Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSIS MEDIS
HERNIA INGUINALIS LATERAL (HIL)
DI RUANG IRNA LANTAI 3
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS AIRLANGGA

1. Tinjauan Teori Kasus:


a. Hernia Inguinalis Lateral (HIL)
1) Definisi
Hernia merupakan penonjolan isi suatu rongga melalui
bagian lemah dari
dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen, isi
perut menonjol melalui
bagian lemah dari lapisan muscullo-apponeurotic dinding
perut. Hernia terdiri
dari cincin, kantong, dan isi hernia (Sjamsuhidajat, 2011).
Hernia adalah sering terjadinya dan muncul sebagai
tonjolan dilipatan paha
atau skrotum. Biasanya orang awam menyebutnya turun
bero atau hernia.
Terjadinya hernia inguinalis yaitu ketika dinding abdomen
bertambah ke bawah
melalui dinding sehingga menerobos usus (Nurarif &
Kusuma, 2016).
Hernia inguinalis atau sering kita sebut sebagai turun berok
adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan
penonjolan jaringan lunak, biasanya usus, melalui bagian
yang lemah atau robek di bagain bawah dinding perut di
lipatan paha. (Rahayuningtyas Clara. 2014).
Menurut Huda danKusuma (2015: 74) Hernia inguinalis
adalah hernia
yang paling umum terjadi dan muncul sebagai tonjolan di
selangkangan
atau skrotum.Hernia inguinalis terjadi ketika dinding
abdomen
berkembang sehingga usus menerobos kebawah melalui
celah.Hernia
tipe ini sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat dibuat
kesimpulan bahwa
hernia merupakan suatu keadaan keluarnya suatu organ
yang tidak bisa kembali
ke tempat semula secara manual atau struktur organ dari
tempatnya yang normal
melalui suatu defek pada area inguinal dan akan
memberikan implikasi tindakan
invasif bedah dengan mengembalikan struktur organ
tersebut secara
pembedahan dengan menutup defek di inguinal, dan yang
melalui inguinalis
internis yang terdapat di sebelah lateral vasa evisgastrika
imperior menyusuri
kanalis inguinalis dan keluar ke rongga perut melalui
anulus inguinalis
eksternus, serta suatu keadaan terjadi pembesarannya pada
isi usus atau suatu
rongga melalui lubang.
Tinjauan anatomi

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,


lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga
meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati
dan kandung empedu.
a.       Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan dan sistem
pernafasan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput lendir. Saluran dari
kelenjar liur di pipi, dibawah lidah dan dibawah rahang mengalirkan isinya ke
dalam mulut. Di dasar mulut terdapat lidah yang berfungsi untuk merasakan dan
mencampur makanan. Di belakang dan dibawah mulut terdapat tenggorokan
(faring). Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung. Pengecapan relatif
sederhana terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. (Rizqiyansyah Apri. 2013).
b.      Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu Pharynk. Dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel)
yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan
pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan
jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan
ruas tulang belakang. (Anisa Nur Nina. 2014).
c.       Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang di lalui
sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan
berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering
juga disebut esophagus (dari bahasa Yunani : οiσω, oeso “membawa”, dan
έφαγον, phagus “memakan”). Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6
tulang belakang.
Menurut histologi, esofagus dibagi menjadi tiga bagian :
1)      Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka).
2)      Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus).
3)      Bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).
Dari mulut, makanan menuju ke esophagus yang dindingnya dilapisi
epithelium berlapis pipih. Kerongkongan berupa tabung otot yang panjangnya
sekitar 25 cm. oleh karena itu otot tersusun secara memanjang dan melingkar,
maka jika terjadi kontraksi secara bergantian akan terjadi gerak peristaltik.
Dengan gerak peristaltik, makanan terdorong menuju lambung. (Zuyina. 2011).
d.      Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai, Terdiri dari 3 bagian yaitu Kardia, Fundus, Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk
cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik
untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :
1)      Lendir.
2)      Asam klorida (HCl).
3)      Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein).
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
(Zuyina. 2011).
e.       Usus Halus
Usus halus berupa tabung yang panjangnya 6-8 meter, terdiri atas 3 bagian,
yaitu duodenum (usus 12 jari) panjangnya ± 2,5 meter dan ileum ± 3,6 meter.
