Anda di halaman 1dari 5

Islam : Jawaban Atas Konflik dan Krisis Kemanusiaan

Sepanjang sejarah dunia beragam hal telah terjadi. Hal yang tidak akan pernah bisa
dipungkiri adalah konflik dan krisis kemanusiaan. Dua polemik besar ini
menghantarkan manusia pada episode kekacauan dan keadaan darurat yang menuntut
penyelesaian. Karena sejatinya dua polemik besar ini menimbulkan masalah lain yang
jauh lebih besar. Bak ibarat gedung yang tinggi tatkala runtuh maka mengenai bangunan
di sampingnya. Konflik yang paling besar yang pernah kita kenal adalah perang dunia
pertama dan kedua, yang menyebabkan krisis kemanusiaan dalam berbagai aspek.
Krisis kemanusiaan membuat umat manusia menghadapi multi dimensi problema hidup
yaitu krisis mentalitas, krisis keimanan dan krisis moralitas yang bahkan telah mencapai
titik paling berbahaya.

Persoalan konflik dan krisis kemanusiaan telah menyebabkan penderitaan yang


berkepajangan. Menyebabkan munculnya wabah mematikan yang siap memangsa
siapapun. Beberapa dekade terakhir, manusia telah mencapai konflik dan krisis
kemanusiaan yang sudah tidak dapat ditolerir lagi. Bagaimana tidak, konflik yang
terjadi bukanlah murni karena adanya kesalahan suatu individu, kelompok maupun
bangsa. Namun mayoritas disebabkan oleh kebenciaan yang mendalam sehingga konflik
tak terhindarkan lagi. Tatanan dunia modern nyatanya tidak mampu mengatasi hal
demikian. Mengatasi masalah kebenciaan yang menyebabkan konflik dan krisis
kemanusiaan yang membuat dunia seolah-olah bak di neraka.

Dunia seolah-olah dikendalikan oleh sekelompok manusia. Sehingga dengan mudah


mengatur skenerio-skenerio yang menyebabkan meletusnya konflik dan hanya
menunggu waktu krisis kemanusiaan akan menghantam. Fragmen sejarah telah
membuktikan bagaimana brutalnya kebenciaan yang akhirnya membuat Palestina,
Suriah, Rohingya dan Yaman sehingga mendapat perlakuaan yang tidak manusiawi.
Belum termasuk konflik-konflik di negeri lain yang mayoritas negeri-negeri tertindas
yang hidup penuh jeritan luka. Tak ada belas kasihan bagi mereka seperti dunia seolah-
olah rela atas perlakuan buruk yang mereka dapatkan. Inilah ironi yang tengah
dipertontonkan oleh panggung dunia saat ini. Seolah menjadi tontonan yang biasa bagi
dunia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, setidaknya 20 juta lebih warga yang


terdapat di empat negara berkonflik seperti Somalia, Sudan Selatan, serta Nigeria
terancam kelaparan dan terserang penyakit. Menurut Perdana Menteri Somalia Hassan
Ali Khaire, setidaknya 110 orang tewas akibat kelaparan dan penyakit yang disebabkan
musim kekeringan seperti kolera, diare, dan campak. Di Sudan Selatan, pemerintah baru
saja mendeklarasikan krisis kelaparan dan menuturkan setidaknya 7,5 juta orang di
negara itu membutuhkan bantuan. Sementara itu, menurut organisasi pangan PBB
(FAO), krisis kelaparan mengancam setidaknya 120 ribu orang di bagian timur laut
Nigeria (CNN Indonesia, 13/03/2017).

Data menunjukkan bahwa lebih dari 17 juta orang di Yaman saat ini merasa tidak aman
terhadap makanan yang mereka makan. Bahkan, dari jumlah tersebut, 6,8 juta orang
sangat tidak aman dan membutuhkan bantuan segera. Konflik Yaman telah berlangsung
selama bertahun-tahun dan menjadi konflik panas pada bulan Maret 2015 setelah
keterlibatan koalisi pimpinan-Saudi ikut memasuki wilayah Yaman. Lebih dari 10.000
orang terbunuh dan tiga juta orang mengungsi dari rumah mereka sejak Februari 2014,
menurut PBB. Menurut LSM Save The Children kasus kolera menyebar 46% ke anak
di bawah usia 15 tahun. Secara total, hampir 70% penduduk Yaman membutuhkan
bantuan kemanusiaan, termasuk sekitar 10 juta anak-anak (Seraamedia, 25/07/2017).

