan hiburan kesenian, musik, tari, dan/atau busana
rakyat/tradisional untuk pelestarian budaya;
c. penyelenggaraan hiburan kesenian, musik, tari, dan/atau busana
rakyat/tradisional yang tidak dipungut bayaran; dan
d. penyelenggaraan hiburan kesenian, musik, tari, dan/atau busana
rakyat/tradisional dalam upacara keagamaan dan di lingkungan
pendidikan.

5. Perubahan Pajak Penerangan Jalan Menjadi Pajak Penggunaan


Tenaga Listrik
Pajak Penggunaan Tenaga Listrik dipungut terhadap penggunaan
tenaga listrik yang disediakan oleh Negara. Pajak ini menjadi salah satu
jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk memungut. Subyek Pajak Penggunaan Tenaga

166
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Listrik adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan


tenaga listrik. Wajib Pajak Penggunaan Tenaga Listrik adalah orang
pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik.
Dikecualikan dari objek Pajak Penggunaan Tenaga adalah
penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah; penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang
digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas
timbal balik; penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan
kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis
terkait; dan penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan
Peraturan Daerah. Dasar pengenaan Pajak Penggunaan Tenaga Listrik
adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Nilai Jual Tenaga Listrik adalah
jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian
kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik.
Tarif Pajak Penggunaan Tenaga Listrik ditetapkan paling tinggi
sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Penggunaan Tenaga Listrik
ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Besaran pokok Pajak
Penggunaan Tenaga Listrik yang terutang dihitung dengan cara
mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Pajak Penggunaan
Tenaga Listrik yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat
penggunaan tenaga listrik. Hasil penerimaan Pajak Penggunaan Tenaga
Listrik paling sedikit 10 % (sepuluh persen) dialokasikan untuk
penyediaan listrik dan/atau penerangan jalan.

6. Perubahan Penghitungan Tarif Retribusi Menara Telekomunikasi


Penghitungan tarif retribusi didasarkan pada biaya operasional
pengendalian dan pengawasan dengan komponen biaya meliputi
honorarium petugas pengawas, transportasi, uang makan, dan alat
tulis kantor. Besarnya Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi
dihitung dengan formula sebagai berikut:
RPMT = TP x TR
Keterangan:

167
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

RPMT = Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi


TP = Tingkat Penggunaan jasa
TR = Tarif Retribusi

Tingkat penggunaan jasa (TP) dihitung berdasarkan frekuensi


pengendalian dan pengawasan. Besaran Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi dapat memperhitungkan zonasi, ketinggian
menara, jenis menara, dan jarak tempuh.

7. Perubahan Jenis Retribusi Jasa Umum


Pengaturan mengenai jenis Retribusi Jasa Umum tidak lagi
mencakup retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk
dan akta catatan sipil; pengujian kendaraan bermotor; pemeriksaan
alat pemadam kebakaran; dan pelayanan tera/tera ulang. Jadi, jenis
retribusi jasa umum meliputi pelayanan kesehatan; pelayanan
persampahan/kebersihan; pelayanan pemakaman dan pengabuan
mayat; pelayanan parkir di tepi jalan umum; pelayanan pasar;
penggantian biaya cetak peta; penyediaan dan/atau penyedotan kakus;
pengolahan limbah cair; pelayanan pendidikan; dan pengendalian
menara telekomunikasi. Jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak
dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan
nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-
cuma.

8. Ketentuan Penutup
Ketentuan penutup dari RUU ini menegaskan bahwa pada saat
undang-undang ini mulai berlaku, Pajak dan Retribusi yang masih
terutang berdasarkan Peraturan Daerah yang ditetapkan berdasarkan
UU Nomor 28 Tahun 2009, sepanjang tidak diatur dalam Peraturan
Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih selama jangka waktu 5
(lima) tahun terhitung sejak saat terutang; Peraturan Daerah tentang
Pajak Daerah sepanjang yang terkait dengan jenis Pajak sebagaimana

168
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dimaksud dalam Pasal 2 masih tetap berlaku untuk jangka waktu 2


(dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini; Ketentuan peraturan perundang-
undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-
Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.