Dinding usus halus banyak mengandung kelenjar mukosa halus yang
menghasilkan 3 liter getah per hari. Getah ini mengandung enzim sakrase,
maltase, laktase, serta erepsinogen. Sakrase mencerna sukrosa menjadi glukosa
dan fruktosa. Maltase mencerna maltose menjadi glukosa. Laktase mencerna
laktosa menjadi glukosa. Erepsinogen diaktifkan oleh enterokinase menjadi
erepsin. Erepsin adalah suatu enzim peptidase yang mengubah pepton menjadi
asam amino.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam
duodenum melalui sfingter pylorus dalam jumlah yang bias dicerna oleh usus
halus. Jika penuh, duodenum akan mengirimkan sinyal kepada lambung untuk
berhenti mengalirkan makanan. (Zuyina. 2011).
f.       Usus besar (Intestinum Mayor)
Merupakan saluran pencernaan berupa usus berpenampang luas atau
berdiameter besar dengan panjang 1,5-1,7 meter dan penampang 5-6 cm. Usus
besar merupakan lanjutan dari usus halus yang tersusun seperti huruf U terbalik
dan mengelilingi usus halus dari valvula ileosekalis sampai ke anus.
Lapisan Usus Besar :
1)      Lapisan selaput lender (mukosa) : lapisan ini tidak memiliki vili, kripta-kripta
yang terdapat di dalam ± 0,5 mm terletak berdekatan satu sama lain.
2)      Lapisan otot melingkar (M. Sirkuler) : lapisan ini berada di sebelah dalam dan
berbentuk lingkaran.
3)      Lapisan jaringan ikat (serosa) : lapisan ini merupakan jaringan ikat yang berada
di sebelah luar.
Struktur Usus Besar :
1)      Sekum : kantong lebar yang terletak pada fossa iliaka dekstra. Pada bagian bawah
sekum terdapat apendiks vermiformis disebut umbai cacing, panjangnya ± 6 cm.
Muara apendiks ditentukan oleh titik Mc burney yaitu daerah antara l/3 bagian
kanan dan 1/3 bagian tengah garis penghubung kedua spina iliaka anterior
superior (SIAS). Sekum seluruhnya ditutupi oleh peritoneum agar mudah
bergerak dan dapat diraba melalui dinding abdomen membentuk sebuah katub
dinamakan valvula koli (valvula Bauchini). Titik Mc burney : merupakan tempat
proyeksi muara ileum ke dalam sekum. Titik potong tapi lateral dengan garis
penghubung SIAS kanan dengan pusat. Pada waktu peradangan apendisitis,
daerah ini sangat sakit saat ditekan. Kadang-kadang apendiks perlu dibuang
dengan operasi apendiktomi untuk menghilangkan infeksi.   
2)      Kolon asendens : bagian yang memanjang dari sekum ke fossa iliaka kanan
sampai sebelah kanan abdomen. Panjangnya 13 cm terletak di bawah abdomen
sebelah kanan dan di bawah hati ke sebelah kiri. Lengkung ini disebut fleksura
hepatica (fleksura koli dekstra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum.
3)      Kolon transversum : panjangnya 38 cm membujur dari kolon asendens sampai ke
kolon desenden. Berada di bawah abdomen sebelah kanan tepat pada lekukan
disebut fleksura lienalis (fleksura koli sinistra), mempunyai mesenterium yang
melekat pada omentum mayus.
4)      Kolon desenden : panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri
dari atas ke bawah. Dari depan fleksura lienalis sampai depan ileum kiri,
bersambung dengan sigmoid dan dinding belakang peritoneum (retroperitoneal).
5)      Kolon sigmoid : bagian ini merupakan lanjutan kolon desenden, terletak miring
dalam rongga pelvis. Bagian ini panjangnya 40 cm dalam rongga pelvis sebelah
kiri, berbentuk huruf S. Ujung bawahnya berhubungan dengan rektum. Kolon
sigmoid ini ditunjung oleh mesenterium yang disebut mesokolon sigmoideum.
(Syaifuddin. 2009).
g.      Rektum dan Anus.
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir
di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.
(Anisa Nur Nina. 2014).
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja di
simpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon
desendens penuh buang air besar (BAB). Orang dewasa dan anak yang lebih tua
bias menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami
kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda BAB.

Rektum terdiri atas dua bagian yaitu :


1)      Rektum propida : bagian yang melebar disebut ampula rekti, jika terisi sisa
makanan akan timbul hasrat defekasi.
