Anda di halaman 1dari 3

Shafira Noor Malita – 072011233075 – HI di Timur Tengah – Week 14

Migrasi dan Pengungsi di Timur Tengah: Sebuah Ancaman Keamanan Manusia?

Timur Tengah menjadi kawasan yang mengalami berbagai dinamika seperti manuver politik, konflik,
ekonomi, hingga transformasi Timur Tengah yang merefleksikan ciri khas Timur Tengah dalam kajian
Hubungan Internasional. Perubahan politik dan sosial yang diwarnai oleh adanya globalisasi telah membawa
beberapa transformasi besar dan kecil di semua tingkatan dan yang paling signifikan adalah serangkaian krisis
kemanusiaan yang sifatnya mengejutkan, mendalam dan dampaknya terhadap populasi yang rentan (Babar
2020). Jika menelisik fakta-fakta yang ada, permasalahan pengungsi lahir dari situasi negara yang tidak stabil
dan kacau seperti disebabkan oleh adanya perang, konflik–suku maupun agama, bencana alam, intervensi
kemanusiaan, dan situasi lain yang berkaitan dengan ancaman skala besar pada manusia (Abella 1994).
Gelombang isu tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai globalisasi menjadi salah satu akar dari mobilitas
penduduk Timur Tengah, penyebab tingginya angka migrasi dan pengungsi Timur Tengah ke wilayah Eropa
hingga dampak isu tersebut terhadap keamanan manusia. Tulisan ini akan mencoba menjawab beberapa
pertanyaan tersebut dengan deskriptif dan analitis.

Christie (2018) mengelaborasikan bahwa globalisasi telah memberikan akses populasi dengan
mengaburkan batas-batas negara dan juga menghilangkan hambatan yang berupa biaya pindah yang tinggi,
topografi daerah dan juga transportasi. Mengaburnya batasan tersebut menjadi pendorong masyarakat untuk
melakukan migrasi internasional, hal ini juga yang menjadi signifikansi peran globalisasi di Timur Tengah.
Meninjau pengelaborasian Christie (2018), penulis memahami bahwa globalisasi meniscayakan hubungan
integral masyarakat dengan masyarakat lain akibat dari mengaburnya hambatan-hambatan mengenai mobilitas
masyarakat. Selain itu, globalisasi juga membuka ‘jaringan transnasional’ yang mencerminkan upaya
penyebaran informasi mengenai pekerjaan dan hidup yang lebih layak di tempat lain (Abella 1994). Christie
(2018) mengidentifikasi bahwa transformasi sosial yang meluas dikenal sebagai Arab Spring yang
menempatkan negara-negara Middle East and North Africa (MENA) sebagai stasiun transit para imigran.
International Organization for Migration (IOM) menetapkan bahwa seorang imigran merupakan orang yang
bergerak atau telah melintasi perbatasan internasional atau dalam suatu negara yang diperkirakan jauh dari
tempat asalnya (International Organization for Migration 2019).

Christie (2018) mengidentifikasi bahwa Arab Spring menjadi salah satu trajektori krisis kemanusiaan di
Timur Tengah terutama di negara Suriah. Arab Spring di Suriah berawal sejak tahun 2011 hingga saat ini yang
kemudian menunjukkan perbedaan Suriah dengan negara-negara Arab lain yang mampu menghentikan dan
mengatasi pemberontakan sipil yang terjadi. Penulis akan mendeskripsikan sedikit mengenai alur historis Arab
Spring di Suriah. Pimpinan Bashar Al-Assad yang keras mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok sipil di
Shafira Noor Malita – 072011233075 – HI di Timur Tengah – Week 14

Suriah yang berujung pada pertikaian yang membawa Suriah menduduki salah satu negara tidak aman di dunia
(Christie 2018); (Babar 2020). Konflik Suriah semakin diperparah dengan intervensi atau campur tangan
negara-negara lain yang berlomba untuk mencapai kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Suriah yang
dinobatkan sebagai negara tidak aman menyebabkan eskalasi gelombang pengungsi yang mencari suaka ke
negara-negara yang dianggap aman, salah satunya wilayah Eropa. Abella (1994) menjelaskan bahwa
perekonomian negara yang baik dapat menjadi alasan kuat menjadi wilayah yang berkapabilitas untuk menjadi
tempat aman–pengungsi mencari kehidupan yang lebih layak.