Tidak jauh berbeda dengan Rohingya. Nasib sekitar 1 juta warga muslim Rohingya
telah muncul sebagai salah satu isu HAM yang paling diperdebatkan di Dewan HAM
PBB. Status kewarganegaraan komunitas Rohingya ditolak oleh pemerintah Myanmar
dan dikategorikan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Kekerasan oleh tentara
Myanmar terhadap komunitas Rohingya dilaporkan terjadi Oktober lalu sebagai respons
atas serangan terhadap pos polisi perbatasan yang menewaskan sembilan polisi
Myanmar. Operasi militer itu memaksa sekitar 75.000 warga Rohingya melarikan diri
ke Bangladesh sebagai pengungsi. Di lokasi pengungsian, para warga Rohingya
menceritakan kekejaman tentara Myanmar, mulai dari pemerkosaan, pembakaran,
pembunuhan hingga penyiksaan (SINDOnews.com, 18/07/2017).

Antara Menertawakan dan Mengutuk

Data di atas sebagian kecil dari konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi di dunia.
Belum termasuk data-data besar yang bahkan lebih mencengangkan lagi. Parahnya
dunia seolah-olah hanya menjadi penonton tanpa pernah merasa perlu untuk
menyelesaikan seluruh konflik dan krisis kemanusiaan yang ada. Jangankan untuk
menyelesaikan bahkan dunia seolah-olah mengutuk dan menertawakan pada saat yang
bersamaan. Bagaimana tidak? Sudah sekian tahun konflik dan krisis kemanusiaan
terjadi, namun tidak pernah ada langkah konkrit untuk menyelesaikannya. Bukan tanpa
penyelesaian namun memang tidak pernah ada yang benar-benar serius untuk
menyelesaikannya. Sehingga kutukan demi kutukan dilontarkan atas perlakuan biadab
yang didapatkan oleh Palestina, Rohingya, Suriah, Somalia, Yaman, Nigeria, Sudan
Selatan dan lainnya. Namun saat yang bersamaan juga tengah menertawakan
penderitaan negeri-negeri tersebut atas perlakuan biadab yang mereka dapatkan.

PBB mendesak agar konflik di Myanmar dapat segera teratasi. Bahkan PBB telah
mengirimkan lembaga khusus untuk menyelidiki tindakan kekerasan yang dilakukan
militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Di Indonesia aksi-aksi pembelaan
terhadap Rohingya telah berkali-kali dilakukan untuk meminta pemerintah memutuskan
kerja sama dengan Myanmar dan mengusir kedubes Myanmar dari Indonesia. Bahkan
presiden Turki mengutuk perilaku keji yang didapatkan oleh Muslim Rohingya.

”Sayangnya saya bisa mengatakan bahwa dunia ini buta dan tuli terhadap apa yang
sedang terjadi di Myanmar,” kata Erdogan dalam sebuah wawancara di televisi yang
disiarkan langsung untuk menandai tiga tahun kepemimpinannya. ”Tidak mendengar
dan tidak melihat,” imbuh dia, yang dilansir AFP, Selasa (29/8/2017).
Dalam sebuah pernyataan, pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi mengecam keras
serangan brutal oleh teroris terhadap pasukan keamanan di Negara Bagian Rakhine.
Pemerintah Myanmar juga membantah tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dan
pembersihan etnis terhadap minoritas Muslim Rohingya. Bantahan itu berdasarkan hasil
investigasi terhadap tindakan represif militer di negara bagian Rakhine tahun lalu.
Dalam laporannya, pemerintah Myanmar mengatakan tidak ada tindak kejahatan yang
seperti dituduhkan selama ini. Sebaliknya, Myanmar menuduh PBB membuat klaim
yang berlebihan dalam laporannya. Bahkan, Aung Sang Suu Kyi penerima Nobel
Perdamaian belakang membungkam Indonesia atas pembataian yang terjadi.