2)      Rektum analis rekti : sebelah bawah ditutupi oleh serat-serat otot polos (muskulus
sfingter ani internus dan muskulus sfingter ani eksternus). Kedua otot ini
berfungsi pada waktu defekasi.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaaan tubuh (kulit) dan
sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus
tetap tertutup.  (Zuyina. 2011).

2) Etiologi
Hal yang mengakibatkan hernia menurut Haryono (2012)
adalah:
- Kelainan kongenital atau kelainan bawaan.
- Kelainan didapat, meliputi:
1) Jaringan kelemahan.
2) Luasnya daerah di dalam ligamen inguinal.
3) Trauma.
4) Kegemukan.
5) Melakukan pekerjaan berat.
6) Terlalu mengejan saat buang air kecil atau besar.
3) Manifestasi Klinis
Menurut Kusuma dan Nurarif (2016), tanda dan gejala
sebagai berikut :
a. Berupa benjolan keluar masuk atau keras dan yang
tersering tampak benjolan
di lipat paha.
b. Adanya rasa nyeri pada daerah benjolan bila isinya
terjepit disertai perasaan
mual.
c. Terdapat gejala mual dan muntah atau distensi bila telah
ada komplikasi.
d. Bila terjadi hernia inguinalis strangulata perasaan sakit
akan bertambah hebat
serta kulit diatasnya menjadi merah dan panas.
e. Hernia femoralis kecil mungkin berisi dinding kandung
kencing sehingga
menimbulkan gejala sakit kencing (disuria) disertai
hematuria (kencing
darah) disamping benjolan dibawah sela paha.
f. Hernia diafragmatika menimbulkan perasaan sakit di
daerah perut disertai
sesak nafas.
4) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Dwi (2018) pemeriksaan penunjang pada hernia
adalah :
a. Pemeriksaan darah lengkap
Menunjukan peningkatan sel darah putih, serum elektrolit
dapat menunjukkan
hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit), dan
ketidakseimbangan elektrolit.
b. Pemeriksaan koagulasi darah
Pemeriksaan koagulasi darah : mungkin memanjang,
mempengaruhi
homeostastis intraoperasi atau post operasi.
8
c. Pemeriksaan urine
Munculnya sel darah merah atau bakteri yang
mengidentifikasikan infeksi.
d. Elektrokardiografi (EKG)
Penemuan akan sesuatu yang tidak normal memberikan
prioritas perhatian
untuk memberikan anestesi.
e. Sinar X abdomen
Menunjukkan abnormalnya kadar gas dalam usus/obstruksi
usus.
b. Patofisiologi
Menurut Mutaqqin dan Sari (2011:587) patofisiologi hernia yaitu
Hernia inguinalis tidak langsung (hernia inguinalis lateral) dimana
prostusi keluar dari rongga peritoneum melalui anulus inguinalis
internus yang teletak lateral pembuluh epigastrika inferior,
kemudian
hernia masuk kedalam kanalis inguinalis dan jika cukup panjang,
akan
menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus. Apabila hernia
ini
berlanjut, tonjolon akan sampai ke skrotum melalui jalur yang
sama
seperti pada saat testis bermigrasi dari rongga perut ke skrotum
pada
saat perkembangan janin. Jalur ini biasanya menutup sebelum
kelahiran, tetapi mungkin tetap menjadi sisi hernia dikemudian
hari.
Ligamentum gubernaculum turun pada tiap sisi abdomen dari pole
inferior gonad ke permukaan interna labial/scrotum. Gubernaculum
akan melewati dinding abdomen yang mana pada sisi bagian ini
akan
menjadi kanalis inguinalis. Processus vaginalis adalah evaginasi
diverticular peritoneumyang membentuk bagian ventral
gubernaculums
bilateral. Pada pria testes awalnya retroperitoneal dan dengan
processus
vaginalis testes akan turun melewati canalis inguinalis ke scrotum
dikarenakan kontraksi gubernaculum. Pada sisi sebelah kiri terjadi
penurunan terlebih dahulu sehingga ,yang tersering hernia
inguinalis
lateralis angka kejadiannya lebih banyak pada laki-laki dan yang
paling
sering adalah yang sebelah kanan. Pada wanita ovarium turun ke
pelvis
dan gubernaculum bagian inferior menjadi ligamentum rotundum
yang
mana melewati cincin interna ke labia majus. Processus vaginalis
normalnya menutup, menghapuskan perluasan rongga peritoneal
yang
melewati cincin interna. Pada pria kehilangan sisa ini akan
melekatkan
testis yang dikenal dengan tunika vaginalis. Jika processus
vaginalis
tidak menutup maka hidrokel atau hernia inguinalis lateralis akan
terjadi, Sedangkan pada wanita akan terbentuk kanal Nuck.