BAB VI
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa
simpulan sebagai berikut:
1. Teori dan praktik mengenai PDRD

169
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Dalam kajian teoretis diuraikan hal–hal mengenai definisi pajak;


urgensi pajak untuk negara; jenis-jenis pajak berdasarkan objek;
rasio pajak terhadap PDB; pajak daerah yang didalamnya terdiri dari
definisi pajak daerah, kriteria pajak daerah, dan jenis-jenis pajak
daerah; dan retribusi daerah yang didalamnya terdapat definisi
retribusi, perbedaan pajak dengan retribusi, jenis-jenis retribusi
daerah. Selain itu diuraikan juga mengenai asas/prinsip yang
mendasari penyusunan norma, pengaturan pajak daerah di beberapa
negara dan kajian implikasi penerapan RUU ini terhadap beban
keuangan negara.
2. Pelaksanaan dan pengaturan mengenai PDRD dalam peraturan
perundang-undangan terkait
Pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah diatur
dalam UU tentang PDRD. Namun dalam praktiknya undang-undang
ini telah beberapa kali dilakukan pengujian ke MK dan hanya 4
(empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis hakim yaitu
tercatat dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011 yang
menghapus pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak
penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; Putusan MK
Nomor 46/PUU-XII/2014 yang memberikan formulasi/rumus
perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi yang
lebih tepat dan adil dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa
yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan
efektivitas pengendalian atas pelayanan; Putusan MK Nomor
15/PUU-XV/2017 yang menghapus pengenaan pajak kendaran
bermotor terhadap objek PAB, dan apabila alat berat perlu dikenakan
pajak maka diberikan pengaturan terhadap pengenaan PAB secara
tersendiri; dan Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017 yang merubah
nomenkaltur atau istilah PPJ agar tetap dapat dikenakan pajak.
3. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis RUU Perubahan Atas UU
tentang PDRD
a. Landasan Filosofis

170
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Dalam penyelenggaraan Negara harus didasarkan pada


falsafah dan kebijakan negara dalam pembangunan nasional
sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD NRI Tahun 1945
yang menyatakan bahwa tujuan Negara untuk melindungi,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan berdasarkan kepada Pancasila serta cita-cita
untuk membangun demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum
dalam Pasal 33 UUD 1945.
Dalam pembangunan suatu bangsa, pembangunan daerah
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang
pelaksanaannya harus memberikan kesempatan dan ruang gerak
bagi upaya pengembangan demokratisasi dan kinerja pemerintah
daerah untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka
mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan publik di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia, daerah berhak mengenakan pungutan
kepada masyarakat yang diatur berdasarkan Undang-Undang.
Sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 yang menempatkan
perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan,
ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan
Undang-Undang sebagaimana Politik hukum nasional di bidang
perpajakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
ketiga Bab VII B Pasal 23A, yang menyatakan bahwa “pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang”.
b. Landasan Sosiologis
Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
diperlukan sumber pendapatan daerah untuk mendukung
pelaksanaan dari otonomi daerah itu sendiri. Sumber pendapatan
daerah terdiri atas pendapatan asli daerah meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang

171
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah,


pendapatan transfer, dan lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Pengaturan pajak dan retribusi daerah tersebut pada saat
ini diatur dan ditetapkan dengan UU tentang PDRD yang dalam
implementasinya ketentuan tentang PDRD diatur dengan
Peraturan Daerah. Dalam implementasi PDRD dihadapkan pada
berbagai masalah yaitu:246
a. Masalah dalam perluasan basis pajak, yaitu antara lain:
pemahaman yang berbeda terhadap UU sehingga khawatir
salah dalam melaksanakannya dan adanya kesulitan secara
teknis untuk menerapkan perluasan basis pajak.
b. Masalah dalam penetapan tarif pajak, yaitu antara lain:
kurangnya SDM yang kompoten dalam bidang keuangan
daerah, memahami karakteristik daerah dan mampu
melakukan simulasi untuk menghitung dampak penetapan
tarif pajak terhadap kondisi ekonomi dan penerimaan daerah,
kurangnya kesadaran bahwa daerah telah memiliki
kewenangan penuh dalam penetapan tarif sepanjang masih
dalam batas maksimum atau minimum sebagaimana diatur
dalam UU, tingginya NPOP-TKP (Rp60 juta) dalam
pemungutan BPHTB bagi pemerintah kabupaten, dan proses
penetapan tarif yang seringkali belum melibatkan
stakeholders (seperti PHRI, KADIN, REI, Notaris, dan lain-
lain).
c. Masalah dalam pemungutan jenis pajak baru, yaitu antara
lain: minimnya kesiapan pemerintah daerah dalam mengelola
BPHTB dan PBB-P2, ketidaksiapan struktur SKPD, proses
validasi atau verifikasi yang relatif lama, adanya SE BPN No. 5
tahun 2013 yang seolah menyatakan tidak perlunya

246 Eddy Suratman, dkk, Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Peningkatan pendapatan
Daerah, Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2013, hal 93.

172
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

verifikasi, rendahnya NJOP dibanding harga pasar, masih


minimnya kompetensi SDM (pendataan, penilaian,
administrasi, dan pelayanan), kurangnya sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat, dan ketidakakuratan data
piutang PBB.
d. Masalah lainnya, yaitu antara lain: masih adanya pungutan
diluar jenis PDRD yang diatur dalam UU tentang PDRD, tidak
adanya insentif pajak hotel, pajak restoran, dan pajak
hiburan, belum efektifnya proses evaluasi raperda di provinsi,
adanya monopoli bank dalam pembayaran pajak daerah,
masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar
pajak, kurangnya kerjasama diantara stakeholders pajak
daerah, belum siapnya regulasi beserta hardware/software
untuk menerima pelimpahan data SISMIOP dari kantor
pelayanan pajak pratama, belum memadainya jumlah tenaga
administrasi untuk pendataan dan pendaftaran, belum
dijalankannya mekanisme one stop service untuk pajak
daerah, dan kekurangakuratan data wajib pajak.
Selain permasalahan diatas, sepanjang berlakunya UU
tentang PDRD terdapat beberapa kali permohonan Pengujian UU
UU tentang PDRD terhadap UUD NRI Tahun 1945 kepada MK
dan hanya 4 (empat) permohonan yang dikabulkan oleh majelis
hakim.

c. Landasan Yuridis
Pada saat berlakunya UU tentang PDRD terdapat beberapa kali
permohonan pengujian undang-undang tersebut kepada MK dan
dari permohonan tersebut hanya 4 (empat) permohonan yang
dikabulkan oleh majelis hakim yaitu tercatat dalam Putusan MK
Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014,
Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor
80/PUU-XV/2017.

173
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011, MK


mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya
dan menyatakan bahwa kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g
UU tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, MK
mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya
dan menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU tentang PDRD
yang menyatakan bahwa mengingat tingkat penggunaan jasa
pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit
ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi
ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak
yang digunakan sebagai dasar penghitungan PBB menara
telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan
frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi
tersebut, bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017, MK
mengabulkan seluruh permohonan pemohon untuk seluruhnya
dan menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa
“termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam
operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat
secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-
alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat
(2) UU tentang PDRD bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017, MK
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan
menyatakan bahwa Pasal 1 angka 28, Pasal 52 ayat (1) dan ayat
(2), serta Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang PDRD adalah
bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak lagi memiliki
kekuatan hukum mengikat.