Kita disuguhkan dengan sebuah tontonan yang mengesankan. Seolah-olah mengutuk


dan tertawa dalam waktu bersamaan merupakan penyelesaian atas konflik di Myanmar.
Dunia berkali-kali mengutuk namun pada saat yang sama tidak bisa melakukan tindakan
apapun. Termasuk PBB, ASEAN, OKI dan organisasi besar lainnya yang tengah
menyaksikan bagaimana Muslim Rohingya disiksa begitu keji. Dunia bungkam dan
merasa cukup dengan mengirimkan kutukan dan berbagai kecaman, maka semua akan
usai. Lantas di mana rasionalitas kita selama ini? Apakah dengan kutukan dan kecaman
semua akan selesai? Bukankah kita lebih paham bahwa teori saja tanpa aplikasi itu
nilainya nol. Lalu apalagi yang membuat kita tak mampu berbuat apa-apa? Bukankah
Myanmar hanya sebuah negara? Lantas kenapa ketika PBB dan organisasi dunia lainnya
mendesak untuk menyelesaikan konflik, terasa seolah-olah tak berarti?

Bagaimana jika kita berada pada posisi Muslim Rohingya? Pertanyaan tersebut terlalu
berlebihan karena memang kita tidak pada posisi Muslim Rohingya. Baik, mari kita
sederhanakan logikanya. Perang dunia terjadi sesungguhnya karena apa? Karena
manusia merasa dirinya Tuhan. Manusia merasa bisa melakukan segala hal tanpa
Tuhan. Agama dianggap sebagai candu yang merusak dan tinggal menunggu waktu,
perang dunia pecah. Fragmen sejarah telah berhasil membuktikannya. Tatkala dunia
sudah tidak lagi waras dengan keinginan manusia yang melampaui batas, maka
agamalah yang menjaga kewarasan manusia tatkala itu. Kesimpulannya apakah manusia
sudah tidak lagi waras sehingga abai terhadap konflik di berbagai belahan dunia.
Lantas untuk apa perguruan tinggi yang ada? Untuk apa gelar profesor, jika hanya
untuk membiarkan tindakan pembantaian terus merajalela? Untuk apa Nobel
Perdamaian jika, nyatanya hanya untuk menutupi bentuk kejahatan yang melampui
batas? Apakah batas rasionalitas kita sudah tidak lagi berfungsi? Sehingga perlakuan
yang tak sepantasnya didapatkan oleh manusia akhirnya dimaklumkan saja. Katakanlah
dunia tengah berupaya menyelesaikan konflik dan krisis kemanusiaan dan kita tengah
menyaksikannya sekarang. Namun sayangnya dari tahun ke tahun konflik dan krisis
kemanusiaan semakin membesar. Lantas siapa yang akan kita percayai?

Hanya ada satu penyelesaian yang akan menjadi titik terang dari seluruh konflik dan
kirisis kemanusiaan. Agama adalah jawaban atas itu semua. Tak ada satupun agama di
dunia yang membiarkan apalagi mengizinkan tindakan keji dilakukan. Tidak pernah ada
dalam sejarah manapun kecuali bila telah terhasut oleh kebenciaan yang dalam.
Terutama Islam yang berhasil melindungi jutaan jiwa tanpa memandang ras, suku,
agama dan bangsa. Islam berhasil menyelamatkan dunia dari konflik dan krisis
kemanusiaan. Pada abad ke-9 Khalifah al Mu’tashim yang mendengar bahwa seorang
Muslimah ditangkap dan dianiaya oleh seorang tentara Romawi di Amuriyah, Turki, dia
segera mengirimkan 90.000 pasukannya untuk menolong wanita tersebut sekaligus
untuk menggentarkan Romawi agar tidak mengulangi perbuatan itu, padahal saat itu
ibukota Islam berlokasi di Baghdad. Itu hanya contoh kecil dari sekian banyak fragmen
sejarah yang mengisahkan betapa Islam mampu melindungi dunia dari konflik dan
krisis kemanusiaan. Islam melakukan tindakan nyata bukan sekedar mengirimkan
kutukan dan kecaman.

Anda mungkin juga menyukai