c. Penatalaksanaan
Menurut Amin & Kusuma (2015) penanganan hernia ada dua
macam:
- Konservatif. Pengobatan konservatif terbatas pada tindakan
melakukan
reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk
mempertahankan
isi hernia yang telah direposisi. Bukan merupakan tindakan
definitif
sehingga dapat kambuh kembali. Adapun tindakannya terdiri atas:
1) Reposisi adalah suatu usaha untuk mengembalikan isi hernia ke
dalam
kavum peritoneum atau abdomen. Reposisi dilakukan secara
manual.
Reposisi dilakukan pada pasien dengan hernia reponibilis dengan
cara
memakai dua tangan. Reposisi tidak dilakukan pada hernia
inguinalis
strangulata kecuali pada anak-anak.
2) Suntikan Dilakukan penyuntikan cairan sklerotik berupa alkohol
atau
kinin di daerah sekitar hernia, yang menyebabkan pintu hernia
mengalami sklerosis atau penyempitan sehingga isi hernia keluar
dari
kavum peritoneum.
15
3) Sabuk hernia Diberikan pada pasien yang hernia masih kecil dan
menolak dilakukan operasi.
- Operasi merupakan tindakan paling baik dan dapat dilakukan
pada hernia
reponibilis, hernia irreponibilis, hernia strangulasi, hernia
inkarserata. Operasi
hernia ada 3 macam:
1) Herniotomy
Membuka dan memotong kantong hernia serta
mengembalikan isi hernia ke kavum abominalis
2) Hernioraphy
Mulai dari mengangkat leher hernia dan menggantungkannya pada
conjoint tendon (penebalan antara tepi bebas musculus obliquus
intra abominalis dan musculus tranversus abdominalis yang
berinsersio di tuberculum pubicum).
3) Hernioplasty
Menjahitkan conjoint tendon pada ligementum inguinale
agar LMR hilang/ tertutup dan dinding perut jadi lebih kuat karena
tertutup otot. Hernioplasty pada hernia inguinalis lateralis ada
bermacam-macam menurut kebutuhannya (Ferguson, Bassini,
halst, hernioplasty, pada hernia inguinalis media dan hernia
femoralis dikerjakan dengan cara Mc.Vay).

Penatalaksanaan pasca operasi


Penatalaksanaan setelah operasi diantaranya adalah hindari hal-hal
yang memicu tekanan di rongga perut, tindakan operasi dan
pemberian
analgesik pada hernia yang menyebabkan nyeri, berikan obat
sesuai resep
16
dokter, hindari mengejan, mendorong atau mengangkat benda
berat. Jaga
balutan luka operasi tetap kering dan bersih, mengganti balutan
seteril
setiap hari pada hari ketiga setelah operasi kalau perlu. Hindari
faktor
pendukung seperti konstipasi dengan mengkonsumsi diet tinggi
serat dan
masukan cairan yang adekuat (Amin & Kusuma, 2015 ).

Sedangkan penatalaksanaan Keperawatan yaitu :


1) Istirahat di tempat tidur dan menaikkan bagian kaki, hernia
ditekan secara
perlahan menuju abdomen (reposisi), selanjutnya gunakan alat
penyokong.
2) Jika suatu operasi daya pulih isi hernia diragukan, diberikan
kompres hangat
dan setelah 5 menit di evaluasi kembali.
3) Celana penyangga
4) Istirahat baring
5) Pengobatan dengan pemberian obat penawar nyeri, misalnya
asetaminofen,
antibiotic untuk membasmi infeksi, dan obat pelunak tinja untuk
mencegah
sembelit.
6) Diet cairan sampai saluran gastrointestinal berfungsi lagi,
kemudian makan
dengan gizi seimbang dan tinggi protein untuk mempercepat
sembelit dan
mengedan selama BAB, hindari kopi kopi, teh, coklat, cola,
minuman
beralkohol yang dapat memperburuk gejala-gejala.
d. WOC
2. Tinjauan ASKEP
a. Fokus pengkajian (riwayat keperawatan, pemeriksaan fisik
dan tes diagnostic) (B1-B6)
1) Identitas Klien
Pada pasien hernia adalah riwayat pekerjaan biasanya mengangkat
benda berat, nyeri seperti tertusuk pisau yang akan semakin
memburuk
dengan adanya batuk dan bersin Discharge Planing pasien adalah
hindari mengejan, mengangkat benda berat, menjaga balutan luka
operasi tetap kering dan bersih, biasanya penderita hernia yang
sering
terkena adalah laki-laki pada hernia inguinalis dan pada heria
femoralis
yang sering terkena adalah perempuan untuk usia antara 45-75
tahun
(Baradero, 2005).