174
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Keempat Putusan MK tersebut merupakan putusan yang tidak


hanya mengikat para pihak tetapi juga harus ditaati oleh siapapun
(erga omnes). Oleh karena itu maka keempat Putusan MK tersebut
akan membawa implikasi dan akibat hukum terhadap
pemungutan PDRD.

4. Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan


dalam Penyusunan RUU Perubahan Atas UU tentang PDRD
Arah dan Jangkauan yang diatur dalam undang-undang ini
adalah perubahan dan penambahan materi pasal-pasal dalam UU
tentang PDRD sebagai implikasi dari adanya Putusan MK Nomor
52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, Putusan
MK Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor 80/PUU-
XV/2017.
Materi muatan dalam RUU tentang Perubahan Atas UU tentang
PDRD ini yaitu melakukan perubahan dan penambahan beberapa
Definisi dalam Ketentuan Umum, menambah jenis jenis pajak
provinsi yakni Pajak Alat Berat dan melakukan perubahan
nomenklatur pajak penerangan jalan menjadi pajak penggunaan
tenaga listik, melakukan perubahan pengaturan Pajak Hiburan,
merubah nomenklatur Pajak Penerangan Jalan menjadi Pajak
Penggunaan Tenaga Listrik dan membuat pengaturan yang baru,
menghapuskan beberapa jenis Retribusi Jasa Umum, dan
memberikan formulasi/rumus perhitungan tarif Retribusi
Pegendalian Menara Telekomunikasi.

B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan di atas dapat disampaikan saran
bahwa perlu dilakukan perubahan terhadap UU tentang PDRD dengan
mempertimbangkan keempat putusan MK yaitu Putusan MK Nomor
52/PUU-IX/2011, Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014, Putusan MK
Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017;

175
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

dan dengan diundangkannya beberapa undang-undang yang mengatur


mengenai PDRD yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Administrasi Kependudukan.

176
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Anwar, Chairil Pohan, M. Manajemen Perpajakan: Strategi Perencanaan Pajak
& Bisnis (Edisi Revisi). Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2013.
Farida, Maria Indrati, S. Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan. Jakarta: Kanisius, 2007.
F, John Petersen dan Denise F. Strachon. Local Government Finance: Concept
and Practice. Chichago-USA: Government Finance Officers Association of
United State of America and Canada, 1991.
J, K. Davey. Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan
Relevansinya Bagi Dunia Ketiga. Jakarta: UI Press, 1998.
Kadir, Abdul. Kapita Selekta Perpajakan di Indonesia. Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2017.
Kadir, Abdul. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Otonomi di
Indonesia. Medan: FISIP Universitas Sumatera Utara Press, 2008.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty 2005.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty, 2007.
Nugroho, Riant Dwidjowoto. Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi.
Jakarta: Elex Media Komputindo 2000.
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2005.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi
Press, 2010.
Suratman, Eddy dkk. Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Pengaruhnya Terhadap
Peningkatan pendapatan Daerah. Jakarta: Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia,
2013.
Sutedi, Adrian. Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam
Kerangka Otonomi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Yani, Ahmad. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

177
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pengendalian
Lalu Lintas Dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor119/PMK.07/2017 tentang Peta Kapasitas
Fiskal Daerah
Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011
Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014
Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017
Putusan MK Nomor 80/PUU-XV/2017

ARTIKEL/JURNAL/NASKAH AKADEMIK
BPK RI. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2016
Gayus, Topane Lumbun. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi oleh DPR
RI. Legislasi Indonesia, Vol.6, No. 3, September 2009.
Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, 2018, Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, Jakarta: Pusat
Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.