Selain karena permasalahan ekonomi negara yang lebih unggul, Eropa menjadi negara tujuan para
pengungsi karena orang-orang Eropa dinilai lebih memperlakukan pengungsi lebih baik di banding Timur
Tengah. Penulis menyetujui pernyataan tersebur dengan dasar argumen bahwa Timur Tengah merupakan
kawasan yang sering terjadi konflik, sehingga dapat dipahami ketika orang Timur Tengah memberikan
perlakuan yang tidak ‘sebagus’ orang Eropa. Hal ini sejalan dengan argumen Abella (1994) yang menceritakan
mengenai negara-negara di Timur Tengah yang cenderung tidak memiliki kesiapan untuk menampung
pengungsi–pada saat itu Kuwait. Menelisik jejak historis negara Timur Tengah yang memang tidak menerima
banyak pengungsi sejak dulu sudah mampu menjadi alasan fundamental mengapa banyak pengungsi yang
memilih Eropa sebagai tujuan. International Organization for Migration (2019) mengidentifikasi bahwa
sedikitnya 366 ribu imigran telah menyebrangi laut mediterania ke Eropa dengan mayoritas menuju ke wilayah
Eropa Barat–Jerman. Jerman menjadi salah satu negara yang menampung pengungsi dalam jumlah yang
banyak. Permasalahan migrasi dan pengungsi kemudian menciptakan berbagai tantangan-tantangan baru.

Tantangan ini yang seringkali memicu konflik yang lebih lanjut seperti menimbulkan ancaman
keamanan. Keamanan manusia jika dikaitkan dengan problema migrasi dan pengungsi memiliki hubungan kuat
dengan kejahatan transnasional terorganisir dan jaringan kriminal global (Christie 2018). Masih berkaitan
dengan globalisasi yang meningkatkan rasa ketergantungan menjadikan tantangan-tantangan tersebut sulit untuk
diselesaikan. Menelisik fakta bahwa migrasi dan pengungsi dapat mengancam keamanan manusia terutama
keamanan individu akibat dari rasa putus asa yang rentan terhadap pemangsa kejam yang mengeksploitasi
keadaan dan kondisi tersebut. Christie (2018) menjelaskan bahwa keterlibatan jaringan dan kelompok teroris
seperti Al-Qaeda dan ISIS menimbulkan kekhawatiran akan ancaman-ancaman stabilitas suatu negara.
Ancaman tersebut berupa ancaman terhadap pengungsi itu sendiri yang seringkali mengalami kekerasan fisik
dan seksual. Selain itu, ancaman juga terjadi pada stabilitas nasional negara penerima dimana warga negara
akan bersaing dengan pengungsi. Tidak hanya stabilitas nasional, stabilitas global yang terancam karena
memicu lahirnya tindakan seperti prostitusi, kriminalitas lintas batas, terorisme, hingga narkoba.
Shafira Noor Malita – 072011233075 – HI di Timur Tengah – Week 14

Penulis berusaha menarik kesimpulan dalam tulisan ini berupa jawaban bahwa globalisasi membuka
‘jaringan transnasional’ dengan mengaburkan berbagai hambatan mobilitas masyarakat. Begitu pula yang
terjadi di Timur Tengah, globalisasi membawa dampak yang terlihat dari eskalasi jumlah imigran dan
pengungsi yang ada di Timur Tengah. Meningkatnya konflik di Timur Tengah yang didukung oleh globalisasi
yang mempercepat pergerakan dalam mencari peluang ekonomi di negara lain membuat banyaknya jumlah
imgran Timur Tengah menuju wilayah Eropa. Lantas migrasi dan pengungsi kemudian menimbulkan adanya
ancaman kemanusiaan dan ancaman terhadap stabilitas suatu negara. Penulis berpendapat bahwa menigkatnya
jumlah imigran dan pengungsi dapat mengancam keamanan manusia–keamanan individu yang diperkuat oleh
adanya hubungan kuat dengan kejahatan transnasional terorganisir dan jaringan kriminal global.

Referensi:

Abella, M, 1994. “International migration in the Middle East: patterns and implications for sending countries”,
dalam United Nations, 1994. International Migration: regional processes and responses, NY and
Geneva: UN Economic Studies, 7: 163-181.

Christie, Kenneth, 2018. “Introduction: Migration, Refugees, and Human Security in the Twenty First Century”,
dalam Boulby, Marion and Christie, Kenneth (eds.), Migration, Refugees and Human Security in the
Mediterranean and MENA, Palgrave Macmillan, Cham Switzerland, pp. 1-19.

Babar, Zahra, 2020. “Human Mobility in the Middle East, dalam Babar, Zahra (ed.), Mobility and Force
Displacement in the Middle East, Oxford University Press, pp. 1-17.

IOM UN Migration, 2019. World Migration Report 2020, International Organization for Migration, Geneva:
International Organization for Migration.

Anda mungkin juga menyukai