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus hernia adalah terasa
nyeri. Nyeri tersebut adalah akut karena disebabkan oleh
diskontinuitas
jaringan akibat tindakan pembedahan ( insisi pembedahan ). Dalam
mengkaji adanya nyeri, maka digunakan teknik PQRST.
P= Provoking: Merupakan hal - hal yang menjadi faktor
presipitasi timbulnya nyeri, biasanya berupa trauma pada bagian
tubuh
yang menjalani prosedur pembedahan dan biasanya nyeri akan
bertambah apabila bersin, mengejan, batuk kronik dll.
Q= Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, ditekan, ditusuk-
tusuk,
diremas.
19
R= Region: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
S= Scale of pain: Biasanya klien hernia akan menilai sakit yang
dialaminya dengan skala 5 - 7 dari skala pengukuran 1 - 10.
T=Time: Merupakan lamanya nyeri berlangsung, kapan muncul
dan dalam kondisi seperti apa nyeri bertambah buruk. (Muttaqin,
2008).
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
hernia, yang nantinya membantu dalam rencana tindakan terhadap
klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya
bisa di tentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. merasa ada benjolan di skrotum bagian kanan atau kiri dan
kadang-kadang mengecil/menghilang. Bila menangis, batuk,
mengangkat
beban berat akan timbul benjolan lagi, timbul rasa nyeri pada
benjolan
dan timbul rasa kemeng disertai mual-muntah. Akibat komplikasi
terdapat
shock, demam, asidosis metabolik, abses, fistel, peritonitis. Pada
pasien
post operasi hernia juga akan merasakan nyeri dimana nyeri
tersebut
adalah akut karena disebabkan oleh diskontinuitas jaringan akibat
tindakan pembedahan ( insisi pembedahan ).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Latar belakang kehidupan klien sebelum masuk rumah sakit
yang menjadi faktor predisposisi seperti riwayat bekerja
mengangkat
benda-benda berat, riwayat penyakit menular atau penyakit
keturunan,
20
serta riwayat operasi sebelumnya pada daerah abdomen atau
operasi
hernia yang pernah dialami klien sebelumnya.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama sepert klien, dikaji pula mengenai
adanya
penyakit keturunan atau menular dalam keluarga.
6) Perilaku yang mempengaruhi kesehatan
Empat faktor yang mempengaruhi kesehatan yakni keturunan,
pelayanan kesehatan, perilaku dan lingkungan. Faktor pelayanan
kesehatan meliputi ketersediaan klinik kesehatan dan fasilitas
kesehatan lainya, faktor perilaku meliputi antara lain perilaku
mencari
pengobatan dan perilaku hidup bersih dan sehat, sedangkan faktor
lingkungan antara lain kondisi lingkungan yang sehat dan
memenuhi
persyaratan ( Notoatmodjo, 2003 ). Kerja otot yang terlalu kuat,
mengangkat beban yang berat, batuk kronik, mengejan sewaktu
miksi
dan defekasi, peregangan otot abdomen karena peningkatan
tekanan
intra abdomen (TIA). Seperti obesitas dan kehamilan, kelemahan
abdomen bisa disebabkan kerena cacat bawaan atau keadaan yang
didapat sesudah lahir dan usia dapat mempengaruhi kelemahan
dinding
abdomen (semakin bertambah usia dinding abdomen semakin
melemah). Peningkatan tekanan intra abdomen diantaranya
mengangkat beban berat, batuk kronis, kehamilan, kegemukan dan
gerak badan yang berlebih. (Nuari, 2015).
21
7) Status Nutrisi dan Cairan.
Tanyakan kepada klien tentang jenis, frekuensi, dan jumlah klien
makan dan minum klien dalam sehari. Kaji apakah klien
mengalami
anoreksia,mual atau muntah dan haus terus menerus. Kaji selera
makan
berlebihan atau berkurang, ataupun adanya terapi intravena,
penggunaan selang NGT, timbang juga berat badan, ukur tinggi
badan,
lingkaran lengan atas serta hitung berat badan ideal klien untuk
memperoleh gambaran status nutrisi.