INTERNET
Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat. Perbedaan Pajak dan
Retribusi. Dimuat dalam
https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/02/22/perbedaan-pajak-dan-
retribusi/, diakses 28 Januari 2020.
Cumberland County Government. heavey equipment. Dimuat dalam
http://www.co.cumberland.nc.us/departments/tax-group/tax/business-

178
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

property/special-sales-tax/heavy-equipment, diakses tanggal 27 Februari


2020.
Controller and Auditor General. Charging fees for public sector goods and
services. Dimuat dalam https://www.oag.govt.nz/2008/charging-
fees/docs/charging-fees.pdf, diakses 28 Januari 2020.
Ddtcnews. Putusan MK Soal Pajak Alat Berat Dinilai Surutkan PAD. Dimuat
dalam https://news.ddtc.co.id/provinsi-kalimantan-timur-putusan-mk-
soal-pajak-alat-berat-dinilai-surutkan-pad-11218?page_y=992, diakses
tanggal 23 Januari 2019.
Department of Premier and Cabinet (DPC) NSW Government. User charges
policy. Dimuat dalam https://www.dpc.nsw.gov.au/programs-and-
services/events/user-charges-policy/, diakses 28 Januari 2020.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Pajak Daerah. dimuat dalam
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-
content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses 28 Januari 2020.
Filosofi Angpau. Filosofi Angpau. Dimuat dalam
https://www.pajak.go.id/id/artikel/filosofi-angpau, diakses 23 Januari
2020.
Indiana Government of Revenue. General Tax. Dimuat dalam
https://www.in.gov/dor/files/gb211.pdf, diakses tanggal 27 Februari
2020.
International Development Committee. Tax in Developing Countries: Increasing
Resources for Development. dimuat dalam
https://publications.parliament.uk/pa/cm201213/cmselect/cmintdev/1
30/130.pdf, diakses tanggal 23 Januari 2020.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Mengenal Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Dimuat dalam
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/mengenal-pajak-daerah-
dan-retribusi-daerah/, diakses 27 Januari 2020
Kurnia, Nadya. Retribusi Menara Telekomunikasi di Balikpapan. Dimuat dalam
https://teknologi.bisnis.com/read/20170921/101/691912/oktob er-
retribusi-pengendalian-menara- telekomunikasi-di-balikp apan-berlaku,
diakses tanggal 27 Februari 2020.
Pajak Daerah. Pajak Daerah. Dimuat dalam
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-
content/uploads/2018/08/pajak_daerah-1.pdf, diakses 23 Januari 2020.
Richard Boyle. Using fees and charges-cost recovery in local government,
Institute of Public Administration (IPA), Ireland. Dimuat dalam
https://www.ipa.ie/_fileUpload/Documents/LocalGov_RS_No3.pdf,
diakses 29 Januari 2020.

179
NA RUU tentang Perubahan Atas RUU tentang PDRD
Review, Per 28 November 2020

Richard M. Bird. Local and Regional Revenues: Realities and Prospects. Dimuat
dalam
http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/June2003Sem
inar/bird2003.pdf, diakses 27 Januari 2020.
S, Nipun. Objectives of Tax Policy in Developing Countries. Dimuat dalam
www.economicsdiscussion.net/taxes/tax-policy/objectives-of-tax-policy-
in-developing-countries/26200, diakses 23 Januari 2020.
State and Local Revenue. National Association of State Retirement
Administrators. Dimuat dalam https://www.nasra.org/revenue, diakses
27 Januari 2020.
Transport Department of the Government of the Hong Kong Special
Administrative Region. Fees of Vehicle d Driving Licensing Services.
Dimuat dalam
https://www.td.gov.hk/filemanager/en/content_104/td341_12_2017.pdf,
diakses 29 Januari 2020.
Walter Johnson. “Why Do State & Federal Governments Collect Taxes?”. Dimuat
dalam https://pocketsense.com/do-federal-governments-collect-taxes-
8390486.html, diakses 24 Januari 2020.
Wiki User. Why Do Government Impose Tax?. Dimuat dalam
https://www.answers.com/Q/Why_do_governments_impose_tax, diakses
23 Januari 2020.

180

Anda mungkin juga menyukai