2.2.1.2 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Keadaan klien dengan hernia biasanya mengalami kelemahan serta
tingkat kesadaran composmentis. Tanda vital pada umumnya stabil
kecuali akan mengalami ketidakstabilan pada klien yang
mengalami
perforasi appendiks.
2) B1 Sistem Pernafasan (Breathing)
Bentuk hidung simetris keadaan bersih tidak ada sekret,
pergerakan dada simetris, Irama nafas regular tetapi ketika nyeri
timbul ada kemungkinan terjadi nafas yang pendek dan cepat.
Tidak
ada nyeri tekan pada dada, tidak ada retraksi otot bantu nafas,
gerakan
fokal fremitus antara kanan dan kiri sama, pada hernia inkarcerata
dan
strangulata di jumpai adanya peningkatan RR (> 24 x /mnt) pada
perkusi terdapat bunyi paru resonan, suara nafas vesikuler tidak
ada
suara tambahan seperti ronkhi dan whezzing.
22
3) B2 Sistem Kardiovaskuler (Blood)
Konjungtiva normal tidak terdapat sianosis, tidak ada
peningkatan JVP, tidak ada clubbing finger, CRT < 3 detik, tidak
terdapat sianosis, peningkatan frekuensi dan irama denyut nadi
karena
nyeri, terdapat bunyi jantung pekak/redup, bunyi jantung tidak
disertai
suara tambahan, bunyi jantung normal S1 S2 tunggal lup dup.
4) B3 Sistem Persyarafan (Brain)
Umumnya pada pasien hernia tidak mengalami gangguan pada
persyarafannya, namun gangguan bisa terjadi dengan adanya nyeri
pada post operasi sehingga perlu dikaji nilai GCS.
5) B4 Sistem Perkemihan (Bladder)
Pada Post Operasi kaji apakah terdapat benjolan pada abdomen
bagian bawah / kandung kemih. Pada hernia inkarcerata dan
strangulata di jumpai penurunan produksi urine. Ada tidaknya
nyeri
tekan pada kandung kemih. Kaji PQRST.
P= Provoking: Merupakan hal - hal yang menjadi faktor
presipitasi timbulnya nyeri, biasanya berupa trauma pada bagian
tubuh
yang menjalani prosedur pembedahan dan biasanya nyeri akan
bertambah apabila berdin mengejan batuk kronik dll.
Q= Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, ditekan, ditusuk-
tusuk,
diremas.
R= Region: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
23
S= Scale of pain: Biasanya klien hernia akan menilai sakit yang
dialaminya dengan skala 5 - 7 dari skala pengukuran 1 - 10.
T=Time: Merupakan lamanya nyeri berlangsung, kapan muncul
dan dalam kondisi seperti apa nyeri bertambah buruk. (Muttaqin,
2008).
6) B5 Sistem Pencernaan (Bowel)
Dikaji mulai dari mulut sampai anus, tidak ada asites, pada
pasien post-op biasanya sudah tidak ada benjolan pada abdomen,
pada
pasien post-op biasanya ada nyeri tekan, tidak ada distensi
abdomen.
Terdapat suara tympani pada abdomen, Peristaltik usus
5-21x/menit.
7) B6 Sistem Muskuluskeletal (Bone)
Biasanya post operasi herniotomy secara umum tidak memiliki
gangguan, tetapi perlu dikaji kekuatan otot ekstremitas atas dan
bawah,dengan nilai kekuatan otot (0-5), adanya kekuatan
pergerakan
atau keterbatasan gerak. Terdapat lesi/ luka. Kaji keadaan luka
apakah
terdapat push atau tidak, ada tidaknya infeksi, keadaan luka bersih
atau
lembab.
b. Diagnose keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuinitas jaringan akibat
tindakan
pembedahan ( insisi pembedahan ).
2.2.2.2 Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
mobilisasi dini post
operasi
2.2.2.3 Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan pentingnya
mobilisasi dini
post operasi.
2.2.2.4 Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut post
operasi.
2.2.2.5 Risiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan
masuknya
mikroorganisme melalui luka pembedahan.
2.2.2.6 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan takut gerak
dikarenakan
nyeri post operasi.
2.2.2.7 Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan
mobilitas fisik
sekunder terhadap pembedahan (Herdman & Kamitsuru, 2017).
c. Intervensi keperawatan dan rasional
Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuinitas jaringan akibat
tindakan
pembedahan ( insisi pembedahan ).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan nyeri klien hilang atau berkurang.
Kriteria hasil: Skala nyeri 1-3, tanda-tanda vital dalam batas
normal
(tekanan darah 90-130/60-90 mmHg dan frekuensi pernafasan
(RR) 16-20
x/menit), pasien tidak menyeringai kesakitan. Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya.
25
Rasional agar terjalin hubungan saling percaya antara perawat,
pasien
dan keluarga pasien dalam melakukan pengkajian.
2) Ajarkan teknik relaksasi bisa dengan nafas dalam dan distraksi
bisa
dengan mengalihkan perhatiannya.
Rasional untuk mengurangi nyeri.
3) Berikan posisi senyaman mungkin.
Rasional agar tidak menambah rasa nyeri.
4) Observasi tanda-tanda vital, terutama pada tekanan darah dan
frekuensi
pernafasan (RR).
Rasional untuk mengetahui respon tubuh terhadap nyeri.
5) Evaluasi intensitas dan frekuensi nyeri.
Rasional tingkat intensitas nyeri dan frekuensi menunjukkan skala
nyeri.
6) Beri penjelasan pada pasien tentang penyebab nyeri.
Rasional memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien
tentang nyeri.
7) Observasi keadaan luka
Rasional untuk mengetaui keadaan luka dan menghindari dari
infeksi.
8) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik.
Rasional untuk mengurangi rasa nyeri.
2.2.3.2 Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
mobilisasi dini post
operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x2 jam
diharapkan pasien dapat mengurangi ansietas.
26
Kriteria hasil: Pasien tidak menampakkan tanda-tanda gelisah,
pasien
terlihat tenang, pasien mampu memahami mobilisasi dini post
operasi.
Intervensi:
1) Bina hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien.
Rasional hubungan saling percaya adalah dasar hubungan terpadu
yang
mendukung pasien dalam mengatasi perasaan cemas.
2) Pahami rasa takut atau ansietas pasien.
Rasional perasaan adalah nyata dan membantu pasien untuk
terbuka
sehingga dapat mendiskusikan dan menghadapinya.
3) Observasi tingkat ansietas yang dialami oleh pasien.
Rasional mengetahui sejauh mana tingkat kecemasan yang
dirasakan
oleh pasien.
4) Temani atau atur supaya ada seseorang yang bersama pasien.
Rasional dukungan yang terus menerus mungkin membantu pasien
mengurangi ansietas atau rasa takut ke tingkat yang dapat diatasi.
5) Beri penjelasan pada pasien tentang penyakitnya.
Rasional dapat mengurangi rasa cemas pasien akan penyakitnya.
2.2.3.3 Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan pentingnya
mobilisasi dini
post operasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x2 jam
diharapkan terjadi peningkatan pengetahuan mengenai pentingnya
mobilisasi dini.
Kriteria hasil: Klien mampu memahami segala informasi tentang
penyakit
yang dialami, klien mampu mengulang semua informasi yang di
sampaikan
27
oleh perawat, klien mampu melakukan semua yang di sarankan
oleh
perawat.
Intervensi:
1) Observasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Rasional mengetahui tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien
tentang penyakitnya .
2) Berikan informasi pada pasien tentang perjalanan penyakitnya.
Rasional meningkatkan pemahaman pasien tentang kondisi
kesehatan.
3) Berikan kesempatan pada pasien untuk menanyakan hal-hal
yang tidak
jelas.
Rasional meningkatkan pemahaman pasien.
4) Beri penjelasan pada pasien tentang setiap tindakan
keperawatan.
Rasional mengurangi tingkat kecemasan dan membantu
meningkatkan
kerjasama dalam mendukung program terapi yang diberikan.
5) Anjurkan pada pasien untuk miring kanan dan miring kiri serta
menggerakkan ekstremitas atas dan bawah.
Rasional agar sendi-sendi pasien tidak kaku dan tegang.
6) Berikan Health Education tentang perubahan status kesehatan,
prosedur pembedahan, dan pentingnya mobilisasi dini post operasi.
Rasional meningkatkan pengetahuan pasien.
2.2.3.4 Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri post
operasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharapkan pola tidur pasien teratasi.
28
Kriteria hasil: Pasien tidur 7-8 jam, pasien nampak segar, kantong
mata
tidak menghitam.
Intervensi:
1) Observasi pola tidur dan istirahat pasien.
Rasional mengetahui gangguan istirahat atau tidur pasien.
2) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan.
Rasional lingkungan yang tenang dapat memberikan ketenangan
untuk
tidur dan istirahat.
3) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat dan tidur yang cukup.
Rasional tidur yang cukup dapat memberi rasa segar pada pasien
dan
mempercepat proses penyembuhan.
4) Batasi pengunjung.
Rasional pasien bisa istirahat atau tidur dengan nyaman.
5) Anjurkan pasien dan keluarga untuk menjaga kebersihan.
Rasional menciptakan suasana yang nyaman.
2.2.3.7Risiko infeksi area pembedahan berhubungan dengan
masuknya
mikroorganisme melalui luka pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan tidak ada tanda – tanda infeksi.
Kriteria hasil: Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti calor, dolor,
rubor,
tumor, perubahan functiolaesa dan tidak adanya pus (nanah), luka
bersih
tidak lembab dan kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal(suhu
tubuh
360-370C).
29
Intervensi:
1) Pantau tanda-tanda vital, terutama suhu tubuh.
Rasional mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila
suhu
tubuh meningkat.
2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic.
Rasional mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
3) Lakukan perawatan terhadap luka pada post operasi apakah ada
pus (
nanah), lembab atau tidak, kotor atau bersih.
Rasional untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
4) Jika di temukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan
darah,
seperti Hb dan leukosit.
Rasional penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari
normal
bisa terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotic.
Rasional antibiotik mencegah perkembangan mikroorganisme
pathogen.
2.2.3.8 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan takut gerak
di karenakan
nyeri post operasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan klien dapat melakukan aktivitas ringan atau total.
Kriteria hasil: ADL (Activity Daily Living) dapat terpenuhi, pasien
dapat
beraktivitas secara mandiri.
Intervensi:
1) Pantau tingkat ketergantungan.
30
Rasional mengetahui kemampuan pasien dalam setiap intervensi
yang
diberikan.
2) Observasi tingkat kemampuan otot pasien.
Rasional memberikan intervensi sesuai toleran.
3) Anjurkan untuk melakukan mobilitas fisik yang sesuai dengan
kemampuan ( minimal miring kanan-kiri ).
Rasional mencegah munculnya dekubitus.
4) Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan aktivitas dalam
lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan. Awasi
tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitas.
Rasional meningkatkan kemandirian pasien dalam beraktivitas dan
mobilisasi, latihan secara bertahan menghindari kelelahan.
5) Lakukan ROM eksercise sesuai kemampuan secara bertahap
sesuai
dengan kemampuan.
Rasional meningkatkan kekuatan otot dan memperlancar aliran
darah.
2.2.3.9 Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan
mobilitas fisik
sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan pasien mampu melakukan perawatan diri.
Kriteria hasil: pasien tampak bersih dan segar, pasien mampu
melakukan
perawatan diri secara mandiri atau dengan bantuan. Intervensi:
1) Observasi kemampuan pasien untuk melakukan perawatan diri.
31
Rasional mengkaji kemampuan pasien untuk melakukan perawatan
memudahkan intervensi selanjutnya.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional mengganti pakaian melindungi pasien dari kuman dan
meningkatkan rasa nyaman.
3) Berikan pujian pada pasien tentang kebersihannya.
Rasional memberikan pujian membuat pasien merasa tersanjung
dan
lebih kooperatif dalam kebersihan.
4) Motivasi keluarga dalam pemenuhan personal higiene.
Rasional meningkatkan kenyamanan psikologis dengan melibatkan
keluarga.
5) Bimbing keluarga pasien memandikan atau menyeka pasien.
Rasional membimbing keluarga dan pasien agar keterampilan
dapat
diterapkan.
3. Daftar pustaka (minimal 5)
Kusuma, H., & Nurarif, A. H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA. Jogyakarta: Mediaction Jogja.
Nurarif A H, Kusuma H. (2013). Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnose
medisdan NANDA NIC NOC jilid 1 .Yogyakarta: Mediaction publishing.
Nuari, N.A (2015). Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem
Gastrointestinal.
Jakarta: Trans Info Media.
Haryono, R. (2012). Keperawatan Medikal Bedah Kelainan Bawaan
Sistem
Pencernaan.Yogyakarta: Gosyen Publishing.

Anda mungkin juga menyukai